Anda di halaman 1dari 10

Ancaman teroris merupakan ancaman global yang sama sekali tidak mengenal batas-batas

negara. Aksi teroris dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), kejahatan
lintas negara (transnational crime), kejahatan yang terorganisir, dan kejahatan serius. Terorisme
telah menjadikan agama sebagai sebuah kendaraan dimana kebenaran ajaran dimanipulasi
sebagai alasan pembeneran tindakan mereka. Sehingga penanganan terorisme memerlukan
konsep dan strategi yang terkoordinasi antar instansi dengan pendekatan soft power, smart
power, maunpun hard power yang perlu direncanakan dan dipersiapkan sesuai koridor hukum
yang berlaku. Juga sangat diperlukan peran serta seluruh komponen bangsa dalam memerangi
terorisme dalam bentuk apapun.

Intelijen harus bisa menjadi kekuatan utama dalam penanggulangan terorisme, mulai sebagai
sistem peringatan dini, dan pembuatan produk intelijen yang mampu memberikan solusi bagi
pengambil kebijakan dalam rangka memerangi terorisme.

Koordinasi dengan berbagai lembaga atau instansi negara lainnya juga sangat diperlukan, karena
dengan demikian kekuatan negara dalam menghadapi terorisme yang memiliki kekuatan yang
semakin kuat dan terorganisir bisa semakin matang. Karena dengan adanya koordinasi, masing-
masing instansi bisa saling tahu akan informasi dan bagaimana langkah-langkah serta strategi
yang dapat menghancurkan terorisme, yang nantinya bisa diaplikasikan melalui tupoksi masing-
masing instansi.

Aksi terorisme internasional tentunya dapat berdampak sampai ke negara-negara lain yang jauh
dari tempat dimana terjadinya kegiatan terorisme tersebut. Dalam hal ini aksi terorisme yang
terjadi di berbagai kawasan terutama yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah, Asia Selatan dan
Asia Tengah, maupun di Asia Tenggara dapat berdampak signifikan ke dalam negeri. Apalagi
seperti kegiatan terorisme yang dilakukan oleh ISIS, yang mana disana juga sudah ada WNI
yang ikut terlibat didalamnya. Bahkan yang lebih parah lagi semenjak diluncurkannya video
Joint Ranks oleh pejuang ISIS dari Indonesia, yang dapat memprovokasi WNI lainnya untuk ikut
berjihad bersama ISIS.

ISIS tidak hanya mengancam eksistensi Iraq dan Suriah saat ini, namun juga mulai mengancam
negara-negara lain seperti misalnya Indonesia. Seperti yang terlihat dari beredarnya video ISIS di
Youtube pasca-Idul Fitri lalu di mana seorang Abu Muhammad al-Indonesi dengan berapi-api
memprovokasi warga Muslim Indonesia untuk menyertai ‘jihad’ ISIS di Levant (Iraq dan Syria).
Dikelilingi beberapa orang berwajah Indonesia bersenjata lengkap, video itu jelas
memperlihatkan keterlibatan sejumlah Muslim Indonesia dalam medan perang ISIS.

Karena itu, meski gagal merekrut warga Muslim Indonesia dalam jumlah besar untuk
mendukung aksi dan tujuan mereka, kelompok-kelompok veteran radikal ini mendorong
peningkatan intoleransi dan radikalisasi yang dengan cepat bisa menjadi terorisme di tanah air.
Karena itulah perlu pencegahan dini sebelum veteran ISIS kembali ke Indonesia nanti, yang
dengan segera dapat mengkonsolidasikan para pendukung dan simpatisan mereka yang sudah
ada di tanah air.

