DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
3.1. Kesimpulan...................................................................................................9
3.2. Saran..............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
3. Sejauh manakah peranan undang-undang UU No.15 Tahun 2003 tentang
terorisme dalam meminimalisis aksi teror di Indonesia, serta sudah
tepatkah pembentukan pasukan khusus “Densus 88” dalam menanggulangi
tindak terorisme dalam situasi seperti sekarang ini?
4. Bagaimana aksi teror penembakan berantai di magelang?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi Prancis. Diakhir
abad ke-19, awal abad ke-20 dan menjelang PD-II, terorisme menjadi teknik
perjuangan revolusi. Misalnya, dalam rejim Stalin pada tahun 1930-an yang juga
disebut ”pemerintahan teror”. Di era perang dingin, teror dikaitkan dengan
ancaman senjata nuklir.
Kata Terorisme sendiri berasal dari Bahasa Prancis le terreur yang semula
dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang
mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal
40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata
terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di
Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut
tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.
Namun, istilah ”terorisme” sendiri pada 1970-an dikenakan pada beragam
fenomena: dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan
kemiskinan dan kelaparan. Beberapa pemerintahan bahkan menstigma musuh-
musuhnya sebagai ”teroris” dan aksi-aksi mereka disebut ”terorisme”. Istilah
”terorisme” jelas berkonotasi peyoratif, seperti istilah ”genosida” atau ”tirani”.
Karena itu istilah ini juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka
peluang penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan
politis.
T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964)
mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis
yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan
cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman
kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu enforcement
terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan
mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu tatanan
yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu. Jadi sudah
4
barang tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik
yang tengah berlaku.
Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak
kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan
bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat
luas.
Menurut kamus Webster's New School and Office Dictionary, terrorism is
the use of violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of
government ruling by teror, pelakunya disebut terrorist. Selanjutnya sebagai kata
kerja terrorize is to fill with dread or terror'; terrify; ti intimidate or coerce by
terror or by threats of terror.
Menurut ensiklopeddia Indonesia tahun 2000, terorisme adalah kekerasan
atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptkan
suasana ketakutan dan bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau
internasional terhadap suatu aksi maupun tuntutan.
RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta
terkemuka di AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajian menyimpulkan
bahwa setiap tindakan kaum terorris adalah tindakan kriminal.
Definisi konsepsi pemahaman lainnya menyatakah bahwa :
(1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap
dianggap sebagai tindakan kriminal, juga situasi diberlakukannya hukum
perang
(2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian
penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai
tindakan terorisme
(3) meskipun dimensi politik aksi teroris tidak boleh dinilai, aksi terorisme
itu dapat saja mengklaim tuntutanan bersifat politis
5
benak masyarakat, kecurigaan yang meningkat antar umat beragama, dan lain
sebagainya. Seluruh pengaruh negatif tersebut berisiko mengganggu tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah disepakati bersama sejak lama,
yakni negara yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.
Ambilah contoh mengenai munculnya rasa saling curiga antar umat
beragama, di mana semakin hari semakin mengkhawatirkan. Tak jarang rasa
saling curiga tersebut menjurus pada pendiskreditan suatu golongan tertentu,
bahkan dapat juga menyinggung suatu agama tertentu. Jika kodisi seperti itu tidak
segera ditangani, yang ditakutkan adalah menurunnya rasa saling menghormati
antar umat bergama di Indonesia. Apabila hal tersebut benar terjadi (amit-amit,
jangan sampai terjadi), akan berdampak pada retaknya persatuan dan kesatuan
bangsa sehingga mengancam semangat nasionalisme kita.
Contoh nyata penurunan rasa nasionalisme yang terjadi akibat pengaruh
terorisme di Indonesia adalah ketika hampir satu setengah dekade belakangan
sering terjadi aksi pengeboman yang sebagian besar pelakunya merupakan anak
muda. Para anak muda, sedihnya, mudah terpengaruh oleh doktrin-doktrin yang
mengarah pada tindak radikalisme. Begitu mudahnya mereka terjebak paham
sesat tersebut menunjukkan bahwa rasa nasionalisme mereka sangat rendah.
