Anda di halaman 1dari 26

AKTIVITAS SEL JEMAAH ISLAMIYAH DI INDONESIA PERIODE 2002-2012

Andrea Abdul Rahman Azzqy


Analis Senior Bidang Intelijen dan Kajian Stratejik
Jumantara Putra Perkasa Institute
Jl. Teratai No. 6, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12760
asahib1@rocketmail.com

Abstrak

Serangan teroris yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 di Bali merupakan awal
dimulainya gerakan melawan jaringan terorisme yang diduga kuat memiliki keterkaitan
dengan Al-Qaeda, yaitu Jemaah Islamiyah. Peristiwa pengeboman di Bali pada 2002,
diikuti dengan serangan lanjutan tiga tahun kemudian, menghadapkan Indonesia pada
kenyataan bahwa selain menjadi basis gerakan terorisme, Indonesia juga menjadi korban
dari gerakan tersebut. Pemberantasan terorisme tidak serta-merta berhenti pada upaya
pemutusan rantai terorisme. Demi menghentikan aktivitas teror dan para teroris
sepenuhnya, pemerintah Indonesia mengedepankan penegakan hukum, di mana aparat
hukum, termasuk kepolisian dan kejaksaan, berada pada lini terdepan. Karena itu, bentuk
kebijakan Indonesia lebih kepada strategi countering terrorism, bukan war against
terrorism. Pemutusan rantai terorisme dan sistem peradilan terintegrasi sudah seharusnya
menjadi rangkaian aktivitas penanggulangan terorisme yang melibatkan koordinasi
sejumlah institusi nasional terkait. Hal ini penting untuk menjamin upaya pemberantasan
terorisme dapat secara tuntas meraih dan mengadili sumber terorisme, dan di saat yang
sama mencegah ancaman berulang dari mereka yang pernah menjadi pelaku terorisme
dan sudah ditangkap. Di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, upaya
pemberantasan terorisme tidak lagi melalui pendekatan militer, tetapi melalui pendekatan
penegakan hukum (enhanced criminal justice model) dengan menempatkan Detasemen
Khusus 88 pada garda terdepan.

Kata kunci: Jemaah Islamiyah, kontraterorisme, disengagement, enhanced criminal


justice model

Abstract

Terrorist attacks that occurred on October 12, 2002 in Bali is a turning point in starting
a structured movement to fight the terrorist network, for allegedly has links with Al-
Qaeda, Jemaah Islamiyah. A bombing in Bali in 2002, followed by further attacks three
years later, exposes the fact that in addition to being the base of terrorism, Indonesia is
also a victim of that movement. Combating terrorism does not necessarily stop the chain
of terrorism efforts. For completely stop terrorist activities and the terrorists, the
Indonesian government promotes the rule of law, in which law enforcement officials,
including police and prosecutors, are on the front line. Therefore, Indonesia is more to
shape policy strategy of countering terrorism, not a war against terrorism. Terrorism
termination chain and integrated justice system should be a series of counterterrorism
activity which involves the coordination of a number of relevant national institutions. It is
important to ensure the eradication of terrorism can be completely seized and prosecuted
the source of terrorism, and at the same time preventing the repeated threats from those

International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 147


Andrea Abdul Rahman Azzqy

who have become perpetrators of terrorism and have been arrested. Under the leadership
of Susilo Bambang Yudhoyono, the efforts in combating terrorism are no longer through
a military approach, but through the law enforcement approach (enhanced criminal
justice model) by placing the Special Detachment 88 on the front line.

Keywords: Jemaah Islamiyah, counterterrorism, disengagement, enhanced criminal


justice model

Pendahuluan gerakan terorisme, Indonesia juga


Dinamika hubungan internasional menjadi korban dari gerakan tersebut.
berubah sejak tonggak Perang Global Secara domestik, respon
terhadap Terorisme (Global War on penanganan teroris di Indonesia mulai
Terrorism) dikibarkan oleh dilaksanakan secara intensif melalui
pemerintahan Presiden George W. Bush pembentukan satuan tugas anti bom di
pasca tragedi 11 September 2001. bawah Kepolisian RI yang bertugas
Momentum ini berhasil menggeser untuk menanggulangi ancaman-ancaman
sebagian besar perspektif ancaman bom secara profesional. Pada masa ini,
negara dalam kerangka kebijakan luar Badan Intelijen Negara (BIN) juga sudah
negeri. Tidak terkecuali bagi Indonesia. mulai turun tangan dalam mendeteksi
Serangan teroris yang terjadi dan mengurai organisasi terorisme baik
pada tanggal 12 Oktober 2002 di Bali lokal maupun koneksinya dengan
merupakan awal dimulainya gerakan jaringan teroris internasional. Upaya ini
melawan jaringan terorisme, terutama semakin diperkuat dengan dibentuknya
yang diduga kuat memiliki Detasemen Khusus 88 (Densus 88)
keterkaitan/berafiliasi dengan Al-Qaeda, melalui Surat Keputusan Kapolri No.
yaitu Jemaah Islamiyah (JI). Pada 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 yang
awalnya Indonesia tidak serta-merta pendanaan awalnya berasal dari Amerika
merespon kampanye global Serikat, tepatnya melalui Jasa Keamanan
antiterorisme; sebaliknya, menolak Diplomatik (US Diplomatic Security,
tudingan dunia bahwa Indonesia menjadi State Department). Densus 88
basis gerakan terorisme tersebut. Namun, diharapkan dapat menjadi kesatuan inti
peristiwa pengeboman di Bali pada antiteror yang andal dan profesional.
2002, diikuti dengan serangan lanjutan Walaupun analis counter terror
pada 2005 – juga di Bali – Indonesia kesulitan memprakirakan
menghadapkan Indonesia pada tingkat perkembangan aktivitas sel-sel
kenyataan bahwa selain menjadi basis teror, namun penyebaran jaringan teroris
148 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

JI dapat diperkirakan dengan akurat. merespon melalui metode-metode soft


Metode ilmiah memang membutuhkan approach dalam pemutusan kebijakan
waktu yang lebih panjang, penyelidikan keamanan dan hukum terkait aktivitas
yang lebih panjang dan sesuai dengan terorisme. Kebijakan ini didasarkan pada
metode ilmiah akan menghasilkan pemikiran bahwa penanggulangan
analisis yang lebih mendalam dan terorisme bukan dipandang sekedar
komprehensif serta memenuhi syarat sebagai masalah ancaman terhadap
ketepatan namun dapat mengabaikan keamanan negara, melainkan lebih pada
syarat kecepatan. Kegiatan teroris yang ancaman terhadap kemanusiaan;
terjadi di Indonesia diduga memiliki sehingga penanganannya harus bersifat
kaitan dengan jaringan teroris integral dan komprehensif, mencakup
internasional. Terorisme memang aspek hukum, sosial, budaya, ekonomi,
merupakan kegiatan transnational crime pertahanan, dan keamanan (Adi, 2013).
yang memiliki keterkaitan dengan Melalui perumusan Undang-
beberapa negara. Sementara itu, undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
antarkelompok terorisme itu juga Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
memiliki koneksitas, di antaranya dalam – undang-undang ini dirumuskan sebagai
hal pendanaan dan logistik. Di langkah untuk memberi dasar hukum
Indonesia, kegiatan teroris yang kepada aparat hukum dan keamanan
dilakukan berupa peledakan bom di dalam menindak aktivis kelompok JI
beberapa tempat dimulai dari tempat- yang dituduh bertanggung jawab pada
tempat ibadah – gereja, masjid, tempat peristiwa peledakan Bom Bali I tahun
keramaian – klub, mall, hotel, sampai 2002. Langkah Pemerintah Indonesia ini
kedutaan besar. sejalan dengan Resolusi Antiterorisme
Keberadaan JI pada awalnya Dewan Keamanan PBB (DK PBB), pada
memicu kecurigaan atas posisi Indonesia tanggal 28 September 2001; dan wujud
sebagai tempat perlindungan para teroris komitmen Indonesia terhadap kerja sama
yang serta-merta mengoposisi gerakan internasional menanggulangi terorisme.
dunia melawan terorisme. Tudingan ini Resolusi DK PBB tersebut berisi
kemudian terbantahkan dengan permintaan kepada semua negara untuk
kenyataan bahwa Indonesia pun tidak segera melakukan kerja sama dalam
terhindar dari serangkaian teror bom pencegahan dan meningkatkan kerja
yang terjadi di beberapa kota besar. sama dalam menekan tindakan teroris
Pemerintah Indonesia kemudian dan melaksanakan penuh konvensi
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 149
Andrea Abdul Rahman Azzqy

