Anda di halaman 1dari 16

KONTRUKSI SOSIAL GENDER DAN KELUARGA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Gender Pembangunan

Dibimbing Oleh Ibu Prawinda Putri Anzari S.I.Kom., M.Si.

Disusun oleh :

Anif Fatimatus S : 18075164150


Dionisius Krisna : 18075164177
Naneng Minahaya : 18075164136
Nurul Yunida : 180751641514
Novia Paramitha : 180751641571

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

APRIL 2021
DAFTAR PUSTAKA

Halaman
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 5

BAB III PENUTUPAN ............................................................................................................................. 14

DAFTAR RUJUKAN ............................................................................................................................... 16


BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kontruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya
dihubungkan pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Asumsi dasarnya
“realitas adalah kontruksi sosial” dari Berger dan Luckmann. Selanjutnya dikatakan
bahwa konstruksi sosial memiliki beberapa kekuatan. Pertama, peran sentral bahasa
memberikan mekanisme konkret, dimana budaya mempengarhui pikiran dan tingkah laku
individu. Kedua, kontruksi sosial dapat mewakili kompleksitas dalam satu budaya
tunggal, hal ini tidak mengamsusikan keseragaman. Ketiga, hal ini bersifat konsisten
dengan masyarakat dan waktu (Berger P.L 1990). Pendekatan konstruksi sosial lahir dari
beberapa sumber, seperti interaksionisme sosial, antropologi simbolik dan para ilmuwan
bidang gay lesbian, feminis serta gender.
Masalah gender dalam uraian tentang program pengembangan masyarakat
maupun pembangunan hampir semua membicarakan hal tersebut khususnya di Indonesia.
Berbicara mengenai konsep gender harus dibedakan kata gender dengan jenis kelamin.
Kata jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis. Gender berbeda dengan jenis kelamin, jenis kelamin
biologis merupakan pemberian sedangkan gender adalah konstruksi sosial.
Pembicaraan mengenai gender memang banyak diperbincangkan dalam
perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan dengan kesetaraan
dengan kaum laki-laki. Dalam sejarah telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang.
Menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah disbanding laki-laki. Perjalanan
peradaban manusia banyak didominasi oleh laki-laki dalam urusan bermasyarakat, jadi
sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan
perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang dimainkan perempuan hanya
berputar di ranah domestic, seperti dalam kosa kata jawa “dapur, sumur, kasur”,
sementara kaum laki-laki menguasai peran-peran penting dalam masyarakat (Lestari
2015).
Kaum perempuan melakukan hal-hal dalam ranah domestik seperti mendidik
anak, merawat anak dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah
konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Dalam pemikiran Simone De
Beauvoir, seorang feminis eksistensialis abad ke-20 apa yang dinamakan sebagai
perempuan adalah sebuah dikontruksi secara sosial. Kontruksi sosial tidak hanya
membuat perbedaan dalam segi gender namun mampu membuat perbedaan dalam
masyarakat. Konstruksi sosial dalam masyarakat masih menyudutkan perempuan, hal ini
dikarenakan masayrakat masih memegang erat budaya patriarki sehingga perempuan
menerima setiap peran yang dipandang masyarakat sebagai kodratnya.

1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang digunakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembentukan gender dalam institusi keluarga?
2. Bagaimana relasi dan peran keluarga dalam mengatasi kontruksi gender?
3. Bagaimana kontruksi gender dalam masyarakat?

1.3.Tujuan
1. Mendeskripsikan terkait pembentukan gender dalam institusi keluarga.
2. Mendeskripsikan terkait kontruksi gender dalam masyarakat.
3. Mendeskripsikan terkait relasi dan peran keluarga dalam mengatasi kontruksi gender.
BAB II

PEMBAHASAN

Sosiologi memandang gender sebagai kontruksi sosialkultural yang membedakan


maskulin dan feminine. Sebagai sebuah kontruksi sosial gender bertumpu pada nilai dan istilah
yang dbawa oleh sebuah bahasa yang digunakan untuk menjadi kekuatan dalam pencitraaan yang
dibawa oleh suatu budaya. Maka dari itu gender bukanlah merupakan korelasi absolut (Mosse
1996). Hal ini dikarenakan maskulin dalam suatu kebudayaan dapat dianggap feminin. Sehingga
konteks maskulin dan feminin bergantung pada konteks budaya setempat. Maka benang merah
yang perlu diperhatikan adalaha gsender memiliki perbedaan dengan seks. Seks berkaitan dengan
jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dan bersifat kodrat sedangkan gender mengenai
peran, tanggungjawab, dan bersifat non kodrat. Maka gender dan seks dapat dibedakan melalui
gambaran sebagai berikut :

