Anda di halaman 1dari 27

Draft I

Membingkai Pemberdayaan
Masyarakat Desa
Sutoro Eko

Ketika saya memberi makan pada orang miskin,


mereka menyebut saya seorang pendeta.
Ketika saya bertanya mengapa kaum miskin
tidak mempunyai pangan,
mereka menyebut saya seorang komunis.
(Dom Helder Camara)

Pemberdayaan (empowerment) telah menjadi sebuah jargon


yang sangat populer dalam khazanah pembangunan di Indonesia
selama satu dekade terakhir. Bahkan ia menjadi sebuah konsep yang
latah dan mengalami inflasi. Banyak pihak, mulai dari pejabat
pemerintah, politisi, ulama, akademisi, sampai aktivisi sosial
berbicara tentang pemberdayaan. Pemerintah, yang dulu ikut
memperdayakan masyarakat dengan konsep pembinaannya,
sekarang sangat getol berbicara pemberdayaan. Kementerian Urusan
Peranan Wanita digantikan dengan Pemberdayaan Perempuan.
Departemen Dalam Negeri juga merubah Ditjen Sospol menjadi
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat serta Ditjen
Pembangunan Masyarakat Desa menjadi Ditjen Bina Pemberdayaan
Masyarakat. Di daerah/lokal muncul Kantor Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat sebagai
pengganti LKMD, Lembaga Pemberdayaan Perempuan untuk
menggantikan PKK dan masih banyak lagi. Mengapa para pejabat
pemerintah itu memunculkan konsep pemberdayaan? Apa konsep,
perspektif dan kebijakan pemerintah tentang pemberdayaan? Adakah
perubahan paradigmatik dari pembangunan dan pembinaan ke
pemberdayaan?
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan di
atas, seraya mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam konteks
pemberdayaan. Tetapi ada jawaban sementara banyak orang bahwa
pemerintah hanya bersikap reaktif terhadap isu-isu pemberdayaan
yang berkembang di ruang publik dengan cara mengganti baju,
sementara substansi dan proses kebijakan pemberdayaan tidak
berubah. Karena itu pemberdayaan yang dikedepankan pemerintah
kurang otenti dan bermakna bagi masyarakat.
Melalui tulisan ini, saya tidak sekadar melakukan kompilasi
terhadap konsep dan isu pemberdayaan yang telah berserakan,

Draft I

tetapi saya hendak membingkai kembali konsep, perspektif dan


strategi pemberdayaan masyarakat, yang kemudian akan saya bawa
masuk ke dalam konteks masyarakat desa. Pada bagian pertama
saya akan mereview konteks historis dan pergeseran paradigmatik
yang mendorong konsep pemberdayaan semakin populer selama
satu dekade terakhir. Bagian kedua akan mengelaborasi konsep,
cakupan dan perspektif pemberdayaan yang sudah dikembangkan
oleh para teoretisi dan aktivis. Tentu saja pemahaman tentang
pemberdayaan sangat bervarian, sehingga yang lebih penting di sini
adalah bagaimana dan dimana saya mengambil posisi berdiri. Bagian
ketiga memasuki pemetaan problem (ketidakberdayaan) masyarakat
desa secara ekonomi, politik dan sosiologis. Pada bagian terakhir
saya akan merumuskan dan membingkai kembali sejumlah agenda
strategis pemberdayaan masyarakat desa.
KONTEKS PEMBERDAYAAN
Untuk memahami asal-usul pemberdayaan saya tidak perlu
menengok terlalu jauh pada paradigma pencerahan (enlightenment)
yang lahir pada Abad Pertengahan. Perkembangan mutakhir yang
membuat populer pemberdayaan bisa dilacak pada sekuen waktu
tiga dekade terakhir ketika terjadi perubahan haluan pada tradisi
ilmu sosial, studi dan kebijakan pembangunan, serta gerakan sosial
yang berbasis pada masyarakat sipil. Dengan kalimat lain, saya
berpendapat bahwa pemberdayaan yang kini populer didorong oleh
tiha hal: berkembangnya ilmu sosial berhaluan humanistik;
munculnya paradigma pembangunan alternatif sebagai solusi (kritik)
terhadap developmentalisme; serta gerakan civil society yang
mendorong demokratisasi di belahan dunia.
1. Ilmu Sosial Humanistik
Secara paradigmatik munculnya konsep pemberdayaan bisa
dilacak dari perlawanan ilmu-ilmu sosial humanistik terhadap
positivisme yang sudah lama menjadi ideologi hegemonik dalam
tradisi ilmu-ilmu sosial. Positivisme adalah sebuah aliran dalam
tradisi keilmuan yang hendak membersihkan pengetahuan dari
kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh
pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari
praksis kehidupan manusia. Ia menganggap pengetahuan mengenai
fakta obyektif sebagai pengetahuan yang sahih. Ilmu, menurut
positivisme, harus netral, bebas dari nilai, bebas dari kepentingan
dan lain-lain (A. Giddens, 1975; V. Kraft, 1979).
Positivisme menjadi racun mujarab bagi ilmu-ilmu sosial dan
para ilmuwan sosial. Mereka selalu mengangungkan cara berpikir
positivistik, dengan mengutamakan obyektivitas dalam berbagai
kegiatan keilmuan. Dalam kegiatan penelitian misalnya, pengikut
positivisme selalu menggunakan metode survei dan kuantitatif yang
selalu menghasilkan kebenaran ilmiah yang obyektif. Subyektivitas

Draft I

sama sekali tidak dikenal dalam benak mereka, karena subyektivitas


dianggap tidak ilmiah dan menyesatkan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Konsep berpihak dan pemberdayaan maupun metode
action research tidak dikenal dalam tradisi positivisme. Tetapi banyak
penelitian survei yang lengkap dengan banyak rekomendasi ternyata
tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Sikap
obyektif ilmuwan sosial yang berhaluan positivisme menjadikan
mereka tidak kritis terhadap relasi-relasi sosial dalam masyarakat,
sehingga mereka secara sistemik justru terlibat dalam proses
penindasan atau ikut melanggengkan status quo yang represif.
Positivisme yang menghegemoni ilmu-ilmu sosial dan
perguruan tinggi memang tidak luput dari kritik. Perspektif berhaluan
kiri (Marxis), teori kritis Mazhab Frankfrut sampai postmodernisme
telah lahir sebagai kritik atas positivisme yang sebenarnya menindas
masyarakat. Teori kritik yang dikembangkan Jrgen Habermas (1971,
1974, 1979) dan para pendahulunya, sebagai contoh, sangat tidak
percaya pada positivisme yang mengangungkan ilmu pengetahuan
bebas nilai dan kepentingan. Sebaliknya, menurut teori kritik, setiap
pengetahuan membawa kepentingan. Menurut teori kritik,
pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal
yang saling bertautan dan ketiganya terkait pada praksis kehidupan
sosial manusia. Pengetahuan merupakan aktivitas, proses,
kemampuan dan bentuk kesadaran manusiawi, sedangkan ilmu
pengetahuan merupakan bentuk pengetahuan yang direfleksikan
secara metodis. Jika pengetahuan dan ilmu pengetahuan membeku
(karena positivisme) menjadi delusi atau kesadaran palsu yang
merintangi praksis sosial untuk mewujudkan kebaikan, kebenaran,
kebahagiaan dan kebebasannya, maka keduanya telah berubah
menjadi ideologi. Teori kritik sangat berkepentingan membebaskan
sekaligus menyembuhkan masyarakat yang mendekam dalam
kungkungan ideologi (positivisme) itu melalui kritik ideologi.
Kepentingan teori kritik disandarkan pada prinsip bahwa manusia
sebagai spesies punya kepentingan emansipatoris untuk
membebaskan diri dari hambatan-hambatan ideologis melalui
perantara kekuasaan, dan kepentingan ini tampil dalam benutk
pengetahuan analitis yang disistematisir secara metodis menjadi
ilmu-ilmu sosial kritis-humanistik.
Konsep pemberdayaan sebenarnya sangat diilhami, atau paling
tidak, bisa dilacak dengan teori kritis di atas. Pemberdayaan sebagai
bentuk keberpihakan ilmu sosial dan ilmuwan sosial sangat diilhami
oleh kepentingan emansipatoris, tindakan revolusioner dan
metodologi refleksi-diri yang dikembangkan oleh teori kritik. Kita
tidak bakal memperoleh pemahaman tentang pemberdayaan bila
masih menggunakan kacamata positivisme, karena aliran ini hanya
mempunyai kepentingan teknis, tindakan rasional dengan dukungan
metodologi empiris-analitis, serta mengecam habis-habisan
keberpihakan. Ketika pemberdayaan menjadi wacana, kerangka

