1820712002
Teori-Teori Ilmu Sosial
BAB 4
HASIL KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI
Hasil kajian baru teori modernisasi ini mampu menemukan berbagai arena
penelitian baru. Penelitian Wong tentang pengaruh familisme terhadap sikap dan
berkembangnya wiraswasta di Hongkong disajikan pada urutan pertama.
Wong : Familisme dan Kewiraswastaan
Dalam literatur modernisasi klasik, pranata famili di Cina dilihatnya sebagai
kekuatan dahsyat tradisional yang menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin
kerja, menghalangi proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif
individual untuk investasi, menghalangi tumbuhnya proses berpikir rasional dan
merintangi tumbuhnya norma-norma bisnis universal. Namun, bagi Wong,
pernyataan ini berlebihan. Pertama, Wong menunjuk adanya praktik manajemen
paternalistik di banyak badan usaha di Hongkong. Di industri tersebut ditemukan
praktik manajemen yang memiliki tata pengendalian dan pengawasan manajemen
yang ketat, sementara di sisi lain praktik manajemen ini sama sekali tidak
mengenal apa yang disebut dengan pendelegasian wewenang dan kekuasaan.
Kedua, nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan
berbagai badan usaha Hongkong. Wong melihat, bahwa kebanyakan etnis Cina
hanya akan meminta bantua tenaga kerja keluarga saat-saat yang amat kritis, dan
hubungan kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari
keseluruhan personalia pada perusahaan yang menganut nepotisme. Namun
demikian, dilain pihak, pada perusahaan-perusahaan kecil, anggota utama
keluarga dan sanak-keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan
cakap. Ketiga, adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan
usaha etnis Cina di Hongkong. Pada tahun 1978, kurang lebih 60% dari jumlah
perusahaan kecil dimiliki oleh pemilikan individual dan keluarga mereka. Dalam
konteks ini, bahwa prinsip garis keturunan patrilinial telah menghasilkan satu-
satuan unit keluarga pekerja yang damai, bijak, dan abadi yang pada gilirannya
sangat membantu pengaturan sumber daya ekonomi mereka.
Menurut Wong, ada tiga karakteristik pokok dari etos usaha keluarga.
Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan,
tetapi saat yang sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan
struktur organisasi. Kedua, otonomi dihargai sangat tinggi dan bekerja secara
mandiri lebih disukai. Bentuk ideal yang diinginkan dari hubungan manajer dan
pekerja sepertinya mereka berdua menjadi satu kesatuan. Ketiga, usaha keluarga
jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi tidak stabil.
Dan disamping itu, bentuk badan usaha keluarga yang demikian akan jarang
terlibat dalam usaha-usaha kolusi, karena adanya penghargaan yang tinggi dan
penjagaan yang ketat pada sifat otonomi.
Dove : Budaya Lokal dan Pembangunan di Indonesia
Kerangka Teoritis hasil kajian Dove dan kawan-kawannya ini hendak
mencoba melihat interaksi antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia
dan aneka ragam budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Pesan utama yang
hendak disampaikan Dove terlihat pada kerangka teoritis yang dipilihnya. Dove
dengan tidak ragu-ragu menyatakan bahwa tradisional tidak harus berari
terbelakang. Baginya, budaya nasional sangat dan selalu terkait dengan proses
perubahan ekonomi, sosial dan juga politik dari masyarakat pada tempat mana
budaya tradisional tersebut melekat. Bagi Dove, budaya tradisional selalu
mengalami perubahan yang dinamis, dan oleh karena itu budaya tradisional tidak
mengganggu proses pembangunan.
Agama tradisional dalam pandangan agen pembangunan Indonesia terhadap
agama-agama tradisional yang dipeluk kebanyakan suku-suku tersasing di luar
Jawa. Disamping kenyataan bahwa agama tradisional juga dipandang sebagai
agama inferior dan tidak memiliki status formal. “Sistem kepercayaan tradisional
Indonesia ini memiliki bobot yang cukup untuk disebut sebagai agama, dan secara
empiris, sistem kepercayaan tradisional ini mengandung sistem ilmu pengetahuan
tentang dunia yang valid.”
