Anda di halaman 1dari 30

Wetri Yanti

1820712002
Teori-Teori Ilmu Sosial
BAB 4
HASIL KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI

Pada akhir dekade 1970-an, ketika tinggi tegangan perdebatan antar


berbagai perspektif pokok pembangunan mulai menurun, hasil kajian baru teori
modernisasi mulai menampakkan diri. Tidak berbeda dengan hasil penelitian teori
modernisasi klasik, hasil kajian baru ini juga memiliki pokok perhatian pada
persoalan pembangunan negara Dunia Ketiga. Namun demikian juga terdapat
beberapa perbedaan yang cukup berarti antara hasil kajian baru teori modernisasi.
Jika pada dekade 1960-an mereka berada pada posisi bertahan, kini pemerhati dan
pengikut setia teori modernisasi lebih berada pada posisi menyerang. Hasil kajian
baru ini dalam batas-batas tertentu yang berarti berbeda dengan teori modernisasi
klasik dalam beberapa landas berpijak sebagai berikut : Pertama, hasil kajian baru
teori modernisasi ini sengaja menghindari untuk memperlakukan nilai-nilai
tradisional dan modern sebagai dua perangkat sistem nilai tersebut bukan saja
dapat saling mewujud berdampingan, tetapi bahkan dapat saling mempengaruhi
satu sama lain. Kedua, secara metodologis, kajian baru ini juga berbeda. Hasil
kajian baru ini tidak lagi bersandar teguh pada analisa yang abstrak dan tipologi,
tetapi lebih cenderung untuk memberikan perhatian yang seksama pada kasus-
kasus nyata. Hasil kajian baru ini tidak lagi melupakan unsur keunikan sejarah.
Sejarah sering dianggap sebagai faktor yang signifikan untuk menjelaskan pola
perkembangan dari satu negara tertentu. Bahkan dalam kajian kasus-kasus yang
mendalam sering dijumpai dibantu dengan analisa dari perspektif studi
bandingnya. Ketiga, sebagai akibat dari perhatiannya terhadap sejarah dan analisa
kasus nyata, hasil kajian baru teori modernisasi tidak lagi memiliki anggapan
tentang gerak satu arah pembangunan yang menjadikan Barat sebagai satu-
satunya model. Terakhir, hasil kajian baru teori modernisasi ini lebih memberikan
perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dibanding pada masa
sebelumnya.

Tabel. Perbandingan antara Teori Modernisasi Klasik dan Teori


Modernisasi Baru
Teori Modernisasi Teori
Klasik Modernisasi Baru
Persamaan
Keprihatinan Negara Dunia Ketiga Sama
Tingkat AnalisaNasional Sama
Variable Pokok Faktor Internal : nilai-nilai Sama
budaya pranata sosial
Konsep Pokok Tradisional dan Modern Sama
Implikasi Modernisasi memberikan Sama
Kebijaksanaan manfaat positif
Perbedaan
Tradisi Sebagai Penghalang Faktor Positif
Pembangunan
Metode Kajian Abstrak dan Konstruksi Studi Kasus dan
Tipologi Analisa Sejarah
Arah Garis Lurus dan Berarah dan
Pembangunan Menggunakan USA sebagai Bermodel Banyak
model
Faktor Ekstrem Tidak Memperhatian Lebih
dan Konflik Memperhatian

