Anda di halaman 1dari 12

Management control, culture and ethnicity

in a Chinese Indonesian company


Management control, culture and ethnicity
in a Chinese Indonesian company
Sujoko Efferin a, Trevor Hopper b,c,
a Universitas Surabaya, Surabaya, Indonesia
b Manchester Business School, University of Manchester, Manchester M13 9PL, UK
c Stockholm School of Economics, Sweden and Victoria University, Wellington, New Zealand

Review Artikel
1.

Latar Belakang
Efferin dan Hopper mengawali uraian latar belakangnya dengan menjelaskan model
MCS dan fitur dari budaya Cina yang berasal dari penelitian sebelumnya. Penelitian ini
kemudian membahas faktor-faktor yang tidak ditangkap oleh analisis etik data lapangan dan
selanjutnya dianalisis dalam model emik. Faktor-faktor tersebut adalah Budaya Jawa, pekerja
perusahaan dan konteks lokal - terutama sejarah diferensiasi etnis dan diskriminasi terhadap
Cina Indonesia. Kemudian metode penelitian dijelaskan dan dibenarkan secara lebih rinci.
Para peneliti awalnya menggambarkan pelaku utama perusahaan, sejarah, struktur,
keanggotaan, teknologi, dan pasar (juga signifikan untuk memahami MCS).
Disini peneliti selanjutnya menjelaskan beberapa hal yaitu fitur dari MCS, dimensi
budaya Cina, budaya Jawa, dan masalah tentang kontigensi budaya. Masing-masing hal
tersebut dijelaskan secara terperinci sehingga lebih mengarahkan pada apa yang ingin dicapai
oleh peneliti. Dalam penjelasan tentang fitur MCS, dalam penelitian ini mengambil beberapa
pendapat dari para ahli dan peneliti terdahulu yaitu hasil (result), tindakan (action), dan
personil. Selanjutnya tentang dimensi budaya Cina yang dijelaskan mengenai konfusianisme
merupakan dasar dari nilai budaya Cina (Suryadinata, 1978), serta didukung oleh moral
hukum, tao, yang menekankan tatanan sosial, harmoni (Redding, 1993), dan hubungan sosial
berdasarkan jen yang mencakup chung dan shu (Suryadinata, 1978). Hal tersebut dibahas
karena nilai-nilai Konfusian telah menghasilkan patrimonial gaya bisnis Cina (Redding,
1993). Sedangkan dalam pembahasan tentang budaya Jawa dan Cina adalah serupa bahwa
keduanya menekankan pada paternalisme, hirarki, reputasi, harmoni sosial, dan tatanan sosial
meskipun budaya Jawa memiliki mistisisme khas. Jika demikian, mungkin ada disonansi
budaya sedikit jika MCSs membahas nilai-nilai ini. Selain itu, dibahas juga bagaimana etnis
Tionghoa mengelola suatu perusahaan baik itu perusahaan warisan maupun perusahaan yang
sejak awal dirintis sendiri. Dalam pengelolaan perusahaannya, etnis Tionghoa lebih

mementingkan aspek kekeluargaan. Misalnya pada posisi-posisi tertentu mereka selalu


