Anda di halaman 1dari 27

PAPER

PENDANAAN TERORISME
Diajukan sebagai Tugas Paper Kapita Selekta Kelas A yang diampu oleh

Dr. Rusmilawati Windari S.H.,M.H.

Kelompok 8

Disusun Oleh :

Fery Fernanda 170111100347

Hesty Ayu Wardhany 170111100311

Tria Agtias Saputri 170111100049

M. Umar Faruq 170111100159

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA


FAKULTAS HUKUM
BANGKALAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kami masih bisa menikmati
indahnya alam ciptaan-Nya dan tak lupa sholawat serta salam saya curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang menuntun kita dari zaman jahiliyah ke
zaman terang benderang yang dipenuhi dengan iman, islam, dan ilmu sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas Paper ini.

Kami disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah


menyelesaikan Paper yang berjudul “Pendanaan Terorisme” sebagai tugas mata
kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Semester VI. Dan harapan kami semoga
Paper ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dari para pembaca.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan Paper ini.

Bangkalan, 20 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5

A. Sejarah Terorisme..................................................................................................5

B. Pendanaan Terorisme dan Tindak Pidana Pencucian Uang..................................6

1. Pendanaan Terorisme................................................................................6

2. Pencucian Uang.........................................................................................8

3. Kegiatan Pencucian Uang dalam Pendanaan Terorisme.........................10

4. Kasus Pendanaan Terorisme di Indonesia...............................................12

C. Peran PPATK dalam Memberantas Tindak Pidana Pendanaan Terorisme


14

D. Upaya-Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme..................17

1. Upaya Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme....................17

2. Upaya Pengaturan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme........................18

BAB III PENUTUP.........................................................................................................22

A. Kesimpulan..........................................................................................................22

B. Saran....................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan pertama yang muncul manakala berbicara terorisme adalah definisi


terorisme itu sendiri, karena hingga saat ini belum ada definisi terorisme yang
diterima secara uneversal ( there is not universally accepted definition of
terorism). Hikmahanto juwana mengatakan, terorisme sulit di definisikan
meskipun secara faktual dapat dirasakan dan dapat dilihat adanya karakteristik
tertentu dari terorisme. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Walter Laquer
yang menyatakan bahwa tidak akan mungkin ada sebuah definnisi yang meng-
cover ragam terorisme yang pernah muncul dalam sejarah.

Kondisi ini tentu saja akan menimbulkan masalah dalam upaya


penanggulangan tindak pidana terorisme karena masing-masing negara memiliki
pandangan sendiri tentang perbuatan-perbuatan apa yang dikategorikan sebagai
terorisme dan yang tidak dikategorikan sebagai terorisme. Walaupun telah banyak
konvensi internasional yang mendefinisikan terorisme, tetapi hal itu ternyata
belum mendapat hasil yang memuaskan. Semakin terorisme diberikan definisinya,
semakin terbuka interpretasi lain tentang definisi terorisme.

Secara etimologis, terorisme terdiri dari dua kata, yaitu “teror” dan “isme”.
Kata eror memiliki arti kekejaman, tindak kekerasan, dan kengerian, sedangkan
kata “isme” berarti suatu paham. Ada juga yang mengatakan bahwa kata “teroris”
danterorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih membuat gemetar
atau menggertarkan. Kata teror juga bermakna menimbulkan kengerian.

Terorisme bagian dari suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar
biasa atau extraordinary crime dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan atau crime against humanity. Pada tataran yuridis, terorisme
merupakan tindak pidana terhadap keamanan negara, mengingat kategori yang
demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara
yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian,
pembunuhan atau penganiayaan. Kejahatan terorisme merupakan bentuk
perbuatan yang mengancam keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Di dalam Black Law Dictionary, disebutkan bahwa terorisme didefinisikan


sebagai the use of threat of violences to intimidate or cause panic, especially as a
menas of affecting political conduct, penggunaan ancaman kekerasan untuk
mengintimidasi atau menimbulkan kepanikan terutama digunakan sebagai alat
untuk mempengaruhi perilaku politik.

Menurut E.V. walter, proses teror memiliki tiga unsur, yaitu

1. Tindakan atau ancaman kekerasan.


2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban
atau calon korban.
3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa
ketakutan yang muncul kemudian.1

Dalam the united Federal State of intelligence, tujuan terorisme lebih pada
tujuan politik yang diarakan secara langsung kepada pemerintahan yang sah, tanpa
menyebutkan secara rinci tindakan- tindakan apa yang termasuk didalamnya.
Sedangkan dalam pasal 2 ayat (1) Draft Comprehensive Convention on
International Terrorism rincian akibat dari tindakan-tindakan dalam terorisme
disebutkan secara eksplisit., sementara tujuanya tidak hanya untuk mengintimidasi
penduduk, merongrong pemerintahan yang sah, tapi juga merongrong organisasi
internasional.

AC manunggal mendefinisikan terorisme sebagai suatu cara untuk merebut


kekuasaan dari kelompok lain. Kelompok negara-negara eropa timur beserta
beberapa negara-negara berkembang lainya memberi batas terror dalam dua

1
Mahrus, Ali,Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Bekasi : (Gramata Publishing, 2012),
1-3

2
kategori, yaitu terror individual yang dilakukan oleh organisasi terror yang
dijadikan bisnis untuk mencapai sponsor dan terror negara yang dilakukan oleh
negara kolonialis terhadap negara-negara jajahan atau sebaliknya. Sedangkan,
kent Oots mengartikan terorisme sebuah aksi militer atau psikologis yang
dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi ,
atau material, sebuah metode pemaksaantingkah laku pihak lain, sebuah tindakan
criminal bertendensi publisitas, tindakan kriminal, bertendensi publisitas, tindakan
kriminal bertujuan politik, dan sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis
atau ekonomis.

