Anda di halaman 1dari 14

PENERAPAN SISTEM PENANGANAN PENGADUAN DALAM PENCEGAHAN

FRAUD
Fatimah Az Zahrah1*, Laeli Budiarti2
1*Jendral Soedirman University, fatimah.zahrah@mhs.usoed.ac.id
2 Jendral Soedirman University, laeliunsoed@gmail.com

Abstrak
Fraud adalah tindakan melanggar hukum yang seringkali merugikan perusahaan atau individu.
Korupsi adalah jenis penipuan yang paling umum di Indonesia. Untuk mengatasi hal ini,
pemerintah dan perusahaan telah menggunakan berbagai pendekatan, salah satunya adalah
sistem whistleblowing. Whistleblowing melaporkan dugaan tindakan fraud yang telah atau
akan terjadi di dalam suatu organisasi. Dalam penelitian ini, empat auditor yang bekerja di
Inspektorat Kabupaten Banyumas digunakan sebagai informan untuk melihat bagaimana
whistleblowing membantu mencegah fraud. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi
kasus dan metode kualitatif. Observasi, wawancara, dan dokumentasi digunakan untuk
mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun peraturan bupati telah
mengatur whistleblowing di Inspektorat Kabupaten Banyumas, sistem tersebut masih kurang
efektif. Jumlah orang yang menggunakan aplikasi dan website pengaduan masih rendah.
Selain itu, setelah audit selesai, belum ada pengaduan yang terbukti. Menurut informan,
whistleblowing adalah pengaduan khusus tentang pelanggaran atau kecurangan yang terjadi
di tempat kerja. Namun, sistem whistleblowing di Inspektorat Kabupaten Banyumas lebih
terfokus pada pengaduan internal, meskipun mereka juga menerima pengaduan dari pihak
eksternal. Penelitian ini memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana
whistleblowing digunakan di pemerintah daerah. Ini dapat menjadi dasar untuk sistem
whistleblowing yang lebih baik dan mencegah penipuan di masa mendatang.
Kata Kunci: Sistem whistleblowing, Fraud, Pemerintah.

Abstract
Fraud is an unlawful act that often harms companies or individuals. Corruption is the most
common type of fraud in Indonesia. To address this, governments and companies have used
various approaches, one of which is the whistleblowing system. Whistleblowing reports
suspected fraud that has occurred or will occur within an organization. In this study, four
auditors who work at the Inspectorate of Banyumas Regency were used as informants to see
how whistleblowing helps prevent fraud. This research uses a case study approach and
qualitative methods. Observation, interviews, and documentation were used to collect data.
The results showed that although the regent's regulation has regulated whistleblowing in the
Banyumas Regency Inspectorate, the system is still ineffective. The number of people using
the complaint application and website is still low. In addition, after an audit is completed, no
complaints have been proven. According to informants, whistleblowing is a specific complaint
about violations or fraud that occurs in the workplace. However, the whistleblowing system
at the Banyumas Regency Inspectorate is more focused on internal complaints, although they
also receive complaints from external parties. This research provides an in-depth
understanding of how whistleblowing is used in local government. This can be the basis for a
better whistleblowing system and prevent fraud in the future.
Key Words: Whistleblowing system, Fraud, Government.

1
PENDAHULUAN
Fraud merupakan perbuatan melawan hukum, melanggar hukum dan ditandai
dengan adanya unsur kecurangan yang disengaja (Husnawati & Handayani, 2017).
Berdasarkan survei fraud Indonesia yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud
Examiners (ACFE) pada tahun 2022 fraud yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah
korupsi dengan presentase 64.40% atau dipilih oleh 154 responden. Hal ini juga didukung
dengan hasil penelitian yang di publikasi sebagai Report to the nations oleh Association of
Certified Fraud Examiners (ACFE) bahwa pada tahun 2022 di kawasan asia-pasific fraud
yang paling sering terjadi adalah korupsi dengan hasil presentase 55% dan total kasus
fraud yang ada di Indonesia berdasarkan penelitian adalah sebanyak 28 kasus (ACFE,
2023). Korupsi adalah bentuk fraud yang paling merajalela dan sulit dicegah maupun
dideteksi karena erat kaitannya dengan kerjasama yang terencana dan terstruktur
dengan pihak-pihak lain, sehingga perlu ada suatu cara yang dapat mendeteksi tindakan
fraud (Tuanakotta, 2018).
Corruption Perception Index (CPI) yang diumumkan oleh Transparency
International menunjukkan bahwa hingga akhir 2022, Indonesia masih menjadi negara
dengan tingkat korupsi yang tinggi yaitu peringkat ke-110 dari 180 negara di dunia dengan
skor 34 dari skala 0-100 (100 berarti sangat bersih dan 0 berarti sangat korup). Dikawasan
negara-negara yang berada Asia, Indonesia berada pada urutan ke 21 dari 41 negara
dengan korupsi yang masih tinggi. Gambar berikut memperlihatkan pergerakan skor
index korupsi di Indonesia dari tahun 2012 sampai dengan 2022.

Sumber: Corruption Perception Index (https://www.transparency.org/)


Gambar 1. CPI 2012-2022
Anggriawan (2014) menjelaskan cara untuk menanggulangi fraud yang terjadi di
sektor publik yang dilakukan oleh pemerintah diantaranya adalah dengan menerapkan
sistem whistleblowing, melakukan audit forensik dan audit investigasi. Upaya untuk
mendapatkan bukti atau indikasi awal yang cukup mengenai tindakan fraud, sekaligus
mempersempit ruang gerak para pelaku fraud adalah dengan melakukan deteksi fraud.