Sebab dengan bergabungnya para jihadis Indonesia ke Suriah dan Irak, memicu kekhawatiran
mereka akan menghidupkan kembali jaringan militan yang canggih ketika pulang dan
melemahkan upaya bertahun-tahun memerangi terorisme. Keahlian teror dan koneksi militan
yang mereka miliki dapat mengancam Indonesia yang selama ini cukup sukses memerangi
terorisme. Ketika mereka kembali mereka akan dipandang sebagai tokoh penting jihadi. Orang-
orang muda akan datang kepada mereka untuk berlatih, membentuk kelompok baru,
merencanakan serangan, mengajari bagaimana caranya berperang dan membuat bom. Perang
saudara di Suriah telah menghidupkan kembali minat jihad di kalangan militan Indonesia.
Beberapa jihadis di Indonesia melihat ISIL sebagai embrio kekhalifahan Islam, yang menjadi
tujuan utama mereka.

Kita perlu berkaca atas kegagalan intelijen dalam kasus bom Bali I pada 12 Oktober 2012 yang
lebih disebabkan oleh kegagalan costumer pada saat itu melakukan pengawasan terhadap
kelompok teroris dan juga tidak adanya kepercayaan dari costumer kepada produser. Sebenarnya
produser telah mendapatkan informasi pada tahun 1998, mereka sudah punya dokumen soal JI
dan sudah disampaikan kepada AS, tapi malah dianggap remeh informasi tersebut. Dan pada
tahun 2000 telah ada dokumen dari Abu Jihad yang punya hubungan dengan Bin Laden,
informasi tersebut telah dibagikan namun tidak ditindaklanjuti. Juga yang menjadi perhatian
ialah tidak adanya koordinasi antar badan intelijen negara pada saat itu yang akhirnya menjadi
malapetaka bagi kemanan nasional Indonesia. Pemerintah juga saat itu melakukan kesalahan
fatal dengan memberikan amnesti kepada Ba’asyir dan juga pernyataan wapres yang seakan
menjadi perlindungan bagi tumbuh kembang organisasi terorisme di Indonesia saat itu.

http://jurnalintelijen.net/2015/07/06/peran-intelijen-dalam-penanggulangan-terorisme-di-
indonesia/

Kamis 14 Januari 2016 menjadi hari yang tidak terlupakan bagi Jakarta. Serangkaian aksi teror
yang diduga dilakukan oleh sekelompok orang simpatisan ISIS melakukan bom bunuh diri dan
serangan kepada Polisi dan warga sipil di Starbucks dan Pos Polisi Thamrin Jakarta.  Aksi teror
itu mengakibatkan 7 orang tewas yang terdiri dari 2 orang warga sipil dan 5 orang pelaku
serangan (data ini akhirnya diralat menjadi 4 pelaku dan ada tambahan korban warga sipil yg
tewas). Selain korban tewas terdapat 19 orang luka-luka sebagai dampak serangan teror ini. Polri
dengan cepat dan sigap berhasil menangani aksi ini sehingga situasi dapat terkendali dalam
waktu 4 jam.

Polisi menduga bahwa pelaku teror di Jakarta ini adalah kelompok Bahrun Naim. Motivasi untuk
menjadi pimpinan ISIS di Asia mendorong Bahrun Naim melakukan aksi teror di Jakarta dengan
gaya baru. Bahrun Naim bukan pemain baru, dia pernah ditangkap oleh Densus 88/Anti Teror
pada 9 November 2010. Selesai masa hukuman 2 tahun 6 bulan diduga Bahrun Naim hijrah ke
Suriah.

Sesuai dengan perkiraan dari intelijen bahwa akan ada serangan bom pada natal dan tahun baru,
maka kejadian teror di Thamrin ini adalah bukti dari peringatan intelijen tersebut. Arus balik
simpatisan ISIS dari Suriah ke Indonesia sudah terjadi, bahkan sudah melakukan aksi di
Indonesia. Kelompok ini diduga akan melakukan serangan pada saat Natal dan tahun baru,
namun dengan adanya penangkapan terduga teroris AH di Bekasi dan rekannya dari Uigur,
membuat serangan ini terpaksa tiarap dan menunda serangan.