Loudwijk F. Paulus mengemukakan bahwa terorisme memiliki empat


karakteristik ditinjau dari empat macam pengelompokanya. Pertama, karakter
organisasi yang meliputi : Organisasi, Rekruitmen, pendanaan, dan hubungan
internasional. Kedua, karakteristik operasi meliputi perencanaan, waktu taktik dan
kolusi. Ketiga, kareakteristik prilaku yang meliputi motivasi, dedikasi, disiplin,
keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup, keempat,
karakteristik sumber daya yang meliputi latihan/kemampuan, pengalaman
perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan, dan transportasi.2

Terorisme adalah musuh bersama bangsa Indonesia, musuh kemanusiaan,


musuh rakyat Indonesia dan musuh dunia. Ada 2 alasan penting mengapa
terorisme menjadi musuh bersama bangsa Insonesia:

1. Demokrasi dan kebebasan politik tidak lengkap jika tidak merasa aman.
Padahal gerakan reformasi bertujuan membuat kita semua merasa lebih
aman di rumah sendiri dan lebih nyaman dalam kehidupan bernegara. Kita
semua mengambil tanggung jawab memerangi terorisme yang ingin
mengambil rasa aman.

2. Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk gerakan


yang terorganisasi. Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan

2
Ibid 4-6

3
bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun
internasional.

Pemberantasan tindak pidana terorisme tentu saja tidak cukup dengan


menggunakan tindakan represif saja, namun juga ada upaya preventif di
dalamnya. Hal ini akan mencegah atau memutus jaringan-jaringan terorisme.
Salah satu diantaranya adalah dengan memutus/menghentikan pendanaan tindak
pidana terorisme.3

B. Rumusan Masalah

1. Apa motif dari kejahatan tindak pidana Pendanaan Terorisme?


2. Bagaimanakah upaya pemberantasan terhadap Tindak Pidana pendanaan
terorisme ?

3
Randi Pradityo,Kebjakan Hukum Pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme.
Pusat Studi Pembaharuan Hukum Indonesia (PSPH). Vol 5 No 1, 2016, hal 18

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Terorisme

Istilah terorisme sebenarnya baru mulai dikenal pada akhir abad ke-
18,terutama untuk menunjukkan aksi-aksi pemerintah dalam menjamin ketaatan
rakyatnya. Istilah terorisme juga diterapkan untuk “Terorisme Pembalasan” yang
dilakukan oleh individu-individu atau kelompok terhadap penguasa.

Meski baru dikenal pada akhir abad ke-18, namun terorisme sebenarnya telah
ada berabad-abad yang lalu dalam bentuk kejahatan murni, yaitu berupa
pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Terorisme bermula dari fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah
menjadi pembunuhan, baik yang secara dilakukan maupun oleh suatu kelompok
terhadap penguasa yang dianggap tiran. Pada Akhir abad ke-19 dan menjelang
terjadinya Perang Dunia I (PD-I), terorisme hampir terjadi diseluruh permukaan
bumi.

Pada tahun 1980-an terjadi aksi terorisme Armenia melawan PemerintahTurki


yang berakibat pada pembunuhan masal terhadap warga Armenia. Pada masa-
masa PD-I, aksi terorisme di identikkan sebagai bagian dari gerakan “sayap kiri”
yang berbasiskan ideologi. Pasca Perang Dunia II (PD-II), berbagai pergolakan
terus berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Konfrontasi negar adikuasa
yang meluas menjadi konflik “Timur-Barat” dan menyeret beberapa negara
berkembang kedalamnya hingga menyebabkan timbulnya konfilk “Utara Selatan”.
Pada konflik-konflik regional antar negara selalu ada campur tangan pihak ketiga,
bahkan negara-negara yang sedang berjuang melawan kolonialisme dan konflik
rasial tidak luput dari campur tangan pihak ketiga di dalamnya. Campur tangan
pihak ketiga yang syarat dengan kepentingannya tidak menyelesaikan masalah-
masalah tersebut, namun justru membuat negara-negara berkembang semakin
labil dan bergejolak sehingga mengakibatkan rasa frustasi dari banyak negara

5
berkembang semakin labil dan bergejolak sehingga mengakibatkan rasa frustasi
dari banyak negara berkembang menuntut hak-haknya.

Selama 1960-an dan 1970-an, ketika sebagian besar terorisme berasal dari
kelompok sayap kiri, argumentasi yang dibangun bahwa terorisme merupakan
sebuah respon ketidakadilan. Oleh karena itu, terorisme akan lenyap jika keadilan
politik, sosial, dan ekonomi terpenuhi. Namun pada tahun 1980-an dan 1990-an,
ketika kebanyakan terorisme di Eropa dan Amerika berasal dari ekstrim kanan dan
korban-korbannya merupakan orang asing, minoritas nasional, ataupun secara
acak, muncul pandangan baru yang berbeda dari sebelumnya.4

B. Terorisme dan Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Pendanaan Terorisme

Definisi Pendanaan Terorisme dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 9 tahun 2013


tentang pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme adalah segala
perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau
meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk
digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan
terorisme, organisasi teroris, atau teroris.