2
Survei Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) juga mengungkapkan
beberapa metode yang efektif dlam pengungkapan fraud. Salah satunya adalah
pengungkapan melalui Whistle Blowing System (WBS). Sistem whistleblowing menurut
Utari dkk., (2019) merupakan sebuah mekanisme penyampaian pengaduan dugaan
tindak pidana korupsi yang telah terjadi atau akan terjadi yang melibatkan pegawai dan
orang lain yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam
organisasi tempatnya bekerja.
Sistem Whistleblowing di Indonesia merupakan sistem pelaporan yang relatif
baru. Dalam rangka mendorong terciptanya Good Corporate Governance (GCG) dan
memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas penerapan tata kelola perusahaan di
Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Governansi (KNKG) telah menerbitkan dokumen
berjudul Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP) atau sistem whistleblowing
(WBS). Kebijakan telah dikeluarkan dan dipublikasikan pada tahun 2018.
Whistleblowing menurut Hwang et al. dalam Ismawijayanthi & Putri (2023)
merupakan cara yang tepat untuk mencegah dan mencegah terjadinya penipuan,
kerugian, dan penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan. Krehastuti (2014) berpendapat
bahwa whistleblowing bisa datang dari dalam atau dari luar. Pelaporan pelanggaran
(whistleblowing) terjadi ketika seorang karyawan mengetahui adanya kesalahan yang
dilakukan karyawan lain dan melaporkan kesalahan tersebut kepada atasannya.
Sebaliknya, whistleblowing eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui
kesalahan yang dilakukan perusahaan dan melaporkan kesalahan tersebut kepada publik
karena merugikan masyarakat. Oleh karena itu, orang yang melaporkan pelapor di suatu
tempat atau daerah disebut juga pelapor (whistleblower).
Sebagian besar penelitian tentang whistleblowing dilakukan di sektor swasta di
negara-negara maju Bashir (2011) dalam Pramono & Aruzzi (2023), tetapi masih sedikit
penelitian yang dilakukan di Indonesia. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh
Nurhidayat & Kusumasari (2017) menganalisis peraturan perundang-undangan saat ini dan
praktik terbaik internasional tentang whistleblowing untuk membangun kebijakan
whistleblowing di Indonesia. Namun, studi tersebut tidak membahas bagaimana
perusahaan di Indonesia membuat hukum dan kebijakan yang ada. Selain itu, penelitian
sejenis dilakukan Gholami & Salihu (2019) yang mengatakan efektifitas whistleblowing
dalam menemukan transaksi suap diakui oleh akuntan maupun para regulator di banyak
negara di dunia, termasuk Amerika Serikat. Jika kebijakan dan prosedur whistleblowing
diterapkan dengan baik dan sukses dalam sebuah organisasi, maka akan menjadi sistem
peringatan dini yang baik bagi organisasi untuk menghilangkan fraud termasuk suap
sebelum masalah menjadi lebih buruk (Hasanah, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Pramono & Aruzzi (2023) mengenai penerapan
sistem pelaporan pada organisasi pemerintah di Indonesia membagi sampel meraka
kedalam tiga kategori. Pertama, organisasi yang mengumumkan secara eksplisit bahwa
mereka memiliki sistem pelaporan pelanggaran atau istilah serupa. Lembaga tersebut
sering menamai situs web mereka sebagai "pengaduan masyarakat", tetapi kemudian
menjelaskan bahwa sistem tersebut melakukan tugas yang serupa dengan sistem
whistleblowing, sehingga prosedurnya dikategorikan sebagai sistem pelaporan