menggunakan sanak saudara untuk dipercaya. Sedangkan untuk sistem pengelolaan
selanjutnya mereka juga didasarkan nilai-nilai kemanusiaan seperti mensejahterakan
karyawan, memberikan intensif kepada karyawan serta memperhatikan nilai-nilai sosial
lainnya. Selanjutnya dalam pembahasan tentang permasalahan kontigensi budaya, peneliti
disini mengambil hasil penelitian sebelumnya dari Bhimani (1999) yang berpendapat bahwa
teori-teori Societal Effects, New Institutional Sociology, dan the New (especially
Foucauldian) accounting dapat mengatasi kekurangan teori kontigensi meskipun berbeda
asumsi. Penelitian ini tidak eksplisit memasukkan substansi formal. Metode penelitian ini
menggabungkan emik dan etik, serta menggabungkan politik etnis, sejarah multikulturalisme,
bisnis pragmatisme, sosialisasi, dan tindakan dari waktu ke waktu untuk mempelajari budaya
dan kontrol, mencerminkan semangat apa yang dimaksudkan oleh Bhimani.
Dari penjelasan diatas, Efferin dan Hopper telah memaparkan dengan lugas latar
belakang dan sangat koheren dengan apa yang menjadi motivasi riset dan pokok
permasalahan studinya. Dalam latar belakang telah disampaikan beberapa hal terkait
management control system, budaya Tionghoa, budaya jawa dan permasalahan kontigensi
budaya. Demikian juga uraian sekilas penelitian terdahulu mengantarkan kita untuk dapat
memahami persis posisi riset mereka. Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan
perusahaan yang memproduksi plastik dan barang-barang rumah tangga di jawa timur,
dimana saham perusahaan ini dimiliki oleh empat orang pemegang saham.
2.

Motivasi, Pokok Permasalahan dan Fokus Penelitian


Motivasi penelitian ini berasal dari fakta yang menarik dari konsep birokrasi dan hukumotoritas rasional dalam masyarakat Barat, sehingga peneliti mengambil alternatif untuk
mengaitkan hal tersebut dengan budaya dan etnis Cina di Indonesia. Dipilihnya etnis Cina
sebagai informan karena di Indonesia telah terbukti para pengusaha sukses sebagian besar
merupakan etnis Cina. Selain hal tersebut, peneliti juga memiliki akses dalam perusahaan
Cina yang dijadikan sumber penelitian, disini peneliti selaku konsultan manajemen atau
auditor eksternal beberapa perusahaan Cina di Indonesia. Penelitian ini juga termotivasi
untuk mengungkap lebih jauh tentang sistem manajemen perusahaan Cina di Indonesia yang
rata-rata sukses dalam usahanya. Peneliti disini mengaitkan MCs dengan budaya yang ada
pada etnis Cina, karena diduga para pengusaha Cina menggunakan beberapa filosofi dan
kaidah budayanya dalam sistem manajemen yang dianut.
Terkait dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bahwa peneliti memiliki
rasa penasaran dan ingin menguak lebih dalam tentang perusahaan Cina di Indonesia. Ada

beberapa pertanyaan pokok dalam penelitian ini yaitu: bagaimana perusahaan Cina
melakukan manajemen kontrol, dan apakah ada hubungan dengan penggunaan budaya atau
etnisitas dalam mengendalikan perusahaan, serta bagaimana struktur organisasi dan sistem
akuntansi yang diterapkan di perusahaan Cina. Selain itu semua, ada satu hal yang perlu di
ungkapkan oleh peneliti yaitu bagaimana hubungan pemimpin perusahaan/manajer/pemilik
dengan para karyawan yang notabene adalah masyrakat pribumi. Disini peneliti merasa perlu
mengungkapkan kesejahteraan karyawan yang bekerja pada perusahaan Cina, dimana pada
jaman orde baru adanya diskriminasi, kebencian, pengkambinghitaman, pelecehan, dan
pemerasan terhadap etnis Cina di Indonesia, sehingga mereka bergabung dengan Barat,
Komunisme, dan fundamentalis Islam sebagai empat penggerak utama dalam wacana politik
Orde Baru. Peneliti mengaitkan hal tersebut sebagai alasan apakah karyawan/pekerja pribumi
yang bekerja pada perusahaan Cina mengalami tekanan atau sebaliknya.
Fokus penelitian ini adalah pada budaya Cina yang digunakan dalam perusahaan,
manajemen kontrol yang diterapkan dalam mengelola perusahaan dan penekanan pada sisi
etis perusahaan Cina di Indonesia. Penelitian ini difokuskan pada hal-hal tersebut karena
peneliti memiliki ide dasar yang kuat untuk mengaitkan manajemen control perusahaan
dengan budaya dan etnis Cina di Indonesia. Para pengusaha Cina terkenal sangat taat dan
disiplin serta dalam penggunaan nilai-nilai budaya dalam pengelolaan perusahaanya. Apakah
hal ini yang menjadi kunci sukses pengusaha Cina di Indonesia?. Maka dari itulah penelitian
ini akan mengungkap banyak hal tentang keterkaitan MCS (manajemen control system)
dengan budaya dan etnis pada perusahaan Cina di Indonesia.

