com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
PENGANTAR
jar mata kuliah yang sama di rumah sendiri, S-2 Sosiologi Universi-
tas Andalas, akhirnya motivasi muncul untuk menunjukkan dedikasi
dan kompetensi dalam mata kuliah yang diajarkan. Sebab tidak se-
dikit dosen mengajar suatu mata kuliah karena terpaksa atau sekedar
keinginan saja, boleh jadi di sana terdapat kompensasi yang lumayan,
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
vi
KATA PENGANTAR
ayah, tidak boleh bilang tidak bisa” dan sangat jenaka bila bercanda.
Terimakasih istri dan anakku, kalian adalah penyejuk hati di kala pa-
nas dan penenang di kala gundah. Juga kepada kakaknya Inas, Selvi
Rahayu Putri, S.Sos., telah banyak membantu Inas, bunda dan ayah,
diucapkan terimakasih.
vii
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Padang, 2010
Penulis
http://facebook.com/indonesiapustaka
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL, FIGUR DAN GAMBAR
BAB 3 SOSIALISASI
A. Pengertian Sosialisasi
1. Paul. B. Horton dan Chester. L. Hunt
2. David. B Brinkerhof dan Lynn. K. White
3. James. W. Vander Zanden
B. Jenis Sosialisasi
http://facebook.com/indonesiapustaka
C. Agen Sosialisasi
x
DAFTAR ISI
1. Keluarga
2. Sekolah
3. Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
4. Media Massa
5. Agama
6. Lingkungan Tempat Tinggal
7. Tempat Kerja
D. Perkembangan Kepribadian
1. Cooley: Cermin Diri (Looking Glass Self)
2. Mead: Tahapan Perkembangan Diri
3. Freud: Tiga Unsur Diri
xi
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
BAB 5 KURIKULUM
A. Apa Itu Kurikulum?
B. Tipologi Kurikulum
1. Kurikulum Berdasarkan Isi
2. Kurikulum Berdasarkan Model Pengembangan
3. Kurikulum Berdasarkan Harapan Kenyataan
4. Kurikulum Berdasarkan Struktur dan Materi
Pembelajaran
5. Kurikulum Bedasarkan Cakupan Penggunaan
D. Kurikulum Tersembunyi
E. Kurikulum dan Evaluasi
1. Evaluasi Kurikulum
2. Dampak Evaluasi Kurikulum Pada Proses di Sekolah
BAB 6 GURU
A. Mengajar Sebagai Pekerjaan Atau Profesi?
http://facebook.com/indonesiapustaka
B. Peranan Guru
1. Fungsi Manifes dari Guru
2. Fungsi Laten dari Guru
xii
DAFTAR ISI
C. Sertifikasi Guru
1. Kompetensi Guru
2. Permasalahan Sertiikasi
DAFTAR PUSTAKA
INDEKS
TENTANG PENULIS
http://facebook.com/indonesiapustaka
xiii
http://facebook.com/indonesiapustaka
xiv
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DAFTAR TABEL, FIGUR,
DAN GAMBAR
xvi
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
bab
1 PENGERTIAN
DAN RUANG LINGKUP
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
A. PENGERTIAN SOSIOLOGI
Batasan suatu kajian ilmu sangat perlu untuk dipahami. Karena
melalui batasan tersebut kita dapat menentukan ruang kajian suatu
bidang keilmuan dengan bidang keilmuan lainnya. Namun pekerjaan
tersebut tidaklah gampang, termasuk membuat batasan sosiologi.
Karena sudut pandang dalam membuat batasan suatu kajian ilmu
dapat berbeda-beda. Oleh sebab itu, dapat dipahami mengapa misal-
nya, para ilmuan memberikan pengertian atau membuat deinisi ber-
beda antara satu dengan lainnya. Karena membuat batasan itu diper-
lukan, meskipun dipahami bahwa membuatnya tidak mudah, maka
bagian pertama buku ini kita meletakkan suatu persamaan pandan-
gan dan pemahaman tentang pengertian sosiologi, yang selanjutnya
akan mempengaruhi kita dalam melihat realitas pendidikan dalam
sudut pandang sosiologi.
Melalui penelusuran berbagai literatur tentang berbagai buku
teks sosiologi, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa
http://facebook.com/indonesiapustaka
2
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
3
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
gil Guritno. Ketika Guritno mendengar suara percikan air dari batu
yang dilemparkan, dia mencari sumber, siapa gerangan si pelempar
batu ke sungai? Guritno melihat ada seseorang di seberang sungai
sana, ternyata Karta, teman sekantornya. Selanjutnya, Guritno dan
Karta sekilas saling kontak mata. Kemudian Guritno melambaikan
tangan ke arah Karta. Adegan interaksi tersebut telah dapat disebut
sebagai komunikasi, yaitu pertukaran informasi timbal-balik antara
Karta dan Guritno—Karta melempar batu ke dalam sungai dijawab
oleh Guritno dengan lambaian tangan. Pada adegan ini, informasi
yang digunakan berupa simbol lemparan batu ke dalam sungai oleh
Karta dan gerak tubuh oleh Guritno. Informasi berupa kata-kata be-
lum digunakan. Bisa saja adegan selanjutnya ada penggunaan kata-
kata, misalnya sambil melambaikan tangan ke arah Karta, Guritno
meneriakkan, “apa kabar? Mau ke mana?”. Karta menjawab dengan
mengacungkan jempol beberapa kali dan selanjutnya mengarahkan
telunjuk ke salah satu arah jalan. Apa yang dilakukan oleh Karta
tersebut diinterpretasi Guritno sebagai Karta sehat dan akan pergi ke
arah sana. Makna tersebut berasal dari interpretasi Guritno terhadap
proses interaksi sosial yang sedang berlangsung.
Deinisi sosiologi dari Brinkerhoft dan White menempatkan
manusia sebagai manusia yang aktif-kreatif. Manusia adalah sebagai
pencipta terhadap dunianya sendiri. Proses penciptaan tersebut ber-
langsung dalam hubungan interpersonal. Oleh karena itu, sosiologi
yang dikembangkan lewat deinisi ini adalah sosiologi mikro.
4
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
yaitu deinisi dari Horton dan Hunt (1987: 59) dan Peter L.Berger
(1966).
Horton dan Hunt (1987: 59) mendeinisikan masyarakat sebagai
sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersa-
ma-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah mandiri, memi-
liki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatan-
nya dalam kelompok tersebut. Deinisi Horton dan Hunt ini relatif
jelas tanpa diberi penjelasan tambahan, kecuali konsep kebudayaan.
Seperti halnya konsep masyarakat, konsep kebudayaan didei-
nisikan secara berbeda oleh ahli kebudayaan dan sosiologi. Untuk
keperluan pemahaman diambil 2 deinisi kebudayaan, yaitu deinisi
dari Sir Edward Tylor serta Horton dan Hunt. Deinisi Tylor ten-
tang kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan,
keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemam-
puan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai
anggota masyarakat. Deinisi Tylor merupakan deinisi kebudayaan
yang klasik, sesuai dengan perkembangan ilmu sosial pada masa
itu. Dalam deinisi ini dipandang bahwa seseorang menerima ke-
budayaan sebagai bagian dari warisan sosial. Pandangan seperti ini
memberi kesan bahwa manusia adalah makhluk yang pasif, karena ia
hanya sebagai pewaris. Pandangan tersebut dapat dipahami karena
semua unsur yang disebutkan oleh Tylor di atas sudah ada sebelum
seseorang lahir dan ia tinggal memakai dari apa yang diwarisinya
tersebut. Ketika seorang anak manusia lahir di Indonesia dia seka-
dar menerima bahwa cara mengupas mangga bermula dari sisi dalam
menuju ke arah luar. Dia akan kaget karena ternyata ketika dia be-
rada di Eropa orang mengupas mangga bermula dari sisi luar menuju
ke arah dalam.
Adapun Horton dan Hunt (1987: 58) mendeinisikan kebudaya-
http://facebook.com/indonesiapustaka
5
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
tif yaitu mengalami bersama secara sosial. Pada saat lahir di muka
bumi, manusia diajari berbagai macam unsur budaya seperti penge-
tahuan, keyakinan, moral, hukum, adat istiadat dan sebagainya oleh
terutama orang tua dan anggota dewasa keluarga batih lainnya. Di
samping itu, manusia memiliki pengalaman baru bersama yang ber-
beda dari pengalaman yang mereka warisi sebelumnya.
Dengan deinisi budaya seperti di sebut di atas, kata Horton dan
Hunt (1987: 58), seorang menerima kebudayaan sebagai bagian dari
warisan sosial, dan pada gilirannya, dapat membentuk kebudayaan
kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian
menjadi bagian dari warisan generasi yang berikutnya. Untuk mema-
hami hal ini, mari kita ambil suatu ilustrasi. Dalam keluarga mus-
lim, misalnya, anak-anak diajarkan makan dalam keadaan duduk,
dilarang berdiri. Namun ketika dewasa, dia dapati berbagai acara
jamuan makan dalam keadaan berdiri. Budaya makan yang diwarisi
dari orangtuanya tersebut dapat berobah pada saat dia dihadapkan
berbagai pengalaman baru dan memandang pengalaman baru terse-
but sebagai sesuatu yang lebih bagus dari yang lama. Konsekuensinya
adalah pengalaman baru ini diwariskan kepada generasinya.
Kembali kepada deinisi masyarakat dari Horton dan Hunt, dei-
nisi tersebut menempatkan sosiologi pada tataran makro. Jika dei-
nisi kebudayaan dalam masyarakat dipahami dengan pandangan Ty-
lor maka sosiologi ditempatkan pada tataran makro objektif, yaitu ta-
taran makro yang berada di luar sana, bersifat eksternal. Sedangkan
kalau dipahami dengan perspektif Horton dan Hunt sendiri maka
sosiologi diposisikan pada tataran makro objektif-subjektif, yaitu
makro yang berada di luar sana (eksternal), juga dapat makro yang
berasal dari kesadaran individu (internal).