3
pelanggaran, dan lembaga tersebut masuk ke dalam subsampel pertama. Institusi yang
menerima laporan pengaduan termasuk dalam subsampel kedua, tetapi mereka tidak
secara jelas menyatakan bahwa sistem mereka adalah sistem whistleblowing. Beberapa
lembaga hanya memiliki halaman "hubungi kami" untuk menyediakannya. Beberapa
lembaga lainnya memiliki situs pengaduan masyarakat yang mirip dengan sistem
whistleblowing, tetapi biasanya berisi informasi yang tidak lengkap. Hanya 5% dari subjek
penelitian, hanya 31 institusi yang memiliki sistem pelaporan pelanggaran berbasis web,
menurut penelitian ini. Mereka termasuk dalam kategori pertama. Selain itu, 37% dari
subjek penelitian adalah 229 lembaga yang memiliki saluran untuk menerima pengaduan
di situs web mereka, tetapi tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa ini adalah bagian
dari kebijakan whistleblowing mereka. Sementara sisanya, 358 entitas, atau 58% dari
populasi, tidak memiliki sistem whistleblowing maupun alat atau sarana untuk menerima
pengaduan.
Pada penelitian mengenai penerapan pada PT Pertamina, PT Telkom, dan PT BCA
dari tahun 2016 hingga 2019 yang dilakukan oleh Satyasmoko & Sawarjuwono (2021)
menemukan bahwa masing-masing memiliki karakteristik whistleblowing yang berbeda-
beda. Satyasmoko & Sawarjuwono (2021) menyimpulkan bahwa whistleblower memainkan
peran penting dalam mencegah pelanggaran moral. Selain itu, perusahaan harus memiliki
sistem whistleblowing yang memadai yang memungkinkan whistleblower ditempatkan
dan dilindungi. Kolaborasi seperti ini dapat mencegah dan mengurangi keinginan untuk
melakukan pelanggaran etika sekaligus mendorong whistleblower untuk melaporkan
pelanggaran etika tanpa rasa takut atau keraguan. PT Pertamina, PT Telkom Indonesia,
dan PT BCA memiliki metode mereka sendiri. Karena banyaknya kasus yang diselesaikan
dan sistem whistleblowing yang diterapkan pada anak perusahaannya, PT Pertamina
terbukti memiliki tingkat keefektifan yang paling tinggi. Sementara itu, PT Telkom dinilai
kurang efektif dalam menggunakan sistem whistleblowing karena sedikitnya tindak lanjut
dan peningkatan yang sedikit. Terakhir, PT BCA memiliki saluran whistleblower yang lebih
sederhana, tetapi sistem whistleblowing perusahaan terbukti efektif dalam mencegah
kasus fraud internal dengan kerugian yang signifikan.
Selain perusahaan, fraud juga sering terjadi di sektor pemerintahan. Fenomena
ini menunjukkan bahwa korupsi dapat terjadi di mana saja, tidak peduli seberapa besar
atau di mana korupsi terjadi. Kasus korupsi lokal menunjukkan betapa pentingnya
penegakan hukum yang adil dan efektif di seluruh wilayah serta kesadaran etika dan
integritas di berbagai tingkatan pemerintaha. Untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan, pemahaman dan penanganan kasus korupsi di tingkat
daerah dapat membantu menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan
akuntabel (Yunita dkk., 2022). Seperti yang terjadi di Kab. Banyumas pada tahun
2022, terdapat kasus penyalahgunaan dana eks PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan
Kedungbanteng yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 14 miliar. Dalam kasus
ini, dana eks PNPM Mandiri Perdesaan di Kedungbanteng, Banyumas sebesar Rp 5,9
miliar diinvestasikan ke PT LKM KDM sejak tahun 2015 sampai 2022 untuk kegiatan jasa
keuangan simpan pinjam hingga berkembang menjadi lebih kurang sebesar Rp 14
miliar.(Tirta, 2022)

4
Berdasarkan pendahuluan tersebut maka didapatkan pertanyaan penelitian
bagaimanakah penerapan whistleblowing di Inspektorat kab. Banyumas dalam
membantu pencegahan fraud. Keterbaruan dalam tulisan ini adalah untuk
mengeksplorasi penerapan sistem whistleblowing, tulisan ini mengadopsi pendekatan
studi kasus. Berbeda dengan penelitian yang menggunakan metode kuantitatif,
pendekatan ini memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana sistem
whistleblowing diimplementasikan di Inspektorat Kabupaten Banyumas, termasuk
tantangan dan keberhasilannya. Selain itu, pendekatan ini memberikan perspektif yang
berbeda dan lebih detail daripada studi yang lebih umum. Tulisan ini mengeksplorasi
penerapan sistem whistleblowing secara khusus di lingkungan Inspektorat Kabupaten
Banyumas, yang mungkin belum banyak dibahas dalam literatur sebelumnya. Selain itu,
tulisan ini membawa pengetahuan baru tentang praktik pencegahan fraud di tingkat
lokal, yang dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain.

LITERATURE REVIEW

Fraud
Fraud adalah istilah hukum yang mengacu pada kesalahpengertian yang disengaja
tentang kebenaran untuk memanipulasi atau menipu perusahaan atau individu. Fraud
menciptakan kesalahan penilaian atau mempertahankan penilaian salah yang ada untuk
membujuk seseorang membuat kontrak. Hal tersebut menyangkut memperkaya diri
sendiri secara sengaja dengan mengurangi nilai aset secara rahasia (Enofe dkk., 2013).
Teori Fraud yang pertama yaitu Fraud Triangle merupakan teori yang
dikemukakan oleh Cressey bahwa terdapat tiga faktor yang mendorong seseorang
melakukan kecurangan yaitu tekanan, peluang dan rasionalisasi. Tekanan inilah yang
mendorong seseorang melakukan tindakan penipuan, seperti utang atau tagihan yang
menggunung, gaya hidup mewah, dan kecanduan narkoba. Peluang tersebut biasanya
disebabkan oleh lemahnya pengendalian internal organisasi, kurangnya pengawasan,
penyalahgunaan wewenang, ketidakdisiplinan, lemahnya akses terhadap informasi dan
kurangnya mekanisme audit. Peluang dapat dihindari atau diminimalkan melalui
prosedur, pengendalian, proses dan deteksi dini terhadap potensi penipuan. Rasionalisasi
adalah pembenaran kegiatan penipuan (Tuanakotta, 2018).
Teori yang kedua Fraud Diamond, merupakan sebuah pandangan baru tentang
fenomena fraud yang dikemukakan oleh Wolfe, D. T., dan Hermanson (2004) terdiri dari
elemen-elemen tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), rasionalisasi
(rationalization) dan kemampuan (capability). Menurut Wolfe, D. T., dan Hermanson
(2004), banyak fraud yang umumnya bernominal besar tidak mungkin terjadi apabila
tidak ada orang tertentu dengan kapabilitas khusus yang ada dalam perusahaan.
Opportunity membuka peluang atau pintu masuk bagi Fraud, Pressure dan
Rationalization yang mendorong seseorang untuk melakukan fraud. Namun, orang yang
melakukan fraud tersebut harus memiliki kapabilitas untuk menyadari pintu yang terbuka
sebagai peluang emas dan untuk memanfaatkannya bukan hanya sekali namun berkali-
kali.

