Anda di halaman 1dari 20

Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan – ISSN: 2303-3274 (p), 2528-1100 (e)


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

DIMENSI WHISTLEBLOWING SYSTEM:


URGENSI PERUNDANG-UNDANGAN
PENGUATAN

Bobby Briando

Universitas Utara Malaysia


bobby_briando@yahoo.com

Sri Kuncoro Bawono

Politeknik Imigrasi
chorobwono@gmail.com

Tony Mirwanto

Politeknik Imigrasi
boxtony85@gmail.com

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi penguatan mekanisme legislasi


whistleblowing dilihat dari beberapa dimensi. Secara garis besar, mekanisme
whistleblowing dibagi menjadi tiga dimensi utama yaitu Human, Structure dan
Process. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui
beberapa studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan dari ketiga dimensi sistem
whistleblowing tersebut tidak ada peraturan perundang-undangan yang memiliki
kekuatan mengikat. Dalam beberapa kasus, pelapor hanya menerima keringanan
hukuman seperti pengurangan hukuman.
Selain itu, Pelapor dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia tidak mendapatkan
perlindungan hukum. Saat ini, pengaturannya hanya berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap
Pelapor Tindak Pidana dan Saksi-Saksi Yang Berkolaborasi; namun peraturan
tersebut tidak cukup untuk melindungi pelapor. Dalam hal ini, penulis berkesimpulan
bahwa pemerintah seharusnya membuat undang-undang yang secara khusus
mengatur tentang whistleblowing system. Undang-undang ini harus secara tegas
mengatur perlindungan terhadap pelapor.

371
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

Penulisan artikel ini bertujuan mengeksplorasi mekanisme penguatan legislasi


whistleblower dilihat dari beberapa dimensi. Mekanisme whistleblower terbagi
dalam tiga dimensi utama yaitu Manusia, Struktur dan Proses. Metode
penulisan menggunakan pendekatan kualitatif studi pustaka. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari tiga dimensi sistem whistleblower masih belum
memiliki kekuatan legislasi yang mengikat. Pelapor whistleblower hanya
menerima keringanan hukuman. Whistleblower dalam kasus korupsi di
Indonesia belum mendapat perlindungan hukum yang maksimal. Peraturan
yang mengatur hanya berdasarkan pada UU No.13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No.4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan
Saksi Pelaku yang Berkerjasama. Penulis menyimpulkan agar undang-undang
yang khusus mengatur tentang whistleblower segera ditetapkan. Dalam
undang-undang tersebut minimal harus mengatur secara tegas tentang
perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (Whistleblower).

Kata Kunci: Whistleblower, Dimensi Whistleblowing System,


Peraturan

pengantar

Maraknya tindakan penipuan yang terungkap akhir-akhir ini baik di sektor


swasta maupun publik telah menarik perhatian publik di Indonesia. Di Indonesia
kasus yang paling sensitif dan menjadi perhatian utama adalah korupsi.
Menurut Indeks Persepsi Korupsi Transparency International, pada tahun
2017, Indonesia mendapat skor 36 dan terdaftar di urutan ke-96 dari 180
negara yang disurvei.
Dibandingkan tahun sebelumnya jumlahnya tetap sama. Situasi ini
menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih relatif tinggi
dan program pemberantasan korupsi terkesan lamban. Deputi Pencegahan
Badan Pemberantasan Korupsi (KPK) Nainggolan mengatakan, banyak faktor
yang mempengaruhi fluktuasi indeks korupsi Indonesia. Masalah tersebut
tidak hanya disebabkan oleh korupsi tingkat rendah seperti suap tetapi juga
korupsi tingkat tinggi seperti korupsi politik.

Fakta bahwa korupsi selalu membawa banyak kerugian. Jadi, semua


orang sepakat bahwa korupsi harus diberantas. Tidak peduli berapa banyak
jumlah yang rusak, pemberantasan kecil

372
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

korupsi sama pentingnya dengan yang besar.1 Korupsi kecil cenderung menjadi lebih
besar jika semua orang mengabaikan situasinya. Dalam hal ini, untuk dapat memberantas
korupsi, organisasi perlu mendeteksi lebih dini perilaku korupsi sebagai pencegahan.
Saat ini, whistleblower telah menjadi tren baru dan meningkatkan popularitas sebagai
alat untuk mendeteksi korupsi dalam organisasi.

Whistleblower didefinisikan sebagai anggota lembaga publik atau lembaga swasta


yang mengungkapkan informasi tentang perilaku ilegal kepada otoritas atau publik.
Informasi tersebut dapat berupa aktivitas ilegal, ketidakadilan, atau kesalahan yang
terjadi di dalam organisasi.2
Whistleblowing diklaim lebih efektif dalam mengungkap kecurangan dibandingkan
dengan metode lain seperti audit internal, pengendalian internal atau bahkan audit eksternal.3
Klaim ini sejalan dengan Biyearly Report to The Nation yang diterbitkan oleh Association
of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang menyebutkan whistleblowing dalam daftar
pertama tips mengungkap kecurangan. Pemahaman akan pentingnya whistle-blowing
telah memicu banyak organisasi menerapkan mekanisme melalui beberapa fasilitas
komunikasi seperti call center atau website.

Menjadi seorang whistleblower bukanlah tugas yang mudah. Seseorang yang


bekerja dalam organisasi terkadang menghadapi dilema etika apakah ia harus
menyimpan rahasia atau "meniup peluit". Sebagian orang beranggapan bahwa
whistleblower adalah pengkhianat yang melanggar norma loyalitas, sedangkan sebagian
lainnya menganggap bahwa whistleblower adalah penjaga nilai yang lebih tinggi
daripada loyalitas terhadap organisasi.4 Pandangan yang kontradiktif ini terkadang
membuat calon whistleblower kebingungan yang menyebabkan distorsi pada diri mereka.
pikiran.
Keengganan pegawai untuk melaporkan perilaku fraud dalam organisasi
sebenarnya dapat diatasi melalui penerapan sistem pelaporan pelanggaran yang efektif,
transparan, dan bertanggung jawab. Sistem ini diharapkan dapat meningkatkan
partisipasi pegawai dalam melaporkan setiap penyimpangan di sektor swasta maupun
publik. Sistem Pelaporan Pelanggaran adalah bagian dari

1 Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing Dan Etika Organisasi (Universitas Brawijaya, 2010).