Jenis kelamin ( Seks) Gener


Peran reporoduksi kesehatan berlaku Peran sosial bergantung pada waktu dan
sepanjang hayat keadaaan.
Peran reproduksi kesehatan ditentukan oleh Peran sosial bukan kodrat melainkan buatan
Tuhan. manusia.
Sebagai konsekuensi dari fungsi alat-alat Sebagai konsekuensi dari hasil kontruksi
reproduksi, maka perempuan mengalami sosial di masyarakat, maka laki-laki bertugas
menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, dll. di sektor publik, sedangkan perempuan
Sedangkan laki-laki memiliki fungsi disektor domestik.
membuahi.
Peran reproduksi tidak dapat berubah Peran sosial dapat berubah
Peran reproduksi tidak dapat dipertukarkan Peran sosial dapat dipertukarkan

Table 1 Perbedaan Konsep Jenis Kelamin (Seks) dan Gender

Sumber : (H Puspitawati 2012)


Kontruksi sosial hadir menjelaskan sebuah kecenderungan suatu hal dalam gender
dengan cara melihat realitas seebagai suatu yang dibentuk secara sosial. Kontruksionisme sosial
menenkannkan mengeenai bagaimana sesuatu diketahui dan diintepretasikan melalui aktivitas
sosial. Maka dalam kontruksi sosial, manusia yang pada hakekatnya makhluk pencari makna,
mempeoleh makna kehidupan melalui proses dialektika yang melibatkan tiga proses. Proses
tersebut yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi (Berger and Luckmann n.d. 1990: 3-
5). Eksternalisasi adalah proses manusia membangun tatanan kehidupan atau proses penyesuaian
diri dengan lingkungan. Sebagai kontruksi budaya gender terbentuk dari sejarah pengalaman
manusia yang diintrepetasikan dan dimaknai berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Menurut
(Berger 1994) proses ekaternalisasi merupakan antropologis yang mendasar dan memungkinkan
berakar pada lembaga bilogis manusia. Perempuan dengan fungsi reproduksinya diasosiasikan
dengan domestik dan lalki-laki dengan lingkungan publik. Sehingga yang terjadi timbulnya
hubungan hirarkis yakni laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

Objektivikasi merupakan proses menjadikan sebuah tatanan kehidupan oleh manusia


sebagai suatu realitas yang terpisah dari subjektivikasinya dan proses ini terjadi ketika dunia
intersubjektif dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Langkah awal
institusionalisasi yaitu proses pembiasaan. Tindakan berpola yang sudah dijadikan kebiasaan
akan membentuk lembaga milik bersama. Lembaga inilah yang kemudian mengendalikan dan
mengatur perilaku manusia (Berger and Luckmann 1990: 75-78). Maka dalam proses ini peran
laki-laki dan perempuan ditemukan dalam bberbagai nilai budaya. Dimana nilai budaya bersifat
objektif .

Internalisasi merupakan proses pembelajaran kembali nilai-nilai general oleh individu dan
dijadikan sebagai bagian dari hidupnya. Dalam proses ini individu secara individu terus –
menerus melakukan interaksi sosial dan sosialisasi dengan lingkungan sosisal dan budayanya.
Sehingga dengan demikian, terbentuklah perempuan sebagai pribadi yang memiliki identitas
secara subjektif dan objektif. Hubungan gender yang terbentuk dalam aspek kehidupan sosial
tdak lain merupakan kelanjjutan dari bentukan sosial yang telah mendapat legistimasi. Proses
tersebut dapt dilakukan melalui proses sosialisasi. Sosialisasi sendiri terbagi menjadi dua yaitu
sosialisasi rimer dan sekunder. Sosialisasi primer merupakan sosialisasi pertama seorang
idividu, terjadi dalam lingkup keluarga. Sementara sosialisasi sekunder yaitu sosialisasi
selanjutnya yang mengimbaskan individu ke dalam sektor beru dunia objektif masyarakat.
(Abdullah 2013)