5
Teori fraud yang ketiga adalah Fraud Pentagon, merupakan teori yang
dikemukakan oleh Crowe Howart pada tahun 2011. Teori Fraud Pentagon merupakan
perluasan dari teori fraud triangle yang sebelumnya dikemukakan oleh Cressey 1953, dan
teori fraud diamond yang sebelumnya dikemukakan oleh Wolfe dan Hermanson. Dalam
teori fraud diamond menambahkan satu elemen fraud yaitu arogansi. Sehingga dalam
fraud model yang ditemukan oleh Crowe terdiri dari lima elemen indikator yaitu tekanan,
kesempatan, rasionalisasi. Kemampuan dan menambahkan elemen arogansi yang
merupakan sifat superioritas atas hak yang dimiliki dan merasa bahwa pengendalian
internal dan kebijakan perusahaan tidak berlaku untuk dirinya (Crowe, H., 2011).
ACFE menunjukkan bahwa penipuan mengacu pada satu atau lebih orang yang
dengan sengaja menggunakan sumber organisasi di luar batas yang wajar (perilaku yang
melanggar hukum) dan memberikan fakta palsu (fakta tersembunyi) untuk keuntungan
pribadi. ACFE membagi penipuan menjadi tiga kategori: 1) Korupsi, The Black Law
Dictionary of Wales (Black Law Dictionary, 2007) mendefinisikan korupsi sebagai sesuatu
yang dirusak; korupsi yang tercemar merendahkan kerusakan moral. Program korupsi
dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu konflik kepentingan, penyuapan, remunerasi
ilegal, dan pemerasan ekonomi. 2) Penyalahgunaan asset, penyalahgunaan aset dibagi
menjadi dua kategori, yaitu penyelewengan uang tunai yang dapat dilakukan dalam
bentuk perampasan, pencurian, atau penipuan pengeluaran dan penyelewengan non
tunai (penyalahgunaan) atau pencurian (pencurian) persediaan yang dapat dilakukan
dalam bentuk penyalahgunaan dan Aset lainnya. 3) Laporan keuangan yang mengandung
kecurangan, beberapa contoh yang biasa dilakukan perusahaan dalam membuat laporan
keuangan yang mengandung kecurangan seperti mencatat pendapatan dan pengeluaran
selama periode yang tidak tepat, menyembunyikan kewajiban dan pengeluaran yang
dirancang untuk mengurangi jumlah hutang dan beban yang membuat perusahaan
tampak lebih menguntungkan, Menghapus informasi dalam komentar atau secara tidak
sengaja menyertakan informasi yang menyesatkan (pengungkapan yang tidak benar),
atau evaluasi aset yang tidak tepat (evaluasi aset yang tidak tepat).

Whistleblowing
Whistleblowing adalah terminologi yang mulai digunakan ketika diberlakukan
Sarbanes-Oxley Act. Peraturan ini telah membuat karyawan untuk melaporkan apabila
menjumpai terjadi pelanggaran dengan tidak memiliki ketakutan kepada orang yang
dilaporkan (Saxton & Neely, 2019). Selain itu, Shawver & Shawver (2018) mendefinisikan
whistleblowing sebagai tindakan mengungkapkan perilaku ilegal, tidak bermoral, atau
melanggar hukum yang dilakukan seseorang dalam suatu organisasi kepada karyawan
atas arahan atasan, sehingga mengakibatkan tindakan yang berbeda-beda yang dilakukan
oleh karyawan tersebut. Selain itu, menurut Indayani & Yunisdanur (2020) whistleblowing
adalah suatu kegiatan dimana seorang pengadu (whistleblower) mengungkap perbuatan
yang dianggap fraud, termasuk penyuapan, dalam suatu organisasi dan bertujuan untuk
menghentikan perbuatan tersebut.
Integrity Indonesia (2020) dalam Fadilah & Salomo (2023) menyatakan bahwa
whistleblowing dapat digunakan untuk mendeteksi fraud, seperti penyalahgunaan,