2 Georgina Susmanschi, “Audit Internal dan Whistle-Blowing,” Ekonomi, Manajemen, dan Pasar
Keuangan, vol. 7, tidak. 4 (2012), hal. 415.
3 Paul Sweeney, “Hotline Bermanfaat untuk Meniup Peluit,” Finansial
Eksekutif, vol. 24, tidak. 4 (2008), hal. 28.
4 Joyce Rotchschild dan Terance D. Miethe, “Pengungkapan Whistle-Blower dan
Pembalasan Manajemen,” Pekerjaan dan Pertanggungjawaban, vol. 26, tidak. 1 (1999), hal. 107.

373
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

mekanisme pengendalian internal untuk mencegah penyelewengan atau penyimpangan dan


memperkuat tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih.5
Perilaku whistleblowing dapat tumbuh karena beberapa alasan, Pertama, pergerakan
ekonomi yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas pendidikan, keterampilan, dan
kesadaran sosial karyawan.
Kedua, kondisi perekonomian saat ini telah memberikan informasi yang intensif dan menjadi
penggerak informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan publikasi telah menjadikan
whistleblowing sebagai peristiwa yang tidak dapat dicegah dalam gerakan ekonomi ini.

Beberapa peneliti percaya bahwa whistleblowing adalah perbuatan baik sebagai warga
negara dan perlu diberi penghargaan;6 Namun, secara umum, beberapa manajer dalam
organisasi memandang whistleblowing sebagai penyimpangan. Mereka masih menganggap
whistleblowing adalah tindakan yang merugikan organisasi. Ini terjadi sebagai semacam balas
dendam dari karyawan kepada manajer ketika keinginan karyawan tidak dipenuhi oleh manajer.
Gibson, dkk. menyebutkan biasanya pelapor di organisasi profit dipecat dan dimasukkan
dalam daftar hitam.7 Sedangkan di organisasi nirlaba, pelapor biasanya dipindahkan ke divisi
lain, diturunkan pangkatnya atau tidak direkomendasikan untuk mendapatkan promosi.

Penelitian Park & Blenkinsopp serta Winardi menggunakan teori Ajzen tentang perilaku
terencana untuk menjelaskan faktor-faktor individu yang membangun minat untuk menjadi
pelapor.8910 Studi tersebut mengungkapkan 'sikap terhadap whistle blowing' yang menjadi

salah satu faktor yang memiliki korelasi positif dalam minat dari whistleblowing. Selain itu,
beberapa penelitian juga meyakini

5 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil
Untuk Melakukan Tindakan Whistle-Blowing (Studi Pada BPK RI)”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, vol. 3, no. 1
(2015), p. 1.
6
Terry Morehead Dworkin, dan Janet P. Near, "Pendekatan undang-undang yang lebih baik untuk
whistle-blowing," Business Ethics Quarterly, vol. 7, tidak. 1 (1997), hal. 1.
7
James Gibson, Jhon M Ivancevich, JR Donnelly, H James, dan Robert Konopaske, Organisasi:
Perilaku, Struktur dan Proses (New York: McGraw-Hill Publishing Company, 2012).

8 Taman Heungsik dan John Blenkinsopp. “Whistleblowing sebagai perilaku yang direncanakan–
Sebuah survei terhadap petugas polisi Korea Selatan,” Journal of business ethics, vol. 85, tidak. 4 (2009),
p. 545.
9 R. D Winardi, “Pengaruh Faktor Individu dan Situasional Terhadap Niat Pelanggaran Pegawai
Negeri Sipil di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, vol. 28, tidak. 3 (2013), hal. 361.

10 Icek Ajzen, "Teori perilaku terencana," Perilaku organisasi dan proses keputusan manusia, vol.
50, tidak. 2 (1991), hlm. 179.

374
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

faktor situasional seperti biaya pribadi, dan perhatian terhadap


penyimpangan juga berkontribusi terhadap minat whistleblowing.11
Selanjutnya, tindakan whistleblowing juga dapat dikaitkan dengan
teori perilaku organisasi prososial. Brief & Motowidlo menyatakan
whistleblowing adalah salah satu tindakan prososial dari anggota organisasi
untuk menyampaikan beberapa instruksi, prosedur, atau kebijakan yang
mereka anggap tidak etis, ilegal dan berbahaya bagi masa depan individu
atau organisasi.12 Berdasarkan perilaku prososial organisasi dapat
disimpulkan bahwa whistleblowing menunjukkan komitmen seseorang
untuk melindungi organisasinya dari ancaman yang tidak etis atau ilegal.13

Definisi masalah

Dapat dikatakan bahwa masalah utama dalam situasi ini adalah


kurangnya regulasi yang mengatur tentang perlindungan pelapor di
Indonesia. Perlindungan terhadap pelapor hanya secara implisit disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Aturan lainnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4
Tahun 2011 tentang Perlindungan Justice Collaborator. Peraturan tersebut
masih jauh dari harapan dalam melindungi pelapor. Oleh karena itu, tulisan
ini akan mengeksplorasi dimensi mekanisme whistleblowing dalam rangka
penguatan regulasi tersebut.

Ikhtisar Teoretis

Teori perilaku organisasi prososial


Somers & Casal mendefinisikan perilaku organisasi prososial sebagai
perilaku yang dilakukan oleh anggota suatu organisasi terhadap seseorang,
kelompok atau organisasi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

11 Steven E. Kaplan dan Stacey M Whitecotton, "Sebuah Pemeriksaan Auditor


Melaporkan Niat Ketika Auditor lain Ditawari Pekerjaan Klien," Sebuah Jurnal Praktek dan
Teori, vol. 20, tidak. 1 (2001), hal. 45; RD Winardi, “Pengaruh Individu dan…”, hal. 361.