Draft I

kerja dan metodologi teori kritik tersebut sering digunakan oleh para
ilmuwan dan praktisi sosial, misalnya melalui action research dengan
menggunakan metode Participatory Action Research (PAR). Metode
PAR antara lain menganjurkan penelitian bersama antara peneliti
dengan masyarakat untuk mengidentifikasi masalah lokal,
menguraikan, menganalisis dan sekaligus memecahkan masalah
bersama-sama. Dengan demikian, PAR yang berbasis pada teori kritik
itu mengutamakan pendekatan intersubyektivitas, sebagai proses
bersama untuk pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat menurut teori kritik ini adalah sebuah upaya refleksi-diri
dan emansipatoris untuk mewujudkan kesadaran kritis yang bisa
dicapai dengan pendidikan pembebasan seperti dibayangkan Paulo
Freire.
2. Pembangunan Alternatif
Gerakan kritis itu tidak hanya terjadi di bilik ilmu sosial dan
metodologi, tetapi juga di kalangan ahli dan praktisi pembangunan.
Sejak tiga dekade silam, para ahli pembangunan berhaluan kritis
telah melontarkan pertanyaan besar, mengapa terjadi kemiskinan di
tengah-tengah gencarnya proyek-proyek pembangunan? Dudley
Seers (1969), misalnya, menilai pertanyaan kritis itu telah
mengundang upaya serius memikirkan kembali doktrin-doktrin
pembangunan. Konon tumbuh ortodoksi yang kuat bahwa
merajalelanya kemiskinan di Dunia Ketiga disebabkan karena
gagalnya model pembangunan ekonomi yang sangat dipengaruhi
oleh teori modernisasi atau doktrin developmentalisme.
Teori modernisasi lahir sebagai peristiwa penting dunia setelah
Perang Dunia Kedua. Pertama, setelah munculnya Amerika Serikat
sebagai negara adikuasa dunia. Pada tahun 1950-an Amerika Serikat
menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang
diperlukan membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia
Kedua. Kedua, pada saat yang sama terjadi perluasan komunisme di
seantero jagad. Uni Soviet memperluas pengaruh politiknya sampai
di Eropa Timur dan Asia, antara lain di Cina dan Korea. Hal ini
mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas pengaruh
politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah satu usaha
pembendungan penyuburan ideologi komunisme. Ketiga, lahirnya
negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang
sebelumnya merupakan wilayah koloni negara-negara Eropa dan
Amerika. Negara-negara tersebut mencari model-model
pembangunan yang bisa digunakan sebagai contoh untuk
membangun ekonominya dan mencapai kemerdekaan politiknya.
Dalam situasi dunia seperti ini bisa dipahami jika elit politik Amerika
Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan untuk
mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan
sebagai langkah awal untuk membantu membangun ekonomi dan
kestabilan politik Dunia Ketiga, seraya untuk menghindari

Draft I

kemungkinan jatuhnya negara baru tersebut ke pangkuan Uni Soviet


(Suwarsono, 1991).
Sebelum Perang Dunia Kedua, persoalan pembangunan negara
Dunia Ketiga tidak begitu mendapat perhatian para ilmuwan Amerika
Serikat. Akan tetapi, setelah Perang Dunia Kedua, keadaan yang
sebaliknya terjadi. Dengan bantuan melimpah dari Amerika Serikat
dan organisasi swasta, satu generasi baru ilmuwan politik, ekonomi,
dan para ahli sosiologi, psikologi, antropologi, serta ahli
kependudukan menghasilkan karya-karya disertasi dan monograf
tentang Dunia Ketiga. Satu aliran pemikiran antardisiplin yang
tergabung dalam ajaran modernisasi sedang terbentuk pada tahun
1950-an tersebut. Karya kajian teori modernisasi merupakan industri
yang tumbuh segar sampai pertengahan 1960-an.
Secara epistemologis, teori modernisasi adalah campuran antara
pemikiran fungsionalisme struktural dengan pemikiran behaviorisme
kultural Parsonian. Para pendukungnya memandang bahwa
masyarakat bakal berubah secara linier, yaitu perubahan yang selaras,
serasi dan seimbang dari unsur masyarakat paling kecil sampai ke
perubahan masyarakat keseluruhan; dari tradisisonal menuju modern.
Pandangan teori modernisasi semacam itu diilhami oleh pengalaman
sejarah Revolusi Industri di Inggris yang dianggap sebagai titik awal
pertumbuhan ekonomi kapitalis modern dan Revolusi Perancis sebagai
titik awal pertumbuhan sistem politik modern dan demokratis.
Perdebatan pembangunan dalam pagar teori modernisasi
melibatkan para sarjana dari berbagai kalangan, baik ekonom,
sosiolog, psikolog dan ilmuwan politik. Para ekonom seperti Rostow,
Micahel Todaro, Arthur Lewis, Hollis Chenery, Everett Hagen dan
sebagainya umumnya berbicara dengan cara pandangnya masingmasing -- tentang implikasi pengalaman industrialisasi di Barat pada
pembangunan di wilayah Dunia Ketiga, serta membicarakan strategi
dan perencanaan pembangunan, perdagangan internasional, transfer
teknologi, investasi, yang kesemuanya untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga. Kehadiran para ekonom
dalam tradisi modernisasi itu yang kemudian mendeklarasikan model
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Yaitu paradigma
yang terfokus pada persoalan bagaimana menjamin atau
meningkatkan perbaikan taraf hidup rakyat secara terus menerus,
yang tercermin dari kenaikan pendapatan nasional atau pendapatan
per kapita (GNP) secara kumulatif. Terlebih lagi ketika PBB menetapkan tahun 1960-1970 sebagai Dekade Pembangunan I, yang
memandang "pembangunan" dalam arti pencapaian pertumbuhan
GNP sebesar 6 persen per tahun.
Aliran ekonomi klasik menganjurkan bahwa percepatan
pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui investasi modal
besar-besaran dalam proses industrialisasi (Arief Budiman, 1995).
Segala aset sumberdaya yang terakumulasi digunakan untuk mencapai peningkatan produksi semaksimal mungkin. Oleh karena itu,

Draft I

David Korten memberinya atribut pendekatan pembangunan yang


berpusat pada pertumbuhan. Model pembangunan ini memusatkan
perhatian pada:
1. Industri dan bukan pertanian, padahal mayoritas penduduk dunia
memperoleh mata pencaharian mereka dari pertanian;
2. Daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan, padahal mayoritas
penduduk tinggal di daerah pedesaan;
3. Pemilikan aset produktif yang terpusat, dan bukan aset produktif
yang luas, dengan akibat investasi-investasi pembangunan lebih
menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang
banyak;
4. Penggunaan modal yang optimal dan bukan penggunaan
sumberdaya modal yang optimal, dengan akibat sumberdaya
modal dimanfaatkan sedangkan sumberdaya manusia tidak
dimanfaatkan secara optimal;
5. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mencapai
peningkatan kekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan
untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumberdaya ini,
dengan menimbulkan kehancuran lingkungan dan pengurasan
basis sumberdaya alami secara cepat;
6. Efisiensi satuan-satuan produksi skala besar yang saling
tergantung dan didasarkan pada perbedaan keuntungan
internasional, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya
adaptasi dari satuan-satuan skala kecil yang diorganisasi guna
mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian
yang tidak efisien dalam hal energi, kurang daya adaptasi dan
mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusakan atau
manipulasi politik dalam bagian sistem itu (David C. Korten, 1987:
269-270).
Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan telah didorong oleh model-model ilmu ekonomi sistem terbuka yang
konvensional, yang memandang baik orang (manusia) maupun
lingkungan sebagai variabel luar. Manusia ditempatkan sebagai
sumberdaya produksi yang dapat dipasarkan, yang dibeli bila
keuntungan marjinalnya bagi perusahaan melebihi biaya marjinalnya
dan menyingkirkannya bila tidak menguntungkan. Biaya sosial dan
lingkungan dari keputusan-keputusan perusahaan sebagian besar
tidak ditanggungnya, dan diteruskan kepada kalangan umum,
sementara keuntungan diakumulasikan ke dalam atau menjadi milik
pribadi perusahaan.1
Selain itu, model pembangunan tersebut percaya melalui efek
tetesan ke bawah (trickle down effect), yakni bila terjadi akumulasi
kapital di kalangan kelas atas atau pusat, maka kapital itu akan
menetes ke bawah. Orang-orang di bawah akan "kecipratan"
1

Ibid., hal. 270.

Draft I

kekayaan ini, misalnya dalam bentuk lapangan kerja yang diciptakan.