Pendanaan terorisme (the .financing of terrorism) menurut United Nations


International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999
adalah sebagai berikut:

“Funds mean assets of every kind, whether tangible or intangible, movable or


immovable, however acquired, and legal documents or instruments in any form,
including electronic or digital, evidencing title to, or interest in, such assets,
including, but not limited to, bank credits, travellers cheques, money orders,
shares, securities, bonds, drafts, letter of credit”. (Article 1 paragraph 1)

Artikel 1 paragraf 3 Konvensi tersebut menyatakan bahwa pengertian "Proceeds"


yang adalah "any funds derived from or obtained, directly or indirectly, through
4
Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme. Yogyakarta: Graha Ilmu, cet 1, 2012, hal

6
the commission of an offence set forth in Article 2". Kejahatan yang ditetapkan
dalam Artikel 2 paragraf 1. adalah sebagai berikut:

Any person who commits an offence with the meaning of this Convention if that
person by any means, directly or indirectly, unlawfully and willfully, provides or
collects funds with the intention that they should be used or in the knowledge that
they are to be used, in full or in part, in order to carry out:

(a). An act which constitutes an offence within the scope of and as defined in one
of the treaties listed in the Annex; or

(b). Any other act intended to cause death or serious bodily injury to a civilian, or
to any other person not taking an active part in the hostilities in a situation of
armed conflict, when the purpose of such act, by its nature or context, is to
intimidate a population, or to compel a government or an international
organization to do or to abstain from doing any act.

Artikel 2 paragraf 3 menyatakan:

For an act to constitute an offence set forth in paragraph 1, it shall not be


necessary that the funds were actually used to carry out an offence referred to in
paragraph 1, subparagraphs (a) or (b).

Artikel 2 paragraf 3 ini menentukan bahwa tindakan kejahatan yang


ditetapkan dalam paragraf 1 di atas tidak harus perlu dana tersebut secara aktual
digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut. Artinya sekalipun dana tersebut
tidak digunakan, tetap dianggap telah terjadi tindakan kejahatan sebagaimana
dimaksud paragraf 1, subparagraf (a) atau (b). Percobaan untuk melakukan
tindakan kejahatan dimaksud paragraf 1, juga dianggap sebagai melakukan
tindakan kejahatan dimaksud paragraf 1, sebagaimana ditentukan dalam Artikel 2
paragraf 4 yang berbunyi: "Any person also commits an offence if that person
attempts to commit an offence as setforth in paragraph 1 of this Article. " Dalam
Artikel 2 paragraf 5 ditetapkan pula, sebagai berikut:

Any person also commits an offence in that person:

7
(a). Participates as an accomplice in an offence as set forth in paragraph 1 or 4
of this Article;

(b). Organizes or directs others to commit an offence as set forth in paragraph 1


or 4 of this Article;

(c). Contributes to the commission of one or more offences as set forth in


paragraphs 1 or 4 of this Article by a group of persons acting with a common
purpose. Such contribution shall be intentional and either:

(i). Be made with the aim of furthering the criminal activity or criminal purpose
of the group, where such activity or purpose involves the commission of an
offence as set forth in paragraph 1 of this Article; or

(ii) Be made in the knowledge of the intention of the group to commit an offence
as set forth in paragraph 1 of this Article.

2. Pencucian Uang

Pengertian pencucian uang (money laundering), rnenurut Yenti Garnasih


dengan mengutip pendapat Hurt, secara urut dapat dirumuskan sebagai suatu
proses yang dilakukan untuk merubah hasil kejahatan seperti dari korupsi,
kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan, dan kejahatan serius lainnya,
sehingga hasil kejahatan tersebut rnenjadi narnpak seperti hasil dari kegiatan yang
sah karena asal usulnya sudah disarnarkan atau disernbunyikan. Inti dari kejahatan
ini, rnenurut Gamasih, adalah perbuatan yang dilakukan untuk rnenyarnarkan atau
rnenyernbunyikan hasil kejahatan sehingga tidak terciurn oleh aparat, dan hasil
kejahatan tersebut dapat digunakan dengan arnan, seakan berasal dari kegiatan
yang sah.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nornor 25 Tahun 2003 tentang


Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), pengertian pencucian uang adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
rnenghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan
lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil

8
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan asalusul harta kekayaan
sehingga seolah-olah rnenjadi harta kekayaan yang sah.

Dari pengertian ini tampak ciri dari kejahatan pencucian uang, yaitu bahwa
kejahatan pencucian uang bukan kejahatan tunggal, tetapi kejahatan ganda.
Pencucian uang merupakan kejahatan yang bersifat follow up crime atau
kejahatan lanjutan atas hasil kejahatan utama (core crime). Penentuan kejahatan
utama dalam pencucian uang pada urnumnya disebut sebagai unlawful activity
atau predicate offense, yaitu menentukan daftar kejahatan apa saja yang hasilnya
diproses dalam pencucian uang. Selain itu dalam kejahatan pencucian uang
terdapat dua kelompok pelaku yaitu kelompok yang berkaitan dengan langsung
dengan kejahatan utama (core crime) yang disebut principle violeter dan
kelompok kedua yang sama sekali tidak berkaitan langsung dengan kejahatan
utama, misalnya pihak Penyedia Jasa Keuangan, baik 1embaga perbankan
maupun 1embaga keuangan non bank. Ke1ompok kedua ini disebut sebagai aiders
atau abettors. II

Dari pengertian di atas da1am kaitan dengan pendanaan terorisme, timbu1


pertanyaan: apakah dana yang dipero1eh secara legal yang misa1nya ditransfer
1ewat institusi finansia1 dengan maksud dipergunakan untuk terorisme
merupakan pencucian uang sebagaimana dimaksud da1am rumusan pengertian di
atas? Pasa1 2 ayat (2) UUTPU menetapkan bahwa harta kekayaan yang
dipergunakan secara 1angsung atau tidak 1angsung untuk kegiatan terorisme
dipersamakan sebagai tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasa1 2 ayat (1)
hurufn.

