Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kajian tentang biaya merupakan sebuah isu yang menarik diangkat dan dibahas

dalam penelitian ilmiah akuntansi. Karena setiap aktivitas manusia sering sekali

bersentuhan dengan namanya biaya (cost). Dalam kehidupan sehari-hari biaya

merupakan istilah yang sudah biasa, dan setiap orang memiliki pengertian sendiri

tentang biaya, sehubungan dengan istilah biaya, peryataan dari Hansen and Mowen

(2004) mendefinisikan biaya adalah kas yang dikorbankan untuk mendapat barang

atau jasa yang diharapkan memberikan manfaat saat ini atau di masa yang akan

datang bagi organisasi.

Adapun definisi biaya menurut peryataan standar akuntansi keuangan (PSAK)

(1994:24) adalah sebagai berikut :

“Biaya adalah penurunan manfaat eknomis selama suatu periode akuntansi

dalam bentuk arus kas atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban

yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang menyangkut pembagian kepada

pemegang modal”.

Disebutkan juga biaya merupakan pengorbanan yang diukur dalam bentuk

moneter, penurunan aset atau penurunan manfaat ekonomi yang mengakibatkan

penurunan ekuitas pada periode tertentu (Grady 1965, Suwardjono 2010). Biaya yang

tinggi dengan asumsi tidak terjadi kenaikan pendapatan akan menyebabkan

1
penurunan laba atau kerugian. Sampai saat ini, laba masih menjadi fokus bagi

manajemen perusahaan maupun pemangku kepentingan. Kotrak manajemen dan

kontrak hutang juga dipengaruhi oleh net income (Rahmawati, 2012).

Cara pandang akuntan dan perusahaan secara umum tentang pentingnya laba

juga tercermin dalam perubahan kehidupan masyarakat saat ini. Hampir seluruh

aspek kehidupan selalu diukur dengan menggunakan ukuran moneter yang akhirnya

diperhitungkan dalam bentuk output materi. Akuntansi modern selalu berusaha untuk

memaksimalkan laba materi (Subiyantoro dan triyuwono 2003). Manajemen

perusahaan berusaha meningkatkan pendapatan untuk meningkatkan nilai

perusahaan (Sari et.al. 2015) serta melakukan efisensi biaya agar tercapainya laba

yang maksimal oleh karena itu, manusia modern terpenjara dalam pola pikir

pendapatan, biaya dan laba materi semata-mata. Hal-hal lain seperti etika, norma dan

nilai spiritual tidak jarang diabaikan mencapai tujuan tersebut (Sari et.al 2015,

Triyuwono 2015).

Terdapat ungkapan dalam salah satu artikel di mana dalam penelitiannya tertulis

“ngapain kasus picisan itu di ambil? Itu ngak ilmiah!”. Triyuwono (2007) berpendapat

bahwa bahwa kita harus menghargai kasus pinggiran sebagaimana kita menghargai

yang pusat. Seolah-olah akuntansi hanya berfokus pada perusahaan besar atau

organisasi bisnis lainnya, padahal jika kita dengan cermat akuntansi juga terdapat

pada sesuatu yang sifatnya tradisi dan kebudayaan dan itu mempengaruhi ekonomi

masyarakat.

Biaya bukan hanya terjadi dalam perusahaan serta organisasi, namun juga dalam

kehidupan masyarakat. Biaya juga muncul dalam kegiatan budaya dan tradisi

2
masyararakat indonesia. Akuntansi dan budaya sudah lama mengalami diskursus

(Randa dan Daromes 2014). Sebagai bagian dari ilmu sosial, akuntansi memiliki

interaksi yang kuat (saling mempengaruhi) dengan lingkungan sosial masyarakat

sehingga memiliki peran dalam membentuk realitas di masyarakat (Hines 1988;

Morgan 1988; Triyuwono 2012). Masyarakat memiliki karakteristik lingkungan sosial

yang kompleks dan berbeda-beda sehingga terbuka kemungkinan mereka memiliki

cara pandang (perspektif) yang berbeda terhadap suatu objek termasuk konsep

akuntansi (Ahmed 1994). Jika menggunakan perspektif yang berbeda (misalnya

perspektif bisnis, perspektif sosial atau perspektif budaya), maka akan dilahirkan

makna yang berbeda dari suatu objek.

