Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Defriyansyah Rauf

NIM : 186020300111038
MATA KULIAH : AKUNTANSI FORENSIK
DOSEN PENGAMPU : Prof. Drs. GUGUS IRIANTO, MSA., Ph.D., Ak.

UTS (MINI-PROPOSAL)

Judul WHISTLEBLOWING SYSTEM : SEBAGAI ALAT PENDEKTESIAN DAN


PENCEGAHAN FRAUD DI SEKTOR PEMERINTAHAN

Latar Organisasi sektor publik merupakan salah satu organisasi yang berorientasi
Belakang pada kepentingan publik. Dengan kekuasaan dan kewewenangan yang
dimilikinya, seharusnya pemerintah dapat memberikan pelayanan yang maksimal
dan berkualitas kepada masyarakat. Namun kenyataannya terkadang kekuasaan
dan kewewenangan yang dimiliki pemerintah tidak dapat mendorong peningkatan
kualitas pelayanan publik dan kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Bahkan adanya praktek korupsi disektor publik yang tentu saja akan menciptakan
lingkungan kerja yang tidak kondusif dan sangat merugikan pihak-pihak tertentu.
Korupsi telah dianggap sebagai kecurangan (fraud) yang sering terjadi di
sektor publik. Karena pada pemerintahan terdapat penerimaan (pendapatan),
pengeluaran (belanja) yang dilakukan oleh pejabat terkait yang memiliki
kekuasaan dan wewenang untuk membuat keputusan dan kebijakan publik.
Semakin besar kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh seseorang, maka
potensi bagi dirinya untuk melakukan kecurangan akan semakin besar (Kurniwan,
2014:6-7).
Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat
sejumlah kasus korupsi sepanjang tahun 2015, 2016, dan 2017. Pada tahun 2015
terdapat 550 kasus korupsi yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp
803,3 miliar (Kompas, 2016), kemudian pada tahun 2016 terdapat 482 kasus
korupsi yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 1,45 triliun (Merdeka,
2017) dan pada 1 Januari hingga 30 Juni 2017 terdapat 226 kasus korupsi
dengan kerugian negara mencapai Rp 1,83 triliun (Detiknews, 2017). Misalnya,
kasus korupsi kompleks yang belum tuntas, antara lain : (1) kasus korupsi boikot
Bank Century; (2) suap cek pelawat pemilihan deputi BI; (3) Kasus Nazaruddin
mengenai wisma atlet dan 2 hambalang; (4) Kasus mafia pajak yang berkaitan
dengan Gayus Tambunan dan jejaring mafia yang lain; (5) Rekening gendut
jenderal Polri.
Dampak dari maraknya kasus korupsi yang terjadi sangat merugikan
masyarakat dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah,
karena dapat membuat daerah mengalami kerugian dari segi keuangan yang
dapat menghambat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta menghambat
pembangunan. Untuk meminimalisirkan kerugian yang terjadi perlu dilakukannya
upaya pencegahan agar peluang terjadinya kecurangan akan semakin kecil.
Pencegahan kecurangan adalah tindakan yang dapat dilakukan untuk
menghindari orang untuk berbohong, menjiplak, mencuri, memeras,
memanipulasi, kolusi dan menipu orang lain dengan tujuan memperkayai diri
sendiri atau orang/kelompok lain dengan cara melawan hukum (Suradi, 2006:99).
Kecurangan memang tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diminimalisirkan.
Salah satu faktor dengan menerapkan whistleblowing system. Whistleblowing
system merupakan wadah bagi seorang whistleblower untuk mengadukan
kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pihak internal organisasi.
Sistem ini sangat memerlukan partisipasi seluruh unsur organisasi dalam proses
pengungkapan maupun pelaporannya. Dengan penerapan yang efektif,
transparan, dan bertanggungjawab akan mendorong dan meningkatkan
partisipasi pegawai dan masyarakat untuk melaporkan dugaan kecurangan yang
diketahuinya (Wahyuni dan Nova, 2018). Bisa di katakan whistleblowing system
diharapkan dapat menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional dan
bertanggung jawab (Kementerian Keuangan, 2013).
Namun dalam melakukan whistleblowing, ada tekanan (Pressure) yang
dirasakan oleh whistleblower. Latan, et. al. (2018) mengemukakan bahwa
tekanan (pressure) adalah hambatan yang mengacu pada beban perasaan atau
ancaman masa depan yang dihadapi oleh pelapor. Tekanan ini terdiri dari
tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal adalah nilai-nilai, moral,
kesetiaan agama dan kepuasan tempat kerja. Sedangkan tekanan eksternal
adalah risiko dipecat, risiko perlakuan tidak adil, takut akan pembalasan di masa
yang akan datang, dan risiko kehilangan reputasi.
Nixson, et. al. (2013) menjelaskan bahwa Whistleblowing di Indonesia
dijelaskan dalam pasal 5 dan 10 UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dan SEMA No. 4 tahun 2011 Perlakuan bagi Whistleblower dan
Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Tertentu. Dalam pasal 10 UU No. 13
tahun 2006 tersebut dinyatakan bahwa atas laporan, kesaksian yang telah
diberikan, saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik
pidana atau perdata. Kemudian dalam SEMA adanya perlakuan khusus terhadap
whistleblower, yaitu diberikan keringanan pidana dan/atau perlingdungan seperti
mendahulukan kasus yang dilaporkan oleh whistleblower daripada kasus dari
pelaku yang melaporkan kembali whistleblower. Namun, pasal 10 dalam UU
tersebut tidak secara jelas menyebut pelapor sebagai whistleblowing. Kedua
aturan ini dianggap tidak secara tegas menyebutkan perlindungan hukum
terhadap whistleblower, dan SEMA yang dikeluarkan tersebut hanya berlaku
dalam wilayah intern pengadilan dan tidak mengikat penegak hukum yang lain.
UU No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan
perubahan dari UU No. 13 tahun 2006. Dalam UU tersebut terdapat beberapa
perubahan dalam pasal 5 dan 10, dimana perubahan telah jelas dapat melindungi
saksi dan korban (whistleblower).
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan
badan yang menggunakan audit forensik dan audit investigasi tersebut untuk
mendeteksi adanya tindakan kecurangan. BPKP adalah badan yang dibangun
oleh pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan
pencapaian sasaran pokok pembangunan. Dalam melaksanakan tugasnya,
BPKP menyelenggarakan fungsi pengawasan intern diantaranya pengawasan
dan pelaksanaan program audit untuk kasus-kasus kecurangan (Peraturan
Presiden, 2014).
Dengan demikian, topik penelitian ini penting dan menarik untuk diteliti
kembali secara lebih mendalam dalam upaya untuk mendeteksi dan pencegahan
fraud pada lembaga publik.