2.1. Gender dan Keluarga


2.1.1. Pembentukan Gender Dalam Keluarga

Keluarga merupakan lembaga pedidikan informal yang memiliki peran pendidikan yang
pertama dan utama. Salah satu nilai yang ditanamkan dalam keluarga kepada anak adalah
gender. Keluarga merupakan agen sosialisasi yang pertama mengajarkan seorang anak laki-laki
untuk menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan menganut sifat feminim.
Terdapat tiga hal yang mempengaruhi perkembangan gender, yaitu pengaruh biologis, sosial, dan
kognitif. Pertama, pengaruh biologis dipahami melalui faktor- faktor biologis dari keturunan.
Kedua, pengaruh sosial dipahami melalui faktor- faktor yang muncul dari interaksi antara
seorang anak terhadap lingkungnnya, baik dalam keluarga, budaya, masyarakat, media maupun
sekolah. Ketiga, pengaruh kognitif yang dipahami bahwa pembagian gender anak terjadi setelah
anak berfikir bahwa dirinya laki-laki atau perempuan, setelah mereka secara konsisten menyadari
bahwa dirinya laki-laki atau perempuan dengan memilih aktivitas, objek, dan sikap yang
konsisten.
Setelah itu maka kita dapat menyimpulkan bahwa pengaruh orang tua diklasifikasikan
sebagai pengaruh sosial terhadap gender. Peran orang tua terhadap perkembangan gender adalah
awal yang penting dalam suatu komunitas karena merupakan lingkup terkecil dan terdekat dalam
suatu hubungan interpersonal. Peran ini akan menjadi pola yang membentuk karakter sebuah
individu terhadap perkembangan gendernya. Perilaku orang tua terhadap anak mereka akan
menjadi konstruksi identitas yang terekam dalam diri seorang anak.Perkembangan gender
dipengaruhi juga oleh bagaimana anak memperoleh perilaku dan sikap maskulin atau feminim
dari orang tua. Maka pendidikan gender menjadi hal penting dalam keluarga serta pendidikan
harus didasarkan kesetaraan dan keadilan gender. Sehingga anak akan menjadi pribadi yang
sadar akan gender.
Pendidikan yang didasari oleh Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) memberikan
kesempatan yang sama dan seluas-luasnya kepada laki-laki dan perempuan dalam memperoleh :
akses, manfaat, serta keikutsertaan dalam berbagai jenis program pendidikan agar kesenjangan
gender dapat dihilangkan. Maka diperlukan pendidikan keluarga yang adil. Pendidikan adil
gender dalam keluarga adalah memberikan kesempatan yang adil kepada ayah, ibu, anak laki-
laki, dan anak perempuan untuk menjalankan perannya dalam keluarga dan dalam melaksanakan
hak dan kewajiban sesuai dengan perannya tersebut secara adil dan bijaksana. Berikut beberapa
contoh pengasuhan berbasis peranan secara adil dan bijaksana.
• Mendidik anak berdasarkan asas keadilan gender berarti memberikan kesempatan yang
sama pada anak dalam memperoleh akses, manfaat, partisipasi, control terhadap semua
sumberdaya keluarga untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang sehat jasmani dan
rohani
• Anak laki-laki dan perempuan adalah berbeda, namun jangan dibeda-bedakan.
• Orangtua memberi contoh bagaimana kemitraan laki-laki dan perempuan di dalam
keluarga dan masyarakat. Misal dengan memberi contoh mencuci piring tidak harus
dilakukan oleh ibu tapi dilakukan oleh ayah atau anggota keluarga yang habis makan.
• Setiap anggota keluarga terbuka untuk berkomunikasi, dapat mendengarkan keluhan
anggota keluarga, memecahkan masalah keluarga secara bersama, komunikasi terbuka
dan jelas, saling berbagi dan empati, saling percaya dan menghargai.
• Melatih kemandirian baik bagi anak laki-laki maupun perempuan.