3.

Metodologi Penelitian, Pengumpulan dan analisis data

3.1 Metodologi Penelitian


Sebagian besar penelitian pada budaya MCSs dan etnis Cina: kategori yang menarik dari
konsep birokrasi dan hukum-otoritas rasional dalam masyarakat Barat. Jadi peneliti
etnografis cenderung menghadapi dilema. Mereka bisa menghargai relativisme budaya
dan menggunakan metode emik eksklusif untuk menghasilkan analitis kategori dari data
lapangan dan tidak menggeneralisasi temuan di luar situs. Penelitian ini terlibat dengan MCS
dan budaya Tionghoa dengan menggunakan kategorisasi etik. Model penelitian,
menggunakan tinjauan budaya, etnis, dan MCSs, diringkas dalam Gambar. 1.

Ini disediakan untuk menganalisis kategori etik emik dari data yang dikumpulkan.
Proposisi MCS awalnya dibatasi pada preferensi Cina dalam tindakan dan kontrol budaya.
Sisanya ditambahkan selanjutnya untuk terlibat dengan kontingensi budaya sebelum

penelitian. Bhimani (1999) memberikan catatan, kontingensi konvensional teori konvergen:


secara implisit mengasumsikan bahwa faktor-faktor seperti ukuran, persaingan teknologi,
akan membuat MCSs di seluruh dunia sama. Penggabungan kebudayaan nasional yang
signifikan mampu memperkenalkan gagasan ideasional (Bhimani, 1999). Anggapan bahwa
orang-orang berperilaku sama sesuai dengan keanggotaan mereka dalam masyarakat yang
lebih luas mengasumsikan kepercayaan budaya pengaruh tindakan manusia dan persepsi,
sehingga menimbulkan masalah subjektif yang lebih umum dipelajari oleh metode penelitian
kualitatif. Namun, studi pada kebudayaan nasional dan MCSs, termasuk luar negeri Cina,
cenderung mengikuti metode penelitian nomotetis, bahwa tes asosiasi hipotesis atribut yang
telah ditentukan budaya, sering menggunakan instrumen penelitian dari Hofstede, dengan
dimensi MCSs yang diukur oleh instrumen dari kontingensi sebelumnya. Sebagaimana
didalilkan sebelumnya, pendekatan ini bermasalah.
Asumsi ontologis di sini bahwa praktek MCS adalah merupakan produk dari individu
yang bernegosiasi dan dibangun dalam konstruk sosial (Hopper & Powell, 1985), maka
metode etnografis dalam hal ini dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Para
epistemologis mengasumsikan bahwa pemahaman yang berasal dari pengamatan interaksi
sehari-hari dapat digunakan dalam rangka menganalisis data untuk menguji kategori sehingga
akan menghasilkan bentuk teori baru (Strauss & Corbin, 1998). Peneliti menggunakan
pertanyaan Bhimani pada divisi metodologi penelitian untuk mempelajari budaya antara
nomotetis dan ideasional atas dasar filosofis dan praktis.
Namun, kami juga menolak versi grounded theory yang membatasi etnografi untuk
mendeskripsikan pengamatan pada situs tertentu (lihat Alvesson & Skoldberg, 2000;
Silverman, 2004). Jadi kategori dan hubungan budaya penelitian kontinjensi mungkin
berguna untuk perbandingan analisis, tetapi membutuhkan pembuktian dari data lapangan,
yang berkaitan dengan tindakan, tidak mutlak atau terus-menerus, dan terbuka untuk elemen
baru. Diperlakukannya kontingensi budaya dapat menjadi bagian dari 'etnografi integratif'
(Baszanger & Dodier, 2004) konsisten dengan antropolog dan sosiolog yang berargumen
bahwa pemahaman fenomena membutuhkan iterasi pandangan etik dan emik (Scupin, 1998;
Smith & Young, 1998; Wilk, 1996).
Paradigma yang dipakai dasar dalam penelitian ini adalah interpretif yaitu dengan
berusaha memahami praktek akuntansi dalam suatu perusahaan, mengenai suatu topik yaitu
manajemen control, budaya dan etnisitas pada perusahaan Cina di Indonesia. Metode yang
digunakan sudah cocok digunakan yaitu etnografi, untuk memahami suatu budaya yang
terjadi di perusahaan tersebut. Untuk mendapatkan data yang akurat dan meyakinkan, sampai