Berbeda dengan Horton dan Hunt, menurut P. L. Berger, ma-
http://facebook.com/indonesiapustaka
6
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
7
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
B. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Pengertian pendidikan, secara sederhana, dapat merujuk pada
http://facebook.com/indonesiapustaka
8
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
pengubahan sikap dan tata laku; dua, orang berproses menjadi de-
wasa, menjadi matang dalam sikap dan tata laku; tiga, proses pende-
wasaan tersebut dilakukan melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut juga dipahami bah-
wa pendidikan merupakan proses, cara, dan perbuatan mendidik.
berdiri.
Jika belum cukup paham bagaimana masyarakat mempenga-
ruhi pendidikan, mari kita ambil contoh lain. Dalam berbusana,
apakah kita dapat menggunakan semua jenis dan bentuk pakaian
9
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Masyarakat
Pendidikan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Interaksi sosial:
proses dan pola
Catatan:
hubungan timbal balik
hubungan inklusif
10
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
11
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
12
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
13
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Perguruan Tinggi
Dan sebagainya
14
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
15
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
16
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Fenomena Pendidikan
17
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
18
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Murni-Sosiologi Terapan
1 2 3 4 5 6
Catatan:
1 = konstruksi teori, menguji hipotesis
19
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
20
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
21
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
22
bab
2 PENDEKATAN SOSIOLOGIS
TENTANG PENDIDIKAN
24
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
b. Teori Alienasi
Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lain? Kata
Marx, kerja! Hanya manusialah, makhluk yang mampu melakukan
kerja. Melalui kerja, oleh sebab itu, manusia sebagai produsen. Den-
gan demikian, produk dari kegiatan produktif (kerja) manusia meru-
pakan hakekat manusia, yang menjadi pembeda dengan makhluk lain
seperti binatang. Kalau manusia itu produsen, bagaimana mungkin
manusia kehilangan kekuasaan atas produknya sendiri? atau lebih
tegas lagi, bagaimana mungkin produk itu mendapat kekuasaan atas
produsennya? Inilah masalah alienasi (keterasingan) (Layendecker,
1983: 248).
Kapitalisme telah menyebabkan manusia mengalami alienasi
karena hasil kreatiitas produsen menjadi terasing/diasingkan dari
produsen itu sendiri. Alienasi ini bisa mengambil bentuk (1) produk
http://facebook.com/indonesiapustaka
25
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
26
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
d. Tentang Agama
Pandangan Marx yang amat mengejutkan umat beragama adalah,
“agama sebagai candu masyarakat”. Pernyataan tersebut dapat dipa-
hami karena Marx melihat bahwa superstruktur sosio-budaya, —ter-
masuk di dalamnya ideologi, politik dan agama—, dibangun di atas
infrastruktur ekonomi. Semua institusi sosial, termasuk agama,
didirikan atas dasar infrastruktur ekonomi (yaitu, alat-alat produksi
dan hubungan sosial dalam produksi) dan menyesuaikan diri dengan
tuntutan-tuntutan dan persyaratan-persyaratan yang dimiliki oleh
infrastruktur ekonomi tersebut. Pengalaman ayahnya yang berpin-
dah agama dari Yahudi menjadi Protestan adalah contoh faktual dan
http://facebook.com/indonesiapustaka
27
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
28
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
29
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
30
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
d. Teori Moralitas
Teori moralitas merupakan pengembangan lanjut dari penerap-
an metodologi Durkheim tentang fakta sosial. Moralitas dapat dipan-
dang sebagai fakta sosial, karena ia memiliki karekteristik eksternal,
http://facebook.com/indonesiapustaka
31
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
1 Beberapa bab dalam ”Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas”, sebuah buku
yang disunting oleh Tauik Abdullah dan A.C. Van der Leeden, merupakan terjemahan
langsung dari buku Emile Durkheim yang berbahasa Prancis, yaitu L’education Morale
(1974).
32
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
33
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
telah habis sehingga dia tidak bisa memanaskan makanan. Agar me-
nyala apinya dia harus memantik tombol pemantik kompor. Pemaha-
man penjelasan dapat dimengerti disebabkan oleh susunan keselu-
ruhannya memperlihatkan konsistensi logis, harmoni yang estetis,
atau kecocokan antara tujuan dan cara.
34
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
35
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
36
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
37
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
gunan kewenangan, oleh karena itu, tidak bisa dilepaskan dari ber-
bagai tipe tindakan sosial yang ada. Suatu tindakan sosial bisa men-
gonstruksi suatu bentuk kewenangan tertentu. Tindakan sosial ra-
sional instrumental, misalnya, bisa mengonstruksi kewenangan yang
bersifat legal-rasional.
38
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
39
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
40
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
Mead juga mengajukan konsep diri sebagai “I” dan “me”. “I”
merupakan diri sebagai subjek, bagian diri yang aktif, spontan, dan
kreatif. Sedangkan “me” adalah diri sebagai objek, merupakan sikap
yang diinternalisasi melalui interaksi kita dengan orang lain. Dalam
sosialisasi, individu dilihat bukan merupakan makhluk yang pasif,
tetatpi sebaliknya sebagai aktor aktif yang mengevaluasi reaksi orang
lain dan mengorganisasikkannya dalam satu kesatuan yang meny-
eluruh. Individu menampilkan diri berdasarkan berbagai pilihan diri
yang tersedia (me).
41
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
42
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
43
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
44
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
45
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Adaptation
Goal attainment
Latent pattern
Integration
maintenance
46
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
47
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
48
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
49
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
50
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
51
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
52
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
tidak berubah.
Berdasarkan pandangan teori struktural fungsional, Anda dapat
dipandang sebagai elemen dalam masyarakat; seperti juga orang lain
sebagai elemen dari masyarakat. Jaringan hubungan antara Anda dan
orang-orang lain yang terpola dilihat sebagai masyarakat. Jaringan
hubungan yang terpola tersebut mencerminkan struktur elemen-ele-
men yang relatif mantap dan stabil. Kenapa dilihat sebagai sesuatu
relatif stabil dan mantap? Karena dari hari ke hari terus ke bulan te-
rus ke tahun, dirasakan relatif sama, hampir tidak berubah. Kalau-
pun berubah terjadi secara evolusi, berubah secara perlahan-lahan.
Perubahan tersebut tidak begitu terasa. Terasanya perubahan terse-
but pada saat memperbandingkannya dari suatu titik waktu dengan
titik waktu lain yang sangat berjarak, misalnya sepuluh tahun. Mis-
alkan menggunakan jangka waktu sepuluh tahun untuk memper-
bandingkan pola busana remaja. Andaikan Anda memperbandingkan
pola busana remaja pada tahun 1990-an dengan tahun 2000-an. Coba
Anda perhatikan, perubahan apa yang Anda temukan?
53
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
baik.
54
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
yang dianut.
Berdasarkan dua contoh tersebut diatas, telah memperlihatkan
bahwa fungsi dari elemen-elemen yang terstruktur dilandasi atau
dibangun diatas konsensus nilai diantara para anggotanya. Konsen-
sus nilai tersebut berasal baik dari kesepakatan yang telah ada dalam
55
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
56
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
Ketika motif atau tujuan diri dari suatu elemen telah menjadi bagian
dari struktur maka elemen tersebut cenderung untuk memperta-
hankannya di satu sisi. Sedangkan pada sisi lain, elemen lain terus
berjuang mengusung motif atau kepentingan dirinya menjadi motif
atau kepentingan struktur. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut
adalah perubahan yang senantiasa diperjuangkan oleh setiap elemen
terhadap motif, maksud, kepentingan, atau tujuan diri.
Kita lanjutkan dengan contoh diatas. Anda sebagai pegawai negri
sipil, Mpok Atun si tukang cuci keluarga, Bang Togar si penambal ban
motor Anda, Kang Asep si loper koran Anda, Uda Buyung si penjual
nasi, dan Bang Abdi si penjual barang harian adalah elemen-elemen
dari struktur sosial yang memiliki motif, maksud, kepentingan, atau
tujuan yang berbeda. Perjuangan Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang
Asep. Uda Buyung, dan Bang Abdi dalam meraih motif, maksud, ke-
pentingan, atau tujuan yang dimiliki merupakan penggerak terhadap
perubahan dalam struktur sosial di mana mereka berada. Sepanjang
mereka tetap berjuang meraih motif, maksud, kepentingan, atau tu-
juan yang dipunyai maka sepanjang itu pula perubahan dalam struk-
tur terus bergerak
57
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
58
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
59
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
60
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
mengacu pada bagaimana kita melihat situasi sosial dari sisi orang
lain di mana dari dia kita akan memperoleh respon. Dalam proses
pengambilan peran, seseorang menempatkan dirinya dalam kerang-
ka berpikir orang lain. Jadi, seseorang mengambil peran polisi, mis-
alnya, adalah berusaha menempatkan diri dalam kerangka berpikir
61
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
polisi, atau melihat situasi atau perilaku seseorang seperti yang di-
lakukan oleh polisi. Atau contoh lain, Anda mengambil peran guber-
nur, misalnya, adalah berupaya memposisikan diri dalam perspektif
berpikir gubernur, atau melihat situasi atau atau perilaku seseorang
seperti yang dilakukan oleh gubernur. Kita akan kembali ke topik ini
ketika membicarakan pengambilan peran politik melalui perspektif
George Herbert Mead pada bab selanjutnya.