2.1.2. Relasi Gender Dalam Institusi Keluarga

Relasi gender dalam konteks ini adalah konsep hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan berdasar kualitas, skill, peran dan fungsi dalam konvensi sosial yang bersifat dinamis
mengikuti kondisi sosial yang selalu berkembang. Sedangkan institusi keluarga adalah sebuah
institusi sosial dasar yang disatukan oleh perkawinan dan yang mempunyai komponen-
komponen dengan peran sosial dan fungsi masing- masing. Peran-peran sosial itu saling
berhubungan secara timbal balik dan saling tergantung membentuk satu kesatuan rumah tangga
untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi antar komponen sesuai dengan peran dan fungsinya
sangat diperlukan agar sistem tersebut bisa berjalan.
Ada beberapa pandangan teori sosial mengenai relasi gender dalam keluarga dan pemecahan
masalahnya jika terjadi konstruksi gender :
• Teori struktural fungsional
Menurut teori ini dalam konteks relasi gender, pembagian peran secara seksual adalah
wajar. Suami mengambil peran instrumental, membantu memelihara sendi-sendi masyarakat
dan keutuhan fisik keluarga dengan jalan mencari nafkah, menyediakan rumah dan menjadi
penghubung keluarga dengan dunia luar. Sementara isteri mengambil peran eksspresif
membantu mengentalkan hubungan, memberikan dukungan emosional dan pembinaan
kualitas yang menopang keutuhan keluarga serta menjamin kelancaran urusan rumah
tangga. Menurut teori ini, jika terjadi tumpang tindih dan penyimpangan fungsi antara satu
dan lainya, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Dengan
kata lain kerancuan peran gender akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam
rumahtangga, atau bahkan perceraian.
Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order).
Ketertiban akan tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing-
masing individu mengetahui posisinya dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur
tersebut. Untuk mewujudkan keseimbangan tersebut maka tiga elemen utama dalam struktur
internal keluarga harus saling terkait, antara lain: status sosial, peran sosial dan norma
sosial.
Berdasarkan status sosial, keluarga dibagi dalam tiga struktur utama yaitu bapak/suami,
ibu/istri dan anak-anak. Dalam struktur ini, masing- masing mempunyai status sosial yang
memberikan identitas pada masing-masing individu. Misalnya, suami/bapak adalah kepala
rumahtangga, isteri adalah ibu rumahtangga dan lain-lain. Sedangkan peran sosial adalah
seperangkat tingkah laku yang diharapkan dapat memotivasi tingkah laku seseorang yang
menduduki status sosial tertentu. Harmoni dan stabilitas dalam keluarga, menurut teori
fungsional stuktural sangat ditentukan oleh efektifitas konsensus nilai-nilai. Sistem ini
senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan (equilibrium). Meskipun
konflik sewaktu-waktu bisa muncul tetap dalam batas yang wajar dan bukan merupakan
ancaman yang bakal merusak sistem sosial.
• Teori konflik
Menurut teori ini, situasi konflik dalam istitusi keluarga tidak dianggab sebagai sesuatu
yang abnormal atau disfungsional, akan tetapi sebagai sesuatu yang alami dalam proses
sosial. Seorang suami yang mempunyai kedudukan sebagai kepala keluarga akan
menimbulkan konflik terbuka dengan istrinya yang berkedudukan sebagai ibu rumahtangga.
Hal tersebut adalah wajar dan alamiah, karena menurut pandangan teori ini siapa yang
mempunyai kekuasaan akan menindas pada siapa yang ada di bawahnya.
Hubungan yang penuh konflik dalam institusi keluarga terjadi karena setiap individu
cenderung memenuhi kepentingan pribadi (self interest). Ketika terjadi perselisihan di dalam
keluarga terjadi maka salah satu yang ada didalamnya harus mengalah dan bisa
mengendalikan keadaan, jika tidak dapat dikendalikan maka yang terjadi adalah perubahan.
Dalam konteks keluarga, perubahan bisa kearah positif maupun negatif.
• Teori feminis
Kelompok feminis berpendapat bahwa keluarga adalah sumber eksploitasi khususnya
bagi kaum perempuan. Pembagian kerja dan peran dalam keluarga menurut pandangan
kelompok ini terjadi secara tidak adil dan tidak proposional, sehingga relasi gender menjadi
timpang dan mengalami konstruksi. Pembagian kerja tersebut umumnya dilandasi oleh
idiologi partrirkhi. Melalui proses yang panjang dan bias “ kepentingan” laki-laki, maka
pembagian kerja dan peran di dalam keluarga, cenderung mempunyai beban yang tidak
seimbang. Perempuan biasanya ditempatkan pada posisi yang harus menjalankan peran dan
tanggungjawab yang berkaitan dengan pekerjaan domestik dan laki- laki pada sektor publik.
Pembagian kerja seperti ini sepintas kelihatan ringan, akan tetapi dalam prakteknya
menyebabkan kaum perempuan harus bekerja dengan jam yang lebih panjang dibandingkan
dengan kaum laki-laki.
Menurut teori ini, tujuan perkawinan akan tercapai jika dalam kelurga dibangun atas
dasar relasi gender yang setara dan adil, dimana laki-laki perempuan sama- sama memiliki
hak, kewajiban, peran dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati, mengahargai
dan bantu membantu diberbagai sektor kehidupan.
Beberapa aliran teori feminis :
➢ Aliran feminis liberal
Dalam pemikiran aliran ini laki- laki dan perempuan diciptakan secara seimbang dan
serasi. Oleh karena itu seharusnya tidak terjadi penindasan antara satu dan lainnya.
Pemikiran ini terinspirasi oleh prinsip-prisnisp pencerahan bahwa laki-laki dan
perempuan sama-sama memiliki kekhususan-kehususan. Secara ontologis keduanya
sama, hak laki-laki dengan sendirinya jjuga menjadi hak perempuan. Aliran ini
membenarkan perempuan bekerjasama dengan laki-laki, mereka menghendaki agar
perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran termasuk peran publik.
Caranya adalah dengan melibatkan perempuan dalam berbagai peran seperti peran sosial,
ekonomi dan politik Organ reproduksi bukan penghalang terhadap peran-peran tersebut,
sehingga tidak ada kelompok dominasi jenis kelamin. Ketika hal ini terlaksana maka
kemungkinan kecil adanya konstruksi gender dalam keluarga.
➢ Feminisme radikal
Golongan ini menginginkan penggantian budaya patriarki yang telah mendarah daging
dalam tubuh institusi keluarga dengan matrilenial. Aliran ini juga berpendapat bahwa
laki-laki menindas perempuan. Aliran ini ingin mengganti konsep keluarga yang
konvensional. Konsep yang dinilai menempatkan perempuan pada posisi inferior.
Kondisi tersebut terjadi tanpa memandang segala potensi yang ada dalam diri perempuan.
Aliran ini secara tidak langsung berpendapat perempuan juga dapat menjadi kepala
keluarga. Inti konsep keluarga oleh feminisme radikal pemimpin keluarga tidak selalu
laki-laki. Istri juga dapat menjadi kepala keluarga. Perempuan jelas punya potensi dan
kesempatan untuk bekerja diranah publik.