12 Arthur P. Brief dan Stephan J. Motowidlo, “Organisasi Prososial


Perilaku,” Academy of Management Review, vol. 11, tidak. 4 (1986), hal. 710.
13 Mark J. Somers, dan Jose C. Casal, “Komitmen Organisasi dan Whistle Blowing:
Tes Hipotesis Pembaru dan Manusia Organisasi,” Manajemen Grup & Organisasi, vol. 19,
tidak. 3 (1994), hal. 270.

375
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

subyek.14 Namun, perilaku prososial berbeda dengan perilaku altruistik.


Brief & Motowidlo berpendapat bahwa perilaku prososial adalah perilaku sosial positif
yang dimaksudkan untuk membawa keuntungan tidak hanya bagi orang-orang di
masyarakat tetapi juga untuk diri mereka sendiri.15
Dikatakan bahwa whistle-blowing terkait dengan perilaku prososial.
Brief & Motowidlo percaya bahwa whistle-blowing adalah salah satu dari tiga belas jenis
perilaku organisasi prososial.16 Dozier & Miceli juga percaya bahwa whistle-blowing
dapat dilihat sebagai perilaku organisasi prososial karena perilaku tersebut tidak hanya
membawa manfaat bagi orang lain tetapi juga bagi pelapor sendiri.17

Teori perilaku prososial memiliki beberapa variabel anteseden yang terbagi menjadi
dua kelompok besar. Pertama, anteseden individu yang bersumber dari perilaku individu
yang bersifat prososial seperti tanggung jawab terhadap lingkungan, moralitas, dan
empati. Kedua, anteseden kontekstual yang berasal dari konteks lingkungan kerja
seperti faktor norma, kekompakan, panutan, kepemimpinan, tekanan kerja, komitmen
organisasi, dan hal-hal lain yang mempengaruhi perasaan, kesenangan, atau
ketidaksenangan individu.18

Teori dariPerilaku yang Direncanakan


Theory of Planned Behavior (TPB) adalah teori psikologi yang
19
diusulkan oleh ada Brief & Motowidlo. Teori ini menjelaskan hubungan
antara sikap dan perilaku. TPB muncul sebagai jawaban dari kegagalan sikap dalam
memprediksi perilaku yang sebenarnya. TPB membuktikan bahwa niat lebih akurat
dalam memprediksi perilaku aktual dan hadir sebagai proksi yang menghubungkan sikap
dan perilaku aktual.

14 Arthur P. Brief dan Stephan J. Motowidlo, “Organisasi Prososial…”, hal.


710.
15
Janella B. Dozier dan MP Miceli, "Prediktor Potensial dari Whistle-Blowing:
Sebuah Prosocial Behavior Prpspective", Academy of Management Review, vol. 10,
tidak. 4, (1985), hal. 823.
16 Arthur P. Brief dan Stephan J. Motowidlo, “Organisasi Prososial…”, hal.
710.
17
Janella B. Dozier dan MP Miceli, “Prediktor Potensial…”, hal. 823.
18 Arthur P. Brief dan Stephan J. Motowidlo, “Organisasi Prososial…”, hal.
710.
19 Icek Ajzen, “Teori …”.

376
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

Ajzen berpendapat niat diasumsikan untuk menangkap faktor-faktor motivasi


yang mempengaruhi perilaku individu. Lebih lanjut, TPB menyebutkan bahwa secara
konseptual, niat memiliki tiga faktor penentu yang mempengaruhi. Determinat
pertama adalah sikap terhadap perilaku. Determinan ini merupakan tingkatan
dimana seseorang mengevaluasi apakah beberapa perilaku itu benar atau salah.
Determinan kedua adalah faktor sosial yang disebut norma subjektif. Hal ini
mengacu pada persepsi tekanan sosial tentang apa yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan. Determinan ketiga adalah perceived behavioral control yang mengacu
pada kemudahan atau kesulitan yang dihadapi dalam melakukan suatu perilaku.
Ketiga determinan tersebut relatif berbeda dalam setiap perilaku dan konteks.
Dengan demikian, implikasinya dalam beberapa kasus mungkin ditemukan bahwa
hanya sikap yang mempengaruhi niat, atau kontrol perilaku yang dirasakan yang
dapat menjelaskan niat, atau ketiganya saling mempengaruhi.

Diskusi

Fenomena Whistleblower saat ini tengah menjadi perhatian di


Indonesia. Apalagi dalam beberapa kasus seperti Khairianysah, dan Susno
Duadji yang mengungkap perilaku korupsi di organisasi mereka.

Sumber: Komite Nasional Kebijakan Pemerintahan (KNKG)

Whistleblower dapat didefinisikan dengan banyak definisi. Kadang-kadang


bisa didefinisikan sebagai saksi, atau pengungkap fakta. Namun, masih tidak ada

20 Icek Ajzen, “Teori …”.

377
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

arti sebenarnya dari whistleblower dalam bahasa indonesia. Whistleblower biasanya


didedikasikan untuk seseorang yang mengungkapkan atau melaporkan perilaku ilegal
dalam organisasinya kepada publik atau auditor internal.
Pada dasarnya, whistleblower itu seperti palu. Dia bisa mengungkap beberapa
kasus atau skandal yang melibatkan rekan kerja atau atasan mereka.
Namun tidak ada yang bisa menyebutkan apa yang dimaksud dengan kategori pelapor.

