Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nicodemus Dwi Hendratno

NPM : 2106635303
Matakuliah : Teori-Teori Sosial / Kelas A
Dosen Pengampu : Drs. Andi Rahman Alamsyah, M.Si
Prof. Dr. Der. Soz. Rochman Achwan, MDS
UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

Soal Wajib No.1


A. Secara sederhana, makna dari pernyataan tersebut adalah: Tanpa kehadiran data, teori
sosial tidak dapat terbentuk, dan hanya menyisakan asumsi belaka. Sementara data tanpa
teori, bagaikan sebuah kendaraan tanpa roda. Tidak dapat berkembang dan hanya hadir
sebagai pengetahuan statis.
B. Saya setuju terhadap pernyataan tersebut. Menurut saya, kredibilitas sebuah teori
bergantung pada relevansi dari data data yang mendukungnya. Dalam konteks sebuah
teori sosial, tingkat aktualitas data yang diperoleh dari masyarakat akan berbanding lurus
dengan tingkat kredibilitas teori sosial tersebut. Ditambah dengan sifat teori sosial yang
dinamis. Dimana adanya modifikasi terhadap teori lama dan pengembangan teori teori
yang baru. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan data yang sesuai dengan arah
perkembangan teori. Data tersebut dapat diperoleh dengan melakukan observasi atau
pembuktian hipotesis terhadap dinamika masyarakat. Maka dari itu, saya merasa bahwa
data dan pengumpulan data sangatlah krusial bagi pembentukan teori.
Saya pun juga menyetujui kalimat kedua pada pernyataan tersebut. Menurut saya, data
merupakan sesuatu yang perlu disandingkan/dikembangkan dengan sesuatu, agar dapat
sungguh sungguh ‘berfungsi’. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian, data hadir
sebagai penyokong dari proposisi dan kesimpulan dalam penelitian tersebut. Dalam
sebuah teori, data berfungsi sebagai ‘bukti’ dari teori tersebut. Melalui dua contoh itu
dapat dilihat bahwa penelitian dan teori adalah wadah yang
mengembangkan/mengamplifikasi data sehingga lebih aplikatif. Tanpanya, saya rasa data
hanyalah pengetahuan statis. Dalam arti, tidak dapat dikembangkan dan diaplikasikan,
dan hanya sebatas pengetahuan saja.

Soal Wajib No.2


A. Fakta sosial adalah suatu struktur yang objektif, dengan daya untuk memanipulasi
kesadaran dan perilaku masyarakat. Pandangan ini tidak membatasi kebebasan individu
dalam menciptakan pilihan pilihan. Namun, sebaliknya, Durkheim ingin mengkaji
bagaimana kekuatan kekuatan sosial tersebut bekerja, sehingga individu dapat terbebas
dan memiliki jangkauan pilihan yang lebih luas. Adapun tiga karakteristik dari fakta
sosial menurut Durkheim: (1) Fakta sosial bersifat eksternal dari individu; (2) Fakta itu
memaksa individu; (3) Fakta bersifat umum atau tersebar luas dalam masyarakat.
(Johnson, 1986).
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi, merupakan salah satu bentuk fakta sosial dalam
masyarakat. Kekuatan yang dimiliki oleh pemilik kapital digunakan untuk
mengeksploitasi para pekerja. Untuk memastikan bahwa para buruh dapat terus
memenuhi kebutuhan pribadinya, pemilik kapital menciptakan sebuah kesadaran palsu.
Division of labour merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk membangun
kesadaran palsu tersebut. Pembagian kerja dapat diartikan sebagai spesfikasi dalam
pembagian tugas, demi efisiensi bisnis. Namun, sesungguhnya hal tersebut hanyalah
sebuah instrumen untuk membayar para pekerja dengan lebih rendah, dan mengalienasi
mereka. Kesadaran palsu tersebut memaksa para individu dalam kaum buruh untuk hidup
dengan kondisi timpang sesuai kelas sosialnya, tanpa pengetahuan akan penindasan yang
selama ini mereka terima.

