PENDANAAN TERORISME
Diajukan sebagai Tugas Paper Kapita Selekta Kelas A yang diampu oleh
Kelompok 8
Disusun Oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kami masih bisa menikmati
indahnya alam ciptaan-Nya dan tak lupa sholawat serta salam saya curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang menuntun kita dari zaman jahiliyah ke
zaman terang benderang yang dipenuhi dengan iman, islam, dan ilmu sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas Paper ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan Paper ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
A. Sejarah Terorisme..................................................................................................5
1. Pendanaan Terorisme................................................................................6
2. Pencucian Uang.........................................................................................8
A. Kesimpulan..........................................................................................................22
B. Saran....................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologis, terorisme terdiri dari dua kata, yaitu “teror” dan “isme”.
Kata eror memiliki arti kekejaman, tindak kekerasan, dan kengerian, sedangkan
kata “isme” berarti suatu paham. Ada juga yang mengatakan bahwa kata “teroris”
danterorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih membuat gemetar
atau menggertarkan. Kata teror juga bermakna menimbulkan kengerian.
Terorisme bagian dari suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar
biasa atau extraordinary crime dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan atau crime against humanity. Pada tataran yuridis, terorisme
merupakan tindak pidana terhadap keamanan negara, mengingat kategori yang
demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara
yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian,
pembunuhan atau penganiayaan. Kejahatan terorisme merupakan bentuk
perbuatan yang mengancam keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Dalam the united Federal State of intelligence, tujuan terorisme lebih pada
tujuan politik yang diarakan secara langsung kepada pemerintahan yang sah, tanpa
menyebutkan secara rinci tindakan- tindakan apa yang termasuk didalamnya.
Sedangkan dalam pasal 2 ayat (1) Draft Comprehensive Convention on
International Terrorism rincian akibat dari tindakan-tindakan dalam terorisme
disebutkan secara eksplisit., sementara tujuanya tidak hanya untuk mengintimidasi
penduduk, merongrong pemerintahan yang sah, tapi juga merongrong organisasi
internasional.
1
Mahrus, Ali,Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Bekasi : (Gramata Publishing, 2012),
1-3
2
kategori, yaitu terror individual yang dilakukan oleh organisasi terror yang
dijadikan bisnis untuk mencapai sponsor dan terror negara yang dilakukan oleh
negara kolonialis terhadap negara-negara jajahan atau sebaliknya. Sedangkan,
kent Oots mengartikan terorisme sebuah aksi militer atau psikologis yang
dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi ,
atau material, sebuah metode pemaksaantingkah laku pihak lain, sebuah tindakan
criminal bertendensi publisitas, tindakan kriminal, bertendensi publisitas, tindakan
kriminal bertujuan politik, dan sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis
atau ekonomis.
1. Demokrasi dan kebebasan politik tidak lengkap jika tidak merasa aman.
Padahal gerakan reformasi bertujuan membuat kita semua merasa lebih
aman di rumah sendiri dan lebih nyaman dalam kehidupan bernegara. Kita
semua mengambil tanggung jawab memerangi terorisme yang ingin
mengambil rasa aman.
2
Ibid 4-6
3
bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun
internasional.
B. Rumusan Masalah
3
Randi Pradityo,Kebjakan Hukum Pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme.
Pusat Studi Pembaharuan Hukum Indonesia (PSPH). Vol 5 No 1, 2016, hal 18
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Terorisme
Istilah terorisme sebenarnya baru mulai dikenal pada akhir abad ke-
18,terutama untuk menunjukkan aksi-aksi pemerintah dalam menjamin ketaatan
rakyatnya. Istilah terorisme juga diterapkan untuk “Terorisme Pembalasan” yang
dilakukan oleh individu-individu atau kelompok terhadap penguasa.
Meski baru dikenal pada akhir abad ke-18, namun terorisme sebenarnya telah
ada berabad-abad yang lalu dalam bentuk kejahatan murni, yaitu berupa
pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Terorisme bermula dari fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah
menjadi pembunuhan, baik yang secara dilakukan maupun oleh suatu kelompok
terhadap penguasa yang dianggap tiran. Pada Akhir abad ke-19 dan menjelang
terjadinya Perang Dunia I (PD-I), terorisme hampir terjadi diseluruh permukaan
bumi.