Kebudayaan memiliki kandungan makna yang ada didalamnya ada nilai-nilai etis,

moral, dan spiritual sehingga nilai-nilai kebudayaan yang diturunkan perlu dijaga dan

di lestarikan untuk kepentingan generasi selanjutnya. Kebudayaan bukanlah hal yang

bersifat negatif, tetapi dalam kebudayaan ada unsur-unsur penting yang dapat

dijadikan sebagai pengatur norma kehidupan manusia. Kebudayaan juga mempuyai

fungsi dan kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Dimana kebudayaan berguna

untuk melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia

dan sebagai wadah dari segenap perasaan manusia. Dengan kebudayaan, manusia

dapat mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi, serta memenuhi sebagian besar

dari kebutuhan hidupnya, baik spiritual maupun material. Memang demikian

kenyatanya, bahwa kebudayaan itu mampu membantu manusia untuk menjaga

kelangsungan hidupnya dalam lingkungan alam tertentu disinilah fungsi dari

kebudayaan (Ufie, 2016).

3
Seiring dengan itu, Bakker (1948). Mengungkapkan bahwa kebudayaan

mempuyai hak yang sama untuk dipelajari dan di hargai. Melalui kebudayaan,

manusia memperkokoh serta meningkatkan harkat dan martabat kemanusiannya.

Manusialah yang menciptakan kebudayaan, oleh sebab itu manusia pada hakikatnya

adalah makhluk yang berbudaya, manusia tidak dapat hidup tanpa budaya. Budaya

merupakan wahana bagi manusia untuk mengekspresikan diri dan juga wahana untuk

mengekspresikan hakikat kemanusiaannya sebagai makhluk yang berbudaya.

Hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya, memperlihatkan bahwa ada

keterjalinan hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan kemanusiaan.

Hubungan ini sangat hakiki, dari kebudayaan orang mengharapkan kemanusian yang

sejati. Bakker (1948), maka sistem nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat,

serta pandangan hidup merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari

adat istiadat. Hal ini disebabkan nilai budaya merupakan konsep. Konsep mengenai

apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup sehingga dapat

berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan

warga masyarakat.

Kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga

keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan

lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak lepas dari pengaruh

berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya,

(Mujahidin,2016)

Mujahidin (2016), Menyatakan bahwa dalam masyarakat yang beradab, budaya

di bangun atas dasar konsensus nilai-nilai kearifan lokal. Jika kultur dan kearifan lokal

4
dikaitkan dengan aktivitas bisnis, maka ia menjadi sebuah entitas yang tidak bisa

dipisahkan. Bisnis tidak bisa terlepas dari nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial

masyarakat yang dianut. Ia tidak dipertentangkan, tetapi ia harus direlasikan atau

bahkan diintegrasikan. Oleh karena itu, memahami nilai-nilai kearifan lokal menjadi

sangat signifikan dalam mengontruksi fundamental ekonomi.

Sejalan dengan hal tersebut, Zulfikar (2008) berpendapat bahwa nilai-nilai budaya

lokal terkadang luput dari perhatian yang sesungguhnya memberikan kontribusi dalam

praktik akuntansi yang diterapkan masyarakat. Suwardjono (2011:1-2) mengungkap

bahwa di balik praktik akuntansi sebenarnya terdapat seperangkat gagasan yang

melandasi, yaitu asumsi dasar, konsep, deskripsi dan penalaran yang keseluruhannya

akan melahirkan suatu teori. Oleh karena itu, untuk mengembangkan praktik

akuntansi tidak cukup hanya dilakukan dengan mempelajari praktik akuntansi yang

sedang berlangsung. Hal yang penting untuk dicermati adalah nilai-nilai budaya

dibalik praktik akuntansi secara bersama-sama, (Amaliah, 2016).

Penggalian praktik, konsep dan makna akuntansi yang berbasis budaya lokal

sangat penting untuk dilakukan, sebagai upaya untuk terus menunjukan eksistensi,

keunikan dan kekayaan akuntansi di indonesia (Rahayu, 2016).

Berangkat dari fenomena yang ada di indonesia, biaya (cost) yang terdapat dalam

akuntansi juga dapat digolongkan dalam perspektif kearifan lokal dalam perayaan

tradisi di gorontalo, yang memiliki keterkaitan dengan penyelenggaran tradisi tersebut,

membutuhkan pengeluaran biaya yang sangat besar. Salah satu daerah yang

memiliki tradisi atau kebiasaan yang mewariskan keindahan tradisi nenek moyang

secara turun temurun yang tidak terdapat di daerah-daerah lain di indonesia.

5
Sehingga secara tidak langsung peneliti tertarik pada topik yang menarik untuk di

amati secara langsung adalah tradisi Tumbilotohe (malam pasang lampu) merupakan

tradisi sebagai tanda akan berakhirnya bulan suci ramadhan, biasanya

diselenggarkan pada hari ke-27 ramadhan menjelang hari raya idul fitri, yang diadakan

setiap tahun. Tradisi ini selalu menjadi acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat

gorontalo, bukan hanya masyarakat gorontalo saja, terdapat juga masyarakat dari

daerah lain di wilayah sulawesi, tidak menutup kemungkinan terdapat juga para

wisatawan mancanegara.