Hasil kajian baru teori modernisasi ini mampu menemukan berbagai arena
penelitian baru. Penelitian Wong tentang pengaruh familisme terhadap sikap dan
berkembangnya wiraswasta di Hongkong disajikan pada urutan pertama.
Wong : Familisme dan Kewiraswastaan
Dalam literatur modernisasi klasik, pranata famili di Cina dilihatnya sebagai
kekuatan dahsyat tradisional yang menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin
kerja, menghalangi proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif
individual untuk investasi, menghalangi tumbuhnya proses berpikir rasional dan
merintangi tumbuhnya norma-norma bisnis universal. Namun, bagi Wong,
pernyataan ini berlebihan. Pertama, Wong menunjuk adanya praktik manajemen
paternalistik di banyak badan usaha di Hongkong. Di industri tersebut ditemukan
praktik manajemen yang memiliki tata pengendalian dan pengawasan manajemen
yang ketat, sementara di sisi lain praktik manajemen ini sama sekali tidak
mengenal apa yang disebut dengan pendelegasian wewenang dan kekuasaan.
Kedua, nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan
berbagai badan usaha Hongkong. Wong melihat, bahwa kebanyakan etnis Cina
hanya akan meminta bantua tenaga kerja keluarga saat-saat yang amat kritis, dan
hubungan kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari
keseluruhan personalia pada perusahaan yang menganut nepotisme. Namun
demikian, dilain pihak, pada perusahaan-perusahaan kecil, anggota utama
keluarga dan sanak-keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan
cakap. Ketiga, adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan
usaha etnis Cina di Hongkong. Pada tahun 1978, kurang lebih 60% dari jumlah
perusahaan kecil dimiliki oleh pemilikan individual dan keluarga mereka. Dalam
konteks ini, bahwa prinsip garis keturunan patrilinial telah menghasilkan satu-
satuan unit keluarga pekerja yang damai, bijak, dan abadi yang pada gilirannya
sangat membantu pengaturan sumber daya ekonomi mereka.
Menurut Wong, ada tiga karakteristik pokok dari etos usaha keluarga.
Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan,
tetapi saat yang sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan
struktur organisasi. Kedua, otonomi dihargai sangat tinggi dan bekerja secara
mandiri lebih disukai. Bentuk ideal yang diinginkan dari hubungan manajer dan
pekerja sepertinya mereka berdua menjadi satu kesatuan. Ketiga, usaha keluarga
jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi tidak stabil.
Dan disamping itu, bentuk badan usaha keluarga yang demikian akan jarang
terlibat dalam usaha-usaha kolusi, karena adanya penghargaan yang tinggi dan
penjagaan yang ketat pada sifat otonomi.
Dove : Budaya Lokal dan Pembangunan di Indonesia
Kerangka Teoritis hasil kajian Dove dan kawan-kawannya ini hendak
mencoba melihat interaksi antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia
dan aneka ragam budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Pesan utama yang
hendak disampaikan Dove terlihat pada kerangka teoritis yang dipilihnya. Dove
dengan tidak ragu-ragu menyatakan bahwa tradisional tidak harus berari
terbelakang. Baginya, budaya nasional sangat dan selalu terkait dengan proses
perubahan ekonomi, sosial dan juga politik dari masyarakat pada tempat mana
budaya tradisional tersebut melekat. Bagi Dove, budaya tradisional selalu
mengalami perubahan yang dinamis, dan oleh karena itu budaya tradisional tidak
mengganggu proses pembangunan.
Agama tradisional dalam pandangan agen pembangunan Indonesia terhadap
agama-agama tradisional yang dipeluk kebanyakan suku-suku tersasing di luar
Jawa. Disamping kenyataan bahwa agama tradisional juga dipandang sebagai
agama inferior dan tidak memiliki status formal. “Sistem kepercayaan tradisional
Indonesia ini memiliki bobot yang cukup untuk disebut sebagai agama, dan secara
empiris, sistem kepercayaan tradisional ini mengandung sistem ilmu pengetahuan
tentang dunia yang valid.”
Sikap negatif pemerintah Indonesia tidak hanya terlihat pada pandangannya
tentang sistem kepercayaan tradisional, tetapi juga pada penilaian terhadap sistem
ekonomi tradisional, seperti misalnya apa yang disebut dengan pertanian ladang,
usaha mengumpulkan sagu, dan usaha bertani berpindah-pindah. Pada dasarnya,
pemerintah Indonesia melihat ketiga jenis usaha ekonomis tersebut sebagai usaha
yang tidak efisien, dan karena itu tidak dapat dikembangkan lebih jauh untuk
keperluan mendukung proses modernisasi, dan jika demikian halnya maka tidak
ada manfaat ekonomis yang diperoleh untuk mempertahankan model usaha
ekonomi tersebut. Namun, hasil kajian dalam buku ini menunjukkan hal yang
sebaliknya. Ketiga bentuk usaha ekonomi tradisional tersebut memberikan
manfaat fungsional terhadap masyarakat pendukungnya. Contohnya bagi petani
Bima di Sumbawa.
Peran nilai-nilai tradisional dalam menjaga lingkungan hidup dan
mendorong penggunaan sumber daya alam secara terjaga kurang mendapat
perhatian pemerintah. Menurut Dove dan kawan-kawan, usaha pemerintah untuk
menggunakan peraturan-peraturan baru tersebut justru sering tidak berhasil
dengan baik. Penelitian ini menyatakan, bahwa budaya tradisional memiliki peran
positif dalam menjaga lingkungan hidup.
Masyarakat tradisional Indonesia pada dasarnya juga memiliki ciri yang
dinamis. Masyarakat tradisional tersebut selalu memgalami perubahan sosial yang
terus-menerus, sesuai dengan tantangan internal dan kekuatan eksternal yang
mempengaruhinya. Secara ringkas, penelitian Dove dan kawan-kawannya ini
secara cermat hendak menunjukkan bahwa budaya tradisional tidak harus sesllau
ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan.
Davis : Revisi Kajian Agama Jepang dan Teori Barikade
Teori Lintas Gawang
Menurut Davis, Weber telah menawarkan teori lintas gawang, yakni teori
yang menyatakan bahwa pembangunan merupakan seperangkat rintangan panjang
yang melintang sejak dari garis permulaan (masyarakat tradisional) sampai garis
terakhir (masyarakat modern).
Rintangan lintas gawang yang perlu dilewati ini terjadi atas berbagai
macam. Pertama, peserta lomba hendaknya mampu menghilangkan tangan
ekonomis jika hendak mencapai karakteristik dasar kapitalisme, yakni
rasionalitas, sikap hemat, produksi dan pasar yang terus-menerus, dan pasar bebas
tenaga kerja. Kedua, peserta lomba juga diharapkan mampu mengatasi gawang
rintangan sosial politik, yakni menghapus patrimonialisme dan ekonomi
kekeluargaan dengan administrasi organisasi dan pranata hukum yang rasional,
dan pemisahan antara tempat tinggal dan tempat usaha, serta pemisahan antara
kepemilikan pribadi dan pemilikan usaha. Ketiga, peserta lomba juga dihadapkan
pada gawang rintang psikologi. Mereka diharuskan mampu memiliki satu etos
spiritual seperti misalnya “panggilan suci” untuk kerja keras, penolakan nilai-nilai
gaib, dan penumbuhan pandangan hidup tentang ketegangan kreatif antara
ketersediaan menerima kenyataan dunia seperti yang ada dan tuntutan etis untuk
memperbaikinya.
Teori Barikade
Setelah memberikan sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas
gawangnya, Davis, kemudian menawarkan teori barunya, yang disebutnya sebagai
teori barikade. Teori lintas gawang, menurut Davis, pada dasarnya melihat agama
dari sudut pandang peserta lomba modernisasi yang agresif dan berasumsi bahwa
halangan dalam lari lintas gawang ini dengan pasti akan dapat dilalui.
Penulisan Kembali Sejarah Agama di Jepang
Davis berpendapat, bahwa agama di Jepang sama sekali tidak menghalangi
adanya perubahan karena berbagai alasan berikut ini. Pertama, menurut ajaran
Budha, agama sama sekali tidak berusaha dan tidak berbuat sesuatu untuk
mencegah pembangunan yang amat cepat di pedesaan Jepang. Budhisme tidak
memaksakan berlakunya hukum suci terhadap masyarakat yang memerintahkan
untuk menghalangi perubahan. Kedua, karena Shinto tidak memiliki perwalian
gereja yang universal untuk mengawasi secara cermat pelaksanaan ajaran-
ajarannya, Shinto lebih mudah lagi untuk mengizinkan berlakunya proses
modernisasi. Ketiga, karena adanya koeksistensi tiga agama, Konfusiusme,
Budhisme, dan Shinto, maka mudah dipahami jika di Jepang dapat ditemukan
derajat toleransi antaragama sangat tinggi. Keempat, urbanisasi di Jepang telah
mempengaruhi proses sekularisasi agama-agama, yang pada gilirannya
menyebabkan adanya penghargaan dan spirit yang tinggi pada kehidupan dunia
ini, khususnya pada pedagang perkotaan dan cendikiawan Konfusianisme.
Kelima, bahwa agama-agama baru yang begitu banyak muncul setelah Perang
Dunia II, yang biasanya didirikan oleh pemimpin kharismatik yang diikuti oleh
banyak pengikut, telah mampu menumbuhkan berbagai perlengkapan keagamaan
baru pada lapisan masyarakat yang juga memeluk agama Shinto, Budha, Nasrani,
dan Konfusius. Terakhir, dengan mengamati tumbuhnya kembali agama-agama
rakyat, Davis menyatakan bahwa keajaiban dan keajaiban sama sekali tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip “rasionalitas” pada masyarakat industri
modern.
Jika Davis telah mencoba menguji hubungan keterkaitan antara agama,
masyarakat, dan ekonomi di Jepang. Maka Huntington hendak mencoba secara
komprehensif menyampaikan penjelasannya tentang berbagai faktor pokok yang
secar kritis bertanggung jawab terhadap pembangunan demokrasi politik di negara
Dunia Ketiga.
Huntington : Demokrasi di Negara Dunia Ketiga
Huntington membedakan dua faktor yakni, pertama, prakondisi yang
diperlukan untuk pembangunan demokrasi dan kedua, proses politik yang
diperlukan untuk terjadinya pembangunan demokrasi.
Prakondisi Demokrasi
Di samping faktor kemakmuran ekonomi dan pemerataan kekayaan,
Huntington juga menyebut beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, yakni
struktur sosial, lingkungan eksternal dan konteks budaya.
Dalam mencoba melakukan rekonsiliasi dari fakta-fakta yang seakan-akan
bertentangan satu sama lain, Huntington mengajukan konsep tentang wilayah
(zona) transisi. Jika satu negara telah berkembang secara ekonomis, maka negara
tersebut secara perlahan bergerak ke wilayah trasnsisi yang padanya yang terlihat,
bahwa pranata politik tradisional semakin sulit untuk dipertahankan. Struktur
sosial merupakan faktor kedua yang diperhatikan oleh Hutington. Huntington
memberikan tekanan pada pentingnya peranan kelompok borjuis yang otonom.
Lingkungan internasional merupakan faktor ketiga yang diperhatikan oleh
Hutington. Dalam hal ini, Hutington secara ringkas menyatakan bahwa
demokratisasi lebih merupakan hasil proses difusi dibanding sebagai akibat
pembangunan, yang sebagian besar tumbuh karena pengaruh Inggris. Dan
Amerika Serikat melalui proses pendudukan. Namun demikian, Huntington juga
menyatakan bahwa pada beberapa regional tertentu, kecendrungan regional juga
nampak ke permukaan. Konteks budaya merupakan faktor keempat yang diulas
oleh Hutington. Dengan menguji hubungan antara agama dan budaya politik
politik, Hutington nampaknya menemukan kenyataan bahwa Protestanisme
memiliki korelasi yang tinggi dengan demokrasi, sementara Katolikisme hanya
memiliki korelasi moderat, dan dalam batas-batas tertentu sering menggangu
pertumbuhan demokrasi.
Proses Demokratisasi
Huntington membahas tiga model utama proses demokratisasi. Pertama,
yaitu model linier, yang dirumuskannya dari pengujian proses munculnya
demokrasi di Inggris dan Swedia . Dalam kasus Inggris, demokratisasi dimulai
dari munculnya hak-hak sipil yang berkembang menuju munculnya hak politik.
Namun demikian, menurut Huntington, terlihat juga model siklus, yakni model
yang menunjukkan adanya pergantian secara teratur dari munculnya demokrasi
dan despotisme. Model ini nampaknya merupakan model yang paling sering
dijumpai di Amerika Latin. Huntington menyebut pola terakhirnya sebagai model
dialektis. Pada model ini, kelas menengah di perkotaan yang semakin besar dan
semakin berkualitas telah mendesakkan kepentingan politiknya kepada
pemerintahan yang otoriter untuk mulai terlibat dalam partisipasi politik dan
pembagian kekuasaan.
Teori Modernisasi Baru