internasional yang berkaitan dengan Terkait dengan strategi


terorisme (Kusumah, 2002) penegakan hukum tersebut, salah satu
Pemberantasan terorisme tidak bagian dari implementasi
serta-merta berhenti pada upaya penanggulangan terorisme di Indonesia
pemutusan rantai terorisme. Sejalan adalah perumusan prosedur atau
dengan kebijakan Indonesia melakukan mekanisme peradilan pidana dalam
soft approach dalam upaya proses penegakan hukum tindak pidana
menanggulangi terorisme, demi terorisme.
sepenuhnya menghentikan aktivitas teror Hal tersebut juga didukung
dan teroris, pemerintah mengedepankan dengan pernyataan dari Deputi Bidang
penegakan hukum, di mana aparat Pencegahan Perlindungan dan
hukum, termasuk kepolisian dan Deradikalisasi Badan Nasional
kejaksaan, berada pada lini terdepan. Penanggulangan Terorisme (BNPT),
Karena itu, bentuk kebijakan Indonesia Agus Surya Bakti, bahwa ada empat
lebih kepada strategi countering strategi yang dinilai dapat
terrorism, bukan war against terrorism. menanggulangi ancaman dan tindak
Hal ini sejalan pula dengan situasi terorisme, di mana salah satunya adalah
transisi yang tengah dijalani Indonesia, menyempurnakan strategi yang
dari era militeristik ke era demokrasi difokuskan pada penegakan hukum dan
(reformasi). Implementasi kebijakan diimbangi dengan upaya pencegahan,
counterterrorism Indonesia telah perlindungan dan deradikalisasi untuk
terwujud melalu berbagai upaya memperoleh hasil yang komprehensif
penanggulangan terorisme, di antaranya (VIVAnews, 2011). Oleh karena itu,
dengan membentuk Detasemen Khusus pelaksanaan hukum dalam rangkaian
(Densus) 88 sebagai bagian dari aktivitas penanggulangan teroris menjadi
Kepolisian Republik Indonesia (Polri). sangat esensial. Dilihat dari perspektif
Dalam jangka panjang diperlukan upaya kebijakan hukum, khususnya hukum
berkesinambungan untuk memberantas pidana (penal policy) untuk penanganan
terorisme melalui penerapan cut the terorisme, sasaran dari hukum pidana
dragon head – memutus rantai komando tidak hanya mengatur penindakan para
dengan cara menangkap pemimpin pelaku terorisme itu sendiri, tetapi juga
teroris. Cara ini merupakan salah satu mengatur kewenangan dari aparat
metode “disengagement” guna memutus penegak hukum itu sendiri. Undang-
rantai terorisme. undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
150 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah Akhirnya muncul uraian-uraian


menciptakan sistem pengawasan dan permasalahan di atas, dan dielaborasi
pertanggungjawaban dalam menunjang dalam subyektivitas “Bagaimana metode
terciptanya sistem peradilan pidana Disengagement dan Enhanced Criminal
terpadu (integrated criminal justice Justice Model dapat menanggulangi
system), di mana pelaksanaannya tindakan terorisme?”
memerlukan sinkronisasi peraturan Berangkat dari elaborasi masalah
perundang-undangan yang mengatur tersebut, dapat dipahami bahwa ada dua
mengenai tugas dan wewenang spektrum dalam penanganan terorisme,
antarkomponen sistem dalam sistem yaitu spektrum penegakan hukum dalam
peradilan pidana. penanggulangan terorisme; di mana yang
Berdasarkan latar belakang yang bertugas menangani penanggulangan
diuraikan seperti di atas, penelitian ini terorisme berada di tangan sistem
akan fokus pada kebijakan dan upaya peradilan pidana (criminal justice model)
penanggulangan terorisme di tahap – seperti yang diberlakukan di Indonesia.
“penindakan” yang melibatkan Kemudian spektrum yang kedua adalah
kelengkapan hukum. Hal ini dianggap spektrum perang melawan terorisme
sebagai tahap yang penting dalam (war against terrorism), di mana
penanggulangan terorisme jangka penanggulangan terorisme dilakukan
panjang. Kedua tahap dalam dengan operasi militer – seperti yang
pemberantasan terorisme, yaitu diberlakukan di Amerika Serikat.
pemutusan rantai terorisme dan sistem Peneliti merujuk pada pengertian
peradilan yang terintegrasi, sudah adanya spektrum penegakan hukum dan
seharusnya menjadi rangkaian aktivitas spektrum perang melawan terorisme
penanggulangan terorisme yang (war against terrorism) dalam hal
melibatkan koordinasi sejumlah institusi penanggulangan terorisme milik Inggris
nasional terkait. Hal ini penting untuk (The United Kingdom’s Strategy for
menjamin bahwa upaya pemberantasan Countering International Terrorism),
terorisme dapat secara tuntas meraih dan sebagaimana dijelaskan oleh Tom Maley
mengadili sumber pelaku terorisme, dan dalam modulnya mengenai
di saat yang sama mencegah ancaman “Frameworks for Combating
berulang dari mereka yang pernah Terrorism”, sebagai berikut (Maley,
menjadi pelaku terorisme dan sudah 2011):
ditangkap.
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 151
Andrea Abdul Rahman Azzqy

Hasil yang Mengemuka


Berdasarkan kajian umum yang
telah diuraikan di atas, pedoman
mengenai strategi kontrateror memang
masih sebatas pendekatan. Oleh karena
adanya perbedaan ancaman, institusi,
karakter, serta kepentingan setiap negara
dalam menghadapi isu terorisme, setiap
negara muncul dengan strategi yang
Gambar 1 berbeda. Namun, atas nature kontrateror
Spectrum of Counter-terrorism Responses
Sumber: UK Counter-terrorism Strategy yang pada dasarnya berhubungan dengan
aktivitas penanggulangan terorisme dari
Gambar 1 menjelaskan mengenai hulu hingga hilir (eksekusi), campuran
Criminal Justice Model yang dapat antara pendekatan yang berbasis politik,
dimaknai sebagai manajemen penegakan hukum, kepolisian, diplomatik, dan
hukum pidana. Di Indonesia – bahkan militeristik akan dapat
sebagaimana pula di negara-negara lain memberikan pendekatan yang
– manajemen hukum pidana ini diatur komprehensif dan berjangka panjang.
dalam Kitab Undang-undang Hukum Sehubungan dengan hal tersebut, Daniel
Acara Pidana (KUHAP). Tercakup Keohane (2005) menekankan bahwa
dalam ketentuan mengenai tata cara strategi kontrateror sebaiknya dibangun
berperkara ini adalah kewenangan yang berkenaan dengan tiga elemen taktis,
dimiliki oleh masing-masing aparat yaitu integrasi, investigasi, dan
penegak hukum, yaitu polisi berwenang isolasi/penyekatan (insulation). Setiap
melakukan penyelidikan dan penyidikan; elemen ini berperan dalam tujuan besar
selanjutnya kejaksaan melakukan dari strategi kontrateror, yaitu untuk
penuntutan; hakim memutus suatu mengisolasi teroris-teroris potensial
perkara, termasuk menjatuhkan sanksi dengan para pendukung, bekal, dana,
pidana; dan lembaga pemasyarakatan peralatan, dan target (Keohane, 2005).
melakukan pembinaan kepada mereka Strategi kontrateror di Indonesia
yang dijatuhkan sanksi badan sesuai pun diterapkan sedemikian rupa untuk
vonis hakim dalam proses persidangan. dapat mencakup ketiga elemen penting
tersebut. Dengan difokuskannya strategi
Indonesia pada penegakan hukum, maka
152 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

strategi yang dijalankan juga dilengkapi


dengan perangkat institusi yang
memadai.

