Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sejak reformasi yang terjadi pada tahun 1998, sistem pemerintahan negara

mengalami perubahan yang drastis dan fundamental yaitu dari yang semulanya

sentralisasi telah menjadi desentralisasi atau disebut juga otonomi daerah, dengan

kata lain pemerintah pusat telah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah

dengan sendirinya mengatur rumah tangganya sendiri dengan meminimalkan campur

tangan dari pemerintah pusat dengan semata-mata untuk mencapai pemerintah yang

efisien. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui

undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah menyebutkan

bahwa penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom

adalah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara

kesatuan republik indonesia.

Suwanda (2015), Mengatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah, terdapat

keuntungan bagi pemerintah daerah antara lain, dapat meningkatkan kualitas dan

kuantitas pelayanan publik dalam mencapai kesejahteraan masyarakat,

memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpastisipasi dalam

proses pembangunan, serta menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan

sumber daya daerah.

Untuk itu, setiap daerah memilki kemampuan masing-masing untuk meningkatkan

dan memajukan kesejahteraan masyarakat dengan cara memaksimalkan dan

mengembangkan potensi daerah yang dimiliki atas dasar inisiatif dan kemampuan

daerah itu sendiri.

1
Dengan adanya kebijakan tersebut, perubahan sistem pemerintahan memberi

dampak yang besar pada penyelenggaran pemerintah dan ruang lingkup kerja pada

umumnya sehingga memberi dampak juga pada pada perubahan pengaturan sistem

keuangan pemerintahan daerah. Otonomi daerah mewajibkan pemerintahan daerah

untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis,

merata, adil, dan berkesinambungan, (Suwanda, 2015).

Saat ini telah memasuki era desentraliasi fiskal, dimana diharapkan adanya

peningkatan pelayanan diberbagai sektor salah satunya adalah sektor publik, dengan

adanya peningkatan dalam layanan sektor publik akan dapat menambah daya Tarik

bagi investor untuk menanamkan investasinya di daerah (Harianto & Adi, 2007).

Botman et.al (2009) menyatakan secara teoritis desentralisasi fiskal adalah devolusi

tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah

yang dapat meningkatkan atau mengurangi pertumbuhan ekonomi. Faridi (2011)

menyatakan fungsi utama dari desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan

efesiensi sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan

pengembangan. Vo (2009) dalam penelitiannya menyatakan desentralisasi memiliki

tidak hanya nilai administratif tetapi juga dimensi sipil karena meningkatkan

kesempatan bagi warga untuk mengambil minat dalam urusan publik itu membuat

mereka terbiasa dengan menggunakan kebebasan. Sementara itu, Malik et.al (2006)

menyatakan desentralisasi struktur fiskal suatu negara adalah strategi yang efektif

untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Pethury (2011) juga mengatakan bahwa dalam penyelenggaraan desentralisasi

fiskal, pemerintah daerah harus mampu memberikan fasilitas pelayanan publik yang

lebih baik untuk masyarakat lokal. Infrastruktur merupakan kunci dari pertumbuhan

ekonomi, dengan menyiapkan infrastruktur yang baik, maka akan meningkatkan

2
produktivitas (Modebe et.al, 2012). Albatel (2000) menyatakan bahwa pemerintahan

dapat menyediakan infrastruktur ekonomi, meningkatkan alokasi sumber daya dan

meningkatkan produktivitas ekonomi.

Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan ini berlaku juga pada provinsi gorontalo,

karena provinsi ini masih di katakan provinsi baru yang sebelumnya berada pada

wilayah Sulawesi utara, tentunya pemerintah harus mampu menggali potensi-potensi

sumber daya sehingga dapat dialokasikan pada pendapatan daerah hingga dapat

menunjang pertumbuhan ekonomi.

Dana yang merupakan potensi yang dimiliki masing-masing daerah adalah

pendapatan asli daerah, dalam meningkatkan dana yang diperoleh untuk menjadi

sumber pembelanjaan daerah maka pemerintah harus meningkat potensi daerah

yang dimiliki. Pendapatan asli daerah berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi

pajak, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan

asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung

pembiyaan daerah, karena itu, kemampuan suatu daerah kemampuan suatu daerah

menggali pendapatan asli daerah akan mempengaruhi perkembangan dan

pembanguna daerah (Wany, 2017).

Pengalokasi belanja modal menggunakan pendapatan asli daerah untuk

meningkatkan sarana dan prasarana serta infrastruktur bagi daerah tersebut untuk

meningkatkan pembangunan daerah. Jika sarana dan prasarana publik serta

infrastruktur daerah meningkat maka pendapatan asli daerah juga akan meningkat

alokasi belanja modal akan meningkat, (Wany, 2017). Salah satu upaya pemerintah

daerah untuk meningkatkan kemandirian daerah adalah dengan mengoptimalkan

potensi pendapatan daerah yaitu dengan memberikan proporsi alokasi belanja modal

yang lebih tinggi pada sektor-sektor yang diangap produktif (Nugroho, 2012).

3
Dengan pembentukan daerah baru seperti provinsi gorontalo dan terjadinya

pemekaran secara luas, sejauh ini, tidak hanya terjadi pada daerah yang secara

geografis kaya akan sumber daya alam ataupun memiliki potensi industri dan

perdagangan yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan daerah, tetapi juga

terjadi pada daerah yang miskin sumber daya alam dan terbelakang secara ekonomi,

sehingga pada akhirnya pemekaran tersebut menjadi beban fiskal bagi Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara, (Oktora, 2013).