Dimensi Manusia
Park & Blenkinsopp menyatakan dalam komunitas atomistik, impersonal, dan
menantang yang dipimpin oleh pasar dan kapitalisme ini telah membuat orang sulit
menemukan identitasnya sendiri.21 Dalam komunitas semacam itu, identitas mereka
menjadi begitu abstrak. Selanjutnya, kesadaran sosial di masyarakat juga berangsur-
angsur menghilang. Orang tidak akan berpikir bahwa apa yang mereka lakukan untuk
masyarakat akan membawa dampak positif bagi diri mereka sendiri dan untuk masa
depan.
Penguatan nilai-nilai etika termasuk nilai spiritual yang didukung oleh akal sehat
menjadi begitu penting bagi pegawai negeri.
Pelayan publik harus bertanggung jawab tidak hanya untuk organisasi tetapi juga
untuk publik. Dengan akal sehat, orang bisa memilih mana yang benar atau salah.
Oleh karena itu, setiap orang di masyarakat dapat berkontribusi pada perubahan
terutama melalui peran whistleblower.
Selanjutnya, tanpa spiritual dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, dampaknya
bagi masyarakat begitu masif. Misalnya, penyimpangan perilaku seperti korupsi.
Seperti yang kita ketahui, salah satu hal yang berkontribusi terhadap keterpurukan
bangsa ini adalah tingginya angka korupsi.22
Selain itu, aspek moralitas juga memiliki peran penting karena nilai-nilai lain
seolah-olah terdevaluasi. Hal ini penting karena moralitas merupakan salah satu
aspek kehidupan sosial yang dapat dikaitkan dengan praktik sosial lainnya.23
Persyaratan whistleblowing bukan tanpa alasan. Nilai-nilai etika menjadi alasan
mendasar mengapa orang memilih menjadi seorang whistleblower. Dalam hal ini,
mereka mempertimbangkan aspek moralitas yang digunakan

21 Taman Heungsik dan John Blenkinsopp. “Whistleblowing sesuai rencana…”, hal. 545.

22 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi… ”, p. 1.

23 Sekolah A. F, Etika Manajemen Terapan (Chicago: Richard D. Irwin, 1996), hlm.

378
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

sebagai dasar bagi mereka untuk mengungkap perilaku koruptif atau ilegal yang
biasanya terorganisir dengan rapi.24
Lebih lanjut, pandangan PNS terhadap whistleblowing juga mempengaruhi niat
dirinya untuk menjadi whistleblower. Pegawai publik yang menjadi pelapor harus
memiliki komponen kognitif atau percaya bahwa whistleblowing memiliki beberapa
dampak positif seperti melindungi organisasi, memberantas korupsi, menumbuhkan
budaya antikorupsi, dan membangun reputasi diri.25 Kemudian, keyakinan terhadap
konsekuensi positif tersebut juga dievaluasi melalui beberapa evaluasi subjektif
berdasarkan nilai individu yang membawa reaksi emosional. Hanya evaluasi emosional
positif yang dapat memicu niat seseorang untuk menjadi seorang whistleblower.26

Umumnya budaya organisasi di Indonesia didasarkan pada kolektivisme dimana


solidaritas antar anggota dalam organisasi lebih diprioritaskan daripada anggota itu
sendiri. Hal ini ditunjukkan ketika ada penyelidikan tentang beberapa kasus dalam
organisasi mereka cenderung saling membantu untuk menutupi masalah. Beberapa
masalah terkadang ditoleransi dengan mengatasnamakan loyalitas bahkan melanggar
peraturan.
Sangat disayangkan, mengingat hal ini tidak sesuai dengan semangat antikorupsi.
Hal ini juga dapat menghambat mekanisme whistleblowing. Akan lebih baik jika
pegawai negeri memiliki komitmen yang dapat membawa beberapa efek positif bagi
organisasi seperti yang disebutkan oleh Mowday, Steers, & Porte.27 Mereka
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan identifikasi relatif dan
keterlibatan individu dalam organisasi yang dapat disebutkan melalui tiga faktor yang
saling terkait: Pertama, keyakinan pada nilai organisasi; kedua kesediaan untuk
melakukan beberapa upaya atas nama organisasi ketiga, kesediaan untuk melindungi
keanggotaan dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi
tampaknya memiliki rasa memiliki yang lebih baik terhadap organisasi. Mereka akan
meningkatkan prestasi mereka, dan memiliki keyakinan untuk mencapai tujuan
organisasi. Mereka juga

24
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .
25 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi… ”, p. 1.

26
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan ... .
27 Richard T. Mowday, Richard M Steers, dan Lyman W Porter, "Pengukuran
Komitmen Organisasi", Jurnal Perilaku Kejuruan, vol. 14 (1979), hal. 224.

379
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

rela menjadi pelapor karena mereka yakin dapat melindungi


organisasi.28

Dimensi Struktur
Saat ini Indonesia belum memiliki peraturan khusus yang mengatur
tentang whistleblowing.29 Pengaturan yang menyebutkan tentang
whistleblowing hanya ada dalam UU No.13 tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban. Secara substansi UU hanya mengatur
kejahatan publik yang meliputi proses perlindungan saksi dan korban.
Namun, secara kontekstual whistleblowing harus diatur dalam kejahatan
korporasi. Selanjutnya undang-undang tersebut juga tidak menyebutkan
secara eksplisit tentang whistleblowing dan perlindungan terhadap
whistleblower. Dalam artikel no. 10 (3), niat pelapor atau pelapor
menjadi syarat utama bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan.
Seseorang yang mengikuti sistem perlindungan pelapor perlu memenuhi
beberapa kriteria yang diperlukan untuk memastikan sistem
perlindungan tersebut efektif.30
Kriteria tersebut adalah kesediaan menjadi saksi, mengikuti
ketentuan prosedur keselamatan, tidak berkomunikasi dengan orang
lain tanpa persetujuan lembaga, dan tidak memberitahukan lokasi
secara pasti selama perlindungan. Berdasarkan pemutakhiran terakhir,
Mahkamah Agung (Mahkamah Agung) menerbitkan surat edaran No.4
Tahun 2011 yang sesuai dengan pasal No.10 UU No.13 Tahun 2006.
Surat ini muncul sebagai pedoman bagi Hakim untuk memberikan
pengobatan bagi pelapor. Perlakuan ini memberikan perlindungan, dan
penghargaan bagi pelapor. Perlunya regulasi dalam mendukung
31
whistleblower juga disebutkan oleh Diniastri.
Ia meyakini untuk memperkuat sistem
whistleblowing, diperlukan mekanisme sektoral dan internal yang dapat
memfasilitasi proses tersebut.
Berdasarkan konsep KNKG (Panitia Nasional di poli pemerintahan)
ada dua kata kunci yang terkait dengan whistleblower yaitu informan
dan pelanggaran. Praktis,

28 Andrew Sikula Sr., "Metodologi/Mitologi Manajemen Moral: Persamaan Etika yang Salah",
Etika & Perilaku, vol. 19, tidak. 3 (2009), hal. 253
29 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi… ”, p. 1.