4. Teori Pertukaran
Teori pertukaran melihat dunia ini sebagai arena pertukaran,
tempat orang-orang saling bertukar ganjaran/hadiah. Apapun ben-
tuk perilaku sosial seperti persahabatan, perkawinan, atau perceraian
tidak lepas dari soal pertukaran. Semua berawal dari pertukaran, be-
gitu kata tokoh teori pertukaran. Untuk memahami teori ini lebih
dalam kita akan membahas asumsi yang dikandung dalam teori ini
http://facebook.com/indonesiapustaka
62
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan
63
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
atas, tidak mungkin terjadi kalau ada pihak yang tidak memperoleh
keuntungan, apalagi ada pihak yang merugi karena hubungan terse-
but. Jika ada pihak yang tidak mendapatkan apa-apa atau malah rugi
maka hubungan persahabatan atau perkawinan tersebut bisa bubar,
menurut pandangan teori ini.
64
bab
3 SOSIALISASI
A. PENGERTIAN SOSIALISASI
Sejak lama para ilmuan, termasuk sosiolog, tertarik untuk me-
ngetahui apa yang menjadi sifat manusiawi pada sifat manusia.
Sejauhmanakah ciri-ciri orang berasal dari “alam” (keturunan), dan
sejauhmana dari “asuhan” (lingkungan sosial/social environment)?
Ciri-ciri orang bisa dikenal sebagai kepribadian (personality) atau diri
(self). Dalam kaitan inilah maka pembahasan sosialisasi dalam sosio-
logi pendidikan menjadi pokok bahasan utama.
Dalam kehidupan sehari-hari, seperti telah disinggung pada bab
1, konsep sosialisasi sering disinonimkan dengan konsep diseminasi.
Padahal kedua konsep tersebut berbeda secara signiikan maksud
dan tujuannya. Oleh karena itu untuk mempertegas pengertian dan
mempertajam pemahaman tentang sosialisasi maka konsep ini ada
baiknya dibahas kembali pada bab ini. Para ahli sosiologi, antropologi
dan psikologi telah banyak membahas pengertian atau merumus-
kan batasan sosialiasi. Berikut beberapa pengertian sosialisasi yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
B. JENIS SOSIALISASI
Sebelum mendiskusikan lebih jauh tentang sosialisasi, ada baik
nya kita coba memahami jenis sosialisasi dari berbagai sisi, yaitu an
tara lain sosialisasi berdasarkan kebutuhan, cara yang digunakan,
66
BAB 3 Sosialisasi
67
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
68
BAB 3 Sosialisasi
C. AGEN SOSIALISASI
http://facebook.com/indonesiapustaka
69
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
1. Keluarga
Bagaimana sosialisasi dilakukan? Dalam masyarakat modern, ke-
luarga batih (nuclear family) merupakan agen sosialisasi primer uta-
ma. Seorang bayi menemukan ibunya sebagai orang yang pertama kali
memeluk, membelai, dan mengasihinya secara isik. Pelukan, belaian,
dan kasih secara isik tersebut merupakan pelajaran pertama yang
diperolehnya tentang aspek afeksi-emosional dari kehidupan. Pelaja-
ran berikutnya seperti nilai, norma, sikap, dan harapan diterima dari
keluarga seiring dengan berjalannya waktu, yang berkait dengan per-
tambahan usia. Sedangkan dalam masyarakat tradisional, keluarga
luas (extended family) seperti nenek, tante, dan anggota dewasa lain-
nya dalam keluarga luas turut serta dalam melakukan sosialisasi ter-
hadap keluarga muda. Mereka semua memiliki tanggungjawab so-
sial budaya untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai, norma dan
harapan-harapan yang berkembang dalam masyarakat.
Sosialisasi dilakukan berdasarkan pola keluarga yang dimiliki.
Bernstein menemukan dua tipe ideal dari pola keluarga, yaitu ke-
luarga yang berorientasi kepada posisi dan yang berorientasi kepada
pribadi. Keluarga posisional (position-centered family), seperti dikutip
oleh Robinson (1986: 81-82), merupakan keluarga di mana terjadi
pemisahan peran yang jelas di antara para anggota-anggotanya, seb-
agai ayah, ibu, anak, atau pada usia tertentu sebagai kakek atau ne-
nek. Sosialisasi anak dalam keluarga seperti ini terjadi dalam suatu
kerangka yang jelas. Dalam kaitannya dengan sosialisasi dalam kelu-
arga posisional, anak yang mengalami sosialisasi akan sangat mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka
70
BAB 3 Sosialisasi
71
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
prosedur kerja yang rinci ditetapkan oleh atasan dari kelas pekerja
memberikan pelajaran bahwa ketaatan terhadap aturan merupakan
kunci sukses dalam kehidupan. Oleh sebab itu, nilai tersebut dipan-
dang penting untuk disosialisasikan dan diinternasisasikan kepada
anak mereka agar generasi muda bisa mengikuti jejak generasi tua.
Berbeda dengan kelas pekerja, kelas menengah mengalami kenyataan
bahwa kunci sukses atau keberhasilan kehidupan terletak pada ke-
mampuan pengambilan inisiatif dalam pekerjaan sehingga nilai sep-
erti itulah yang dipandang penting untuk diwariskan pada generasi
berikutnya.
2. Sekolah
Sekolah, dalam arti yang luas di dalamnya mencakup mulai dari
kelompok bermain (play-group/PG), taman kanak-kanak (TK), seko-
lah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menen-
gah atas (SMA), sampai perguruan tinggi merupakan salah satu agen
sosialisasi yang penting dalam kehidupan manusia. Sekolah perlahan
menjadi agen pengganti terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga,
seiring dengan intensifnya anak memasuki ruang sosial dari ruang
sekolah. Pada suatu titik dari intensitas tersebut, tidak jarang sang
anak sangat percaya kepada gurunya dibandingkan dengan kedua
orangtuanya, terutama pada anak usia kelompok bermain, taman
kanak-kanak, dan sekolah dasar. Untuk memahami realitas tersebut
lihat kotak di bawah.
Tsabita adalah seorang anak perempuan yang berusia enam tahun. Dia meng ikuti
PG, TK selanjutnya SD yang dikelola oleh sebuah yayasan pendidikan Islam di Padang.
Sebelum masuk PG, TK dan SD, Tsabita menjadikan kedua orangtuanya sebagai pa-
nutan dan rujukan dari segala perilakunya. Namun hal tersebut berubah ketika dia
memasuki PG, TK dan SD. Sekolah merubah signiicant other utama dari orangtua
kepada guru. Jika ada sesuatu yang berbeda dilakukan oleh orangtuanya dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
apa yang diterimanya dari guru, dia akan protes tentang hal tersebut. Mi salnya jika
dia melihat bundanya sedang minum atau makan berdiri maka dia akan berteriak
sambil menyebut hadits yang melarang minum atau makan sambil berdiri. Atau jika
dia meminta sesuatu yang disarankan oleh guru maka sesuatu tersebut harus sama
persis dengan apa yang disarankan oleh gurunya. Jika tidak Tsabita tidak mau me-
nerimanya. Memang guru adalah tauladan utama bagi anak-anak TK dan SD.
72
BAB 3 Sosialisasi
73
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
74
BAB 3 Sosialisasi
75
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
4. Media Massa
Media massa merupakan agen sosialisasi yang semakin menguat
peranannya. Media massa, baik media cetak seperti surat kabar dan
majalah maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan inter-
net, semakin memegang peranan penting dalam mempengaruhi cara
pandang, cara pikir, cara tindak, dan sikap seseorang. Pengaruh me-
dia massa cenderung bersifat massiv, berskala besar, dan segera.
Pesan-pesan yang disampaikan melalui siaran atau tayangan me-
dia elektronik, terutama televisi, dapat mempengaruhi khalayak baik
secara positif maupun negatif. Berbagai tayangan agama dan pendi-
dikan seperti ceramah agama, kuliah subuh, perilaku lora dan fauna,
dan lain sebagainya merupakan tayangan positif yang dapat menin-
gkatkan kualitas keterlibatan partisipasi efektif individual dalam
masyarakat atau meningkatkan pemahaman akan nilai dan pengeta-
huan yang bermanfaat bagi individu untuk bisa hidup efektif dalam
masyarakat. Sebaliknya berbagai tayangan kekerasan, kriminal dan
pornograi dapat menjadi sesuatu yang negatip bagi khalayak. Berb-
agai tayangan negatif tersebut bisa menjadi objek peniruan (imitasi)
atau sumber inspirasi bagi khalayak pemirsanya. Dari berbagai kasus
http://facebook.com/indonesiapustaka
76
BAB 3 Sosialisasi
secara intensif oleh partai politik sebagai media dan sekaligus agen
sosialisasi politik di Indonesia terjadi pada pemilihan umum 1999,
terutama masa kampanye. Ada kecenderungan terjadi peningkatan
belanja iklan politik oleh partai politik atau pasangan calon (presiden
atau kepala daerah) kepada media massa, terutama televisi, untuk
77
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
5. Agama
Di seluruh dunia, kata Henslin (2008: 164), agama memberikan
jawaban pada pertanyaan yang membingungkan mengenai makna ke-
hidupan sebenarnya—seperti tujuan hidup, mengapa manusia men-
derita, dan eksistensi kehidupan di alam akhirat. Agama, oleh sebab
itu, memberikan tuntunan tentang nilai seperti baik dan buruknya
atau benar dan salahnya sesuatu. Agama mengarahkan kita dalam
persoalan moralitas. Oleh sebab itu, agama dalam pandangan Hens-
lin dipandang sebagai agen sosialisasi, melalui lembaga keagamaan
seperti gereja, pesantren, dan lain sebagainya.