Serangan di Thamrin dapat dikatakan gaya baru bagi teror di Indonesia. Teror bom
sebelumnya yang terjadi di Indonesia hanya dilakukan oleh pelaku bom bunuh diri.
Namun kali ini aksi teror dilakukan dengan berbagai model, ada bom bunuh diri, ada pula
serangan dengan granat dan senjata api. Model ini diduga mengadopsi dari aksi teror
kelompok ISIS di Paris. Keberhasilan serangan kelompok ini diharapkan akan menaikkan pamor
Bahrun Naim dan menjadi jalan mulus sebagai pemimpin ISIS di Asia.

Bahrun Naim diduga adalah penghubung kelompok pendukung ISIS yang dipimpin Santoso Abu
Wardah, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, dengan ISIS di Timur Tengah. Anggota dari
kelompok Santoso dari Poso inilah yang menjadi eksekutor lapangan aksi teror di Thamrin yang
dikendalikan oleh Bahrun Naim.

Aksi teror di Thamrin ini diperkirakan bukan yang terakhir. Serangan yang dieksekusi
oleh 4 orang tersebut pasti didukung oleh banyak orang disekitar lokasi teror. Dari
dokumentasi yang sudah tersebar di media masa, salah satu pelaku yang dengan tenang
melakukan tembakan di tengah-tengah masa menunjukkan bahwa pelaku adalah orang
yang terlatih dan sudah disiapkan. Pelaku memang ingin melakukan serangan dan siap
untuk mati, bukan untuk melarikan diri. Berbeda dengan teror bom sebelumnya di
Jakarta, kelompok ini lebih menunjukkan eksistensi daripada menunjukkan kemampuan
untuk membuat banyak korban.

Bom dengan kekuatan ringan dengan jumlah banyak yang kurang mematikan diduga lebih
berfungsi sebagai pencari perhatian. Pelaku juga menggunakan pistol rakitan yang mempunyai
daya serang rendah, yang seharusnya sudah dihitung akan berhadapan dengan aparat dengan
jumlah banyak dan persenjataan yang lebih mematikan. Kelompok ini jelas ingin menunjukkan
eksistensi perlawanan, terutama terhadap pemerintah (polisi), tidak hanya sekedar membuat
korban. Serangan ISIS di Paris menjadi model bagi serangan kelompok teror di Thamrin Jakarta.

Diperkirakan aksi di Thamrin Jakarta ini bukan akhir dari aksi kelompok simpatisan ISIS
di Indonesia, akan ada serangan lain dengan kekuatan yang berbeda. Pemerintah bersama
seluruh lapisan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaannya untuk menghadapi aksi teror
lanjutan. Seluruh warga negara harus menunjukkan semangat persatuan untuk tidak takut
melawan kelompok radikal. Aparat intelijen harus meningkatkan kinerjanya untuk melakukan
deteksi dini dan memberikan peringatan dini kepada pemerintah dan masyarakat terhadap
potensi ancaman teror.

Polri dan TNI dipastikan sudah memberlakukan status Siaga 1. Tidak perlu meragukan
kemampuan Polri dalam melakukan penanganan aksi teror. Penanganan aksi teror di Thamrin
dalam waktu 4 jam membuktikan bahwa Polri semakin tangguh dan profesional. Namun untuk
melawan kelompok teroris tidak cukup hanya Polri, peran masyarakat sangat besar terutama
sebagai mata dan telinga yang efektif di lingkungannya.
Tempat usaha dengan simbol-simbol barat, termasuk perusahaan, tempat hiburan dan pusat
perdagangan perlu meningkatkan kewaspadaaan. Satuan pengamanan tempat-tempat tersebut
perlu meningkatkan statusnya menjadi Siaga 1 dan melakukan pemeriksaan yang lebih ketat dan
ekstra waspada untuk mencegah terjadinya aksi teror di tempatnya masing-masing.