2.2. Konstruksi Gender Dalam Masyarakat


Konstruksi gender membuat perbedaan antara laki-laki dengan perempuan sehingga problem
kesetaraan gender masih menjadi polemik di lingkungan masyarakat khususnya terhadap
perempuan. konstruksi gender dalam masyarakat masih cenderung menyudutkan perempuan, hal
ini dikarenakan masyarakat masih memegang erat budaya patriarki sehingga membuat
perempuan harus menerima setiap peran yang dipandang masyarakat sudah menjadi kodrat
baginya. Perempuan seringkali diidentikkan dengan sosok yang lembut, mudah menangis,
mudah marah, penakut sedangkan laki-laki dipandang masyarakat sebagai orang yang
pemberani, kuat. Budaya patriarki yang dipegang masyarakat berdampak pada pembatasan hak,
dan partisipasi, misalnya masyarakat memandang bahwa tabu bagi perempuan untuk bekerja dan
tabu bagi laki-laki untuk mengurus rumah seperti menyapu, mengepel(Herien Puspitawati 2013).
Melalui konstruksi gender dalam masyarakat muncul bias gender yang menimbulkan
ketidakadilan pembagian peran kerja antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan selalu
ditempatkan pada peran reproduksi yang mana memiliki peran dalam mengurus rumah tangga,
mengasuh anak, memasak juga mengayomi suami sedangkan suami memiliki peran dalam
menafkasi istri yakni dengan bekerja. Apabila suami membantu istri mengurus rumah seperti
bersih-bersih maka masyarakat akan menganggap suami takut istri sebaliknya apabila istri ikut
bekerja masyarakat juga membandang bahwa si suami tidak mampu menafkahi istri.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa dalam pandangan masyarakat pembagian peran kerja
perempuan untuk keluarga (memasak, mengasuh anak, mengurus rumah) sedangkan laki-laki
bekerja(Indah 2013). Fakta dimasyarakat perempuan akan menjadi bahan pembicaraan apabila
sudah memasuki usia nikah tetapi belum menikah dan lebih mementingkan karir atau
pendidikan. Masyarakat akan kembali mengungkit kodrat wanita dalam budaya patriarki yakni
hanya untuk mengurus rumah,memasak dan mengurus anak serta suami. Hal ini sesuai dengan
pendapat Scanzoni dan Szinovac, preferensi untuk peran istri terdiri dari (1) tugas utama
seorang istri adalah memelihara dan memperhatikan suaminya; (2) bila istrinya bekerja
seyogianya tidak mencoba untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara yang sama yang
dilakukan laki-laki; (3) istri yang bekerja seyogianya menyerahkan pekerjaannya ketika hal itu
tidak membuat senang suaminya; (4) pekerjaan istri justru yang penting adalah menyenangkan
suaminya tatkala ia bekerja; (5) istri seyogianya melakukan rencana yang panjang dalam cara
yang sama yang dilakukan suaminya.