6
korupsi, penyuapan, dan perilaku tidak etis lainnya oleh organisasi publik dan swasta di
seluruh dunia. Transparency International juga menyatakan bahwa whistleblowing
adalah salah satu metode yang paling efektif untuk mendeteksi fraud dan mencegah
korupsi dan praktik tidak etis lainnya. Albrechtet.al (2016) mengatakan bahwa ada
beberapa hal yang dapat membantu memperkuat penerapan WBS: (1) anonimitas, yang
berarti menjaga identitas pelapor dan informasi yang mereka berikan; (2) budaya
organisasi, yang berarti pemimpin yang baik dan komitmen mereka untuk menjadi
contoh bagi karyawan; dan (3) kebijakan, yang berarti ada kebijakan yang komprehensif
untuk melindungi pelapor dari ancaman atau diskriminasi.
Zarefar & Arfan (2017) mengatakan bahwa whistleblowing harus terdiri dari
delapan komponen: pelapor, yang dapat berupa anggota atau mantan anggota
organisasi; target, yaitu individu atau kelompok yang melakukan perbuatan tidak etis atau
tidak bermoral; penerima pengaduan, yaitu individu atau organisasi yang menerima
pengaduan; subjek, yaitu jenis dan sifat pelanggaran atau perbuatan tidak etis; informasi,
yaitu dokumen yang dapat menjadi bukti dari perbuatan tidak etis; tindakan, yaitu
informasi yang merupakan bukti disebarluaskan melalui cara yang tidak biasa, seperti
komunikasi internal atau eksternal; motif, yaitu informasi tersebut harus mendorong
perlawanan moral dan sukarela; dan hasil, yaitu hasil dari penyebarluasan informasi
tersebut dapat menghentikan tindakan yang tidak etis atau tidak bermoral dan
melindungi kepentingan publik.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut
Kriyantono (2020) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada
penggalian kedalaman data daripada keluasan data. Jenis penelitian ini adalah penelitian
dengan pendekatan studi kasus mengenai penerapan whistleblowing pada Inspektorat
Kabupaten Banyumas. Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara dilakukan secara langsung
dengan auditor yang bekerja di di Inspektorat Kab. Banyumas.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive
sampling. Purposive sampling juga disebut judgement sampling, adalah pilihan yang
disengaja dari peneliti karena kualitas yang dimiliki informan (Etikan, 2016). Sampel dari
penelitian ini sebanyak 4 orang auditor yang bekerja di Inspektorat Kab. Banyumas.
Teknik ini merupakan teknik non-random yang tidak membutuhkan teori yang mendasari
atau sejumlah informan tertentu. Secara sederhana, peneliti memutuskan apa yang perlu
diketahui dan menetapkan untuk menemukan orang-orang yang dapat dan bersedia
memberikan informasi berdasarkan pengetahuan atau pengalaman. Informasi mengenai
informan dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

7
Tabel 1. Data Informan
Nama Gender Jabatan Lama Bekerja
Sri Wahyuni Perempuan Auditor Muda 13 Tahun
Retno Astuti Dewi Perempuan Auditor Muda 12 Tahun
Akhyar Laki-Laki Auditor Muda 18 Tahun
Suroso Laki-Laki Auditor Muda 9 Tahun
Sumber: Data primer diolah, 2023

Pada penelitian kualitatif, agar data dapat dinyatakan dapat dipercaya, harus ada
kesamaan antara apa yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sebenarnya terjadi pada
subjek yang diteliti (Mekarisce, 2020). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
dengan empat auditor yang bekerja di Inspektorat Kabupaten Banyumas, observasi
langsung terhadap praktik penerapan whistleblowing di lapangan, dan pengumpulan
informasi dari dokumen-dokumen terkait. Setelah itu, hasil wawancara yang dikumpulkan
perlu diverifikasi keabsahannya. Pemeriksaan kualitas data dalam penelitian ini
menggunakan member checking untuk melakukan pengecekan dan konfirmasi kembali
kepada narasumber dalam uji kredibilitas data ini. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
mengetahui seberapa jauh kesesuaian data yang diperoleh dengan data yang diberikan
oleh narasumber. Untuk melakukan pengecekan ini, member mengirimkan email yang
berisi data hasil wawancara dalam bentuk narasi ke narasumber. Setelah data disetujui,
narasumber diminta untuk mengirimkan balasan dengan menyertakan hasil wawancara.
Kemudian hasil analisis data diinterpretasikan untuk menjawab pertanyaan penelitian
dan mencapai tujuan penelitian. Kesimpulan dari penelitian studi kasus disusun
berdasarkan temuan dan analisis data, serta memberikan implikasi dan rekomendasi
yang relevan untuk kasus yang diteliti.

Hasil
Berdasarkan penelitian ACFE, Anti-Fraud Control menyatakan bahwa sistem
whistleblowing adalah metode yang paling efektif untuk mencegah penipuan. Strategi
anti penipuan diterapkan pada bank konvensional dan syariah melalui deteksi dan
pencegahan. Sistem pengendalian kecurangan terdiri dari deteksi dan pencegahan, yang
berfungsi untuk mengidentifikasi dan menemukan kecurangan. Termasuk kebijakan
whistleblowing dan sistem monitoring (Yulian Maulida & Indah Bayunitri, 2021).

Awal Mula Sistem Whistleblowing di Inspektorat


Penerapan sistem whistleblowing di lingkungan pemerintah sudah diatur didalam
Peraturan Bupati Nomor 99 Tahun 2020 yang mengatur tentang whistleblowing dan
sudah ada aplikasi/website pengaduan yang disediakan untuk sarana pengaduan. Sistem
whistleblowing yang ada di Inspektorat kab. Banyumas telah diterapkan sejak tahun
2020. Whistleblowing menurut website kab. Banyumas adalah mekanisme penyampaian
pengaduan dugaan tindak pidana tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi yang
melibatkan pegawai dan orang lain yang yang dilakukan dalam organisasi tempatnya
bekerja, dimana pelapor bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang

8
dilaporkannya. Kriteria yang ditetapkan untuk pengaduan berdasarkan 5W dan 1H yaitu
what (apa) yaitu berkaitan dengan subtansi penyimpangan yang diadukan lalu ada who
(siapa) yang dimaksud adalah pihak yang bertanggung jawab berkaitan dengan siapa yang
melakukan penyimpangan atau kemungkinan siapa saja yang dapat diduga melakukan
penyimpangan, dan pihak-pihak yang terkait yang perlu dimintakan
keterangan/penjelasan, when (kapan) berkaitan dengan kapan penyimpanan tersebut
terjadi, why (mengapa) mengapa terjadi penyimpangan berkaitan dengan informasi
penyebab terjadinya penyimpangan, dan mengapa seseorang melakukannya, hal ini
berkaitan dengan motivasi seseorang melakukan penyimpangan yang akan mengarah
kepada pembuktian unsur niat, where (dimana) lokasi kejadian berkaitan dengan dimana
terjadinya penyimpanan (unit kerja) dan ada how (bagaimana) Bagaimana modus
penyimpangan berkaitan dengan bagaimana penyimpangan tersebut terjadi.