Sikap negatif pemerintah Indonesia tidak hanya terlihat pada pandangannya
tentang sistem kepercayaan tradisional, tetapi juga pada penilaian terhadap sistem
ekonomi tradisional, seperti misalnya apa yang disebut dengan pertanian ladang,
usaha mengumpulkan sagu, dan usaha bertani berpindah-pindah. Pada dasarnya,
pemerintah Indonesia melihat ketiga jenis usaha ekonomis tersebut sebagai usaha
yang tidak efisien, dan karena itu tidak dapat dikembangkan lebih jauh untuk
keperluan mendukung proses modernisasi, dan jika demikian halnya maka tidak
ada manfaat ekonomis yang diperoleh untuk mempertahankan model usaha
ekonomi tersebut. Namun, hasil kajian dalam buku ini menunjukkan hal yang
sebaliknya. Ketiga bentuk usaha ekonomi tradisional tersebut memberikan
manfaat fungsional terhadap masyarakat pendukungnya. Contohnya bagi petani
Bima di Sumbawa.
Peran nilai-nilai tradisional dalam menjaga lingkungan hidup dan
mendorong penggunaan sumber daya alam secara terjaga kurang mendapat
perhatian pemerintah. Menurut Dove dan kawan-kawan, usaha pemerintah untuk
menggunakan peraturan-peraturan baru tersebut justru sering tidak berhasil
dengan baik. Penelitian ini menyatakan, bahwa budaya tradisional memiliki peran
positif dalam menjaga lingkungan hidup.
Masyarakat tradisional Indonesia pada dasarnya juga memiliki ciri yang
dinamis. Masyarakat tradisional tersebut selalu memgalami perubahan sosial yang
terus-menerus, sesuai dengan tantangan internal dan kekuatan eksternal yang
mempengaruhinya. Secara ringkas, penelitian Dove dan kawan-kawannya ini
secara cermat hendak menunjukkan bahwa budaya tradisional tidak harus sesllau
ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan.
Davis : Revisi Kajian Agama Jepang dan Teori Barikade
Teori Lintas Gawang
Menurut Davis, Weber telah menawarkan teori lintas gawang, yakni teori
yang menyatakan bahwa pembangunan merupakan seperangkat rintangan panjang
yang melintang sejak dari garis permulaan (masyarakat tradisional) sampai garis
terakhir (masyarakat modern).
Rintangan lintas gawang yang perlu dilewati ini terjadi atas berbagai
macam. Pertama, peserta lomba hendaknya mampu menghilangkan tangan
ekonomis jika hendak mencapai karakteristik dasar kapitalisme, yakni
rasionalitas, sikap hemat, produksi dan pasar yang terus-menerus, dan pasar bebas
tenaga kerja. Kedua, peserta lomba juga diharapkan mampu mengatasi gawang
rintangan sosial politik, yakni menghapus patrimonialisme dan ekonomi
kekeluargaan dengan administrasi organisasi dan pranata hukum yang rasional,
dan pemisahan antara tempat tinggal dan tempat usaha, serta pemisahan antara
kepemilikan pribadi dan pemilikan usaha. Ketiga, peserta lomba juga dihadapkan
pada gawang rintang psikologi. Mereka diharuskan mampu memiliki satu etos
spiritual seperti misalnya “panggilan suci” untuk kerja keras, penolakan nilai-nilai
gaib, dan penumbuhan pandangan hidup tentang ketegangan kreatif antara
ketersediaan menerima kenyataan dunia seperti yang ada dan tuntutan etis untuk
memperbaikinya.
Teori Barikade
Setelah memberikan sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas
gawangnya, Davis, kemudian menawarkan teori barunya, yang disebutnya sebagai
teori barikade. Teori lintas gawang, menurut Davis, pada dasarnya melihat agama
dari sudut pandang peserta lomba modernisasi yang agresif dan berasumsi bahwa
halangan dalam lari lintas gawang ini dengan pasti akan dapat dilalui.
