Anda di halaman 1dari 2

Bom Polsek Astana anyar oleh Residivis Kasus Terorisme : Pelaku belum mengalami Desistensi

Peristiwa ledakan bom bunuh diri (suicide bombing) marak digunakan oleh Kelompok teror. Stategi
ini digunakan oleh kelompok Al Qaeda dan ISIS yang diaplikasikan oleh kelompok JI dan JAD di
Indonesia. Bom Bunuh diri digunakan untuk menyerang obyek spesifik (targeted) yang memang
menjadi tujuan teror dari kelompok tersebut. Peristiwa semacam ini makin marak terjadi pasca
kemunculan ISIS secara Global dan lahirnya JAD di Indonesia.

Polisi memang menjadi target spesifik dari kelompok teror. Semula, teror ditujukan kepada musuh
jauh (far enemy) yang diasosiasikan kepada Amerika dan Sekutunya. Namun, hal tersebut dirasa
susah karena banyak obstacle dan target hardening yang dihadapi oleh kelompok teror. Akhirnya,
target berubah menjadi siapa saja yang menghalangi mereka melakukan aksi teror, Polisi adalah
target utamanya. Sampai saat ini, sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah personil Polri yang gugur
menjadi korban dari aksi teror.

Hari ini, kembali, markas Kepolisian Sektor (Polsek) Astana Anyar, Bandung, menjadi sasaran
kelompok teror. Satu orang Bhayangkara meninggal dunia, sementara empat orang lainnya
mengalami luka-luka. Aksi yang dilancarkan pada pagi hari tersebut nampaknya sudah direncanakan
dengan baik. Berdasarkan informasi, pelaku beraksi ketika apel pagi sedang dilaksanakan. Hal
tersebut tentu sudah direncankan matang dan melalui beberapa survei, tidak mungkin aksi
dilakukan secara spontan.

Pelaku dan motifnya

Pelaku berjenis kelamin laki-laki, berusia sekitar 35 tahun, serta diketahui adalah residivis kasus
terorisme. Dari barang bukti, salah satunya sepeda motor pelaku, terdapat tulisan --KUHP HUKUM
SYIRIK/KAFIR PERANGI PARA PENEGAK HUKUM SETAN QS' 9:29-- dengan posisi tulisan tertempel di
depan Sepeda motor yang yang diduga di bawah oleh pelaku. Motif ideologis inilah menjadi
katalisator utama pelaku menjalankan aksinya.

Tidak sedikit aksi teror yang sengaja menunjukan motif ideologis ketika menjalankan aksinya. Tahun
ini, seorang perempuan—Zakiyah Aini juga menjadi pelaku penyerangan Mabes Polri dengan
membawa serta surat wasiat yang berisi alasan ideologis mengapa harus melakukan penyerangan.
Selain menunjukan eksitensi ideologis mereka, cara tidak lazim ini sebetulnya jaga menjadi alat
propaganda para pelaku teror untuk melebarkan sayap organisasinya.

Mengapa mantan pelaku teroris kembali beraksi?

Mantan pelaku kejahatan idealnya sudah berubah dan mengalami efek jera ketika telah selesai
menjalani masa pidananya. Namun tidak berlaku koheren dengan kejahatan ideologis bernama
terorisme. Bahkan, banyak pelaku teror menganggap sistem peradilan pidana, termasuk
penghukuman di Lembaga pemasyarakatan adalah bagian dari perjuangan suci-nya. Disisi lain
regulasi yang mengatur pemidanaan pelaku teror, UU no 5/2018 hanya mengatur tindak pidana
terorisme berdasarkan perbuatannya, bukan ideologi pro kekerasannya. Jadi, tidak heran ketika
mantan narapidana terorisme kembali ke masayarakat, masih memiliki muatan ideologis
ekstremisme berbasis kekerasan.

Didunia, umumnya digunakan dua pendekatan untuk menghentikan seseorang dari aktivitas
terorisme, yaitu deradikalisasi dan disengagement (pelepasan). Dimana, deradikalisasi fokus pada
mengubah pemikirannya, sementera disengagement fokus pada social setting yang berimplikasi
pada perubahan perilakunya. Saya sendiri menggunakan teori desistensi dari terorisme untuk
mengkaji bagaimana seseorang bisa lepas dari jerat teror dan ismenya.

Desistensi melihat multi-faktor, tentang potensi seseorang untuk berhenti menjadi pelaku teror.
Faktor tersebut terdiri atas tiga kanal, kanal pertama memuat parameter kebutuhan dasar (needs),
narasi dan jaringannya (networks). Kanal kedua adalah kanal inti yang terdiri atas keluarga,
introspeksi diri, kedewasaan, aktivitas ekonomi dan efek jera. Sementara kanal ketiga terdiri atas
Kepercayaan terhadap hukum, integrasi, relasi sosial dan peluang-peluang situasional. Ketika faktor-
faktor tersebut belum tersentuh dengan baik, maka besar kemungkinan pelaku terorisme akan
melakukan kembali aksi teror. Cepat atau lambat, hanya persoalan waktu dan peristiwa-katalis yang
membangkitkan semangat aksi menerornya.

Sekilas jika kita lihat, pelaku bom Polsek Astana Anyar hari ini, masih belum selesai dengan faktor-
faktor tersebut. Secara kasat mata, faktor Narasi ideologis masih dimiliki oleh pelaku. Jika kita kulik
lebih jauh, faktor lain pasti berhubungan erat dengan eksistensi dia dalam jaringan, kebutuhan dasar
yang belum terpenuhi bahkan kegagalan dalam berintegrasi kembali dengan masyarakat.

Rekomendasi untuk Stakeholder Terkait

Saya melihat peristiwa ini menjadi titik balik kita untuk lebih aware terhadap aksi terorisme.
Rekomendasi pertama ditujukan untuk aparat penegak hukum supaya memperkuat keamanan
wilayah/ kantor(target hardening), karena peristiwa semacam ini dapat menjadi detonasi terjadinya
aksi serupa di wilayah-wilayah lain.

Rekomendasi kedua ditujukan oleh seluruh stakeholder yang membidangi intervensi pelaku teror,
supaya lebih tajam dalam mengidentifikasi permasalahan ideologis, selain itu program intervensi
yang diberikan harus tepat pada kebutuhan para sasaran program.

Terakhir, bagi masyarakat umum, peristiwa bom Astana Anyar menunjukan bahwa terorisme adalah
fenomena nyata di Negara kita. Terorisme bukanlah konspirasi dan buatan dari aparat, melainkan
merupakan permasalahan sosial yang selalu ada dalam setiap era dan setiap masa.

Dr. Ardi Putra Prasetya, M.Krim. -- Kriminolog/ Pengamat Terorisme


ardi.putra.prasetya@gmail.com
082122763266

Anda mungkin juga menyukai