Bobby Briando
Politeknik Imigrasi
chorobwono@gmail.com
Tony Mirwanto
Politeknik Imigrasi
boxtony85@gmail.com
Abstrak
371
Machine Translated by Google
pengantar
372
Machine Translated by Google
korupsi sama pentingnya dengan yang besar.1 Korupsi kecil cenderung menjadi lebih
besar jika semua orang mengabaikan situasinya. Dalam hal ini, untuk dapat memberantas
korupsi, organisasi perlu mendeteksi lebih dini perilaku korupsi sebagai pencegahan.
Saat ini, whistleblower telah menjadi tren baru dan meningkatkan popularitas sebagai
alat untuk mendeteksi korupsi dalam organisasi.
1 Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing Dan Etika Organisasi (Universitas Brawijaya, 2010).
2 Georgina Susmanschi, “Audit Internal dan Whistle-Blowing,” Ekonomi, Manajemen, dan Pasar
Keuangan, vol. 7, tidak. 4 (2012), hal. 415.
3 Paul Sweeney, “Hotline Bermanfaat untuk Meniup Peluit,” Finansial
Eksekutif, vol. 24, tidak. 4 (2008), hal. 28.
4 Joyce Rotchschild dan Terance D. Miethe, “Pengungkapan Whistle-Blower dan
Pembalasan Manajemen,” Pekerjaan dan Pertanggungjawaban, vol. 26, tidak. 1 (1999), hal. 107.
373
Machine Translated by Google
Beberapa peneliti percaya bahwa whistleblowing adalah perbuatan baik sebagai warga
negara dan perlu diberi penghargaan;6 Namun, secara umum, beberapa manajer dalam
organisasi memandang whistleblowing sebagai penyimpangan. Mereka masih menganggap
whistleblowing adalah tindakan yang merugikan organisasi. Ini terjadi sebagai semacam balas
dendam dari karyawan kepada manajer ketika keinginan karyawan tidak dipenuhi oleh manajer.
Gibson, dkk. menyebutkan biasanya pelapor di organisasi profit dipecat dan dimasukkan
dalam daftar hitam.7 Sedangkan di organisasi nirlaba, pelapor biasanya dipindahkan ke divisi
lain, diturunkan pangkatnya atau tidak direkomendasikan untuk mendapatkan promosi.
Penelitian Park & Blenkinsopp serta Winardi menggunakan teori Ajzen tentang perilaku
terencana untuk menjelaskan faktor-faktor individu yang membangun minat untuk menjadi
pelapor.8910 Studi tersebut mengungkapkan 'sikap terhadap whistle blowing' yang menjadi
salah satu faktor yang memiliki korelasi positif dalam minat dari whistleblowing. Selain itu,
beberapa penelitian juga meyakini
5 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil
Untuk Melakukan Tindakan Whistle-Blowing (Studi Pada BPK RI)”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, vol. 3, no. 1
(2015), p. 1.
6
Terry Morehead Dworkin, dan Janet P. Near, "Pendekatan undang-undang yang lebih baik untuk
whistle-blowing," Business Ethics Quarterly, vol. 7, tidak. 1 (1997), hal. 1.
7
James Gibson, Jhon M Ivancevich, JR Donnelly, H James, dan Robert Konopaske, Organisasi:
Perilaku, Struktur dan Proses (New York: McGraw-Hill Publishing Company, 2012).
8 Taman Heungsik dan John Blenkinsopp. “Whistleblowing sebagai perilaku yang direncanakan–
Sebuah survei terhadap petugas polisi Korea Selatan,” Journal of business ethics, vol. 85, tidak. 4 (2009),
p. 545.
9 R. D Winardi, “Pengaruh Faktor Individu dan Situasional Terhadap Niat Pelanggaran Pegawai
Negeri Sipil di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, vol. 28, tidak. 3 (2013), hal. 361.
10 Icek Ajzen, "Teori perilaku terencana," Perilaku organisasi dan proses keputusan manusia, vol.
50, tidak. 2 (1991), hlm. 179.