Penulisan Kembali Sejarah Agama di Jepang
Davis berpendapat, bahwa agama di Jepang sama sekali tidak menghalangi
adanya perubahan karena berbagai alasan berikut ini. Pertama, menurut ajaran
Budha, agama sama sekali tidak berusaha dan tidak berbuat sesuatu untuk
mencegah pembangunan yang amat cepat di pedesaan Jepang. Budhisme tidak
memaksakan berlakunya hukum suci terhadap masyarakat yang memerintahkan
untuk menghalangi perubahan. Kedua, karena Shinto tidak memiliki perwalian
gereja yang universal untuk mengawasi secara cermat pelaksanaan ajaran-
ajarannya, Shinto lebih mudah lagi untuk mengizinkan berlakunya proses
modernisasi. Ketiga, karena adanya koeksistensi tiga agama, Konfusiusme,
Budhisme, dan Shinto, maka mudah dipahami jika di Jepang dapat ditemukan
derajat toleransi antaragama sangat tinggi. Keempat, urbanisasi di Jepang telah
mempengaruhi proses sekularisasi agama-agama, yang pada gilirannya
menyebabkan adanya penghargaan dan spirit yang tinggi pada kehidupan dunia
ini, khususnya pada pedagang perkotaan dan cendikiawan Konfusianisme.
Kelima, bahwa agama-agama baru yang begitu banyak muncul setelah Perang
Dunia II, yang biasanya didirikan oleh pemimpin kharismatik yang diikuti oleh
banyak pengikut, telah mampu menumbuhkan berbagai perlengkapan keagamaan
baru pada lapisan masyarakat yang juga memeluk agama Shinto, Budha, Nasrani,
dan Konfusius. Terakhir, dengan mengamati tumbuhnya kembali agama-agama
rakyat, Davis menyatakan bahwa keajaiban dan keajaiban sama sekali tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip “rasionalitas” pada masyarakat industri
modern.
Jika Davis telah mencoba menguji hubungan keterkaitan antara agama,
masyarakat, dan ekonomi di Jepang. Maka Huntington hendak mencoba secara
komprehensif menyampaikan penjelasannya tentang berbagai faktor pokok yang
secar kritis bertanggung jawab terhadap pembangunan demokrasi politik di negara
Dunia Ketiga.
Huntington : Demokrasi di Negara Dunia Ketiga
Huntington membedakan dua faktor yakni, pertama, prakondisi yang
diperlukan untuk pembangunan demokrasi dan kedua, proses politik yang
diperlukan untuk terjadinya pembangunan demokrasi.
Prakondisi Demokrasi
Di samping faktor kemakmuran ekonomi dan pemerataan kekayaan,
Huntington juga menyebut beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, yakni
struktur sosial, lingkungan eksternal dan konteks budaya.
Dalam mencoba melakukan rekonsiliasi dari fakta-fakta yang seakan-akan
bertentangan satu sama lain, Huntington mengajukan konsep tentang wilayah
(zona) transisi. Jika satu negara telah berkembang secara ekonomis, maka negara
tersebut secara perlahan bergerak ke wilayah trasnsisi yang padanya yang terlihat,
bahwa pranata politik tradisional semakin sulit untuk dipertahankan. Struktur
sosial merupakan faktor kedua yang diperhatikan oleh Hutington. Huntington
memberikan tekanan pada pentingnya peranan kelompok borjuis yang otonom.
Lingkungan internasional merupakan faktor ketiga yang diperhatikan oleh
Hutington. Dalam hal ini, Hutington secara ringkas menyatakan bahwa
demokratisasi lebih merupakan hasil proses difusi dibanding sebagai akibat
pembangunan, yang sebagian besar tumbuh karena pengaruh Inggris. Dan
Amerika Serikat melalui proses pendudukan. Namun demikian, Huntington juga
menyatakan bahwa pada beberapa regional tertentu, kecendrungan regional juga
nampak ke permukaan. Konteks budaya merupakan faktor keempat yang diulas
oleh Hutington. Dengan menguji hubungan antara agama dan budaya politik
politik, Hutington nampaknya menemukan kenyataan bahwa Protestanisme
memiliki korelasi yang tinggi dengan demokrasi, sementara Katolikisme hanya
memiliki korelasi moderat, dan dalam batas-batas tertentu sering menggangu
pertumbuhan demokrasi.
Proses Demokratisasi
Huntington membahas tiga model utama proses demokratisasi. Pertama,
yaitu model linier, yang dirumuskannya dari pengujian proses munculnya
demokrasi di Inggris dan Swedia . Dalam kasus Inggris, demokratisasi dimulai
dari munculnya hak-hak sipil yang berkembang menuju munculnya hak politik.