30
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .
31
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .

380
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

kedua kata tersebut dapat dikaitkan dan menjadi pelapor pelanggaran yang dikenal
sebagai whistleblower. Biasanya informan berasal dari anggota internal organisasi.
Namun, ada juga kemungkinan bahwa laporan tersebut berasal dari pihak eksternal.
Salah satu syarat untuk menjadi pelapor dalam konsep ini adalah memiliki informasi,
bukti, prediksi yang akurat tentang pelanggaran tersebut. Laporan adalah fakta yang
terjadi bukan opini berdasarkan ketidaksukaan terhadap organisasi.

Tujuan utama dari sistem pelaporan ini adalah untuk mengungkap pelanggaran
atau perilaku ilegal, tidak etis, atau tidak bermoral yang dapat merugikan anggota
lain dari organisasi atau organisasi itu sendiri. Pelanggaran itu sendiri dapat
didefinisikan sebagai setiap tindakan yang
Melanggar peraturan seperti: 1. Pelanggaran peraturan; 2.
Pelanggaran kode etik organisasi 3. Pelanggaran prinsip akuntansi 4. Pelanggaran
kebijakan dan standar operasional prosedur organisasi 5. Pelanggaran lainnya yang
berdampak pada situasi keuangan atau non keuangan organisasi.

Struktur yang perlu dipenuhi dalam mekanisme pelaporan sebagaimana dinyatakan


oleh Diniasti, 32 seperti:
1. Infrastruktur dan mekanisme pelaporan
Organisasi perlu menyediakan sistem yang digunakan untuk menyampaikan
laporan tentang perilaku pelanggaran seperti email atau alamat khusus
yang tidak dapat diakses selain oleh operator sistem pelaporan pelanggaran.
Sistem ini perlu diinformasikan kepada semua karyawan dalam organisasi.

2. Kerahasiaan
Identitas pelapor merupakan hal yang paling penting untuk diamankan
dalam sistem ini, Identitas dan informasi dibatasi pada operator whistleblower
dan file yang dibutuhkan untuk disimpan di tempat yang aman. Sistem juga
harus dibuka untuk informan anonim dan tidak ada diskriminasi terhadap
anonim.

3. Hak kekebalan
Organisasi harus mengembangkan budaya yang melibatkan karyawan
untuk melaporkan setiap tindakan pelanggaran yang mereka lihat. Hal ini
penting untuk memberikan mereka hak kekebalan terhadap pelapor yang
sudah melaporkan pelanggaran tersebut.
4. Komunikasi dengan informan

32 Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .

381
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

Komunikasi dengan pelapor terjalin melalui satu mekanisme tunggal misalnya


hanya satu operator whistleblowing yang menerima laporan. Dalam
komunikasi tersebut informan juga menerima update tentang masalah
tersebut.
5. Investigasi
Proses investigasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari laporan tersebut.
Proses ini dilakukan oleh petugas penyidik. Dalam kasus yang serius dan
sensitif, keterlibatan dari penyidik eksternal diperlukan.

6. Mekanisme Laporan
Sistem pelaporan internal perlu dirancang dengan cermat. Sehingga dapat
dipastikan bahwa setiap laporan perlu ditindaklanjuti, dan beberapa kasus
sistemik perlu diteruskan ke pimpinan organisasi sebagai pencegahan.

Biaya pelaporan pribadi adalah pandangan karyawan terhadap risiko kontra dari
anggota organisasi lainnya. Hal ini juga dapat mempengaruhi niat untuk melaporkan
33 Tindakan balasan tersebut dapat
tindakan pelanggaran tersebut.
berupa tindakan yang tidak berwujud seperti ketidakseimbangan skor kinerja dari
atasan, atau pemecatan dari jabatannya saat ini.34 Tindakan lain yang dapat terjadi
seperti melemahnya proses pelaporan, isolasi terhadap pelapor atau diskriminasi
lainnya terhadap pelapor. 35
Diniastri juga menyebutkan bahwa personal cost tidak hanya merupakan dampak dari
balas dendam pelaku tetapi juga stigma negatif yang menyatakan bahwa pelaporan
pelanggaran dalam organisasi adalah tindakan yang tidak etis.36
Semakin besar personal cost maka semakin kecil niat masyarakat untuk
melakukan whistleblowing. Biaya pribadi dapat didasarkan pada pandangan subjektif,
artinya harapan masyarakat terhadap biaya pribadi dapat bervariasi.
Namun, Near & Miceli percaya bahwa jalur balas dendam yang sama dapat
ditemukan.37 Orang yang memecat karena melaporkan kesalahan berpikir bahwa dia
membayar banyak dari laporan tersebut. Oleh karena itu, whistleblowing

33
Georgina Susmanschi, “Audit Internal dan…”, hal. 415.
34 LP White dan LW Lam, "A Mengusulkan Model Infrastruktur untuk Pembentukan
Sistem Etika Organisasi", Jurnal Etika Bisnis, vol. 28 (2000), hal. 35.

35
JP Near dan MP Miceli, “Perbedaan Organisasi: Kasus Peluit
Hembusan”, Jurnal Etika Bisnis, vol. 4, tidak. 1 (1985), hal. 1.
36
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .
37
JP Near dan MP Miceli, “Organizational Dissidence: … ”, hal. 1.

