Anda di halaman 1dari 17

Nama: Wenny Winata

Merlin Lukita

Helvina Kwandy

PENGARUH WHISTLEBLOWER DALAM PERUSAHAAN

Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Kejahatan dalam perusahaan terus meningkat tiap tahunnya, seiring dengan
pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi, di mana hal tersebut
membuat persaingan menjadi ketat. Sehingga timbullah berbagai kejahatan di dalam
perusahaan. Kejahatan yang umumnya terjadi adalah korupsi, penggelapan pajak,
dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kejahatan tersebut mendorong berbagai negara dan asosiasi usaha untuk
melakukan berbagai upaya pencegahan. Salah satu upayanya adalah melalui Whistle
Blowing System. Whistleblowing System adalah sistem yang digunakan untuk
menampung, mengolah dan menindaklanjuti serta membuat laporan atas informasi
yang disampaikan pelapor mengenai tindakan pelanggaran yang terjadi di lingkungan
perusahaan. Dalam pelaksanaannya, perusahaan menyediakan website tertentu untuk
memudahkan pihak whistleblower untuk melaporkan pengaduan yang diketahuinya.
Efektivitas sistem tersebut terlihat dari jumlah kecurangan yang berhasil dideteksi
dan juga waktu penindakannya yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan cara
lainnya. Selain itu, pimpinan perusahaan memiliki kesempatan untuk mengatasi
permasalahan secara internal dulu, sebelum permasalahan tersebut merebak ke ruang
publik yang dapat mempengaruhi reputasi perusahaan.
Pada umumnya, karyawan takut menjadi whistleblower. Hal ini disebabkan
karena pemikiran mereka yang menganggap bahwa dengan menjadi whistleblower,

1
mereka akan dikucilkan dan dicap sebagai seorang pengkhianat bahkan mungkin
akan dipecat. Namun dalam pandangan masyarakat, whistleblower dianggap sebagai
pahlawan yang berani mengungkapkan kecurangan dan kejahatan yang terjadi dalam
perusahaan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang timbul adalah sebagai
berikut:
1. Mengapa seseorang ingin menjadi whistleblower?
2. Hal apa saja yang dapat membenarkan whistleblower?
3. Apa dampak whistleblowing terhadap organisasi?
4. Bagaimana mencegahan terjadinya kecurangan dalam perusahaan?
5. Apakah whistleblower diberi perlindungan?
6. Apakah whistleblowing pernah terjadi di Indonesia?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui alasan seseorang menjadi whistleblower.
2. Untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang membenarkan whistleblower.
3. Untuk mengetahui dampak whistleblowing dalam organisasi.
4. Untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam perusahaan.
5. Untuk mengetahui perlindungan yang didapatkan whistleblower.
6. Untuk mengetahui kasus whistleblower yang terjadi di Indonesia.

2
Bab II
Pembahasan

A. Definisi Whistleblower
Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut
demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan olahraga yang
meniupkan peluit untuk menarik perhatian orang guna mengungkapkan fakta terjadinya
pelanggaran. Whistleblower adalah orang yang melakukan whistleblowing.
Whistleblowing adalah kegiatan pengungkapan praktik ilegal, tidak bermoral atau
melanggar hukum yang dilakukan oleh anggota organisasi (baik mantan pegawai atau
yang masih bekerja) yang terjadi di dalam organisasi tempat mereka bekerja.
Istilah peniup peluit (whistleblower) pertama kali digunakan kepada pegawai
pemerintah yang menyampaikan pengaduan ke publik tentang adanya korupsi atau salah
kelola pada lembaga pemerintah. Saat ini pengertian whistleblower telah digunakan
secara meluas, whistleblower juga digunakan dalam hubungan dengan aktivitas yang
serupa yang terjadi pada sektor swasta.
Adapun pengertian whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang
memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu
tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta
(whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban
tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu
hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut
UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau
ia alami sendiri.
Berikut beberapa definisi peniup peluit (whistleblower):
 Menurut Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan,
whistleblower adalah pegawai atau karyawan yang berani melaporkan ada
penyimpangan (korupsi) yang terjadi di suatu organisasi.