seorang penelitinya ikut sebagai pekerja di perusahaan (sebagai konsultan manajemen) dalam
waktu 1 tahun. Namun dalam riset ini tidak ada menentukan siapa yang akan menjadi
informan. Penelitian ini dilakukan tanpa peta, jadi proses penelitian berjalan disesuaikan
dengan hal yang dihadapi dilapangan
Efferin dan Hopper secara rinci memaparkan tentang konsep dan impelementasi
metode ethnographi dalam risetnya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa metode
Ethnographi menggunakan observasi partisipan lewat kerja lapangan yang bersifat ekstensif.
Pakar anthropologi menjalani kehidupan subyek ethnographi dengan tinggal bersama
komunitas, mempelajari praktek materialnya, dan mempelajari kultur dan organisasi sosial.
Observasi partisipan mendalam dan kerja lapangan ekstensif memperlihatkan institusi dan
organisasi sebagai sistem prakteknya dan nilai kontingensi secara historik dan politik. Ini bisa
dipahami yang secara mutual interdependen dan secara sosial terstruktur, yang terbuka
terhadap perubahan. Selama fungsi sistem akunting formal adalah yang mempunyai
interdependensi dengan akunting informal, ethnographi adalah sebuah metode penelitian
yang sempurma, jika tidak digunakan, khususnya untuk studi akunting (Jonsson dan
Macintosh, 1997).

3.2 Pengumpulan dan Analisis Data


Pengusaha Tionghoa biasanya menjaga segala sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan
mereka dan pertanyaan penelitian yang sensitif di Indonesia. Untuk mempermudah
memperoleh akses sekaligus untuk mengatasi hal tersebut, maka kepercayaan dan keyakinan
antara peneliti dan responden membutuhkan pembentukan karakter peneliti dan menciptakan
kedekatan yang spesifik. Akses dalam perusahaan yang akan diteliti berasal dari peneliti
utama yang sebelumnya terlibat secara informal sebagai penasihat perusahaan dan
persahabatan dengan pemilik sejak tahun 1988. Hal ini membuatnya menjadi 'orang dalam'
dengan empati dan akses ke pemilik dan manajer, interaksi sosial difasilitasi dalam
pengaturan, dan memungkinkan dia untuk berpartisipasi dalam aktivitas kerja. Ini
memberikan pemahaman yang mendalam mengenai perusahaan kegiatan, personil, dan
infrastruktur fisik, dan mengungkapkan faktor-faktor yang berlalu tanpa diketahui dengan
metode penelitian lainnya.
Pertimbangan etika itu penting. Untuk memastikan kesediaan peserta untuk berpartisipasi
dan untuk melindungi mereka, kerahasiaan dan anonimitas dijamin, sebuah tape recorder