Agama tidak hanya berpengaruh pada aspek hubungan vertikal
antara manusia dengan tuhannya atau aspek religius dari kehidupan,
tetapi juga berpengaruh pada aspek-aspek kehidupan lainnya seperti
ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam kaitan ini, oleh sebab itu, bisa
dipahami kenapa Max Weber membuat tipe tindakan rasional nilai
dalam tipologi tindakan sosial. Bagi pemeluk Islam, misalnya, men-
http://facebook.com/indonesiapustaka
78
BAB 3 Sosialisasi
leh, sunat, dan wajib. Demikian juga dalam aspek sosial budaya, cara
berbusana, bergaul, bertindak, tata krama, dan berperilaku memiliki
tuntunan dalam agama. Bagi pemeluk Islam memandang aneh apa-
bila terdapat larangan tentang berbusana muslimah di negara-negara
Barat, yang diakui sebagai kampiun demokrasi, sementara “busana
bugil”, yaitu orang berpakaian tapi mempertontonkan hal yang vital
dari tubuh, dibolehkan. Bukankah sekularisme juga sebagai agama,
sepertinya juga Hindu, Katolik, atau Islam?
Jadi dalam perspektif ini tampak bahwa aspek agama melekat
(embedded) dalam berbagai aspek kehidupan lainnya seperti aspek
sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sedangkan ketidakmelekatan/
keterpisahannya (disembeddednes) dapat dilihat dalam konstruksi
teoritis-hipotetis belaka.
79
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
7. Tempat Kerja
Tempat kerja merupakan salah satu agen sosialisasi yang mem-
pengaruhi kita. Tempat kerja adalah tahapan lanjut dari perkemban-
gan kehidupan kita, yang berawal dari keluarga, sekolah, kelompok
teman sebaya, media massa, agama, lingkungan tempat tinggal, ke-
mudia tempat kerja. Ketika di sekolah menengah atas atau perguruan
tinggi kita melakukan kegiatan atau program magang merupakan
suatu bentuk sosialisasi antisipatoris, belajar memainkan suatu per-
an sebelum memegangnya.
Semakin lama kita terlibat pada suatu jenis pekerjaan, kata
Henslin (2007: 79), maka pekerjaan tersebut semakin menjadi ba-
gian dari konsep diri kita. Pada akhirnya kita akan melihat diri kita
dalam kerangka pekerjaan tersebut, sehingga jika seseorang memin-
ta kita mendiskripsikan diri kita, kita akan cenderung memasukkan
pekerjaan dalam deskripsi diri kita. Kita mungkin akan menjelaskan:
“saya adalah dosen”, “saya jurnalis”, atau “saya adalah pebisnis”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
D. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Perkembangan kepribadian dipahami secara berbeda oleh berb-
agai ahli. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sudut pandang yang
80
BAB 3 Sosialisasi
81
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
82
BAB 3 Sosialisasi
83
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
mengerti apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain
dalam suatu pertandingan. Dalam proses ini terjadi proses pengam-
bilan peran (role taking), di mana seseorang mempertimbangkan atau
mengantisipasi peran orang lain yang dianggap sesuai dengan kebu-
tuhan atau sering muncul dalam hidupnya, dikenal dengan signiicant
other.
Selanjutnya perkembangan lanjutnya adalah anak mampu men-
gontrol perilakunya sendiri menurut peran-peran umum yang bersi-
fat impersonal, yang didalamnya terdapat harapan-harapan dan stan-
dar-standar komunitas (masyarakat keseluruhan) berupa kebiasaan,
pola normatif atau ideal yang abstrak, atau nilai-nilai universal, dike-
nal dengan the generalized other. Pada tahap ini seorang anak tidak
hanya memahami peran yang harus dijalankannya, tetapi juga dia
telah mengetahui peran yang harus dijalankan oleh oleh orang lain
dengan siapa dia berinteraksi. Misalnya, ketika seorang anak pergi ke
sekolah, dia telah mengetahui peran apa yang dimainkan oleh dirinya
ketika dia berhadapan dengan teman-teman sekelas, kakak-kakak
atau adik-adik lain kelas, guru kelas, guru lainnya, kepala sekolah,
penjaga sekolah, atau petugas keamanan. Selain itu dia mengetahui
harus bersikap dan berperilaku seperti apa, misalnya bagaimana ber-
busana yang dikaitkan warna, bahan dan modelnya, atau bagaimana
menuturkan kata sesuai dengan orang yang dihadapi.
84
BAB 3 Sosialisasi
si bahwa bayi yang baru lahir terbukti dari tangisannya karena lapar
atau sakit. Dorongan tersebut beroperasi sepanjang hidup manusia
yang menuntut pemenuhan langsung keperluan dasar: perhatian, ke-
selamatan, makanan, seks, dan seterusnya.
Namun dorongan id untuk memenuhi keputusan langsung ber-
hadapan dengan suatu penghalang: kebutuhan akan orang lain, khu-
susnya orang tua. Penghalang inilah dikenal dengan superego, yaitu
unsur diri yang bersifat sosial dan merupakan kompleks dari cita-cita
dan nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang dan membentuk hati
nurani (conscience). Superego mewakili kebudayaan dalam diri ses-
eorang, norma dan nilai yang telah kita internalisasi dari kelompok
sosial seseorang. Sebagai suatu komponen moral dari diri, superego
menimbulkan rasa bersalah atau malu ketika seseorang melanggar
aturan sosial atau adat, sebaliknya akan menimbulkan rasa bangga
dan puas manakala telah mentaatinya (Henslin, 2007).
Pertentangan antara id dan superego memiliki dampak terhadap
diri seseorang. Jika id lepas kendali, seseorang akan mengikuti hasrat
diri terhadap kesenangan dan melanggar norma masyarakat. Seba-
liknya, jika superego lepas kendali maka seseorang akan terlaku kaku
terhadap aturan yang ada. Oleh karena itu diperlukan kekuatan pe-
nyeimbang dari dua unsur diri yang bertolakbelakang tersebut, yaitu
unsur diri yang dikenal sebagai ego, adalah unsur diri yang bersifat sa-
dar dan rasional. Jadi ego merupakan penyeimbang antara dorongan
yang bersifat bawaan lahir dan naluriah atau id dengan tuntutan
masyarakat atau superego. Oleh karena itu, pada orang yang secara
emosional sehat, ego mampu menyeimbangkan tuntutan antara id
dan superego yang bertentangan tersebut. Sebaliknya jika orang tidak
mampu menyesesuaikan diri maka orang tersebut mengalami kebin-
gunan internal dan perilaku bermasalah (Henslin, 2007).
http://facebook.com/indonesiapustaka
85
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
1. Erik H. Erikson
Erik H. Erikson lahir tanggal 15 Juni 1902 di
Frankfurt, Jerman dari orangtua berkebangsaan
Denmark. Karena orangtuanya bercerai sebelum
kelahirannya, Erikson tidak mengenal ayahnya.
Ibunya, seorang wanita Yahudi, menikah lagi
dengan seorang dokter spesialis anak, heodor
Homburger. Erikson sangat menghormati ayahtirinya, untuk itu dia
menggunakan nama ayahtirinya dalam namanya, sehingga menjadi
Erik Homburger Erikson. Dia hanya tamat Gymnasium dan tertarik
dengan seni. Ketika gelombang anti Yahudi marak di Jerman dan
Austria, dia pindah ke Amerika. Karena dia memiliki keahlian dalam
bidang psikoanalisis, yang dikuasai dan berkembang tatkala menjadi
guru di sekolah swasta kecil yang progresif di Wina, maka dia diminta
menjadi gurubesar di California dan Harvard.
Erikson (2001: 220-234) mendiskusikan tentang sosialisasi sik-
lus kehidupan. Dia senang menggunakan konsep “life cycle” (siklus
kehidupan) untuk melukiskan seluruh perkembangan diri, dari kand-
ungan ibu sampai kandungan bumi (from womb to tomb), yang diiden-
tiikasinya ke dalam delapan tahapan siklus kehidupan. Setiap taha-
pan siklus kehidupan, individu mengalami krisis identitas yang harus
dipecahkan serta kebijakan dasar yang perlu untuk dikembangkan.
Berikut diskusi singkat tentang delapan tahapan siklus kehidupan:
86
BAB 3 Sosialisasi
inkonsisten terhadap bayi, maka sang bayi akan merasa tidak aman
dan memiliki kecurigaan pada orang lain. Pada masa ini kebijakan
dasar yang dikembangkan adalah tentang harapan. Sedangkan radius
hubungan yang paling penting adalah pribadi ibu.
87
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
identitas antara kerajinan dan rasa rendah diri. Pada masa ini, anak
mengembangkan suatu rasa kerajinan, yaitu dia mulai mengerti dunia
alat yang ada dalam kebudayaannya, dan dia dapat menjadi seorang
anggota yang sangat bergairah dan asyik dari situasi produktif yang
berlangsung di sekolah, yang secara bertahap menggantikan tahapan
bermain. Sebaliknya bisa saja anak mengalami rasa ketidakmampuan
(inadequacy) dan putus asa bilamana dia tidak mampu mengembang-
kan kemahiran/kecakapan atau kompetensi dalam menguasai dunia
alat. Apabila ini muncul maka ia dapat berujung pada kehadiran rasa
rendah diri pada sang anak. Agar hal tersebut tidak terjadi maka pe-
ran sekolah dan para tetangga sangat berarti menumbuhkembang-
kan kompetensi sang anak.
88
BAB 3 Sosialisasi
89
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
2. James M. Henslin
Berbeda dengan Erikson, Henslin mengembangkan sosialisasi
melalui perjalanan hidup mengembang 4 tahapan, yaitu:
90
BAB 3 Sosialisasi
91
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
92
bab
4 RUANG KELAS
1. Konsep Sistem
Untuk memahami topik ini mari kita pahami terlebih dahulu
http://facebook.com/indonesiapustaka
konsep sistem sosial, yamg terdiri dari dua suku kata system dan
sosial. Secara etimologis, menurut bahwa kata sistem merupakan
kata serapan yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu systema, systema-
tos, yang berasal dari kata synistani. Adapun kata synistani terdiri
dari 2 suku kata, yaitu syn dan hystanat. Adapun kata syn bermakna
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
nyatu.”