Gambar 3
Model Analisis

Penanggulangan terorisme di
Indonesia, dapat dibagi menjadi tiga
periode, yaitu periode kepemimpinan
Gambar 2
Soekarno, periode kepemimpinan
Kerangka Konseptual
Soeharto dan periode Reformasi.
Hubungan strategi yang Penanggulangan terorisme di Indonesia
digunakan dalam pendekatan dan teori mengalami perubahan (evolusi), sesuai
mengenai terorisme dan kontraterorisme dengan karakteristik organisasi yang
dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagai melakukan tindakan terorisme di
penjelasan, penelitian ini membahas Indonesia.
mengenai pentingnya dilaksanakan Dalam sebuah bagan, evolusi
proses disengegament yang menjadi inti gerakan terorisme di Indonesia dapat
dari strategi insulation yang penting digambarkan sebagai berikut:
dalam memotong alur aktivitas
terorisme. Strategi ini tidak dapat
berjalan sendiri karena selain berfokus
pada upaya preemptive, strategi
kontrateror juga menekankan pada
kekuatan posisi penegak hukum dan
peradilan.
Gambar 4
Analisis terhadap kelompok JI Evolusi Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Sumber: diolah oleh peneliti
dilakukan berdasarkan pendekatan
strategi counterterrorism seperti yang Penanggulangan tindakan
terlihat dari “model analisis”. terorisme pada periode kepemimpinan
Soekarno dilakukan dengan upaya hard
approach, dengan menggunakan
pendekatan militer, karena tindakan

International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 153


Andrea Abdul Rahman Azzqy

terorisme yang terjadi saat itu telah etnisitas dan ideologi agama untuk
mengancam eksistensi kedaulatan mendirikan negara atau memisahkan diri
negara. Sebagaimana pada masa dari NKRI, maka pada era reformasi,
kepemimpinan Soekarno, tindakan terorisme bersifat global – hal
penanggulangan tindakan terorisme pada ini tidak terlepas dari peristiwa 9/11 di
periode kepemimpinan Soeharto pun Amerika Serikat. Benih-benih bagi
dilakukan melalui hard approach, tumbuhnya radikalisme yang mengarah
bahkan ada kecenderungan pada terorisme menemukan lahan subur
penanggulangan terorisme dini di beberapa wilayah di Indonesia yang
dilakukan oleh TNI AD (Kopassus) dilanda konflik sektarian, seperti yang
melalui Detasemen 81 (TNI Angkatan terjadi di Poso dan Maluku. Faktor
Darat, 2012), yang didukung oleh Badan transnasional berkembang pada era ini
Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan karena akses internasional yang semakin
Komando Operasi Keamanan dan terbuka. Hal ini terbukti melalui
Ketertiban (Kopkamtib). Pada era pengiriman para milisi ke Pakistan,
kepemimpinan Soeharto, Komando Afganistan, dan Mindanao (Filipina)
Teritorial TNI memiliki peran yang serta berbaur dengan masyarakat lokal
penting dan dianggap sangat efektif dan jaringan milisi Laskar Jihad (Hasan,
dalam memantau dan melakukan 2002).
tindakan pendeteksian dini dari berbagai Pada masa tiga rezim pertama era
macam aktivitas yang dapat mengancam reformasi – yakni masa kepemimpinan
dan mengganggu eksistensi negara. BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati –
Kopkamtib tersebut pada tahun 1980-an penanggulangan terorisme masih
diganti menjadi Badan Koordinasi menggunakan hard approach melalui
Pemantapan Stabilitas Nasional pendekatan militer, tetapi pada masa
(Bakortanas). Namun lembaga tersebut kepemimpinan Susilo Bambang
akhirnya dibubarkan pada saat Yudhoyono, penanggulangan terorisme
kepemimpinan Abdurrahman Wahid mengalami perubahan paradigma
(Gus Dur) (Fatwa, 2012). menjadi soft approach, dalam bentuk
Setelah itu terjadi pergeseran penegakan hukum. Pada masa
tindakan terorisme di Indonesia pada pemerintahan Presiden SBY, kerangka
masa reformasi. Jika pada era umum penanggulangan terorisme
kepemimpinan sebelumnya, aksi diterapkan melalui pendekatan langsung
terorisme lebih didasarkan pada faktor dan tidak langsung; berdasarkan lima
154 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

prinsip penegakan hukum, non- bertujuan untuk mengalahkan JI dan


diskriminasi, kerja sama internasional, mencegah jaringannya melakukan
demokrasi, dan partisipasi masyarakat upaya-upaya radikalisasi pada komunitas
(Yudhoyono, 2005). Dalam konteks ini, Muslim secara lebih jauh; demi menjaga
pendekatan langsung meliputi cita-cita kemerdekaan beragama, HAM,
penggunaan kekuatan peradilan, persatuan bangsa, demokrasi, dan
sedangkan pendekatan tidak langsung keadilan sosial di Indonesia. Hal ini
meliputi komunikasi strategis, penguatan berarti melindungi segenap komunitas
basis-basis masyarakat, dan hubungan Muslim di Indonesia dari pengaruh
internasional. radikal JI, melindungi Indonesia serta
Dengan adanya perubahan segenap asetnya dari serangan dan
paradigma tersebut, penanggulangan ancaman JI, memotong sumber-sumber
terorisme tidak melalui pendekatan pendanaan, rekrutmen, pelatihan, dan
militer lagi, tetapi melalui sistem jaringannya dengan kelompok lain, serta
peradilan pidana, di mana polisi – dalam menghancurkan infrastruktur JI.
hal ini Densus 88 – menjadi garda Prinsip pelaksanaan strategi
terdepan. Paradigma soft approach ini penanggulangan terorisme ini didasarkan
pun terlihat melalui tindakan-tindakan pada pencapaian empat tujuan strategis.
aparat yang bersifat pencegahan di mana Pertama, menekan ideologi JI dan
dalam penanggulangan tindak pidana mencegahnya meluas dan mempengaruhi
terorisme, kepolisian juga melaksanakan komunitas Muslim Indonesia secara
upaya pre-emptif yang ditujukan untuk lebih jauh. Kedua, meningkatkan
menangkal dan menghilangkan faktor- keamanan di Indonesia dan aset-asetnya
faktor kriminogen pada tahap sedini agar JI tidak dapat melancarkan serangan
mungkin. Di sinilah kepolisian juga tetap dan/atau ancaman serangan dan teror.
memerlukan upaya-upaya yang bersifat Ketiga, memotong sumber-sumber
intelijen dalam penanggulangan pendanaan, rekrutmen, pelatihan, dan
terorisme, berbeda dengan jaringannya dengan kelompok lain agar
penanggulangan tindak pidana umum JI tidak lagi dapat mengumpulkan aktor-
lainnya. aktor teroris baru. Terakhir,
Soft approach secara langsung menghancurkan infrastruktur JI untuk
maupun tidak langsung yang menjadi memusnahkan JI secara permanen.
pilihan strategi Indonesia menghadapi Berdasarkan pilihan kebijakan
terorisme, khususnya dalam kasus JI, dan strategi di atas, untuk mengantisipasi
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 155
Andrea Abdul Rahman Azzqy