Macam-macam konsumsi orang kaya juga akan memberikan
penghasilan bagi orang-orang di lapisan bawah.2 Karena itu lewat
mekanisme semacam itu pula perbaikan hidup rakyat pedesaan,
yang mayoritas miskin, diharapkan dapat terwujud. Peter Hagul
misalnya mencatat: "Perbaikan taraf hidup rakyat di pedesaan,
seperti halnya perbaikan hidup rakyat pada umumnya mula-mula
diharapkan dari pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan. 3
Namun sejarah menunjukkan bahwa "trickle down effect" tidak
mampu mengangkat kesejahteraan penduduk miskin. Suatu studi
komprehensif antar bangsa yang meliputi 74 negara yang dilakukan
oleh Adelman dan Morris (1978), menunjukkan bahwa kenaikan GNP
cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relatif
pendapatan nasional yang diterima penduduk termiskin.4 Dengan
demikian efek tetesan ke bawah tidak terjadi. Sebaliknya, yang
terjadi justru penyedotan ke atas (trickle-up effect) atau malahan
akan terjadi penyedotan produksi (production squeeze). Hal ini terjadi
karena program-program pembangunan direncanakan secara
terpusat (top down), yang seringkali tidak sesuai dengan
masalah-masalah yang dihadapi dan kebutuhan-kebutuhan yang
dirasakan oleh masyarakat bawah yang menjadi tujuan
pembangunan. Selain itu para perencana dan penentu kebijakan
yang menggariskan sasaran pembangunan dan mengalokasikan
sumber dana sering berada di bawah tekanan situasi untuk
memprodusir hasil kuantitatif dalam waktu yang singkat, sehingga
mereka condong menekankan sasaran-sasaran dari atas.5
Secara singkat dapat dikatakan bahwa model pertumbuhan
hanya menjadikan orang kaya menjadi kaya dan orang miskin menjadi
lebih miskin. Karena itu kritik dan kecaman terhadap doktrin
developmentalisme itu terus mengalir, mulai dari penganut paradigma
kebutuhan pokok, teori ketergantungan sampai dengan pendekatan
dan gerakan baru yang mengarah pada pemberdayaan. Karya Dudley
Seers, yang idenya memberikan pengertian baru terhadap
pembangunan dan memberi ilham terhadap pemberdayaan, banyak
dibicarakan dalam forum-forum internasional seperti Konferensi
Stokholm mengenai Lingkungan Manusia (1972) dan Seminar
Cocoyoc (Meksiko) mengenai Pola Strategi Penggunaan Sumber Daya
Lingkungan dan Pembangunan (1974). Kedua forum tersebut setuju
bahwa pembangunan harus diarahkan pada manusia dan
lingkungannya (Friedmann, 1992). Pada tahun 1975, Yayasan Dag
Hammarskjold Swedia menerbitkan laporan yang berjudul What
2

Arief Budiman, op. cit., hal. 124 ff.


Peter Hagul (ed.), Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya
Masyarakat Desa (Jakarta: Rajawali, 1985), hal. vi.
4
Diadaptasi dari Moeljarto Tjokrowinoto (1987), op. cit., hal. 33.
5
Bambang
Ismawan,
"Pendidikan
Yang
Diperlukan
Untuk
Pengembangan Pedesaan", dalam Peter Hagul (ed.), op. cit., hal. 6.
3

Draft I

Now? Another Development untuk memperingati 30 tahun PBB.


Dalam laporan itu disampaikan tuduhan terhadap kegagalan model
dan kebijaksanaan pembangunan kemiskinan massal dan
sustainability. Laporan itu mengakui bahwa untuk memberantas
kemiskinan, pembangunan harus bersifat endogenous dan selfreliance. Maka, pembangunan harus tergantung pada kekuatan
masyarakat yang mengalaminya (Fuglesang & Chandler, 1988: 8).
Pada tahun berikutnya, The International Foundation for
Development Alternatives (IFDA) didirikan di Nyon, Swiss oleh
kelompok praktisi pembangunan untuk meluncurkan Proyek Sistem
Ketiga (the Third System Project).
Literatur terbaru mengenai pembangunan secara subtansial
melihat suatu pendekatan alternatif terhadap pembangunan yang
berfokus tidak hanya pada keterlibatan pihak penerima dalam proses
pembangunan, tetapi juga memampukan mereka untuk
mengawasinya guna melindungi kepentingan mereka. Dalam hal ini,
pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik untuk
melindungi kepentingan rakyat (Friedmann, 1992). Tujuan
pembangunan alternatif adalah memanusiakan suatu sistem
yang membungkam mereka dan untuk mencapai tujuan ini
diperlukan bentuk-bentuk perlawanan dan perjuangan politis yang
menekankan hak-hak mereka sebagai manusia dan warga negara
yang tersingkir.
Ilmuwan yang lain, Robert Chambers, menyebut pembangunan
alternatif sebagai paradigma pembalikan (the paradigm of
reversal), yakni menempatkan terlebih dahulu berbagai prioritas
kaum miskin (Chambers, 1994). Dengan demikian, para pendukung
pembangunan alternatif memusatkan perhatian pada manusia dan
kebutuhannya menurut ukuran mereka sendiri dan bukan
sebagaimana yang diperkirakan para praktisi pembangunan di masa
lampau. Di masa lampau, sebagian besar rakyat telah tersingkir dari
proses pembangunan, oleh karena itu diperlukan pemecahan
masalah-masalah pembangunan melalui pemberdayaan.
Menjelang akhir dekade 1980-an, paradigma pembangunan
yang berpusat pada manusia (rakyat) maupun pembangunan
alternatif, sangat populer dalam literatur pembangunan. David
Korten, misalnya, menyebut ciri-ciri paradigma pembangunan
berpusat pada rakyat sebagai berikut: (1) logika yang dominan dari
paradigma ini adalah logika mengenai suatu ekologi manusia yang
seimbang; (2) sumber daya utama berupa sumber-sumber daya
informasi dan prakarsa kreatif yang tak habis-habisnya; dan (3)
tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan
sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia.6 Korten
(1988: 374) menilai bahwa paradigma ini memberi peran kepada
individu bukan sebagai obyek, melainkan sebagai aktor "yang
6

David C. Korten, "Pembangunan Yang Berpusat Pada Rakyat: Menuju


Suatu Kerangka Kerja", dalam David C. Korten dan Sjahrir, op. cit., hal. 374.

Draft I

menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan


proses yang mempengaruhi kehidupannya." Konsekuensinya,
pembangunan yang berpusat pada rakyat memberikan nilai yang
sangat tinggi pada inisisatif lokal dan sistem-sistem untuk
mengorganisasi diri sendiri melalui satuan-satuan organisasional
yang berskala manusiawi dan komunitas-komunitas yang mandiri.
Model pembangunan ini punya perbedaan fundamental di dalam
karakteritik dasarnya dibandingkan dengan strategi pertumbuhan
atau strategi kebutuhan dasar yang selama ini mendominasi agenda
pembangunan di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.
Moeljarto Tjokrowinoto juga memberikan deskripsi
pembangunan yang berpusat pada rakyat (manusia) seperti di bawah
ini:
1. Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada
masyarakat sendiri. Meskipun pelbagai ketentuan secara formal
telah mengatur bottom up planning, di dalam realitanya, LKMD
lebih berfungsi sebagai implementor proyek- proyek sektoral dan
regional.
2. Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang
terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apa
yang terjadi pada saat ini, arus dana yang relatif lancar
membatasi upaya untuk mengidentifikasi dan menggali sumber
itu. Counter fund bantuan desa, dan akhir-akhir ini "simpedes",
mungkin menuju ke arah identifikasi dan mobilisasi sumber tadi.
Akan tetapi hal ini tidak boleh merupakan adhocracy, akan tetapi
harus melembaga.
3. Pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya
flexible menyesuaikan dengan kondisi lokal.
4. Di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini
menekankan pada proses social learning yang di dalamnya
terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai
dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan
mendasarkan diri saling belajar.
5. Proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasi dan
lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi
tradisional yang mendiri, merupakan bagian integral dari
pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka
mengidentifikasi dan mengelola pelbagai sumber, maupun untuk
menjaga keseimbangan antara struktur vertikal maupun
horizontal. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi
simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.7
Dasar pemahaman terhadap pembangunan yang berpusat
pada rakyat adalah asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok
dan sumber paling strategis. Karena itu, pembangunan juga meliputi
7

Moeljarto Tjokrowinoto, op. cit., hal. 26-27.

Draft I

usaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensi


manusia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalam
proses pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memiliki
dampak bagi mereka dan mencoba mempromosikan kekuatan
manusia, bukan mengabadikan ketergantungan yang menciptakan
hubungan antara birokrasi negara dengan masyarakat.
Proposisi di atas mengindikasikan pula bahwa inti
pembangunan berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan
(empowerment) yang mengarah pada kemandirian masyarakat.
Dalam konteks ini, dimensi partisipasi masyarakat menjadi sangat
penting. Melalui partisipasi kemampuan masyarakat dan perjuangan
mereka untuk membangkitkan dan menopang pertumbuhan kolektif
menjadi kuat.8
Tetapi partisipasi di sini bukan hanya berarti keterlibatan
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan atau masyarakat
hanya ditempatkan sebagai "obyek", melainkan harus diikuti
keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan atau proses
perencanaan pembangunan, atau masyarakat juga ditempatkan
sebagai "subyek" utama yang harus menentukan jalannya
pembangunan. Sebab itu gerakan pemberdayaan menilai tinggi dan
mempertimbangkan inisiatif dan perbedaan lokal.
Pada tahun 1990-an, pemberdayaan diyakini sebagai sebuah
pembangunan alternatif atas model pembangunan yang berpusat
pada pertumbuhan.9 Pada tahap awal, pembangunan alternatif
mengedepankan beberapa keyakinan:
Negara merupakan bagian dari problem pembangunan, sehingga
pembangunan alternatif harus mengeluarkan dan bahkan melawan
negara.
Rakyat tidak bisa berbuat salah dan bahwa masyarakat adalah
perkumpulan yang mandiri.
Tindakan masyarakat telah mampu dan mencukupi untuk
mewujudkan pembangunan alternatif tanpa campur tangan
negara.10
Akan tetapi salah satu penggagas pembangunan alternatif,
seperti John Friedmann (1992), menolak keras tiga pandangan di atas.
Bagi Friedmann, seperti halnya Korten, pembangunan alternatif sangat
berpusat pada rakyat (manusia) dan lingkungannya ketimbang pada
produksi dan keuntungan, yang ditujukan untuk mendorong kemajuan
dan HAM. Dari segi pendekatan, model pembangunan ala Friedmann
menekankan pada pemberdayaan rumah tangga beserta anggotanya
dalam tiga segi (sosial, politik dan psikologi). Friedmann sama sekali
tidak menafikkan peran negara. Bagi dia, negara harus kuat dalam
merancang dan mengimplementasikan kebijakannya. Negara kuat
8

Ibid., hal. 39.