Kembali Ke Peran Nilai Tradisional


Dengan dibimbing oleh konsep-konsep baru seperti misalnya “usaha
familisme”, dan “teori barikade”, dan “ budaya lokal”, teori modernisasi telah
secara lebih cermat mengamati apa yang disebut berinteraksi dengan nilai Barat,
serta apa peran yang dapat dilakukan oleh nilai tradisional untuk menunjukkan
peran negatif nilai tradisional, untuk menunjang proses modernisasi. Dalam kasus
Indonesia, Dove dan kawan-kawan melihat bahwa budaya tradisional merupakan
sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan.
Kembali ke Sejarah
Teori modernisasi baru ini juga menggunakan metode kajian yang berbeda.
Teori modernisasi ini tidak lagi mengandalkan analisa konstruksi tipologi dan
analisa abstrak. Teori modernisasi baru membawa kembali peran analisa sejarah,
dan oleh karena itu lebih memberikan perhatian pada keunikan dari setiap kasus
pembangunan yang dianalisa. Davis mencoba kembali menulis sejarah agama di
Jepang dengan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap hubungan
koeksistensi damai dan kerja sama antara agama rakyat dan industriliasasi
modern.
Analisa Mutakhir
Teori modernisasi baru secara sadar menghindari untuk menyajikan analisa
dan pernyataan yang simplisistik, dan mengandalkan analisa pada satu variabel.
Perhatiannya lebih ditujukan untuk mengamati dan menganalisa secara serentak
dan simultan terhadap berbagai pranata sosial yang ada (sosial, budaya, ekonomi,
dan politik), berbagai kemungkinan arah pembangunan, dan interaksi antara faktor
internal dan eksternal.
BAB 5
TEORI DEPEDENSI KLASIK

Sejarah Lahirnya
Pendekatan depedansi pertama kali muncul di Amerika Latin. Pada awal
kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang
dijalankan oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika
Latin pada awal 1960-an.
Warisan Pemikiran
Proses perumusan kerangka teori dari perspektif depedensi, yang pada
mulanya merupakan paradigma pembangunan yang khas Amerika Latin, berkaitan
erat dengan KEPBBAL. Dengan apa yang dikenal sebagai “Manifesto
KEPBBAL”, Prebisch ketua KEPBBAL, memberikan kritik tentang keusangan
konsep pembagian kerja internasional. Menurut skema IDL, Amerika Latin akan
lebih banyak memperoleh keuntungan jika disalah satu pihak, ia lebih
memfokuskan pada upaya memproduksi bahan pangan dan bahan mentah yang
diperlukan oleh negara-negara industri.
Sejak awal garis kebijaksaan KEPBBAL ini diterima dengan tidak antusias
oleh pemerintah Amerika Latin. Keengganan ini merupakan salah satu sebab
utama mengapa KEPBBAL tidak mampu merealisasikan beberapa gagasan
lainnya yang lebih radikal, diantaranya termasuk program pembagian tanah
kembali (land perform). Sayangnya, program KEPBBAL ini tidak berhasil.
Kegagalan dari program KEPBBAL yang moderat ini mendorong teori depedensi
untuk merumuskan pemikiran pada program-program yang lebih radikal, yang
hendak dijelaskan pada bagian berikut ini, setelah terlebih dahulu disampaikan
secara singkat tentang teori neo-Marxis ortodoks yang juga memiliki andil dalam
perumusan tesis-tesis teori depedensi.
Neo Marxisme
Teori depedensi juga memiliki warisan pemikiran dari neo-Marxisme.
Keberhasilan Revolusi Cina dan Kuba telah membantu tersebarnya perpaduan
baru pemikiran-pemikiran Marxisme di universitas-universitas di Amerika Latin,
yang kemudian menyebabkan lahirnya generasi baru, yang dengan lantang
menyebut dirinya sendiri sebagai “Neo-Marxisme” menurut Foster-Carter, neo-
Marxisme berbeda dengan Marxisme ortodoks. Tradisi neo-Marxisme akan
banyak memberikan sumbangan pada pembentukan konsep-konsep utama teori
depedensi klasik dalam memberikan kritik terhadap program KEPBBAL dan teori
modernisasi.
Frank : Pembangunan dan Keterbelakangan
Frank memulai menjelaskan terlebih dahulu memberikan kritik kepada teori
modernisasi. Menurut Frank, sebagian besar kategori teoritis dan implikasi
kebijaksanaan pembangunan yang ditemukan di dalam teori modernisasi
merupakan hasil sulingan dan saringan pengalaman kesejarahan negara-negara
kapitalis maju di Eropa Barat dan Amerika Serikat Utara.
Teori modernisasi memiliki kekurangan karena ia hanya memberikan
penjelasan “faktor dalam” sebagai penyebab pokok keterbelakangan Dunia
Ketiga. Teori ini memiliki asumsi, bahwa ada sesuatu yang salah di dalam negara
Dunia Ketiga itu sendiri yang menjadikannya tidak berkembang.
Menurut Frank, negara Dunia Ketiga tidak akan dapat dan tidak perlu
mengikuti arah pembangunan negara-negara Barat, karena mereka memiliki
pengalaman kesejarahan yang berbeda, yang negara Barat tidak pernah merasakan
sebelumnya.
Frank juga merumuskan apa yang dikenal dengan model satelit-metropolis
(a metropolis-satellite model) untuk menjelaskan bagaimana mekanisme
ketergantungan dan keterbelakangan negara Dunia Ketiga mewujud.
Dos Santos: Struktur Ketergantungan
Teori imperialisme memberikan perhatian utama pada ekspansi dominasi
kekuatan imperialis. Pendekatan depedensi memiliki keprihatinan yang sam,
tetapi dengan sudut pandang berbeda. Teori depedensi lebih memfokuskan diri
pada persoalan pembangunan Dunia Ketiga.
Dos Santos merumuskan bahwa hubungan dua negara atau lebih
“mengandung bentuk ketergantungan jika beberapa negara (yang dominan dapat
berkembang dan memiliki otonomi dalam pembangunannya, sementara negara
lainnya (yang tergantung) dapat melakukan hal serupa hanya sekadar merupakan
refleksi perkembangan negara dominan….”
Lebih lanjut, Dos Santos menyatakan bahwa hubungan antara dominan
(dominant countries) dengan negara tergantung (dependent countries) merupakan
hubungan yang tidak sederajat (setara), karena pembangunan di negara dominan
terjadi atas biaya yang dibebankan kepada negara tergantung.
Dalam konteks ini, Dos Santos melihat batasan struktural upaya
pembangunan industri di negara Dunia ketiga. Pertama, pembangunan industri
akan tergantung pada kemampuan sektor ekspor. Hanya dengan ekspor Negara
Dunia Ketiga memperoleh devisa yang hendak digunakan sebagai dana untuk
membeli barang-barang modal yang merupakan salah satu masukan terpenting
pembangunan industrinya. Kedua, akibat lebih jauh dari ketergantungan pada
perolehan devisa, pembangunan industri di negara Dunia Ketiga akan sangat
dipengaruhi oleh fluktuasi neraca pembayaran internasional, yang cenderung
untuk defisit. Ketiga, pembangunan industri juga sangat dipengaruhi oleh
monopoli teknologi negara maju. Pada satu pihak, perusahaan transnasional tidak
sebegitu mudah untuk menjual mesin, teknologi, dan proses pembuatan bahan
mentah menjadi produk jadi.
Amin : Teori Peralihan Kapitalisme Pinggiran
Teori peralihan kapitalisme pinggiran Amin mengandung berbagai
pernyataan pokok sebagai berikut. Pertama, perlihan kapitalisme pinggiran
berbeda secara mendasar dengan peralihan kapitalisme pusat. Perubahan gencar
dan radikal dari luar yang dibawa oleh kapitalisme pusat terhadap formasi
prakapitalis telah mengakibatkan berbagai dampak kemunduran. Kedua,
kapitalisme pinggiran dicirikan oleh tanda-tanda ekstraversi (ekstraversion), yakni
distorsi atas kegiatan-kegiatan usaha yang mengarah pada upaya ekspor.
“ekstraversi bukan sebagai akibat dari ketidakmampuan pasar dala negeri tetapi
lebih disebabkan oleh superioritas produksi dari negara-negara sentral dalam
hampir segala bidang. Ketiga, bentuk distorsi lain adalah apa yang dikenal dengan
istilah hipertropi (Hypertropy) pada sektor tersier di negara pinggiran. Pada
negara-negara sentral, hipertropi (peningkatan tenaga kerja yang menyolok) pada
sektor tersier merupakan refleksi kesulitan untuk menghasilkan surplus ekonomi
pada tata ekonomi kapitalis sudah monopolistik. Keempat, teori efek pengadaan
investasi (multiplier effects of investments) tidak dapat diterapkan secara mekanis
pada negara pinggiran. Pada negara sentral yang telah menganut tata ekonomi
kapitalis yang monopolistik, teori efek pengadaan Keynesian dapat bekerja
hampir secara sempurna. Kelima, amin mengingatkan untuk mencampuradukkan
ciri-ciri struktur negara terbelakang dengan negara-negara maju pada waktu
negara maju tersebut berada dalam tahap permulaan perkembangannya. Keena,
keseluruhan profil kontradiksi struktural yang telah disebut terdahulu
menyebabkan adanya ganjalan yang tak terhindarkan, yang menghalangi
terjadinya pertumbuhan di negara pinggiran. Terakhir, bentuk khusus keadaan
keterbelakangan negara kapitalis pinggiran dipengaruhin oleh karakteristikformasi
sosial pada masa kapitalisnya. Proses serta periode kapan negara pinggiran
tersebut terintegrasi dalam sistem ekonomi kapitalis dunia.
Asumsi Dasar Teori Depedensi Klasik
Para pendukung berasal dari berbagai disiplin ilmu sosial, mereka
mempelajari berbagai negara di Amerika Latin maupun negara di belahan benua
yang lain, dana mereka memiliki komitmen politik dan ideologi yang berlainan.
Para penganut aliran dpedensi cenderung memiliki asumsi dasar sebagai
berikut. Pertama, keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang
sangat umum, berlaku bagi seluruh negara Dunia Ketiga. Teori depedensi
berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di Dunia
Ketiga sepanjang sejarah perkembangan kapitalisme dari abad ke-16 sampai
sekarang. Kedua, ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh
“faktor luar”. Sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya tidak
terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat
wiraswasta, melainkan terletak berada di luar jangkauan politik ekonomi dalam
negeri suatu negara. Ketiga, permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya
sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi dari
negara Dunia Ketiga ke negera maju. Keempat, situasi ketergantungan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global.
Kelima, keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak
bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori depedensi, pembangunan di
negara pinggiran mustahil terlaksana. Teori depedensi berkeyakinan bahwa
pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak
mungkin dalam situasi yang terus-menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi
ke negara maju.
Implikasi Kebijaksanaan Teori Depedensi Klasik
Secara filosofis, teori depedensi mengkehendaki untuk meninjau kembali
pengertanian “pembangunan”. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk
diartikan sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output) dan
peningkatan produktivitas. Bagi teori depedensi, pembangunan lebih tepat
diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di negara Dunia
Ketiga.
Teori depedensi menyadari sepenuhnya, bahwa para penguasa yang telah
mapan, pemilik modal besar, petani kaya dan tuan tanah, para pemimpin
organisasi keagamaan, pemimpin informal masyarakat, serta para elite yang lain
kemungkinan besar tidak akan menyetujui kebijaksanaan pembangunan yang
mencoba untuk memutuskan hubungan dengan negara maju yang selama ini telah
terbina dengan baik. Kebanyakan penganut teori depedensi berpendapat, bahwa
revolusi sosialis mungkin diperlukan dan tak dapat dihindari. Pembangunan
memerlukan penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dan sekaligus
mobilisasi kekuatan kekuatan domestik untuk upaya pencapaian tujuan-tujuan
nasional. Dengan kata lain, penindasan asing yang cenderung untuk mendukung
kemapanan perlu dihilangkan, dan dan diganti oleh suasana pembangunan yang
sosialistik.