dan menanggulangi ancaman terorisme untuk melakukan teror dengan kedok


JI, Indonesia pun menerapkan jihad. Ditangkapnya K.H. Abu Bakar
penanganan lebih efektif melalui upaya- Ba’asyir diharapkan akan mampu
upaya secara hard walaupun secara melumpuhkan gerak para teroris karena
simultan dapat juga diimbangi dengan tidak ada orang yang dianggap mampu
cara-cara soft. melindungi atau memberi arahan atas
gerakan-gerakan yang akan diambil atau
Metode Disengagement dalam disusun.
Penanggulangan Terorisme Jemaah Setelah terjadinya serangkaian
Islamiyah teror di Indonesia yang dimulai dari bom
1. Cut the Dragon’s Head Bali I sampai dengan sekarang, K.H.
Dari sebelum pertengahan 2002 Abu Bakar Ba’asyir beberapa kali
sampai setelah pertengahan 2002, cara ditangkap oleh pemerintah dan kembali
ini sudah dilakukan. Pada masa dibebaskan karena ternyata tidak
pemerintahan Presiden Soeharto, K.H. ditemukan bukti yang cukup atas
Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap keterlibatannya dengan gerakan
sebagai pemimpin spiritual JI ditangkap terorisme tersebut. Selain K.H. Abu
dan dijebloskan ke penjara. Waktu itu, Bakar Ba’asyir, beberapa pemimpin sel
K.H. Abu Bakar Ba’asyir dianggap yang ditangkap adalah Hambali,
membahayakan karena telah mendirikan pemimpin Mantiqi U’la yang menjadi
suatu organisasi bersama dengan K.H. koordinator untuk wilayah Malaysia dan
Abdullah Sungkar (almarhum) yang Singapura. Hambali ditangkap di
dinamakan Darul Islam. Darul Islam ini Ayutthaya, Thailand oleh CIA pada
adalah organisasi yang menginginkan tanggal 11 Agustus 2003. Oleh Polri
dibentuknya negara islam dengan dasar sendiri, Hambali sudah sekian lama
dakwah dan jihad. Darul Islam ini adalah diburu atas dugaan keterlibatannya
kelanjutan organisasi yang dulunya dalam 39 kasus pemboman di tanah air
dibentuk oleh Kartosuwiryo yang juga dari tahun 2000 hingga 2002.
menginginkan terbentuknya NII (Negara Berikutnya, Dr. Azahari tewas
Islam Indonesia) yang menggunakan ditembak polisi dalam sebuah
syariat Islam sebagai dasar hukumnya. penggerebekan di Batu, Malang,
Walaupun tidak terlibat langsung, K.H. November 2005 dan Noor Din Mohd
Abu Bakar Ba’asyir dianggap Top yang juga tewas dalam
memberikan dukungan maupun inspirasi penggerebekan di Kampung Beji,
156 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

Kecamatan Kedu, Kabupaten kelompok-kelompok non-ideologis,


Temanggung pada Agustus 2009. Dr. seperti kelompok kriminal atau preman.
Azahari dan Noor Din Mohd Top Konteks JI internasional sejauh ini
merupakan dua gembong teroris asal terlihat dalam aspek pasokan logistik
Malaysia yang menjadi otak dari banyak senjata dari Filipina selatan seperti
peristiwa pengeboman di Indonesia. dalam kasus kelompok Abu Umar,
kemudian jalur logistik ini akhirnya
2. Cut the Funding Chain diputuskan oleh pemerintah Indonesia
Dalam gerakan apapun, sumber yang bekerja sama dengan pemerintah
dana ini sangat penting karena Filipina.
dibutuhkan untuk menjalankan operasi-
operasi. Dalam kegiatan terorisme, 4. Cut the Potential Member or
pendanaan ini sangat dibutuhkan untuk Recruitment
membiayai operasi teror. Namun Ketika penangkapan terhadap
berdasarkan informasi dari PPATK, tokoh-tokoh terorisme dilakukan,
penelusuran terhadap aliran dana kepada sebaiknya diadakan pemetaan terhadap
nama-nama yang dianggap merupakan orang-orang terdekat tokoh-tokoh
jaringan teroris, berasal dari sumber- tersebut, misalnya keluarganya
sumber di dalam negeri yang jumlahnya (istri/suami, anak, adik, ayah, ibu,
hanya puluhan juta rupiah tapi keponakan, sepupu, ipar), sahabat karib,
intensitasnya cukup tinggi. Ke depannya, anggota satu perkumpulan; karena
pemerintah dapat menggunakan orang-orang ini berpotensi mendapatkan
informasi dari PPATK untuk memotong siraman ideologi sehingga dikhawatirkan
jalur ini dengan tujuan untuk memiliki kesamaan persepsi dengan
melumpuhkan kegiatan terorisme. tokoh teroris. Pemutusan rantai anggota
potensial ini diharapkan dapat memutus
3. Cut the Logistics penyebaran ideologi sehingga paham-
Karakter jejaring (network), paham Islam seperti jihad yang dimaknai
khususnya jejaring terorisme, memang dengan keliru tidak terwujud menjadi
tidak akan pernah statis, tetapi akan terus aksi teror yang merugikan.
berubah menyesuaikan dengan situasi.
Salah satu catatan penting adalah 5. Cut the Ideology
kecenderungan saat ini terjadi irisan Pemutusan rantai ideologi ini
jejaring kelompok teror dengan berarti mengganti ideologi/pemahaman
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 157
Andrea Abdul Rahman Azzqy

yang dianut oleh para teroris. Apabila Law Enforcement and Anti Terrorism
akan dilakukan upaya pemutusan Justice Model
ideologi, kita harus sudah siap dengan Berlawanan arah dari spektrum
ideologi penggantinya karena ini akan perang, kita bergerak menuju spektrum
dilakukan propaganda bahwa ideologi penegakan hukum dalam penanganan
inilah sebenarnya yang baik, yang patut masalah terorisme. Dalam spektrum ini,
dianut dan akan disebarkan secara kita berbicara masalah peraturan
berkesinambungan. Pihak-pihak yang perundang-undangan yaitu dengan
disasar dari program ini adalah anggota- memberlakukan kembali undang-undang
anggota teroris baik yang sudah fanatik subversif dengan beberapa penyesuaian.
maupun yang masih labil, calon-calon Seperti halnya menggunakan undang-
anggota potensial, maupun masyarakat undang keamanan negara yang sangat
umum yang lingkungannya mungkin ketat untuk menangkal munculnya bibit-
berdekatan dengan domisili para tokoh- bibit terorisme dan radikalisme, seperti
tokoh teroris. Ideologi kaum radikal yang telah diterapkan oleh Malaysia dan
yang dianut oleh JI dan Al-Qaeda itu Singapura melalui Internal Security Act.
sebagai ideologi yang sangat serius dan Menangkap orang tanpa diadili
canggih, namun bahasa yang dipakai dan tanpa batas waktu adalah salah satu
adalah bahasa ‘âmmiyyah (umum), di inti dari UU Subversif, dengan beberapa
mana semua orang bisa leluasa pembaharuan terhadap undang-undang
memahami. Bahkan, ketika menghadapi tersebut dan koridor hukum khusus yang
ideologi semacam itu, kita dituntut untuk menangani masalah terorisme agar UU
berhati-hati. Jangan dikira ideologi Subversif yang dikhususkan dalam
mereka dangkal. Mereka mempunyai pemberantasan terorisme menjadi
ideologi yang sangat hebat. Salah satu undang-undang yang keras tetapi
cara sederhana untuk menantang konsep proporsional. Karena segala macam
radikal yang dianut oleh anggota tindakan dan perbuatan yang jelas-jelas
kelompok JI ataupun Al-Qaeda adalah mengarah kepada aksi terorisme dan
menggunakan pemerintah Indonesia radikalisme bisa dijerat dengan pasal ini,
untuk “Meniadakan ketidakadilan sosial dengan mengacu kepada UU yang
dan ekonomi”, karena konsep berkaitan sehingga pasal atau UU
memakmurkan rakyat sama artinya Subversif model baru ini tidak rentan
dengan salah satu memutus mata rantai untuk disalahgunakan. Dalam
radikalisme dan terorisme. penanggulangan terorisme di Indonesia
158 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