Gambar 2. Sistem Whistleblowing Kab. Banyumas


Dapat dilihat pada gambar 2 sistem whistleblowing yang telah diterapkan di
Inspektorat kab. Banyumas. Dalam sistem tersebut kita dapat melaporkan adanya dugaan
kecurangan yang terjadi di lingkungan Inspektorat kab. Banyumas. Untuk melakukan
terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan. Yaitu mengisi formulir pengaduan,
setelah mengisi formulir maka laporan akan diperiksa kelengkapannya apakah telah
sesuai dengan kriteria pengaduan yang telah ditetapkan. Jika tidak memenuhi kriteria
verifikator akan minta whistlebower untuk melengkapi kekurangan data maksimal 7 hari
kerja. Jika pengaduan sudah sesuai dengan kriteria maka akan dimasukan ke kategori
yang ada. Apakah itu termasuk dalam kategori administrasi atau tindak pidana. Setelah
dimasukan kedalam kategori yang sesuai, tim reviewer akan melakukan audit investigasi
jika memang laporan tersebut sudah sesuai. Namun, jika laporan tersebut tidak sesuai

9
maka akan diarsipkan. Pelapor dapat memantau laporan yang telah dikirimkan dan dapat
melakukan komunikasi secara pribadi dengan administrator WBS melalui halaman khusus
pelapor.

Pemahaman Mengenai Sistem Whistleblowing di Inspektorat


Sistem whistleblowing adalah sistem yang digunakan untuk menyimpan,
memproses, dan menindaklanjuti informasi pelapor tentang pelanggaran yang terjadi di
perusahaan atau organisasi (Brown, dkk (2014) dalam Kuncara (2022)). Pada hasil
wawancara, semua informan dalam penelitian ini berpendapat bahwa sistem
whistleblowing adalah wadah untuk pengaduan terhadap adanya fraud yang terjadi di
lingkungan kerjanya. Hal ini dijelaskan oleh informan 2 & 3 sebagai berikut:
“sistem whistleblowing diperuntukan untuk keperluan pengaduan secara internal,
mengenai apakah adanya kecurangan, korupsi atau ada pelanggaran lainnya yang terjadi
didalam instansi.” (Informan 2)
“Kalau untuk sistem whistleblowing yang di Inspektorat itu lebih fokus ke internal,
tapi untuk pengaduan ada layanan whatsapp dan ada yang Namanya lapak aduan untuk
pengaduan dari external”(Informan 3)
Berdasarkan wawancara dengan informan, dapat disimpulkan bahwa mereka
menganggap whistleblowing sebagai bentuk pengaduan yang lebih spesifik dan seringkali
berasal dari pihak internal perusahaan. Meskipun ada sistem whistleblowing yang dibuat
oleh pemerintah, namun kurang populer dibandingkan dengan pengaduan secara umum
yang sering dilakukan melalui saluran komunikasi seperti WhatsApp atau layanan
pengaduan lainnya. Selain itu, informan sepakat bahwa whistleblower biasanya berasal
dari pihak internal perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa whistleblower adalah mereka
yang memiliki akses langsung terhadap informasi yang terkait dengan kecurangan atau
pelanggaran di dalam perusahaan. Sistem whistleblowing, terutama yang diterapkan di
Inspektorat, lebih difokuskan untuk keperluan pengaduan secara internal, meskipun ada
pula layanan pengaduan untuk eksternal seperti layanan WhatsApp atau lapak aduan.

Penerapan Sistem Whistleblowing di Inspektorat Kab. Banyumas


Berdasarkan informasi dari narasumber sistem whistleblowing yang ada di
Inspektorat kab. Banyumas telah diterapkan sejak tahun 2020. Namun, pada prakteknya
sistem whistleblowing yang ada di Inspektorat Kab. Banyumas masih kurang efektif dalam
penggunaannya. Berdasarkan data yang ada di website untuk pengaduan memang benar
bahwa masih sedikit yang mengunjungi website pengaduan yang ada di Inspektorat kab.
Banyumas. Pada tanggal 04 Maret 2024 pada jam 10:43 informasi pengunjung sistem
whistleblowing kab. Banyumas (http://wbs.banyumaskab.go.id/) berjumlah 29 orang
dalam minggu ini. Selain itu, pengaduan yang sudah pernah masuk dalam sistem belum
ada yang terbukti setelah dilakukan audit. Hal ini sesuai dengan informasi yang
disampaikan oleh informan 3 :
“Kalau untuk whistleblowing untuk penerapan pada sistemnya belum efektif
walaupun sudah ada sosialisasi dan pengenalan mengenai WBS, mungkin karena agak