9
John Friedmann, Empowerment: The Politics of
Development (Cambridge MA & Oxford UK: Blackwell, 1992).
10
Ibid., hal. 7.

10

Alternative

Draft I

tidak harus ditandai dengan birokrasi yang otoriter dan arogan,


melainkan birokrasi yang responsif, transparan dan
bertanggungjawab.
Negara yang kuat seperti itu, kata Friedmann, didukung kuat
oleh demokrasi inklusif, dimana kekuasaan negara untuk mengelola
problem lebih lebih baik bersifat lokal. Ini membutuhkan desentralisasi
politik dari pemerintah nasional ke pemerintah lokal, khususnya lagi
kepada masyarakat setempat yang terorganisir dalam komunitas
mereka sendiri.
3. Civil society movement
Gerakan sosial (social movement) bukanlah fenomena baru
baik dari sisi wacana maupun praksis. Tetapi saya melihat sebuah
pergeseran paradigmatik dan strategi gerakan sosial sejak tahun
1980-an. Gerakan sosial lama umumnya banyak dipengaruhi oleh
tradisi Marxisme, yang mengambil bentuk gerakan sosial berbasis
kelas, yaitu perjuangan kelas buruh dan tani secara massal untuk
melawan negara maupun kaum kapitalis. Menurut Cohen dan Arato
(1992), gerakan sosial lama ini mengambil paradigma mobilisasi
sumberdaya. Paradigma lama ini punya keyakinan bahwa gerakan
sosial adalah sebuah aksi kolektif berbasis kelas yang membutuhkan
organisasi yang tangguh, pemimpin, kepentingan, kesempatan, dan
strategi yang jitu untuk mobilisasi massa dalam skala besar.
Keberhasilan mobilisasi massa dalam skala besar inilah yang menjadi
penentu keberhasilan gerakan sosial mendobrak struktur ekonomi
dan politik secara revolusioner.
Sejak tahun 1980-an gerakan sosial lama itu mulai kehilangan
pengaruh. Gerakan sosial baru sejak 1980-an tidak lagi berbasis
kelas, melainkan melintasi batasan kelas, etnis, agama, ras, dan lainlain. Gerakan sosial baru inilah yang disebut dengan civil society
movement yang lebih demokratis, pluralis dan inklusif (Cohen dan
Arato, 1992; David Korten, 1993). Kekuatan rakyat menjadi kunci
dalam gerakan sosial baru, walaupun pengungkapannya harus
mencakup lebih dari sekadar unjuk-rasa massal yang sejenak berlalu.
Ungkapan kekuatan rakyat sebagai kekuatan untuk perombakan
harus dipertahankan dan disalurkan melalui perpaduan antara
organisasi massa, prakarsa individu secara sukarela dan organisasi
sukarela.
Berbeda dari gerakan-gerakan sosial Marxisme, gerakan
masyarakat sipil tidak boleh menjadi gerakan kelas masyarakat yang
satu melawan kelas masyarakat lain. Gerakan ini harus sekaligus
menggugah kesadaran-kelas antara yang berkuasa maupun yang
tidak berdaya, namun juga harus mencakup semua kelas, bergabung
dalam satu komitmen untukmemecahkan krisis yang akhirnya akan
membahayakan semua orang yang hidupnya dan kesejahteraannya
bergantung pada keamanan dan integritas pesawat angkasa bumi.
Bumi yang tidak beringas adalah tujuan hakiki gerakan ini dan cara

11

Draft I

yang dipakai harus konsisten dengan tujuan itu. Gerakan harus


mengupayakan transformasi pranata-pranata yang ada melalui
regenerasi, tidak melalui penghancuran pranata-pranata itu atau
imobilisasi lebih lanjut. Akhirnya, kekuatan harus tetap berada di
tangan rakyat, tidak berada di tangan beberapa orang yang
menempatkan diri sendiri di baris depan dan memerintah atas nama
rakyat. Kekuatan ini harus tersusun dari dan mendukung upaya
rakyat untuk membangun secara mandiri.
Gerakan baru masyarakat sipil mengangkat cakupan isu yang
sangat luas: demokratisasi, HAM, otonomi lokal, gender, lingkungan,
perdamaian, dan lain-lain. NGO dan organisasi rakyat adalah aktor
utama gerakan sosial baru berbasis masyarakat sipil itu. Apa
kontribusi gerakan NGO dan PO? Apa relevansinya dengan
pemberdayaan masyarakat?
Pertama, CSO itulah yang menjadi pelopor demokratisasi di
belahan dunia yang melawan keangkuhan rezim otoritarian.
Kedua, CSO adalah kekuatan counter terhadap paradigma
developmentalisme, dan sekaligus pelopor pembangunan yang
berbasis pada rakyat.
Kedua, CSO adalah pelopor pemberdayaan masyarakat yang
dimulai dari pengorganisasian dan pendidikan untuk penyadaran dan
pembebasan masyarakat dari belenggu struktural.
TENTANG PEMBERDAYAAN
Terminologi pemberdayaan pertama kali digunakan dalam
konteks mobilisasi politik oleh para aktivis Black Panther Movement
di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an. Sejak saat itu istilah
pemberdayaan memasuki banyak bidang teori maupun praktik.
Bahkan konsep pemberdayaan itu semakin dimantapkan dalam
wacana pembangunan oleh Bank Dunia (1994):
Banyak pelayanan publik yang lebih baik dikelola pada level
lokal bahkan di level desa dimana agen-agen pemerintah
pusat memberikan hanya sekadar nasihat teknis dan masukan
khusus. Tujuan besarnya harus memberdayakan rakyat untuk
bertanggungjawab mengelola kehidupan mereka sendiri, untuk
membuat komunitas lebih bertanggungjawab terhadap agenda
pembangunan mereka sendiri, dan untuk membuat pemerintah
mendengarkan rakyatnya. Membangun struktur yang lebih
pluralistik termasuk NGO merupakan sebuah perangkat
untuk mencapai tujuan tersebut.

Pemberdayaan dimaknai oleh banyak pihak dengan banyak


perspektif dan banyak cara, sehingga banyak definisi yang
bertebaran. Sebelum berbicara tentang makna pemberdayaan, saya

12

Draft I

akan menyampaikan beberapa pendapat penting sebagai basis


pemahaman terhadap pemberdayaan. Pertama, tanpa mengabaikan
urgensi individu sebagai basis pemberdayaan, saya meletakkan
pemberdayaan dalam konteks masyarakat secara kolektif.
Masyarakat saya pahami sebagai entitas atau komunitas kehidupan
warga (individu) yang di dalamnya tumbuh sistem sosial budaya dan
relasi sosial baik horizontal maupun vertikal. Di dalam masyarakat
terjadi relasi sosial antar orang, antar keluarga, antar komunitas,
antar organisasi sosial dan seterusnya. Secara vertikal masyarakat
sebagai entitas itu punya relasi sosial-politik dengan negara, yang
populer disebut sebagai governance. Dalam konteks governance itu,
negara melalui birokrasi menjalankan regulasi, kontrol, pelayanan
publik, menggalang investasi, dan juga memungut pajak pada warga.
Jika mengikuti logika good governance atau democratic governance,
negara harus dikelola secara transparan, akuntabel dan responsif.
Kedua,
Kedua, pemberdayaan secara prinsipil berurusan dengan upaya
memenuhi kebutuhan (needs) masyarakat. Banyak orang
berargumen bahwa masyarakat akar rumput sebenarnya tidak
membutuhkan hal-hal yang utopis (ngayawara) seperti demokrasi,
desentralisasi, good governance, otonomi daerah, masyarakat sipil,
dan seterusnya. Apa betul masyarakat desa butuh demokrasi dan
otonomi desa? Saya yakin betul, masyarakat itu hanya butuh
pemenuhan sandang, pangan dan papan (SPP). Ini yang paling dasar.
Tidak ada gunanya bicara demokrasi kalau rakyat masih miskin,
demikian tutur seorang teman yang mengaku sering berinteraksi
dengan warga desa. Pendapat ini masuk akal, tetapi sangat dangkal.
Mungkin kebutuhan SPP itu akan selesai kalau terdapat uang yang
banyak. Tetapi persoalannya sumberdaya untuk pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat itu sangat langka (scarcity) dan
terbatas (constrain). Masyarakat tidak mudah bisa akses pada
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan SPP. Karena itu,
pemberdayaan adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan
masyarakat di tengah-tengah scarcity dan constrain sumberdaya.
Bagaimanapun juga berbagai sumberdaya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan
ada problem struktural (ketimpangan, eksploitasi, dominasi,
hegemoni, dll) yang menimbulkan pembagian sumberdaya secara
tidak merata. Dari sisi negara, dibutuhkan kebijakan dan program
yang memadai, canggih, pro-poor untuk mengelola sumberdaya yang
terbatas itu. Dari sisi masyarakat, seperti akan saya elaborasi
kemudian, membutuhkan partisipasi (voice, akses, ownership dan
kontrol) dalam proses kebijakan dan pengelolaan sumberdaya.
Ketiga, tanpa mengabaikan dimensi kultural pemberdayaan
(pencerahan dan emansipasi) yang melekat pada diri setiap individu
(mental, kesadaran, sikap, perilaku dan lain-lain), saya lebih cocok

13

Draft I

memakai dimensi struktural untuk memahami pemberdayaan.


