Anda di halaman 1dari 3

PRODI MAGISTER ILMU HUKUM FH-UNIVERSITAS DIPONEGORO

T.A. 2018/2019

NAMA : MARTHSIAN Y. ANAKOTTA

NIM : 11000118410046

KELAS : REGULER A / PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

MK : METODOLOGI PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM

DP : Prof. Dr. ESMI WARASSIH PUJIRAHAYU, S.H. M.S

1
Judul Tesis : Kebijakan Kriminal terhadap Urgensi Pembentukan Rumah Tahanan Khusus
Tindak Pidana Terorisme

A. Latar Belakang
Terorisme adalah paham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan
dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan. 1 Dengan
demikian menurut Nasir Abas, bahwa terror merupakan reaksi jahat yang dipandang
“lebih jahat” oleh pelaku, sehingga bukan merupakan kejahatan yang berdiri sendiri
(interactionism) dan dapat dikelompokan kedalam kejahatan balas dendam.2
Dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukan bahwa serangan terorisme
merupakan ancaman yang sangat serius terhadap individu, masyarakat, Negara, dan
masyarakat internasional. Terorisme bukanlah kejahatan biasa melainkan merupakan
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bahkan digolongkan ke dalam kejatahan
terhadap kemanusiaan (crime of humanity). Terorisme mempunyai jaringan yang luas
dan merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional serta merugikan
kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan
berkesinambungan sehingga hak asasi manusia dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Serangkaian kasus terorisme terjadi di Indonesia selama tahun 2018. Adanya
pengebomaan di beberapa Gererja, Penyerangan Kantor Polisi, dan yang sempat
membuat resah masyarakat bahka para aparat penegak hukum yaitu Kasus Kerusuhan di
Rumah Tahanan yang berada dalam Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob)
Kelapa Dua – Depok, Jawa Barat. Kerusuhan tersebut menimbulkan korban jiwa, antara
lain 5 anggota Densus 88 AT dan 1 orang Tersangka terorisme meninggal dunia.
Kasus kerusuhan yang terjadi di Rumah Tahanan Mako Brimob disebabkan karena
adanya perselisihan makanan antara aparat dan Tersangka Terorisme. Namun perlu juga
untuk dilihat bahwa fungsi Rumah Tahanan Mako Brimob itu sendiri seharuanya
difungsikan sebagai tempat para tahanan anggota Polri yang bermasalah. Kemudian
dengan semakin berkembangnya kasus terorisme dan semakin banyaknya pelaku yang
berhasil diproses maka Pemerintah merasa perlu untuk menahan Narapidana Terorisme
di tempat yang memiliki tingkat keamanan tinggi, yaitu Markas Komando Brimob,
Kelapa Dua-Depok, Jawa Barat. Kita tahu bersama bahwa Brigade Mobil adalah
1
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam “terrorism,
definisi, aksi dan regulai”, Jakarta : Imparsial, 2003, hlm.59
2
Nasir Abas, Kajian tentang Terorisme, Makalah disampaikan pada Diskusi Kajian tentang
Terorisme di Ditjentarahan Kemhan tanggal 16 Januari 2012, hlm. 1.

2
Pasukan Khusus Kepolisian Indonesia yang memiliki perlengkapan keamanan tinggi dan
kemampuan khusus dalam menangani kasus terorisme.
Kasus yang terjadi di Mako Brimob ini mecerminkan bahwa tidak ideal jika para
tersangka terorisme dengan jumlah banyak harus ditahan di tempat tersebut. Karena
selama mereka di situ proses pembinaan yang dilakukan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme menjadi tidak maksimal yang menciptakan disintergrasi
terhadap proses penanggulangannya. Dengan demikian perlu untuk dibangun sebuah
Rutan Khusus Tersangka Terorisme yang dikelolah oleh Kementerian Hukum dan HAM
bersama Kementerian Politik Hukum dan Keamanan yang dalam hal teknis terkait
pengamanan dilaksanakan langsung oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
dibawah koordinasi Menteri Politik, Hukum dan HAM.
Permasalahan sebagaimana di atas dapat dilihat kemudian dikaji dengan
berpandangan pada “Kebijakan Kriminal”. Kebijakan Kriminal menurut Prof. Sudarto,
S.H.., pernah mengemukaka tiga arti menganai kebijakan kriminal, yaitu :3
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di
dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti yang paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan badan-badan
resmi, yang berujuan untuk menegakan norma-norma sentral dalam masyarakat.

Dengan menggunakan Kebijakan Kriminal maka permasalahan Urgensi


Pembentukan Rumah Tahanan Khusus (Rutansus) Tindak Pidana Terorisme akan
terselesaikan karena kita dapat mengacu pada pengertian “Kebijakan Kriminal” dalam
arti sempit, luas dan paling luas oleh Prof. Sudarto, S.H. serta dalam kesempatan lain,
beliau memberikan definisi singkat bahwa Politik Kriminal merupakan suatu usaha yang
rasional dari masyarakat dalam mennggulangi kejahatan.4

3
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hlm. 113-114
4
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, 1981, hlm. 38.

Anda mungkin juga menyukai