melalui Sistem Peradilan Pidana (SPP), menjadi penyebabnya terhadap


ada empat institusi yang terkait di penanganan tindak pidana terorisme di
dalamnya, yaitu Kepolisian yang dalam Indonesia sebagai bentuk pendekatan
hal ini ditangani oleh Densus 88, penegakan hukum (Enhanced Criminal
Kejaksaan RI yang dalam hal ini Justice Model) ditinjau dari perspektif
ditangani oleh Satuan Tugas Tindak manajemen, sebagai berikut:
Pidana Terorisme dan Tindak Pidana
Lintas Negara lainnya, Pengadilan, dan 1. Planning (Perencanaan)
Lembaga Pemasyarakatan. Dalam tahap perencanaan di sini
Pendekatan penegakan hukum bahwa penegakan hukum terhadap
yang digunakan dalam rangka tindak pidana terorisme di Indonesia
memberantas terorisme pun tidak dapat merupakan salah satu upaya yang
murni dengan menggunakan penegakan dilakukan dalam rangka menanggulangi
hukum (Criminal Justice Model). Hal ini terorisme. Di mana penanganan tindak
disebabkan karena tindak pidana pidana terorisme dijalankan dengan
terorisme yang merupakan kejahatan luar Sistem Peradilan Pidana (SPP) Terpadu,
biasa, yang harus secara aktif melakukan di mana keempat instansi di dalamnya
upaya-upaya yang bersifat pre-emptive. sudah berkomitmen dengan tujuan SPP,
Di sinilah peranan intelijen juga harus yaitu menanggulangi terorisme dengan
dikedepankan oleh kepolisian (Densus cara membuat jera para pelaku tindak
88) dalam rangka melakukan upaya pre- pidana terorisme dan selanjutnya
emptive, yang ditujukan untuk membina para pelaku sehingga mereka
menangkal dan menghilangkan faktor- dapat memperbaiki diri dan tidak
faktor kriminogen pada tahap sedini mengulangi tindak pidana yang sama,
mungkin. Oleh karena itu, strategi sehingga dapat diterima kembali di
penanggulangan terorisme di Indonesia tengah-tengah masyarakat.
lebih tepat dengan pendekatan Enhanced Hal ini juga diharapkan bahwa
Criminal Justice. Selain itu, berdasarkan penanggulangan terorisme dapat
data-data penelitian yang diperoleh, dilaksanakan dengan optimal dan dapat
ternyata banyak permasalahan yang sinergi dilaksanakan dengan kegiatan-
timbul yang mengakibatkan penanganan kegiatan lainnya di luar penegakan
tindak pidana terorisme menjadi tidak hukum dalam rangka penanggulangan
optimal. Peneliti menganalisis terorisme, tetapi pada kenyataannya hal
permasalahan-permasalahan dan yang tersebut tidak dapat terlaksana sesuai
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 159
Andrea Abdul Rahman Azzqy

dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh • Kepolisian, dalam hal ini Densus 88
SPP Terpadu. Hal ini disebabkan Polri yang bertugas melakukan
beberapa hal sebagai berikut: penyidikan perkara-perkara tindak
• Berdasarkan data-data yang pidana terorisme di seluruh
diperoleh oleh peneliti dari Densus Indonesia.
88 Polri dan Satgas TP Terorisme • Kejaksaan, dalam hal ini Satgas TP
dan TPLN Kejaksaan Agung RI, Terorisme dan TPLN Kejaksaan
kasus tindak pidana terorisme sejak Agung yang bertugas melakukan
tahun 2004 sampai sekarang penuntutan perkara-perkara tindak
cenderung meningkat. pidana terorisme di seluruh
• Berdasarkan data yang diperoleh dari Indonesia. Dikarenakan yang
Densus 88 Polri dan Ditjen melakukan penyidikan perkara
Pemasyarakatan, bahwa ada 21 orang tindak pidana terorisme adalah
mantan napi terorisme yang kembali Densus 88 Polri yang berada
melakukan tindak pidana yang sama dibawah langsung kewenangan
(residivis). Mabes Polri, dengan adanya “asas
• Selain itu berdasarkan data yang kesetaraan” penanganan perkara
diperoleh dari Ditjen tindak pidana, maka proses
Pemasyarakatan dan BNPT, ada dua penuntutan harus ditangani oleh
orang pegawai Lapas yang akhirnya Kejaksaan Agung, yaitu Satgas TP
ikut melakukan tindak pidana Terorisme dan TPLN.
terorisme. • Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan
Negeri yang bertugas dan berwenang
2. Organizing (Pengorganisasian) menyidangkan perkara-perkara
Pengorganisasian dalam rangka terorisme. Telah dijelaskan
penegakan hukum terhadap tindak sebelumnya bahwa ada terobosan
pidana terorisme, sebelumnya telah baru yang telah dibuat, di mana
dijelaskan oleh peneliti bahwa ada empat untuk memudahkan proses
lembaga/instansi terkait dalam Sistem persidangan perkara tindak pidana
Peradilan Pidana dalam rangka terorisme, maka Penuntut Umum
penegakan hukum terhadap tindak mengajukan permohonan kepada
pidana terorisme. Lembaga-lembaga Mahkamah Agung untuk dapat
tersebut adalah sebagai berikut: menyidangkan perkara-perkara

160 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)


Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

tindak pidana terorisme di seluruh


Indonesia di pengadilan negeri yang
ada di dalam wilayah DKI Jakarta.
Selanjutnya Mahkamah Agung
mengeluarkan Surat Keputusan
Mahkamah Agung RI (SKMARI)
tentang penunjukan Pengadilan
Negeri tertentu yang berada di Gambar 5
Penegakan Hukum Tindak Pidana Terorisme di
wilayah DKI Jakarta untuk Indonesia
Sumber: diolah sendiri oleh peneliti berdasarkan
memeriksa dan memutus perkara data-data yang diperoleh
pidana atas terdakwa tindak pidana
terorisme tertentu, sebagaimana yang Tiga instansi dalam SPP, yaitu

diajukan oleh Penuntut Umum. Densus 88, Satgas TP Terorisme

• Lembaga Pemasyarakatan, dalam hal Kejaksaan, dan Pengadilan, menyatakan

ini yang mempunyai tugas dan bahwa penanganan tindak pidana

memiliki kewenangan dalam terorisme dalam rangka penegakan

melakukan pembinaan dan hukum telah berhasil, dengan indikasi

deradikalisasi bagi narapidana jumlah perkara terorisme yang ditangani

terorisme, sehingga para narapidana dan telah diproses pidana meningkat

terorisme diharapkan dapat sampai tahun 2012. Akan tetapi,

memperbaiki diri dan tidak keberhasilan itu ternyata tidak

mengulangi tindak pidana serta dapat dinyatakan oleh instansi terakhir dalam

diterima kembali dalam lingkungan SPP yaitu Lapas. Lapas menyatakan

masyarakatnya. bahwa penanganan tindak pidana

Keempat lembaga tersebut terorisme dalam rangka penegakan

memiliki kewenangan sendiri-sendiri, hukum belum berhasil, karena belum ada

yang sangat dimungkinkan terjadi program pembinaan/deradikalisasi yang

permasalahan dalam koordinasi antara tepat di Lapas.

lembaga-lembaga tersebut. Hal tersebut


yang dapat mempengaruhi dan tidak 3. Directing (Pengarahan)

mencapai keterpaduan dalam Sistem Telah dijelaskan sebelumnya

Peradilan Pidana, sehingga tujuan yang bahwa adanya permasalahan-

hendak dicapai dalam perencanaan tidak permasalahan yang dialami oleh masing-

dapat dicapai. masing lembaga dalam SPP sehingga


International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 161
Andrea Abdul Rahman Azzqy

apa yang menjadi dicita-citakan tersebut sebenarnya tidak hanya berlaku


membentuk SPP Terpadu (Integrated untuk tindak pidana tertentu saja, tetapi
Criminal Justice System) belum dapat diberlakukan untuk seluruh bentuk
tercapai. Hal ini terjadi karena masih tindak pidana, sebagaimana yang telah
adanya ego sektoral dari masing-masing diatur dalam Undang-undang Nomor 8
instansi dalam SPP dalam menjalankan Tahun 1981 tentang Hukum Acara
fungsi dan wewenangnya, sehingga Pidana. Pengawasan ini penting
menyebabkan koordinasi antarinstansi dilakukan untuk mencegah terjadinya
menjadi terhambat. Walaupun kekeliruan atau penyalahgunaan
mekanisme koordinasi tersebut sudah wewenang dari lembaga-lembaga terkait,
diatur dengan jelas di dalam Undang- sehingga hak-hak pelaku dapat
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang terlindungi dalam kerangka HAM.
Hukum Acara Pidana. Bentuk pengawasan tersebut antara lain:
Permasalahan terpenting yang
ditemukan oleh peneliti adalah a. Pengawasan oleh Penuntut Umum
kurangnya koordinasi antara instansi- Satgas TP Terorisme dalam proses
intansi terkait, terutama masalah penyidikan yang dilakukan oleh
informasi mengenai kapasitas dari Densus 88 Polri
pelaku terorisme yang telah divonis Mekanisme koordinasi Densus
bersalah dan informasi mengenai 88 selaku penyidik dengan Satgas TP
keluarga pelaku. Hal ini menyebabkan Terorisme selaku Penuntut Umum,
Lembaga Pemasyarakatan menjadi bahwa penyidik dalam melakukan
kesulitan dalam melakukan asesmen penyidikan dan mempersiapkan berkas
kepada para pelaku yang akan masuk ke perkara seorang pelaku yang disangka
dalam Lapas untuk dilakukan pembinaan melakukan tindak pidana, mendapat
yang tepat sesuai dengan kapasitas dan pengawasan dari Penuntut Umum
tingkat radikal seorang pelaku tindak apakah proses penyidikan yang
pidana terorisme. dilakukan telah sesuai dengan ketentuan
hukum acara pidana yang telah
4. Controlling (Pengawasan) ditetapkan oleh undang-undang dan
Dalam proses manajemen apakah bukti-bukti yang diperlukan
penegakan hukum, ada proses untuk membuktikan bahwa pelaku
pengawasan yang dilakukan antar tersebut benar melakukan tindak pidana
lembaga dalam SPP. Pengawasan tersebut telah diperoleh dan
162 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