3
 Menurut Boone dan Kurtz, pemberian informasi (whistleblower) adalah
pengungkapan seseorang karyawan kepada badan pemerintah yang berwenang atau
media mengenai praktik-praktik organisasi yang ilegal, amoral atau tidak etis.
 Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), whistleblower adalah seseorang
yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di
dalam organisasi tempat dia bekerja, dan dia memiliki akses informasi yang memadai
atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.
 Menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2011, whistleblower diartikan sebagai pihak yang
mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari
pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
 Menurut Sonny Keraf, whistleblower adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang
atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan
oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain.
 Menurut WikiLeaks (situs pembocor rahasia), whistleblower adalah seseorang yang
mengangkat keprihatinan tentang dugaan perbuatan salah di dalam sebuah organisasi
atau sekumpulan orang.

B. Klasifikasi Whistleblowing
Whistleblowing dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Whistleblowing Internal
Whistleblowing internal terjadi ketika seorang atau beberapa orang karyawan tahu
mengenai kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya, dan
kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada pimpinan perusahaan yang lebih
tinggi. Motivasi utama dari whistleblowing adalah motivasi moral demi mencegah
kerugian bagi perusahaan.
Oleh karena itu, pimpinan yang diberi tahu harus bersikap hati-hati dan netral
dalam menanggapi laporan tersebut. Netral bukan dalam pengertian tidak peduli,
melainkan serius menaggapinya tetapi dengan tetap memegang prinsip praduga tak
bersalah. Artinya, di satu pihak laporan tersebut bisa benar tetapi juga bisa tidak

4
benar, dan di pihak lain motivasi pelapor bisa saja memang baik tetapi juga bisa tidak
baik.
2. Whistleblowing Eksternal
Whistleblowing eksternal menyangkut kasus di mana seorang pekerja mengetahui
kecurangan yang dilakukan perusahaannya, lalu membocorkan hal tersebut kepada
masyarakat. Hal ini ia lakukan karena ia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan
masyarakat.
Dalam kasus whistleblowing eksternal, argument loyalitas tampil jauh lebih kuat.
Hampir semua karyawan dilarang untuk membocorkan kecurangan perusahaannya
kepada pihak lain di luar perusahaan, karena tindakan itu dianggap bertentangan
dengan prinsip loyalitas. Padahal sejatinya, tindakan tersebut didasarkan pada
loyalitas dan komitmennya terhadap perusahaan dan nasib perusahaan jangka
panjang.

C. Alasan Menjadi Whistleblower


Menjadi orang yang membongkar kejahatan atau whistleblower tentu sangat berisiko.
Ancaman turun pangkat, skorsing, bahkan dipecat tepat berada di depan mata. Selain itu,
cibiran dari teman sejawat juga tak kalah pedisnya. Suara hati yang memberi petunjuk
mengenai pentingnya sebuah kecurangan diungkapkan, memegang peranan penting
dalam motivasi seseorang menjadi whistleblower.
Riset menunjukkan bahwa motivasi orang untuk menjadi seorang whistleblower
bermacam-macam. Keputusan seseorang untuk menjadi whistleblower dapat dipengaruhi
variabel individu maupun konteks organisasi. Variabel individu meliputi biaya dan
manfaat, usia, status perkawinan, pendidikan, dll. Konteks organsisasi meliputi faktor
budaya etis, iklim etis, ukuran organisasi, struktur organisasi dan saluran komunikasi.
Namun penelitian yang dilakukan Miceli dan Near menunjukkan bahwa pengaruh
konteks organisasi lebih banyak menentukan keputusan seseorang menjadi
whistleblower, jika dibandingkan dengan pengaruh variabel individu. Hal ini karena
lingkungan paling mudah mempengaruhi perilaku seseorang.

5
Menurut Harris, Pritchard dan Rabins (2000) dalam Fleddermann, tindakan
mengungkapkan rahasia perusahaan harus dilakukan jika keempat kondisi berikut
terpenuhi:
a. Kebutuhan
Harus ada bahaya yang jelas dan penting yang dapat dihindari dengan tindakan
ini. Dalam memutuskan apakah akan mengumumkan ke publik, karyawan harus
mempunyai kepekaan proporsi. Whistleblowing tidak perlu dilakukan untuk semua
masalah, tetapi hanya untuk masalah-masalah yang sangat penting.
b. Kejelasan
Sang pengungkap (whistleblower) harus berada dalam posisi yang sangat jelas
untuk melaporkan suatu masalah. Whistleblower harus mempunyai keahlian yang
cukup dalam bidangnya, untuk membuat penilaian situasi yang realistis. Kondisi ini
didasarkan pada klausa dalam beberapa kode etik profesi yang mengharuskan
seseorang untuk tidak melakukan pekerjaan di luar bidang keahliannya.
c. Kemampuan
Whistleblower harus memiliki kesempatan sukses yang cukup besar dalam
menghentikan suatu kegiatan berbahaya.
d. Sumber terakhir
Tindakan pengungkapan kesalahan hanya dilakukan bila tidak ada orang lain
yang lebih mampu untuk melakukan tindakan ini dan jika semua tindakan lain di
dalam organisasi telah ditempuh atau ditutup.
Keempat kondisi ini memberitahu kapan tindakan menungkapkan kesalahan dapat
diterima secara moral. Seseorang secara moral dapat menjadi whistleblower jika ia telah
menyadari bahwa telah terjadi kesalahan dan keempat kondisi tersebut terpenuhi.
Pengungkapan diperlukan jika terdapat bahaya besar yang membahayakan kepentingan
umum.