Preferensi berikutnya adalah preferensi untuk peran suami, ditunjukkan dengan ukuran
bahwa (1) jika pekerjaan istri kadang-kadang memerlukan waktu sampai malam maka
seyogianya tidak mengganggu suaminya; (2) jika istri memperoleh lebih banyak uang dari
suaminya maka sebaiknya tidak mengganggu suami; (3) jika istri kerja ia harus membagi secara
setara pekerjaan rumah tangga (seperti memasak, membersihkan dan mencuci); (4) laki-laki yang
menikah mempunyai tanggung jawab terhadap pekerjaannya; (5) suami mesti menjadi kepala
keluarga.
Preferensi yang lain adalah preferensi untuk peran ibu, ini ditunjukkan dengan ukuran
bahwa (1) ia (istri) harus sadar bahwa ganjaran dan kepuasan yang terbesar sebagai seorang ibu
datang melalui anak-anaknya; (2) seorang ibu dari anak-anak prasekolah sebaiknya bekerja
hanya jika keluarganya benar-benar membutuhkan uang yang lebih banyak; (3) ibu yang bekerja
sebaiknya menyerahkan pekerjaannya ketika hal itu membuat kesulitan bagi anak-anaknya; (4)
karena ada sejumlah pusat-pusat penitipan dan perawatan anak maka ibu-ibu dari anak-anak
prasekolah dapat pergi bekerja; (5) jika menjadi seorang ibu tidak membuat puas dirinya maka ia
pergi bekerja, (6) ibu dari anak-anak prasekolah sebaiknya tidak bekerja karena hal itu
menimbulkan hal yang tidak baik bagi anak-anaknya; (7) ibu dari anak-anak prasekolah
sebaiknya bekerja hanya beberapa jam saja dalam satu minggu.
Preferensi yang terakhir adalah preferensi peran ayah, yang ditunjukkan dengan ukuran
sebagai berikut (1) ayah seharusnya menjadi pendorong finansial utama bagi anaknya; (2) ayah
harus menyisihkan banyak waktunya seperti juga ibunya untuk menjaga anak-anaknya; (3) ayah
mempunyai lebih banyak tanggung jawab daripada ibu untuk menghukum anak-anaknya; (4) jika
ia mau, ayah dapat menghentikan pekerjaannya dan menjadi orang tua sepenuhnya; (5) ayah
mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada ibu dalam mempersiapkan anak laki-
lakinya dalam berkeluarga kelak; (6) ayah mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada
ibu dalam mendidik anak laki-lakinya bagaimana bekerja keras dan menghadapi dunia; (7) ayah
mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada ibu untuk membuat peraturan bagi anak-
anaknya.

Dalam kajian konstruksi gender dalam pandangan masyarakat menimbulkan berbagai hal yang
berimbas pada perempuan seperti:

1) Jika terapat sebuah keluarga yang tidak memiliki kecukupan dalam perekonomian hal
yang pertama dikorbankan adalah anak perempuan, karena masyarakat memandang
bahwa kodrat atau peran perempuan adalah reproduktif yakni untuk mengurus rumah,
memasak, melahirkan(Hasan 2019).
2) Dalam duni kerja, perempuan sering kali disepelekan. Perempuan dianggap sebagai
pelengkap (Hasan 2019).

