Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS PEMERINTAH TERKAIT TINDAK PIDANA TERORISME

OLEH:

NAMA : NIKO RINALDO

NOMOR INDUK MAHASISWA : 301171010065

SEMESTER/KELAS: IV B

MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS

DOSEN PENGAMPU : VIVI ARFIANI SIREGAR, SH. MH

TUGAS KE: 1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyanyang. Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-NyA kepada kami sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah tentang ANALISIS PEMERINTAH
TERKAIT TINDAK PIDANA TERORISME.

Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karenanya kami dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.
DAFTAR ISI

Halaman………………………………………………………………….. i

Kata pengantar…………………………………………………………......ii

Daftar isi..............………………………………………………............….iii

BAB 1 PENDAHULUAN….....................………………………….…..…1

1. Latar belakang………………………......……………....................1
2. Rumusan masalah .....................................……………...................1
3. Tujuan penulisan..............................................................................2
4. Metode penelitian.............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN………….……………………………...…..........5

A. Pengertian terorisme
B. Bentuk perlindungan HAM terhadap korban tindak pidana terorisme
menurut undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme.
C. Tanggung jawab dan analisa pemerintah terhadap undang-undang
nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme lebih lanjut.

BAB III PENUTUP………………………………………………..........…12

Kesimpulan…………………………………………………………….......12

Saran……………………………….............................................................12

DAFTAR PUSTAKA………………....……………………………….......13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Terorisme adalah kata dengan interprestasi yang paling
banyak diperbincangkan dan dilansir media massadi seluruh
dunia saat ini. definisi terorisme sampai saat ini masih menjadi
perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga
dirumuskan di dalam peraturan peundang-undangan . akan tetapi
ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional
mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi
hukum mengatur, mencegah dan menanggulangi terorisme.
Akhir-akhir ini , modus aksi terorisme mulai beragam, mulai
dari bom bunuh diri, bom buku bahkan dengan modus
penculikan yang disertai dengan pencucian otak korbannya.
Ancaman tersebut bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, serta
mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Saat ini tidak ada
tempat yang aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman
terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan
oleh suatu tindal terorisme, serta dampak yang dirasakan secara
langsung oleh indonesia sebagai akibat dari tragedi Bom bali I ,
merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut
tuntas tindak pidana terorisme itu degan memidana pelaku dan
aktor intelektual dibalik setiap aksi terorisme tersebut.
Dalam rangka mencegah dan memerangi terorisme tersebut,
sejak jauh sebelum maraknya terjadi kejadian-kejadian yang
digolongkan sebagai bentuk terprisme terjadi di dunia,
masyarakat internasional maupun regional serta berbagai negara
telah berusaha melakukan kebijakan kriminal disertai
kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap
perbuatan yang di kategorikan sebagai terorisme.
Dalam mengupayakan pemenuhan dan perlindungan hak
asasi warga dari tindak kejahatan terorisme maka pemerintah
indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang
pemberantasan tindak pidana terorisme, yaitu dengan menyusun
peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun
2003, yang pada tanggal 4 april 2003 disahkan menjadi undang-
undang RI dengan nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme.

Berbagai aksi teror tersebut jelas telah melecehkan nilai


kemanusiaan martabat bangsa, dan norma-norma agama. Teror
telah menunjukan nayatanya sebagai tragedi atas HAM. Eskalasi
dampak desdruktif yang ditimbulkan telah atau lebih banyak
menyentuh multidimensi kehidupan manusia. Jati diri manusia,
harkat sebagai bangsa yang beradab, dan cita-cita dapat hidup
berdampingan dengan bangsa lain dalam misi mulia ‘’kedamaian
universal’’ masih dikalahkan oleh teror.
Selain masih adanya kelemahan-kelemahan dalam produk
peraturan perundang-undangan maupun dalam praktik menegnai
perlindungan atas korban tersebut , saat ini belum ada prosedur
permohonan restitusi dan penjatuhan sanksi terhadap restitusi
yang tidak dipenuhi oleh pelaku terorisme.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian terorisme
2. Bentuk perlindungan HAM terhadap korban tindak pidana
terorisme menurut undang-undang nomor 15 tahun 2003
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
3. Tanggung jawab dan analisa pemerintah terhadap undang-
undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme lebih lanjut.