D. Keadaan Membenarkan Seorang Whistleblower


Menurut Kurniawan, seorang whistleblower memiliki dua sisi. Pada satu
sisi, whistleblower dianggap sebagai pahlawan karena memiliki keberanian untuk

6
mengungkapkan penyimpangan yang dilakukan organisasi pemerintah. Di sisi lain,
sebagian orang dalam organisasi pemerintah menganggap whistleblower adalah
pengkhianat karena telah berani mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam
organisasi (loyality) dan tidak memiliki semangat esprit de corps.
 Bagaimana etika memandang whistleblower? Apakah whistleblower merupakan
perilaku beretika atau justru merupakan perilaku yang buruk dan tidak beretika?
Bagi aparat sipil negara, etika publik adalah pedoman dan panduan seorang
aparat sipil negara dalam berperilaku dan melaksanakan ketugasannya. Etika yang
dipedomani seorang aparat sipil negara harus meletakkan kepentingan masyarakat
di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Dari segi etika, seorang aparat sipil negara diwajibkan untuk
mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang diketahuinya karena korupsi sangat
merugikan masyarakat. Berkaitan dengan alasan etika dalam situasi yang dihadapi
seorang whistleblower, terdapat dua teori utama etika yaitu teori deontology dan
teori teleologi. Kedua teori tersebut dipandang dalam etika sebagai berikut:
1. Teori deontology memandang sebuah tindakan adalah tindakan yang bernilai
baik karena tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban yang dimiliki
seseorang. Kewajiban seseorang di dalam hal ini dapat berupa kewajiban
terhadap organisasi tempatnya bekerja dan kewajiban terhadap masyarakat.
Dengan demikian, seorang whistleblower memiliki dilema apakah
diadakan mengutamakan kewajiban terhadap organisasinya atau kewajiban
terhadap masyarakat. Dilema dan konflik etika seorang whistleblower
menjadi semakin besar ketika pelaku penyimpangan adalah atasan atau rekan
dekatnya, dibandingkan dengan apabila pelaku penyimpangan adalah orang
yang tidak dikenalnya dengan baik.
Meskipun demikian, teori deontologi menjelaskan bahwa
mengungkapkan kebenaran adalah sebuah kewajiban dan sebuah perbuatan
yang beretika. Oleh karena itu, ketika seorang aparat sipil negara mengetahui
bahwa telah terjadi penyimpangan di dalam organisasi pemerintah tempatnya

7
bekerja maka berdasarkan teori deontology dirinya wajib mengungkapkan
penyimpangan tersebut.
2. Teori yang kedua yaitu teori teleologi menjelaskan bahwa etis atau tidaknya
suatu tindakan dilihat dari apakah tindakan tersebut dapat mencapai tujuan
yang diinginkan atau tidak. Etika teleologi juga memandang baik buruknya
sebuah tindakan berdasarkan tujuan apa yang hendak dicapai dari tindakan
tersebut. Apabila tujuan yang hendak dicapai adalah baik maka tindakan
tersebut merupakan tindakan yang beretika.