Perbedaan kemampuan keuangan yang dimiliki oleh setiap daerah dalam

pendanaan kegiatan pemerintahnya dapat memicu terjadinya ketimpangan fiskal

antar daerah. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal yang terdapat di setiap

daerah dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar, serta

terciptanya pertumbuhan ekonomi yang merata pemerintah pusat mengeluarkan dana

perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

DAU merupakan dana yang berasal dari pemerintah pusat yang diambil dari APBN

yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi. Sedangkan DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang

dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai

kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas

nasional. Dengan adanya pengalokasian DAU dan DAK diharapkan mempengaruhi

belanja modal, karena cenderung akan menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah

guna meningkatkan pelayanan publik. Anggaran belanja modal didasarkan pada

kebutuhan daerah akan semua sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran

pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk fasilitas publik, (Gunatara, 2014).

4
Pembangunan ekonomi merupakan serangkaian usaha yang ditunjukan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi angka pengangguran, dan

meminimalkan ketimpangan pendapatan di masyarakat. Produk Domestik Regional

Bruto menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kegiatan ekonomi

di suatu wilayah. Perekonomian di suatu wilayah dikatakan tumbuh dan berkembang

jika barang dan jasa yang diproduksi pada periode ini lebih besar dibandingkan

periode sebelumnya, yang kemudian diturunkan sebagai nilai tambah. Semakin

banyak sarana dana prasarana publik serta infrastruktur dari belanja modal maka

akan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membayar pungutan yang

ditetapkan oleh pemerintah dan sudah mestinya mampu meningatkan pendapatan

yang diperoleh pemerintah daerah, (Prabawati, 2017).

Faktor penentu penting pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah pengeluaran

pemerintah. Modebe, et.al (2012) menyatakan pengeluaran pemerintah berulang

memiliki dampak positif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun

pertumbuhan ekonomi tergantung pada ukuran, kapasitas belanja, dan efektif

menggunakan belanja modal di proses pembangunan (Sharma, 2012). Felix (2012)

berpendapat bahwa pemerintah daerah semestinya dapat mengalokasikan belanja

modal yang lebih tinggi dibandingkan belanja rutin yang relatif kurang produktif.

Peningkatan anggaran modal akan menyebabkan peningkatan belanja modal pada

infrastruktur. Solikin (2007) menyatakan belum terorientasinya pengelolaan belanja

modal pada publik menyebabkan alokasi belanja modal tidak terlaksana sepenuhnya

bagi pemenuhan kesejahteraan publik.

Setiap daerah memiliki luas wilayah sesuai dengan teritorialnya masing-masing,

begitu juga dengan provinsi gorontalo dengan adanya pemekaran wilayah mempu

mempengaruhi tatanan ekonomi. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun

5
2014, salah satu variabel yang penting yang bisa mencerminkan kebutuhan atas

penyediaan sarana dan prasarana adalah Luas Wilayah, tentunya dengan semakin

luasnya wilayah maka akan mempengaruhi pegalokasian pendapatan asli daerah,

dana alokasi umum, dana alokasi khusus, tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan jelas

keempat faktor ini berpengaruh terhadap belanja modal.

Sejalan dengan hal-hal tersebut terdapat beberapa penelitian, misalnya yang

dilakukan Jaya dan Dwirandra (2012) yang membuktikan bahwa pertumbuhan

ekonomi berpengaruh dan mampu memoderasi pengaruh PAD pada alokasi belanja

modal. Demikian juga penelitian Sugotro (2018), yang membuktikan bahwa luas

wilayah tidak memoderasi pengaruh retribusi daerah, DAU, DAK, pajak daerah

terhadap belanja modal. Hal ini tentu menarik perhatian penulis untuk meneliti kembali

pengaruh PAD, DAU, DAK terhadap belanja modal guna mengkonfirmasi hasil riset

terdahulu. Alasan pemilihan objek penelitian pada provinsi gorontalo karena

merupakan provinsi yang belum lama terjadi pemekaran, tentunya pendapatan

tergantung pada potensi sumber daya daerah.

Berdasarkan beberapa uraian latar belakang di atas maka, dilakukan penelitian

yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana

Alokasi Khusus Terhadap Alokasi Belanja Modal Dengan Pertumbuhan

Ekonomi dan Luas Wilayah Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah

Provinsi Gorontalo Tahun 2011-2013.

1.2. Motivasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menguji pengaruh PAD, DAU, DAK terhadap

Belanja Modal dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Luas Wilayah Sebagai variabel

moderating. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan

dengan motivasi yang berdasarkan pada kenyataan-kenyataan sebagai berikut :

6
Pertama, perbedaan karakteristik obyek penelitian dengan penelitian sebelumnya

terbukti menghasilkan banyak temuan penelitian yang tidak konsisten. Sedangkan

penelitian ini akan menguji kembali penelitian yang dilakukan oleh Prabawati (2017),

yang menjadikan Pertumbuhan Ekonomi sebagai variabel moderating. Hasil dari

penelitian ini, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil

secara bersama-sama berpengaruh terhadap alokasi Belanja Modal dimoderasi

dengan Pertumbuhan Ekonomi. Tetapi terdapat perbedaan dari hasil penelitian

Masruroh (2018), hasil pengujian menunjukkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi

memperlemah pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. Sedangkan

dalam penelitian Sugotro (2018), yang menjadikan Luas Wilayah sebagai variabel

moderating menunjukan hasil Luas Wilayah tidak dapat memoderasi pengaruh Dana

Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. Luas Wilayah tidak dapat memoderasi

pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal.

Kedua, penelitian dilakukan dengan menambahkan dua variabel moderating yaitu

Pertumbuhan Ekonomi dan Luas Wilayah, dan juga lokasi penelitian yang dilakukan

berbeda dari penelitian terdahulu yang bertempat di pemerintah provinsi gorontalo

merupakan provinsi yang belum lama terjadinya pemekaran wilayah, tentunya dengan

adanya masalah pada daerah otonom baru untuk menggali potensi sumber daya yang

ada pada daerah ini sehingga mampu meningkatkan ekonomi berkelanjutan.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat

diketahui bahwa pemerintah daerah dalam penyusunan APBD dan pelaksanaanya

lebih banyak mengalokasikan anggaran ke sektor belanja operasi dari pada belanja

modal. Masalah yang dihadapi pada otonomi daerah adalah pengalokasian realiasasi

belanja modal berpengaruh pada stabilitas perekonomian daerah. Sejalan dengan hal

7
tersebut, peneliti ingin mencoba meneliti variabel-variabel yang berpengaruh terhadap

pengalokasian realiasasi belanja modal. Dengan uraian permasalahan yang akan

diteliti dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap alokasi Belanja

Modal?

2. Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap alokasi Belanja Modal?

3. Apakah Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap alokasi Belanja Modal?

4. Apakah Pertumbuhan Ekonomi dapat memoderasi hubungan dari Pendapatan

Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap alokasi

Belanja Modal?

5. Apakah Luas Wilayah dapat memoderasi hubungan dari Pendapatan Asli

Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap alokasi

Belanja Modal?

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menguji secara empiris pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap

Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi Gorontalo.

2. Untuk menguji secara empiris pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja

Modal pada Pemerintah Provinsi Gorontalo.

3. Untuk menguji secara empiris pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap

Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi Gorontalo.

4. Untuk menguji secara empiris pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dapat

memoderasi hubungan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum,

dan Dana Alokasi Khusus terhadap alokasi Belanja Modal pada pemerintahan

provinsi gorontalo.

8
5. Untuk menguji secara empiris pengaruh Luas Wilayah dapat memoderasi

hubungan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana

Alokasi Khusus terhadap alokasi Belanja Modal pada pemerintahan provinsi

gorontalo.

1.5. Kontribusi Penelitian

1. Kontribusi Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi

akademis dalam upaya mengidentifikasi pengaruh variabel pendapatan

daerah berupa PAD, DAU dan DAK terhadap Belanja Modal.

2. Kontribusi Praktis

a. Bagi Penulis

Penelitian ini menambah pengetahuan tentang apakah variabel PAD,

DAU, dan DAK berpengaruh terhadap belanja modal dengan

Pertumbuhan Ekonomi dan Luas Wilayah sebagai variabel moderasi.

b. Bagi Stakeholder

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau

pertimbangan bagi pemerintah provinsi gorontalo ataupun provinsi lainnya

dengan karakteristik serupa serta lembaga terkait dalam upaya

meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

c. Bagi Akademisi

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan

masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agency Theory

Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah

persetujuan (kontrak) di antara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen, dimana prinsipal

memberi wewenang kepada agen untuk mengambil keputusan atas nama prinsipal

(Jensen dan Meckling, 1976:5). Prinsipal merupakan pihak yang bertindak sebagai

pemberi perintah dan bertugas untuk mengawasi, memberikan penilaian dan

masukan atas tugas yang telah dijalankan oleh agen. Sedangkan agen adalah pihak

yang menerima dan menjalankan tugas sesuai dengan kehendak prinsipal. Menurut

Halim dan Abdullah (2006) Teori Keagenan yakni teori yang mengaitkan hubungan

prinsipal dengan agen yang berasal dari teori ekonomi, keputusan, sosiologi,

organisasi.

Lupia & Mc Cubbins (2000) dalam Halim dan Abdullah (2006) menyatakan

pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (principal) memilih

orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prisipal.

Pihak lain (agent) yang dimaksud adalah pemerintah daerah. Pemerintah daerah

(agent) melakukan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh principal.

Menurut Lane (2003) dalam Halim dan Abdullah (2006) teori keagenan dapat

diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern

didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane, 2000). Hal senada

dikemukakan oleh Moe (1984) yang menjelaskan konsep ekonomika organisasi

sektor publik dengan menggunakan teori keagenan. Bergman & Lane (1990)

menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan

yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik.

10
Pembuatan dan penerapan kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah

kontraktual, yakni informasi yang tidak simetris (asymmetric information).

Menurut Moe (1984) dalam Halim dan Abdullah (2006), di pemerintahan terdapat

suatu keterkaitan dalam kesepakatan kesepakatan prinsipal-agent yang dapat

ditelusuri melalui melalui proses anggaran, pemilih legislatif, legislatif pemerintahan,

menteri keuangan-pengguna anggaran, perdana menteri birokrat, pejabat pemberi

pelayanan. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Gilardi (2001) dan Strom (2000),

yang melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of

delegation), yakni pendelegasian dari masyarakat kepada wakilnya diparlemen, dari

parlemen kepada pemerintah, dari pemerintah sebagai satu kesatuan kepada

seorang menteri, dana dari pemerintah kepada birokrasi. Hubungan tersebut tidaklah

selalu mencerminkan hirarki, tetapi dapat saja berupa hubungan pendelegasian,

seperti yang dinyatakan oleh Andvig et al. (2001).

Secara umum dapat dikatakan bahwa delegation is certanly problematic and

entails danger (Lupia & Mc Cubbins, 2000). Dalam demokrasi modern, setidaknya

terdapat empat ciri pendelegasian (Lupia & Mc Cubbins, 2000), yakni: (1) adanya

prinsipal dan agen, (2) kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, (3) adanya

asimetri informasi, dan (4) prinsipal kemungkinan dapat mengurangi masalah

keagenan. Prinsipal sendiri harus mngeluarkan biaya (costs) untuk medapatkan

informasi yang dibutuhkan dalam memonitor kinerja agent dan menentukan struktur

insentif dan monitoring yang efisisen (Petrie, 2002) dalam Halim dan Abdullah (2006).

Teori keagenan dalam sektor publik merupakan sistem keagenan yang bertingkat.

