Anda di halaman 1dari 5

Wetri Yanti

1820712002

KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Menurut sebuah sumber Cina, pada tahun 674 kerajaan Ta’shih berniat
untuk menyerang kerajaan Ho-Ling-Yang, yang diperintah oleh seorang ratu yang
bernama Sima. Tidak penjelasan yang pasti mengenai penyerangan itu, namun
yang jelas bahwa letak kerajaan Holing berada di Jawa di terima secara umum.
Menurut sumber Cina itu, Ratu Sima adalah penguasa yang adil dan keras.
Terlepas dari unsure mitologis yang terkait dalam kisah putra mahkota ini, berita
ini menunjukkan bahwa pada abad ke VII telah ada pemimpin wanita dalam suatu
konteks kenegaraan, sebuah organisasi kekuasaan yang mempunyai hak memaksa
yang sah.

Pada akhir abad XV, putri Dewi Suhita menjadi ratu di kerajaan Majapahit
setelah kedua orang tuanya (putri dan menantu Hayam Wuruk) meninggal dunita.
Namun, pemerintahannya tidak berhasil. Tidak lama kemudian perang saudara
melanda Majapahit, sementara kerajaan-kerajaan Islam di pesisir semakin kuat.

Kepemimpinan politik wanita dalam sejarah Jawa memang tidak bisa


dilihat dengan baik dalam public sphere, tetapi dalam hubungan dengan “sang
pangeran”, terutama sebagai legitimasi genealogis. Tidak mungkin seorang Ken
Arok menjadi raja jika bukan karena Ken Dedes, janda dari Tunggul Ametung.
Raden Wijaya tidak bisa menjadi raja jika dia bukan menantu Airlangga, Kerajaan
Kediri.

Sejak Kerajaan Aceh Darussalam berdiri (akhir abad XV), maka hampir
semua raja yang memerintah mengalami musibah, entah dibunuh, diracun, atau
dimakzulkan. Nuruddin an Raniri dalam kitab ensiklopedinya, Butanun Salatin
(Taman Segala Raja-raja). Buchari al Jauhara pada tahun 1603 menyusun kitab
yang berjudul Tajus Salatin (Mahkota Segala Raja-raja). Kitab ini berisi tentang
menekankan keadilan adalah sebagai landasan utama Negara. Keadilan yang
tertinggi itu berbagai persyaratan pribadi harus dipenuhi sang penguasa, ia harus
“akil baligh”, “berilmu”, “baik rupa”, “murah” (dermawan), “ingat jasa orang”,
“berani”, “ingat kerajaan”, “hendaklah raja itu laki-laki karena perempuan kurang
budinya”, “menjauhi bercampur dengan perempuan”, “mencari menteri yang
berilmu dan berbudi”. Kekuasaan yang sah adalah landasan dari ketertiban,
meskipun pemegang kekuasaan itu adalah wanita. Sejalan dengan pemikiran
politik Sunni tradisional, Tajus Salihin menekankan pentingnya peneguhan
kekuasaan yang sah. Kitab Tajus Salihin ini member petunjuk kepada para elite
kekuasaan Aceh Darussalam untuk memilih Sultanah Taj Alam Syafiat Addin
Syah (1641-1675), putri Sultan Iskandar Muda (wafat 1636), untuk menggantikan
suaminya Sultan Iskandar Thani, yang mangkat dalam usia tiga puluh dua tahun
(1641). Sultanah Taj Alam dihadapkan pada intrik istana. Ia harus berurusan
dengan daerah-daerah taklukan dan pertuanan yang ingin lepas, tetapi juga VOC
di wilayah yang kaya lada. Ar-Raniri, selama masa pemerintahan perlindungnya,
Sultan Iskandar Thani, terhadap para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin as
Samatrani, menuntut pemecahan baru. Ar-Raniri terpaksa menyingkir dari Aceh
—perlindungan kerajaan tidak lagi diberikan kepadanya. Hal ini menjadi salah
satu penyebab lahirnya tokoh baru Abdur Rauf al Singkili yang lebih di kenal
sebagai Teungku di Kuala.

Sultan Nurul Alam Nakiatud Din Syah di angkat sebagai ratu kedua
kerajaan Aceh Darussalam (1675-1677). Pada masanya, Mesjid Baiturrahman dan
istana raja terbakar habis, tak lama setelah ia memerintah. Setelah ia mangkat,
para orang kaya (the ruling elite) kembali memilih seorang wanita Sultan Inayat
Zakiatu’—Din Shah. Tidak diketahui secara pasti latar belakang dari ratu ketiga
ini. Bustanus Salihin hanya menyebutkan ia putrid Sultan Muhammad Syah dan
beberapa kronikel mengatakan ia putrid dari ratu kedua.

Menurut laporan pengunjug Inggris ke Aceh, ratu ini berumur sekitar


empat puluhan, suaranya besar dan perawakannya pun besar juga. Sejak
terpilihnya ratu ketiga ini telah timbul keinginan di kalangan orang kaya dan
rakyat banyak untuk kembali ke zaman ketika seorang raja yang keras berada di
singgasana. Terlepas dari soal keresahan politik ini sesuatu yang endemic di Aceh
adalah keberatan teoritis dan doctrinal yang utama diajukan oleh Tajus Salihin
terhadap perempuan.