E. Dampak Whistleblowing Terhadap Organisasi Atau Perusahaan


 Whistleblowing memiliki dampak positif
Dampak positif whistleblowing yakni membuat perusahaan serta orang-orang yang
bersangkutan mengerti fraud yang terjadi diperusahaan dan penyebab terjadinya
fraud tersebut.
Whistleblower yang melakukan whistleblowing membuat kepercayaan masyarakat
terhadap profesi akuntan yang sempat memudar dapat kembali sedikit demi sedikit
dan membuat masyarakat mulai mempercayai kembali profesi akuntan, hal ini
merupakan salah satu alasan mengapa whistleblowing merupakan tindakan yang
didukung dan bahkan merupakan tindakan yang patut untuk dijadikan teladan serta
diberi penghargaan bagi pelakunya.
Tetapi pada sisi lain whistleblowing dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan
dianggap menyimpang, karena tindakan ini menyalahi aturan dalam perusahaan
yang mengharuskan setiap pekerja mematuhi peraturan yang dibuat perusahaan
sehingga whistleblowing dapat dikatakan sebagai suatu pengkhianatan terhadap
perusahaan.
 Dari data ACFE (2008), dapat diketahui bahwa dampak dari penerapan
whistleblowing system dapat dikatakan cukup efektif dan memuaskan. Hal ini dapat
terlihat dari jumlah kerugian yang ditimbulkan dari organisasi yang memiliki
aplikasi whistleblowing system menjadi lebih sedikit, whistleblower yang ingin
mengungkapkan adanya kecurangan di dalam organisasinya menjadi semakin

8
banyak, dan jangka waktu pendeteksian dan pencegahan fraud yang lebih cepat. Hal
tersebut karena sudah diterapkannya whistleblowing system.
 Dampak negatif dari tindakan whistleblowing
Tindakan whistleblowing dalam mengungkapkan kesalahan organisasi karena
memungkinkan akan berdampak negatif pada pihak ketiga. Tindakan
whistleblowing yang diungkapkan secara bebas akan memiliki risiko yang besar,
seperti pemecatan. Whistleblower percaya bahwa dirinya akan menjadi agen
perubahan karena mengidentifikasi kesalahan dalam struktur kewenangan
organisasi dengan memberikan informasi dan dorongan pembenaran hal yang salah.
Meskipun terdapat perasaan takut akan adanya pembalasan yang akan terjadi, akan
tetapi whistleblower memiliki keyakinan bahwa tindakannya akan membawa
perubahan yang efektif.

F. WhistleBlowing System
1. Definisi WhistleBlowing System
Peranan whistleblowing system sangat signifikan dalam rangka mencegah
timbulnya kecurangan (fraud) dan pelanggaran lainnya yang sangat merugikan
perusahaan. Sistem Pelaporan Pelanggaran (whistleblowing system) adalah sistem
yang digunakan untuk menampung, mengolah dan menindaklanjuti serta membuat
laporan atas informasi yang disampaikan Pelapor mengenai tindakan pelanggaran
yang terjadi di lingkungan perusahaan. Whistleblowing System yang terjadi di
lingkungan perusahaan sangat memerlukan peran serta partisipasi seluruh anggota
perusahaan dalam proses pengungkapan maupun pelaporannya, yaitu karyawan,
manajemen (board of director) dan komisaris (board of commissioner).
Dalam pelaksanaannya, banyak perusahaan (organisasi) yang menyediakan
website tertentu untuk memudahkan pihak whistleblower untuk melaporkan
pengaduan yang diketahuinya. Biasanya telah dibuatkan panduan secara sederhana
sehingga dapat diakses dengan mudah dan lancar.
2. Tujuan WhistleBlowing System
Tujuan diterapkannya whistleblowing system adalah :

9
1. Memberikan jaminan kerahasiaan identitas bagi para pelapor serta penerima
laporan suatu pelanggaran.
2. Menjaga informasi yang diterima dalam suatu arsip (file) khusus untuk
menjamin kerahasiaannya.
3. Memberikan perlindungan dan insentif (reward) untuk pelapor yang benar
dan dapat ditindaklanjuti.
4. Mengalirnya laporan yang dapat ditindaklanjuti baik dari pelapor internal
maupun eksternal.
3. Unsur Pengaduan
Berbagai laporan pelanggaran di perusahaan yang masuk ke Pengelola
whistleblowing system seharusnya segera ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan
(Direksi). Pengaduan dari para whistleblower dapat segera ditindaklanjuti apabila
memenuhi unsur pengaduan minimal 5 (lima) hal berupa 4W+1H, sebagai berikut :
1. What : Perbuatan apa yang berindikasi pelanggaran yang diketahui.
2. Where : Dimana tempat atau lokasi perbuatan tersebut dilakukan.
3. When : Kapan perbuatan tersebut dilakukan.
4. Who : Siapa saja yang terlibat dalam perbuatan tersebut.
5. How : Bagaimana perbuatan tersebut dilakukan.
4. Manfaat Whistleblowing System
Melalui penerapan whistleblowing system secara efektif, maka banyak manfaat
yang dapat diperoleh oleh perusahaan, antara lain:
1. Tersedianya informasi kunci dan kritikal (critical & key information) bagi
perusahaan kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman dan
terkendali.
2. Dengan semakin meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya
berbagai pelanggaran, maka timbul rasa keengganan untuk melakukan
pelanggaran karena kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif.
3. Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning mechanism) atas
kemungkinan terjadinya masalah yang diakibatkan adanya suatu pelanggaran.