382
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

akan membuat orang berharap bahwa laporan tersebut dapat membuat organisasi
dan manajemen prihatin dengan pengaduan tersebut.38

Dimensi proses
Sebelum membuat laporan, pelapor harus memahami batasan yang dapat
disebut sebagai pelanggaran atau kesalahan. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa laporan tersebut tidak dianggap sebagai fiksi, kebohongan, atau fitnah.
Saat ini belum ada peraturan yang secara spesifik menyebutkan perbuatan mana
yang dilarang dan dapat mempengaruhi kebutuhan masyarakat.
Namun, dalam beberapa peraturan perundang-undangan sudah disebutkan contoh
pelanggarannya meskipun tidak secara spesifik. Dan peraturan perundang-
undangan tersebut dapat dijadikan dasar oleh pelapor untuk melaporkan
pelanggaran tersebut.
Beberapa contoh perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan
antara lain: 1. Perkara Pidana, 2. Perkara Tipikor yang disebutkan dalam UU
Tindak Pidana Korupsi. 3. Penyalahgunaan Narkotika dan Narkoba. 4. Aksi
Terorisme, Dll. Selain itu, beberapa tindakan seperti penyalahgunaan kekuasaan
dan tindakan lain yang merugikan masyarakat juga dapat dilaporkan melalui
mekanisme whistle blowing.
Seorang pelapor juga perlu mengetahui tentang lembaga yang berwenang
mengungkap beberapa kasus dan memberikan perlindungan. Hal ini penting
karena berkaitan dengan proses pelaporan agar prosesnya tepat dan cepat. Di
Indonesia laporan tersebut dapat dikirimkan ke beberapa instansi yang berwenang
untuk memproses kasus-kasus whistleblowing seperti KPK, dll.

Satu hal yang perlu dipahami oleh pelapor adalah risiko dari tindakannya.
Hal ini perlu diperhatikan, mengingat Indonesia belum memiliki undang-undang
atau peraturan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan whistleblowing.
Dalam beberapa kasus, kami menemukan bahwa pelapor dikriminalisasi sebagai
akibat dari tindakannya, seperti Susno Duadji, Vincent Khairiansyah, dan Agus
Condro. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa proses pengungkapan kasus
internal dapat membahayakan pelapor itu sendiri. Risiko yang dihadapi tidak hanya
menyangkut jabatan, uang, atau nyawanya sendiri, tetapi juga kehidupan
keluarganya. Misalnya, seorang pegawai bisa dipecat dan juga dimasukkan dalam
daftar hitam, diturunkan pangkat, atau bahkan dikriminalisasi seperti Susno Duadji
dan Agus Condro. Risiko terburuk yang bisa dihadapi adalah seseorang bisa
terbunuh seperti dalam kasus Keraton Solo.

38
Janella B. Dozier dan MP Miceli, “Prediktor Potensial…”, hal. 823.

383
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

Selanjutnya seseorang akan dianggap sebagai pelapor jika melaporkan


kasus tersebut dengan itikad baik sendiri. Setelah itu lembaga akan
menetapkan orang tersebut sebagai pelapor yang harus dilindungi. Ada
beberapa prosedur dalam mekanisme seperti yang digambarkan dalam diagram ini:

Dalam proses penilaian, asesor harus memiliki keterampilan dan


pengalaman dalam menginterpretasikan hasil laporan. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui bahwa temuan tersebut terkait dengan regulasi. Sehingga
mispersepsi dan miss communication pada langkah selanjutnya dapat
diminimalisir. Dalam proses penilaian, asesor perlu mengutamakan kerahasiaan
pelapor. Identitas informan harus dijaga dan dirahasiakan.39

Tingkat pelanggaran juga menjadi fokus sistem proses pelaporan


pelanggaran. Anggota organisasi yang mengamati perilaku pelanggaran
menjadi lebih enggan untuk melakukan pelaporan pelanggaran jika
pelanggarannya serius.40 Lebih lanjut, organisasi akan lebih dirugikan dari
41
pelanggaran yang lebih serius daripada yang lebih ringan.
Persepsi setiap anggota terhadap keseriusan suatu pelanggaran bisa berbeda
satu sama lain. Persepsi tersebut berkembang tidak hanya dari keseriusan
masalah tetapi juga jenis pelanggarannya. Near & Miceli menyatakan anggota
organisasi mungkin memiliki reaksi yang berbeda terhadap beberapa jenis
pelanggaran.42 Meskipun jenis pelanggaran terkait dengan persepsi,
keseriusan pelanggaran tidak dapat diukur dengan jenis pelanggaran.

39
JP Near dan MP Miceli, “Organizational Dissidence: … ”, hal. 1.
40
JP Near dan MP Miceli, “Organizational Dissidence: … ”, hal. 1.
41 RD Winardi, “Pengaruh Individu dan…”, hal. 361.
42
Janella B. Dozier dan MP Miceli, “Prediktor Potensial…”, hal. 823.

384
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

Masalah keseriusan dapat diukur secara berbeda. Beberapa penelitian


sebelumnya menggunakan perspektif kuantitatif untuk mengukur tingkat
keseriusan tindakan pelanggaran. Bagustianto & Nurkholis dalam penelitiannya
menggunakan konsep materialistik dalam akuntansi sehingga tingkat
keseriusan tindakan dapat diukur berdasarkan nilai
tindakan pelanggaran.43 Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang paling
layak dilakukan terkait masalah ini karena indikatornya jelas, terukur, dan
dapat diamati. Studi lain yang dilakukan oleh Curtis melalui pendekatan
kualitatif.44 Dalam studinya ia mengungkapkan beberapa tindakan pelanggaran
yang merugikan orang lain dan jumlah tindakan pelanggaran.