Bertingkat yang dimaksudkan disini adalah karena hubungan keagenan dalam

pemerintahan terjadi dalam dua bentuk, yaitu:

a) Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Eksekutif

11
Perspektif keagenan sektor publik, legislatif (DPRD) merupakan pihak

yang berperan sebagai prinsipal dan eksekutif (Pemda) bertindak sebagai

agen. Anggaran daerah disusun oleh Pemda sesuai dengan program yang

akan dijalankan. Setelah anggaran disusun dalam bentuk RAPBD, kemudian

RAPBD tersebut diserahkan kepada DPRD untuk kemudian diperiksa lebih

lanjut. Jika RAPBD yang telah diajukan Pemda tersebut dianggap telah sesuai

dengan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), maka DPRD akan

mengesahkannya menjadi APBD. APBD tersebut yang akan menjadi alat

kontrol bagi DPRD untuk memantau kinerja Pemda.

b) Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik

Pemberian pelayanan kepada publik, legislatif (DPRD) bertindak sebagai

agen dan publik (rakyat) bertindak sebagai prinsipal. Legislatif merupakan

perwakilan dari rakyat yang dipercaya untuk dapat menjalankan tugasnya

dalam mensejahterakan rakyat dan mengembangkan daerahnya. Legislatif

bertindak berdasarkan keinginan rakyat dan rakyat memantau kinerja dari

legislatif. Jadi walaupun di satu sisi legislatif menjadi prinsipal, tapi dalam

hubungannya dengan publik, legislatif bertindak sebagai agen. Sehingga

dalam menjalankan tugasnya, legislatif menempatkan dirinya sebagai pihak

yang menerima tugas dari publik, kemudian melakukan pendelegasian tugas

kepada eksekutif untuk melakukan penganggaran (Nugroho, 2012: 41-42).

2.2. Stakeholder Theory

Stakeholder theory merupakan sekelompok orang, komunitas atau masyarakat

baik secara keseluruhan maupun parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan

terhadap organisasin (Putro, 2013). Organisasi sektor publik memiliki cakupan yang

sangat luas dibandingkan dengan sektor swasta. Pemerintah selaku pemegang

12
kekuasaan dalam roda pemerintahan harus menekankan aspek kepentingan rakyat

selaku stakeholder (Putro, 2013). Pemerintah harus mampu mengelola kekayaan

daerah, pendapatan daerah serta aset daerah untuk kesejahteraan rakyat sesuai

dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan bahwa

seluruh kekayaan alam yang dikuasai pemerintah harus digunakan dan dimanfaatkan

untuk kesejahteraan rakyat, salah satu caranya dengan megalokasikan Pendapatan

Daerahnya untuk belanja modal yang langsung di manfaatkan dan dipergunakan

secara langsung oleh masyarakat sebagai stakeholder. Jika pendapatan dari sumber

PAD, DAU, dan DAK yang dialokasikan ke Belanja Modal maka akan dapat

memberikan efek kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan daerah shareholders.

2.3. Akuntansi Sektor Publik

Akuntansi sektor publik didefinisikan sebagai akuntansi dana masyarakat, yang

berarti mekanisme teknik analisis dan analisis akuntansi yang diterapkan pada

pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-

departemen dibawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM dan yayasan

sosial, maupun pada proyek-proyek kerja sama sektor publik dan swasta (Bastian,

2002). Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan, akuntansi pemerintahan adalah proses pencatatan,

pengukuran, pengklasifikasian, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian keuangan,

penginterprestasian atas hasilnya, serta penyajian laporan. Mahmudi (2011:18)

menyatakan akuntansi publik adalah kewajiban pemegang amanah (agent) untuk

memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan

segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi

amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta

pertanggungjawaban tersebut. Bastian (2009:15) menyatakan, akuntansi sektor

13
publik adalah mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada

pengelolaan dana masyarakat dilembaga tinggi negara dan departemen-departemen

dibawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM, dan yayasan sosial maupun

pada proyek-proyek kerja sama sektor publik dan swasta.

Ciri utama struktur pemerintahan dan pelayanan yang diberikan, yaitu :

a) Bentuk umum pemerintahan dan pemisahan kekuasaan.

Pihak eksekutif menyusun anggaran dan menampaikannya kepada pihak

legislatif untuk mendapatkan persetujuan. Selanjutnya setelah mendapat

persetujuan, pihak eksekutif melaksanakannya dalam batas-batas apropriasi

dan ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan apropriasi tersebut.

Kapada pihak legislative dan publik (masyarakat).

b) Sistem pengendalian otonomi dan transfer pendapatan antar pemerintah

Tiga lingkup pemerintahan di indonesia, yaitu: pemerintahan pusat,

pemerintahan provinsi, dan pemerintahan kabupaten/kota. Pemerintahan

yang menghasilkan pendapatan (baik dari pajak maupun bukan pajak) yang

lebih besar akan menggunakan sistem bagi hasil, alokasi dana umum, hibah,

atau subsidi antar entitas pemerintah.

c) Adanya pengaruh politik

Salah satu ciri yang penting dalam mewujudkan kesejehteraan masyarakat

dan keseimbangan fiskal adalah berlangsungnya proses politik untuk

menyelaraskan berbagai kepentingan yang ada di masyarakat.

d) Hubungan antara pembayaran pajak dan pelayanan pemerintah.

Sering kali efisiensi pelayanan yang diberikan pemerintah dengan pungutan

yang digunakan untuk pelayanan tersebut sulit diukur. Hal ini dikarenakan

keterkaitanya dengan monopoli pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah.

14
Pengukuran kualitas dan kuantitas berbagai pelayanan yang di berikan oleh

pemerintah merupakan hal yang relative sulit untuk dilakukan.

2.4. Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai

penambah nilai kekayaan bersih (Permendagri No. 21 Tahun 2011 tentang

Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah).

2.4.1. Pendapatan Asli Daerah

Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah

merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk

digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai

pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana

dari pemerintah pusat. Daerah yang mempunyai sarana dan prasara yang

memadai dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya pada daerah

tersebut, sehingga akan menambah PAD. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004,

PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan

kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa pajak

daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah

yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah disebutkan bahwa jenis pajak daerah terdiri dari 2 (dua), yaitu

pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Jenis Pajak provinsi terdiri atas Pajak

15
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar

Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok,. Jenis Pajak

Kabupaten/Kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak

Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan,

Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan

Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa

Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau

pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh

Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Retribusi daerah

dikelompokkan dalam retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, retribusi perizinan

tertentu. Penerimaan PAD lainnya yang menduduki peran penting setelah pajak

daerah dan retribusi daerah adalah bagian Pemerintah Daerah atas laba BUMD.