5
berkembang semakin labil dan bergejolak sehingga mengakibatkan rasa frustasi
dari banyak negara berkembang menuntut hak-haknya.
Selama 1960-an dan 1970-an, ketika sebagian besar terorisme berasal dari
kelompok sayap kiri, argumentasi yang dibangun bahwa terorisme merupakan
sebuah respon ketidakadilan. Oleh karena itu, terorisme akan lenyap jika keadilan
politik, sosial, dan ekonomi terpenuhi. Namun pada tahun 1980-an dan 1990-an,
ketika kebanyakan terorisme di Eropa dan Amerika berasal dari ekstrim kanan dan
korban-korbannya merupakan orang asing, minoritas nasional, ataupun secara
acak, muncul pandangan baru yang berbeda dari sebelumnya.4
1. Pendanaan Terorisme
6
the commission of an offence set forth in Article 2". Kejahatan yang ditetapkan
dalam Artikel 2 paragraf 1. adalah sebagai berikut:
Any person who commits an offence with the meaning of this Convention if that
person by any means, directly or indirectly, unlawfully and willfully, provides or
collects funds with the intention that they should be used or in the knowledge that
they are to be used, in full or in part, in order to carry out:
(a). An act which constitutes an offence within the scope of and as defined in one
of the treaties listed in the Annex; or
(b). Any other act intended to cause death or serious bodily injury to a civilian, or
to any other person not taking an active part in the hostilities in a situation of
armed conflict, when the purpose of such act, by its nature or context, is to
intimidate a population, or to compel a government or an international
organization to do or to abstain from doing any act.
7
(a). Participates as an accomplice in an offence as set forth in paragraph 1 or 4
of this Article;
(i). Be made with the aim of furthering the criminal activity or criminal purpose
of the group, where such activity or purpose involves the commission of an
offence as set forth in paragraph 1 of this Article; or
(ii) Be made in the knowledge of the intention of the group to commit an offence
as set forth in paragraph 1 of this Article.
2. Pencucian Uang
8
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan asalusul harta kekayaan
sehingga seolah-olah rnenjadi harta kekayaan yang sah.
Dari pengertian ini tampak ciri dari kejahatan pencucian uang, yaitu bahwa
kejahatan pencucian uang bukan kejahatan tunggal, tetapi kejahatan ganda.
Pencucian uang merupakan kejahatan yang bersifat follow up crime atau
kejahatan lanjutan atas hasil kejahatan utama (core crime). Penentuan kejahatan
utama dalam pencucian uang pada urnumnya disebut sebagai unlawful activity
atau predicate offense, yaitu menentukan daftar kejahatan apa saja yang hasilnya
diproses dalam pencucian uang. Selain itu dalam kejahatan pencucian uang
terdapat dua kelompok pelaku yaitu kelompok yang berkaitan dengan langsung
dengan kejahatan utama (core crime) yang disebut principle violeter dan
kelompok kedua yang sama sekali tidak berkaitan langsung dengan kejahatan
utama, misalnya pihak Penyedia Jasa Keuangan, baik 1embaga perbankan
maupun 1embaga keuangan non bank. Ke1ompok kedua ini disebut sebagai aiders
atau abettors. II
9
i1ega1 (transferring mostly legal funds for illegal purposes). Tujuan yang i1ega1
dimaksud ada1ah untuk tindakan terorisme. Contohnya, hasi1 donasi karitatif
yang legal yang ditransfer untuk mendanai aksi serangan teroris. Menurut Takats:
Both forms of money laundering are characterized by illicit and socially harmful
fund transfers. Money laundering causes social harms because it facilitates crime
and enable criminals to enjoy criminal revenues.
“From the crudest of terrorist methods to the rapidly developing tactics of our
present terrorist crises there has always been: one variable that has stayed
constant - money. The one catalyst that plays the most important role in
terrorism's existence is money.”
Uang merupakan variable yang secara konstan selalu ada dalam sejarah terorisme
dan memainkan peran yang sangat penting dalam eksistensi terorisme. Dombroski
menjelaskan bahwa:
10
diperkirakan sebesar US$ 35.000,- Biaya untuk "The Bishopsgate bomb" di Kota
London tahun 1993 diperkirakan sebesar £3.000,-Memang biaya ini tidak
sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan oleh aksi terorisme tersebut.