dikumpulkan melalui proses-proses yang yang terjadi dalam proses SPP, peranan
diatur dalam ketentuan perundang- BNPT sangat penting sebagai lembaga
undangan. koordinator. Di sini BNPT dapat
Fungsi dan tugas Penuntut berperan sebagai mediator dan
Umum di sini melakukan filter apakah koodinator dalam memberikan solusi
suatu perkara tindak pidana tersebut permasalahan yang dihadapi antara
layak atau tidak untuk disidangkan di lembaga-lembaga terkait dalam SPP.
depan persidangan. Fungsi kontrol dari Tetapi kenyataannya justru BNPT belum
Penuntut Umum ini sudah berjalan dapat menjalankan fungsinya sebagai
sebagaimana yang diatur dalam lembaga koordinator antara lembaga-
peraturan yang berlaku. lembaga terkait dalam SPP dalam hal
penegakan hukum terhadap tindak
b. Pengawasan oleh Hakim Pengawas pidana terorisme.
dan Pengamat (Wasmat) Seperti halnya masalah belum
Sebelumnya telah dijelaskan adanya program pembinaan yang tepat
bahwa peranan Hakim Wasmat ini bagi narapidana terorisme di Lapas,
belum dilaksanakan secara optimal seharusnya menjadi perhatian penting
khusus untuk perkara-perkara tindak bagi BNPT untuk menjadi lembaga
pidana terorisme. Sementara peranan koordinator dan pembuat kebijakan,
Hakim Wasmat dalam proses SPP sangat sehingga masalah program pembinaan
penting dalam hal pengawasan guna dan deradikalisasi di Lapas dapat
memperoleh kepastian bahwa putusan berjalan sesuai dengan rencana dan
pengadilan telah dilaksanakan tujuan dari SPP Terpadu. Apabila
sebagaimana mestinya dan terhadap rencana dan tujuan dari SPP Terpadu
kinerja Penuntut Umum dan Lapas. dapat tercapai, BNPT juga harus
Selain itu juga melakukan pengamatan melaksanakan fungsinya sebagai
mengenai pelaksanaan pembinaan bagi lembaga koordinator dan pembuat
para narapidana yang menjalankan kebijakan dalam rangka tercapainya
proses pemidanaan di Lapas. program deradikalisasi yang dibuat oleh
lembaga-lembaga terkait lainnya, bagi
c. BNPT para mantan narapidana yang telah
Telah dijelaskan pula kembali ke tengah-tengah masyarakat.
sebelumnya mengenai tugas dan fungsi
dari BNPT. Menghadapi permasalahan
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 163
Andrea Abdul Rahman Azzqy

yang terbagi dalam aksi teror berskala


rendah dengan pendadakan tinggi,
dengan aksi teror bersekala besar dengan
pendadakan strategis yang tinggi pula.
Dengan melakukan ketegorisasi atas aksi
teror, terutama aksi teror bom di
Gambar 6
Kelemahan Proses Penegakan Hukum Tindak Indonesia akan terlihat hubungan atau
Pidana Terorisme di Indonesia
Sumber: diolah sendiri oleh peneliti berdasarkan interkoneksi di dalam organisasi teror,
data-data yang diperoleh
yang akan menciptakan sistem

Kesimpulan peringatan dini jika tercium munculnya


Penanganan terorisme di oranisasi atau sel-sel radikal yang
Indonesia bisa dilakukan dengan berpotensi sebagai kelompok teror.
berbagai cara bergerak dari spektrum Inilah yang saya sebut sebagai “sistem
yang soft seperti deradikalisasi dan law yang berdampak eliminasi” dari
enforcement sampai dengan hard seperti kemungkinan terjadinya pendadakan
disengagement. Dalam kesimpulan ini, strategis ke Indonesia.
penulis menyarankan dua metode Dalam menghadapi ancaman
penanganan terorisme yang berkisar pendadakan strategis yang bersifat
dalam spektrum law enforcement (soft) ofensif/menyerang seperti terorisme,
dan war (hard). Metode tersebut adalah tidak harus dihadapi dengan langkah
disengagement (pemutusan rantai), ofensif juga mengingat kondisi bawaan
pemberlakuan UU Keamanan Dalam organisasi terorisme atau sel teror yang
Negeri (UU Subversif yang bergerak tersembunyi serta berhati-hati
diperbaharui), dan pengalihan ideologi atas kemungkinan exposure (terlihat
radikal menjadi kooperatif. secara jelas di dalam masyarakat). Untuk
Dalam hal analisis pendadakan memerangi aksi teror, pemerintah tidak
strategis aksi terorisme di Indonesia, perlu menciptakan badan koordinasi
dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk baru, lebih baik memperkuat yang sudah
menemukan sumber-sumber pendadakan ada, hal tersebut merupakan trik khusus
strategis dalam hal organisasi teror dan untuk memangkas jalur koordinasi dan
hubungannya antara pelakunya, menghemat biaya. Perlu penanganan
pengamat harus mengamati hirarki dan bersama antarlembaga keamanan; antara
distribusi informasi atas berbagai aksi otoritas polisi dan penjara; antara semua
contoh di atas dan pejabat lokal.
164 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

Dari perspektif penegakan Bandung: Citra Aditya Bakti,


hukum (Enhanced Criminal Justice 1998.
Model) dalam penanganan terorisme Arief, Barda Nawawi. Kebijakan
melalui Sistem Peradilan Pidana, di Legislatif dalam
mana terdapat empat subsistem yang Penanggulangan Kejahatan
tergabung di dalamnya, yaitu Kepolisian dengan Pidana Penjara.
(Densus 88), Kejaksaan (Satgas TP Semarang: Universitas
Terorisme dan TPLN), Pengadilan, dan Diponegoro, 2000.
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Arief, Barda Nawawi. Masalah
Keempat subsistem tersebut merupakan Penegakan Hukum dan
instansi yang berdiri sendiri-sendiri Kebijakan Penanggulangan
secara administratif. Dalam melakukan Kejahatan. Bandung: Citra
penanggulangan terorisme, diperlukan Aditya Bakti, 2001.
kerja sama yang erat dari keempat Badan Nasional Penanggulangan
instansi tersebut. Terorisme. Rencana Strategis
BNPT Tahun 2010-2014. Jakarta:
Daftar Pustaka Badan Nasional Penanggulangan
Buku Terorisme, 2011.
Ali, As’as Said. Ideologi Gerakan Chomsky, Noam. “Who are the Global
Pasca-Reformasi: Gerakan- Terrorists?”, dalam Ken Booth
gerakan Sosial-Politik dalam dan Tim Dunne (ed.). Worlds in
Tinjauan Ideologis. Jakarta: Collision: Terror and the Future
LP3ES, 2012. of Global Order. Basingstoke:
Ancel, Marc. Social Defence: A Modern Palgrave Macmillan, 2002.
Approach to Criminal Problems. Connetta, Carl. Terrorism, World Order
London: Routledge & Kegan and Comparative Security.
Paul, 1965. Washington: The Project on
Anderson, James E. Public Defense Alternatives, 2002.
Policymaking. New York: Holt, Corbin, Jane. Al-Qaeda: In Search of the
Renehart and Winston, 1975. Terror Network that Threatens
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek the World. Thunder’s Mouth
Kebijakan Penegakan dan Press, 2002.
Pengembangan Hukum Pidana. Crelinsten, Ronald. Counterterrorism.
Cambridge: Polity Press, 2009.
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 165
Andrea Abdul Rahman Azzqy

Cronin, Audrey Kurth. How Terrorism Kilcullen, David. Counterinsurgency.