Elod Takats memberikan definisi yang 1ebih singkat, yakni: "money


laundering is defined as an illicit money transfer ". Pentransferan uang haram
(hasi1 kejahatan). Menurut Takats ada dua jenis utama pentransferan uang haram.
Pertama, pencucian uang tradisiona1 sebagaimana dimaksud da1am pengertian
pencucian uang tersebut di atas. Kedua, pendanaan terorisme (terrorism financing)
yakni pentransferan dana-dana yang sebagian besar legal untuk tujuan yang

9
i1ega1 (transferring mostly legal funds for illegal purposes). Tujuan yang i1ega1
dimaksud ada1ah untuk tindakan terorisme. Contohnya, hasi1 donasi karitatif
yang legal yang ditransfer untuk mendanai aksi serangan teroris. Menurut Takats:

Both forms of money laundering are characterized by illicit and socially harmful
fund transfers. Money laundering causes social harms because it facilitates crime
and enable criminals to enjoy criminal revenues.

3. Kejahatan Pencucian Uang dalam Pendanaan Terorisme

Sumber Pendanaan Terorisme

Paul Dombroski 13 mengatakan bahwa:

“From the crudest of terrorist methods to the rapidly developing tactics of our
present terrorist crises there has always been: one variable that has stayed
constant - money. The one catalyst that plays the most important role in
terrorism's existence is money.”

Uang merupakan variable yang secara konstan selalu ada dalam sejarah terorisme
dan memainkan peran yang sangat penting dalam eksistensi terorisme. Dombroski
menjelaskan bahwa:

“No terrorist or terrorist organization would be able to organize, recruit, plan,


develop weapons, arm them, communicate or acquire intelligence, and carry out
terrorist missions without funding. Since it is not possible for terrorists or
terrorist organization to exist without money, they need a constant source.”

Seluruh kegiatan terorisme, mulai dari pengorganisasian, perencanaan,


rekruitmen, keperluan dan pengembangan senjata, komunikasi, pengumpulan data
inte1ijen, mobilisasi, sampai dengan tahap pelaksanaan aksi terorisme, tidak
mungkin dilaksanakan tanpa dana. Untuk serangan 9111 di New York dan
Washington, sebagai contoh, diperkirakan oleh otoritas AS para teroris
menghabiskan biaya antara US$ 350.000,- hingga US$ 500.000,-15 Biaya Born
Madrid diperkirakan US$15.000,-. Biaya untuk born Bali I yang digunakan teroris

10
diperkirakan sebesar US$ 35.000,- Biaya untuk "The Bishopsgate bomb" di Kota
London tahun 1993 diperkirakan sebesar £3.000,-Memang biaya ini tidak
sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan oleh aksi terorisme tersebut.
Contohnya saja kerugian properti yang ditimbulkan oleh born di Kota London
tahun 1993 itu lebih dari £1 miliar. Belum korban yang mati dan luka-luka akibat
ledakan tersebut.

Rohan Gunaratna, seperti dikutip Alex Schmid, mengidentifikasikan sumber-


sumber utama pendanaan terorisme, sebagai berikut:

1. Sumber dana domestik yang berasal dan individu dan perusahaan baik
yang merupakan sumbangan sukarela, maupun hasil pemerasan
bersifat kursif (coercive extortion);
2. Sumber dana dan komunitas-komunitas migran yang menyebar, baik
yang berupa sumbangan sukarela, maupun dan hasil pemerasan
bersifat kursif;
3. Dukungan kelompok etnik dan kelompok agama, berupa donasi dan
kontribusi dari orang atau masyarakat dalam ikatan etnik dan agama;
4. Sokongan dana dari negara sponsor yang mendukung kelompok teroris
untuk kepentingan negara bersangkutan atau melawan negara musuh;
5. Donatur pribadi dan publik dan penyongkong-penyokong dana
individual untuk mendukung teroris dalam mengontrol kesejahteraan,
organisasi sosial dan agama.
6. Hasil kejahatan, baik kejahatan biasa maupun dari kejahatan
terorganisir (organized crime) berupa fraud, produksi ilegal,
penyelundupan narkoba (drugs), pemalsuan dokumen, penculikan,
perampokan bersenjata, pencucian uang, penyelundupan dan
perdagangan manusia;
7. Hasil investasi dan bisnis yang legal di mana keuntungan dari investasi
dan bisnis tersebut digunakan untuk mendanai terorisme;
8. Lembaga Swadaya Masyarakat (Non-governmental organizations) dan
Organisasi Kemasyarakatan (community organizations) dibuat

11
organisasi terorisme untuk mendapatkan dana dari "sister NGOs" di
negara-negara lain atau menginfiltrasi organisasi-organisasi
masyarakat yang ada, yang mendapatkan dana (grants).

Strategi anti-pencucian uang ini digunakan pada saat itu untuk mengatasi masalah
keterbatasan sarana-sarana tradisional dalam memerangi organisasi kejahatan.
Satu-satunya kelemahan organisasi-organisasi kejahatan pada saat itu adalah
kebutuhan mereka dalam menggunakan saluran-saluran institusi sistem finansial
dan bank yang sah untuk mentransfer dana-dana hasil kejahatan dan
menghilangkan jejak kejahatan asli yang telah menghasilkan dana-dana tersebut.
Hal ini memudahkan proses pelacakan dengan tingkat kesulitan dan biaya yang
relatif lebih murah, serta efektif untuk memerangi organisasi kej ahatan.