Contohnya saja kerugian properti yang ditimbulkan oleh born di Kota London
tahun 1993 itu lebih dari £1 miliar. Belum korban yang mati dan luka-luka akibat
ledakan tersebut.
1. Sumber dana domestik yang berasal dan individu dan perusahaan baik
yang merupakan sumbangan sukarela, maupun hasil pemerasan
bersifat kursif (coercive extortion);
2. Sumber dana dan komunitas-komunitas migran yang menyebar, baik
yang berupa sumbangan sukarela, maupun dan hasil pemerasan
bersifat kursif;
3. Dukungan kelompok etnik dan kelompok agama, berupa donasi dan
kontribusi dari orang atau masyarakat dalam ikatan etnik dan agama;
4. Sokongan dana dari negara sponsor yang mendukung kelompok teroris
untuk kepentingan negara bersangkutan atau melawan negara musuh;
5. Donatur pribadi dan publik dan penyongkong-penyokong dana
individual untuk mendukung teroris dalam mengontrol kesejahteraan,
organisasi sosial dan agama.
6. Hasil kejahatan, baik kejahatan biasa maupun dari kejahatan
terorganisir (organized crime) berupa fraud, produksi ilegal,
penyelundupan narkoba (drugs), pemalsuan dokumen, penculikan,
perampokan bersenjata, pencucian uang, penyelundupan dan
perdagangan manusia;
7. Hasil investasi dan bisnis yang legal di mana keuntungan dari investasi
dan bisnis tersebut digunakan untuk mendanai terorisme;
8. Lembaga Swadaya Masyarakat (Non-governmental organizations) dan
Organisasi Kemasyarakatan (community organizations) dibuat
11
organisasi terorisme untuk mendapatkan dana dari "sister NGOs" di
negara-negara lain atau menginfiltrasi organisasi-organisasi
masyarakat yang ada, yang mendapatkan dana (grants).
Strategi anti-pencucian uang ini digunakan pada saat itu untuk mengatasi masalah
keterbatasan sarana-sarana tradisional dalam memerangi organisasi kejahatan.
Satu-satunya kelemahan organisasi-organisasi kejahatan pada saat itu adalah
kebutuhan mereka dalam menggunakan saluran-saluran institusi sistem finansial
dan bank yang sah untuk mentransfer dana-dana hasil kejahatan dan
menghilangkan jejak kejahatan asli yang telah menghasilkan dana-dana tersebut.
Hal ini memudahkan proses pelacakan dengan tingkat kesulitan dan biaya yang
relatif lebih murah, serta efektif untuk memerangi organisasi kej ahatan.
Pasca tragedi 9/11 yang diikuti dengan pemyataan perang terhadap terorisme
menunjukkan bahwa rasio dari strategi anti-pencucian uang tersebut di atas dapat
digunakan secara mutatis mutandis dalam memerangi kelompokkelompok
terorisme. 33 Menurut Peter Alldridge34 tragedi 9/11 memberikan daya dorong
perubahan yang lebih jauh dari fokus pengawasan pencucian uang dengan
mempertimbangkan sarana-sarana pendanaan terorisme. "The expression
'laundering' was continually applied to the means by -which terrorist
organisasitons were financed.
Pada bulan November tahun 2005 media massa melansir berita mengenai
pendanaan kelompok terorisme Azahari dan Noordin M. Top yang dituduh
bertanggung jawab atas sejumlah aksi born di Indonesia selama ini. Pengamat
intelijen Wawan H. Purwanto, sebagaimana dimuat Harian Media Indonesia,
mengungkapkan seorang diplomat asing menjadi penghubung dan berperan
mengalirkan dana untuk kegiatan teroris kelompok Azahari dan Noordin M. Top
12
di Indonesia. Diplomat ini, demikian Purwanto, memiliki kekebalan intemasional
sehingga leluasa menyalurkan dana kepada kelompok teroris. Indikasi ini sudah
diberitahukan Purwanto kepada DPR dan Pemerintah supaya diselidiki lebih jauh.