Pemberdayaan tidak bisa hanya diletakkan pada kemampuan dan
mental diri individu, tetapi harus diletakkan pada konteks relasi
kekuasaan yang lebih besar, dimana setiap individu berada di
dalamnya. Mengikuti pendapat Margot Breton (1994), realitas
obyektif pemberdayaan merujuk pada kondisi struktural yang
mempengaruhi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya
di dalam masyarakat. Dia juga mengatakan bahwa realitas subyektif
perubahan pada level individu (persepsi, kesadaran dan pencerahan),
memang penting, tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif
pemberdayaan: perubahan kondisi sosial. Setiap individu tidak bisa
mengembangkan kamampuan dirinya karena dalam masyarakat
terjadi pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif, dan
ketimpangan sosial, demikian tulis Heller (1994: 185). Bahkan James
Herrick (1995) menegaskan bahwa pemberdayaan yang
menekankan pada pencerahan dan emansipasi individu tidak cukup
memadai memfasilitas pengembangan kondisi sosial alternatif.
Berbasis pada tiga argumen di atas, saya memahami
pemberdayaan dalam konteks relasi struktural antara masyarakat
dan negara. Karena itu saya juga memberikan pemaknaan
pemberdayaan dari dua sisi: masyarakat dan negara. Seperti terlihat
dalam tabel 1, pemberdayaan dari sisi negara berarti power sharing
dan membawa negara lebih dekat pada masyarakat, melalui
penguatan kapasitas negara, demokratisasi, desentralisasi serta
deregulasi dan debirokratisasi. Pemberdayaan dari sisi masyarakat
berarti memperkuat kapasitas, kohesivitas, partisipasi dan posisi
tawar masyarakat ketika berinteraksi dengan negara dan juga pasar,
melalui: pendidikan dan penyadaran kolektif, partisipasi (voice,
akses, ownership dan kontrol), serta pengorganisasian gerakan
rakyat (social movement).
Mengapa pemberdayaan harus dilihat dari dua sisi sekaligus?
Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa pemberdayaan adalah
gerakan rakyat secara konfrontatif untuk melawan (melemahkan)
negara yang notabene korup, hegemonik dan menindas. Pendekatan
yang konfrontatif mungkin tidak terlalu relevan bila diterapkan dalam
masyarakat komunal di tingkat komunitas (seperti desa), misalnya
dengan cara penguatan masyarakat untuk melawan perangkat desa,
sebab pendekatan itu bisa menghancurkan relasi sosial yang
berbasis ketetanggaan maupun kekerabatan yang sudah lama
dibangun secara komunal. Saya justru memahami bahwa interaksi
atau relasi kekuasaan antara negara dan masyarakat bukan dalam
pengertian pertarungan sampai pada titik nol (zero sum game),
tetapi keseimbangan posisi dan peran antara negara dan
masyarakat. Pemberdayaan yang berkelanjutan bukan berarti
membuat masyarakat yang kuat (strong society) untuk membikin
negara yang lemah (weak state) melalui pendekatan konfrontatif,
melainkan menciptakan keseimbangan antara negara dan

14

Draft I

masyarakat melalui pendekatan kemitaraan (partnership). Tetapi


prinsip dasarnya, pemberdayaan harus dimulai dari bawah
(masyarakat) melalui pembelajaran, penyadaran secara kritis,
pengorganisasian dan partisipasi, yang kesemuanya menjadi basis
bagi advokasi untuk mendorong perubahan pada ranah negara:
demokratisasi, desentralisasi, deregulasi dan debirokratisasi.
Keempat konsep yang terkandung dalam power sharing dari negara
ke masyarakat itu tidak bakal tercapai bila hanya berharap pada
lahirnya political will dari pemerintah, kecuali tanpa desakan yang
kritis dan terorganisir dari bawah. Runtuhnya Orde Baru misalnya,
yang mendorong transisi menuju demokrasi, bisa terjadi bukan
karena kehendak rezim yang berkuasa melainkan karena desakan
dari unsur-unsur masyarakat.
Tabel 1
Dua sisi pemberdayaan
Sisi Negara
Power sharing dan membawa
negara lebih dekat pada
masyarakat:
Penguatan kapasitas negara

Demokratisasi
Desentralisasi

Deregulasi dan debirokratisasi

Sisi Masyarakat
Memperkuat kapasitas,
kohesivitas, partisipasi dan posisi
tawar:
Pendidikan dan penyadaran
kolektif
Capacity building
Partisipasi (voice, akses,
ownership dan kontrol)
Pengorganisasian gerakan
rakyat (social movement)

Bagaimana pemetaaan dan pemahaman pemberdayaan di atas


diletakkan dalam kerangka paradigma pemberdayaan yang lebih
luas? Mengikuti karya Mansoer Fakih (1996), paradigma
pemberdayaan di kalangan LSM bisa dibagi menjadi tiga:
konformisme atau bisa disebut karitatif, reformasi dan transformasi.
Tabel 2
Peta paradigma (pemberdayaan) LSM
No

Elemen

Sebabsebab
masalah

KONFORMISME/
KARITATIF
Keadaan
rakyat
setempat
Takdir Tuhan
Nasib buruk

15

REFORMASI

Lemahnya
pendidikan
Penduduk
yang
berlebihan

TRANSFORMAS
I
Eksploitasi
Struktur
yang
timpang
Hegemoni

Draft I

negara dan
kapitalis

Sasaran

Program

4
5

Tipe
perubahan
dan asumsi
Tipe
kepemimpin
an

Tipe
pelayanan

Nilai-nilai
tradisional
Korupsi
Mengurangi Meningkatka
penderitaan
n produksi
Mendoakan
Membuat
struktur
Mengharapk
yang ada
an
bekerja
Merubah
nilai-nilai
rakyat
Perawatan
Pelatihan
anak
teknis
Bantuan
Bisnis kecil
kelaparan,
Pengemban
bencana
gan
Klinik
masyarakat
Rumah panti Bantuan
asuhan
hukum
Dompet
Pelayanan
amal
suplementer
Dana
bergulir
Fungsional/keseimbangan

Percaya
pada
pemerintah
Konsultatif

Memberi

derma
kepada
kaum miskin
Kesejahtera

an

16

Partisipatif
Memiliki
tanggungja
wab
bersama
Membantu
rakyat untuk
menolong
dirinya
sendiri
Revolusi
hijau
Pembangun
an
komunitas
Pendidikan
nonformal

Menentang
eksploitasi
Membangun
struktur
ekonomipolitik baru
Kontrawacana
Penyadaran
Pembangun
an ekonomi
alternatif
Serikat tani,
buruh
Koperasi

Kritik
struktural

Fasilitator ,
partisipatif
Disiplin
yang kuat
Land reform
Riset
partisipatif
Pendidikan
rakyat

Draft I

Sumber: Diadaptasi dari Mansoer Fakih, Masyarakat Sipil untuk


Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 122.
1. Pemberdayaan dari sisi masyarakat

Pemberdayaan, Pembangunan dan Pemerintahan


Mengapa perlu pemberdayaan? Apa dan bagaimana relevansi
pemberdayaan
dengan
pembangunan
dan
pemerintahan?
Pembangunan dan pemerintahan adalah proses pengelolaan
ekonomi-politik yang terkait dengan relasi antara negara, masyarakat
dan pasar.

Konteks Masyarakat Desa


Desa sejak lama merupakan sebuah entitas dan komunitas yang
menjadi basis kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia.
Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling
dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan
(perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa itu menjadi
bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas
kenegaraan:
menjalankan
birokratisasi
di
level
desa,
mengimplementasikan
program-program
pembangunan,
memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta melakukan kontrol
dan mobilisasi terhadap warga desa. Di sisi lain, karena dekatnya
arena itu, secara normatif masyarakat akar-rumput sebenarnya bisa
menyentuh langsung dan berpartisipasi dalam proses pemerintahan
dan pembangunan di tingkat desa. Tetapi, ketika partisipasi
masyarakat sudah mandul di tingkat desa (komunitas), pasti
partisipasi mereka lebih mandul di tingkat daerah dan nasional.
Masyarakat sudah lama hanya menjadi penonton dan obyek
program-program pembangunan yang mengalir dari Jakarta.
Pemerintah desa sendiri menjadi sentrum kehidupan desa, baik
sebagai dinas sosial bagi masyarakat dan sebagai keranjang
sampah bagi pemerintah supra desa. Pemerintahan desa
sebenarnya merupakan wujud konkret self-governing community
yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan konon desa
punya otonomi asli karena usianya jauh lebih tua ketimbang negara
atau kabupaten. Para pamong desa beserta elite desa lainnya
dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk
mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Karena itu
batas-batas urusan privat dan publik di desa sering kabur. Sebagai
contoh, warga masyarakat menilai kinerja pamong desa tidak