Usaha untuk menanggulangi terorisme perlu melibatkan media masa. Pemerintah perlu mengatur
dan memanfaatkan media masa dalam menanggulangi terorisme. Jangan sebaliknya, media masa
menjadi katalisator dalam aksi teror. Pemberitaan yang terlalu vulgar justru membuat pesan
dibuat oleh kelompok teror dengan mudah diterima oleh masyarakat luas. Bahkan pemberitaan
media yang serampangan justru akan menimbulkan suasana tambah mencekam dan menambak
kepanikan di masyarakat. Pemerintah perlu ketegasan untuk mengatur media saat menyiarkan
informasi tentang aksi teror.

Kelompok radikal akan sulit dibendung masuk di Indonesia. Arus balik WNI yang menjadi
simpatisan ISIS dari Suriah sudah mulai terjadi. Pemerintah dan segenap lapisan masyarakat
harus melawan aksi teror. Siaga 1 harus diberlakukan untuk seluruh komponen bangsa, tidak
hanya aparat keamanan. Bangsa Indonesia tidak boleh takut menghadapi pelaku teror demi.
Kelompok radikal harus dilawan demi mewujudkan Indonesia yang damai

Terorisme ternyata terus membayangi kedamaian hidup masyarakat Indonesia yang sedang
berbenah dan membangun suatu negara demokrasi yang kuat. Aksi terorisme di Indonesia
merupakan suatu kegagalan intelijen dalam memprediksi dan menganalisa keberadaan serta
ancaman yang dilakukan oleh para teroris. Apabila intelijen dijalankan sesuai tugas dan
fungsinya, tentu saja hal-hal seperti pendadakan strategis tidak akan terjadi. Sehingga perlu
regulasi khusus dalam memenindaklanjuti hal seperti ini agar tidak terulang ke depannya

Intelijen erat kaitannya dengan kegagalan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor
misalnya informasi dan lemahnya koordinasi antar badan-badan intelijen. Koordinasi yang
kurang baik antara badan-badan intelijen di Indonesia menyebabkan masing-masing badan
intelijen berjalan sendiri-sendiri

.2 Koordinasi Lembaga Intelijen Negara

Badan Intelijen Negara (BIN) merupakan badan koordinator sekaligus operator intelijen di
Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Pasal 28, yaitu:
[18]
1. Badan Intelijen Negara menyelenggarakan fungsi Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
di dalam negeri dan di luar negeri.
2. Selain menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Intelijen Negara
menyelenggarakan fungsi koordinasi Intelijen Negara.

Fungsi dari koordinasi ini adalah sebagai langkah antisipasi dan penanggulangan segala bentuk
ancaman. BIN selaku koordinator intelijen di Indonesia harus bisa melaksanakan dan menata
kegiatan yang dilakukan antar lembaga intelijen.

Di Indonesia, koordinasi antar lembaga-lembaga intelijen masih lemah padahal unsur yang
paling penting dalam reformasi intelijen adalah koordinasi antara lembaga intelijen negara.
Karena pada hakikatnya, BIN sebagai badan intelijen negara tidak bisa hanya bekerja sendiri
dalam mencari informasi, deteksi dini, dan mengantisipasi segala bentuk ancaman. Perlu adanya
dukungan dan koordinasi dari lembaga-lembaga intelijen lainnya agar tidak terjadi pendadakan
strategis seperti yang sudah terjadi sebelumnya.