Dua, batasan menurut Gabriel A. Almond. Dia menulis deinisi
sistem pada bab “Studi Perbandingan Sistem Politik” dalam buku Per-
bandingan Sistem Politik yang diedit oleh Mochtar Mas’oed dan Collin
MacAndrews (1981: 2). Adapun pandangan Almond sebagai berikut:
94
BAB 4 Ruang Kelas
95
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
96
BAB 4 Ruang Kelas
97
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
98
BAB 4 Ruang Kelas
tan ini meletakkan aktor yang terlibat, baik guru maupun murid, se-
bagai makhluk yang aktif dan kreatif dalam membangun dunianya,
dalam hal ini kaitannya dengan ruang kelas. Ruang kelas sebagai
sistem interaksi dipenuhi oleh fenomena deinisi situasi, interpretasi
realitas, dan pemaknaan terhadap kenyataan yang dihadapi.
99
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
100
BAB 4 Ruang Kelas
101
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
102
BAB 4 Ruang Kelas
103
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
1. Pendekatan Interaksi
Pendekatan interaksi memberikan perhatian yang khusus ter-
hadap pengamatan pada metode pengajaran dalam mengelola ruang
kelas yang eisien.
104
BAB 4 Ruang Kelas
105
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
106
BAB 4 Ruang Kelas
2. Pendekatan Interpretatif
Realitas sosial termasuk ruang kelas, seperti telah dibahas pada
bab sebelumnya, dipahami sebagai kenyataan interaksional yang di-
penuhi berbagai simbol. Kenyataan, oleh sebab itu, dipandang sebagai
interaksi interpersonal yang menggunakan simbol-simbol, di mana
individu secara aktif, melalui proses interpretatif, mengonstruksikan
tindakan-tindakannya dan proses interaksi di mana individu menye-
suaikan diri dan mencocokkan berbagai macam tindakannya dengan
mengambil peran dan komunikasi simbol.
Salah satu proses interpretatif dipahami oleh W.I. homas (1966)
sebagai deinisi situasi. Bagi homas suatu stimulus (rangsangan) ti-
dak langsung dilanjuti dengan tanggapan (respon), tetapi melewati
suatu proses yang dikenal sebagai deinisi situasi yaitu suatu pros-
es penilaian dan pertimbangan melalui pemberian makna terha-
dap suatu stimulus yang diterima. Dalam berbagai situasi, msalnya
di jalanan, di pasar, atau di tempat kerja, ketika orang berpapasan
dengan orang lain sering mendapatkan tatapan yang disertai dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
107
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
3. Pendekatan Radikal
Salah satu teori yang terpenting dalam pendekatan radikal
adalah teori pelabelan (teori labelling). Teori ini dikatakan radikal
karena ia mempertanyakan sesuatu yang dipandang “memang seha-
rusnya demikian” dan memberikan alternatif cara pandang dalam
melihat sesuatu. Teori pelabelan memiliki akar pemikiran yang sama
http://facebook.com/indonesiapustaka
108
BAB 4 Ruang Kelas
109
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
110
BAB 4 Ruang Kelas
terhadap dirinya sendiri atas label yang diberikan oleh guru mere-
ka; sebaliknya bagi murid Meja 2 dan Meja 3, merereka mempunyai
persepsi negatif dan prasangka tidak baik terhadap dirinya send-
iri. Persepsi dan prasangka ini menciptakan self-fulilling prophecy
(pembenaran ramalan pribadi), yaitu suatu ramalan yang mengawali
serangkaian peristiwa, yang akhirnya membuat ramalan itu benar-
benar menjadi kenyataan; sehingga mereka dikelompokkan sama
seperti apa yang mereka persepsikan dan prasangka seperti awal-
nya. Pelabelan lanjutan yang diwujudkan dalam pengelompokan di
kelas satu dan kelas dua semakin menegaskan persepsi dan praduga
tentang diri mereka sendiri dan diri orang lain yang terkait dengan
proses pengelompokan tersebut. Hal itu terjadi karena label mem-
buat orang melakukan atensi selektif (selective attention), di mana
label menuntun kita untuk melihat hal tertentu dan menutup mata
terhadap hal yang lain, meskipun ada bukti bahwa label yang menun-
tun tersebut salah. Sementara itu, kurangnya pilihan menyebabkan
orang yang dilabel lama-kelamaan memandang dirinya sendiri seb-
agaimana orang lain memandangnya.
111
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
dikenal dan dipahami sebagai bahagian dari diri sendiri sehingga re-
alitas obyektif dapat dipahami sebagai realitas subyektif.
Kenapa suatu ruang kelas bisa mengalami tidak tertib dan disip-
lin? Ada dua pihak yang berkait dengan situasi tersebut, yaitu guru
dan murid. Ketika ruang kelas tidak tertib dan disiplin maka salah
112
BAB 4 Ruang Kelas
113
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
kaitannya dengan kasus yudicial review kasus Bibit dan Chandra dari
KPK pada akhir 2009. Kasus-kasus tersebut itu menunjukkan pen-
cederaan terhadap keteladanan yang seharusnya ditunjukkan karena
adanya harapan peran dari posisi-posisi yang dimiliki (polisi, tentara,
dan jaksa).
114
BAB 4 Ruang Kelas
115
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
atau “teman sekolah yang tidak gaul,” tidak mampu menarik seba-
gian murid menjadi kelompok rujukan mereka, maka dia akan men-
emukan kelompok rujukan di luar itu, biasanya kelompok teman se-
baya (peer group). Karena kelompok teman sebaya mampu memberi-
kan apa yang mereka maui dan inginkan maka mereka sanggup pula
memenuhi kebutuhan kelompok teman sebaya, seperti mematuhi
sub kultur yang mereka miliki. Pada saat pemenuhan kebutuhan sub
kultur dilakukan ternyata berbeda dengan budaya ideal yang dimi-
liki oleh keluarga dan sekolah, maka pada saat itulah dimungkinkan
munculnya ketidaktertiban dan ketidakdisiplinan yang dilakukan
para murid tersebut.
Lokal 1
Guru : anak-anak, 10 + 3 – 4= berapa?
Badu : 8, ibu!
http://facebook.com/indonesiapustaka
116
BAB 4 Ruang Kelas
nyuman)
Apakah pernyataan dua ibu guru terhadap dua murid tersebut,
seperti digambarkan di atas, memiliki dampak yang sama terhadap
murid? Ternyata tidak! Pada Lokal 1, pernyataan ibu guru akan mem-
buat murid tidak berani lagi menjawab pertanyaan guru. Bahkan bisa
saja si murid merasa dilecehkan dengan cara guru mengungkapkan
pernyataannya. Adapun pada Lokal 2, pernyataan guru tersebut akan
membuat murid berusaha lagi unuk menjawab pertanyaan sampai
dia dapat menjawab dengan benar. Begitulah kekuatan bahasa terha-
dap sikap, perilaku dan pemikiran manusia.
Penggunaan bahasa sangat penting dalam proses pendidikan,
karena melalui hahasa, orang mendeinisikan, melabelkan, atau
menjelaskan, sehingga sesuatu itu menjadi jelas atau sebaliknya tidak
menjadi jelas sama sekali. Kemampuan guru menggunakan bahasa
secara baik dan benar dengan intonasi yang sesuai akan memudah-
kan bagi murid menerima pesan atau transfer ilmu yang dilakukan.
Sebaliknya, ketidakmampuan guru dalam berbahasa secara baik,
benar dan komunikatif maka transfer ilmu akan tersendat.
1. Ukuran Kelas
Apakah sama dinamika suatu kelas bila jumlah muridnya 15
http://facebook.com/indonesiapustaka
117
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
118
BAB 4 Ruang Kelas
kelamin, usia, ras, kesukuan, dan status sosial ekonomi dari murid
yang homogen dengan yang heterogen? Jelas akan diperoleh perbe-
daan antara heterogenitas dan homogenitas jenis kelamin, usia, ras,
kesukuan, atau status sosial ekonomi terhadap dinamika ruang kelas.
Dalam suatu ruang kelas yang heterogen, perbedaan latarbe-
119
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
3. Teknologi Kelas
http://facebook.com/indonesiapustaka
120
BAB 4 Ruang Kelas
4. Struktur Komunikasi
Apakah ada perbedaan dalam dinamika ruang kelas bila komu-
nikasi satu arah dibandingkan dengan komunikasi dua arah? Seperti
telah diemukakan pada bahagian terdahulu, struktur komunikasi
http://facebook.com/indonesiapustaka
dua arah (dialogis) antara para siswa dan guru akan menciptakan ru-
ang kelas yang dinamis dibandingkan dengan komunikasi satu arah
(monologis). Struktur komunikasi antara guru dan para peserta di-
dik, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, tidak lepas dari tipe
kepemimpinan guru dalam kelas, pandangan guru tentang hubun-
121
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
gannya dengan para peserta didik, dan budaya sekolah yang meling-
kupinya.
5. Suasana Sosial
Suasana sosial suatu kelas berkait dengan bagaimana atmos-
ir dari suatu kelas seperti hubungan antara guru dan murid serta
hubungan antara murid dan murid yang dihubungkan dengan keter-
gantungan, keharmonisan, penghargaan, pengakuan, dan lainnya.