17

Draft I

menggunakan kriteria modern (transparansi dan akuntabilitas),


melainkan memakai kriteria tradisional dalam kerangka hubungan
klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yang bisa
dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk beranjangsana
(jagong, layat dan sanja).
Tetapi kehidupan desa tidaklah tunggal dan homogen, karena
masuknya negara dan modal ke desa. Ketika desa sudah
diintegrasikan ke negara, cerita self-governing community tidak ada
lagi. Tangan-tangan negara ikut bermain di desa. Negara juga
menjadikan desa sebagai keranjang sampah, yang membawa
semua urusan politik, pembangunan, dan administratif ke desa.
Negara juga bertindak menjadi pengawal masuknya modal ke desa
sehingga terjadilah kapitalisasi, yang konon sudah dimulai sejak
Revolusi Hijau. Dulu malah Golkar juga masuk ke desa menjadi beban
berat bagi pemerintah desa. Semua departemen itu masuk ke desa,
termasuk departemen pemenangan pemilu Golkar. Yang tidak masuk
hanya departemen luar negeri, demikian ungkap seorang kepala
desa. Kami bukan saja sebagai ujung tombak, tetapi juga sering
menjadi ujung tombok, ungkap kades lainnya.
Kini desa memasuki babak baru ketika desentralisasi dan
demokrasi lokal mengalami kebangkitan, menyusul lahirnya UU No.
22/1999. Regulasi ini sedikit-banyak memberikan ruang bagi eforia,
bagi kebangkitan semangat lokalitas dan otonomi daerah. Akan
tetapi, UU itu hanya memberikan otonomi kepada kabupaten/kota,
dan bukan pada desa. Desa tetap dipandang sebelah mata oleh
banyak pihak, dan secara empirik-normatif tetap menjadi subordinat
yang harus tunduk pada perintah kabupaten. Bahkan desa hampir
hilang dari peta wacana, pemikiran dan kebijakan desentralisasi.
Bagaimanapun, desentralisasi dan demokrasi lokal itu,
merupakan solusi yang manusiawi dan paling canggih bagi
pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Desentralisasi dan
demokrasi lokal, secara normatif, bisa mendorong tumbuhnya
kemandirian masyarakat lokal, mengembangkan potensi dan
prakarsa lokal, mendekatkan pelayanan publik, meningkatkan
pemerintahan lokal yang transparan dan akuntabel, dan memperkuat
partisipasi masyarakat lokal. Akan tetapi, desa masih tetap mengidap
dan menghadapi masalah internal maupun eksternal, sehingga citacita ideal tersebut masih jauh dari kenyataan. Masalah internal
berkaitan dengan relasi antara pemerintah desa dan masyarakat.
Sedangkan masalah eskternal berkaitan dengan relasi antara desa
dengan pemerintah supra desa. Kedua problem besar itu terekam
dalam tabel 1 di bawah.

18

Draft I

Secara internal di level desa, problem dasarnya adalah bad


governance yang diwarisi dari tradisi masa lampau. Ada dua hal
utama yang menandai bad governance di desa. Pertama,
pemerintahan dan pembangunan desa didominasi oleh kepala desa
beserta elite desa.
Kedua, transparansi, akuntabilitas dan
responsivitas pemerintah desa yang terbatas. Dua masalah ini saling
terkait satu sama lain. Para elite desa itu sangat dominan, tetapi
mereka tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang
bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, dan juga
legitimasi, kepercayaan dan kebersamaan (partnership). Yang terjadi
adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga
yang dilakukan oleh elite desa, karena mereka merasa dipercaya dan
ditokohkan oleh warga. Para pemuka desa itu punya citra diri
benevolent atau sebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi
mandat oleh rakyatnya, sehingga mereka tidak perlu bertele-tele
bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus
mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan
publik. Sebaliknya, elemen-elemen masyarakat desa tidak terlalu
peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan
desa, sejauh sang kepala desa tidak mengganggu perut dan nyawa
warganya. Warga desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme
dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Pak Kades
yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan
ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela
berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk
kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik
dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai ruang
yang cukup dan kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural
desa yang bias elite, sentralistik dan feodal.
Secara eksternal, desa sejak lama berada dalam konteks
formasi negara (state formation) yang hirarkhis-sentralistik.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang menduduki hirarkhi
lebih tinggi (supra desa), selalu membuat regulasi secara terpusat
untuk menjadikan desa sebagai obyek yang harus tunduk pada
negara. Berbagai regulasi dari atas seperti UU No. 5/1979, UU No.
22/1999, UU No. 25/1999 serta Perda-perda Kabupaten secara
substantif justru membatasi kewenangan dan ruang gerak atau akses
desa, mematikan potensi dan kreativitas desa, mengebiri partisipasi
masyarakat, dan karena itu tidak mendukung otonomi desa. Berbagai
regulasi itu juga menjadi instrumen kontrol dan intervensi
pemerintah supra desa terhadap desa, sebagai komunitas kehidupan
masyarakat akar-rumput.
Pengalaman lapangan IRE di sejumlah kabupaten (Klaten,
Bantul, Purworejo, Gunungkidul) menunjukkan bahwa Perda-perda di
kawasan itu tidak mendukung proses demokratisasi dan otonomi
desa. Dari segi proses, penyusunan Perda tidak melibatkan
partisipasi masyarakat atau tidak mengakomodasi aspirasi dari desa.

19

Draft I

Dari segi kontens, Perda sangat tidak menguntungkan desa antara


lain karena kabupaten hendak menjadikan desa sebagai obyek
kebijakan dan intervensi terlalu dalam terhadap urusan desa.
Sebagai contoh ada beberapa isu krusial di level desa yang
diintervensi oleh kabupaten: pertanggungjawaban pemerintah desa,
rekrutmen perangkat desa, masa jabatan Lurah, komposisi dan
rekrutmen BPD, sistem insentif perangkat desa, dan keuangan desa.
Karena Perda bermasalah itu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
berkembang sejumlah asosiasi perangkat desa seperti ISMAYA (DIY),
Bodronoyo (Kulonprogo), Tunggul Jati (Bantul), dan Perpadesi
(Gunungkidul), yang melakukan perlawanan terhadap Kabupaten.
Gelombang perlawanan itu berhasil memenangkan klausul jabatan
lurah selama 10 tahun (bukan lagi 5 tahun seperti tertera dalam
Perda), tetapi isu-isu kritis lainnya masih tetap bertahan, apalagi isu
perimbangan keuangan desa-kabupaten.
Sejumlah asosiasi itu sangat penting sebagai basis bagi desa
untuk voice, negosiasi dan mempengaruhi kebijakan kabupaten,
dalam rangka memperkuat otonomi desa. Akan tetapi, sayangnya,
asosiasi-asosiasi perangkat desa yang berkembang di DIY dan juga
Jawa Tengah, masih sangat bias elite desa (Kepala Desa), alias tidak
berbasis pada aspirasi dan partisipasi masyarakat desa. Mereka
berjuang hanya untuk kepentingan posisi mereka sendiri, bukan
memperjuangkan kepentingan dan aspirasi komunitas desa secara
keseluruhan.
Problem dasar (secara internal dan eksternal) yang masih tetap
bertahan di desa adalah mandulnya partisipasi (voice, akses dan
kontrol) masyarakat dalam proses kebijakan pemerintahan dan
pembangunan, baik di level desa, daerah maupun nasional. Elite
desa sendiri tidak cukup paham dan tidak peka terhadap partisipasi.
Dalam benak mereka, seperti dikutip di atas, partisipasi bukan
dimaknai sebagai keterlibatan aktif (voice, akses, dan kontrol),
melainkan dukungan penuh pada kebijakan dan program desa.
Kami sangat yakin bahwa mandulnya partisipasi masyarakat itulah
yang menjadi sumber penyebab bad governance baik di desa dan
di kabupaten serta lemahnya otonomi desa. Ketika partisipasi
masyarakat sangat kuat, maka bisa menjadi kekuatan penekan
pejabat publik yang tidak akuntabel dan tidak responsif serta
kebijakan publik yang bermasalah. Partisipasi juga menjadi pilar
untuk memperkuat otonomi desa di hadapan pemerintah
kabupaten/kota dan pemerintah nasional.
Tesis kemunduran demokrasi desa telah dikedepankan oleh banyak
orang. Sebagai contoh adalah Yumiko M. Prijono dan Prijono
Tjiptoherijanto, dalam bukunya Demokrasi di Pedesaan Jawa (1983),
yang menunjukkan kemunduran demokrasi desa sepanjang dekade
19760-an hingga 1970-an. Keduanya menunjukkan dua kata kunci
dalam demokrasi tradisional desa yang dulu pernah hidup: gotong