Soal Wajib No.3

PENGHAPUSAN HUBUNGAN ANTAR ETNIK SEBAGAI STRATEGI


PEMBANGUNAN BANGSA OLEH PEMERINTAH PASCA KOLONIAL

Secara praktis, setiap negara tentunya ingin memiliki masyarakat dengan loyalitas dan
nilai kebangsaan yang tinggi. Maka dari itu, nation-building/pembangunan bangsa
dimanfaatkan oleh pemerintah dalam menciptakan masyarakat ideal dengan nasionalisme
tersebut. Nation building itu sendiri merupakan proses menyusun identitas nasional
menggunakan kekuatan negara (Deutsch & Foltz, 2010; Mylonas, 2017). Pembangunan
ini, memiliki tujuan untuk membentuk kesatuan atas dasar nilai kebangsaan/nation-state
dalam masyarakatnya, demi mencapai kestabilan politik, sosial, ekonomi, dan bidang
lainnya dalam negara.
Indonesia sebagai negara, sudah memulai upaya nation building dalam bentuk upaya
penciptaan identitas dengan nilai kebangsaan yang satu, di tengah kondisi masyarakat
yang plural sejak zaman orde lama. Sesungguhnya masyarakat dahulu, lebih cenderung
untuk mengidentifikasi identitas dirinya berdasarkan partikularitas kebudayaan lokal.
Bukti dari hal ini adalah pergerakan nasional dengan orientasi daerah pada era
perjuangan. Pemerintah akhirnya menyadari kekayaan etnisitas yang kental di Indonesia,
sebagai tantangan dalam mewujudkan persatuan atas nilai nation-state. Untuk
menghadapi tantangan tersebut, pemerintah pada masa pasca-kolonial melakukan upaya
penyatuan kelompok etnis menuju identitas kebangsaan yang berdaulat. Pemerintah
melakukan hal tersebut melalui penekanan identitas partikular melalui pelemahan hukum
dan peran tokoh adat. Untuk membatasi relasi antar etnik dalam masyarakat, pemerintah
membuat istilah SARA dengan kesan tabu, sehingga masyarakat terbungkam. Kelompok
kepentingan dan partai politik dengan warna etnis dan agama, dinonaktifkan secara
paksa. Tak hanya itu, pemerintah juga menciptakan identitas supra-etnik sebagai citra
ideal identitas Indonesia. Hal ini dilakukan melalui propaganda yang diimplementasikan
bidang pendidikan, seperti PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), P4, mata
kuliah kewiraan, upacara bendera, hingga pendirian museum museum pendirian bangsa.
Sederhananya, pada era pemerintahan orde baru dan orde lama, keberagaman etnik
dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan negara. dengan alasan itulah, keberadaan
identitas nation-state diutamakan daripada identitas partikular kelompok. Satu- satunya
hubungan etnik yang diizinkan adalah relasi antara kaum pribumi dan kaum non-pribumi
yang amat melekat pada kelompok keturunan tionghoa. Merekalah yang harus
mengalami berbagai bentuk asimilasi identitas seperti penggunaan nama,bahasa, dan
agama partikular , sebagai integrasi koersif dari pemerintah. Garis besar dari penanaman
nilai kebangsaan di era pemerintahan orde baru dan orde lama adalah mengedepankan
kelompok dominan dan menghapus eksistensi kelompok partikular.
Civilizing Process merupakan salah satu teori sosial historis, yang dikemukakan oleh
Robert Elias. Sosiologi, dipandang sebagai ilmu yang mengkaji figurasi manusia dan
proses jangka panjang oleh Elias. Penggabungan dan pemisahan merupakan penekanan
utama pada pendekatan ini. Ketika melalui civilizing process manusia semakin terikat
pada hubungan interdependensi yang disebut sebagai figurasi. Hubungan ketergantungan
atau figurasi yang terus berdinamika dalam proses akhirnya membentuk habitus atau
susunan psikologis seorang individu sebuah kelompok dalam mengontrol diri mereka,
orang lain, dan dunia sekitar. Dalam hal ini, terdapat istilah habitus nasional atau karakter