Ruang kelas merupakan tempat di mana terjadinya sosialisasi dan
implementasi nilai-nilai, norma, pengetahuan dan keterampilan
yang dipandang penting dimiliki oleh peserta didik dalam mengha-
dapi kehidupan nyata setelah menyelesaikan proses pembelajaran
dan pendidikan di lembaga pendidikan. Nilai-nilai kemandirian, ke-
jujuran, persaingan sehat (sportivitas), optimisme, dan kerja keras
merupakan nilai-nilai yang disosialisasikan di ruang kelas. Sosia-
lisasi nilai-nilai tersebut akan menciptakan ruang kelas lebih dinamis
dalam proses pembelajaran dan pendidikan sekolah dibandingkan
dengan ketiadaan sosialisasi nilai-nilai yang disebut barusan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
122
bab
5 KURIKULUM
B. TIPOLOGI KURIKULUM
Berbagai pakar pendidikan dan sosiologi pendidikan telah men-
gonstruksi berbagai tipe kurikulum berdasarkan sudut pandang atau
http://facebook.com/indonesiapustaka
124
BAB 5 Kurikulum
a. Kurikulum Klasik
Kurikulum yang bersifat tradisional menekankan pada bahasa
asing, bahasa kuno, sejarah, sastra, matematika, dan ilmu murni.
Kurikulum klasik berkembang pada masa lampau di mana negara,
dalam hal ini kerajaan, membutuhkan para pegawai administrasi un-
tuk mengatur rumahtangga kerajaan dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat (rakyat).
b. Kurikulum Vokasional
Kurikulum vokasional diarahkan untuk menyiapkan peserta di-
dik untuk bekerja. Oleh sebab itu, berbagai keterampilan dan keahl-
ian dipersiapkan bagi peserta didik sesuai dengan kebutuhan pasar
yang sedang berkembang. Dalam perspektif ini, konsep match and
link, keterkaitan dan keterhubungan antara dunia pendidikan dan
dunia kerja haruslah memperlihatkan suatu bentuk yang harmonis
dan mantap. Sebab, dalam pikiran pragmatis, sekolah dipandang
sebagai input tenaga kerja bagi industri dan dunia kerja pada umum-
nya. Oleh karena itu, segala kebutuhan industri dan dunia kerja dari
sisi keterampilan dan keahlian diharapkan mampu disumbangkan
oleh dunia pendidikan, dalam hal ini sekolah atau perguruan tinggi.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, kurikulum vokasional di-
arahkan pada pendidikan kejuruan dan keahlian teknis seperti seko-
lah menengah kejuruan dengan berbagai macam penjurusannya sep-
erti teknik, elektronik, mwdia, keuangan, tata boga, dan sebagainya
serta politeknik juga dengan berbagai macam penjurusannya.
125
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
126
BAB 5 Kurikulum
yang dimotori oleh para guru yang akan mencerminkan konteks dan
situasi lokal yang ada.
Konstruksi pengembangan kurikulum yang bersifat desentral-
istik ini, memberikan keleluasaan bagi sekolah beserta guru untuk
melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan penyempurnaan ber-
dasarkan konteks dan situasi sekolah dan kelas. Pengembangan kuri-
kulum seperti ini memungkinkan sekolah mengembangkan ciri atau
kekhasan sekolah mereka sehingga hal itu menjadikan suatu seko-
lah dimintai dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini melahirkan
kompetisi yang relatif adil karena bersaing berdasarkan pada keung-
gulan komparatif sekolah yang dimiliki.
Memang kurikulum model akar rumput, kelulusan siswa tidak
dapat dievaluasi dengan menggunakan standar yang berlaku secara
nasional, karena guru mengembangkan kurikulum berdasarkan kon-
teks dan situasi kelas. Adapun kurikulum model administratif me-
mang dikonstruksikan untuk melakukan evaluasi kelulusan siswa
berdasarkan pada standar yang berlaku secara nasional. Hal ini akan
didiskusikan lebih dalam pada bagian berikutnya.
a. Kurikulum Ideal
Kurikulum ideal merupakan kurikulum yang dicita-citakan, di-
harapkan dan diinginkan oleh banyak orang, paling tidak oleh para
pembuatnya. Ia mengandung gagasan konseptual ideal tentang apa
seharusnya dan baik dikandung oleh suatu kurikulum. Kurikulum
ideal tercantum dalam dokumen resmi yang dimiliki oleh suatu lem-
http://facebook.com/indonesiapustaka
127
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
b. Kurikulum Real
Kurikulum real merupakan kurikulum yang diimplementasikan
dalam proses pendidikan, pembelajaran dan pengajaran. Kenyataan
(realitas) memiliki kecenderungan yang tidak selalu sama dengan
sesuatu yang diharapkan, diinginkan dan dicita-citakan. Oleh sebab
itu, apa yang didokumentasikan tidak selalu sama dengan apa yang
diimplementasikan. Misalnya apa yang telah diamanatkan dalam
kurikulum nasional atau digariskan dalam kuruikulum tingkat satu-
an pendidikan, dalam kenyataannya belum tentu persis sama seperti
apa yang dilaksanakan di dalam kelas atau di sekolah. Tentunya,
semakin dekat persamaan dan kesamaan antara kurikulum ideal den-
gan kurikulum real, maka semakin baik dan tepat pencapaian suatu
kurikulum.
a. Kurikulum Terpisah
Kurikulum terpisah (separated curriculum) adalah kurikulum
yang mata pelajaran atau mata kuliahnya dirancang untuk disajikan
atau diberikan secara terpisah-pisah. Mata kuliah sosiologi pendidi-
kan, misalnya, diberikan secara terpisah dengan mata kuliah antrop-
ologi pendidikan dalam program studi pascasarjana pendidikan ilmu
pengetahuan sosial.
b. Kurikulum Terpadu
Kurikulum terpadu (integrated curriculum) adalah kurikulum di
mana bahan ajarnya disajikan secara terpadu. Kurikulum ini biasan-
http://facebook.com/indonesiapustaka
128
BAB 5 Kurikulum
c. Kurikulum Terkorelasi
Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum) adalah kurikulum
yang bahan ajarnya dirancang, dikonstruksi dan disajikan secara ter-
korelasi dengan bahan ajar yang lain. Misalnya, untuk memahami be-
berapa materi dari sosiologi konsumsi terkait dengan beberapa ma-
teri dalam sosiologi kebudayaan. Bisa juga, misalnya, apabila ingin
mengambil matakuliah sosiologi kontemporer maka terlebih dahulu
harus lulus dalam mata kuliah sosiologi klasik. Atau apabila seorang
mahasiswa ingin mengambil kuliah teori sosiologi klasik, maka dia
harus lulus mata kuliah pengantar sosiologi terlebih dahulu.
a. Kurikulum Nasional
Kurikulum nasional merupakan kurikulum yang diinisiasi, diran-
cang, dan dilaksanakan secara nasional. Kurikulum tersebut dikon-
struksi oleh suatu tim nasional yang melibatkan berbagai kepakaran
tingkat nasional dari berbagai bidang keilmuan. Kurikulum nasional,
dikenal juga dengan kurnas, menjadi rujukan pembelajaran dan pen-
gajaran oleh seluruh lembaga pendidikan dalam suatu wilayah negara.
b. Kurikulum Lokal
Kurikulum lokal merupakan kurikulum yang diinisiasi, diran-
cang dan dilaksanakan secara lokal. Konsep lokal bisa berkait dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
129
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
130
BAB 5 Kurikulum
131
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
SMA jurusan IPS atau silabus sosiologi pendidikan dari program stu-
di sosiologi. Dalam konstruksi kurikulum holistik, kurikulum dapat
dirundingkan dengan stakeholders atau pihak berkepentingan. Dalam
konstruksi kurikulum program studi sosiologi, pihak pengelola pro-
gram studi (prodi) dapat mengundang semua dosen prodi, pemerin-
tah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), perusahaan/industri, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM).Tiga pihak yang disebut tera-
khir yaitu pemda, pebisnis dan LSM merupakan pihak pengguna dari
sesuatu yang dihasilkan (lususan) oleh lembaga pendidikan. Adapun
para pengelola dan dosen prodi merupakan pihak yang menyediakan
jasa penedidikan. Oleh karena itu antara apa yang ditawarkan oleh
lembaga pendidikan dan apa diminta oleh pihak pengguna sedapat
mungkin terjadi kedekatan atau ksesesuaian. Dalam konteks inilah
suatu kurikulum diperbincangkan, didiskusikan, dirundingkan dan
dinegosiasi secara bersama.
Demikian pula dengan kurikulum parsial, silabus dapat pula di-
perbincangkan, didiskusikan, dirundingkan dan dinegosiasi secara
bersama. Dalam mata kuliah sosiologi pendidikan, misalnya, dosen
bisa menawarkan konstruksi materi atau isi mata kuliah yang diper-
lukan oleh mahasiswa secara bersama. Dengan kata lain, materi atau
isi mata kuliah sosiologi pendidikan diperbincangkan, didiskusikan,
dirundingkan dan dinegosiasi secara bersama.antara dosen dan ma-
hasiswa pada saat membuat kontrak belajar.
Pada tingkatan perguruan tinggi, kurikulum, baik secara holistik
maupun secara parsial, bisa diperbincangkan, didiskusikan, dirund-
ingkan dan dinegosiasi secara bersama. Namun untuk pendidikan
menengah hal itu sukar dilakukan karena terlalu banyak relativi-
tas dan naïf misalnya mengenai kemampuan para guru untuk men-
gubah batasan yang sudah ada tentang pengetahuan. Selain itu, tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka
132
BAB 5 Kurikulum
133
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
D. KURIKULUM TERSEMBUNYI
Konsep kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), menurut
Ballantine (1983: 178), dikembangkan oleh Benson Snyder pada ta-
hun 1971 dan digunakan oleh para pendidik, sosiolog, dan psikolog
dalam menjelaskan sistem informal. Konsep ini menunjuk pada “per-
mintaan implisit (sebagai lawan dari kewajiban eksplisit dari `kuri-
kulum tampak’ (visible curriculum) yang ditemukan pada setiap insti-
tusi pembelajaran dan yang mana (maha)siswa harus mengetahaui
dan menanggapi sehingga dapat bertahan di dalamnya“. Kurikulum
tersembunyi merujuk pada peraturan, regulasi dan rutin yang mana
partisipan sekolah mesti menyesuaikan diri. Itu dapat dilihat melalui
bagaimana ruang kelas diorganisasi, sistem penghargaan, dan sosiali-
sasi moral berlangsung melalui peraturan, regulasi dan rutin.