Perbedaan raja laki-laki dan raja perempuan itu,


maka laki-laki harus duduk di hadapan orang banyak dan
raja perempuan haram dengan nyata dilihat orang yang
menghadap, melainkan di dalam tirai karena fardhu atas
itu menutup segala tubuhnya melainkan mukanya dan
kedua tapak tangannya, itu pun dalam rumahnya dan pada
ketika sembahyang jua dapat membuka mukanya dan
ruangannya itu un hingga pergelangan tangan jua.

Atas perintah sang ratu Syekh Abdur Rauf menyelesaikan buku komentar
terhadap hadist-hadist yang dikumpulkan Nawawi dan di zamannya untuk Syaikh
Mekkah datang membawa hadiah-hadiah. Setelah memerintah sekitar sepuluh tahun pada
tahun 1688, Inayat Syah berpulang. Segera kekalutan melanda Aceh. Menurut laporan
Dampier beberapa orang kaya telah siap menyerang ibukota untuk memaksakan agar
yang dipilih sebagai penguasa selanjutnya adalah seorang laki-laki. Tetapi entah karena
apa, sementara Dampier pergi ke Tonkin, ia telah menemukan bahwa yang naik tahta
akhirnya kembali seorang raja perempuan, Sultan Kamalat Syah. Namun, keresahan
politik tak berhenti dan terus berlanjut. Laporan-laporan pendatang asing juga
mengatakan adanya kelompok-kelompok “demonstran” yang menginginkan kembalinya
zaman raja laki-laki. Syahbandar menginginkan agar anaknya, seorang perwira istana
bisa kawin dengan sang ratu. Perkawinan pun terjadi, tetapi pihak oposisi juga tinggal
diam.

Aceh bukannya satu-satunya kerajaan Islam yang pernah diperintah oleh raja
perempuan. Kerajaan Bone, sebuah kerajaan Bugis yang terbesar, mengenal juga
beberapa orang raja perempuan – seorang diabad XVI, seorang di abad XVIII, Dan tiga
orang diabad XIX. Tiga dari raja perempuan ini meninggal tanpa keturunan. Nasib
historis mereka sama saja dengan raja laki-laki yang tak terlibat dalam peristiwa yang
dianggap eventful. Tidak seperti Aceh Darusalam yang menjadikan raja perempuan
sebagai sesuatu yang perlu diperdebatkan. Raja perempuan dalam prediksi Bugis
tampaknya dianggap sebagai kewajaran dari legitinasi genealogis dari keturunan to
manurung, yang konon berdarah putih dan turun dari langit.

Raja adat dan Raja ibadat adalah orang lain. Semua mereka adalah laki-laki.
Begitu juga halnya dengan tokoh historis Putri Jamilah, yang mendukung klaim Raja
Kecil di singgasana kemaharajaan Riau-Johor diabad XVIII. Ia juga bukan penguasa.
Tetapi keduanya, Bundo Kanduang dan Putri Jamilah (mungkin orangnya sama), bukan
saja mempunyai suara yuang sangat menentukan dalam proses pengembilan keputusan,
tetapi juga diperlakukan sebagai personifikasi dari segala hal yang dianggap wajar dan
semestinya.

Wanita sebagai personifikasi nilai kultural, seperti yang juga diaktualisasikan oleh
literatur tradisional (kaba), di satu pihak bisa menjadikan kedudukan dan perilaku wanita
sebagai ukuran dari erosi kultural yang mungkin telah terjadi dalam proses perubahan
sosial, tetapi dipihak lain bisa pula merupakan landasan yang strategis untuk
menampilkan diri.

Berbagai nama pemimpin wanita bisa diajukan, ketika corak komunitas politik
yang sukarela mulai tumbuh dalam masyarakat Minangkabau yang telah mulai
mengalami proses urbanisasi. Rasuna Said, seperti pemimpin-pemimpin wanita dari
daerah lain, adalah tokoh pejuang yang radikal. Tak lama memang partai itu, Permi (yang
sangat berpengaruh di Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan di tahun 1930-an) dipaksa
harus bubar. Namun terlepas dari kehebatan para tokoh politik kemerdekaan ini,saya kira
jika kita hanya melihat ukuran keberhasilan secara kongkret, tanpa terlibat dalam proses
mitologi. Kualitas kepemimpinan wanita yang otentik dalam konteks masyarakat
Minangkabau, ditemukan pada pendiri Diniyyah Puteri di Padang Panjang, Rahmah el
Junusiah.

Jika proses perubahan sosial yang kini sedang berjalan sesuai dengan presmis
dasar logika perkembangannya maka tidak ada yang akan bisa membantah bahwa
keterlibatan wanita dalam kepemimpinan birokratis dan manejerial akan semakin
menarik. Jumlah wanita dalam kedudukan penting di lembaga pemerintahan dan dunia
swasta akan semakin naik.

Anda mungkin juga menyukai