374
Machine Translated by Google
Definisi masalah
Ikhtisar Teoretis
375
Machine Translated by Google
Teori perilaku prososial memiliki beberapa variabel anteseden yang terbagi menjadi
dua kelompok besar. Pertama, anteseden individu yang bersumber dari perilaku individu
yang bersifat prososial seperti tanggung jawab terhadap lingkungan, moralitas, dan
empati. Kedua, anteseden kontekstual yang berasal dari konteks lingkungan kerja
seperti faktor norma, kekompakan, panutan, kepemimpinan, tekanan kerja, komitmen
organisasi, dan hal-hal lain yang mempengaruhi perasaan, kesenangan, atau
ketidaksenangan individu.18
376
Machine Translated by Google
Diskusi
377
Machine Translated by Google
Dimensi Manusia
Park & Blenkinsopp menyatakan dalam komunitas atomistik, impersonal, dan
menantang yang dipimpin oleh pasar dan kapitalisme ini telah membuat orang sulit
menemukan identitasnya sendiri.21 Dalam komunitas semacam itu, identitas mereka
menjadi begitu abstrak. Selanjutnya, kesadaran sosial di masyarakat juga berangsur-
angsur menghilang. Orang tidak akan berpikir bahwa apa yang mereka lakukan untuk
masyarakat akan membawa dampak positif bagi diri mereka sendiri dan untuk masa
depan.
Penguatan nilai-nilai etika termasuk nilai spiritual yang didukung oleh akal sehat
menjadi begitu penting bagi pegawai negeri.
Pelayan publik harus bertanggung jawab tidak hanya untuk organisasi tetapi juga
untuk publik. Dengan akal sehat, orang bisa memilih mana yang benar atau salah.
Oleh karena itu, setiap orang di masyarakat dapat berkontribusi pada perubahan
terutama melalui peran whistleblower.
Selanjutnya, tanpa spiritual dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, dampaknya
bagi masyarakat begitu masif. Misalnya, penyimpangan perilaku seperti korupsi.
Seperti yang kita ketahui, salah satu hal yang berkontribusi terhadap keterpurukan
bangsa ini adalah tingginya angka korupsi.22
Selain itu, aspek moralitas juga memiliki peran penting karena nilai-nilai lain
seolah-olah terdevaluasi. Hal ini penting karena moralitas merupakan salah satu
aspek kehidupan sosial yang dapat dikaitkan dengan praktik sosial lainnya.23
Persyaratan whistleblowing bukan tanpa alasan. Nilai-nilai etika menjadi alasan
mendasar mengapa orang memilih menjadi seorang whistleblower. Dalam hal ini,
mereka mempertimbangkan aspek moralitas yang digunakan
21 Taman Heungsik dan John Blenkinsopp. “Whistleblowing sesuai rencana…”, hal. 545.
378
Machine Translated by Google
sebagai dasar bagi mereka untuk mengungkap perilaku koruptif atau ilegal yang
biasanya terorganisir dengan rapi.24
Lebih lanjut, pandangan PNS terhadap whistleblowing juga mempengaruhi niat
dirinya untuk menjadi whistleblower. Pegawai publik yang menjadi pelapor harus
memiliki komponen kognitif atau percaya bahwa whistleblowing memiliki beberapa
dampak positif seperti melindungi organisasi, memberantas korupsi, menumbuhkan
budaya antikorupsi, dan membangun reputasi diri.25 Kemudian, keyakinan terhadap
konsekuensi positif tersebut juga dievaluasi melalui beberapa evaluasi subjektif
berdasarkan nilai individu yang membawa reaksi emosional. Hanya evaluasi emosional
positif yang dapat memicu niat seseorang untuk menjadi seorang whistleblower.26
24
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .
25 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi… ”, p. 1.
26
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan ... .
27 Richard T. Mowday, Richard M Steers, dan Lyman W Porter, "Pengukuran
Komitmen Organisasi", Jurnal Perilaku Kejuruan, vol. 14 (1979), hal. 224.
379
Machine Translated by Google
Dimensi Struktur
Saat ini Indonesia belum memiliki peraturan khusus yang mengatur
tentang whistleblowing.29 Pengaturan yang menyebutkan tentang
whistleblowing hanya ada dalam UU No.13 tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban. Secara substansi UU hanya mengatur
kejahatan publik yang meliputi proses perlindungan saksi dan korban.
Namun, secara kontekstual whistleblowing harus diatur dalam kejahatan
korporasi. Selanjutnya undang-undang tersebut juga tidak menyebutkan
secara eksplisit tentang whistleblowing dan perlindungan terhadap
whistleblower. Dalam artikel no. 10 (3), niat pelapor atau pelapor
menjadi syarat utama bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan.