C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui Pengertian terorisme
2. Mengetahui Bentuk perlindungan HAM terhadap korban
tindak pidana terorisme menurut undang-undang nomor 15
tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
3. Mengetahui Tanggung jawab dan analisi pemerintah
terhadap undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme lebih lanjut.

D. Metode penelitian
Metode penelitian ini menempatkan yuridis normatif dan data-
data kualitatif. Sepanjang berkaitan dengan data-data yuridis ,
berupa peraturan perundang-undangan maupun pandangan
pandangan dari ilmuwan, para ahli hukum da masayarkat sebagai
bahan primer.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian terorisme

Menurut etimologi secara bahasa kata terorisme berasal dari


kata to terror dalam bahasa inggris, dalam bahasa latin kata ini
disebut terrre, yang berarti gemetar atau menggetarkan. Kata terrere
adalah bentuk kata kerja yang dati kata terrorem yang berarti rasa
takut yang luar biasa.

Telah banyak usaha yang dilakukan oleh para ahli untuk


menjelaskan perbedaan antara teror dan terorisme, sebagia
berpendapat bahwa teror merupakan bentuk pemikiran, sedangkan
terorisme adalah aksi atau tindakan teror yang teroganisir
sedemikian rupa.

Menurut terminologi , definisi terorisme , baik menurut para


ahli maupun berdasarkan peraturan undang-undang memiliki
kesamaan, yakni bahwa teror adalah perbuatan yang menimbulkan
ketakutan atau kengerian pada masyarakat . dengan kata lain, seluruh
definisi tentang teror selalu mengandung unsur ketakutan dan
kengerian.

Definisi terorisme menurut beberapa ahli, yaitu;


1. Walter laquer 1977
Terorisme adalah kekuatan secara tidak sah untuk
mencapai tujuan-tujuan politik.

2. James H. Wolfe 1987

Tindakan terorisme tidak selamanya harus bermotif


politis.

Definisi terorisme menurut hukum yang berlaku di indonesia.


Menurut ketentuan hukum indonesia , aksi terorisme dikenal dengan
istilah tindak pidana terorisme . indonesia memasukan terorisme
sebagai tindak pidana , sehingga cara penanggulangannya pun
menggunakan hukum pidana sebagaimana tertuang dalam petauran
pemeritah pengganti undang-undang PERPU republik indonesia
nomor 1 tahun 2002 yang kemudian diperkuat menjadi undang-
undang nomor 15 tahun 2003. Judul perpu atau undang-undang
tersebut adalah pemberantasan tindak pidana terorrisme.

Pada ayat 1 perpu NO. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa


tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur pidana sesuai dengan ketentuan perpu. Perbuatan termasuk
yang sudah dilakukan ataupun yang akan dilakukan . dua hal ini
termaktub dalam pasal 6 dan pasal 7 perpu 2002. Terkait dengan
unsur-unsur tindak podana terorisme, ada perbedaan antara pasal 6
dan pasal 7 menyatakan;

Pelaku tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang


dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut rehadap orang
secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek-objek vital yang strategis , atau lingkungan hidup.
Atau fasiilitas publik , atau fasilitas internasional.
B. Bentuk perlindungan HAM terhadap korban tindak pidana terorisme
menurut undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme

Pasal 36 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diatur mengenai hak-hak
korban tindak pidana terorisme, dimana korban atau ahli warisnya
berhak mendapat kompensasi dan restitusi. Pelaksanaan pengajuan
kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri
keuangan berdasarkan amar putusan Pengadilan Negeri (Pasal 38
ayat (1))