Perbandingan Teori Depedensi dan Teori Modernisasi


Tabel Perbandingan antara Teori Modernisasi Klasik dan Teori Depedensi
Elemen Teori Modernisasi Teori Depedensi
Perbandingan Klasik Klasik
Persamaan
Fokus Perhatian Pembangunan Dunia Sama
(Keprihatinan) Ketiga
Metode Sangat Abstrak Sama
Perumusan model-model
Dwi-kutub Tradisional dan Modern Sentral (metropolis) dan
Struktur Teori (maju) pinggiran (satelit)
Perbedaan
Warisan Teoritis Teori Evolusi dan Program KEPBBAL dan
Fungsionalisme Marxis Ortodoks
Sebab Faktor Dalam Faktor Luar
Keterbelakangan
Hubungan Saling Menguntungkan Merugikan Negara Dunia
Internasional Ketiga
Masa Depan Optimis Pesimis
Dunia Ketiga
Kebijaksanaan Lebih mendekatkan Mengurangi keterkaitan
Pembangunan keterkaitan dengan negara dengan negara sentral
(Pemecahan maju revolusi sosialis
Masalah)

BAB 6
HASIL KAJIAN TEORI DEPEDENSI KLASIK

Baran : Kolonialisme di India


Karya Baran tentang India telah menjadi salah satu karya yang memberikan
penjelasan dasar tentang keadaan dan akibat apa yang hendak dan bahkan harus
terjadi di negara Dunia Ketiga setelah negara tersebut mengalami penjajahan.
Akibat Ekonomi Kolonialisme
Menurut Baran, India merupakan salah satu negara maju di dunia abad ke-
18. “kondisi ekonomi India secara relatif sudah maju, dan usaha perdagangan,
indutri dan cara berproduksinya tidak berbeda dengan yang ada di dunia lain yang
setara di belahan bumi yang lain. Negara yang telah menghasilkan dan
mengekspor kain yang indah dan barang-barang hasil produksi pabrik yang
mewah”. Barang-barang hasil tenun di India tersedia luas di pasar Asia dan Eropa
pada abad tersebut.
Bagi Baran situasi keterbelakangan yang sekarang ada di India disebabkan
oleh “eksploitasi yang sistematis, kasar, sekaligus canggih yang dilaksanakan oleh
pemilik modal Inggris, yang telah dimulai sejak dari awal kolonial Inggris.”
Disamping cara perampasan ini, Inggris juga menemukan cara yang tidak kalah
efektifnya yakni dengan melakukan kebijaksanaan deindustrilisasi India.
Secara ringkas, Baran berpendapat bahwa pemindahan surplus ekonomi dari
India ke Inggris, kebijaksanaan deinsutrilisasi India, dan membanjirnya barang
produksi ke India, serta pemiskinan massal pedesaan India telah menjadi sebab
dan sepenuhnya bertanggung jawab terhadap keterbelakangan India, di satu pihak,
dan membantu pengumpulan akumulasi kapital Inggris, di lain pihak. Namun
demikian, lebih lanjut Baran menjelaskan bahwa kolonialisme Inggris tidak hanya
sekedar memberikan akibat ekonomis, tetapi juga memiliki akibat negatif yang
nyata terhadap politik dan sosial-budaya.
Akibat Politik Dan Budaya
Menurut perspektif depedensi, pemerintah kolonial didirikan dengan tujuan
untuk menjaga stabilitas daerah jajahan, dan untuk menjamin kelancaran
pengambilan bahan mentah yang diperlukan oleh negara penjajah, serta untuk
memberikan kemudahan pengiriman barang yang diproduksi negara penjajah ke
negara pinggiran tersebut. Pemerintahan kolonial tidak akan pernah dibentuk
dengan tujuan untuk membangun ekonomi negara pinggiran.
Dalam rangka menjadikan negara Dunia Ketiga menjadi negara pinggiran,
pemerintahan kolonial tidak segan-segan melakukan praktek kekerasan untuk
membuat penduduk negara jajahan tunduk. Bahkan situasi “damai dan stabil”
yang terlihat di negara jajahan dihasilkan dari tindakan yang represif dan kejam
dari pemrintah kolonial. Setelah penduduk lokal negara jajahan tersebut menjadi
jinak, pemerintah kolonial mulai melakukan rekayasa sosial membuat masyarakat
di negara jajahan tersebut seperti secara sukarela membantu usaha untuk
mencapai kepentingannya.
Secara ringkas, karena politik-ekonomi India telah demikian dalamnya
mengalami restrukturisasi selama lebih dari seabad masa penjajahan Inggris,
Baran menegaskan bahwa tiadanya lagi secara formal pemerintahan kolonial di
India tidak dapat begitu saja menghilangkan akibat sisa peninggalan kolonial.
Landsberg : Tumbuhnya Imperialisme di Asia Timur
Dalam mengamati pelaksanaan dan hasil kebijaksanaan industrialisasi
dengan orientasi ekspor (IOE) di Korea, Taiwan, dan Singapura dan Hongkong.
Landsberg mengajukan pertanyaan tunggal yakni apakah negara-negara ini akan
atau harus dijadikan model pembangunan di Dunia Ketiga. Setelah menguji
konteks sejarah, karakteristik, dan akibat gelombang industrialisasi di wilayah
Asia Timur Landsberg menyimpulkan bahwa IOE hanya merupakan salah satu
bentuk bau dominasi imperialisme, yang akan membawa negara Dunia Ketiga
menjadi negara industri yang tergantung, tidak mandiri.
Konteks Sejarah
Bagi Landsberg, dominasi asing di negara-negara Dunia Ketiga tidak begitu
saja berakhir setelah Perang Dunia II. Baginya, masih banyak faktor yang saling
mengait dan berantai yang menyebakan pembangunan negara Dunia Ketiga
memprihatinkan. Pertama, karena lemahnya dasar-dasar pengembangan industri,
negara Dunia Ketiga dipaksa untuk menggunakan sejumlah devisa yang besar
untuk mengimpor barang konsumsi. Kedua, karena membutuhkan devisa tersebut,
Dunia Ketiga terpaksa mengandalkan pengumpulan dana yang didapat dari ekspor
produk primer seperti gula, the, kopi, karet, rotan, dsb. Ketiga, kurangnya
kemampuan negara Dunia Ketiga untuk mengumpulkan devisa menjadikannya
terjebak dalam lilitan utang luar negeri, yang pada gilirannya akan mempermudah
terjadinya dominasi asing.
Karakteristik IEO : Siapa Mengekspor Kepada Siapa
Landsberg menyebutkan bahwa hanya sedikit Negara Dunia Ketiga yang
mampu menghasilkan sebagian besar barang-barang hasil industri yang diekspor
ke negara maju. Dari sedikit negara pengekspor ini, Landsberg membaginya
dalam dua kategori yaitu, negara Dunia Ketiga pengekspor kategori A meliputi
Brasilia, Meksiko, Argentina, dan India, memiliki karakteristik yang khas.
Sedangkan negara-negara Dunia Ketiga pengekspor yang termasuk kategori B
meliputi Singapura, Hongkong, Korea Selatan, dan Taiwan. Negara kategori ini
memiliki pasar domestik potensial yang kecil, sedikit sumber daya alam,
kebalikan negara kategori A.
Lahirnya IOE
Dalam hal ini, Landsberg juga menyebutkan berbagai alasan mengapa
kebijaksanaan subkontrak internasional tumbuh. Pertama, adanya perluasan pasar,
dalam pengertian wilayah dan daya beli, barang-barang konsumsi di negara maju.
Kedua, adanya peningkatan biaya produksi di negara maju. Sekedar contoh,