Sedangkan kondisi masyarakat Indonesia pada kelas menengah ke bawah kini, masih nampak
kehidupan perempuan yang berputar di sekitar kehidupan rumah tangga. Tujuan kaum
perempuan seolah-olah hanya untuk menikah dan membangun keluarga, setelah itu hampir
sepanjang kehidupan perempuan dilewatkan dalam rumah tangga. Tentu saja kondisi seperti ini
banyak mengakibatkan perempuan menjadi sangat tergantung secara ekonomis kepada laki-laki
karena pekerjaan di dalam rumah tangga tidak menghasilkan uang atau gaji di samping itu
preferensi peran yang berlaku di dalam masyarakat menempatkan laki-laki pada posisi selalu
dominan, determinan dan memiliki kesempatan lebih untuk memilih apa yang dikehendakinya.
Hal ini berlangsung dari generasi satu ke generasi berikutnya melalui proses sosialisasi dalam
keluarga.
BAB III

PENUTUPAN

Berdasarkan dari hasil penjelasan mengenai konstruksi sosial gender dan keluarga,
masing – masing teori ( Sturktural, Fungsional, Konflik dan Feminis ) memiliki sudut
pandangnya masing – masing mengenai pola relasi gender dalam keluarga. Akan tetapi dari teori
tersebut mengakui bahwa konstruksi sosial budaya tetap berpengaruh secara signifikat atas
pembagian peran yang dimiliki oleh kaum laki – laki (Suami) dan Kaum perempuan ( Istri)
dalam suatu institusi keluarga. Artinya kontribusi sosial budaya sangat berperan dalam
menciptakan relasi antara laki – laki dan perempuan secara adil atau justru sebaliknya sehingga
terjadi ketimpangan.
Terdapat banyak faktor penyebab terjadinya ketidak seimbangan relasi gender dalam
ranah rumah tangga, diantaranya : siapa penyumbang terbesar penghasilan rumah tangga, adanya
pengaruh nilai patriarkhi, perhatian perempuan dalam mengasuh anak, hingga berujung pada
meninggalkan perkawinan apabila negosiasi serta pembagian kerja dalam rumah tangga jauh dari
makna setara. Kultur patriakhi menempati urutan sebagai variable ke dua dalam memproduksi
ketimpangan relasi gender, akan tetapi secara sadar maupun tidak, kultur patriakhi telah
memperteguh konstruksi perbedaan peran gender yang justru malah menguntungkan laki – laki.
DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, Irwan. 2013. “Penelitian Berwawasan Gender Dalam Ilmu Sosial.” Humaniora 15(2):
265–75.

Berger, Peter. 1994. The Scare Canopy: Elements of Social Theory of Relegion. New York:
Double Day.

Berger, Peter, dan Thomas Luckmann. 1990. Social Contraction of Reality: A Treatise in
Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books.

Berger P.L. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.
Penerjemah, Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.

Hasan, Bahrudin. 2019. “Gender Dan Ketidak Adilan.” Jurnal Signal 7(1): 46–69.

Indah, Indah. 2013. “Peran-peran perempuan dalam masyarakat.” Academica 5(2).

Lestari, Fitri. 2015. “Seks, Gender Dan Kontruksi Sosial.” Jurnal Perempuan.
http://www.jurnalperempuan.org/7/category/all (April 27, 2021).

Mosse, Henrietta L. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Puspitawati, H. 2012. Gender dan Keluarga : Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: PT IPB
Press.

Puspitawati, Herien. 2013. “Konsep, teori dan analisis gender.” Bogor: Departe-men Ilmu
Keluarga dan Kon-sumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian.

Aisyah, N. (2014). Relasi gender dalam institusi keluarga (pandangan teori sosial dan
feminis). Muwazah: Jurnal Kajian Gender, 5(2).

Rofi'ah, S. (2016). Membangun Pola Relasi Keluarga Berbasis Kesetaraan dan Keadilan
Gender. MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender, 7(2).

Fujiati, D. (2014). Relasi Gender dalam Institusi Keluarga Dalam Pandangan Teori Sosial dan
Feminis. Muwazah, 6(1), 153130.

Anda mungkin juga menyukai