2.4.2. Dana Alokasi Umum

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan, menjelaskan bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-

kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan oleh APBN.

Untuk daerah provinsi menerima sebesar 10% dari DAU yang ditetapkan,

sedangkan kabupaten/kota sebesar 90%. Selanjutnya dari jumlah DAU 90% yang

ditujukan untuk kabupaten dan kota, maka setiap kabupaten dan kota akan

mendapatkan DAU sesuai dengan hasil perhitungan “Formula DAU” yang

ditetapkan berdasarkan Celah Fiskal dan Alokasi Dasar.

DAU = Alokasi Dasar (AD) = Celah Fiskal (CF)

Alokasi Dasar (AD) dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS)

daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan

16
yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku. Celah

Fiskal (CF) merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal.

Menurut (Nodiawan dan Ayuningtyas, 2010:26) DAU adalah dana yang

bertujuan bagi pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksud

untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui

penerimaan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.

Dalam Wandira, 2013:30) ketimpangan ekonomi antara satu provinsi dengan

provinsi lain tidak dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal, disebabkan

oleh minimnya sumber pajak dan sumber daya alam yang kurang dapat di gali

oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat berinisiatif memberikan subsidi

berupa DAU kepada daerah untuk menanggulangi ketimpangan tersebut.

Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD

sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, sehingga belanja untuk proyek-

proyek pembangunan menjadi sangat berkurang. Kendala utama yang dihadapi

Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah minimnya

pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Proporsi PAD

yang rendah, dilain pihak juga menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki derajat

kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar

pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana perimbangan,

terutama Dana Alokasi Umum (Setiawan, 2010:42),

2.4.3. Dana alokasi Khusus

DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan

khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU

No. 33 tahun 2004). Menurut (Nordiawan dan ayuningtyas, 2010:26) DAK

17
dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah

tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,

khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana dasar masyarakat

yang belum mencapai standart tertentu atau untuk mendorong percepatan

pembangunan daerah.

Menurut (UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004), wilayah yang

menerima DAK harus menyediakan dana penyesuaian paling tidak 10% dari DAK

yang ditransfer ke wilayah, dan dana penyesuaian ini harus dianggarkan dalam

anggaran daerah (APBD). Meskipun demikian, wilayah dengan pengeluaran lebih

besar dari penerimaan tidak perlu menyediakan dana penyesuaian. Tetapi perlu

diketahui bahwa tidak semua daerah menerima DAK karena DAK bertujuan untuk

pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi infrastruktur fisik yang dinilai sebagai

prioritas nasional.

Dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari

anggaran kementerian negara, yang digunakan untuk melaksanakan urusan

daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus. DAK digunakan

untuk menutup kesenjangan pelayanan publik antar daerah dengan memberi

prioritas pada bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan dan

perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, dan lingkungan hidup

(Sulistyowati, 2011:26).

2.5. Belanja Modal

Menurut PSAP No. 2 Tentang Laporan Realisasi Anggaran, pengertian belanja

modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang

sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu

periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya

18
pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta

meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Sedangkan, menurut PP Nomor 71 Tahun

2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya

melebihi 1 tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan

selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan

pada kelompok belanja administrasi umum. Aset tetap yang dimiliki pemerintah

daerah sebagai akibat adanya belanja modal merupakan syarat utama dalam

memberikan pelayanan publik. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah

mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Menurut

(Halim dan Muhammad, 201:107) belanja modal merupakan pengeluaran anggaran

untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu

priode akuntansi. Mahsun (2006: 52) menyatakan anggaran modal menunjukan

rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung,

peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Belanja modal/investasi (sering

disebut pengeluaran pembangunan) merupakan contoh anggaran modal. Belanja

modal ini manfaatnya cenderung melebihi satu tahun dan akan menambah aset atau

kekayaan pemerintah. Yusuf (2010:22) menyatakan “Tanah merupakan aset

pemerintah yang sangat vital dalam operasioanal dalam pemerintahan dan pelayanan

kepada masyarakat.Aset tanah merupakan aset yang paling sulit dalam

pengelolaannya”.

2.6. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi, yang berarti perluasan kegiatan ekonomi, adalah satu-

satunya cara untuk meningkatkan penghasilan anggota masyarakat dan membuka

lapangan kerja baru (Boediono, 2010). Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

pembanguan sarana dan prasarana, antara lain sumber daya alam, tenaga kerja,

19
investasi modal, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi sektor industri,

teknologi, pasar ekspor, situasi perekonomian internasional, kapasitas pemerintah

daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan pembangunan. Dalam pemerintah

daerah, pembangunan sarana dan prasarana berpengaruh positif pada pertumbuhan

ekonomi (Darwanto, 2007). Bahkan salah satu indikator makro ekonomi yang pada

umumnya digunakan untuk mengukur kineja ekonomi di suatu negara. Sedangkan

untuk tingkat wilayah, Propinsi maupun Kabupaten/Kota, digunakan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB). Produk domestik regional bruto (PDRB) merupakan jumlah

nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit produksi didalam

suatu wilayah atau daerah pada periode tertentu (biasanya satu tahun) tanpa

memperhitungkan kepemilikan dan PDRB perkapita adalah hasil pembagian Produk

Domestik Regional Bruto dengan jumlah penduduk pertengahan tahun (BPS,2008).