nasional. Pin tambahan mengenai civilizing Process, Elias berpendapat bahwa pola yang
khas dan berulang dalam sejarah sosial adalah ketegangan antara pembentukan yang
mampu mendefinisikan dan mempertahankan perilaku beradab standar dan orang luar
yang gagal memenuhi standar tersebut. Konsep terakhir pada teori ini adalah
Decivilizing, yang merujuk pada Proses pengembalian kecenderungan sebelumnya
menuju sentralisasi dan pengamanan politik yang masuk akal.
Upaya pemerintah dalam menciptakan identitas nation-state melalui segala upaya
koersifnya merupakan salah satu bentuk civilizing process. Penekanan mengenai
penggabungan dan pemisahan dapat terlihat pada proses tersebut, dimana masyarakat
etnis secara koersif dituntun untuk tergabung dalam kelompok dominan pribumi dengan
nilai nasionalisme, sementara kelompok minoritas dipisahkan sebagai outsider dengan
label non-pribumi, seperti yang dialami oleh kelompok etnik Cina. Hubungan antar etnik
yang diredam bahkan dihentikan oleh pemerintah membentuk figurasi yang rusak,
terhambat, dan termanipulasi dengan dasar segregatif. Lambat laun, hal ini membangun
habitus dalam masyarakat dan habitus nasional, berupa struktur yang mengglorifikasi
nasionalisme dan menolak keberagaman. Kecenderungan untuk saling memisahkan dan
saling benci antar kelompok, terutama diskriminasi pada kelompok outsider merupakan
hal yang dapat diterima. Langkah-langkah yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah
untuk terlepas dari habitus nasional tersebut, merupakan arah menuju Decivilizing,
meskipun belum secara struktural.
Soal Pilihan No.3
Penanaman nilai nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri para mahasiswa, merupakan
maksud utama yang ingin diwujudkan, ketika pihak universitas mewajibkan mereka
untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menggunakan batik nusantara, setiap hari
Senin dan Rabu. Hal tersebut tergolong sebagai fungsi manifest dalam analisa Merton.
Namun, tanpa disadari, kegiatan tersebut juga menimbulkan suatu konsekuensi yang
sesungguhnya tidak diketahui dan tidak ingin diwujudkan. Hal tersebut merupakan fungsi
laten. Fungsi laten dalam kegiatan ini adalah munculnya pandangan yang meragukan
relevansi nilai nilai kebangsaan tersebut. Beberapa mahasiswa mungkin menerima begitu
saja kegiatan ini. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada seorang atau
sekelompok mahasiswa yang memiliki pandangan kritis dan meragukan relevansi dari
kegiatan tersebut. Hal ini dapat berujung pada penolakan nilai nilai tersebut , sehingga
mahasiswa tetap melakukan kewajibannya tanpa meresapi nilai nilai didalamnya.
Kegiatan tersebut juga dapat dianggap sebagai konsekuensi objektif yang negatif bagi
sebagian individu dan kelompok, sebuah disfungsi. Mewajibkan mahasiswa untuk
menyanyikan lagu Indonesia Raya dan memakai batik di hari tertentu, merupakan
integrasi koersif yang negatif, menurut saya. Pemaksaan terhadap mahasiswa untuk
mengakui satu nilai yang sama tanpa mempertimbangkan kenyamanan dan hak untuk
memilih nilai untuk dipercaya masing masing mahasiswa, merupakan sebuah disfungsi.

Daftar Pustaka
Johnson, D.P. .TEORI SOSIOLOGI : Klasik Dan Modern / Doyle Paul Johnson .1986

Harrington, Austin. Modern Social Theory: An Introduction. PhilPapers, 16th edition ed.,

Oxford University Press, 2004, philpapers.org/rec/HARMST. Accessed 30 Mar.

2022.

Harris Mylonas (2016) The Politics of Nation-Building Revisited: A Response to Fabbe,

Kocher, and Köksal, Nationalities Papers, 44:3, 496-502, DOI:

10.1080/00905992.2016.1146242

Anda mungkin juga menyukai