Secara organisasi, ada bentuk-bentuk pemisahan sesuai dengan kewenangan antara intelijen
domestik dan intelijen luar negeri. Intelijen domestik terbagi-bagi menjadi intelijen kriminal,
kejaksaan agung, bea cukai dan imigrasi, serta Badan Intelijen Negara. Berbeda halnya dengan
intelijen luar negeri secara ideal ditempatkan di bawah departemen pertahanan yang diberikan
kewenangan khusus untuk melakukan kegiatan kontra intelijen untuk menangkal elemen-elemen
asing (baik negara maupun non negara) yang nyata-nyata melakukan serangkaian aksi yang
mengancam keamanan nasional.[19]

Dalam Pasal 9 disebutkan mengenai penyelenggaraan intelijen negara terdiri atas :[20]

1. Badan Intelijen Negara;


2. Intelijen Tentara Nasional Indonesia;
3. Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia; dan
5. Intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

Seluruh lembaga yang menjalankan fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme
koordinasi terpadu. Komunitas intelijen nasional adalah kumpulan dari seluruh dinas intelijen
negara yang bekerja dalam suatu sistem jaringan kerja dan struktur koordinasi melingkar
cakrabyuha yang terkait dengan masalah keamanan nasional, termasuk di dalamnya forum
komunikasi intelijen daerah (Forkominda).[21] BIN dalam konteks ini adalah regulator,
koordinator, sekaligus juga operator, dalam siasat (kebijakan, strategi, dan taktik operasional)
intelijen negara, yang meliputi aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan.[22]

Mengenai komunitas intelijen, terdapat tiga karakteristik yang harus dapat teridentifikasi pada
masing-masing lembaga intelijen, diantaranya[23] :
1. Komunitas intelijen memiliki saluran komunikasi dua arah antar dinas intelijen. Saluran
komunikasi antar dinas intelijen yang tersumbat, terputus atau bahkan sama sekali tidak ada
dan pola komunikasi yang saling menegasikan informasi akan memperumit perumusan
kebijakan;
2. Dinas-dinas intelijen memiliki mekanisme pertukaran informasi, rapat koordinasi dan verifikasi
(cross check). Mekanisme pertukaran informasi yang berbasis individu atau jaringan
interpersonal, bukan lembaga akan mengakibatkan embargo atau blokade informasi antar dinas
intelijen dan/atau dominasi dan monopoli informasi oleh satu dinas intelijen;
3. Komunitas intelijen memiliki mekanisme operasi bersama (bisa berupa satuan tugas gabungan)
untuk melakukan operasi intelijen.

3.3 Akuntabilitas Intelijen

            Secara normatif, mekanisme pertanggung jawaban (akuntabilitas) dinas keintelijenan


seperti yang disebutkan pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen
Negara yaitu “Badan Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”.[24]

Mengenai Peraturan Undang-Undang di atas, maka mekanisme pertanggung jawaban dinas


intelijen langsung kepada Presiden sebagai konsekuensi logis yuridis bahwa dinas intelijen
merupakan lembaga non-departemen yang keberadaannya langsung di bawah Presiden. Segala
sesuatu kegiatan intelijen harus dipertanggungjawabkan secara langsung kepada Presiden
sekaligus sebagai user.

Selain bertanggungjawab kepada Presiden. intelijen juga bertanggungjawab kepada rakyat


Indonesia dan sekaligus sebagai pengawas yang bersifat eksternal dan intelijen perlu mendapat
pengawasan itu. Disamping itu, untuk memperkuat akuntabilitas badan intelijen, diperlukan
adanya pengawasan eksternal yang imparsial, independen dan tidak memiliki kepentingan
politik.[25]