hanya digunakan dengan izin, dan peneliti diungkapkan kepada responden jati dirinya, tujuan
penelitian dan bagaimana temuan-temuan akan disebarluaskan.
Para pemilik juga sadar kurangnya pengetahuan mereka tentang manajerial modern dan
berharap untuk menggunakan saran eksternal yang tepat. Selama penelitian konsultan
dipekerjakan untuk memperbaiki struktur organisasi dan sistem akuntansi. Penelitian
condong menggunakan pengamatan 'moderat' peserta daripada penelitian 'aksi' untuk
menyeimbangkan partisipasi dan pengamatan, menjadi orang dalam dan orang luar (Spradley,
1980), dan mencegah partisipasi pengenceran analisis kritis (Hammersley & Atkinson, 1995).
Pemilik dan karyawan mendukung sepenuhnya penelitian, tetapi etnisitas peneliti dan entri
melalui pemilik adalah penghalang dengan pribumi karyawan kerah biru, yang enggan
diwawancarai karena takut mungkin mempengaruhi pekerjaan mereka. Oleh karena itu, data
tentang mereka terutama berasal dari kasual, percakapan dan wawancara dengan nilai-nilai
eksternal jawa dan, untuk mengimbangi peneliti yang kemungkinan bias.
Penelitian berlangsung selama 1 tahun. Data berasal dari wawancara, dokumen, dan
pengamatan peserta (Mason, 1996; Spradley, 1980). Wawancara semi-terstruktur,
yaitu''percakapan dengan tujuan''(Burgess, 1984, di Mason, 1996) yang diadakan dengan
empat pemilik dan karyawan, termasuk konsultan. Wawancara lebih lanjut yang
diselenggarakan dengan lima pengusaha Cina dari perusahaan yang lain, empat pengusaha
pribumi yang berurusan dengan bisnis Cina, dan pribumi Islam intelektual. Wawancara awal
peneliti fokus untuk isu-isu eksplorasi. Wawancara dengan pemilik Cina dieksplorasi etnis,
kontrol, identitas sosial Cina, kerentanan sosial, solidaritas, kesejahteraan keluarga, apa yang
berarti bagi organisasi mereka, nilai-nilai pribadi, dan masa depan mereka. Konsultan
manajemen dan Pengusaha Cina memberi wawasan ke dalam manajemen di perusahaan Cina.
Penelitian dengan pribumi dilakukan beberapa wawancara dengan pengusaha pribumi dan
intelektual Islam untuk mendorong keterbukaan tentang persepsi pribumi.
Pertanyaan selama wawancara dan observasi membantu membuka jalur penyelidikan dan
sekaligus penyampelan. Semua wawancara, observasi, dan analisis dokumenter berada di
Indonesia dan Wawancara direkam dan ditranskrip. Dokumen dipelajari termasuk grafik
sistem akuntansi dan prosedur, laporan terkait, manual dan dokumen, bentuk anggaran, buku
kas, dan laporan keuangan. Peneliti telah memiliki akses penuh ke perusahaan dan mereka
memberikan pemahaman awal proses kerja tetapi analisis wawancara dan pengamatan terjadi
lebih penting untuk merumuskan temuan. Catatan lapangan ditulis selama atau segera setelah
setiap sesi tentang situasi, diskusi, dan istilah yang diperiksa silang dengan wawancara
data untuk mempromosikan keseimbangan dan memperbaiki data reliabilitas dan validitas.