Seseorang yang mengikuti sistem perlindungan pelapor perlu memenuhi
beberapa kriteria yang diperlukan untuk memastikan sistem
perlindungan tersebut efektif.30
Kriteria tersebut adalah kesediaan menjadi saksi, mengikuti
ketentuan prosedur keselamatan, tidak berkomunikasi dengan orang
lain tanpa persetujuan lembaga, dan tidak memberitahukan lokasi
secara pasti selama perlindungan. Berdasarkan pemutakhiran terakhir,
Mahkamah Agung (Mahkamah Agung) menerbitkan surat edaran No.4
Tahun 2011 yang sesuai dengan pasal No.10 UU No.13 Tahun 2006.
Surat ini muncul sebagai pedoman bagi Hakim untuk memberikan
pengobatan bagi pelapor. Perlakuan ini memberikan perlindungan, dan
penghargaan bagi pelapor. Perlunya regulasi dalam mendukung
31
whistleblower juga disebutkan oleh Diniastri.
Ia meyakini untuk memperkuat sistem
whistleblowing, diperlukan mekanisme sektoral dan internal yang dapat
memfasilitasi proses tersebut.
Berdasarkan konsep KNKG (Panitia Nasional di poli pemerintahan)
ada dua kata kunci yang terkait dengan whistleblower yaitu informan
dan pelanggaran. Praktis,
28 Andrew Sikula Sr., "Metodologi/Mitologi Manajemen Moral: Persamaan Etika yang Salah",
Etika & Perilaku, vol. 19, tidak. 3 (2009), hal. 253
29 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi… ”, p. 1.
30
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .
31
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .
380
Machine Translated by Google
kedua kata tersebut dapat dikaitkan dan menjadi pelapor pelanggaran yang dikenal
sebagai whistleblower. Biasanya informan berasal dari anggota internal organisasi.
Namun, ada juga kemungkinan bahwa laporan tersebut berasal dari pihak eksternal.
Salah satu syarat untuk menjadi pelapor dalam konsep ini adalah memiliki informasi,
bukti, prediksi yang akurat tentang pelanggaran tersebut. Laporan adalah fakta yang
terjadi bukan opini berdasarkan ketidaksukaan terhadap organisasi.
Tujuan utama dari sistem pelaporan ini adalah untuk mengungkap pelanggaran
atau perilaku ilegal, tidak etis, atau tidak bermoral yang dapat merugikan anggota
lain dari organisasi atau organisasi itu sendiri. Pelanggaran itu sendiri dapat
didefinisikan sebagai setiap tindakan yang
Melanggar peraturan seperti: 1. Pelanggaran peraturan; 2.
Pelanggaran kode etik organisasi 3. Pelanggaran prinsip akuntansi 4. Pelanggaran
kebijakan dan standar operasional prosedur organisasi 5. Pelanggaran lainnya yang
berdampak pada situasi keuangan atau non keuangan organisasi.
2. Kerahasiaan
Identitas pelapor merupakan hal yang paling penting untuk diamankan
dalam sistem ini, Identitas dan informasi dibatasi pada operator whistleblower
dan file yang dibutuhkan untuk disimpan di tempat yang aman. Sistem juga
harus dibuka untuk informan anonim dan tidak ada diskriminasi terhadap
anonim.
3. Hak kekebalan
Organisasi harus mengembangkan budaya yang melibatkan karyawan
untuk melaporkan setiap tindakan pelanggaran yang mereka lihat. Hal ini
penting untuk memberikan mereka hak kekebalan terhadap pelapor yang
sudah melaporkan pelanggaran tersebut.
4. Komunikasi dengan informan
381
Machine Translated by Google
6. Mekanisme Laporan
Sistem pelaporan internal perlu dirancang dengan cermat. Sehingga dapat
dipastikan bahwa setiap laporan perlu ditindaklanjuti, dan beberapa kasus
sistemik perlu diteruskan ke pimpinan organisasi sebagai pencegahan.
Biaya pelaporan pribadi adalah pandangan karyawan terhadap risiko kontra dari
anggota organisasi lainnya. Hal ini juga dapat mempengaruhi niat untuk melaporkan
33 Tindakan balasan tersebut dapat
tindakan pelanggaran tersebut.
berupa tindakan yang tidak berwujud seperti ketidakseimbangan skor kinerja dari
atasan, atau pemecatan dari jabatannya saat ini.34 Tindakan lain yang dapat terjadi
seperti melemahnya proses pelaporan, isolasi terhadap pelapor atau diskriminasi
lainnya terhadap pelapor. 35
Diniastri juga menyebutkan bahwa personal cost tidak hanya merupakan dampak dari
balas dendam pelaku tetapi juga stigma negatif yang menyatakan bahwa pelaporan
pelanggaran dalam organisasi adalah tindakan yang tidak etis.36
Semakin besar personal cost maka semakin kecil niat masyarakat untuk
melakukan whistleblowing. Biaya pribadi dapat didasarkan pada pandangan subjektif,
artinya harapan masyarakat terhadap biaya pribadi dapat bervariasi.