sekitar pertengahan tahun 1960-an, para pemilik modal di Amerika dipaksa untuk
mengalah dan memenuhi tuntutan politik dan ekonomi bahkan biaya tenaga kerja
sudah sedemikian tingginya di US. Ketiga, penemuan-penemuan yang
mengagumkan dala bidang teknologi komunikasi dan transpormasi memfasilitasi
pertumbuhan usaha subkontrak internasional. Keempat, usaha subkontrak
internasional ternyata mampu menghasilkan laba yang sangat tinggi. Dengan
usaha subkontrak ini ternyata dapat diperoleh produktivitas yang lebih tinggi.
Terakhir, ternyata negara-negara yang tergabung dalam kelompok B merupakan
negara yang tepat untuk usaha subkontrak. Landsberg menjelaskan bahwa “karena
tenaga kerja merupakan variabel utama” negara miskin nampak lebih menarik.
Akibat IOE
Landsberg berpendapat bahwa IOE hanya sekedar salah satu bentuk baru
dominasi modal internasional, dan oleh sebab itu tidak dapat dijadikan sebagai
model yang khas untuk Pembangunan Negara Dunia Ketiga.
Secara ringkas, Landsberg menyimpulkan bahwa sekalipun IOE “membantu
tumbuhnya industri dan tersedianya lapangan kerja di Dunia Ketiga, strategi IOE
tidak akan mampu menumbuhkan terjadinya akumulasi modal dan pembangunan
ekonomi yang mandiri dan tangguh.
Sritua Arief dan Adi Sasono : Ketergantungan dan Keterbelakangan di
Indonesia
Adi Sasono secara sungguh-sungguh telah mencoba untuk meninjau
kembali pendiriannya tentang keabsahan teori depedensi untuk menguji
pembangunan Indonesia. Sekalipun demikian, ini tidak berarti bahwa hasil kajian
mereka ini tidak lagi relevan.
Arief dan Sasono, berpendapat bahwa sistem tanam paksa merupakan salah
satu faktor terpenting yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
berkembang suburnya keterbelakangan dan kemiskinan di Indonesia. Setelah
mengutip hasil penelitian yang menyebutkan tentang pendapatan ekspor
pemerintah kolonial Belanda yang diperoleh dari operasi tanam paksa. Lebih
lanjut, selama masa tersebut telah terjadi pengalihan surplus ekonomi dari
Indonesia ke Belanda dalam jumlah yang amat besar.
Arief dan Sasono secara tegas menunjuk betapa besarnya peranan
pemerintah lokal dalam membantu “keberhasilan” sistem tanam paksa. “Dalam
proses eksploitasi ini telah terjalin aliansi antara pemerintah kolonial Belanda di
Indonesia… dan pihak-pihak pemerintah feodal di Indonesia….”. Sedangkan
untuk mengamati pembangunan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan
Orde Baru, Arief dan Sasono menggunakan lima tolak ukur, yakni sifat
pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, proses industrialisasi,
pembiayaan pembangunan, dan persediaan bahan makanan.
Secara ringkas, setelah memperhatikan kelima tolak ukur yang digunakan,
Arief dan Sasono menyimpulkan bahwa situasi ketergantungan dan
keterbelakangan sebagian besar telah atau sedang mewujud di Indonesia. Tesis
depedensi, “sebagian besar telah terbukti dapat menerangkan dan menganalisis
proses ekonomi Indonesia, sebagai negara bekas jajahan, dan sebagai suatu negara
yang mengandung banyak unsur yang tidak egalitarian,..”
Tenaga Teori Depensi Klasik
Ketergantungan dan Faktor Dari Luar
Tenaga inti yang dimiliki oleh teori depedensi klasik dapat diketahui dari
kemampuannya untuk mengarahkan peneliti dan pengambil keputusan untuk
menguji sejauh mana dominasi asing telah secara signifikan mempengaruhi roda
pembangunan negara Dunia Ketiga.
Sebagai contoh, hasil studi Baran di India menjelaskan secara detail
bagaimana Inggris dengan kebijaksanaannya yang telah dijalankan berupa
perampokan kekayaan, deindustrilisasi, dan pencabutan akar budaya masyarakat
lokal telah menjadikan India sebagai negara terbelakang.
Ketergantungan Ekonomi
Dengan merumuskan ketergantungan sebagai akibat dari adanya
ketimpangan nilai tukar barang dalam transaksi ekonomi, teori depedensi telah
mampu mengarahkan para pengikutnya untuk lebih memperhatikan dimensi
ekonomi dari situasi ketergantungan. Sekalipun teori depedensi sama sekali tidak
mengesampingkan dimensi politik dan budaya, persoalan ini hanya dilihat akibat
lanjutan dimensi ekonomi.
Ketergantungan dan Pembangunan
Teori depedensi klasik hampir secara “sempurna” menguraikan akibat
negatif yang harus dialami negara Dunia Ketiga sebagai akibat situasi
ketergantungannya. Bahkan terkadang terasa agak berlebihan, ketika teori
depedensi menyebutkan bahwa hanya dengan menghilangkan sama sekali situasi
ketergantungan, negara Dunia ketiga baru akan mampu mencapai pembangunan
ekonomi yang otonom.
Ketergantungan dan Pembangunan
Teori depedensi klasik hampir secara “sempurna” menguraikan akibat
negatif yang harus dialami negara Dunia Ketiga sebagai akibat situasi
ketergantungannya. Bahkan terkadang terasa agak berlebihan, ketika teori
depedensi menyebutkan bahwa hanya dengan menghilangkan sama sekali situasi
ketergantungan, negara Dunia Ketiga baru akan mampu mencapai pembangunan
ekonomi yang otonom.
Kritik Terhadap Teori Depedensi Klasik
Teori Pengkajian
Munculnya teori depedensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran
utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori
depedensi bahkan menuduh teori modernisasi sebagai pembenaran ilmiah ideologi
negara Barat untuk mengeksploitasi negara Dunia Ketiga. Teori Modernisasi
malah menyerang balik dengan menunjuk teori depedensi tidak lebih alat
propaganda politik ideologi Marxisme.
Kategori Teoritis
Teori depedensi menyataan bahwa ketergantungan yang terjadi di Dunia
Ketiga lahir akibat desakan faktor eksternal. Para penganut pola pikir neo-
Marxisme menuduh bahwa teori depedensi secara berlebihan menekankan
pentingnya pengaruh faktor eksternal, dengan hampir melupakan sama sekali
dinamika internal, seperti misalnya peranan kelas sosial dan negara.
Implikasi Kebijaksanaan
Sejak dari awal penjelasannya, teori depedensi telah secara tegas dan detail
menguraikan akibat buruk dari kolonialisme dan pembagian kerja internasional.
Teori ini berpendapat, bahwa selama hubungan pertukaran yang tidak berimbang
ini tetap bertahan sebagai landasan hubungan internasional, maka ketergantungan
dan keterbelakangan negara Dunia Ketiga tetap tak terselesaikan. Oleh karena itu,
teori depedensi mengajukan ususlan yang radikal untuk mengubah situasi
ketimpangan ini, yakni dengan revolusi sosialis.