Sedangkan untuk restitusi, diajukan oleh korban atau ahli


warisnya kepada pelaku atau pihak ketiga (Pasal 38 ayat (2)). Pasal
38 berbunyi sebagai berikut: (1) Pengajuan kompensasi dilakukan
oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan
amar putusan pengadilan negeri. (2) Pengajuan restitusi dilakukan
oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga
berdasarkan amar putusan. Untuk kontrol oleh badan peradilan
terhadap pelaksanaan pemberian kompensasi dan restitusi apakah
sudah dilaksanakan atau belum, serta bukti yang harus dipenuhi
diatur dalam Pasal 40 dan pasal 41. Pasal 40: (1) Pelaksanaan
pemberian kompensasi dan/atau restitusi oleh Menteri Keuangan,
pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus
perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian
kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi. (2) Salinan tanda bukti
pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan/atau Lex Crimen Vol.
IV/No. 1/Jan-Mar/2015 239 rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya. (3)
Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan
pelaksanaan tersebut pada papan pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 41: (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi
dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya
dapat melaporkan hal tersebut kepada Pengadilan. (2) Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan
Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan
putusan tersebut paling lambat tiga puluh (30) hari kerja terhitung
sejak tanggal perintah tersebut diterima.

Ketentuan mengenai pemberian kompensasi dan restitusi


sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, masih terdapat
kelemahan dan memerlukan penjelasan lebih lanjut lagi, yaitu
dalam ketentuan Pasal 36 ayat (4), karena tidak adanya batasan.
Dalam Pasal 36 ayat (4) disebutkan bahwa : Kompensasi dan /atau
restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar
putusan pengadilan.. Hal yang demikian akan memberikan peluang
serta kebebasan bagi hakim untuk memberikan dan menentukan
sesuai dengan improvisasinya, dan pada akhirnya akan
menimbulkan ketidakseragaman dalam istilah pemberian
kompensasi dan restitusi.

Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah apakah


perintah dalam amar putusan pengadilan tersebut hanya
memerintahkan kepada Menteri Keuangan dan/atau pelaku untuk
membayar kompensasi dan restitusi atau sekaligus pengadilan akan
menentukan besaran/jumlah yang harus dibayarkan oleh
pemerintah/Departemen Keuangan dan/atau pelaku atau pihak
ketiga.

Ketentuan ini penting agar menjamin kepastian bagi korban


agar tidak menjadi korban kesekian kalinya dari structural tertentu
(pembuat UU dan badan peradilan). Bila pengadilan hanya
berwenang untuk memberi perintah membayar kepada pihak
pemerintah dan pelaku atau pihak ketiga dalam kompensasi atau
restitusi, maka yang terjadi adalah pemberian kompensasi ataupun
restitusi oleh mereka bisa sekehendaknya sendiri. Maka disini
korban akan bisa menjadi korban kesewenangwenangan dari
pemerintah dan pelaku atau pihak ketiga sebagai pihak yang
berkewajiabn membayar.

Akan tetapi bila pengadilan diberi kewenangan untuk


memerintahkan kepada pemerintah (Departemen Keuangan) dan
pelaku atau pihak ketiga sekaligus jumlah yang harus dibayarkan,
amka masalah yang timbul adalah tidak adanya batasan dan ukuran
minimal serta maksimal bagi hakim untuk mennetukan besarnya
kompensasi dan restitusi yang akan ditetapkan. Hal ini bisa
menimbulkan ketidakpastian bagi korban dalam menuntut haknya.

Di sisi lain, pengadilan dalam memberi pertimbangan dan


ukuran kepantasan dan kepatutan seharusnya memperhatikan
bukti/data dokumen dari korban tentang kerugian-kerugian yang
diderita baik materil maupun imateril, yang dalam praktek
peradilan tindak pidana terorisme ini tidak pernah disinggung.
Kalau melihat praktek pengadilan yang ada maka tidak
disinggungnya hal ini dalam hampir semua putusan perkara tindak
pidana terorisme adalah disebabkan karena:

1. hakim ragu-ragu karena ketidakjelasan aturan tersebut;


2. tidak ada data dan dokumen yang mendukung untuk
memberikan pertimbangan dan putusan tentang kompensasi dan
restitusi yang akan diberikan. Misalnya berita acara pemerikasaan
pendahuluan, surat-surat, kwitansi-kwitansi, saksi-saksi dan saksi
ahli dan sebagainya;