13
menerima dana dari Arab Saudi. Setelah penangkapan tersebut hubungan Arab
Saudi dengan teroris di Indonesia terputus.42 Tersangka tersebut, menurut
keterangan Sutanto, adalah seorang tenaga kerja Indonesia berinisial ALS yang
terlibat pengiriman dana dari Arab Saudi ke Filipina. Namun hingga saat ini
jaringan pendanaan yang melibatkan ALS itu belum terungkap dan untuk itu
POLRI menjalin kerjasama dengan Kepolisian Filipina dan Thailand. Di samping
dana dari Arab Saudi, sumber pendanaan teroris lainnya adalah dari hasil
kejahatan merampok dan usaha menjual voucher telepon seluler yang
keuntungannya mencapai Rp. 5 juta per hari.
5
Abdi Koro, Pendanaan Terorisme Di Peroleh Dari Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering): Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.4 Oktober-Desember 2011, hal
627 - 648
14
membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan
terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes). PPATK, yang bertanggung jawab
kepada Presiden RI, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat
independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun.
Dalam praktek Internasional di bidang pencucian uang lembaga semacam
dengan PPATK disebut dengan nama generik Financial Intelligence Unit (FIU).
Keberadaan FIU ini pertama kali diatur secara implisit dalam empat puluh
rekomendasi (Forty Reccomendations) dari Financial Action Task Force on
Money Laundering (FATF). Dalam rekomendasi ke enambelas disebutkan, bahwa
if Financial Institutions suspect that funds stem from a criminal activity, they
should be permitted or required to report promptly their suspision to the
competent authorities. Rekomendasi tersebut tidak menyebutkan “competent
authorities” yang dimaksud. Kebanyakan negara membentuk atau menugaskan
badan tertentu untuk menerima laporan tersebut yang secara umum sekarang
dikenal dengan nama Financial Intelligence Unit (FIU).
Peran PPATK yang berfungsi sebagai financial intellegence unit (FUI) di
Indonesia juga memiliki tugas dan wewenang khusus serta sumber daya manusia
yang dimiliki. Pasal 26 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang pencegahan
dan pemberantasan TPPU menetapkan bahwa tugas pokok PPATK yaitu:
a. Mengumpul, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang di
peroleh oleh PPATK sesuai dengan Undang Undang ini;
b. Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh
Penyedia Jasa Keuangan;
c. Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan;
d. Memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi yang berwenang
tentang Informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini;
e. Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan
tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-Undang ini atau
15
dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu mendeteksi
perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. Membuat dan memberikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan
dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali pada Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan; dan
i. Memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan
sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
Sebagai lembaga independen PPATK juga memiliki kekuatan hukum dalam
menjalankan tugasnya. Menurut pasal 37 ayat 3 dan 4, PPATK tidak boleh
dicampurtangani oleh pihak manapun dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya serta kepala dan wakil kepala PPATK wajib menolak segala
campur tangan. Selain itu dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang N0.8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, hal-hal tersebut juga berlaku utuk
pendanaan terorisme, mengingat pendanaan terorisme dan pencucian uang hampir
sama karena mempergunakan sistem keuangan untuk menyamarkan asal-usul
uang.
Secara umum peran dan fungsi PPATK adalah menerima laporan,
menganalisis lalu meneruskan ke penegak hukum untuk dilakukan penyidikan.
Selain itu PPATK juga menerima permintaan khususnya dari penegak hukum
untuk menganalisa suatu transaksi kejahatan yang diperlukan untuk proses
penyidikan. PPATK juga mempunyai sebuah database transaksi-transaksi
keuangan yang mencurigakan yang dapat dipergunakan untuk analisa dikemudian
hari. Sehingga database tersebut selalu terbaharui dan dapat dipergunakan
sewaktu-waktu untuk menunjang analisis transaksi mencurigakan Undang-
16
Undang, maka pelanggaran hak ini dapat dituntut di depan pengadilan
berdasarkan Undang-Undang.6
6
Intan Sapriyani, Upaya Penanggulangan Terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Studi
di Wilayah Kepolisian Daerah Lampung), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar
Lampung 2017, hal 32 -34
17
Pasca peristiwa 1119 Pemerintah Amerika Serikat me1akukan langkah
penegakan hukum yang ditujukan kepada para pendana-pendana terorisme dengan
Executive Order 13224 yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat.