Namun, Near & Miceli percaya bahwa jalur balas dendam yang sama dapat
ditemukan.37 Orang yang memecat karena melaporkan kesalahan berpikir bahwa dia
membayar banyak dari laporan tersebut. Oleh karena itu, whistleblowing
33
Georgina Susmanschi, “Audit Internal dan…”, hal. 415.
34 LP White dan LW Lam, "A Mengusulkan Model Infrastruktur untuk Pembentukan
Sistem Etika Organisasi", Jurnal Etika Bisnis, vol. 28 (2000), hal. 35.
35
JP Near dan MP Miceli, “Perbedaan Organisasi: Kasus Peluit
Hembusan”, Jurnal Etika Bisnis, vol. 4, tidak. 1 (1985), hal. 1.
36
Ellysa Diniastri, Korupsi, Whistleblowing dan... .
37
JP Near dan MP Miceli, “Organizational Dissidence: … ”, hal. 1.
382
Machine Translated by Google
akan membuat orang berharap bahwa laporan tersebut dapat membuat organisasi
dan manajemen prihatin dengan pengaduan tersebut.38
Dimensi proses
Sebelum membuat laporan, pelapor harus memahami batasan yang dapat
disebut sebagai pelanggaran atau kesalahan. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa laporan tersebut tidak dianggap sebagai fiksi, kebohongan, atau fitnah.
Saat ini belum ada peraturan yang secara spesifik menyebutkan perbuatan mana
yang dilarang dan dapat mempengaruhi kebutuhan masyarakat.
Namun, dalam beberapa peraturan perundang-undangan sudah disebutkan contoh
pelanggarannya meskipun tidak secara spesifik. Dan peraturan perundang-
undangan tersebut dapat dijadikan dasar oleh pelapor untuk melaporkan
pelanggaran tersebut.
Beberapa contoh perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan
antara lain: 1. Perkara Pidana, 2. Perkara Tipikor yang disebutkan dalam UU
Tindak Pidana Korupsi. 3. Penyalahgunaan Narkotika dan Narkoba. 4. Aksi
Terorisme, Dll. Selain itu, beberapa tindakan seperti penyalahgunaan kekuasaan
dan tindakan lain yang merugikan masyarakat juga dapat dilaporkan melalui
mekanisme whistle blowing.
Seorang pelapor juga perlu mengetahui tentang lembaga yang berwenang
mengungkap beberapa kasus dan memberikan perlindungan. Hal ini penting
karena berkaitan dengan proses pelaporan agar prosesnya tepat dan cepat. Di
Indonesia laporan tersebut dapat dikirimkan ke beberapa instansi yang berwenang
untuk memproses kasus-kasus whistleblowing seperti KPK, dll.
Satu hal yang perlu dipahami oleh pelapor adalah risiko dari tindakannya.
Hal ini perlu diperhatikan, mengingat Indonesia belum memiliki undang-undang
atau peraturan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan whistleblowing.
Dalam beberapa kasus, kami menemukan bahwa pelapor dikriminalisasi sebagai
akibat dari tindakannya, seperti Susno Duadji, Vincent Khairiansyah, dan Agus
Condro. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa proses pengungkapan kasus
internal dapat membahayakan pelapor itu sendiri. Risiko yang dihadapi tidak hanya
menyangkut jabatan, uang, atau nyawanya sendiri, tetapi juga kehidupan
keluarganya. Misalnya, seorang pegawai bisa dipecat dan juga dimasukkan dalam
daftar hitam, diturunkan pangkat, atau bahkan dikriminalisasi seperti Susno Duadji
dan Agus Condro. Risiko terburuk yang bisa dihadapi adalah seseorang bisa
terbunuh seperti dalam kasus Keraton Solo.
38
Janella B. Dozier dan MP Miceli, “Prediktor Potensial…”, hal. 823.
383
Machine Translated by Google
39
JP Near dan MP Miceli, “Organizational Dissidence: … ”, hal. 1.
40
JP Near dan MP Miceli, “Organizational Dissidence: … ”, hal. 1.