3.4 Kerahasiaan VS Keterbukaan Intelijen

Di era demokrasi seperti sekarang, transparansi atau keterbukaan selalu didengungkan. Namun
tidak begitu dengan intelijen. Hal ini berbenturan dengan sifat intelijen yang tertutup dan rahasia.
Unsur ketertutupan intelijen di era keterbukaan ini harus bisa memilah mana yang harus ditutup
rapat dan mana yang bisa dibuka.[26] Intelijen harus bisa beradaptasi dalam situasi apapun
termasuk dalam era keterbukaan seperti sekarang. Sehingga lembaga intelijen harus bersedia
menyediakan informasi-informasi untuk di publikasikan, namun tetap dalam koridor serta porsi
yang lagi-lagi harus dibatasi. Intelijen dihadapkan pada suatu dilema besar: di satu pihak,
intelijen membutuhkan “sifat kerahasiaan” untuk menjaga efektifitas operasinya, namun di lain
pihak, operasi intelijen juga membutuhkan pengawasan dan pertanggungjawaban untuk
menjamin apakah operasi yang dilakukan oleh lembaga negara tersebut tidak melanggar hak
asasi manusia, dilandasi oleh prinsip penegakan hukum, sesuai dengan Undang-Undang yang
ada, dan absah (legitimate) di mata publik.[27]
Mengenai keterbukaan, ada beberapa aspek yang bisa dibuka intelijen kepada publik terutama
mengenai anggaran dan operasi. Untuk mengenai anggaran, intelijen khususnya BIN dihimbau
untuk terbuka mengenai dana-dana yang digunakan dalam melakukan kegiatan intelijen. Pada
Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2010 Pasal 54 mengenai pembiayaan: “Untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi BIN dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara“.[28] Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut yang akhirnya mengharuskan BIN untuk
terbuka mengenai anggaran karena anggarannya merupakan sebagian besar uang rakyat sehingga
rakyat berhak tahu penggunaan anggaran tersebut secara tepat guna.

Mengenai keterbukaan operasi, apabila terjadi penyimpangan harus segera dilakukan reformasi.
Namun, bukan berarti data-data intelijen bisa dibuka utk umum karena menyangkut rahasia
negara. Mengenai keterbukaan data-data, intelijen tetap mengacu pada masa retensi selama 25
tahun.

Transparansi artinya semua kegiatan termasuk anggarannya bisa dipertanggungjawabkan ke


Presiden sebagai user. Jika terjadi penyimpangan, Dewan Legislatif dapat melakukan
pemeriksaan yang terlebih dahulu dilakukan sumpah untuk menjaga rahasia negara melalui data-
data intelijen.

Pada prinsipnya, intelijen merupakan garda utama keamanan negara dalam mendeteksi ancaman
sedini mungkin dengan cara mengumpulkan informasi yang valid. Informasi-informasi intelijen
tersebut kemudian diberikan kepada pembuat kebijakan untuk selanjutnya digunakan dalam
pengambilan keputusan. Sehingga prinsip dari kerahasiaan intelijen tersebut harus
dipertahankan. Mengingat informasi-informasi intelijen merupakan informasi rahasia negara
yang tidak bisa begitu saja dibeberkan ke publik.

Hakikatnya, semakin dengan pergeseran zaman akan semakin sulit untuk menutupi sesuatu.
Namun, sampai kapan pun intelijen tidak akan pernah bisa transparan, terutama mengenai
informasi intelijen. Apabila melihat pola 95 : 4 : 1 walaupun 95% merupakan sumber informasi
terbuka, namun terdapat beberapa persen yang harus tetap dirahasiakan.

Dalam menjawab tantangan reformasi intelijen di era transparansi, intelijen perlu melakukan
perbaikan dan siasat ulang terhadap sistem transparansi data-data intelijen seperti melakukan
mekanisme-mekanisme penyimpanan informasi, mekanisme akses informasi, mekanisme
diseminasi informasi, serta mekanisme, deklasifikasi, dan terminasi informasi yang bisa
meminimalisir penyebaran informasi intelijen yang menyalahi ketentuan tentang tingkat
kerahasiaan dan menahan informasi intelijen.[29]

3.4 Mereformasi Kegagalan Intelijen dalam Konteks Demokrasi, Efisiensi, dan Teknologi

Dalam konteks Indonesia, masyarakat awam hanya memandang intelijen dari penataan
demokrasi saja. Namun efisiensi dan teknologi juga menjadi perhatian khusus serta penting
dalam proses reformasi intelijen.