3. tidak ada dukungan dari korban karena kurang mengetahui


tentang haknya tersebut, atau ketidak percayaan kepada badan
peradilan, atau karena besarnya kompensasi atau restitusi tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Korban sendiri tidak melaporkan
bahwa dirinya sebagai korban;

4. rendahnya kepedulian masyarakat terhadap nasib dan derita


yang dialami korban, misalnya dengan memberi advokasi dan
bantuan sehingga ia dapat menuntut tentang haknya;

5. pelaku sendiri sebagai orang yang tidak mampu. Dalam


Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak
ditentukan sanksi bila pelaksanaan putusan pemberian kompensasi
dan/atau restitusi tidak dilakukan, sebab bukan tidak mungkin
pihak pelaku atau pihak ketiga menolak perintah putusan
pengadilan negeri untuk memberi restitusi dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan pengadilan, dan dalam hal ini pihak yang
berkewajiban dapat mengajukan upaya hukum . Hal ini tidak diatur
dalam UU No. 15 tahun 2003.

C. Tanggung jawab dan analisa pemerintah terhadap undang-undang


nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
lebih lanjut.
Dalam permasalahan penyelidikan dan penyidikan mengenai
kasus Tindak Pidana terorisme ini di Indonesia mempunyai
badan-badan atau lembaga-lembaga tinggi Negara yang
dikhususkan untuk menjalankan prosedur dari pada kasus ini
dan juga memiliki wewenang tersendiri.