Pemenntahan Presiden George W. Bush melakukan beberapa langkah untuk
memberantas jaringan pendanaan terorisme. Executive Order (EO) 13224
memberikan kewenangan kepada Amerika Serikat untuk membekukan aset-aset
milik badan-badan yang secara finansial mendukung organisasiorganisasi teroris
yang teridentifikasi. Hasilnya, pada tahun 2003 aset-aset dari 321 badan
dibekukan. Daftar Organisasi Teroris Asing (Foreign Terrorist Organization
(FTO)) dari Depertemen Luar Negeri Amerika Serikat sangat penting untuk
melakukan pembekuan tersebut, karena daftar itu memberikan dasar
pengidentifikasian sumber-sumber pendanaan terorisme. Penegak hukum dan
agen-agen intelijen hams mengkoordinasikan upayaupaya untuk mendesignasi dan
menginvestigasi para pemberi dana (financiers) dan memblokir aset-aset mereka.
Strategi ini menuntut suatu kerja sarna antara negara, antara lembaga, untuk
melacak dana-dana terorisme dan mengamankan institusi - institusi finansial.7
18
murni dari hukum nasional maupun konvensi Internasional berkaitan dengan
Convention on the Suppression of Financing Terrorism (1999) yang telah
diratifikasi.
19
tentangpemberantasan pendanaan terorisme dan masih memiliki banyak
kekurangan di antaranya:
a. Belum ada pengaturan tentang bentuk pelanggaran bagi setiap orang yang
”menyediakan dana” untuk seseorang atau badan hukum yang terdapat dalam
daftar teroris menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267.
d. Belum ada pengaturan hukum untuk pendanaan atas teroris perorangan dan
penyediaan harta kekayaan untuk organisasi teroris.
f. Dalam KUHP tidak dikenal tanggung jawab pidana untuk subjek hukum
jamak, baik berupa sekelompok orang, korporasi maupun non korporasi,
sedangkan dalam undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme diatur tentang tanggung jawab korporasi. Hal ini harus dipastikan
untuk mencegah ketimpangan terkait dengan ketentaun mengenai
tanggungjawab pidana korporasi dapat diatasi.
20
diatur dalam KUHAP untuk membekukan aset entitasentitas yang terdaftar
dalam Daftar teroris sebagaimana consolidated list United Nations Security
Council Resolution (UNSCR) 1267, karena bagi Indonesia, terdaftar sebagai
teroris belum dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya pembekuan atau
pemblokiran (freezing without delay). Kekuasaan umum untuk menyita
seperti yang diatur dalam Pasal 38-49 KUHP mengatur bahwa penyitaan
hanya dibatasi pada barang- barang yang diduga merupakan barang curian,
atau dalam proses menjual barang curian tersebut. Kecil kemungkinan untuk
dapat menerapkan ketentuan ini untuk harta kekayaan seseorang yang
mungkin telah melakukan aksi terorisme. Pasal 38-49 juga tidak memberikan
kuasa untuk menyita harta kekayaan tanpa didahului adanya kecurigaan
bahwa suatu tindak pidana telah terjadi. Dengan demikian tidak ada
kewenangan untuk menyita harta kekayaan hanya atas dasar bahwa harta
kekayaan tersebut merupakan hak milik dari sebuah entitas atau kelompok
teroris, diluar konteks tindak pidana terorisme tertentu.
h. Syarat pembuktian unsur ”diketahui atau diduga keras dengan alasan yang
cukup” yang diatur dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini
terlalu tinggi untuk dipenuhi ketika sedang dalam prosesmengumpulkan
informasi mengenai kasus- kasus pembiayaan terorisme ini, sebelum perintah
pembekuan dapat dikeluarkan.8
8
Randi Pradityo,op, cit 21-23
21
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
22
B. SARAN
23
DAFTAR PUSTAKA
Buku
1. Mahrus, Ali. Hukum Pidana Terorisme: Teori dan Praktik, Bekasi: Gramata
Publishing, 2012.
2. Wahid, Abdul. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, Ham dan Hukum.
Bandung: PT Refika Aditama, 2004.
3. Sarwoko, Joko. Pendanaan Terorisme: Pergeseran Politik Hukum
Pencegahan dan Pemberantasannya di Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing, cet 1, 2018.
4. Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme. Yogyakarta: Graha Ilmu, cet 1,
2012.
5. Rusianto, Agus. Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. Jakarta:
Kencana, 2016.
Jurnal
Undang-Undang
24