            Demokrasi
Intelijen tidak boleh digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan politik kelompok
tertentu. Apabila hal itu terjadi maka harus dilakukan pembenahan di dalam tubuh intelijen itu
sendiri karena intelijen tidak boleh melakukan tugas hanya berdasarkan kepentingan suatu
oknum. Sherman Kent mengatakan bahwa intelijen harus independen, tidak boleh ada campur
tangan atau pengaruh politik dari pihak yang mempunyai kepentingan tertentu ke dalam kinerja
intelijen.[30]

Kembali kepada fungsi intelijen sebagai garda utama keamanan Indonesia yang harus
melindungi segenap rakyat Indonesia dari segala bentuk ancaman, baik ancaman yang datang
dari dalam maupun dari luar. Hal ini menuntut intelijen untuk bekerja secara profesional dan
bukan karena ada embel-embel kepentingan di dalamnya. Apabila hal tersebut terjadi maka
intelijen secara tersirat menjadi ancaman bagi negara.

Prinsip-prinsip kegiatan Intelijen harus menghargai nilai-nilai demokrasi. Salah satunya


menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Sehingga paradigma serta pola kerja intelijen harus cerdas.
Dengan kata lain, intelijen harus cerdas dalam bertindak, mengutamakan kemampuan otak
ketimbang ototnya. Sehingga hal-hal kekerasan di masa lalu tidak akan terulang kembali dan
kepercayaan publik terhadap kredibilitas intelijen pun akan meningkat.

            Efisiensi

Efisiensi merupakan pembahasan tentang keefektifitas kerja intelijen. Pembahasan mengenai


efisiensi disini mengenai anggaran dan cara kerja intelijen. Melakukan suatu operasi intelijen
merupakan hal yang tidak murah, sehingga intelijen dituntut untuk bisa melakukan operasi
intelijen secara bijak tanpa harus merugikan negara. Upaya-upaya yang dilakukan oleh intelijen
dalam melakukan keefektifan kerja adalah dengan melakukan koordinasi antar lembaga intelijen.
Ini dilakukan agar terjadi fusi informasi. Misalnya, apabila BIN sedang membutuhkan suatu
informasi yang berkenaan dengan potensi ancaman untuk negara, maka BIN bisa meminta
informasi tersebut kepada instansi terkait tanpa harus melakukan operasi.

Intelijen modern harus bisa bekerja secara profesional, efektif, serta tetap memegang teguh
prinsip Velox et Exactus. Ketika koordinasi antar instansi atau lembaga intelijen tercipta,
dilakukan fusi informasi agar mencegah pendadakan strategis serta lebih efektif.

Teknologi

Teknologi merupakan salah satu sumbu kekuatan intelijen. Reformasi intelijen diarahkan sesuai
dengan perkembangan teknologi. Intelijen harus bisa memanfaatkan teknologi sebaik-baiknya
terlebih mengingat ancaman di era globalisasi seperti sekarang sebagian besar bersumbu pada
teknologi. Reformasi intelijen yang harus dilakukan adalah dengan mengganti paradigma
intelijen menjadi smart intelligence. Intelijen harus mengandalkan kecerdasan dalam setiap
pencarian, analisis, dan pengolahan informasi melalui teknologi.