10
susah untuk aksesnya makannya kurang popular. Selain itu, untuk pelaporan yang masuk
juga belum ada yang ditinjaklanjuti sampai audit investigasi, hanya sampai pemeriksaan
bukti” (Informan 3)
Berdasarkan informasi dari narasumber dan data yang diperoleh dari website,
dapat disimpulkan bahwa meskipun sistem whistleblowing telah diterapkan di
Inspektorat Kabupaten Banyumas sejak tahun 2020, namun dalam praktiknya sistem ini
masih kurang efektif. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah pengunjung website
pengaduan yang ada di Inspektorat Kabupaten Banyumas, serta belum adanya
pengaduan yang terbukti setelah dilakukan audit.
Narasumber menyatakan bahwa meskipun telah dilakukan sosialisasi dan
pengenalan mengenai sistem whistleblowing (WBS) yang ada di Inspektorat Kab.
Banyumas. Namun, sistem ini masih belum efektif karena sulitnya akses dan kurang
popularitasnya. Selain itu, pengaduan yang masuk juga belum ada yang ditindaklanjuti
sampai tahap audit investigasi, hanya sebatas pemeriksaan bukti. Dengan demikian,
kesimpulan dari informasi yang diperoleh adalah perlunya upaya lebih lanjut dalam
meningkatkan efektivitas sistem whistleblowing di Inspektorat Kabupaten Banyumas,
seperti peningkatan sosialisasi, penyediaan saluran pengaduan yang lebih mudah diakses,
dan peningkatan tindak lanjut terhadap pengaduan yang masuk untuk memastikan
bahwa pelanggaran atau kecurangan yang dilaporkan dapat ditangani secara efektif dan
transparan.

Manfaat Sistem Whistleblowing di Inspektorat Kab. Banyumas


Pengaduan (whistleblowing) merupakan tindakan yang berguna dan penting bagi
instansi pemerintah, karena pihak yang menyampaikan keluhan adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan dekat dengan kasus tersebut dan mempunyai informasi mengenai
hal tersebut. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mendorong pelaporan (whistle)
tersebut secara internal. Hal ini didukung dengan jawaban dari informan 1 :
“Penting dan bermanfaat sekali ya mbak, karena dengan adanya whistleblowing
ini akan memberi tahu pihak berwenang selain penemuan di tempat Apakah itu benar-
benar tindakan kecurangan atau tidak” (Informan 1)
Pengaduan atau whistleblowing merupakan tindakan yang sangat berguna dan
penting bagi instansi pemerintah, karena memungkinkan pihak yang memiliki informasi
dan hubungan dekat dengan kasus untuk menyampaikan keluhan atau laporan terkait
kecurangan atau pelanggaran yang terjadi. Adanya whistleblowing diharapkan
pemerintah dapat lebih cepat mengetahui adanya potensi kecurangan atau pelanggaran,
serta dapat segera mengambil tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Selain itu, dukungan terhadap pentingnya whistleblowing juga diperkuat oleh
jawaban dari informan 1, yang menyatakan bahwa whistleblowing memberikan manfaat
dalam memberi tahu pihak berwenang tentang potensi kecurangan atau pelanggaran
yang terjadi di tempat tertentu. Penting bagi instansi pemerintah untuk mendorong
pelaporan whistleblowing secara internal, sehingga potensi kecurangan atau pelanggaran
dapat diidentifikasi dan ditindaklanjuti dengan lebih efektif.

11
KESIMPULAN
Penggunaan sistem whistleblowing di Inspektorat Kabupaten Banyumas telah
dimulai sejak tahun 2020, seperti yang telah diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 99
Tahun 2020. Sistem ini bertujuan untuk memberikan mekanisme bagi para pegawai dan
pihak terkait untuk melaporkan dugaan tindakan pidana atau pelanggaran yang terjadi di
dalam organisasi tempat mereka bekerja. Namun, dalam prakteknya, sistem ini masih
menghadapi beberapa tantangan dalam efektivitas penggunaannya. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, pengunjung situs web sistem whistleblowing Inspektorat
Kabupaten Banyumas masih tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masih sedikit
orang yang menggunakan atau mengakses sistem ini untuk melakukan pengaduan. Selain
itu, belum ada laporan atau pengaduan yang terbukti setelah dilakukan pemeriksaan,
menunjukkan bahwa belum ada hasil konkret yang dihasilkan dari sistem ini. Dalam
wawancara dengan para informan, pemahaman mereka tentang sistem whistleblowing
cenderung memandangnya sebagai mekanisme pengaduan yang lebih spesifik, terutama
untuk masalah internal perusahaan. Meskipun ada sistem whistleblowing yang
disediakan oleh pemerintah, tetapi penggunaannya masih kurang populer.
Tantangan utama dalam penerapan sistem whistleblowing di Inspektorat
Kabupaten Banyumas termasuk rendahnya jumlah pengunjung situs web dan kurangnya
hasil konkret dari pengaduan yang masuk. Untuk meningkatkan efektivitas sistem ini,
perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam
menggunakan sistem whistleblowing. Selain itu, perlu juga dilakukan evaluasi dan
peningkatan pada proses audit dan penanganan pengaduan agar dapat menghasilkan
hasil yang lebih baik dalam pencegahan dan penanganan fraud di lingkungan Inspektorat
Kabupaten Banyumas.

REFERENSI
ACFE. (2023, August 31). Survei Fraud Indonesia 2022. Jakarta: ACFE Indonesia Chapter.