20

Draft I

royong dan musyawarah. Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi


desa rupanya telah mengalami kemunduran karena perubahan
sosial-ekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Mereka
mencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di era
modern. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara
demokrasi, tidak lagi menjadi bapak bagi rakyatnya, kades lebih
menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin. Kedua,
pertumbuhan penduduk telah menyebabkan keterbatasan tanah
sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara
komunal. Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desa yang
menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat,
kemunduran demokrasi tradisional juga disebabkan oleh polarisasi
kemerdekaan, konflik mengenai land reform, meluasnya
pembangunan pertanian dan desa, yang kesemuanya menimbulkan
perubahan fungsi ekonomi kades dan keikutsertaan masyarakat
dalam proses politik dan pembangunan desa.
Mohtar Masoed (1994) maupun Pratikno (2000) juga melihat
kemunduran demokrasi dan otonomi desa dalam kerangka hubungan
antara negara dan masyarakat. Pratikno menyebut proses
negaranisasi sebagai penyebab kemunduran. Mohtar Masoed
membuat pemetaan tentang negara masuk desa, dan desa masuk
negara. Menurut dia, program pembangunan desa mengandung
dua proses yang berjalan serentak namun kontradiktif. Pertama,
pembangunan merupakan proses "memasukkan desa ke dalam
negara", yaitu melibatkan masyarakat desa agar berperan serta
dalam masyarakat yang lebih luas. Ini dilakukan melalui pengenalan
kelembagaan baru dalam kehidupan desa dan penyebaran gagasan
modernitas. Kedua, pembangunan desa juga berwujud "memasukkan
negara ke desa". Ini adalah proses memperluas kekuasaan dan
hegemoni negara sehingga merasuk ke dalam kehidupan masyarakat
desa dan sering mengakibatkan peningkatan ketergantungan desa
terhadap negara.
Argumen itu mengandung makna bahwa pada tahap pertama
pemerintah menjanjikan warga desa untuk dilibatkan dalam
pembangunan. Berbagai jenis proyek pembangunan diperkenalkan,
baik melalui mekanisme Pelita, yang dilaksanakan berbagai instansi
sektoral maupun melalui skema INPRES dan Bandes, telah berfungsi
sebagai penyalur berbagai sumberdaya yang dimiliki pemerintah ke
masyarakat. Sebagian besar kebijakan publik itu telah berhasil
memobilisasi penduduk desa bisa menikmati hasil-hasil
pembangunan, serta bisa menerapkan hak, kewajiban dan tanggung
jawab sebagai warganegara penuh. Dengan kata lain, proses ini bisa
membuka jalan menuju partisipasi, modernisasi dan juga
demokratisasi. Namun proses di atas kurang didukung oleh proses
yang kedua. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam praktek
masyarakat desa hanya bisa mengakses ke negara, apabila negara
punya akses ke bawah. Melalui berbagai aturan main program

21

Draft I

pembangunan desa, negara melakukan intervensi dan menuntut


monopoli pengabsahan atas lembaga-lembaga dan prosedur yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat desa. Penetrasi dilakukan
dengan pembentukan lembaga-lembaga yang didominasi oleh
pemerintah, seperti LKMD, KUD, PKK, dan sebagainya. Demikian juga
peranan dominan kades sebagai agen pemerintah pusat (negara) di
desa, yang benar-benar berhasil dalam melaksanakan program
pembangunan.
Pemerintah Desa
Pemerintah desa menjadi sentrum kehidupan desa, baik
sebagai dinas sosial bagi masyarakat dan sebagai keranjang
sampah bagi pemerintah supra desa. Pemerintahan desa
sebenarnya merupakan wujud konkret self-community governing
yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Tetapi ketika desa
sudah diintegrasikan ke negara, cerita self-community governing itu
tidak ada lagi. Tangan-tangan negara ikut bermain dalam proses
rekrutmen pengurus desa. Negara juga menjadikan desa sebagai
keranjang sampah, yang membawa semua urusan politik,
pembangunan, dan administratif ke desa. Dulu malah Golkar juga
masuk ke desa menjadi beban berat bagi pemerintah desa. Semua
departemen itu masuk ke desa, termasuk departemen pemenangan
pemilu Golkar. Yang tidak masuk hanya departemen luar negeri,
demikian ungkap seorang kepala desa. Kami bukan saja sebagai
ujung tombak, tetapi juga sering menjadi ujung tombok, ungkap
kades lainnya.
Pemerintah desa umumnya tidak memiliki visi, missi dan
rencana strategis yang memadai untuk menjalankan roda
pemerintahan dan membangun masyarakat desa dari sisi sosial,
ekonomi, politik, dan fisik. Dalam kehidupan sehari-hari pemerintah
desa menjalankan empat fungsi utama. Pertama, sebagai
kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan
administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama
birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan
publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan
masyarakat. Mengenai pelayanan ini, semua unsur pemerintah desa
selalu berjanji memberikan pelayanan prima 24 jam nonstop.
Kedua, fungsi sosial yang bercampur aduk dengan fungsi pribadi,
yaitu beranjangsana dengan warga masyarakat melalui layat, jagong
dan sanja. Fungsi sosial ini secara empirik merupakan indikator
legitimasi sosial perangkat desa di hadapan warga masyarakat.
Ketiga, fungsi pembangunan seperti menggerakkan perencanaan dari
bawah, merancang proposal yang disampaikan ke pemerintah supra
desa, mengalokasikan bantuan kepada masyarakat, serta
memobilisasi dana dan tenaga masyarakat melalui gotong royong.
Umumnya fungsi pembangunan ini dikerahkan untuk pembangunan
sarana fisik desa, bukan pembangunan sosial, politik, dan ekonomi

22

Draft I

yang lebih luas. Keempat, mengumpulkan pungutan seperti pajak


bumi dan bangunan (PBB). Untuk yang satu ini, pemerintah desa
sangat getol, sebab pengumpulan PBB yang tinggi dan cepat
merupakan prestasi di hadapan pemerintah supra desa.
Keempat fungsi itu punya implikasi terhadap legitimasi dan
akuntabilitas pemerintah desa. Kades tidak merasa perlu merawat
vitalitas legitimasi dari sisi kinerja, tetapi cukup dengan tampil jujur
dan tampil populis dengan anjangsana di berbagai komunitas. Kalau
Lurah itu jujur, maka mudah dipercaya oleh rakyat. Kalau dipercaya
oleh rakyat, maka rakyat akan saya ajak apa saja akan
mendukungnya, ungkap seorang lurah. Dalam kehidupan seharihari, kades lebih memainkan dominasi ketimbang legitimasinya.
Kades tetap punya citra diri sebagai orang kuat, omnipotent dan
benevolent di hadapan wargnya. Warga masyarakat cenderung
punya citra diri sebagai obedient, yang menganggap kades sebagai
panutan, pengayom, dan pemimpin. Yang terjadi bukanlah pola
hubungan citizenship, melainkan klientelistik. Masyarakat menilai
kinerja pemimpinnya dalam kerangka hubungan sosial personal,
ketimbang kerangka politik dan teknokratis. Warga masyarakat cukup
puas terhadap kades yang ramah, yang populis, yang rajin
beranjangsana ke setiap wilayah (jagong, layat dan sanja), yang lihai
berpidato di acara-acara seremonial, yang sembada mau berkorban
untuk kepentingan umum. Warga bisa menilai kinerja kepala desa,
tanpa harus menggunakan kriteria transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, responsivitas dan seterusnya.
Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat
penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik
akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah
memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung
mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu
mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya,
meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Proses
intervensi negara ke desa dan integrasi desa ke negara menjadikan
kades lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap
pemerintah supra desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis
konstituennya.
Pembuatan Keputusan
Pembuatan keputusan merupakan titik sentral dan kritis dalam
demokrasi. Para penganjurnya menyatakan bahwa demokrasi adalah
sebuah seni dan proses pembuatan keputusan yang melibatkan
rakyat. Secara normatif, pembuatan keputusan yang demokratis
membutuhkan sebuah siklus yang panjang, mulai dari artikulasi,
agregasi, formulasi, sosialisasi, umpan balik, revisi dan legislasi.
Kebijakan yang sudah disahkan itu implementasikan. Dalam proses
implementasi, masyarakat tidak sekadar menyumbangkan tenaga