Pasca tragedi 9/11 yang diikuti dengan pemyataan perang terhadap terorisme
menunjukkan bahwa rasio dari strategi anti-pencucian uang tersebut di atas dapat
digunakan secara mutatis mutandis dalam memerangi kelompokkelompok
terorisme. 33 Menurut Peter Alldridge34 tragedi 9/11 memberikan daya dorong
perubahan yang lebih jauh dari fokus pengawasan pencucian uang dengan
mempertimbangkan sarana-sarana pendanaan terorisme. "The expression
'laundering' was continually applied to the means by -which terrorist
organisasitons were financed.

Berdasarkan pendapat Alldridge dan Takats dikaitkan dengan sumber dan


tujuan pendanaan terorisme sebagaimana diuraikan di atas, maka jelas pendanaan
terorisme dilakukan melalui mekanisme kejahatan pencucian uang.

4. Kasus Pendanaan Terorisme Di Indonesia

Pada bulan November tahun 2005 media massa melansir berita mengenai
pendanaan kelompok terorisme Azahari dan Noordin M. Top yang dituduh
bertanggung jawab atas sejumlah aksi born di Indonesia selama ini. Pengamat
intelijen Wawan H. Purwanto, sebagaimana dimuat Harian Media Indonesia,
mengungkapkan seorang diplomat asing menjadi penghubung dan berperan
mengalirkan dana untuk kegiatan teroris kelompok Azahari dan Noordin M. Top

12
di Indonesia. Diplomat ini, demikian Purwanto, memiliki kekebalan intemasional
sehingga leluasa menyalurkan dana kepada kelompok teroris. Indikasi ini sudah
diberitahukan Purwanto kepada DPR dan Pemerintah supaya diselidiki lebih jauh.

Di samping diplomat itu, menurut keterangan Purwanto yang dimuat Harian


tersebut, aliran dana juga disalurkan melalui seorang kurir asal Malaysia dengan
inisial Suf. Dana tersebut berasal dari sumbangan simpatisan yang sepaham
dengan Azahari dan Noordin M. Top. Informasi ini diperoleh Purwanto dari Polisi
Diraja Malaysia. Awalnya dana tersebut disalurkan Sufke Indonesia melalui bank.
Menurut Purwanto, pada tahun 2002-2003 disalurkan lewat satu bank asing di
Indonesia, tanpa menyebutkan nama bank tersebut. Sedangkan di Malaysia,
disalurkan lewat bank Pemerintah setempat. Setelah penyaluran lewat institusi
bank ini terlacak, Suf mengubah cara pentransferan dana, yakni secara tunai lewat
perorangan dengan sistem cut out, dipakai sekali saja kemudian jasa orang yang
dipakai untuk mengalirkan dana tersebut diputuskan.

Atas dugaan keterlibatan diplomat asing dalam pendanaan terorisme di


Indonesia, Muladi, Gubemur Lembaga Ketahanan Nasional, berpendapat agar
Pemerintah Indonesia jangan ragu menyelidiki dugaan tersebut. Terorisme bukan
hanya merupakan urusan negara dengan negara, tetapi merupakan kerja sarna
intemasional yang dikendalikan PBB, melalui Dewan Keamanan PBB. Tidak ada
kekebalan ekstradisi bagi diplomat yang terlibat terorisme, sebab teroris
merupakan extraodinary crime.

Dugaan keterlibatan diplomat asing dalam pendanaan terorisme di Indonesia


ini dibantah oleh Sutanto, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut Sutanto, tidak ada diplomat asing yang ikut mendanai terorisme. Tetapi
Sutanto mengakui adanya jaringan intemasional yang ikut mendanai aksi
peledakan born di Indonesia. Aliran dana antar negara menjadi salah satu sumber
dana bagi kegiatan terorisme, termasuk Indonesia. 41 Sutanto menyebutkan
bahwa salah satu sumber dana beberapa peledakan born di Indonesia berasal dari
Arab Saudi. Pada tahun 2004 polisi telah menangkap seorang tersangka yang

13
menerima dana dari Arab Saudi. Setelah penangkapan tersebut hubungan Arab
Saudi dengan teroris di Indonesia terputus.42 Tersangka tersebut, menurut
keterangan Sutanto, adalah seorang tenaga kerja Indonesia berinisial ALS yang
terlibat pengiriman dana dari Arab Saudi ke Filipina. Namun hingga saat ini
jaringan pendanaan yang melibatkan ALS itu belum terungkap dan untuk itu
POLRI menjalin kerjasama dengan Kepolisian Filipina dan Thailand. Di samping
dana dari Arab Saudi, sumber pendanaan teroris lainnya adalah dari hasil
kejahatan merampok dan usaha menjual voucher telepon seluler yang
keuntungannya mencapai Rp. 5 juta per hari.