Namun demikian, menurut Huntington, terlihat juga model siklus, yakni model
yang menunjukkan adanya pergantian secara teratur dari munculnya demokrasi
dan despotisme. Model ini nampaknya merupakan model yang paling sering
dijumpai di Amerika Latin. Huntington menyebut pola terakhirnya sebagai model
dialektis. Pada model ini, kelas menengah di perkotaan yang semakin besar dan
semakin berkualitas telah mendesakkan kepentingan politiknya kepada
pemerintahan yang otoriter untuk mulai terlibat dalam partisipasi politik dan
pembagian kekuasaan.
Teori Modernisasi Baru
Sejarah Lahirnya
Pendekatan depedansi pertama kali muncul di Amerika Latin. Pada awal
kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang
dijalankan oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika
Latin pada awal 1960-an.
Warisan Pemikiran
Proses perumusan kerangka teori dari perspektif depedensi, yang pada
mulanya merupakan paradigma pembangunan yang khas Amerika Latin, berkaitan
erat dengan KEPBBAL. Dengan apa yang dikenal sebagai “Manifesto
KEPBBAL”, Prebisch ketua KEPBBAL, memberikan kritik tentang keusangan
konsep pembagian kerja internasional. Menurut skema IDL, Amerika Latin akan
lebih banyak memperoleh keuntungan jika disalah satu pihak, ia lebih
memfokuskan pada upaya memproduksi bahan pangan dan bahan mentah yang
diperlukan oleh negara-negara industri.
Sejak awal garis kebijaksaan KEPBBAL ini diterima dengan tidak antusias
oleh pemerintah Amerika Latin. Keengganan ini merupakan salah satu sebab
utama mengapa KEPBBAL tidak mampu merealisasikan beberapa gagasan
lainnya yang lebih radikal, diantaranya termasuk program pembagian tanah
kembali (land perform). Sayangnya, program KEPBBAL ini tidak berhasil.
Kegagalan dari program KEPBBAL yang moderat ini mendorong teori depedensi
untuk merumuskan pemikiran pada program-program yang lebih radikal, yang
hendak dijelaskan pada bagian berikut ini, setelah terlebih dahulu disampaikan
secara singkat tentang teori neo-Marxis ortodoks yang juga memiliki andil dalam
perumusan tesis-tesis teori depedensi.
Neo Marxisme
Teori depedensi juga memiliki warisan pemikiran dari neo-Marxisme.
Keberhasilan Revolusi Cina dan Kuba telah membantu tersebarnya perpaduan
baru pemikiran-pemikiran Marxisme di universitas-universitas di Amerika Latin,
yang kemudian menyebabkan lahirnya generasi baru, yang dengan lantang
menyebut dirinya sendiri sebagai “Neo-Marxisme” menurut Foster-Carter, neo-
Marxisme berbeda dengan Marxisme ortodoks. Tradisi neo-Marxisme akan
banyak memberikan sumbangan pada pembentukan konsep-konsep utama teori
depedensi klasik dalam memberikan kritik terhadap program KEPBBAL dan teori
modernisasi.
Frank : Pembangunan dan Keterbelakangan
Frank memulai menjelaskan terlebih dahulu memberikan kritik kepada teori
modernisasi. Menurut Frank, sebagian besar kategori teoritis dan implikasi
kebijaksanaan pembangunan yang ditemukan di dalam teori modernisasi
merupakan hasil sulingan dan saringan pengalaman kesejarahan negara-negara
kapitalis maju di Eropa Barat dan Amerika Serikat Utara.
Teori modernisasi memiliki kekurangan karena ia hanya memberikan
penjelasan “faktor dalam” sebagai penyebab pokok keterbelakangan Dunia
Ketiga. Teori ini memiliki asumsi, bahwa ada sesuatu yang salah di dalam negara
Dunia Ketiga itu sendiri yang menjadikannya tidak berkembang.
Menurut Frank, negara Dunia Ketiga tidak akan dapat dan tidak perlu
mengikuti arah pembangunan negara-negara Barat, karena mereka memiliki
pengalaman kesejarahan yang berbeda, yang negara Barat tidak pernah merasakan
sebelumnya.
Frank juga merumuskan apa yang dikenal dengan model satelit-metropolis
(a metropolis-satellite model) untuk menjelaskan bagaimana mekanisme
ketergantungan dan keterbelakangan negara Dunia Ketiga mewujud.
Dos Santos: Struktur Ketergantungan
Teori imperialisme memberikan perhatian utama pada ekspansi dominasi
kekuatan imperialis. Pendekatan depedensi memiliki keprihatinan yang sam,
tetapi dengan sudut pandang berbeda. Teori depedensi lebih memfokuskan diri
pada persoalan pembangunan Dunia Ketiga.