Mereka (pelaku teroris) dengan tega menyerang negaranya sendiri, negara tempat
di mana mereka tumbuh besar.
Ketika rasa nasionalisme telah kabur, mereka pun akan mudah
terprovokasi untuk membenci orang-orang yang tidak sepaham dengan agama
serta ideologi yang mereka anut. Akan muncul rasa superiotas di diri simpatisan
teror yang membuat mereka jumawa untuk melakukan beragam aksi teror yang
dianggapnya benar. Bahkan, begitu naifnya mereka, saudara seagama pun
terkadang juga turut dianggap musuh ketika tidak sejalan dengan paham-paham
yang mereka yakini. Jika sudah seperti itu, risiko munculnya aksi radikal pun kian
besar, di mana mampu meneror segala lapisan bangsa.
Saat teror bertebaran di mana-mana, muncullah rasa was-was di benak
masyarakat dan pada akhirnya akan berujung pada potensi timbulnya kekacauan.
Apabila kekacauan terkait tidak dapat diatasi, maka bukan tidak mungkin
kemudian aksi terorisme mampu mengancam kedaulatan negara. Jika sudah
6
begini, keadaan perang pun bisa saja terjadi. Tentu kita tidak menginginkan
adanya perang, karena jelas-jelas akan menyengsarakan seluruh masyarakat
Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan adanya peningkatan perhatian pemerintah
dalam upaya penanggulangan terorisme. Diharapkan pula terciptanya hubungan
sinergis antara lembaga-lembaga yang mengurus terorisme supaya ketahanan
bangsa dapat terjaga dengan baik. Lebih dari itu, kita sebagai warga negara
Indonesia, seyogyanya turut aktif mendukung upaya deradikalisasi terorisme
dengan cara bersama-sama memupuk rasa saling menghormati, tenggang rasa, dan
gotong royong guna meningkatkan kekompakkan dalam bermasyarakat.
7
serta terbongkarnya modus operasi mereka. Semua itu merupakan bukti bahwa
pemerintah tidak main-main dalam menangani permasalahan tersebut.
8
Masih pada malam yang sama, Dwi Mega sedang berjalan di kawasan
Pecinan, Jalan Pemuda, dari alun-alun Kota Magelang, ketika ia juga mendengar
letusan. Saat itu juga, perempuan 16 tahun itu merasakan nyeri di paha kanan
sampai-sampai ia tak bisa jalan. Dengan bantuan tukang ojek, Dwi menuju RSUD
Tidar. Sama seperti yang dialami Agustri, hasil rontgen atas Dwi juga
menunjukkan tak ada benda apapun yang masuk ke bagian tubuhnya yang terasa
nyeri itu. Dua kasus tersebut selanjutnya dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota
Magelang.
Kapolres AKBP Edi Purwanto menduga aksi teror dilakukan dengan
senapan angin. “Kami telah memeriksa empat hingga lima orang saksi. Kami telah
sebar intel dan resmob untuk mencari pelaku,” kata Edi di Magelang, Jawa
Tengah. Para korban juga termasuk di antara para saksi yang diperiksa polisi.
Sementara barang bukti berupa peluru dan gotri yang mengenai dada seorang
korban telah disita. Tak kurang Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito merasa
geram atas teror tersebut. “Mudah-mudahan pelakunya bisa segera tertangkap,”
kata dia.
Polisi menduga senapan angin yang digunakan pelaku telah dimodifikasi
karena suara desingan peluru terdengar lebih halus. Untuk menghindari teror
serupa, petugas Kepolisian saat ini berjaga di Jalan Pemuda setiap malam.
9
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cnnindonesia.com/kriminal
11