Studi yang dilakukan Bagustianto & Nurkholis menyimpulkan bahwa


faktor materialistis mempengaruhi etika dan sikap seseorang
positif.45 Temuan lainnya adalah etika dan sikap seseorang secara konsisten
menyebabkan perbedaan yang besar pada niat untuk melaporkan suatu
pelanggaran. Temuan lain yang menyimpulkan bahwa tingkat keseriusan
pelanggaran berpengaruh signifikan terhadap niat pelaporan pelanggaran juga
46
Di sisi lain, hasil
diungkapkan oleh auditor internal pemerintah Sulawesi Selatan.
berbeda diungkapkan oleh studi Kaplan & Whitecotton yang menyatakan
persepsi keseriusan tidak berhubungan dengan niat auditor untuk melaporkan
perilaku yang meragukan dari rekan-rekannya.47

Pelapor berdasarkan hukum Indonesia

Di Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Undang-


Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak
menyebutkan secara jelas tentang definisi pelapor dan menyatakan bahwa
peraturan ini juga melindungi pelapor. Ketentuan tentang pelapor secara tegas
disebutkan dalam pasal 10. Pasal tersebut menyebutkan bahwa:
1. Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat digugat

43 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi… ”, p. 1;


Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan ....
44 Mary B. Curtis, "Apakah keputusan etis terkait audit bergantung pada suasana

hati?", Jurnal Etika Bisnis, vol. 68, tidak. 2 (2006), hal. 191.
45 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi… ”, p. 1.

46 RD Winardi, “Pengaruh Individu dan…”, hal. 361.


47 Steven E. Kaplan dan Stacey M Whitecotton, “An Examination of…”, hal. 361.

385
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

2. Seseorang yang sekaligus menjadi saksi dan tersangka tidak dapat


dibebaskan dari tuntutan, jika ia terbukti salah dalam beberapa hal.
Namun informasi yang dia berikan bisa menjadi bahan pertimbangan di
pengadilan.
3. Klausa yang disebutkan pada partikel pertama tidak berlaku bagi
seseorang yang memberikan informasi tanpa itikad baik.

Padahal pasal itu No.10, UU No. 13 tahun 2006 tidak menyebutkan pelapor
sebagai pelapor, namun pelapor dalam undang-undang ini dapat diartikan sebagai
seseorang yang memberikan informasi kepada penegak hukum tentang suatu
tindak pidana. Namun para saksi yang juga tersangka tidak bisa dibebaskan dari
tuduhan. Partikel ini menimbulkan polemik yang dalam beberapa hal menimbulkan
ketidakpastian regulasi dan tidak melindungi pelapor. Karena dalam beberapa
kasus pelapor juga bertindak sebagai pelaku.

Mahkamah Agung Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk


mendukung perlindungan saksi dan korban dengan menerbitkan surat edaran
Mahkamah Agung. Poin penting dari surat edaran ini adalah perlakuan khusus
bagi orang-orang yang dikategorikan sebagai informan dan saksi serta pelaku
yang membantu mengungkap kasus tersebut.48 Perlakuan khusus tersebut dapat
disebut seperti perlindungan dan penghargaan. Dalam beberapa kasus, jika
terlapor menggugat informan dengan beberapa tuduhan, maka kasus yang
melibatkan terlapor akan diprioritaskan.49
Selanjutnya, UU No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
tidak menyebutkan perlindungan hukum bagi pelapor. Padahal pelapor harus
dilindungi berdasarkan pasal 33 United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC). Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui
UU No.7 Tahun 2006. Selain itu, UU No.30 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa
KPK harus melindungi pelapor yang melakukan tindak pidana korupsi. Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak
secara tegas menyebutkan adanya perlindungan hukum bagi pelapor.

48
Bobby Briando, Iwan Triyuwono, and Gugus Irianto, “Gurindam Etika Pengelola Keuangan
Negara”, Jurnal Akuntansi Multiparadigma, vol. 8, no. 1 (2017), p. 1.

49 Bobby Briando, “Prophetical Law: Membangun Hukum Berkeadilan dengan Kedamaian”,


Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 14, no. 3 (2017), p. 313.

386
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

Oleh karena itu, diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang
whistleblower saat ini. Undang-undang ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme
pengungkapan dan perlindungan terhadap pelapor dalam beberapa kasus yang merugikan
publik. Nixson Kalo, Kamello, & Mulyadi juga berpendapat bahwa undang-undang khusus
tentang pelapor perlu mengatur beberapa situasi,50 juga:

sebuah. Whistleblower tidak dapat dituntut karena mengungkapkan beberapa


informasi untuk kepentingan umum
b. Merugikan pelapor dinyatakan sebagai balas dendam dan bisa
dinyatakan sebagai kejahatan.

c. Lembaga publik harus mengatur beberapa prosedur untuk melindungi petugas


mereka dalam tindakan balas dendam.
d. Pejabat publik memiliki hak untuk mengajukan keberatan atau peninjauan kembali
sebagai sanksi administratif dari tindakan balas dendam. e. Penegak hukum
harus terintegrasi dan memiliki tujuan yang sama untuk melindungi pelapor. f.
Perlindungan pelapor juga perlu melindungi keluarga pelapor dari kerugian fisik
atau psikologis dan kerugian lainnya.

Kesimpulan

Indonesia masih belum memiliki peraturan perundang-undangan yang khusus


mengatur tentang whistleblower. Secara eksplisit pengaturan tentang whistleblowing yang
tertuang dalam pasal 10 undang-undang No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban dan surat edaran Mahkamah Agung No.4 tahun 2011 tentang whistleblower dan
justice collaborator, namun peraturan tersebut tidak cukup kuat dan tidak dapat melindungi
mereka. dua secara komprehensif. Komisi Nasional Tata Kelola Nasional telah menyebutkan
tiga dimensi whistleblower yaitu Manusia, Struktur, dan Sistem. Setiap dimensi memiliki

beberapa kelemahan dalam perundang-undangan. KPU sebenarnya telah mengeluarkan


pedoman dalam sistem pelaporan pelanggaran; namun secara praktis tidak memiliki dasar
hukum untuk melindungi pelapor di pengadilan. Dengan demikian, perlu adanya jaminan
hukum dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang pelapor.
Penegakan hukum juga perlu

50
Syafruddin Kalo Nixson, Tan Kamello, and Mahmud Mulyadi, “Perlindungan Hukum
Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi”, USU Law Journal, vol. 1, no. 2 (2013), p. 40.