Pertumbuhan ekonomi biasa bersifat positif, negatif atau statis. Pertumbuhan

ekonomi dikatakan positif apabila terjadi kenaikan Output Total Ril (OTR) negatif jika

terjadi penurunan OTR dan dikatakan statis jika tidak terjadi kenaikan maupun

penurunan OTR. Pertumbuhan ekonomi terkait dengan proses peningkatan produksi

barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa

pertumbuhan menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur

dengan meningkatkan hasil produksi dan pendapatan (Djojohadikusumo, 1994:1).

Sadono Sukirno (1996:33) pertumbuhan dan pembangunan ekonomi memiliki

definisi yang berbeda, yaitu pertumbuhan ekonomi ialah proses kenaikan output

perkapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Sedangkan pembangunan

ekonomi ialah usaha meningkatkan pendapatan perkapita dengan jalan mengolah

kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal,

20
penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan,

penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen.

2.7. Luas Wilayah

Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah

kedaulatan. Pada masa lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh batas-batas

kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Luas Wilayah Pemerintahan

merupakan jumlah ukuran dari besarnya wilayah dari suatu pemerintahan, baik itu

pemerintahan kabupaten, kota maupun provinsi. Luas Wilayah sangat erat kaitannya

dengan geografis suatu daerah (Yusin, 2015).

Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan

prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk

fasilitas publik. Dalam penjelasan Undang-undang nomor 33 tahun 2004, salah satu

variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana

adalah Luas Wilayah, maksudnya semakin besar Luas Wilayah suatu daerah

pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan prasarana yang harus

disediakan Pemerintah Daerah agar tersedia pelayanan publik yang baik. Penelitian

yang dilakukan (Kusnandar dan Dodik, 2012:16) menyatakan Luas Wilayah

berpengaruh positif terhadap pengalokasian belanja modal, hal ini mengindikasikan

bahwa alokasi belanja modal yang dilakukan oleh daerah sangat dipengaruhi oleh

luas daerah itu sendiri.

2.8. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini berusaha menguji secara empiris pengaruh Pendatan Asli Daerah,

Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal dengan

Pertumbuhan Ekonomi dan Luas Wilayah sebagai variabel moderasi. Penelitian dari

Prabawati (2017), menjelaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum

21
berpengaruhi secara parsial terhadap alokasi Belanja Modal, Dana Bagi Hasil tidak

berpengaruh secara parsial terhadap alokasi Belanja Modal, Dana Bagi Hasil

berpengaruh dan mampu dimoderasi Pertumbuhan Ekonomi terhadap alokasi Belanja

Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh dan tidak

mampu di moderasi oleh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja Modal, Pendapatan

Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil secara bersama-sama

berpengaruh terhadap alokasi Belanja Modal dimoderasi dengan pertumbuhan

ekonomi.

Penelitian Masruroh (2018), Menjelaskan hasil penelitian, berdasarkan hasil

pengujian secara parsial menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh

signifikan terhadap Belanja Modal, hasil pengujian parsial menunjukan bahwa Dana

Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal, hasil pengujian secara

parsial menunjukan bahwa Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap Belanja

Modal, hasil pengujian menunjukan bahwa Pertumbuhan Ekonomi mampu

memperkuat pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal, hasil

pengujian menunjukkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi memperlemah pengaruh Dana

Alokasi Umum terhadap Belanja Modal, Berdasarkan hasil pengujian secara simultan

menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU),

Pertumbuhan Ekonomi, Interaksi Pendapatan Asli Daerah dengan Pertumbuhan

Ekonomi, dan Interaksi Dana Alokasi Umum dengan Pertumbuhan Ekonomi

berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.

Sugiarthi (2014), Menjelaskan hasil penelitian, Pendapatan Asli Daerah

berpengaruh positif dan signifikan pada Belanja Modal. Sisa Lebih Pembiayaan

Anggaran berpengaruh positif dan signifikan pada Belanja Modal. Pertumbuhan

ekonomi tidak berpengaruh signifikan pada Belanja Modal. Pendapatan Asli Daerah

22
merupakan variabel yang paling dominan diantara variabel lainnya yang

mempengaruhi Belanja Modal. Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh signifikan dan

mampu memoderasi pengaruh Dana Alokasi Umum pada Belanja Modal namun

dengan arah yang negatif. Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh signifikan dan mampu

memoderasi pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Belanja Modal namun dengan

arah yang negatif. Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan dan tidak

mampu memoderasi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran pada Belanja Modal.

Sugotro (2018), Menjelaskan hasil penelitian, Terdapat pengaruh yang signifikan

antara Pajak Daerah terhadap Belanja Modal yang ditunjukkan oleh hasil uji parsial.

Terdapat pengaruh yang signifikan antara Retribusi Daerah terhadap Belanja Modal

yang ditunjukkan oleh hasil uji parsial. Terdapat pengaruh yang signifikan antara Dana

Alokasi Umum terhadap Belanja Modal yang ditunjukkan oleh hasil uji parsial.

Terdapat pengaruh yang signifikan antara Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja

Modal yang ditunjukkan oleh hasil uji parsial. Luas Wilayah tidak dapat memoderasi

pengaruh Pajak daerah terhadap Belanja Modal. Hal ini ditunjukkan pada hasil uji t.

Luas Wilayah tidak dapat memoderasi pengaruh Retribusi daerah terhadap Belanja

Modal. Hal ini ditunjukkan pada hasil uji t. Luas Wilayah tidak dapat memoderasi

pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. Hal ini ditunjukkan pada hasil

uji t. Luas Wilayah tidak dapat memoderasi pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap

Belanja Modal. Hal ini ditunjukkan pada hasil uji t.