Berbeda dengan Ballantine, Robinson (1986: 231) menemukan
bahwa konsep kurikulum tersembunyi diciptakan oleh Jackson un-
tuk menunjukkan pelajaran-pelajaran yang diperoleh para murid
atas kenyataan bahwa mereka merupakan bagian dari sekumpulan
manusia (crowd), seperti belajar tenang menghadapi kenyataan kalau
”keinginan dan hasrat pribadi mereka terus-menerus ditangguhkan,
ditolak, dan diganggu”.
Ballantine selanjutnya menyebutkan bahwa tersedia banyak al-
ternatif nama dari kurikulum tersembunyi seperti tidak tertulis,
tidak dipelajari, tacit, laten, atau tidak tercatat. Nama-nama terse-
but tidak tepat sebab fenomena tersebut bukannya tersembunyi
dan tidak dipelajari, oleh karena itu David Hargreaves, seperti dika-
takan Ballantine (1983: 178), mengusulkan konsep parakurikulum,
yang menunjuk pada sesuatu yang diajarkan dan dipelajari bersama
dengan kurikulum resmi atau formal. Apa yang dikemukakan David
http://facebook.com/indonesiapustaka
134
BAB 5 Kurikulum
135
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
kan ayah di sektor publik dalam jangka waktu yang panjang. Padahal
dalam kenyataannya, telah terjadi perubahan sosial sedemikian rupa
sehingga banyak bunda yang bekerja di sektor publik, seperti yang
dilakukan oleh ayah. Di samping itu, ayah juga bisa melakukan berba-
gai aktivitas yang berhubungan dengan dapur.
Apakah ide dan perilaku kekerasan dan koruptif merupakan
kurikulum tersembunyi dari dunia pendidikan di republik ini? Se-
bagian dari pendidik akan mengatakan tidak, bahkan mungkin ada
yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin. Untuk itu mari
kita jawab pertanyaan tersebut dengan kenyataan dan fakta yang ada
dalam dunia pendidikan kita. Setiap lembaga pendidikan formal me-
miliki suatu kegiatan yang bernama masa orientasi (maha)siswa atau
dengan berbagai nama lain yang maksudnya sama. Kegiatan terse-
but dimaksudkan oleh para penggagasnya atau pelaksananya sebagai
acara ’inisiasi’ bagi para anggota baru untuk masuk ke dalam suatu
komunitas baru, yang bernama sekolah menengah pertama, sekolah
menengah atas, atau perguruan tinggi. Melalui ’inisiasi’ diharapkan
para anggota baru bisa menerima nilai dan norma baru berupa man-
diri, kerja keras, disiplin, dan sebagainya.
Apa yang dilakukan oleh para senior agar norma dan nilai baru
tersebut tersosialisasi ke dalam cara berpikir, merasa, bertindak dan
berperilaku dari para junior? Untuk menerapkan disiplin kepada
junior, senior membuat peraturan tentang kehadiran tepat waktu
dalam berbagai kegiatan ’inisiasi’ tersebut, misalnya pushup, lari kel-
iling suatu area, marayap di tanah atau di lantai, dan lainnya. Me-
nariknya para senior tidak sekedar menemukan kesalahan, tetapi
lebih banyak ”mencari-cari” berbagai kesalahan junior, salah satunya
dengan cara menetapkan konsep ”jam waktu setempat”. Para senior
dapat melakukan apa saja terhadap junior mereka, tentunya ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka
tang benar atau salahnya suatu tindakan atau perilaku junior, yang
dikaitkan dengan ”jam waktu setempat”. Bagaimana hal tersebut bisa
terjadi? Setiap junior dikonstruksikan tidak pernah tepat waktu ber-
dasarkan ”jam waktu setempat”. Karena ”jam waktu setempat” dicip-
takan tidak memiliki standar waktu. Oleh karena itu setiap junior
136
BAB 5 Kurikulum
137
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
138
BAB 5 Kurikulum
pada level perguruan tinggi juga seperti itu, selain alasan telah ter-
program, juga pihak pengelola perguruan tinggi tidak mau direpot-
kan oleh demonstrasi mahasiswa senior karena dengan ditiadakan-
nya acara ’inisiasi’ tersebut mereka yang senior tidak punya ruang
dan kesempatan untuk melampiaskan kembali seperti apa yang mer-
eka terima tatkala menjadi junior dulu.
Keadaan seperti yang disebut di ataslah menjadi akar tunggang
dari rantai kekerasan dan perilaku koruptif dunia pendidikan tidak
bisa diputuskan. Oleh sebab itu bisa dipahami mengapa berbagai
kurikulum tersembunyi yang berdampak negatif bagi kehidupan ma-
syarakat Indonesia tidak serta merta dienyahkan dari bumi pertiwi
ini.
1. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum dapat dipahami secara holistik dan parsial.
Secara holistik, evaluasi kurikulum berarti evaluasi pendidikan se-
cara menyeluruh, meliputi:
isi atau substansi,
proses pelaksanaan program pendidikan
kompetensi lulusan,
pengadaan dan peningkatan kemampuan tenaga kependidikan,
pengelolaan (manajemen) pendidikan
sarana dan prasarana
http://facebook.com/indonesiapustaka
pembiayaan
penilaian pendidikan
139
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
140
BAB 5 Kurikulum
dingkan dengan guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak diuji
dalam ujian nasional. Keadaan ini selanjutnya memberikan dampak
terhadap kemampuan guru untuk memotivasi dan menasehati mu-
rid serta sebaliknya kepatuhan murid terhadap motivasi dan nasehat
yang diberikan guru. Dalam berbagai perbincangan dengan banyak
141
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
guru dari berbagai level sekolah ditemukan bahwa peserta didik lebih
taat, patuh, dan penurut apabila mereka disuruh untuk rajin dalam
mengulang pelajaran di rumah oleh guru yang mengajar mata pela-
jaran yang diuji pada ujian nasional. Sebaliknya bila guru yang men-
gajar mata pelajaran yang tidak diuji menyarankan agar siswa rajin
belajar mengulangi materi di rumah, maka jawaban yang keluar dari
mulut para siswa adalah: “bapak/ibu, mata pelajarannya tidak masuk
ujian nasional, capek-capek mengulang, menghabiskan waktu saja!”
Jawaban seperti itu tentu sesuatu yang menyakitkan bagi guru. Nase-
hat dan motivasi yang baik dibalas dengan pelecehan terhadap mata
pelajaran yang diasuhnya. Dimensi seperti ini diabaikan oleh para
pembuat kebijakan pada tingkat pusat.
Tiga: Dampak pada Nilai dan Norma
Evaluasi kurikulum nasional yang bertujuan untuk mengetahui
pencapaian standar kelulusan siswa secara nasional serta sekali gus
raihan kualitas peserta didik dan sekolah secara nasional memberi-
kan dampak pada penggembosan, pengikisan dan destruksi terhadap
nilai dan norma yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Pelaksa-
naan ujian nasional yang menjadi standar kelulusan bagi siswa tidak
pelak lagi telah mengakibatkan berbagai pihak berjuang agar siswa
yang berada di bawah kewenangan mereka lulus sebanyak mungkin,
jika bisa lulus 100 %, tentunya dengan berbagai daya upaya dilaku-
kan.
Pemerintah daerah, baik kabupaten maupun kota, terutama
kepala daerahnya (bupati atau walikota), melihat bahwa jumlah ke-
lulusan siswa pada ujian nasional merupakan salah satu indikator
keberhasilan sebagai kepala daerah. Oleh sebab itu, ujian nasional
sebagai suatu usaha evaluasi terhadap kurikulum yang seyogyanya
merupakan ranah pendidikan dikonstruksi oleh kepala daerah dan
http://facebook.com/indonesiapustaka
142
BAB 5 Kurikulum
lulus sebanyak mungkin, jika bisa 100 %. Karena tekanan yang kuat
dari kepala daerah, bupati atau walikota, terhadap kepala dinas pen-
didikan, maka kepala dinas juga menekan kepala sekolah agar sekolah
mempersiapkan para siswa sebaik mungkin dalam mengahadapi dan
melakukan ujian sehingga peserta ujian nasional bisa lulus sebanyak
mungkin, kalau bisa 100 %. Jika kepala dinas tidak bisa mencapai
target kelulusan yang ditetapkan kepala daerah maka dia dipecat oleh
kepala daerah melalui penggantiannya dengan orang lain. Demikian
pula dengan kepala sekolah yang tidak mampu memenuhi target ke-
lulusan kepala dinas maka dia akan diberhentikan dari jabatannya.