Dari uraian tersebut di atas jelas temyata bahwa aksi-aksi kelompok-


kelompok terorisme di dalam negeri selama ini dimungkinkan teIjadi karena
adanya dukungan dana, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, baik yang
legal maupun yang ilegal. Maka, sejalan dengan strategi global pemberantasan
terorisme, penghentian pendanaan terorisme memainkan peran sangat penting
untuk menghentikan aksi -aksi terorisme yang telah merenggut begitu banyak
korban selama ini di Indonesia.5

C. Peranan PPATK dalam Memberantas Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

PPATK (pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan) adalah (bahasa


inggris: Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis
Center/INTRAC) adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini memiliki
kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasan
pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang dan kontra
pendanaan pendanaan terorisme di Indonesia. Hal ini tentunya akan sangat

5
Abdi Koro, Pendanaan Terorisme Di Peroleh Dari Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering): Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.4 Oktober-Desember 2011, hal
627 - 648

14
membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan
terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes). PPATK, yang bertanggung jawab
kepada Presiden RI, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat
independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun.
Dalam praktek Internasional di bidang pencucian uang lembaga semacam
dengan PPATK disebut dengan nama generik Financial Intelligence Unit (FIU).
Keberadaan FIU ini pertama kali diatur secara implisit dalam empat puluh
rekomendasi (Forty Reccomendations) dari Financial Action Task Force on
Money Laundering (FATF). Dalam rekomendasi ke enambelas disebutkan, bahwa
if Financial Institutions suspect that funds stem from a criminal activity, they
should be permitted or required to report promptly their suspision to the
competent authorities. Rekomendasi tersebut tidak menyebutkan “competent
authorities” yang dimaksud. Kebanyakan negara membentuk atau menugaskan
badan tertentu untuk menerima laporan tersebut yang secara umum sekarang
dikenal dengan nama Financial Intelligence Unit (FIU).
Peran PPATK yang berfungsi sebagai financial intellegence unit (FUI) di
Indonesia juga memiliki tugas dan wewenang khusus serta sumber daya manusia
yang dimiliki. Pasal 26 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang pencegahan
dan pemberantasan TPPU menetapkan bahwa tugas pokok PPATK yaitu:
a. Mengumpul, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang di
peroleh oleh PPATK sesuai dengan Undang Undang ini;
b. Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh
Penyedia Jasa Keuangan;
c. Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan;
d. Memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi yang berwenang
tentang Informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini;
e. Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan
tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-Undang ini atau

15
dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu mendeteksi
perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. Membuat dan memberikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan
dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali pada Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan; dan
i. Memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan
sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
Sebagai lembaga independen PPATK juga memiliki kekuatan hukum dalam
menjalankan tugasnya. Menurut pasal 37 ayat 3 dan 4, PPATK tidak boleh
dicampurtangani oleh pihak manapun dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya serta kepala dan wakil kepala PPATK wajib menolak segala
campur tangan. Selain itu dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang N0.8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, hal-hal tersebut juga berlaku utuk
pendanaan terorisme, mengingat pendanaan terorisme dan pencucian uang hampir
sama karena mempergunakan sistem keuangan untuk menyamarkan asal-usul
uang.
Secara umum peran dan fungsi PPATK adalah menerima laporan,
menganalisis lalu meneruskan ke penegak hukum untuk dilakukan penyidikan.
Selain itu PPATK juga menerima permintaan khususnya dari penegak hukum
untuk menganalisa suatu transaksi kejahatan yang diperlukan untuk proses
penyidikan. PPATK juga mempunyai sebuah database transaksi-transaksi
keuangan yang mencurigakan yang dapat dipergunakan untuk analisa dikemudian
hari. Sehingga database tersebut selalu terbaharui dan dapat dipergunakan
sewaktu-waktu untuk menunjang analisis transaksi mencurigakan Undang-

16
Undang, maka pelanggaran hak ini dapat dituntut di depan pengadilan
berdasarkan Undang-Undang.6

D. Upaya-Upaya Pemberatasan Pendanaan Terorisme

Dengan mengkaji pendanaan terorisme, nampak je1as bahwa pendanaan


terorisme merupakan suatu persoa1an berwajah banyak (multifaceted problem)
dan bersifat transnasiona1 yang memerlukan respons kebijakan yang rumit baik
pada level intemasiona1, regional, maupun nasional. Pada dasamya inti strategi
pemberantasan pendanaan terorisme di1andaskan pada tiga pilar utama, yakni,
pendeteksian (detecting), pembongkaran (dismantling), dan pengha1angan
(deterring) jaringan pendanaan terorisme. Menurut Celina Rea1uyo, pada pilar
yang pertama di1akukan operasi-operasi inte1ijen dan penegakan hukum (law
enforcement) untuk mengadi1i para pendana terorisme. Yang kedua,
menggunakan tindakantindakan designasi pub1ik dengan maksud menamai,
memperma1ukan, dan memblokir aset-aset ke1ompok-ke1ompok teroris dan para
pendukungnya. Yang ketiga, dikembangkannya program-program pengembangan
kapasitas untuk memperkuat aliansi negara-negara lain agar secara proaktif
memerangi pendanaan teroris. Dua pilar yang pertama bersifat retrospektif, yakni
me1akukan investigasi pendanaan operasi yang diketahui sete1ah terjadi peristiwa
fakta. Pilar yang ketiga memusatkan perhatian pada peningkatan kapabi1itas-
kapabilitas negara-negara untuk menjaga sistem-sistem pendanaan intemasiona1
dari penggunaan yang salah oleh para pendana teroris.