23
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1. Konsep Penelitian

UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah menjelaskan otonomi daerah

adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam

melaksanakan urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan presiden dan

pelaksanaannya dilimpahkan kepada gubernur dan bupati/wali kota, dibiayai oleh

APBN. Disinilah letak permasalahan yang muncul, dimana pemerintahan daerah telah

mengatur wilayah otonominya sendiri, dengan alasan ini pemerintahan harusnya bisa

meningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Masruroh (2018),

menyatakan bahwa salah satu upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan

kemandirian daerah adalah dengan mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

yaitu dengan memberikan proporsi alokasi belanja modal yang lebih tinggi pada

sektor-sektor yang dianggap produktif. Pemerintah daerah masih kurang

mengupayakan untuk peningkatan pelayanan publik, namun lebih mengupayakan

untuk meningkatkan penerimaan daerah yang nantinya akan dialokasikan bukan

untuk pembangunan infrastruktur publik melainkan untuk belanja rutin lainnya yang

bersifat kurang produktif.

Kebijakan perencanaan tidak lepas dari sumber pembiayaan yang tersedia

maupun yang direncanakan dan urutan prioritas pembangunan yang akan

dilaksanakan. Salah satu masalah dalam pendapatan dan belanja daerah adalah

masih lemahnya kemampuan pemerintah daerah dalam menggali potensi pendapatan

daerah akan berpengaruh terhadap kemampuan daerah untuk membiayai anggaran

24
rutin dan anggaran pembangunan. Lemahnya kemampuan pemerintah daerah dalam

meningkatkan pendapatan daerah juga akan mempengaruhi belanja daerah. Hal yang

dinilai masyarakat dimana pemerintah harus meningkatkan pendapatan daerah untuk

memenuhi belanja modal. Belanja modal antara lain berhubungan dengan masalah

transportasi, orang, barang, dan jasa. Misalnya kualitas jalan (transportasi),

perekonomian yang maju karena distribusi barang efisien jika sarana transportasi

jalan memadai. Belanja modal juga berhubungan dengan bidang kesehatan melalui

pembangunan rumah sakit dan puskesmas, juga berhubungan dengan bidang

pendidikan melalui pembangunan sekolah, universitas, dan sebagainya.

Faktor penting penentu pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah

pengeluaran pemerintah. Namun Pertumbuhan ekonomi tergantung pada ukuran,

kapasitas belanja, dan efektif menggunakan belanja modal di proses pembangunan.

Pemerintah Daerah semestinya dapat mengalokasikan belanja modal yang lebih

tinggi dibandingkan belanja rutin yang relative kurang produktif. Peningkatan

anggaran modal akan menyebabkan peningkatan belanja modal pada infrastruktur,

Masruroh (2018). Solikin (2007) menyatakan belum terorientasinya pengelolaan

belanja modal pada publik menyebabkan alokasi belanja modal tidak terlaksana

sepenuhnya bagi pemenuhan kesejahteraan publik.

Pertumbuhan ekonomi merupakan parameter dari suatu kegiatan

pembangunan, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi dapat mengukur tingkat

perkembangan aktivitas pada sektor-sektor ekonomi dalam suatu perekonomian

(Hasan, 2012). Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kondisi kegiatan dalam

perekonomian yang meyebabkan produksi barang dan jasa bertambah sehingga

terjadinya peningkatan kemakmuran masyarakat. Salah satu tujuan pemerintah

daerah adalah pertumbuhan ekonomi yang meningkat setiap tahunnya. Salih (2012)

25
dengan penelitiannya di Sudan, berpendapat bahwa Pertumbuhan PDB riil per kapita

memiliki hubungan yang searah dengan pangsa belanja pemerintah terhadap PDB.

Bataineh (2012) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah pada tingkat agregat

memiliki dampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Taiwo & Abayomi (2011)

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara PDB dan belanja modal.

Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini sebagai berikut :

Pertumbuhan
Ekonomi

Pendapatan Asli Daerah

Dana Alokasi Umum Belanja Modal

Dana Alokasi Khusus

Luas Wilayah

3.2. Pengembangan Hipotesis

3.2.1. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Modal

Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah,

pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi

masyarakat (UU No. 23/2014). Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan

26
yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi

ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu

menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan.

Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber dana yang didapatkan iuran

langsung dari masyarakat seperti retribusi, pajak dan lain sebagainya. Pendapatan

yang diperoleh daerah digunakan untuk menunjang sarana dan prasarana publik serta

infrastruktur yang baik. Jika pembangunan berbagai sarana dan prasarana publik

serta infrastruktur dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Pembangunan

sarana dan prasarana serta infrastruktur yang dikeluarkan pemerintah daerah melalui

biaya belanja modal berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah. Penelitian

Masruroh (2018), Menjelaskan hasil penelitian, berdasarkan hasil pengujian secara

parsial menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap

Belanja Modal. Begitu juga penelitian Sugiarthi (2014), Menjelaskan hasil penelitian,

Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan pada Belanja Modal.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti membangun hipotesis sebagai berikut :

H1 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.

3.2.2. Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal

Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan

keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi,

dekonsentrasi, dan pembantuan. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan

pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk

mengatur dan mengurus sendiri daerahnya. Wujud desentralisasi yaitu pemberian

dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini bertujuan untuk

mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (UU

No. 33 Tahun 2004).

27
Pemerintah daerah masih banyak yang membutuhkan dana bantuan dari

pemerintah pusat untuk meningkatkan sarana dan prasarana publik serta infrastruktur

dalam meningkatkan pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan tujuan dari Dana

Alokasi Umum yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang

semakin baik. Hal ini memberikan indikasi yang kuat bahwa belanja modal akan

dipengaruhi oleh Dana Alokasi Umum. Sehingga dapat disimpulkan jika Dana Alokasi

Umumnya tinggi maka Belanja Modal juga akan tinggi. Sejalan dengan penelitian

Masruroh (2018), hasil pengujian parsial menunjukan bahwa Dana Alokasi Umum

berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Berdasarkan uraian di atas maka

peneliti membangun hipotesis sebagai berikut :

H2 : Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.