Tradisi ini merupakan perayaan yang sangat meriah sehingga masyarakat

berbondong-bondong dengan secara sukarela menyiapkan lampu botol yang diisi

dengan minyak tanah dan juga lampu-lampu listrik dengan aneka warna biasanya

mereka menghiasi rumahnya sendiri dengan gemerlap cahaya yang indah.

Penyelenggaran tradisi ini dilaksanakan di tanah lapang yang luas dan daerah

persawahan dibuat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar-gambar masjid,

kitab suci alquran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Kreasi-kreasi

masyarakat sekitar diukir dengan bambu dan digantungkan lampu botol, sehingga

pada saat lampu botol dinyalakan, akan terlihat lampu botol tersebut terukir kaligrafi

ataupun tulisan ucapan, biasanya tulisan ucapan yang terlihat adalah selamat hari

raya idul fitri. Tumbilotohe tidak hanya terbatas pada tanah lapang, tetapi bisa juga

memasang lampu botolnya di daerah sungai, sehingga sepanjang sungai menjadi

lebih indah penuh dengan kreativitas.

Saat tradisi tumbilotohe di gelar, wilayah gorontalo jadi terang benderang, nyaris

tak ada sudut kota yang gelap. Gemerlap lentera tradisi tumbilotohe yang digantung

6
pada kerangka-kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning atau dikenal dengan

nama alikusu (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda) menghiasi kota gorontalo.

Di atas kerangka di gantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan

tebu sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut hari raya idul fitri.

Dengan semaraknya perayaan tradisi ini dan besarnya antusias dari berbagai

kalangan masyarakat maka pemerintah setiap tahun mengadakan berbagai festival

sehingga lebih meriah, dan bisa mempertahankan tradisi yang sejak dari dulu

diselenggarakan gorontalo.

Namun dalam penyelenggaraan tradisi ini tidak luput dari besarnya biaya yang

dapat dikeluarkan. Biaya tersebut memiliki dampak yang material bagi ekonomi

masyarakat, dan pemerintahan daerah gorontalo. Tapi semarak tradisi tumbilotohe

belum berjalan beriringan dengan kehidupan ekonomi masyarakat gorontalo. Sejak

gorontalo melepas diri dari wilayah sulawesi utara dan menjadi provinsi sendiri, maka

gorontalo harus menata perekonomiannya dengan sendiri, dan secara tidak langsung

gorontalo masih dibayangi dengan angka kemiskinan yang masih cukup besar.

Dengan besarnya biaya yang dapat dikeluarkan dalam penyelanggaraan tradisi ini,

tetapi masyarakat tidak peduli dengan hal tersebut, karena ingin mempertahankan

dan mejaga tradisi yang sejak dari puluhan tahun diselenggarakan di bumi gorontalo

hingga terpelihara sampai saat ini, hal tersebut menunjukan bahwa nilai material yang

besar dikeluarkan tidak sepenuhnya berlaku bagi masyarakat yang secara sukarela

melakukannya.

Dalam perspektif ini masyarakat-masyarakat di gorontalo memiliki pemahaman

lain dari makna biaya yang secara tidak langsung mengorbankan nilai material atas

7
terselenggarakan tradisi ini, tentunya ini berbeda dengan arti biaya pada organisasi-

organisasi bisnis. Terdapat alasan besar masyarakat melihat biaya yang dikeluarkan

dapat memberikan nilai yang lebih besar di bandingkan dari pengeluaran yang

dilakukan yang bersifat material. Keunikan yang dimiliki oleh masyarakat gorontalo

menjadi hal yang sangat menarik bagi peneliti untuk mencari nilai-nilai budaya yang

masih di pegang teguh oleh masyarakat gorontalo dalam memaknai arti biaya dalam

perspektif lain. Kadangkala tradisi hanya menjadi sebuah perayaan semata jika

kelompok masyarakat daerah tersebut tidak memahami makna atau nilai moral yang

terkandung didalamnya, padahal jika ditilik lebih dalam dan mau mengkajinya, bukan

sesuatu yang aib. Justru disana kita bisa menemukan ilmu-ilmu baru yang dengannya

kita mendapat pelajaran yang sebelumnya tidak kita bayangkan, misalnya tentang

tradisi tumbilotohe.