1. Upaya Internasional dalam Pemberantasan Pendanaan Terorisme

6
Intan Sapriyani, Upaya Penanggulangan Terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Studi
di Wilayah Kepolisian Daerah Lampung), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar
Lampung 2017, hal 32 -34

17
Pasca peristiwa 1119 Pemerintah Amerika Serikat me1akukan langkah
penegakan hukum yang ditujukan kepada para pendana-pendana terorisme dengan
Executive Order 13224 yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat.
Pemenntahan Presiden George W. Bush melakukan beberapa langkah untuk
memberantas jaringan pendanaan terorisme. Executive Order (EO) 13224
memberikan kewenangan kepada Amerika Serikat untuk membekukan aset-aset
milik badan-badan yang secara finansial mendukung organisasiorganisasi teroris
yang teridentifikasi. Hasilnya, pada tahun 2003 aset-aset dari 321 badan
dibekukan. Daftar Organisasi Teroris Asing (Foreign Terrorist Organization
(FTO)) dari Depertemen Luar Negeri Amerika Serikat sangat penting untuk
melakukan pembekuan tersebut, karena daftar itu memberikan dasar
pengidentifikasian sumber-sumber pendanaan terorisme. Penegak hukum dan
agen-agen intelijen hams mengkoordinasikan upayaupaya untuk mendesignasi dan
menginvestigasi para pemberi dana (financiers) dan memblokir aset-aset mereka.
Strategi ini menuntut suatu kerja sarna antara negara, antara lembaga, untuk
melacak dana-dana terorisme dan mengamankan institusi - institusi finansial.7

2. Upaya Pengaturan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Pasal


13 disebutkan, bahwasannya seseorang yang memberikan “bantuan” atau biasa
disebut dengan yang membantu perbuatan adalah tindakan yang memberikan
bantuan baik sebelum dilakukan tindak pidana terorisme maupun pada saat tindak
pidana terorisme maupun pada saat tindak pidana terorisme tersebut dilakukan.

Kegiatan pendanaan dalam setiap aksi terorisme merupakan tulang punggung


utama dari kegiatan tersebut. Masalah pendanaan terkait erat dengan tindak pidana
pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor15 Tahun 2002. Dalam
Pasal ini disebutkan pendanaan dan dalam hal pendanaan ini biasanya dalam
kegiatan memakai uang hasil money laundring. Seperti kegiatan terorisme yang
dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda, mereka menggunakan uang hasil penjualan
opium yang banyak ditanam di negara tersebut. Pasal di atas bersumber secara
7
Abdi Koro, op, cit, hal 650

18
murni dari hukum nasional maupun konvensi Internasional berkaitan dengan
Convention on the Suppression of Financing Terrorism (1999) yang telah
diratifikasi.

Sejak adanya Konvensi internasional Pemberantasan Pendanaan


Terorisme, 1999 sampai saat ini, dalam kurun waktu yang cukup lama,
permasalahan terorisme dan khususnya pendanaan terorisme telah berkembang
semakin kompleks seiring dengan trend terorisme yang terjadi dalam
tingkatnasional, regional maupun internasional. Upaya pemberantasan terorisme
oleh negara-negara di dunia, ternyata juga memunculkan kegiatan terorisme
dengan strategi dan taktik yang baru. Kebijakan kriminalisasi melalui
pembentukan undang-undang, memerlukan sinkronisasi dan harmonisasi diantara
berbagai perundang- undangan yang terkait.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, pemberantasan pendanaan terorisme


tidak dapat dilepaskan untuk menggunakan rujukan Konvensi Internasional
Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999 yang sudah menjadi hukum nasional
melalui ratifikasi oleh Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2006.

Selain undang-undang yang terkait seperti Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo


Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana perlu diperhatikan sebagai rujukan, agar undang-undang
pendanaan terorisme tidak saling tumpang tindih atau saling bertentangan satu
dengan yang lain.

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk


menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan, hanya saja yang
menjadi permasalahan ialah garis-garis kebijakan atau pendekatan ideal yang
bagaimanana yang ditempuh ketika menggunakan hukum pidana sebagai alatnya.
Hukum pidana nasional yang selama ini digunakan, yakni undang-undang tentang
pemberantasan terorisme dinilai belum secara komprehensif mengatur

19
tentangpemberantasan pendanaan terorisme dan masih memiliki banyak
kekurangan di antaranya:

a. Belum ada pengaturan tentang bentuk pelanggaran bagi setiap orang yang
”menyediakan dana” untuk seseorang atau badan hukum yang terdapat dalam
daftar teroris menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267.

b. Belum ada pengaturan pemidanaan untuk setiap orang yang merencanakan


dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan aksi terorisme, atau
berkontribusi dalam pelaksanaan anti terorisme yang dilakukan oleh
sekelompok orang dengan tujuan untuk membantu kelancaran aksi terorisme.

c. Pemberantasan terorisme membatasi unsur pengetahuan dengan unsur


”dengan sengaja” saja namun tidak mencantumkan unsur ”alasan yang kuat
untuk meyakini atau unsur-unsur lain” yang akan mendukung pembuktian
berdasarkan kejadian yang faktual dan objektif.

d. Belum ada pengaturan hukum untuk pendanaan atas teroris perorangan dan
penyediaan harta kekayaan untuk organisasi teroris.

e. Masih mensyaratkan bahwa tindak pidana pendanaan terorisme harus


dikaitkan dengan adanya aksi terorisme tertentu.

f. Dalam KUHP tidak dikenal tanggung jawab pidana untuk subjek hukum
jamak, baik berupa sekelompok orang, korporasi maupun non korporasi,
sedangkan dalam undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme diatur tentang tanggung jawab korporasi. Hal ini harus dipastikan
untuk mencegah ketimpangan terkait dengan ketentaun mengenai
tanggungjawab pidana korporasi dapat diatasi.

g. Indonesia belum memiliki hukum atau prosedur yang efektif untuk


membekukan aset-aset teroris lainnya dari pihak-pihak yang membiayai
terorisme dan organisasi- organisasi teroris ”tanpa penundaan dan tanpa
pemberitahuan” sebelumnya seperti yang dipersyaratkan FATF. Indonesia
selama ini mengandalkan proses penyelidikan dan langkah-langkah yang