BAB 7
TEORI DEPEDENSI BARU

Tanggapan Teori Depedensi : Rumusan Cardoso


Cardoso biasanya disebut sebagai tokoh utama yang mulai melakukan
pembaruan teori depedensi. Hasil karyanya telah mengubah struktur teori
depedensi dan telah melahirkan berbagai agenda penelitian baru.
Pertama, tidak seperti teori depedensi klasi, Cardoso menyebut metode
kajian yang digunakan sebagai metode historis kultural. Cardoso menggunakan
istilah “ketergantungan” bukan sebagai teori yang selalu dapat digunakan untuk
menjelaskan pola keterbelakangan tetapi sebagai metode untuk menganalisa
situasi konkrit negara Dunia Ketiga. Kedua, tidak seperti teori depedensi klasik
yang sepenuhnya menuduh faktor ekstern sebagai penyebab utama terjadinya
ketergantungan dan keterbelakangan, Cardoso juga mmebrikan perhatian yang
cukup pada faktor intern. Cardoso lebih tertarik untuk melihat aspek sosial-politik
dari ketergantungan, khususnya analisa perjuangan kelas dan konflik kelompok,
dan pergerakan politik. Ketiga, tidak seperti teori depedensi klasik yang selalu
menekankan adanya kepastian ketergantungan struktural, Cardoso melihat situasi
ketergantungan sebagai proses yang memiliki berbagai kemungkinan akhir yang
terbuka.
Model Pembangunan yang Bergantung
Bagi Cardoso, fase baru perkembangan politik-ekonomi negara Dunia
Ketiga telah lahir. Menurutnya munculnya perusahaan multinasional, penyebaran
industri pada modal ke negara pinggiran, dan pembagian kerja internasional baru
bertanggung jawab terhadap munculnya karakteristik baru yang lahir dalam proses
pembangunan negara Dunia Ketiga. Cardoso berpendapat bahwa dalam batas-
batas tertentu, kepentingan modal asing bersesuaian dengan kemakmuran negara
pinggiran.
Dinamika Politik
Menurut modelnya, ada tiga macam kekuatan politik yakni negara
birokratis-teknokratis militer, perubahan multinasional, dan borjuis lokal. Dalam
kajiannya tentang pembangunan di Brasilia, Cardoso menyebutkan tiga kekuatan
politik ini secara bersungguh-sungguh berusaha membangun aliansi untuk
mewujudkan model pembangunan yang bergantung. Yang nampak pertama
adalah munculnya negara militer. Kedua, militer berusaha untuk menghilangkan
peran fraksi borjuis lokal yang nasionalis, dan menggantikannya dengan
menyerahkan peran tersebut kepada borjuis internasional. Ketiga, dari hasil kajian
di Brasilia, Cardoso menyimpulkan bahwa struktur ekonomi Brasilia telah diubah
disesuaikan dengan bangun baku dan baru dari pembagian kerja internasional.
Jadi dapat disimpulkan secara ringkas, nampak terlihat secara jelas bahwa
Cardoso telah berusaha melakukan perubahan terhadap asumsi dan kerangka teori
depedensi.
Gold: Pembangunan dan Ketergantungan Dinamis di Taiwan
Gold menyatakan bahwa studinya hendak mengikuti apa yang dilakukan
Cardoso dalam menguji pembangunan di Amerika Latin dan Kajian Evans tentang
aliansi tiga kekuatan politik di Brasilia, dan tetap menggunakan istilah
“ketergantungan”, nampaknya kajian Gold ini sedikit berbeda dengan apa yang
telah dilakukan oleh para pendahulunya tersebut. Perhatian penelitian ini tidak
ditujukan untuk mengamati ketidakpastian ekonomis dan ketidakstabilan politik,
tetapi lebih ditujukan untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dan kestabilan
politik di Taiwan.
Koo : Interaksi antara Sistem Dunia, Negara dan Kelas di Korea
Sistem Dunia
Tidak puas dengan penjelasan pembangunan ekonomi Korea Selatan yang
diberikan oleh teori ekonomi konvensional yang lebih menekankan pada
keuntungan kooperatif. Maka Koo mencoba melihat pembangunan Korea Selatan
dalam konteks interaksi yang terus-menerus antara negara, kelas sosial dan sistem
dunia.
Struktur Kelas
Integrasi Korea Selatan dalam sistem dunia lebih dimulai dari integrasi
politik. Baru kemudian setelah tahun 1950-an integrasi ekonomi terjadi. Awalnya
Korea Selatan memasuki sistem ekonomi kapitalis dunia merupakan faktor yang
menentukan keberhasilannya, dan faktor ini sulit untuk dipunyai oleh negara
Dunia Ketiga lainnya yang mencoba berintegrasi dengan sistem dunia.
Negara
Dalam memberikan penjelasan terhadap keberhasilan pembangunan
ekonomi Korea Selatan, Koo tidak menunjuk variabel tunggal. Ia melihat bahwa
interaksi yang dinamis dan terus-menerus dari sistem dunia, struktur kelas, dan
negara bertanggung jawab pada keberhasilan tersebut.
Mohtar Mas’oed : Negara Birokratik –Otoriter di Indonesia
Negara Birokratik-Otoriter (NBO)
Karena tidak puas dengan metode dan penjelasan yang diajukan oleh
depedensi klasik, O’Donnel menyarankan hendaknya penelitian menggunakan
metode “historis-struktural” yang dikembangkan oleh Cardoso untuk menguji
keterkaitan antara kapitalisme dan ragam bentuk dominasi politik. Dalam hal ini,
O’Donell memberikan sumbangan yang perkembangan, dan runtuhnya satu
bentuk dominasi politik tertentu yang disebut sebagai “negara birokratik-otoriter
(NBO).”