End: Understanding the Decline New York: Oxford University
and Demise of Terrorist Press, 2010.
Campaigns. New Jersey: Laqueur, Walter. The New Terrorism:
Princeton University Press, 2009. Fanaticism and the Arms of Mass
Dunn, William N. Pengantar Analisis Destruction. New York: Oxford
Kebijakan Publik. Yogyakarta: University Press, 1999.
Gadjah Mada University Press, Mardenis. Pemberantasan Terorisme:
1999. Politik Internasional dan Politik
Garner, Bryan A. (ed.). Black’s Law Hukum Nasional Indonesia.
Dictionary. St. Paul: West Jakarta: RajaGrafindo Persada,
Group, 2009. 2011.
Golose, Petrus Reinhard. Deradikalisasi Masyhar, Ali. Gaya Indonesia
Terorisme: Humanis, Soul Menghadang Terorisme: Sebuah
Approach, dan Menyentuh Akar Kritik atas Kebijakan Hukum
Rumput. Jakarta: YPKIK, 2009. Pidana terhadap Tindak Pidana
Golub, Gene H. dan Charles F. Van Terorisme di Indonesia.
Loan. Matrix Computations. Bandung: Mandar Maju, 2009.
Third Edition. Baltimore: John Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian
Hopkins University Press, 1996. Kualitatif. Bandung: Remaja
Hakim, Luqman. Terorisme di Rosdakarya, 2010.
Indonesia. Surakarta: Forum Muhammad, Rusli. Sistem Peradilan
Studi Islam Surakarta, 2004. Pidana Indonesia. Yogyakarta:
Hardiman, F. Budi. “Terorisme: UII Press, 2011.
Paradigma dan Definisi”, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-
Rusdi Marpaung dan Al Araf, teori dan Kebijakan Pidana.
(ed.). Terorisme: Definisi, Aksi, Bandung: Alumni, 1984.
dan Regulasi. Jakarta: Koalisi Muladi. Demokrasi, HAM dan Reformasi
untuk Keselamatan Masyarakat Hukum di Indonesia. Jakarta: The
Sipil, 2003. Habibie Center, 2002.
Husaini, Adian. Jihad Osama Versus Muradi. Penantian Panjang Reformasi
Amerika. Jakarta: Gema Insani Polri. Yogyakarta: Tiara
Press, 2001. Wacana, 2009.

166 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)


Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

Murphy, John F. State Support of the Social Sciences. New York:


International Terrorism: Legal, Teachers College Press,
Political and Economic Columbia University, 2006.
Dimensions. Boulder: Westview, Strauss, Anselm dan Juliet Corbin.
1989. Dasar-dasar Penelitian
Pujayanti, Adirini. Kebijakan Luar Kualitatif: Tatalangkah dan
Negeri Pemerintah Bush Teknik-teknik Teoritisasi Data.
Terhadap Terorisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Internasional. Jakarta: Pusat 2009.
Pengkajian dan Pelayanan Subarsono, A.G. Analisis Kebijakan
Informasi (P3I), 2002. Publik: Konsep, Teori dan
Purwanto, Erwan Agus, dan Dyah Ratih Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Sulistyastuti. Metode Penelitian Pelajar, 2011.
Kuantitatif untuk Administrasi Wahid, Abdul, Sunardi, dan Muhammad
Publik dan Masalah-Masalah Imam Sidik. Kejahatan
Sosial. Yogyakarta: Gava Media, Terorisme: Perspektif Agama,
2007. HAM dan Hukum. Bandung:
Purwanto, Wawan H. Satu Dasawarsa Refika Aditama, 2004.
Terorisme di Indonesia. Jakarta: Wenas, S.Y. Korps Brimob Polri dalam
CMB Press, 2012. Aktualisasi Motto Jiwa Ragaku
Rabasa, Angel et al. Deradicalizing demi Kemanusiaan. Jakarta:
Islamic Extremist. Santa Monica: PTIK Press, 2006.
RAND Corporation, 2010. Whittaker, David J. The Terrorism
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Reader. London: Routledge,
Manusia dalam Sistem Peradilan 2001.
Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme:
Keadilan dan Pengabdian Hukum Kebijakan Formulatif Hukum
UI, 1999. Pidana dalam Penanggulangan
Saul, Ben. Defining Terrorism in Tindak Pidana Terorisme di
International Law. New York: Indonesia. Yogyakarta: Graha
Oxford University Press, 2006. Ilmu, 2012.
Seidman, Irving. Interviewing as Winarno, Budi. Kebijakan Publik: Teori,
Qualitative Research: A Guide Proses dan Studi Kasus.
for Research in Education and Yogyakarta: CAPS, 2012.
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 167
Andrea Abdul Rahman Azzqy

Jurnal Evans, Gareth. “Building International


“A Process in Need of Clarity and a Defenses Against Terrorism”.
Counterterrorism Iniatiative in Georgetown Journal of
Need of Evaluation”. International Affairs (Winter/
Perspectives on Terrorism, Vol. Spring 2002).
II, Issue 4 (Februari 2008), hal. 4. Haryono, Endi. “Kebijakan Anti-
“Bumpy Road Ahead for Revisions to Terorisme Indonesia: Dilema
Terrorism Law”. Concord Demokrasi dan Represi”. Jurnal
Strategic, Vol. 1, Issue 1 (Maret Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.
2012), hal. 13-18. 14, No. 2 (November 2010), hal.
Adamson, Fiona B. “Global Liberalism 229-232.
versus Political Islam: Hoffman, Bruce. “The Changing Face of
Competing Ideological Al Qaeda and the Global War on
Frameworks in International Terrorism”. Studies in Conflict &
Politics”. International Studies Terrorism, Vol. 27, No. 6 (2004),
Review, Vol. 7, No. 4 (2005), hal. hal. 549-560.
547-569. Krebs, Valdis E. “Mapping Networks of
Baker, Wayne E. dan Robert R. Terrorist Cells”. Connections,
Faulkner. “The Social Vol. 24, No. 3 (2002), hal. 43-52.
Organization of Conspiracy: Kusumah, Mulyana W. “Terorisme
Illegal Networks in the Heavy dalam Perspektif Politik dan
Electrical Equipment Industry”. Hukum”. Jurnal Kriminologi
American Sociological Review, Indonesia, Vol. 2 No. 3
Vol. 58, No. 6 (Desember 1993), (Desember 2002), hal. 25.
hal. 837-860. Mishal, Shaul dan Maoz Rosenthal. “Al
Banks, William C. “Alternative Views of Qaeda as a Dune Organization:
the Terrorist Threat”. Toward a Typology of Islamic
International Studies Review, Organizations”. Studies in
Vol. 7, No. 4 (2005), hal. 669- Conflict & Terrorism, Vol. 28,
684. No. 4 (2005), hal. 275-293.
Dempsey, Gary T. “Old Folly in a New Muladi. “Hakekat Terorisme dan
Disguise: Nation Building to Beberapa Prinsip Pengaturan
Combat Terrorism”. Policy dalam Kriminalisasi”. Jurnal
Analysis, Vol. 21, No. 3 (2002). Kriminologi Indonesia FISIP UI,
168 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

Vol. 2, No. 3 (Desember 2002), to Ex Radicals and Families.