Perlu diketahui bahwa medan tempur intelijen untuk ke depannya adalah informasi dan
pembentukan opini.[31] Sehingga intelijen harus sanggup untuk menjawab tantangan tersebut
dengan cara pemanfaatan teknologi dan penerapan smart intelligence.
Bentuk kecerdasan intelijen di era globalisasi seperti sekarang adalah penggunaan serta
pemanfaatan teknologi secara tepat, misalnya dengan mencari informasi melalui Open Source
Intelligence (Osint). Sebagai contoh, jika pada zaman dahulu teknik untuk mengetahui informasi
dari seseorang dilakukan dengan cara mengintimidasi, melanggar HAM, dan cenderung
memaksa dengan tekanan. Operasi intelijen di dalam negeri tidak membenarkan melakukan
operasi dengan cara-cara kekerasan. Sehingga sekarang para pelaku intelijen dalam melakukan
operasi dibekali dengan latihan-latihan serta pendekatan lunak kepada sasaran dengan
menggunakan teknik elisitasi yang lebih ramah dan tindak melanggar HAM. Selain itu,
memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mencari informasi secara langsung atau melalui
Osint. Mereka dididik untuk lebih cerdas merayu ketimbang memaksa sasaran. Intelijen terbukti
dapat menuai hasil yang jauh lebih baik, tanpa harus menyiksa orang yang menjadi sasarannya
atau membuat derita keluarga mereka.[32]

4. Penutup

            4.1 Kesimpulan

Mengingat kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh intelijen di masa lalu, maka intelijen
Indonesia harus berbenah dan bisa bereformasi dengan menjunjung tinggi profesionalitas kerja
demi mewujudkan tatanan pemerintahan serta sistem keamanan yang baik.

Representasi bentuk reformasi intelijen di Indonesia yang telah direalisasikan melalui Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2011 harus ditinjau ulang. Hal ini berkenaan mengenai Undang-
Undang itu sendiri yang sepertinya lebih condong ke arah BIN. Pembahasan mengenai lembaga-
lembaga intelijen lainnya tidak dibahas secara spesifik. Reformasi intelijen Indonesia baru
sampai tahap pembuatan Undang-Undang dan belum mempunyai Peraturan Pemerintah yang
seharusnya bisa memayungi serta mengakomodir fungsi intelijen itu sendiri.

Sistem kerja intelijen di Indonesia masih berjalan sendiri-sendiri, belum ada koordinasi yang
tepat. Walaupun sekarang sudah ada forum komunikasi intelijen daerah (forkominda) namun
masih belum efisien dalam menjalankan koordinasi antar lembaga intelijen. Reformasi yang
paling penting justru di koordinasi antar lembaga. Koordinasi yang baik antar lembaga intelijen
diharapkan bisa membentuk suatu komunikasi yang baik satu sama lain dan pelaksanaannya
tidak terjadi tumpang tindih lagi, karena koordinasi antar lembaga intelijen merupakan upaya
dalam pencegahan pendadakan strategis.

Kemungkinan-kemungkinan pelanggaran HAM masih bisa terjadi jika anggota intelijen tidak
dibekali kemampuan yang cerdas dalam mencari sumber intelijen secara humanis dan modern.
Sehingga diharapkan dalam proses pembentukan insan intelijen benar-benar menjunjung tinggi
nilai demokrasi terutama Hak Asasi Manusia yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Mengenai
penataan demokrasi, efisiensi, dan teknologi tentunya dapat terbentuk suatu sinergi sebagai
acuan dalam kegiatan intelijen.

4.2 Saran
1. Reformasi mengenai legalitas intelijen negara, saat ini baru sebatas Undang-Undang intelijen No
17 Tahun 2011. Sehingga harus dibuatkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan
untuk menjalankan Undang-Undang tersebut sebagaimana mestinya. Peraturan Pemerintah ini
juga sebagai perwujudan pelaksanaan atau sistem lembaga intelijen yang lain.
2. Membenahi sistem koordinasi antar lembaga intelijen di Indonesia.
3. Pengembangan sumber daya manusia bagi intelijen yang cerdas serta dibekali dengan pelatihan-
pelatihan dan kemampuan untuk mencari informasi yang lebih humanis dan tidak dengan cara
kekerasan serta melanggar HAM.
4. Secara politis, pemerintah dan legislatif harus menjaga kebutuhan politik untuk tidak melakukan
intervensi terhadap intelijen di luar batas kewenangannya.

Anda mungkin juga menyukai