Analisis data terdiri dari transkripsi dan Mikroanalisis (Strauss & Corbin, 1998, Bab 5).
Mikroanalisis (lihat Lampiran) membantu menghasilkan konsep dan hubungan di awal,
diidentifikasi dan terkait istilah asli dan keyakinan, dipandu lanjut wawancara dan observasi,
dibangun jelas pernyataan untuk perbandingan dengan kategori data dan hubungan dalam
penelitian sebelumnya, sistematis kode mereka ke dalam kategori dengan ide sentral, dan
akhirnya terintegrasi ke dalam sebuah model. Hasil awal dirumuskan pertanyaan untuk
wawancara berikutnya dan fokus pengamatan berikutnya. Keterkaitan antara data kategori
dan pernyataan penjelasan hubungan (Apa, kapan, bagaimana dan mengapa) di antara mereka
dibangun. Kategori data berasal dari teoritis masalah penelitian (hasil DNS, kontrol tindakan,
personil / budaya kontrol, Cina dan Jawa nilai-nilai budaya, etnis, teknis aspek kegiatan
organisasi, sejarah perusahaan dan lingkungannya). Prosedur tersebut sering dilakukan
bersamaan dengan tidak ada, kaku jelas batas antara mereka, dan kategori dan hubungan
terus-menerus disempurnakan dan dimodifikasi untuk menjamin kategorisasi akhir memadai
tercermin data.
Konsep dikelompokkan dalam kategori dengan satu ide sentral. Sekali teridentifikasi
kategori menjadi lebih mudah untuk mengingat dan berkembang dengan memecahnya ke
dalam subkategori (kapan, dimana, mengapa, bagaimana, dan seterusnya), dan akhirnya
mengintegrasikan kategori utama ke dalam model. Rincian coding dan penjelasan mereka dan
pembenaran diberikan dalam Lampiran. Sampling teoretis menguji konsistensi internal dan
kelengkapan dari model. Terus-menerus konsep membandingkan terhadap data lapangan
terungkap variasi di antara konsep, membuat kategori padat, diverifikasi dan mengkonfirmasi
hubungan antara kategori / konsep yang dikembangkan, dan dikembangkan baris baru
penyelidikan dan evolusi teori. Contoh tidak selalu berarti mengumpulkan data baru: kembali
ke memo transkripsi kadang-kadang cukup. Sampling berlanjut sampai kategori yang jenuh,
yaitu tidak data baru yang relevan muncul, variasi dalam dimensi kategori 'dan sifat yang
baik ditunjukkan, dan hubungan antara kategori didirikan dan divalidasi
4.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan yang memproduksi plastik dan alatalat rumah tangga yang berbahan plastik. Perusahaan ini terletak di Jawa timur, namun tidak
disebutkan secara khusus daerahnya. Perusahaan yang diteliti ini dikelola oleh orang dari
etnis Cina. Sedangkan, peneliti sendiri disini selaku konsultan manajemen dalam perusahaan
itu. Pemegang saham pada perusahaan ini adalah berjumlah empat orang. Peneliti punya
kedekatan dengan pemilik perusahaan karena ditunjuk sebagai konsultan manajemen

perusahaan produksi plastik tersebut. Peneliti melakukan penelitian dalam jangka waktu satu
tahun. Selain itu, peneliti memang sudah memiliki kedekatan bahkan bersahabat dengan para
pemegang saham di perusahaan tersebut. Peneliti disini melakukan wawancara face to face
dengan masing-masing pemegang saham yang nantinya hasil wawancara tersebut
ddidokumentasikan. Peneliti juga melakukan pendekatan-pendekatan dengan beberapa
karyawan yang bisa dijadikan informan dalam perusahaan tersebut.
5.

Manajemen Control, Culture dan Ethnicty


Beberapa artikel telah dirujuk untuk menjelaskan manajemen control, budaya dan
ethnisitas. Namun terkait dengan MSC peneliti sebagian besar mengacu pada penelitian dari
Bhimani (1999), karena penelitian-penelitian sebelumnya dinilai masih adanya kontroversi
teoritis dan metodologis (Baskerville, 2003; Baskerville-Morley, 2005; Hofstede, 2003). Dan
hasil yang tidak konsisten dan problematis (Harrison & McKinnon, 1999) Bhimani (1999).
Dua pendekatan konseptual utama yang digunakan sampai saat ini, kontingensi struktural dan
budaya berdasarkan teori ideasional, perlu dilengkapi dengan teori efek sosial, sosiologi
kelembagaan baru, dan sejarah baru akuntansi, meskipun asumsi yang berbeda tentang apa
homogenises sistem kontrol, sifat kontrol, metodologi penelitian yang sesuai, dan fokus
analisis analisis mereka.
Efferin dan Hopper

menekankan bahwa penelitian kontrol dan kultur, secara

keseluruhan, menggunakan prinsip obyektivistik dan kurang memperhatikan pemahaman