23

Draft I

dan uangnya, tetapi juga punya ruang untuk melakukan monitoring


dan kemudian melakukan evaluasi untuk perbaikan berikutnya.
Cerita itu ideal. Dalam praktiknya, banyak missing link terjadi.
Dalam konteks pembangunan di Indonesia sudah lama dikenal secara
normatif tentang perencanaan dari bawah (bottom-up), yang dimulai
dari rapat RT, Musbangdus, Musbangdes, UDKP dan Rakorbang.
Tetapi semua itu hanya di atas kertas. Sejak dulu banyak kalangan
sudah menilai bahwa mekanisme pembuatan keputusan
pembangunan di Indonesia bersifat sentralistis (top-down), yang
menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan.
Karena itu banyak orang bikin plesetan dari bottom-up menjadi
mboten-up (tidak naik).
Di tingkat desa, ada sejumlah fenomena yang menunjukkan
bahwa proses pembuatan keputusan sangat sentralistik dan
didominasi oleh segelintir elite desa. Pertama, proses kebijakan
sudah berlangsung secara tidak sehat dan tidak demokratis dari
bawah (RT). Keputusan di tingkat RT cenderung didominasi oleh elite
lokal, terutama Pak RT sendiri. RT selalu punya forum demokrasi
(selapanan), tetapi tidak mencerminkan demokrasi yang sebenarnya.
Pak RT umumnya tidak punya keterampilan berdemokrasi dalam
mengelola forum RT. Dia biasa membawa blue print kebijakan yang
dimintakan persetujuan dari forum, mendominasi forum
musyawarah, menanggapi secara sepihak usulan dari peserta forum,
memotong pembicaraan (usulan) peserta, dan lain-lain. Kedua,
kebiasaan manipulasi atau pemotongan terhadap usulan dari bawah
di tingkat desa sampai kabupaten. Di level desa, perilaku kades
hampir sama dengan perilaku ketua RT ketika mengelola forum
Musbangdes. Musbangdes adalah arena elite desa membuat
keputusan. Kades selalu dominan dalam forum Musbangdes. Ketiga,
desa umumnya tidak mempunyai rencana strategis partisipatif yang
bisa dijadikan acuan pembuatan keputusan. Selain itu, kebijakan
desa juga tidak bermula dari assessment terhadap kebutuhan
masyarakat dan artikulasi aspirasi dari bawah. Kepala desa dan elite
desa biasa memformulasikan kebijakan dalam black box, yang tidak
transparan dan tidak berbasis pada aspirasi masyarakat. Ketika
formulasi sudah matang, kepala desa mengundang sejumlah tokoh
dan ketua RT untuk sosialisasi. Istilah sosialisasi ini sangat populer di
kalangan elite desa. Tetapi sosialisasi bukanlah arena untuk umpan
balik dan perdebatan, tetapi hanya sebagai tempat bagi kepala desa
untuk meminta persetujuan dari elite desa.
Dengan demikian, pembuatan keputusan desa dianggap hanya
sebagai masalah teknis-administratif, bukan masalah politik yang
sebenarnya punya implikasi terhadap pemberdayaan masyarakat.
Pembuatan perdes (yang sangat mengikat warga) juga dilakukan
dengan mekanisme elitis, tidak transparan dan teknis. Bahkan
banyak desa membuat perdes dengan cara menyontek perdes dari
desa-desa lain.

24

Draft I

Partisipasi
Partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kades maupun
Badan Perwakilan Desa (BPD) bukan ukuran partisipasi yang
sempurna. Mengapa? Pertama, partisipasi dalam konteks pemilihan
itu hanya membentuk struktur kekuasaan dan oligarki elite, yang
kemudian elite punya dunia tersendiri yang terpisah dari dunia para
konstituen. Kedua, urusan publik masyarakat desa sangat kompleks
yang tidak bisa diselesaikan oleh para wakil rakyat yang telah dipilih.
Kades dan BPD tidak bisa mengabaikan masyarakat dengan cara
mengklaim bahwa mereka telah dipilih dan dipercaya untuk
membuat keputusan dan mengatur masyarakat. Partisipasi
masyarakat dalam urusan publik sehari-hari jauh lebih penting,
mengingat para wakil rakyat itu akan selalu kehilangan akses
informasi tentang tuntutan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Namun, dalam praktiknya, mekanisme perwakilan itulah yang
menjadi salah satu penyebab kemunduran partisipasi masyarakat.
Baik kepala desa maupun BPD selalu mengklaim bahwa mereka telah
dipilih melalui prosedur yang demokratis, sehingga mereka juga
dipercaya penuh untuk membuat keputusan desa dan mengatur
masyarakat, tanpa harus bertele-tele melibatkan partisipasi dan
menampung seluruh aspirasi masyarakat. Di banyak desa, kades dan
BPD cenderung mengandalkan proses konsultasi dan artikulasi
dengan tokoh (elite) desa, yang mereka anggap legitimate mewakili
aspirasi masyarakat. Kalau orang bilang aspirasi masyarakat,
aspirasi yang mana. Kita tidak mungkin menampung seluruh aspirasi
masyarakat. Harus ada prosedur dan wadah perwakilannya. Para
tokoh masyarakat sudah mewakili, mau apa lagi, demikian ungkap
seorang kepala desa.
Wacana penolakan terhadap partisipasi memang menyebar di
mana-mana. Seorang pengacara kondang dari Solo menyatakan
pendapatnya:
Jangan membawa idealisme yang berasal dari kampus.
Partisipasi itu saya kira terlalu naif bagi orang desa. Jangan
dikira orang desa pintar-pintar seperti kita yang diskusi di sini.
Kita harus melihat realitas yang ada di desa. Orang desa itu
tidak banyak tahu tentang partisipasi. Saya pernah punya
pengalaman menyodorkan peraturan kepada warga desa,
maksud saya untuk mengajak diskusi mereka. Tetapi mereka
tidak mengerti apa-apa. Pengarahan dan peraturan itu tetap
penting bagi desa.
Ungkapan itu ternyata didukung oleh dua orang anggota Badan
Perwakilan Desa (BPD) dari Kecamatan Suruh, Semarang, yang
mengklaim tahu persis terhadap keadaan warga desa. Warga desa
itu banyak tergantung, manut, pada para tokoh masyarakat. Ini

25

Draft I

kenyataan. Mereka tidak mengerti partisipasi, demikian tutur salah


seorang perempuan anggota BPD itu.
Kondisi di desa memang seperti itu. Warga masyarakat biasa
tidak butuh dan tidak mengerti secara eksplisit tentang partisipasi.
Mereka sudah biasa mendelegasikan kepercayaan penuh pada Pak
RT, Pak RW maupun tokoh masyarakat untuk bisa memahami voice
dari bawah. Tetapi yang terjadi secara menyolok adalah proses
sistemik dari elite desa dan supradesa yang mematikan partisipasi
masyarakat. Kepala desa dan BPD misalnya, cenderung
memanipulasi makna partisipasi dan bekerja tanpa berbasis
partisipasi masyarakat.
Sejauh cerita dari lapangan, partisipasi dimaknai oleh kades
dalam empat kerangka. Pertama, tradisi musyawarah
pembangunan desa yang sudah dimulai dari RT dan Dusun, yang
kemudian populer dikenal sebagai perencanaan dari bawah. Kedua,
kepala desa memanfaatkan representasi tokoh-tokoh masyarakat
yang terwadahi dalam LKMD maupun Musbangdes. Bagi kepala desa,
kehadiran dan keterlibatan tokoh masyarakat itu sudah sangat
mewakili aspirasi masyarakat. Ketiga, kebiasaan sosialisasi yang
dilakukan oleh kades di hadapan pengurus dan forum RT maupun
tokoh-tokoh masyarakat. Sosialisasi dimaksudkan untuk
memberitahukan agenda kebijakan kades dan menyerap aspirasi
(baca: persetujuan) dari warga masyarakat. Keempat, partisipasi
secara sempit dimaknai oleh kades sebagai bentuk mobilisasi
dukungan warga masyarakat terhadap agenda kebijakannya. Jika
kades mempunyai agenda menggalakkan pembangunan fisik tanpa
dukungan warga, hal itu dianggap tidak ada kepercayaan dan
partisipasi dari warga.

Arah dan Agenda Strategis


Pada bulan Mei 2001 telah berlangsung diskusi intensif tentang
Menggagas Masa Depan Desa di Panggang (Gunungkidul), yang
diikuti oleh sejumlah LSM (LAPPERA, IRE, CD Bethesda, Cinderalas,
LBH, UCS-Satunama, Bina Swadaya, dll), perguruan tinggi (STPMD
APMD dan PSKP-UGM), unsur-unsur perangkat desa, pejabat
kabupaten, dan warga masyarakat sekitar. Ada kesepakatan
sementara bahwa visi masa depan desa yang dibayangkan adalah
desa yang Demokratis, Emansipatoris/Partisipatif, Sejahtera dan Adil
(DESA). Dalam forum telah berkembang wacana (meskipun belum
menjadi kesepakatan tunggal) bahwa pencapaian DESA bisa
ditempuh dengan cara: pendidikan dan pengorganisasian masyarakat
di tingkat bawah serta advokasi untuk mendesakkan perubahan
kebijakan (policy reform) di level supra desa. Tetapi strategi dan cara

26

Draft I

untuk membangun Sejahtera dan Adil belum selesai dirumuskan


karena terjadi perdebatan ideologis yang tidak tuntas. Ada sebagian
orang yang menghendaki perluasan investasi (kapitalisasi) ke desa
melalui Badan Usaha Milik Desa sehingga bisa memacu pendapatan
masyarakat dan pemerintah desa. Pendapat ini ditegaskan secara
pragmatis oleh Kepala Desa Kebonagung, Imogiri. Tetapi kalangan
LSM (yang militan), menolak keras investasi ke desa itu, karena bisa
menyebabkan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap masyarakat desa.
Mereka lebih menghendaki upaya sistem ekonomi desa yang
mengedepankan redistribusi sumberdaya secara sosialistik
ketimbang kapitalistik.
Tulisan ini tidak akan larut dalam perdebatan ideologis itu
untuk membangun kesejahteraan dan keadilan di desa. Pada
dasarnya kami sangat setuju dengan gagasan visi DESA di atas.
Untuk mencapai DESA, maka kami tegaskan bahwa agenda strategis
pemberdayaan masyarakat desa mencakup empat hal utama:
demokratisasi desa, otonomi desa, pengentasan kemiskinan dan
pengembangan modal sosial masyarakat. Demokratisasi desa,
otonomi desa, dan pengentasan kemiskinan merupakan tiga agenda
utama yang harus berjalan secara sinergis, tanpa harus
mendahulukan satu di antara yang lain. Kami menolak argumen
bahwa demokrasi dan otonomi desa tidak bakal tercapai bila rakyat
masih miskin.

27

Anda mungkin juga menyukai