Dos Santos merumuskan bahwa hubungan dua negara atau lebih
“mengandung bentuk ketergantungan jika beberapa negara (yang dominan dapat
berkembang dan memiliki otonomi dalam pembangunannya, sementara negara
lainnya (yang tergantung) dapat melakukan hal serupa hanya sekadar merupakan
refleksi perkembangan negara dominan….”
Lebih lanjut, Dos Santos menyatakan bahwa hubungan antara dominan
(dominant countries) dengan negara tergantung (dependent countries) merupakan
hubungan yang tidak sederajat (setara), karena pembangunan di negara dominan
terjadi atas biaya yang dibebankan kepada negara tergantung.
Dalam konteks ini, Dos Santos melihat batasan struktural upaya
pembangunan industri di negara Dunia ketiga. Pertama, pembangunan industri
akan tergantung pada kemampuan sektor ekspor. Hanya dengan ekspor Negara
Dunia Ketiga memperoleh devisa yang hendak digunakan sebagai dana untuk
membeli barang-barang modal yang merupakan salah satu masukan terpenting
pembangunan industrinya. Kedua, akibat lebih jauh dari ketergantungan pada
perolehan devisa, pembangunan industri di negara Dunia Ketiga akan sangat
dipengaruhi oleh fluktuasi neraca pembayaran internasional, yang cenderung
untuk defisit. Ketiga, pembangunan industri juga sangat dipengaruhi oleh
monopoli teknologi negara maju. Pada satu pihak, perusahaan transnasional tidak
sebegitu mudah untuk menjual mesin, teknologi, dan proses pembuatan bahan
mentah menjadi produk jadi.
Amin : Teori Peralihan Kapitalisme Pinggiran
Teori peralihan kapitalisme pinggiran Amin mengandung berbagai
pernyataan pokok sebagai berikut. Pertama, perlihan kapitalisme pinggiran
berbeda secara mendasar dengan peralihan kapitalisme pusat. Perubahan gencar
dan radikal dari luar yang dibawa oleh kapitalisme pusat terhadap formasi
prakapitalis telah mengakibatkan berbagai dampak kemunduran. Kedua,
kapitalisme pinggiran dicirikan oleh tanda-tanda ekstraversi (ekstraversion), yakni
distorsi atas kegiatan-kegiatan usaha yang mengarah pada upaya ekspor.
“ekstraversi bukan sebagai akibat dari ketidakmampuan pasar dala negeri tetapi
lebih disebabkan oleh superioritas produksi dari negara-negara sentral dalam
hampir segala bidang. Ketiga, bentuk distorsi lain adalah apa yang dikenal dengan
istilah hipertropi (Hypertropy) pada sektor tersier di negara pinggiran. Pada
negara-negara sentral, hipertropi (peningkatan tenaga kerja yang menyolok) pada
sektor tersier merupakan refleksi kesulitan untuk menghasilkan surplus ekonomi
pada tata ekonomi kapitalis sudah monopolistik. Keempat, teori efek pengadaan
investasi (multiplier effects of investments) tidak dapat diterapkan secara mekanis
pada negara pinggiran. Pada negara sentral yang telah menganut tata ekonomi
kapitalis yang monopolistik, teori efek pengadaan Keynesian dapat bekerja
hampir secara sempurna. Kelima, amin mengingatkan untuk mencampuradukkan
ciri-ciri struktur negara terbelakang dengan negara-negara maju pada waktu
negara maju tersebut berada dalam tahap permulaan perkembangannya. Keena,
keseluruhan profil kontradiksi struktural yang telah disebut terdahulu
menyebabkan adanya ganjalan yang tak terhindarkan, yang menghalangi
terjadinya pertumbuhan di negara pinggiran. Terakhir, bentuk khusus keadaan
keterbelakangan negara kapitalis pinggiran dipengaruhin oleh karakteristikformasi
sosial pada masa kapitalisnya. Proses serta periode kapan negara pinggiran
tersebut terintegrasi dalam sistem ekonomi kapitalis dunia.
Asumsi Dasar Teori Depedensi Klasik
Para pendukung berasal dari berbagai disiplin ilmu sosial, mereka
mempelajari berbagai negara di Amerika Latin maupun negara di belahan benua
yang lain, dana mereka memiliki komitmen politik dan ideologi yang berlainan.