41 RD Winardi, “Pengaruh Individu dan…”, hal. 361.
42
Janella B. Dozier dan MP Miceli, “Prediktor Potensial…”, hal. 823.
384
Machine Translated by Google
hati?", Jurnal Etika Bisnis, vol. 68, tidak. 2 (2006), hal. 191.
45 Rizki Bagustianto and Nurkholis, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi… ”, p. 1.
385
Machine Translated by Google
Padahal pasal itu No.10, UU No. 13 tahun 2006 tidak menyebutkan pelapor
sebagai pelapor, namun pelapor dalam undang-undang ini dapat diartikan sebagai
seseorang yang memberikan informasi kepada penegak hukum tentang suatu
tindak pidana. Namun para saksi yang juga tersangka tidak bisa dibebaskan dari
tuduhan. Partikel ini menimbulkan polemik yang dalam beberapa hal menimbulkan
ketidakpastian regulasi dan tidak melindungi pelapor. Karena dalam beberapa
kasus pelapor juga bertindak sebagai pelaku.
48
Bobby Briando, Iwan Triyuwono, and Gugus Irianto, “Gurindam Etika Pengelola Keuangan
Negara”, Jurnal Akuntansi Multiparadigma, vol. 8, no. 1 (2017), p. 1.
386
Machine Translated by Google
Oleh karena itu, diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang
whistleblower saat ini. Undang-undang ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme
pengungkapan dan perlindungan terhadap pelapor dalam beberapa kasus yang merugikan
publik. Nixson Kalo, Kamello, & Mulyadi juga berpendapat bahwa undang-undang khusus
tentang pelapor perlu mengatur beberapa situasi,50 juga:
Kesimpulan
50
Syafruddin Kalo Nixson, Tan Kamello, and Mahmud Mulyadi, “Perlindungan Hukum
Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi”, USU Law Journal, vol. 1, no. 2 (2013), p. 40.
387
Machine Translated by Google
Bibliografi
Briando, Bobby, Iwan Triyuwono, and Gugus Irianto, “Gurindam Etika Pengelola
Keuangan Negara”, Jurnal Akuntansi Multiparadigma, vol. 8, no. 1 (2017),
pp. 1–17.
Singkat, Arthur P, dan Stephan J. Motowidlo, "Perilaku Organisasi Prososial",
Academy of Management Review, vol. 11, tidak. 4 (1986), hlm. 710–25.
Curtis, Mary B. "Apakah keputusan etis terkait audit bergantung pada suasana
hati?", Jurnal Etika Bisnis, vol. 68, tidak. 2 (2006), hlm. 191-209.
Diniastri, Ellysa, Korupsi, Whistleblowing dan Etika Organisasi, Malang:
Universitas Brawijaya, 2010.
Dozier, Janella B. dan MP Miceli, "Prediktor Potensial Whistle Blowing:
Sebuah Perspektif Perilaku Prososial", Academy of Management Review,
vol. 10, tidak. 4, (1985), hlm. 823-836.
Dworkin, TM, dan JP Near, “A Better Statutory Approach to Whistleblowing”,
Business Ethics Quarterly, vo. 7, tidak. 1 (1997), hal.
1–16.
Gibson, James, Jhon M Ivancevich, JR Donnelly, H James, dan Robert
Konopaske, Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses, New York:
Perusahaan Penerbitan McGraw-Hill, 2012.
Kaplan, Steven E, dan Stacey M Whitecotton, "Sebuah Pemeriksaan Auditor
Melaporkan Niat Ketika Auditor lain Ditawari Pekerjaan Klien", Jurnal
Praktek dan Teori, vol. 20. Nomor 1
(2001), hlm. 45–63.
388
Machine Translated by Google
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan
Terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerja sama (justice collaborator).
Susmanschi, Georgina, “Audit Internal dan Whistle-Blowing', Ekonomi,
Manajemen, dan Pasar Keuangan, 7.4 (2012), 415–
221.
Sweeney, P, "Hotline Bermanfaat untuk Meniup Peluit", Eksekutif Keuangan,
vol. 24, tidak. 4 (2008), hlm. 28–31.
UU No.13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban
White, LP, dan LW Lam, "A Mengusulkan Model Infrastruktur untuk
Pembentukan Sistem Etika Organisasi", Jurnal Etika Bisnis, vol. 28, tidak.
1 (2000), hlm. 35–42.
389
Machine Translated by Google
390