10
4. Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi (perusahaan) akibat pelanggaran
baik dari segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja dan reputasi.
5. Mengurangi biaya (cost reduction) dalam mengelola akibat terjadinya suatu
pelanggaran.
6. Meningkatnya reputasi perusahaan dimata pemangku kepentingan
(stakeholders), regulator, dan masyarakat umum (publik).

G. Perlindungan Whistleblower
Suatu perusahaan yang memiliki kebijakan efektif tentang whistleblowing akan
dapat menangani tindakan illegal secara internal, sebelum diketahui oleh publik. Agar
kebijakan tersebut berjalan secara efektif, harus ada jaminan bahwa laporan yang mereka
sampaikan akan ditangani secara sunggug-sungguh, investigasi segera dilakukan dan
tindakan yang tepat segera diambil. Yang lebih penting adalah adanya jaminan bahwa
pegawai yang melaporkan akan dilindungi dan tidak ada balas dendam.
Whistleblower adalah karyawan yang mendeteksi dan berusaha mengakhiri tindakan
perusahaan yang tidak etis, tidak legal, atau tidak memiliki tanggung jawab social
dengan cara mempublikasikannya. Whistleblower seharusnya mendapatkan
perlindungan secara khusus dari manajemen perusahaan atau pimpinan organisasi.
Pelapor dari pihak internal perusahaan seharusnya mendapatkan jaminan bahwa tidak
akan ada sanksi berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penurunan jabatan atau
pangkat (demosi), pelecehan dan diskriminasi serta catatan khusus yang merugikan
dalam file data base pribadi pelapor. Dalam hal ini, pelapor juga perlu mendapatkan
jaminan kepastian perlindungan hukum.
Bagi pelapor yang terbukti benar, patut mendapatkan penghargaan (reward) dari
manajemen perusahaan berupa insentif atau dalam bentuk lain sebagai motivasi bagi
pihak lain untuk juga bertindak sebagai whistleblower. Saat ini perlindungan hukum
kepada para whistleblower di Indonesia masih sangat lemah, sehingga masih banyak
karyawan perusahaan maupun pihak eksternal yang tidak bersedia menjadi
whistleblower, meskipun mereka mengetahui adanya praktik kecurangan (fraud) di

11
perusahaan. Perlindungan hukum kepada whistleblower terdapat pada Pasal 12 PMK
Nomor 103/PMK.09/2010, yang berisi:
1. Unit Kepatuhan Internal, Unit Tertentu, dan Inspektorat Jenderal wajib
memberikan perlindungan kepada Pelapor Pelanggaran.
2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menjaga
kerahasiaan identitas Pelapor Pelanggaran.
3. Unit Kepatuhan Internal dan Unit Tertentu hanya dapat mengungkapkan identitas
Pelapor Pelanggaran kepada Inspektorat Jenderal.
4. Inspektorat Jenderal hanya dapat mengungkapkan identitas Pelapor Pelanggaran
untuk keperluan penyidikan dan persidangan.
5. Unit Vertikal Eselon I wajib mencantumkan Saluran Pengaduan yang dimiliki
Inspektorat Jenderal dan Unit Kepatuhan Internal atau Unit Tertentu pada Unit
Eselon I yang bersangkutan berupa nomor telepon, nomor tujuan SMS, dan alamat
email pada amplop dan map kantor.

H. Contoh Kasus Whistleblowing di Indonesia


Kasus Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup
Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada
tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai
US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi
Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT AAG yang mengetahui seluk-beluk
keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda
Metro Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting
perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent
dan wartawan Tempo.

12
Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan
permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan
dan data digital. Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-
Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002.
Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm
Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga
pasar kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu,
beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan
luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan
permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG
tersebut terkait erat dengan perpajakan. Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution,
kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen.
Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian
penyelidikan termasuk penggeledahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta
maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan
pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005,
terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa
menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian
transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat
modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha
senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari
SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga
berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN,

13
EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur
dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan
HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut. Terungkapnya kasus penggelapan
pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran
maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu
perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini
mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-
blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba
mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal
tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba
mencairkan uang PT AAG.