387
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

terintegrasi dari kepolisian, kejaksaan, hakim, komisi pemberantasan korupsi,


dan pemangku kepentingan lainnya. Kemudian, penegak hukum akan memiliki
pandangan yang sama tentang perlindungan pelapor.

Bibliografi

Ajzen, Icek, "Teori perilaku terencana", Perilaku organisasi dan proses


keputusan manusia, vol. 50, tidak. 2 (1991), hlm. 179-211.
Bagustianto, Rizki, and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat
Pegawai Negeri Sipil Untuk Melakukan Tindakan Whistle-Blowing (Studi
Pada BPK RI)”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, vol. 3, no. 1 (2015), pp. 1–18.

Briando, Bobby, “Prophetical Law: Membangun Hukum Berkeadilan Dengan


Kedamaian”, Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 14, no. 3 (2017), pp. 325-336.

Briando, Bobby, Iwan Triyuwono, and Gugus Irianto, “Gurindam Etika Pengelola
Keuangan Negara”, Jurnal Akuntansi Multiparadigma, vol. 8, no. 1 (2017),
pp. 1–17.
Singkat, Arthur P, dan Stephan J. Motowidlo, "Perilaku Organisasi Prososial",
Academy of Management Review, vol. 11, tidak. 4 (1986), hlm. 710–25.

Curtis, Mary B. "Apakah keputusan etis terkait audit bergantung pada suasana
hati?", Jurnal Etika Bisnis, vol. 68, tidak. 2 (2006), hlm. 191-209.
Diniastri, Ellysa, Korupsi, Whistleblowing dan Etika Organisasi, Malang:
Universitas Brawijaya, 2010.
Dozier, Janella B. dan MP Miceli, "Prediktor Potensial Whistle Blowing:
Sebuah Perspektif Perilaku Prososial", Academy of Management Review,
vol. 10, tidak. 4, (1985), hlm. 823-836.
Dworkin, TM, dan JP Near, “A Better Statutory Approach to Whistleblowing”,
Business Ethics Quarterly, vo. 7, tidak. 1 (1997), hal.
1–16.
Gibson, James, Jhon M Ivancevich, JR Donnelly, H James, dan Robert
Konopaske, Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses, New York:
Perusahaan Penerbitan McGraw-Hill, 2012.
Kaplan, Steven E, dan Stacey M Whitecotton, "Sebuah Pemeriksaan Auditor
Melaporkan Niat Ketika Auditor lain Ditawari Pekerjaan Klien", Jurnal
Praktek dan Teori, vol. 20. Nomor 1
(2001), hlm. 45–63.

388
Machine Translated by Google

Jurnal Hukum dan Peradilan


Jil. 8, tidak. 3 (Nov), hlm. 371 - 390, doi: 10.25216/JHP.8.3.2019.371-390

Mowday, Richard T, Richard M Steers, dan Lyman W Porter, "Pengukuran


Komitmen Organisasi", Jurnal Perilaku Kejuruan, vol. 14 (1979), hlm. 224–
247.
Near, JP, dan MP Miceli, “Perbedaan Organisasi: Kasus Whistle-Blowing”,
Jurnal Etika Bisnis, vol. 4, tidak. 1 (1985), hal.
1–16.
Nixson, Syafruddin Kalo, Tan Kamello, and Mahmud Mulyadi, “Perlindungan
Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, USU Law Journal, vol. 1, no. 2
(2013), pp. 40-56.
Park, Heungsik, dan John Blenkinsopp. “Whistleblowing sebagai perilaku yang
direncanakan–Sebuah survei terhadap petugas polisi Korea Selatan”,
Jurnal etika bisnis, vol. 85, tidak. 4 (2009), hlm. 545-556.
Rotchschild, Joyce, dan Terance D Miethe, “Pengungkapan Whistle-Blower
dan Pembalasan Manajemen”, Pekerjaan dan Pekerjaan, vol. 26, tidak. 1
(1999), hlm.107–128.
Sikula, AF, Etika Manajemen Terapan, Chicago: Richard D. Irwin, 1996.
Sikula Sr., Andrew, "Metodologi/Mitologi Manajemen Moral: Persamaan Etika
yang Salah", Etika & Perilaku, vol. 19, tidak. 3 (2009), hlm. 253–261.

Somers, Mark J, dan Jose C Casal, “Komitmen Organisasi dan Whistle-Blowing:


Tes dari Hipotesis Pembaru dan Manusia Organisasi”, Manajemen Grup
& Organisasi, vol. 19, tidak. 3 (1994), hlm. 270–284.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan
Terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerja sama (justice collaborator).
Susmanschi, Georgina, “Audit Internal dan Whistle-Blowing', Ekonomi,
Manajemen, dan Pasar Keuangan, 7.4 (2012), 415–
221.
Sweeney, P, "Hotline Bermanfaat untuk Meniup Peluit", Eksekutif Keuangan,
vol. 24, tidak. 4 (2008), hlm. 28–31.
UU No.13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban
White, LP, dan LW Lam, "A Mengusulkan Model Infrastruktur untuk
Pembentukan Sistem Etika Organisasi", Jurnal Etika Bisnis, vol. 28, tidak.
1 (2000), hlm. 35–42.

389
Machine Translated by Google

Briando, Bawono & Mirwanto


Dimensi Whistleblowing System: Urgensi Penguatan Peraturan Perundang-undangan

Winardi, RD, “Pengaruh Faktor Individu dan Situasional Terhadap Niat


Pelaporan Pelanggaran Pegawai Negeri Sipil di Indonesia”, Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia, vol. 28, tidak. 3 (2013), hal.
361–376.

390

Anda mungkin juga menyukai