Para penganut aliran dpedensi cenderung memiliki asumsi dasar sebagai
berikut. Pertama, keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang
sangat umum, berlaku bagi seluruh negara Dunia Ketiga. Teori depedensi
berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di Dunia
Ketiga sepanjang sejarah perkembangan kapitalisme dari abad ke-16 sampai
sekarang. Kedua, ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh
“faktor luar”. Sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya tidak
terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat
wiraswasta, melainkan terletak berada di luar jangkauan politik ekonomi dalam
negeri suatu negara. Ketiga, permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya
sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi dari
negara Dunia Ketiga ke negera maju. Keempat, situasi ketergantungan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global.
Kelima, keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak
bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori depedensi, pembangunan di
negara pinggiran mustahil terlaksana. Teori depedensi berkeyakinan bahwa
pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak
mungkin dalam situasi yang terus-menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi
ke negara maju.
Implikasi Kebijaksanaan Teori Depedensi Klasik
Secara filosofis, teori depedensi mengkehendaki untuk meninjau kembali
pengertanian “pembangunan”. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk
diartikan sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output) dan
peningkatan produktivitas. Bagi teori depedensi, pembangunan lebih tepat
diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di negara Dunia
Ketiga.
Teori depedensi menyadari sepenuhnya, bahwa para penguasa yang telah
mapan, pemilik modal besar, petani kaya dan tuan tanah, para pemimpin
organisasi keagamaan, pemimpin informal masyarakat, serta para elite yang lain
kemungkinan besar tidak akan menyetujui kebijaksanaan pembangunan yang
mencoba untuk memutuskan hubungan dengan negara maju yang selama ini telah
terbina dengan baik. Kebanyakan penganut teori depedensi berpendapat, bahwa
revolusi sosialis mungkin diperlukan dan tak dapat dihindari. Pembangunan
memerlukan penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dan sekaligus
mobilisasi kekuatan kekuatan domestik untuk upaya pencapaian tujuan-tujuan
nasional. Dengan kata lain, penindasan asing yang cenderung untuk mendukung
kemapanan perlu dihilangkan, dan dan diganti oleh suasana pembangunan yang
sosialistik.
BAB 6
HASIL KAJIAN TEORI DEPEDENSI KLASIK
BAB 7
TEORI DEPEDENSI BARU
Dalam kajian tentang Indonesia untuk periode permulaan Orde Baru (1966-
1971), Mas’oed menggunakan konsep NBO O’Donnell dan menggabungkannya
dengan konsep korporatisme. Lahirnya kembali bentuk negara otoriter di
Indonesia pada awal Orde Baru, menurut Mas’oed, pertama, disebabkan oleh
krisis ekonomi dan politik yang masih terjadi pada pertengahan tahun 1960-an.
Struktur politik yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya memiliki kecenderungan
untuk memberikan kekuasaan yang berlebihan pada pemerintah. Kedua, Mas’oed
menyebutkan bahwa koalisi intern Orde Baru yang memaksa untuk segera
memerlukan restrukturisasi ekonomi secara radikal. Ketiga, orientasi ekonomi ke
luar yang dirumuskan oleh Orde Baru pada masa akhir tahun 1960-an dan
berlanjut 1970-an merupakan salah satu faktor yang mendesak pemerintah
memilih NBO.
Kekuatan Teori Depedensi Baru
Teori depedensi baru telah mengubah berbagai asumsi dasar yang dimiliki
oleh teori depedensi klasik. Teori depedensi baru tidak lagi menganggap situasi
ketergantungan sebagai sesuatu keadaan yang berlaku umum dan memiliki
karakteristik yang serupa tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Lebih dari itu,
teori depedensi baru ini tidak memberlakukan situasi ketergantungan semata
sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional
dan keterbelakangan.