Pertanyaan Bagaimana whistleblowing system menjadi salah faktor terpenting dalam


Penelitian pendektesian dan pencegahan fraud dalam lembaga publik.

Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin di capai dalam
Penelitian penelitian ini adalah mengidentifikasi peran whistleblowing system dalam
pendektesian dan pencegahan fraud dalam sektor pemerintah. Dan juga bisa
melihat seberapa efektif penerapan whistleblowing system dalam mencegah
kecurangan di sektor pemerintah.

Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hilal dan Alabri (2013)
mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
menggambarkan fenomena didasarkan pada sudut pandang informan,
menemukan beberapa realitas dan mengembangkan pemahaman holistik dari
fenomena dalam konteks tertentu.
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu pertama, penelitian pustaka (library
research), kedua, penelitian lapangan (field research), dan ketiga, analisis data
(data analysis). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegawai-
pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dipilih karena
menjalankan salah satu tugas menginvestigasi terhadap kasus-kasus kecurangan
(fraud) yang merugikan keuangan negara. Selanjutnya teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
Purposive sampling juga disebut judgement sampling, adalah pilihan yang
disengaja dari peneliti karena kualitas yang dimiliki informan.
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari dokumen, observasi, dan
wawancara. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian-
penelitian terdahulu dan aturan-aturan terkait yang diterbitkan. Observasi adalah
kegiatan untuk meninjau suatu objek yang dipilih sebagai sumber data (Dengen
dan Hatta, 2009). Kemudian wawancara adalah komunikasi dua arah untuk
mendapatkan data dari informan (Jogiyanto, 2008). Wawancara dilakukan
dengan menggunakan semi structured interview untuk memperoleh informasi
yang dibutuhkan. Semi structured interview merupakan daftar pertanyaan yang
disajikan oleh peneliti sebagai pedoman untuk menentukan pertanyaan-
pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan

Kesimpulan Fraud merupakan masalah yang selalu muncul setiap tahunnya. Korupsi
menempati posisi pertama dari jenis fraud yang paling banyak ditemui. Salah satu
cara untuk mengurangi tindakan fraud adalah dengan melakukan pendeteksian
fraud. Salah satunya whistleblowing system.
Whistleblowing di Indonesia diidentikkan dengan perilaku seseorang yang
melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi di organisasi
tempat bekerja sehingga memiliki akses informasi memadai atas terjadinya
indikasi tindak pidana korupsi tersebut. Sebenarnya whistleblowing tidak hanya
melaporkan masalah korupsi, tetapi juga skandal lain yang melanggar hukum dan
menimbulkan kerugian/ancaman bagi masyarakat. Penanganan whistleblowing
system yang baik diharapkan akan menambah kesadaran bahwa pegawai
pemerintah harus terus menjaga integritasnya. Karena jika tidak, akan ada
whistleblower yang akan mengungkapkan penyimpangan integritas mereka
dalam menjalankan tugas dan berakibat pada penjatuhan sanksi hukuman tanpa
memandang bulu.
Whistleblowing di Indonesia dijelaskan dalam pasal 5 dan 10 UU No. 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan SEMA No. 4 tahun 2011
Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana
Tertentu. Dalam pasal 10 UU No. 13 tahun 2006 tersebut dinyatakan bahwa atas
laporan, kesaksian yang telah diberikan, saksi, korban dan pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum baik pidana atau perdata. Selanjutnya UU No. 31 tahun
2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan perubahan dari UU No.
13 tahun 2006. Dalam UU tersebut terdapat beberapa perubahan dalam pasal 5
dan 10, dimana perubahan telah jelas dapat melindungi saksi dan korban
(whistleblower).
Dengan diterapkannya whistleblowing system diharapkan dapat menciptakan
aparatur negara yang bersih, profesional dan bertanggung jawab (Kementerian
Keuangan, 2013).

Daftar Dengen, N., dan Hatta, H. R. (2009). Perancangan Sistem Informasi Terpadu
Pustaka Pemerintah Daerah Kabupaten Paser. Jurnal Informatika Mulawarman, 4(1),
47–54.
Hilal, A. H., dan Alabri, S. S. (2013). Using NVivo for Data Analysis in Qualitative
Research. International Interdisciplinary Journal of Education, 2(2), 182–186.
Jogiyanto. (2008). Metodologi Penelitian Sistem Infromasi. Yogyakarta: CV. ANDI
OFFSET.
Kompas. (2016). ICW_ Sepanjang Tahun 2015, Anggaran Negara 134 Kali
Dikorupsi - Kompas. Retrieved February 6, 2018, from
https://nasional.kompas.com/read/2016/02/24/17044021/ICW.Sepanjang.Tah
un.2015.Anggaran.Negara.134.Kali.Dikorupsi.
Kurniawan, Ardeno, 2014, Fraud di Sektor Publik dan Integritas Nasional,
Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Latan, H., Jabbour, C. J. C., dan Jabbour, A. B. L. de S. (2018). Whistleblowing
Triangle: Framework and Empirical Evidence. Journal of Business Ethics, 1–
16.
Nixson, Kalo, S., Kamello, T., dan Mulyadi, M. (2013). Perlindungan Hukum
terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. USU Law Journal, 2(2), 40–56.
Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan.
Suradi, 2006, Korupsi Dalam Sektor Publik Dan Swasta, Penerbit Gaya Media,
Yogyakarta
Wahyuni & Nova. 2018. Analisis Whistleblowing System dan Kompetensi
Aparatur Terhadap Pencegahan Fraud (Studi Empiris Pada Satuan
Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Bengkalis). Jurnal Inovasi dan
Bisnis 6 (2018) 189-194

Anda mungkin juga menyukai