Dalam kajian tentang Indonesia untuk periode permulaan Orde Baru (1966-
1971), Mas’oed menggunakan konsep NBO O’Donnell dan menggabungkannya
dengan konsep korporatisme. Lahirnya kembali bentuk negara otoriter di
Indonesia pada awal Orde Baru, menurut Mas’oed, pertama, disebabkan oleh
krisis ekonomi dan politik yang masih terjadi pada pertengahan tahun 1960-an.
Struktur politik yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya memiliki kecenderungan
untuk memberikan kekuasaan yang berlebihan pada pemerintah. Kedua, Mas’oed
menyebutkan bahwa koalisi intern Orde Baru yang memaksa untuk segera
memerlukan restrukturisasi ekonomi secara radikal. Ketiga, orientasi ekonomi ke
luar yang dirumuskan oleh Orde Baru pada masa akhir tahun 1960-an dan
berlanjut 1970-an merupakan salah satu faktor yang mendesak pemerintah
memilih NBO.
Kekuatan Teori Depedensi Baru
Teori depedensi baru telah mengubah berbagai asumsi dasar yang dimiliki
oleh teori depedensi klasik. Teori depedensi baru tidak lagi menganggap situasi
ketergantungan sebagai sesuatu keadaan yang berlaku umum dan memiliki
karakteristik yang serupa tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Lebih dari itu,
teori depedensi baru ini tidak memberlakukan situasi ketergantungan semata
sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional
dan keterbelakangan.
Tabel. Teori Depedensi Klasik dan Baru
Teori Depedensi Klasik Teori Depedensi Baru
Persamaan
Pokok Perhatian Negara Dunia Ketiga sama
Level Analisa Nasional sama
Konsep Pokok Sentral-Pinggiran sama
Implikasi Ketergantungan
Kebijaksanaan Ketergantungan Bertolak sama
Belakang dengan
Pembangunan
Perbedaan
Metode Abstrak Pola Umum Historis-struktural
Ketergantungan situasi konkrit
ketergantungan
Faktor Pokok Eksternal Kolonialisme Internal negara dan
dan Ketidakseimbangan konflik kelas
nilai tukar
Ciri Politik Phenomena ekonomis Phenomena Sosial
Ketergantungan
Pembangunan dan Bertolak belakang : Koeksistensi:
Ketergantungan hanya menuju pada Pembangunan yang
keterbelakangan bergantung

PERSPEKTIF SISTEM DUNIA


BAB 8
TEORI SISTEM DUNIA
(TEORI SISTEM EKONOMI KAPITALIS DUNIA)

Sejarah Lahirnya
Setelah Amerika Serikat menjadi salah satu kekuatan dominan dunia, ilmu
sosialnya mulai tertarik mempelajari persoalan pembangunan negara Dunia
Ketiga. Ini kemudian melahirkan teori modernisasi. Setelah kegagalan
pelaksanaan program-program modernisasi di Amerika Serikat pada tahun 1960-
an telah membidani lahirnya teori neo-Marxis depedensi. Pada pertengahan
pertama tahun 1970-an lahir ajaran baru sekelompok pemikir pembangunan yang
dipimpin oleh Immanuel Wallerstein muncul dengan gagasan barunya yang
radikal dengan menunjuk bahwa banyak peristiwa sejarah di dalam tata ekonomi-
kapilatis dunia ini yang menurut mereka tidak dapat dijelaskan oleh kedua
perpektif pembangunan, khususnya teori depedensi, baik klasik maupun temporer.
Dalam rangka untuk memikirkan ulang dan menganalisa persoalan-
persoalan krisis yang muncul dalam tata ekonomi dunia mengembangkan pada
dua dekade terakhir ini, Wallerstein dan pengikutnya mengembangkan satu
perspektif pembangunan baru, yang mereka sebut sebagai perspektif sistem dunia
(the world-system perspketive) atau dapat juga disebut sebagai ajaran sistem
ekonomi-kapitalis dunia.

Warisan Pemikiran
Menurut Kaye, perspketif yang dirumuskan Wallerstein ini lahir dengan
cara mengambil intisari dan menyerap pola pikir dari dua tradisi pemikiran yang
dahulu ada, yakni pola pikir pembangunan negara Dunia Ketiga Neo-Marxis dan
ajaran “Annales” Perancis.
Wallerstein banyak dipengaruhi oleh tradisi kajian persoalan pembangunan
Neo-Marxis. Sebagai contoh dalam perumusan teorinya Wallerstein banyak
mengambil berbagai konsep yang dimiliki oleh teori depedensi. Namun demikian,
pada tahap berikutnya, penjelasannya bergerak dan berbeda jauh dengan apa yang
menjadi bidang garapan dan keprihatinan teori depedensi maupun neo-Marxisme.
Perubahan orientasi ini mengingat adanya pengaruh yang kuat dari Fernand
Braudel dan ajaran Annales Perancis dalam konsep-konsep yang dirumuskan oleh
Wellerstein.
Metodologi
Bagi Wallerstein, perspektif sistem dunia bukan merupakan teori, tetapi
“sebuah protes melawan kecenderungan terbentuknya struktur pemahaman dan
pengkajian ilmu sosial sejak dari lahirnya pada pertengahan abad ke-19.”
Wallerstein memberikan kritik tentang tumbuh suburnya suatu metode pengkajian
ilmiah, yang sekedar “menutup tanpa menggali” banyak persoalan penting, tetapi
juga ketidakmampuannya “untuk menjelaskan secara rasional berbagai
kemungkinan pilihan sejarah yang pernah muncul pada masa lalu.
Pembagian Disiplin dalam Ilmu Sosial
Dalam mode pengkajian ilmiah tradisional, “ilmu sosial terbagi atas
berbagai disiplin yang secara intelektual merupakan pengolompokan yang dapat
diterima oleh akal sehat dari berbagai persoalan, yang memang berbeda satu sama
lain. Dalam hal ini, sebelumnya Wallerstein memberikan jawabannya dan
mengajukan pertanyaan yang radikal yakni, apakah disiplin ilmu dapat dibagi,
dipisahkan dan dibedakan secara jelas. Menurutnya pembagian dan pembedaan
ilmu sosial seperti ini dirumuskan dengan berdasarkan ideologi liberal yang
mendominasi abad ke-19.