Antara lain dari pihak kepolisian ada tim khusus


penanggulangan Tindak Pidana terorisme yakni Tim DENSUS
88 Anti Teror dari kepolisian, detasemen 81 yang tergabung
dalam Kopassus (Komando pasukan khusus), pasukan elit TNI
AD, TNI AL, ada Detasemen Jamangkara (Denjaka), yang
tergabung dalam korps mariner, TNI AU, ada Detasemen Bravo
(Denbravo), yang tergabung dalam paskhas TNI AU, pasukan
elit TNI AU sedangkan Badan Intelijen Negara atau disingkat
BIN juga memiliki desk gabungan yang merupakan
representative dari kesatuan anti-terror.
Pemerintah pada saat ini menempatkan pasukan milik TNI
berada dibelakang tim anti-teror milik Polri. Detasemen khusus
88 menjadi Leading Sector dalam operasi penaggulangan
tindak pidana terorisme di Indonesia. Jika dilihat Densus 88
sendiri lebih mirip seperti GIGN dan GSG-9 yang dicontohkan
pada penjelasan di atas. Penempatan Densus 88 sebagai garda
depan penanggulangan tindak pidana terorisme ini kadang
menimbulkan kecemburuan di antara kesatuan-kesatuan anti-
teror lainnya. Kondisi ini bahkan seringkali mengarah ke
konflik terbuka antara kesatuan anti-teror di lapangan,
khususnya terkait dengan penaganan Seperatism di Aceh dan
Papua, serta konflik komunal seperti di Poso dan Maluku,
dimana densus 88 Anti terror Polri, karena berada dibawah
Ditserse Polda, maka dilibatkan juga pada operasional
kasuskasus tersebut pada penjelasan.
Padahal, bila mengacu kepada UU No 2 Tahun 2002 tentang
Polri atau dalam Susunan dan kedudukan Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang tercantum pada BAB II Pasal 6, Pasal
7, Pasal 8 Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.2 Tahun 2002
tersebut13 . dan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI separatism
menjadi titik temu tugas antara TNI dan POLRI. Dimana TNI
menjadi unsur utama, dan Polri menjadi unsur pendukung.
Selama ini penugasan dari terhadap aksi terror terkait
separatism adalah oleh Brimob Polri, dengan Unit wanteror dan
Gegana14 . Adapun secara struktural, Densus 88 anti-teror
tingkat pusat berada dibawah Badan Reserse Kriminal
(BARESKRIM) Mabes Polri Dipimpin oleh Komandan
Detasemen berpangkat Brigjen Polisi dan dibantu oleh wakil
detasemen (Waden). Sedangkan pada tingkat Polda, Densus 88
berada dibawah Direktorat Serse (Dit Serse) dipimpin oleh
komandan berpangkat Perwira menengah Polisi (Pamen Pol).
Dalam pembentukan detasemen Anti Teror ini menpunyai
landasan hukum. Detasemen ini digagas pada tahun 2003 oleh
Jendral Polisi Da’I Bachtiar dengan skep Nomor 30/IV/2003
tanggal 30 Juni 2003. Alasan utama pembentukan Denssus 88
Anti-teror ini adalah untuk menaggulangi meningkatnya
kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi terror dengan
modus peledakan bom. Dalam menjalankan operasinya,
komandan densus 88 memiliki empat pilar pendukung setingkat
Sub-Detasemen, yakni subden bantuan yang bekerja dibawah
naungan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Pasal 13 UU Kepolisian dan ketertiban
masyarakat, penegak hukum, memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayana kepada masyarakat terkhususnya
mengenai aksi teror tersebut15 . Akan tetapi sering terjadi
kejanggalan atau ketidak sempurnaan dalam masalah
penyelidikan daripada setiap kasus-kasus terorisme ini.
Kendala-kendala yang terjadi kebanyakan terdapat pada tingkat
kesulitan medan atau tempat penyelidikan dan dalam masalah
penyidikan masih banyak kasus-kasus yang belum tahu jelas
duduk persoalannya ataupun belum ada bukti permulaan yang
cukup. Akibat dari itu maka pemerintah Indonesia masih sulit
untuk memutuskan tentang ancama hukuman yang tepat dan
akan menjerat para pelaku pemboman ini dan masih diberikan
status tersangka. Densus 88 yang notabene dibawah naungan
Kepolisian Negara Republik Indonesia justru mempunyai peran
penting dalam penyidikan disamping mendapat bantuan dari
pihak yang lain. Lain halnya dengan lembaga yang lain yang
merupakan gabungan dari berbagai instansi atau alat Negara
yang berwenang untuk menyelesaikan masalah terorisme ini.
Ada tiga alasan mengapa Polri yang diberikan kewenangan
utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, yakni:
Pertama, pemberian kewenangan utama pemberantasan tindak
pidana terorisme merupakan strategi pemerintah untuk dapat
berpartisipasi dalam perang global melawan terorisme, yang
salah satunya adalah mendorong penguatan kesatuan khusus
anti terorisme yang handal dan profesional, dengan dukungan
peralatan yang canggih dan SDM yang berkualitas. Kedua,
kejahatan terorisme merupakan tindak pidana yang bersifat
khas, lintas negara (borderless) dan melibatkan banyak faktor
yang berkembang di masyarakat. Terkait dengan itu terorisme
dalam konteks Indonesia dianggap sebagai domain kriminal,
karena cita-cita separatisme sebagaimana konteks terorisme
dulu tidak lagi menjadi yang utama, tapi mengedepankan aksi
terror yang mengganggu keamanan dan ketertiban, serta
mengancam keselamatan jiwa dari masyarakat. Karenanya
terorisme dimasukkan ke dalam kewenangan kepolisian16 .
Ketiga, menghindari sikap resistensi masyarakat dan
internasional perihal pemberantasan terorisme jika dilakukan
oleh TNI dan intelijen. sebagaimana diketahui sejak Soeharto
dan rejimnya tumbang, TNI dan kemudian lembaga intelijen
dituding sebagai institusi yang mem-back up kekuasaan
Soeharto. Sehingga pilihan mengembangkan kesatuan anti
terror yang professional akhirnya berada di kepolisian, dengan
menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka
terpeliharanya Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri),
sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 2 Tahun 2002
Tentang Polri, khususnya Pasal 2,4, dan 517 . Dengan alasan
tersebut , keberadaan Densus 88 AT Polri harus menjadi
kesatuan professional yang mampu menjalankan perannya
dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagaimana
ditegaskan pada awal pembentukan. Bila merujuk pada Skep
Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni 2003 maka tugas
dan fungsi dari Densus 88 AT Polri secara spesifik untuk
menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia,
khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom. Dengan
penegasan ini berarti Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana
tugas penanggulangan terror dalam negeri, sebagaimana
tertuang dalam UU Anti Terorisme. Selanjutnya untuk
Detasemen 81 memiliki tugas dan fungsi yang hampir sama
dengan Detasemen 88 Polri, milik TNI seperti detasemen 81
kopassus, detasemen 81 AD,AL, dan AU ini mempunyai tugas
untuk pertahanan Negara dimana mereka menjaga kondisi
Negara sehingga menjadi kondusif setiap saat. Seprti menjaga
aksi teririsme lewat udara,laut dan darat. Dengan mengacu pada
ancaman alat-alat tempur milik Negara, sabotase pangkalan
udara,laut dan batas Negara.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengaturan terhadap perlindungan korban tindak
pidana terorisme diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 yang merupakan dasar hukum bagi pengaturan
terhadap hak setiap warga negara Indonesia. Di dunia
internasional pengaturan. perlindungan terhadap
korban kejahatan mendapat perhatian yang sangat
besar dan diatur dalam Pasal 7 Universal Declaration
of Human Rights; Pasal 6 huruf (d) Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Prinsip-Prinsip
Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan
Penyalahgunaan Kekerasan (United Nation
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims
of Crime and Abuse of Power); Statuta Roma
Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of
International Criminal Court (International Crime
Court)); Sedangkan di Indonesia kemudian
pengaturan terhadap korban diatur dengan sangat
jelas dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Terhadap saksi dan Korban sedangkan
khusus untuk korban tindak pidana terorisme diatur
dalam UU No. 15 Tahun 2003 mulai dari Pasal 36
sampai dengan Pasal 42.
2. Perlindungan hukum terhadap hakhak korban tindak
pidana terorisme prospeknya dapat ditinjau dari tiga
(3) sudut yaitu: perkembangan kedudukan korban
dalam proses penegakan hukum pidana; kedudukan
dan peranan korban dalam system peradilan pidana di
Indonesia dan kedudukan dan peranan korban dalam
UU No. 15 Tahun 2003. Di samping itu oleh undang-
undang kepada korban diberikan kompensasi dan
restitusi yang menjadi hak-hak dari korban yang
diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003 khususnya Pasal
36 dan Pasal 38.