14
Bab III
Penutup

A. Kesimpulan
Whistleblower adalah pengungkapan seseorang karyawan kepada badan pemerintah
yang berwenang atau media mengenai praktik-praktik organisasi yang ilegal, amoral atau
tidak etis. Whistleblowing dibedakan menjadi dua macam, yaitu whistleblowing internal
dan whistleblowing eksternal.
Keputusan seseorang untuk menjadi whistleblower dapat dipengaruhi variabel
individu maupun konteks organisasi. Variabel individu meliputi biaya dan manfaat, usia,
status perkawinan, pendidikan, dll. Konteks organsisasi meliputi faktor budaya etis, iklim
etis, ukuran organisasi, struktur organisasi dan saluran komunikasi.
Whistleblower dianggap sebagai pahlawan karena memiliki keberanian untuk
mengungkapkan penyimpangan yang dilakukan organisasi pemerintah. Di sisi lain,
sebagian orang dalam organisasi pemerintah menganggap whistleblower adalah
pengkhianat karena telah berani mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam
organisasi (loyality) dan tidak memiliki semangat esprit de corps. Oleh karena itu,
kondisi yang dapat membenarkan seorang whistleblower, tergantung perspektifnya.
Perlindungan hukum kepada whistleblower terdapat pada Pasal 12 PMK Nomor
103/PMK.09/2010.

B. Saran
Saran penulis adalah lebih banyak membaca dan mengetahui mengenai
whistleblowing serta memiliki etika yang baik sehingga tidak melakukan kecurangan
dalam perusahaan dan dapat melaporkan kecurangan yang diketahui kepada pihak yang
berwajib.

15
Daftar Pustaka

Arsana, I. P. (2016). Etika Profesi. Yogyakarta: Deepublish.

Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan. (2013, Desember


24). Peran Whistle-Blower Dalam Pemberantasan Korupsi. Dipetik Desember
22, 2017, dari http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/168-artikel-
pengembangan-sdm/10977-peran-peniup-peluit-dalam-pemberantasan-
korupsi

Boone, K. (2007). Contemporary Business Pengantar Bisnis Kontemporer. Jakarta:


Salemba Empat.

ejournal.uksw.edu. (t.thn.). Diambil kembali dari


ejournal.uksw.edu/jeb/article/download/607/pdf

fe-akuntansi.unila. (t.thn.). Diambil kembali dari http://fe-


akuntansi.unila.ac.id/download/26012015-1011031113.pdf

Kejaksaan Republik Indonesia. (t.thn.). Peraturan Pemerintah. Dipetik Desember 22,


2017, dari
https://kejaksaan.go.id/upldoc/produkhkm/PP_71_2000.pdf(1127).pdf

Kejaksaan Republik Indonesia. (t.thn.). Undang-Undang. Dipetik Desember 22, 2017,


dari
https://kejaksaan.go.id/upldoc/produkhkm/UU%2013%20Tahun%202006.pdf

Kepaniteraan Mahkamah Agung RI. (2011, Agustus 10). Surat Edaran Mahkamah
Agung. Dipetik Desember 22, 2017, dari
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/peraturan/sema/sema%200
4%20tahun%202011.pdf

Keraf, S. (1998). Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (t.thn.). KPK Whistleblower's System. Dipetik


Desember 23, 2017, dari https://kws.kpk.go.id/

Kurniawan, A. (2017, Januari 16). Birokrat Menulis. Diambil kembali dari


http://birokratmenulis.org/whistleblower-dari-dimensi-etika-dan-budaya-
organisasi/

16
muhariefeffendi.wordpress. (t.thn.). Diambil kembali dari
https://muhariefeffendi.wordpress.com/2014/07/01/whistleblowing-system-
sebagai-implementasi-gcg/

Priyatna, H. (2011). WikiLeaks Situs Paling Berbahaya Di Dunia. Bandung: PT Mizan


Pustaka.

Wirawinata, A. (2011, Januari 27). ari-wirawinata. Diambil kembali dari http://ari-


wirawinata.blogspot.co.id/2011/10/makalah-kasus-penggelapan-pajak-oleh-
pt.html

wise.kemenkeu. (t.thn.). Diambil kembali dari https://www.wise.kemenkeu.go.id/

17

Anda mungkin juga menyukai