3.2.3. Pengaruh Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Modal

Dana perimbangan merupakan perwujudan hubungan keuangan antara

pemerintah pusat dengan daerah. Salah satu dana perimbangan adalah Dana Alokasi

Khusus. Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN

yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai

kegiatan khusus yang merupakan kegiatan daerah dan sesuai dengan prioritas

nasioanal. Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus

ditanggung oleh pemerintah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan

investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, perbaikan sarana dan prasarana

fisik pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang. Dengan diarahkannya

pemanfaatan DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan

pelayanan publik yang direalisasikan dalam Belanja Modal. Penelitian Sugotro (2018),

menunjukan Terdapat pengaruh yang signifikan antara Dana Alokasi Khusus

28
terhadap Belanja Modal yang ditunjukkan oleh hasil uji parsial. Berdasarkan uraian di

atas maka peneliti membangun hipotesis sebagai berikut :

H3: Dana Alokasi Khusus berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.

3.2.4. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Dapat Memoderasi Hubungan Dari

Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus

Terhadap Alokasi Belanja Modal

Pertumbuhan ekonomi yang baik bagi suatu daerah berpengaruh terhadap

pembangunan daerah. Pembangunan daerah yang baik yaitu bisa dikategorikan

meningkatkan sarana dan prasarana publik serta infrastruktur daerah. Jika

pembangunan sarana dan prasarana publik serta infrastruktur daerah dapat

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Hal ini juga mempengaruhi alokasi belanja

modal karena sarana dan prasarana publik serta infrastruktur daerah dibelanjakan

menggunakan belanja modal. Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi faktor penentu

terjadinya pengaruhnya PAD terhadap Belanja Modal. Pemerintah daerah masih

banyak yang membutuhkan dana bantuan dari pemerintah pusat untuk meningkatkan

sarana dan prasarana publik dalam meningkatkan pembangunan daerah.

Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi faktor penentu terjadinya pengaruhnya DAU

dan DAK terhadap Belanja Modal. Penelitian Prabawati (2017), Pendapatan Asli

Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil secara bersama-sama

berpengaruh terhadap alokasi Belanja Modal dimoderasi dengan pertumbuhan

ekonomi. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti membangun hipotesis sebagai

berikut :

H4: Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh pada hubungan PAD, DAU dan DAK

terhadap Belanja Modal.

29
3.2.5. Pengaruh Luas Wilayah Dapat Memoderasi Hubungan Dari Pendapatan

Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap

Alokasi Belanja Modal

Salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana

dan prasarana adalah Luas Wilayah. Daerah dengan wilayah yang lebih luas akan

membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak, sebagai syarat untuk

pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak

begitu luas sehingga Luas Wilayah mampu memoderasi Pendapatan Asli Daerah,

DAU dan DAK untuk pengalokasian Belanja Modal.

Luas Wilayah suatu daerah dapat dijadikan ukuran suatu daerah untuk

mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan terutama berupa pembangunan

infrastruktur berupa jalan dan jaringan. Pembangunan infrastruktur berupa jalan akan

mempermudah akses ke suatu daerah dan dapat memperlancar transportasi

sehingga dapat memperlancar arus barang dari daerah satu ke daerah yang lain.

Lancarnya arus barang dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya. Dan

hal tersebut dapat meningkatkan perekonomian daerah itu sendiri. Penelitian Sugotro

(2018), Luas Wilayah tidak dapat memoderasi hubungan PAD, DAU, dan DAK terhada

Belanja Modal. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti membangun hipotesis

sebagai berikut :

H5: Luas Wilayah tidak berpengaruh pada hubungan PAD, DAU dan DAK

terhadap Belanja Modal.

30
DAFTAR PUSTAKA

Dadang, Suwanda (2015). Sistem Akuntansi Akrual Pemerintah Daerah. Penerbit


PPM. Jakarta Pusat.
Gunatara. Dwirandra. 2014. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Dana Alokasi
Umum Pada Pertumbuhan Ekonomi Dengan Belanja Modal Sebagai Variabel
Pemoderasi Di Bali”. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 7.3: 529-546.
Mangowal, J,C. 2013. “Pendapatan Daerah Pengaruhnya Terhadap Belanja Modal
Pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara”. Jurnal EMBA Vol.1 No.4, Hal. 1386-
1396.
Masruroh, A. 2018. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Dana Alokasi Umum
Terhadap Belanja Modal Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel
Moderasi Pada Kota/Kabupaten Di Provinsi Jawa Timur”. Simki-Economic Vol. 02
No. 01 Tahun 2018 ISSN : 2599-0748.
Oktora. Pontoh. 2013. “Analisis Hubungan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi
Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Atas Belanja Modal Pada Pemerintah Daerah
Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah”. JURNAL ACCOUNTABILITY VOL.
2 NO. 1,
Prambawati, P.S.S. Wany, Eva. 2017. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana
Alokasi Umum Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Alokasi Belanja Modal Dengan
Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2013-2015”. Equilibrium, Edisi
Khusus Oktober 2017, Hal. 1-17.
Priambudi, Wimpi. 2017. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Dana Alokasi
Umum Terhadap Belanja Modal Pada Kabupaten Dan Kota Di Pulau Jawa Tahun
2013”. JURNAL NOMINAL / VOLUME VI NOMOR 1 / TAHUN 2017.
Saraswati. Ramatha. 2018. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Modal dan Investasi Swasta sebagai
Pemoderasi”. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana Vol.24. 662-686,
Sugotro,W. Dkk. 2018. “Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi
Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Pengalokasian Belanja Modal
Dengan Luas Wilayah Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintahan Kota
Semarang Tahun 2011-2016”. Journal Of Accounting 2018.
Suguarthi. Supadmi. 2013. “Pengaruh PAD, DAU, Dan Silpa Pada Belanja Modal
Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Pemoderasi”. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana 7.2 :477-495.
Stevani Uhise. 2013. “Dana Alokasi Umum (Dau) Pengaruhnya Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Utara Dengan Belanja Modal Sebagai Variabel
Intervening”. Jurnal EMBA 1677 Vol.1 No.4, Hal. 1677-1686.

31

Anda mungkin juga menyukai