B. Saran
Bahwa perlindungan hak-hak korban tindak pidana
terorisme perlu ditinjau Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-
Mar/2015 241 kembali dengan melalui amandemen
pasalpasalnya karena dalam UU No. 15 tahun 2003 ini
terdapat pasal-pasal yang tidak dapat dilaksanakan
dengan baik dan cermat seperti misalnya dalam hal
besaran/jumlah pemberian kompensasi dan/atau restitusi
yang merupakan hak dari korban untuk diterimanya
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Alfath, Tauhudillah Muh., Korban Sebagai Dampak dari
Tindak Pidana Terorisme: Yang Anonim dan Terlupakan,
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. V No. II Aguatus 2009,
diakses tanggal 15 Oktober 2014.
Ekotama, Suryono; H. Pudjianto dan G. Wiratama., Abortus
Provocatus Bagi Korban Perkosaan: Perspektif Viktimologi,
Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, 2000.
Gosita, Arief., KUHAP dan Pengaturan Ganti Rugi Pihak
Korban, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987.
……………., Masalah Perlindungan Anak, Akademika
Pressindo: Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Jakarta, 1989.
……………., Masalah Korban Kejahatan, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1993. Hadjon, Philipus, M., Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
Mansur, Dikdik, M. Arief. dan E. Gultom., Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan: Antara orma dan Realita, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Muladi., Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan
Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika
Aditama, Bandung, 2005.
………et all, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1996 Sahetapy, J. E., Viktimologi Sebuah Bunga Rampai,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987.
Peraturan perundang-undangan:
UU No. 15 tahun 2003

Situs :
http://mynewscampus.blogspot.com/2015/11/tindak-pidana-
terorisme-di-indonesia.html
https://media.neliti.com/media/publications/3166-ID-analisa-
penanganan-kasus-tindak-pidana-terorisme-menurut-uu-no-15-
tahun-2003.pdf
http://repo.unand.ac.id/2361/2/BAB%2520I.pdf

Anda mungkin juga menyukai