di Indonesia*
Hery Firmansyah**
Abstract Abstrak
Terrorism has become the most serious issue Terorisme adalah permasalahan yang
in Indonesia after terrorist attacks in Bali, sangat serius di Indonesia, pasca serangan
November 2002. With the current condition bom di Bali pada November 2002. Dengan
where Indonesia still faces a key risk of new keadaan sekarang di mana Indonesia masih
militant attacks with new cells and more menghadapi permasalahan serius serangan
bomb experts, this paper aims to analyse militan dengan jaringan baru dan lebih
the way Indonesian government fight against banyak ahli bom, tulisan ini bertujuan men-
terrorism. ganalisis cara yang ditempuh pemerintah
untuk melakukan penanggulangan tindak
pidana terorisme.
*
Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2010.
**
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
(e-mail: hery18_mendunia@yahoo.co.id).
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia 377
merupakan tindak pidana internasional yang telah mapan maupun yang telah
yang mempunyai jaringan luas, yang bergolak atau tidak stabil dan diidentifikasi
mengancam perdamaian dan keamanan sebagai “negara-negara gagal” (failed
nasional maupun internasional. Menyikapi states), tak luput dari ancaman munculnya
hal tersebut, tentunya diperlukan suatu gerakan dan aksi-aksi terorisme yang
langkah penanggulangan yang tepat oleh berskala internasional. Globalisasi yang
Pemerintah. telah berlangsung secara cepat belakangan
Terorisme merupakan jelmaan kejahat- ini juga telah mempermudah bertemu dan
an sistematik. Ibaratnya, kejahatan ini men- menyatunya ide-ide dan aksi-aksi terorisme
cerminkan sebuah lingkaran kekerasan internasional. Berdasarkan uraian diatas,
seperti kata Dom Helder Camara sebagai- penulisan hukum ini akan meneliti dan
mana yang dikutip oleh Thomas Santoso:1 mengkaji tentang “Upaya Penanggulangan
Bahwa yang melahirkan kekerasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”.
baru dan selanjutnya akan menjelma
menjadi kekuatan iblis yang gelap, yang B. Perumusan Masalah
mendiami sanubari manusia tak bersuara Bertolak dari uraian latar belakang
dalam mata hati. Mereka menjadi pem- masalah di atas maka terdapat permasalahan
bunuh berdarah dingin karena nuraninya yang perlu mendapatkan penelitian
telah mati akibat cinta kasih yang hilang.
dan pengkajian terkait dengan upaya
Riset telah menunjukkan bahwa unsur
terpenting terorisme , yang membuatnya penanggulangan tindak pidana terorisme
menjadi suatu strategi yang demikian di Indonesia, yaitu “Bagaimana langkah-
kuat dalam situasi tertentu, adalah langkah yang dilakukan oleh pemerintah
efektifitasnya dalam menimbulkan dalam upaya penanggulangan terhadap
kondisi ketakutan yang sangat menonjol tindak pidana terorisme?”
meskipun terhadap mereka yang secara
tidak langsung atau secara kebetulan
C. Metode Penelitian
menjadi objek serangan teroris.
Bahan-bahan hukum yang diperguna-
Perang melawan terorisme merupakan kan berupa bahan hukum primer dan
tantangan besar bagi dunia pasca perang sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan
dingin. Sekalipun sebenarnya terorisme hukum yang berhubungan erat dengan
bukanlah merupakan masalah baru, permasalahan yang diteliti. Bahan hukum
melainkan masalah yang telah ada sejak primer terdiri dari Kitab Undang-undang
beberapa dasawarsa dan bahkan abad Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hu-
lalu, namun ia menjadi ancaman global kum Acara Pidana, Perppu Nomor 1 Tahun
yang menakutkan sejak tahun-tahun awal 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
berakhirnya perang dingin. Pemerintah Terorisme, Undang-undang Nomor 15 Tahun
baik di negara maju maupun berkembang, 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme,
dan bahkan terbelakang, ataupun di negara serta konvensi, resolusi, dan peraturan
1
Thomas Santoso, 2002, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 17.
378 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 - 429
perundang-undangan yang berkaitan dengan termasuk definisi terorisme itu sendiri. Itulah
terorisme dan upaya penanggulangannya. sebabnya yang pertama kali perlu kita bahas
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum adalah definisi dari terorisme.
yang memberikan penjelasan yang lebih Istilah teroris “terroris” (pelaku)
lanjut mengenai hal-hal yang telah dikaji dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin
oleh bahan- bahan hukum primer. Bahan “terrere” yang kurang lebih berarti membuat
hukum sekunder terdiri dari buku-buku gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’
tentang hukum pidana, buku-buku yang juga bisa menimbulkan kengerian. Dalam
membahas tentang terorisme dan upaya Black Laws Dictionary seperti yang dikutip
penanggulangannya, dokumen dan data yang oleh Muladi:2
diperoleh melaui internet, serta majalah, Dikatakan bahwa tindak pidana teror-
surat kabar, tulisan ilmiah yang berkaitan isme adalah kegiatan yang melibatkan
dengan materi penelitian. unsur kekerasan atau yang menimbulkan
efek bahaya bagi kehidupan manusia
Bahan hukum tersier yaitu bahan
yang melanggar hukum pidana, dan jelas
hukum yang memberikan penjelasan dimaksudkan untuk mengintimidasi pen-
terhadap bahan hukum primer dan bahan duduk sipil; mempengaruhi kebijakan
hukum sekunder yang meliputi Kamus pemerintah; mempengaruhi penyeleng-
Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, garaan Negara dengan cara penculikan
dan bahan-bahan tertulis lain yang relevan dan pembunuhan.