Enofe, A. O., Mgbame, C. J., & Atube, E. N. (2013). The Impact of Auditor Age on Auditor
Independence. In Research Journal of Finance and Accounting www.iiste.org ISSN (Vol. 4,
Issue 16). Online. www.iiste.org

Etikan, I. (2016). Comparison of Convenience Sampling and Purposive Sampling. American Journal
of Theoretical and Applied Statistics.
https://doi.org/https://doi.org/10.11648/j.ajtas.20160501.11

Fadilah, R. M., & Salomo, R. V. (2023). OPTIMALISASI PENERAPAN WHISTLEBLOWER-SYSTEM


(WBS) DI SEKRETARIAT KABINET. Jurnal Ilmiah Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi (MEA),
7(2), 754–781.

Gholami, H., & Salihu, H. A. (2019). Combating corruption in Nigeria: the emergence of
whistleblowing policy. In Journal of Financial Crime (Vol. 26, Issue 1, pp. 131–145). Emerald
Group Publishing Ltd. https://doi.org/10.1108/JFC-10-2017-0102

12
Hasanah, A. M. (2017). Pengaruh Orientasi Etika dan Komitmen Profesional Terhadap
Whistleblowing (Studi Empiris pada Kantor Cabang PT. 12 PEGADAIAN (Persero) Wilayah
Area Padang). Jurnal Ilmiah Mahasiswa. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang.

Husnawati, N., & Handayani, L. (2017). Accounting Fraud: Determinant, Moderation of Internal
Control System and The Implications of Financial Accountability. E-Proceeding International
Conference and Call for Papers, 311–355.

Indayani, I., & Yunisdanur, V. (2020). A Study of Whistleblowing Intentions in Government Sector.
Jurnal Reviu Akuntansi Dan Keuangan, 10(2), 285.
https://doi.org/10.22219/jrak.v10i2.10269

Ismawijayanthi, G. A. D. L., & Putri, I. G. A. M. A. D. (2023). Persepsi Karyawan Mengenai


Whistleblowing System terhadap Pencegahan Fraud dengan Perilaku Etis sebagai Variabel
Intervening. E-Jurnal Akuntansi, 33(4), 1073.
https://doi.org/10.24843/eja.2023.v33.i04.p14

Kuncara, W. A. (2022). The Influence of Whistleblowing System and Internal Control on Fraud
Prevention at PT Pos Indonesia (Persero) Bandung City. International Journal of Financial,
Accounting, and Management, 4(2), 101–113. https://doi.org/10.35912/ijfam.v4i2.250

Mekarisce, A. A. (2020). Teknik pemeriksaan keabsahan data pada penelitian kualitatif di bidang
kesehatan masyarakat. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat: Media Komunikasi Komunitas
Kesehatan Masyarakat, 145–151.

Nurhidayat, I., & Kusumasari, B. (2017). Revisiting Understanding of The Whistleblowing Concept
in The Context of Indonesia. In Policy & Governance Review (Vol. 1, Issue 3). Online.
www.ahdictionary.com.

Pramono, A. J., & Aruzzi, M. I. (2023). The implementation of a whistleblowing system as an anti-
corruption initiative in Indonesian government institutions. Integritas: Jurnal Antikorupsi,
9(2), 195–212. https://doi.org/10.32697/integritas.v9i2.942

Satyasmoko, A., & Sawarjuwono, T. (2021). Sistem Whistleblowing dalam Penanganan Kasus
Penyelewengan Etika. Jurnal Akuntansi Dan Pajak, 22(1), 416.
https://doi.org/10.29040/jap.v22i1.1787

Saxton, G. D., & Neely, D. G. (2019). The relationship between Sarbanes–Oxley policies and donor
advisories in nonprofit organizations. Journal of Business Ethics, 333–351.

Tirta, I. (2022, October 24). Korupsi PNPM Rp 14 Miliar, Kejari Purwokerto Geledah Kantor PT LKM
Kedungmas. Republika. https://news.republika.co.id/berita/rk94yj485/korupsi-pnpm-rp-
14-miliar-kejari-purwokerto-geledah-kantor-pt-lkm-kedungmas

Tuanakotta, T. M. (2018). Akuntansi forensik dan audit investigatif (2nd ed.). Jakarta: Salemba
Empat.

13
Utari, N. M. A. D., Edy Sujana, & Adi Yuniarta. (2019). Pengaruh Efektivitas Pengendalian Internal,
Moralitas Individu, Dan Whistleblowing Terhadap Kecenderungan Kecurangan (Fraud) Pada
Lembaga Perkreditan Desa Di Kecamatan Buleleng. Jurnal Akuntansi Profesi, 10(2), 33–44.

Yulian Maulida, W., & Indah Bayunitri, B. (2021). The influence of whistleblowing system toward
fraud prevention. International Journal of Financial, Accounting, and Management, 2(4),
275–294. https://doi.org/10.35912/ijfam.v2i4.177

Yunita, N. A., Yusra, M., Gesta, R., & Rais, P. (2022). Pengaruh Asimetri Informasi, Keefektifan
Pengendalian Internal, Komitmen Organisasi Dan Kompetensi Terhadap Kecenderungan
Fraud Dalam Pengelolaan Keuangan Desa Di Pemerintah Kota Lhokseumawe. Jurnal
Ekonomika Indonesia Unimal, 11(1).

Zarefar, A., & Arfan, D. T. (2017). Efektivitas Whistleblowing System Internal. In Jurnal Akuntansi
Keuangan dan Bisnis (Vol. 10, Issue 2). http://jurnal.pcr.ac.id

14

Anda mungkin juga menyukai