Tabel. Teori Depedensi Klasik dan Baru
Teori Depedensi Klasik Teori Depedensi Baru
Persamaan
Pokok Perhatian Negara Dunia Ketiga sama
Level Analisa Nasional sama
Konsep Pokok Sentral-Pinggiran sama
Implikasi Ketergantungan
Kebijaksanaan Ketergantungan Bertolak sama
Belakang dengan
Pembangunan
Perbedaan
Metode Abstrak Pola Umum Historis-struktural
Ketergantungan situasi konkrit
ketergantungan
Faktor Pokok Eksternal Kolonialisme Internal negara dan
dan Ketidakseimbangan konflik kelas
nilai tukar
Ciri Politik Phenomena ekonomis Phenomena Sosial
Ketergantungan
Pembangunan dan Bertolak belakang : Koeksistensi:
Ketergantungan hanya menuju pada Pembangunan yang
keterbelakangan bergantung
Sejarah Lahirnya
Setelah Amerika Serikat menjadi salah satu kekuatan dominan dunia, ilmu
sosialnya mulai tertarik mempelajari persoalan pembangunan negara Dunia
Ketiga. Ini kemudian melahirkan teori modernisasi. Setelah kegagalan
pelaksanaan program-program modernisasi di Amerika Serikat pada tahun 1960-
an telah membidani lahirnya teori neo-Marxis depedensi. Pada pertengahan
pertama tahun 1970-an lahir ajaran baru sekelompok pemikir pembangunan yang
dipimpin oleh Immanuel Wallerstein muncul dengan gagasan barunya yang
radikal dengan menunjuk bahwa banyak peristiwa sejarah di dalam tata ekonomi-
kapilatis dunia ini yang menurut mereka tidak dapat dijelaskan oleh kedua
perpektif pembangunan, khususnya teori depedensi, baik klasik maupun temporer.
Dalam rangka untuk memikirkan ulang dan menganalisa persoalan-
persoalan krisis yang muncul dalam tata ekonomi dunia mengembangkan pada
dua dekade terakhir ini, Wallerstein dan pengikutnya mengembangkan satu
perspektif pembangunan baru, yang mereka sebut sebagai perspektif sistem dunia
(the world-system perspketive) atau dapat juga disebut sebagai ajaran sistem
ekonomi-kapitalis dunia.
Warisan Pemikiran
Menurut Kaye, perspketif yang dirumuskan Wallerstein ini lahir dengan
cara mengambil intisari dan menyerap pola pikir dari dua tradisi pemikiran yang
dahulu ada, yakni pola pikir pembangunan negara Dunia Ketiga Neo-Marxis dan
ajaran “Annales” Perancis.
Wallerstein banyak dipengaruhi oleh tradisi kajian persoalan pembangunan
Neo-Marxis. Sebagai contoh dalam perumusan teorinya Wallerstein banyak
mengambil berbagai konsep yang dimiliki oleh teori depedensi. Namun demikian,
pada tahap berikutnya, penjelasannya bergerak dan berbeda jauh dengan apa yang
menjadi bidang garapan dan keprihatinan teori depedensi maupun neo-Marxisme.
Perubahan orientasi ini mengingat adanya pengaruh yang kuat dari Fernand
Braudel dan ajaran Annales Perancis dalam konsep-konsep yang dirumuskan oleh
Wellerstein.
Metodologi
Bagi Wallerstein, perspektif sistem dunia bukan merupakan teori, tetapi
“sebuah protes melawan kecenderungan terbentuknya struktur pemahaman dan
pengkajian ilmu sosial sejak dari lahirnya pada pertengahan abad ke-19.”
Wallerstein memberikan kritik tentang tumbuh suburnya suatu metode pengkajian
ilmiah, yang sekedar “menutup tanpa menggali” banyak persoalan penting, tetapi
juga ketidakmampuannya “untuk menjelaskan secara rasional berbagai
kemungkinan pilihan sejarah yang pernah muncul pada masa lalu.
Pembagian Disiplin dalam Ilmu Sosial
Dalam mode pengkajian ilmiah tradisional, “ilmu sosial terbagi atas
berbagai disiplin yang secara intelektual merupakan pengolompokan yang dapat
diterima oleh akal sehat dari berbagai persoalan, yang memang berbeda satu sama
lain. Dalam hal ini, sebelumnya Wallerstein memberikan jawabannya dan
mengajukan pertanyaan yang radikal yakni, apakah disiplin ilmu dapat dibagi,
dipisahkan dan dibedakan secara jelas. Menurutnya pembagian dan pembedaan
ilmu sosial seperti ini dirumuskan dengan berdasarkan ideologi liberal yang
mendominasi abad ke-19.
BAB 9
HASIL KAJIAN GLOBAL TEORI SISTEM DUNIA