berupa kamus dan ensiklopedia. Pengertian terorisme untuk pertama
kali dibahas dalam European Convention
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan on the Suppression of Terrorism (ECST) di
Terorisme belakangan ini menjadi Eropa tahun 1977 terjadi perluasan para-
suatu fenomena modern dan telah menjadi digma arti dari Crime against State menjadi
fokus perhatian berbagi organisasi Crime against Humanity. Crime against
internasional, berbagai kalangan dan negara. Humanity meliputi tindak pidana yang
Ketika kekuatan imperealisme, rasisme, dilakukan untuk menciptakan suatu keadaan
dan zionisme mulai mempropagandakan yang mengakibatkan individu, golongan, dan
terminologi terorisme ke dalam perbincangan masyarakat umum ada dalam suasana yang
politik serta berbagai bidang lainnya, maka mencekam. Terorisme dikategorikan sebagai
kaum tersebut telah mencampuradukkan suatu sebagai bagian serangan yang meluas
dengan sengaja dua fenomena yang berbeda atau sistematik, serangan itu ditujukan se-
secara substantial, yaitu kriminalitas cara langsung terhadap penduduk sipil,
terorisme dan perjuangan perlawanan suatu lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang
bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri. yang tidak bersalah (public by innocent)
Hal ini telah menimbulkan bias dalam sebagaimana halnya terjadi di Bali. Seruan
metode penanganan masalah terorisme, diperlukannya suatu perundang-undangan
2
Muladi, 2002, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Center, Jakarta,
hlm. 173.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia 379
3
Magnis Suseno, “Komitmen Bersama bagi Koruptor”, Sinar Harapan. 2002.
380 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 - 429
Meskipun belum ada kesepakatan di ka- nimbulkan suasana teror atau rasa
langan pakar, perumusan tindak pidana takut terhadap orang secara meluas
terorisme memang sebaiknya merupakan atau menimbulkan korban yang ber-
sifat massal, dengan cara merampas
hasil kajian dari berbagai konvensi
kemerdekaan atau hilangnya nyawa
internasional baik yang telah maupun dan harta benda orang lain, atau meng-
belum diratifikasi. Selain itu, pengaturan akibatkan kerusakan atau kehan-
tindak pidana terorisme perlu menempuh curan terhadap objek-objek vital yang
sistem global serta komprehensif dan sistem strategis atau lingkungan hidup atau
kompromi yang memuat kebijakan kriminal fasilitas publik atau fasilitas interna-
sional.
bersifat luas, preventif, represif, dan
beberapa acara yang bersifat khusus, seperti Menurut Wilkinson Tipologi terorisme
peradilan in absentia, dipergunakannya yang dikutip dari Juliet Lodge ada beberapa
alat bukti elektronik, dan sebagainya, tanpa macam, antara lain:
mengesampingkan promosi dan perlin- 1. Terorisme epifenomenal (teror
dungan HAM serta pengaturan perlindung- dari bawah) dengan ciri-ciri tak
an saksi, pelapor, korban kejahatan, dan terencana rapi, terjadi dalam konteks
penggunaan sistem hearing.4 perjuangan yang sengit;
2. Terorisme revolusioner (teror dari
1. Karakteristik atau Ciri Terorisme bawah) yang bertujuan revolusi
Terorisme memiliki beberapa ciri atau perubahan radikal atas sistem
yang mendasar, dan antara lain: kegiatan yang ada dengan ciri-ciri selalu
terorisme dilakukan dengan cara-cara ke- merupakan fenomena kelompok,
kerasan (contoh pengeboman, penyan- sturuktur kepemimpinan, program
deraan, dan lain-lain) untuk memaksakan ideologi, konspirasi, elemen para
kehendaknya, dan cara tersebut merupakan militer;
sebagai sarana (bukan merupakan tujuan), 3. Terorisme subrevolusioner (teror
sasaran serangannya adalah tempat-tempat dari bawah) yang bermotifkan
umum atau objek vital seperti pusat-pusat politis, menekan pemerintah untuk
perbelanjaan, bandara, stasiun. Korbannya mengubah kebijakan atau hukum,
pun tidak dipilih-pilih, dan kegiatannya perang politis dengan kelompok
sangat profesional untuk dilacak jejaknya. rival, menyingkirkan pejabat
Ciri-ciri terorisme yang terdapat dalam tertentu yang mempunyai ciri-ciri
Pasal 6 Undang-undang Pemberantasan dilakukan oleh kelompok kecil,
Tindak Pidana Terorisme adalah sebagai bisa juga individu, sulit diprediksi,
berikut: kadang sulit dibedakan apakah
suatu perbuatan yang dilakukan psikopatologis atau criminal;
dengan sengaja menggunakan ke- 4. Terorisme represif (teror dari
kerasan atau ancaman kekerasan me- atas atau terorisme negara) yang
4
Muladi, “Belum Mencakup State Terrorism”, www.sijoripos.com.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia 381
5
Muladi, 2002, Op. Cit., hlm. 15.