Berdasarkan latar belakang dan penjelasan yang telah di paparkan maka

pertayaan dalam penelitian adalah: Bagaimana pemaknaan biaya berdasarkan tradisi

tumbilotohe di gorontalo?. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini mencoba melihat

lebih mendalam sisi lain dari biaya menurut perspektif masyarakat gorontalo, dan

menggali serta mengungkap nilai-nilai yang terkandung dibalik makna biaya pada

pelestarian tradisi tumbilotohe yang tentunya memiliki perbedaan yang sangat jelas

dengan pengertian akuntansi pada umumnya.

1.2. Fokus Penelitian

Pengertian biaya selama ini seolah-olah hanya berputar pada perusahaan-

perusahaan besar maupun organisasi bisnis dimana biaya di jelaskan sebagai

penurunan aset atau penurunan manfaat ekonomi yang mengakibatkan penurunan

8
ekuitas pada periode tertentu, dan juga berimplikasi pada pemegang saham. Namun

biaya bukan hanya terjadi dalam perusahaan serta organisasi bisnis, namun juga

dalam kehidupan masyarakat. Biaya juga muncul dalam kegiatan budaya dan tradisi

masyararakat indonesia. Untuk itu penelitian ini lebih memfokuskan pada pencarian

nilai-nilai yang belum terungkap dari makna biaya sesungguhnya yang terjadi dalam

tradisi masyarakat di gorontalo yaitu tumbilotohe. Berdasarkan fokus penelitian

tersebut, maka peneliti ingin menjawab pertayaan: Bagaimanakah makna biaya

berdasarkan tradisi tumbilotohe di gorontalo?

1.3. Tujuan Penelitian

Mencoba melihat lebih mendalam sisi lain dari biaya menurut perspektif

masyarakat gorontalo, dan menggali serta mengungkap nilai-nilai yang terkandung

dibalik makna biaya pada pelestarian tradisi tumbilotohe yang tentunya memiliki

perbedaan yang sangat jelas dengan pengertian akuntansi pada umumnya.

1.4. Kontribusi Penelitian

Berdasarkan penelitian ini di harapkan mampu memberikan informasi bagi

berbagai pihak :

1) Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

pemikiran dalam memperkaya wawasan dan berkontribusi terhadap ilmu

pengetahuan terkhusus dibidang ekonomi/akuntansi, lebih khusus di bidang

akuntansi biaya. Serta memberikan pemahaman lebih bahwa biaya bisa di maknai

dari berbagai perspektif tergantung pada konteks, khususnya pada perspektif

9
budaya tertentu. Hasil penelitian ini juga di harapkan dapat menjadi penelitian

pendukung bagi penelitian sejenis dimasa yang akan datang.

2) Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menyumbang pemikiran dari

fenomena yang terjadi berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan pada tradisi

tumbilotohe di gorontalo. selanjutnya penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan

bagi masyarakat dan pemerintah memengingat melibatkan besarnya biaya yang

dapat dikeluarkan namun tetap menjaga kelestarian tradisi tumbilotohe.

10
DAFTAR PUSTAKA

Amaliah, T.H. 2016. “Nilai-Nilai Budaya Tri Hita Karana dalam Penetapan Harga

Jual”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Hlm. 189-206.

Eferin, S. 2015. “Akuntansi, Spiritualitas dan Kearifan Lokal Beberapa Agenda

Penelitian Kritis”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 3, Hlm. 466-

480.

Tantowi, dkk. 2012. “Analisis Efektivitas Pengendali Biaya Produksi pada PT. Daur

Ulang Sejahtera (DSA) di Bandar Lampung”. JURNAL Akuntansi & Keuangan Vol. 3,

No. 2, Halaman 219 – 232.

Mursy, A.L, Rosidi. 2013. “Sentuhan Rasa di Balik Makna Laba”. Jurnal Akuntansi

Multiparadigma, Volume 4, Nomor 2, Hlm 165-176.

Mujahidin, Akhmad. 2016. “Peranan Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam

Pengembangan Ekonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia”. Jurnal Ilmiah

Syari‘ah, Volume 15, Nomor 2.

Rahayu, Sri, dkk. 2016. “Makna “Lain” Biaya pada Ritual Ngaturang Canang

Masyarakat Bali”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 3, Hlm 388-404.

Setiawan, B, dkk. 2018. Serambi Madinah. Penerbit Cerah Budaya Indonesia.

Gorontalo.

Tumirin, Abdurahim, A. 2015. “Makna Biaya dalam Upacara Rambu Solo”. Jurnal

Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Hlm. 175-184.

11
Ufie, A. 2016. “Mengonstruksi Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam

Pembelajaran Muatan Lokal sebagai Upaya Memperkokoh Kohesi Sosial (Studi

Deskriptif Budaya Niolilieta Masyarakat Adat Pulau Wetang Kabupaten Maluku Barat

Daya, Propinsi Maluku)”. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 23, Nomor 2.

12

Anda mungkin juga menyukai