Sejarah dan Ilmu Sosial


Menurut pemahaman tradisional sejarah diartikan sebagai ilmu untuk
menjelaskan sesuatu peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa silam. Ilmu
sosial di pahami sebagai perangkat kaidah universal yang diharapkan mampu
menjelaskan tingkah laku manusia. Sejarawan membantu ilmuwan sosial untuk
mendalami dan memahami data. Disisi lain, ilmuwan sosial membantu sejarawan
dengan memberikan pandangan-pandangan tentang kemungkinan-kemungkinan
kecenderungan universal yang diharapkan dapat dijumpai setelah dilakukan
pengamatan cermat atas peristiwa sejarah yang berurut dan berkait.
Masyarakat atau Sistem yang Menyejarah
Kajian ilmu-ilmu sosisal tradisional menganggap bahwa manusia akan
selalu terorganisir dalam satu kesatuan yang disebut masyarakat. Dalam hal ini,
Wallerstein menyatakan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu batasan
antara masyarakat dan negara menjadi tidak jelas, dan bahkan sama. Sedangkan
sistem menyajarah diartikan sebagai sistem dengan segala isinya lahir,
berkembang, dan mati serta timbul kembali sebagai akibat dari adanya semacam
proses pembagian kerja yang terus-menerus dan lebih canggih.
Batasan Kapitalisme
Ilmu sosial tradisional memberikan batasan arti kapitalisme sebagai sistem
yang mendasarkan diri pada persaingan bebas, persaingan antara produsen bebas
menggunakan tenaga kerja yang juga tidak terikat untuk menghasilkan produk
yang dikehendaki. Bebas dalam hal ini mengandung pengertian ada dan
tersedianya penjualan dan pembelian di pasar. Batasan ini digunakan karena
kebanyakan penganut ideologi liberal dan juga Marxis telah menggap Inggris,
setelah Revolusi Industri sebagai model untuk menggambarkan praktek norma-
norma kapitalis.
Negara Semi-Pinggiran
Wallerstein memberikan kritik terhadap penjelasan dengan model dwi-
kutub, sentral-pinggiran. Dunia terlalu kompleks untuk sekedar dijelaskan dengan
model dwi-kutub, banyak negara yang berada diantaranya. Wallerstein
merumuskan model tiga-kutub, sentral, semi-pinggiran, dan pinggiran.
Bagi Wallerstein, negara semi-pinggiran memiliki dua karakteristik pokok,
pertama, negara tersebut memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position)
perdagangan yang berbeda dengan yang dimiliki oleh negara pinggiran.
Pertukaran yang terjadi antara negara sentral dan negara pinggiran
menggambarkan pertukaran antara barang yang diproduksi dengan upah tinggi
dan upah rendah. Kedua, negara semi-pinggiran memiliki kepentingan langsung
untuk mengatur dan mengawasi pertumbuhan pasar dalam negeri.
Perspektif Depedensi dan Sistem Dunia
Pada awal perumusannya, perspektif sistem dunia banyak mengambil dan
menggunakan konsep dan kategori teoritis yang dikembangkan oleh teori
depedensi, dan oleh karena itu tidak jarang ilmuwan sosial memberlakukan kedua
perspektif tersebut secara tidak berbeda. Namun demikian, ketika telah terjadi
perkembangan leih jauh perspektif sistem dunia, seperti yang secara ringkas telah
diuraikan pad abab ini, ilmuwan sosial khususnya yang menekuni persoalan
pembangungan menyadari dan melihat adanya perbedaan yang ada diantara kedua
perspektif pembangunan tersebut.
Tidak seperti teori depedensi yang memfokuskan pada masa jaya dan
bangkrutnya suatu negara, perspektif sistem dunia mempelajari dinamika sejarah
sistem ekonomi dunia. Untuk hal ini, Wallerstein berpendapat bahwa sistem
ekonomi kapitalis dunia ini berkembang melalui kecenderungan sekularnya yang
meliputi proses pencaplokan, komerisalisasi agraria, industrialisasi, dan
proletarisasi. Dengan ini, sistem ekonomi dunia juga memiliki apa yang disebut
irama perputaran yakni irama ekspansi dan staganansi yang terjadi akibat
ketidakseimbangan permintaan dan penawaran barang dunia.
Sebagai kesimpulan, perspektif sistem dunia berbeda dengan teori depedensi
dalam unit analisa yang digunakan, metodologi sejarahnya, model tri-kutubnya,
dan arena kajiannya.
Tabel perbandingan teori Depedensi dan Perspektif Sistem Dunia
Elemen Perbandingan Teori Depedensi Perspektif Sistem Dunia
Unit Analisa Negara-Bangsa Sistem Dunia
Metode Kajian Historis-Struktural MasaDinamika Sejarah
Jaya dan Surut Bangsa- Sistem dunia:
Bangsa kecenderungan sekuler
dan irama perpustakaan
(siklus)
Struktur Teori Dwi-kutub sentral dan Tri-Kutub: sentral, semi-
pinggiran pinggiran, inggiran
Arah Pembangunan Deterministik Kemungkinan mobilitas
Ketergantungan selalu naik-turun
merugikan
Arena Kajian Negara Pinggiran Negara pinggiran, semi –
pinggiran, sentral dan
sistem ekonomi dunia

BAB 9
HASIL KAJIAN GLOBAL TEORI SISTEM DUNIA

Wallerstein : Fase Penurunan Sistem Ekonomi-Kapitalis Dunia


Berdasarkan asumsi bahwa setiap proses ekonomi terjadi di dalam
kerangkan sistem ekonomi-kapitalis dunia, Wallerstein berpendapat bahwa
“pembangunan” atau “keterbelakangan” dari suatu wilayah geografis tertentu
tidak dapat dianalisa tanpa meletakkan wilayah geografis tersebut dalam konteks
irama siklus dan kecenderungan perputaran ekonomi dunia secara keseluruhan.
Secara ringkas, Wallerstein menyimpulkan bahwa alokasi peranan dari
masing-masing negara di dalam sistem ekonomi-kapitalis dunia tidak statis.
Secara khusus nampak terlihat di dalam sistem terjadinya fase-B, ketika
perubahan posisi secara drastis terjadi. Oleh karena itu, sekalipun secara
keseluruhan fase B lebih ditandai oleh suasana stagnansi secara menyeluruh,
tetapi pada masa ini juga terjadinya kemungkinan kenaikan konsentrasi modal
yang berarti di suatu wilayah geografis tertentu , yang pada gilirannya
menimbulkan semakin lebarnya polarisasi dan diferensiasi. “ini tidak akan
memperlambat jalannya roda kerja kapitalisme, ini justru merupakan bagian
integral (yang tak terpisahkan) dari kapitalisme itu sendiri.
Bergesen dan Schoenberg : Gelombang Panjang Kolonialisme
Menurut Bergesen dan Schoenberg, kebanyakan studi tentang kolonialisme
dibuat dengan hanya menggunakan satu titik tolak, yakni dari sudut pandang
negara sentral saja atau sudut pandang negara pinggiran saja. Dalam hal ini,
kolonialisme dapat dilihat sebagai milik sah sistem ekonomi dunia yang kapitalis
yang berfungsi sebagai jembatan struktural yang menghubungkan antara negara
sentral dengan negara pinggiran. Oleh karena itu, tujuan hasil kajian Bergesen dan
Schoenberg ini mencoba menjelaskan koloniasme sebagai satu bentuk dinamika
kolektif yang khas dari tata ekonomi-kapitalis dunia, dan menggiring analisa
kolonialisme pada dataran analisa yang lebih tinggi dan abstrak dari sekedar
tingkat nasional yang diskrit.
Secara ringkas, dari keseluruhan penjelasan tentang gelombang panjang
kolonialisme dari Bergesen dan Scoenberg, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
mereka telah secara teliti dan berhasil dengan baik mengambil dan menggunakan
struktur teori dan konsep sistem dunia.
Kekuatan Teori Sistem Dunia Skala Global
Berbeda dengan aliran teori pembangunan yang lain, teori sistem dunia
secara sungguh-sungguh menyatakan, bahwa unit analisa yang berlaku untuk ilmu
sosial adalah sistem dunia itu sendiri. Dengan kata lain, perspektif sistem dunia
lebih memberikan perhatiannya untuk menguji dinamika global dunia di luar batas
wilayah kenegaraan.
Secara ringkas, teori sistem dunia telah memberikan sumbangan yang
berarti untuk memulai merumuskan agenda penelitian yang hampir sama sekali
baru yakni untuk menguji gerak putar sistem dunia. Teori ini juga telah
memberikan sumbangannya pada ketegasannya untuk selalu mengamati
perkembangan jangka panjang dari setiap gejala sosial yang global.
Kritik Terhadap Teori Sistem Dunia
Sejak pertengahan tahun 1970-an, para pengkritik telah menuduh bahwa
perspektif sistem dunia telah menyajikan gemerlapnya konsep sistem dunia,
seakan-akan merupakan sesuatu yang sangat riil dan materiil, sementara di sisi
lain perspektif ini telah hampir secara sempurna meninggalkan spesifikasi sejarah
perkembangan pada tingkat nasional.
Secara singkat, kritik terhadap teori sistem dunia lebih diarahkan pada
tuduhan reifikasi, dan dakwaan meninggalkan spesifikasi sejarah, serta
pemahamannya tentang analisa stratifikasi. Sekalipun dapat saja terjadi
pengharapan dari para pengkritik ini menjadi hancur dan hilangnya teori sistem
dunia dari kancah percaturan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu, tidak jarang dari
para pemerhati perspektif secara elemen positif yang dilontarkan oleh pengkritik,
untuk dijadikan dasar perbaikan terhadap kerangka teori dari perspektif sistem
dunia yang telah mereka geluti.

Anda mungkin juga menyukai