20
diatur dalam KUHAP untuk membekukan aset entitasentitas yang terdaftar
dalam Daftar teroris sebagaimana consolidated list United Nations Security
Council Resolution (UNSCR) 1267, karena bagi Indonesia, terdaftar sebagai
teroris belum dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya pembekuan atau
pemblokiran (freezing without delay). Kekuasaan umum untuk menyita
seperti yang diatur dalam Pasal 38-49 KUHP mengatur bahwa penyitaan
hanya dibatasi pada barang- barang yang diduga merupakan barang curian,
atau dalam proses menjual barang curian tersebut. Kecil kemungkinan untuk
dapat menerapkan ketentuan ini untuk harta kekayaan seseorang yang
mungkin telah melakukan aksi terorisme. Pasal 38-49 juga tidak memberikan
kuasa untuk menyita harta kekayaan tanpa didahului adanya kecurigaan
bahwa suatu tindak pidana telah terjadi. Dengan demikian tidak ada
kewenangan untuk menyita harta kekayaan hanya atas dasar bahwa harta
kekayaan tersebut merupakan hak milik dari sebuah entitas atau kelompok
teroris, diluar konteks tindak pidana terorisme tertentu.
h. Syarat pembuktian unsur ”diketahui atau diduga keras dengan alasan yang
cukup” yang diatur dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini
terlalu tinggi untuk dipenuhi ketika sedang dalam prosesmengumpulkan
informasi mengenai kasus- kasus pembiayaan terorisme ini, sebelum perintah
pembekuan dapat dikeluarkan.8

8
Randi Pradityo,op, cit 21-23

21
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan

Terorisme merupakan bagian dari suatu kejahatan yang tidak dapat


digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime dan dikategorikan pula
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime against humanity.pendanaan
terorisme (terrorism .financing) yakni pentransferan dana-dana yang sebagian
besar legal untuk tujuan yang i1ega1 (transferring mostly legal funds for illegal
purposes). Tujuan yang i1ega1 dimaksud ada1ah untuk tindakan terorisme.
Contohnya, hasil donasi karitatif yang legal yang ditransfer untuk mendanai aksi
serangan teroris.pendanaan terorisme dilakukan melalui mekanisme kejahatan
pencucian uang.Secara umum peran dan fungsi PPATK adalah menerima laporan,
menganalisis lalu meneruskan ke penegak hukum untuk dilakukan penyidikan.
Selain itu PPATK juga menerima permintaan khususnya dari penegak hukum
untuk menganalisa suatu transaksi kejahatan yang diperlukan untuk proses
penyidikan.Pada dasamya inti strategi pemberantasan pendanaan terorisme
di1andaskan pada tiga pilar utama, yakni, pendeteksian (detecting),
pembongkaran (dismantling), dan pengha1angan (deterring) jaringan pendanaan
terorisme.Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan, hanya saja yang
menjadi permasalahan ialah garis-garis kebijakan atau pendekatan ideal yang
bagaimanana yang ditempuh ketika menggunakan hukum pidana sebagai alatnya.
Hukum pidana nasional yang selama ini digunakan, yakni undang-undang tentang
pemberantasan terorisme dinilai belum secara komprehensif mengatur
tentangpemberantasan pendanaan terorisme dan masih memiliki banyak
kekurangan.

22
B. SARAN

Dalam memberantas pendanaan terorisme di Indonesia disarankan adanya


kerangka koordinasi yang menentukan secara jelas tanggung jawab dari setiap
instansi yang terlibat dalam penanggulangan pendanaan yang mengarah ke
tindakan terorisme. Menyusun peraturan yang dapat menghukum secara pidana
para pelaku pembawaan uang tunai/instrumen pembayaran lainnya yang terbukti
digunakan untuk mendanai aktivitas terorisme. Penyederhanaan peraturan dan
perundang-undangan yang mengatur tentang lembaga nirlaba. Selain itu, perlu
dibuat juga mekanisme pelaporan aset atau harta kekayaan yang dikelola oleh
lembaga nirlaba sebagai bentuk dari transparansi dan akuntabilitas ke publik.
Pemerintah melalui Bank Indonesia menyusun peraturan pelaksanaan untuk
mengatur pelaporan bagi penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang di
Indonesia.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku

1. Mahrus, Ali. Hukum Pidana Terorisme: Teori dan Praktik, Bekasi: Gramata
Publishing, 2012.
2. Wahid, Abdul. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, Ham dan Hukum.
Bandung: PT Refika Aditama, 2004.
3. Sarwoko, Joko. Pendanaan Terorisme: Pergeseran Politik Hukum
Pencegahan dan Pemberantasannya di Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing, cet 1, 2018.
4. Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme. Yogyakarta: Graha Ilmu, cet 1,
2012.
5. Rusianto, Agus. Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. Jakarta:
Kencana, 2016.

Jurnal

Randi Pradityo, Kebjakan Hukum Pidana dalam upaya penanggulangan tindak


pidana terorisme. Pusat Studi Pembaharuan Hukum Indonesia (PSPH). Vol 5 No
1, 2016.

Abdi Koro, Pendanaan Terorisme Di Peroleh Dari Tindak Pidana Pencucian


Uang (Money Laundering): Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.4
Oktober-Desember 2011.

Intan Sapriyani, Upaya Penanggulangan Terhadap Tindak Pidana Pendanaan


Terorisme (Studi di Wilayah Kepolisian Daerah Lampung), Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung 2017

Undang-Undang

UU No 9 Tahun 2013 tentang pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme

UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU)

24

Anda mungkin juga menyukai