ethnographik dari akunting. Sebaliknya, studi lapangan yang didasarkan pada realitas
keseharian dalam praktek manajemen control tidak mempertimbangkan teori tentang metode
kultur atau anthropologi. Dalam pandangan signifikansi yang didasarkan pada studi
manajemen modern yang dijalankan ini muncul sebagai sebuah kejutan karena ethnographi,
mctode anthropologi (dan genre) dari studi kultur, dapat sangat berguna dalam menghasilkan
observasi longitudinal dari kehidupan organisasi setiap hari yang dari situ komponen baru
dari control dan kultur dapat dinilai secara penuh. Kultur mempunyai efek penting terhadap
proses MCS (sistem kontrol manajemen). Studi proses pekerja dalam hal kontrol akunting
manajemen memandang kultur sebagai konsekuensi lansung dari praktek kerja yang muncul
dari proses pekerja kapitalistik. Ini sangat didasarkan pada sebuah prinsip kultur yang
kurang-sosial. Dengan menfokuskan pada pengetahuan pekerja tentang proses produksi.
Kontingensi penelitian budaya berdasarkan survei, sering menggunakan konstruksi
budaya dari Hofstede (1980), telah mengabaikan isu-isu etnis dan multi-kulturalisme. Multikulturalisme sering dikaitkan dengan diferensiasi etnis. Etnisitas merupakan sumber identitas

kelompok: tidak hanya atribut karakteristik (baik didirikan atau imajiner) kepada kelompok
fokus anggota tetapi juga untuk kelompok-kelompok etnis lain
Dalam artikel ini, Efferin dan Hopper menjelaskan bagaimana pengusaha Cina di
Indonesia menjalankan bisnisnya sesuai dengan budaya yang mereka anut dan terkait dengan
manajemen control perusahaan. Literatur MCS cenderung otokratik dan dichotomise dalam
penganggaran partisipatif. Dalam penganggaran perusahaan mengandung unsur keduanya.
Otokratis dalam hal ini dioperasikan dalam lingkaran konsentris menggambarkan dalam dan
luar perusahaan tapi partisipatif ketika terlibat dalam. Para pemilik percaya itu bijaksana
(jing shen) untuk mempercayai karyawan dengan informasi keuangan. Meskipun karyawan
tidak mengharapkan partisipasi anggaran, karyawan Cina 'menghormati li, Hsiao, dan otoritas
yang berasal dari kepemilikan ini secara luas konsisten dengan karyawan pribumi tentang
keyakinan bapakism dan tatanan sosial.
Dikatakan bahwa nilai-nilai bisnis Cina menjadi satu-satunya sumber otoritas yang sah
mendorong subjektif daripada informasi yang obyektif dan kontrol (Merchant et al, 1995;.
Redding, 1993). Oleh karena itu, karyawan (apakah Tionghoa atau tidak) dapat memberikan
pemilik hak prerogatif Cina untuk membuat keputusan keras seperti pengangkatan dan
pemecatan, mengevaluasi kinerja karyawan, menetapkan imbalan, mengalokasikan sumber
daya, dan menjalankan disiplin dan kontrol.
Merchant dkk. (1995) berpendapat bahwa nilai-nilai Cina seperti kehilangan muka
karena bertentangan pemberian imbalan untuk kinerja. Hal ini sebagian besar terjadi dalam
perusahaan. Kecuali untuk Pemasaran, di mana etnis ketidakpercayaan rendah, penghargaan
tidak diikat dengan target. Pembayaran-oleh-hasil sistem ditolak dalam Manufaktur karena
komplikasi etnis mungkin dan masalah pengukuran. Namun demikian, kinerja penghargaan
terkait tidak benar-benar ditolak, misalnya sanksi diberlakukan untuk cacat berlebih.
Merchant dkk. (1995) juga berpendapat bahwa nilai-nilai kolektivis Cina pemilik condong
pada kelompok bukan individu.
6.

Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Efferin dan Hopper ini memiliki beberapa keterbatasan
yang diungkapkan diakhir penelitian. Seperti studi kasus, penelitian ini memiliki keterbatasan
metodologis. Namun demikian, peneliti disini berharap hal ini menunjukkan bagaimana
mengkombinasikan pengumpulan data metode etnografi dengan versi grounded theory untuk
analisis data sehingga dapat menggabungkan wawasan etik dan emik pada budaya dan MCSs.

Tujuannya adalah untuk melengkapi dan mengembangkan kerja survei yang lebih
konvensional. Namun, Bhimani (1999) mencatat, telah memasuki wilayah ideasional:
penelitian kontingensi budaya tidak bisa memisahkan diri dari isu-isu metodologis dan
metode penelitian yang terjadi. Penelitian didasarkan etnografis dapat mengidentifikasi isu
dan konsep bottom-up untuk meningkatkan survei tetapi mereka lebih dari tahap percontohan.
Mereka menawarkan detail survei atau penelitian laboratorium tidak dapat memiliki
tantangan, memperkaya, dan memberikan wawasan tentang hasil yang bertentangan atau
tidak meyakinkan di tempat lain.
Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Efferin dan Hopper ini menghasilkan
kesimpulan yaitu orientasi pemilik perusahaan China dan preferensi tinggal dengan
mengendalikan perilaku subjektif (kontrol tindakan) dan menyelaraskan nilai-nilai karyawan
dan majikan melalui kontrol kebudayaan, meskipun mereka tidak menolak untuk
menggunakan kontrol hasil untuk faktor ekonomi kritis, atau tindakan birokrasi formal
kontrol ketika pengukuran. Penelitian ini menegaskan penelitian sebelumnya mengklaim
bahwa bisnis milik Cina memiliki partisipasi anggaran yang rendah (Lau & Tan, 1998),
sentralisasi (Birnbaum & Wong, 1985; Harrison et al, 1994; Lau et al, 1995), kecenderungan
untuk subjektif ketimbang kontrol obyektif (Merchant et al, 1995;. Redding, 1993) dan, lebih
mementingkan kepentingan kelompok (Merchant et al, 1995.).
Penelitian ini menggambarkan keterbatasan studi akuntansi statis yang mengabaikan
bagaimana dan mengapa budaya berinteraksi secara dinamis. Sebagai contoh, di budaya Cina
anggota bervariasi antara totok dan jiaosen, yang mencerminkan asimilasi budaya Indonesia
lainnya. Budaya Cina Indonesia dapat menjadi jiaosen lebih jika politik represi dan konflik
etnis mereda, serta pluralisme dan meningkatkan integrasi dalam iklim politik yang baru.
Masalah studi akuntansi yang mengabaikan faktor organisasi historis dan eksternal yang
melibatkan, antara lain, dampak dari lembaga-lembaga politik dan ekonomi dan perjuangan
pada budaya dan kontrol, diilustrasikan dalam penelitian ini. Misalnya, budaya Tionghoa
Indonesia berkaitan dengan pola-pola imigrasi Cina dan bagaimana beberapa budaya Cina
digunakan secara politik dan ekonomi. Misalnya, peran ekonomi dianggap berasal dari
pengusaha Cina dengan penguasa kolonial sebagian meletakkan dasar bagi kebijakankebijakan etnis pasca-kemerdekaan, dimana pengusaha Cina menjadi
disalahgunakan dan terdiskriminasi oleh organ negara dan politisi.

entrepreneurs

Kesimpulan ini terdiri dari beberapa kritik tentang studi akuntansi yang terjadi selama ini
yang gagal melakukan koneksi kembali dan mengangkat nilai-nilai sosial masyarakat. Kritik
lalu menuduh penelitian akuntansi kepercayaan yang tidak semestinya pada konsep
problematis dan instrumen penelitian survei berasal dari Hofstede, sering bersama-sama
dengan orang yang bermasalah dari teori kontingensi dan penelitian tentang pengukuran
kinerja akuntansi (Baskerville, 2003; Chenhall, 2003; Harrison & McKinnon, 1999;
McSweeney, 2002)

Anda mungkin juga menyukai