hal. 4. Jakarta: INSEP, 2012.
Palat, Ravi Arvind dan Mark Selden. Darby, R. Approaches and
“9/11, War without Respite, and Developments in Change
the New Face of Empire”. Management. United Kingdom:
Critical Asian Studies, Vol. 35, Cranfield University, 2012.
No. 2 (2003), hal. 163-174. Dugis, Vinsensio. Indonesian Foreign
Putri, Rima Sari Indra. “Kerjasama Policy after Soeharto: Domestic
Badan Nasional Penanggulangan Politics and Public Influence on
Terorisme dan Civil Society: Indonesian Foreign Policy
Suatu Kasus Mengenai Making, 1998-2004. Disertasi
Ketidakterlibatan Muhammadi- Flinders Asia Centre, School of
yah”. Jurnal Pertahanan, Vol. 2, Political and International
No. 2 (Mei 2012), hal. 43-76. Studies, Flinders University,
Vermonte, Philips J. “Isu Terorisme dan (2006).
Human Security: Implikasi Fitz-Gerald, A.M. Security Sector
terhadap Studi dan Kebijakan Governance Module. United
Keamanan”. Global, 28 (2003). Kingdom: Cranfield University,
2012.
Dokumen Lain Hermanto, Siti Larasati. Politik Hukum
Aranoval, M.A. Sistem Manajemen dan Kerja sama Internasional
Pemasyarakatan dalam dalam Penanggulangan
Penanganan Narapidana Terorisme Pasca Tragedi 11
Teroris. Jakarta: Center for September 2001 dan
Detention Studies, 2012. Implementasinya di Indonesia.
Asshiddiqie, Jimly. “Penegakan Skripsi Fakultas Hukum
Hukum”, dalam Bahan Kuliah Universitas Andalas (2011).
Politik Hukum Program International Crisis Group. “Indonesia:
Pascasarjana FHUI. Jakarta: UI Noordin Top’s Support Base”.
Press, 2004. Update Briefing (27 Augustus
Baedowi, A. How Corporate Social 2009).
Responsibility Contributes to Maley, Tom. Democratic Responses to
Support Re-Education Program Terrorism. United Kingdom:
Cranfield University, 2011.
International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 169
Andrea Abdul Rahman Azzqy

Maley, Tom. The Origins of Terrorism: Rencana Pembangunan Jangka


Ancient Roots and its Menengah Nasional Tahun 2010-
Development to 1945. United 2014.
Kingdom: Cranfield University, Reksodiputro, Mardjono.
2011. “Pengembangan Pendekatan
Maley, Tom. What is Terrorism? Issues Terpadu dalam Sistem Peradilan
of Definition. United Kingdom: Pidana: Suatu Pemikiran Awal”.
Cranfield University, 2011. Majalah Hukum Nasional,
Mudzakkir. Handout Filsafat BPHN, No. 2 (1988), hal. 79.
Pemidanaan. Jakarta: Universitas Sekab. Rencana Pembangunan Jangka
Indonesia, 2004. Menengah Nasional Tahun 2010-
Peraturan Jaksa Agung Republik 2014. Jakarta: Sekab, 2010.
Indonesia Nomor PER- Senen, Ansori. Penyelesaian Perkara
036/A/JA/09/2011 tentang Tindak Pidana Terorisme
Standar Operasional Prosedur Menurut Sistem Peradilan
(SOP) Penanganan Perkara Pidana. Tesis Fakultas Hukum
Tindak Pidana Umum. Universitas Diponegoro (2008).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Suryaningtyas, Lintang. Nilai Laporan
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Intelijen sebagai Bukti
Perubahan atas Peraturan Permulaan dalam Kasus Tindak
Presiden Republik Indonesia Pidana Terorisme. Skripsi
Nomor 46 Tahun 2010 tentang Fakultas Hukum Universitas
Badan Nasional Penanggulangan Indonesia (2004).
Terorisme. Syaiful, Reza Ahmad. Pembentukan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Badan Gabungan Khusus untuk
Nomor 41 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Teror di
Kebijakan Umum Pertahanan Indonesia. Tesis Fakultas Ilmu
Negara Tahun 2010-2014. Sosial dan Ilmu Politik
Peraturan Presiden Republik Indonesia Universitas Indonesia (2010).
Nomor 46 Tahun 2010 tentang Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
Badan Nasional Penanggulangan tentang Pemasyarakatan
Terorisme. (Lembaran Negara Republik
Peraturan Presiden Republik Indonesia Indonesia Tahun 1995 Nomor 77,
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tambahan Lembaran Negara
170 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)
Aktivitas Sel Jemaah Islamiyah di Indonesia Periode 2002-2012

Republik Indonesia Nomor Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004


3614). tentang Perubahan atas Undang-
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Penetapan Peraturan tentang Peradilan Umum.
Pemerintah Pengganti Undang- United Nations Development
undang Nomor 1 Tahun 2002 Programme. Overview: Human
tentang Pemberantasan Tindak Development Report 1993. New
Pidana Terorisme, menjadi York: United Nations
Undang-undang (Lembaran Development Programme, 1993.
Negara Republik Indonesia Yudhoyono, Susilo Bambang.
Tahun 2003 Nomor 45, “Terrorism: A New Fight to
Tambahan lembaran Negara ASEAN”. Keynote speech dalam
Republik Indonesia Nomor pembukaan ASEAN Chief of
4284). Police (Aseanpol) Conference,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Denpasar, Bali (17 Mei 2005).
tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Internet
Republik Indonesia Tahun 2004 Alhumami, A. “Soft Power dan Soft
Nomor 6, Tambahan Lembaran Skills Melawan Terorisme”. Unit
Negara Republik Indonesia Pelaksana Teknis Badan
Nomor 4401). Informasi Teknologi LIPI, 14
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 September 2009.
tentang Kepolisian Negara http://www.bit.lipi.go.id/masyara
Republik Indonesia (Lembaran kat-
Negara Republik Indonesia literasi/index.php/komunitas/272
Tahun 2002 Nomor 2). (diakses pada tanggal 1 Juli
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 2012).
tentang Hukum Acara Pidana Fatwa, A.M. “Reformasi Nasional
(Lembaran Negara Republik Antara Harapan dan Kenyataan”.
Indonesia Tahun 1981, Nomor Kompasiana, 11 Juli 2012.
76, Tambahan Lembaran Negara http://sosbud.kompasiana.com/20
Republik Indonesia Nomor 12/07/11/reformasi-nasional-
3209). antara-harapan-dan-kenyataan/

International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017) 171


Andrea Abdul Rahman Azzqy

(diakses pada tanggal 28 Oktober (diakses pada tanggal 7 Juli


2012). 2012)
Gerald, A.F. dan W.D. MacNamara. “A Office of Security and Counter
National Security Framework for Terrorism. “Terrorism Act
Canada”. Institute for Research 2000”. Office of Security and
on Public Policy, 2002. Counter Terrorism, 2011.
http://www.irpp.org/pm/archive/p http://www.official-
mvol3no10.pdf (diakses pada documents.gov.uk/document/othe
tanggal 22 Juli 2012). r/9781849874427/978184987442
Hasan, Noorhaidi. “Faith and Politics: 7.pdf (diakses pada tanggal 30
The Rise of Laskar Jihad in the Juli 2012).
Era of Transition in Indonesia”. TNI Angkatan Darat. “Organisasi TNI
Cornell University, 2002. Angkatan Darat”. TNI Angkatan
http://cip.cornell.edu/DPubS?serv Darat, 2012.
ice=Repository&version=1.0&ve http://www.tniad.mil.id/organisas
rb=Disseminate&view=body&co i.php (diakses pada tanggal 28
ntent- Oktober 2012).
type=pdf_1&handle=seap.indo/1 VIVAnews. “4 Stategi Pemberantasan
106940156# (diakses pada Teroris Versi BNPT”. VIVAnews,
tanggal 28 Oktober 2012). 2 Agustus 2011.
Ishikawa, Kaoru. “Kaoru Ishikawa: The http://nasional.news.viva.co.id/ne
Man Behind the Fishbone ws/read/237532-4-stategi-
Diagram”. SkyMark’s pemberantasan-teroris-menurut-
Management Tools, 2012. bnpt (diakses pada tanggal 4
http://www.skymark.com/resourc Agustus 2011).
es/leaders/shikawa.asp (diakses Wells, S. “Force Field Analysis”. 2006.
pada tanggal 23 Desember 2012). http://www.freequality.org/docu
Laqueur, W. “Postmodern Terrorism: ments/knowledge/Mini-
New Rules for an Old Game”. Tutorial.pdf (diakses pada
Foreign Affairs, September 1996. tanggal 3 Januari 2012).
http://www.foreignaffairs.com/art
icles/52432/walter-
laqueur/postmodern-terrorism-
new-rules-for-an-old-game
172 International & Diplomacy Vol. 2, No. 2 (Januari-Juni 2017)

Anda mungkin juga menyukai