382 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 - 429
6
Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Hukum,
HAM, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 40.
7
Kompas, 2 November 2001.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia 383
8
A. Patra M. Zen, “Terorisme: Standard Hukum Internasional”, www.hukumonline.com.
384 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 - 429
9
State terror, adalah aksi teror yang dilakukan oleh penguasa suatu terhadap rakyatnya untuk membentuk
perilaku dari segenap lapisan masyarakat. Contohnya antara lain, Kaisar Nero dan Idi Amin di Uganda.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia 385
10
Pandangan ini sering diungkapkan oleh pemimpin negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara
maju, khususnya para pemimpin negara islam.
11
Pandangan ini sering dikemukakan oleh pemimpin negara-negara maju.
386 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 - 429
eksistensi multi agama dan multi etnik dan warga masyarakat; penggarapan kesehatan
hidup berdampingan secara damai. jiwa melalui pendidikan formal, agama
Strategi penanggulangan terorisme dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha
yang dilakukan oleh Pemerintah di- kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan
implementasikan melalui upaya preventif, patroli dan usaha pengawasan lainnya dan
preemtif, dan represif. sebagainya.
i. Upaya Preventif Tujuan dari usaha-usaha non penal
Mengingat keterbatasan dari upaya adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial
penal maka perlu adanya penanggulangan tertentu, namun secara tidak langsung
kejahatan yang tidak hanya bersifat penal, mempunyai pengaruh preventif terhadap
akan tetapi juga dapat menggunakan sarana- kejahatan.
sarana atau kebijakan yang sifatnya non- Secara umum pencegahan kejahatan
penal. dapat dilakukan dengan menggabungkan
Upaya non-penal ini merupakan suatu beberapa metode. Metode pertama adalah
pencegahan kejahatan, dimana dilakukan cara moralistic (miring) yang dilaksanakan
sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama
upaya ini lebih dikenal dengan upaya yang dan moral, perundang-undangan yang baik
sifatnya preventif atau pencegahan. Ini dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang
seharusnya harus lebih diutamakan daripada nafsu untuk berbuat kejahatan. Sedangkan
upaya yang sifatnya represif. Ada pendapat cara kedua adalah cara abiliosinistik yang
yang mengatakan bahwa mencegah lebih berusaha untuk memberantas sebab-
baik daripada mengobati. Demikian pula musababnya. Umpamanya kita ketahui
WA.Bonger mengatakan:12 bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaratan)
Dilihat dari efisiensi dan efektifitas upa- merupakan salah satu faktor penyebab, maka
ya pencegahan lebih baik daripada upaya usaha untuk mencapai kesejahteraan untuk
yang bersifat represif. Dalam dunia ke- mengurangi kejahatan yang disebabkan
dokteran kriminal telah disepakati suatu
oleh faktor ekonomi merupakan cara
pemikiran bahwa mencegah kejahatan
adalah lebih baik daripada mencoba abiliosinistik. Adapun pencegahan kejahatan
mendidik penjahat menjadi baik kem- melalui pendekatan kemasyarakatan, yang
bali, lebih baik disini juga berarti lebih biasa disebut Community Based Crime
mudah, lebih murah dan lebih mencapai Prevention, melibatkan segala kegiatannya
tujuannya. untuk memperbaiki kapasitas masyarakat
Penggunaan sarana nonpenal sebagai dalam mengurangi kejahatan dengan jalan
upaya untuk menanggulangi kejahatan dapat meningkatkan kontrol sosial informal.13
dilakukan misalnya dengan penyantunan Langkah preventif yang diambil oleh
dan pendidikan sosial dalam rangka pemerintah dalam rangka penanggulangan
mengembangkan tanggung jawab sosial terhadap tindak pidana terorisme, yaitu:
12
W.A.Bonger, 1995, Pengantar tentang Kriminologi Pembangunan, Ghalia Indonesia, hlm. 167.
13
Soedjono, 1983, Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung, hal. 22
390 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 - 429
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 149.
392 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 - 429
DAFTAR PUSTAKA
Bonger, W. A., 1995, Pengantar tentang Muladi, “Belum Mencakup State Terrorism”,
Kriminologi Pembangunan, Ghalia www.sijoripos.com/
Indonesia. __________, 2002, Demokrasi Hak Asasi
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Manusia dan Reformasi Hukum di
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Indonesia, Habibie Center, Jakarta.
Bandung, Alumni. Santoso, Thomas, 2002, Teori-teori Keke-
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia 393