Apa konsekuensi dari keadaan di atas? Kepala dinas, kepala se-
kolah dan guru sekolah melakukan berbagai upaya, baik yang sah
maupun cara yang tidak sah atau melanggar aturan yang ada. Ada-
pun upaya yang sah dilakukan oleh sekolah di antaranya menambah
jam kegiatan belajar, khususnya pembahasan soal ujian, mengadakan
latihan bersama lembaga kursus, dan sebagainya. Adapun upaya yang
tidak sah, cenderung melanggar aturan perundangan yang ada, be-
rupa menyediakan sebagian atau semua jawaban dari soal ujian na-
sional pada sebelum dan/atau sedang ujian berlangsung, mengatur
posisi peserta ujian sedemikian rupa sehingga si pintar bisa “mem-
bantu” peserta ujian lainnya, memperlonggar pengawasan terhadap
peserta ujian, dan sebagainya.1 Bagaimana dengan tim pemantau in-
depeden? Tim melaksanakan tugasnya sesuai dengan strandar prose-
dur, namun dalam pelaksanaan tugasnya, bisa saja didistorsikan oleh
sekolah atau lembaga yang di atasnya seperti kepala dinas. Sekolah,
misalnya, menetapkan seorang atau beberapa orang guru untuk “me-
layani” anggota tim pemantau agar perhatian mereka teralihkan dari
pemantauan menjadi “mendiskusikan sesuatu”. Atau dibuat jadwal
kunjungan para pejabat daerah (bupati/wakil atau walikota/wakil,
http://facebook.com/indonesiapustaka
1
Kenyataan tersebut merupakan diskusi dalam ruang kelas yang dihadiri oleh para
guru, wawancara tidak terstruktur dengan beberapa guru, kepala sekolah dan dinas di
suatu provinsi, kota dan kabupaten di republik ini.
143
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
144
BAB 5 Kurikulum
dalam usaha yang maksimal dalam belajar dan menimba ilmu seperti
mengulang pelajaran, mengerjakan pekerjaan rumah, atau menge-
jakan berbagai macam latihan. Melalui berbagai kegiatan tersebut,
peserta didik akan terlatih sehingga memiliki kompetensi seperti
yang diharapkan.
Pembocoran kunci jawaban dari soal-soal ujian nasional yang di-
lakukan oleh pengurus sekolah dan guru pada waktu sebelum dan
sesudah ujian nasional diadakan, merupakan suatu bentuk dari
penggembosan atau pengempesan nilai tentang kerja keras. Nilai
kerja keras telah ditanam oleh setiap pendidik semenjak tahun perta-
ma menjadi (maha)siswa. Nilai tersebut dalam sekejap diruntuhkan
melalui suatu kebijakan sentralis yang bernama ujian nasional, yang
diselenggarakan dalam situasi dan kondisi yang kurang jujur.
Nilai lain yang diruntuhkan melalui pelaksanaan ujian nasional
adalah persaingan sehat. Seperti nilai kejujuran dan kerja keras, ni-
lai persaingan sehat juga merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh
hampir seluruh masyarakat Indonesia. Kearifan sosial yang bersum-
ber dari tradisi seperi petuah budaya, fatwa adat atau bidal dan pan-
tun adat seperti ”jika ingin kaya, rajin mencari; ingin pandai, rajin
belajar; jika ingin tuah, tabur dengan kehormatan” atau ”jika lampu
orang terang, lampu awak gelap, jangan matikan lampu orang, tapi
benderangkan lampu awak”. Kearifan sosial ini menuntun kita agar
berkompetisi sehatlah dalam mencapai sesuatu, karena kesempatan
terbuka untuk mencapai sesuatu jika sesuai dengan jalannya. Dalam
berkompetisi jangan mencurangi orang lain, tetapi lakukanlah hal
yang terbaik yang bisa dilakukan. Nilai berkompetisi secara sehat
telah disosialisasikan semenjak siswa mendapatkan pelajaran per-
tamanya di sekolah seperti tidak boleh curang, misalnya mencontek
atau mengakui kerja orang lain sebagai kerja diri sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka
145
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
146
BAB 5 Kurikulum
pula. Nilai evaluasi secara nasional yang bersifat murni, tidak ada
penambahan dengan nilai yang berasal dari sekolah, telah menjadi
instrumen untuk masuk ke sekolah yang lebih tinggi, menggantikan
tes yang diselenggarakan oleh sekolah yang dituju. Sistem peneri-
maan murid baru melalui seleksi peringkat nilai evaluasi secara nasi-
onal yang bersifat murni, memberikan dampak positif. Sebab sistem
tersebut memberikan peluang dan kesempatan yang adil kepada se-
luruh peserta didik untuk memasuki sekolah lanjutannya sesuai den-
gan kemampuan yang mereka miliki. Melalui pola ini dimungkinkan
anak-anak dari keluarga miskin bisa menikmati pendidikan di seko-
lah yang bermutu karena prestasi sang anak sendiri. Adapun sistem
penerimaan murid baru melalui tes yang diselenggarakan sekolah
menciptakan ketidakadilan karena seleksi tersebut menyebabkan
terjadinya korupsi dan nepotisme sebab uang dan relasi dengan pi-
hak sekolah (kepala sekolah dan guru) dijadikan standar untuk kelu-
lusan anak.
http://facebook.com/indonesiapustaka
147
bab
6 GURU
150
BAB 6 Guru
dan mendidik anak, dalam hal ini anak secara sosial pedagogis, yaitu
guru sebagai ibu sedangkan murid sebagai anak, dalam hal ini anak
didik. Kegiatan sebagai guru, dipahami secara emik oleh masyarakat,
bukan merupakan pekerjaan yang berat dan bertentangan dengan
pekerjaan yang dilakukan di rumahtangga; sebaliknya ia dilihat se-
bagai kelanjutan dari pekerjaan rumahtangga seperti tugas pengasu-
han dan pendidikan anak. Karena ia dipandang sebagai “pekerjaan
lanjutan” maka bisa dipahami mengapa banyak perempuan masuk ke
sekolah atau perguruan tinggi yang berdimensi atau berkaitan den-
gan kependidikan, di mana pekerjaan utama setelah selesai mengi-
kuti pendidikan adalah guru.
Ketika guru dipandang sebagai “pekerjaan lanjutan” dari peker-
jaan domestik, maka pekerjaan tersebut dilakukan seperti menger-
jakan pekerjaan domestik. Seperti diketahui bahwa pekerjaan
rumahtangga dilakukan dan dirasakan oleh perempuan sebagai ses-
uatu yang biasa, monoton, tidaik menantang, dan kurang dinamis.
Cara memandang pekerjaan domestik seperti itu juga mempenga-
ruhi cara pandang mereka tentang pekerjaan guru sebagai “pekerjaan
lanjutan” dari pekerjaan domestik, sehingga ia dilakukan seadanya,
monoton, cara dan strategi pembelajaran tidak berbeda jauh dari ta-
hun awal mengajar sampai saat pensiun menjadi guru. Untuk mena-
jamkan pemahaman tentang penomena ini, mungkin ada baiknya
kita ambil contoh lain. Misalnya dalam masyarakat Minangkabau tra-
disional mempersiapkan masakan dalam rumahtangga merupakan
tugas perempuan, khususnya istri. Tugas tersebut dilakukan setiap
hari dan terus menerus oleh istri, sehingga memasak dirasakan suatu
pekerjaan yang monoton dan tidak jarang membosankan. Berbeda
jika seorang laki-laki yang bekerja sebagai “tukang masak”, dikenal
sebagai koki dalam konsep modern, pada suatu rumah makan atau
http://facebook.com/indonesiapustaka
151
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
152
BAB 6 Guru
153
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
154
BAB 6 Guru
e. Standardisasi
Keahlian dan kompetensi memerlukan standar. Melalui standar,
setiap profesional bisa diuji atau dinilai keahlian dan kompetensi
yang dimilikinya. Pengujian dan penilaian terhadap keahlian dan
kompetensi yang dimiliki dilakukan secara periodik dan berkelanju-
tan, sehingga keahlian dan kompetensi dari suatu profesi bisa ter-
standar. Dalam profesi guru, standardisasi dilakukan melalui serti-
ikasi guru. Konsekuensi logis adanya standardisasi keahlian dan
kompetensi guru adalah adanya standardisasi pendapatan dari guru.
Adalah suatu hal yang tidak mungkin diharapkan jika seorang guru
diminta untuk berkualitas dan berkompetensi, sementara pendapa-
tan yang diterimanya tidak bisa memenuhi hidup layak, sebagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang diterima oleh profesi lain. Apa yang dilakukan terhadap guru
selama ini dengan “meninabobokkan” para guru sebagai pahlawan
tanpa jasa, sebenarnya, merupakan pengalihan kesadaran objektif
guru untuk memperoleh pendapatan layak sebagai manusia yang
bermartabat secara moral dan material menjadi seorang “malaikat”
155
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
156
BAB 6 Guru
B. PERANAN GURU
Kalau ditelusuri konsep peranan secara lebih detil, maka kita
http://facebook.com/indonesiapustaka
157
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
158
BAB 6 Guru
suatu kebenaran, dari sisi manapun, baik dalam cara maupun sub-
stansi. Pengalaman yang dimiliki oleh para orangtua yang memiliki
anak yang sedang mengikuti taman kanak-kanak atau sekolah dasar
menunjukkan bahwa anak-anak mereka lebih taat dan patuh terha-
dap gurunya ketimbang apa yang dikatakan, disuruh atau disarankan
159
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
oleh mereka sebagai orangtua. Banyak kisah orang tua tentang hal
ini. Untuk keperluan pemahaman, perlu diceritakan kisah dua orang
tua tentang ketaatan anaknya terhadap guru.
Kisah pertama tentang ketaatan anak terhadap guru berasal
dari keluarga Ihsan, bukan nama sebenarnya. Ihsan bekerja sebagai
seorang dosen pada salah satu perguruan tinggi negeri di Sumatera
Barat. Suatu ketika anak perempuan bungsunya menangis dan tidak
mau pergi ke sekolah. Anaknya sedang duduk dibangku kelas satu
sekolah dasar. Setelah ditanya kenapa sang anak tidak mau pergi
sekolah, ternyata dia lupa membelikan topi dan kacu pramuka. Pada
hal seminggu sebelumnya sang anak mengatakan kepadanya bahwa
“seragam pramuka harus dilengkapi dengan kacu dan topi pramuka,
begitu kata guru”. Setelah dijanjikan akan dibelikan di sekolah sesa-
mpai mereka di sana, maka sang anak mau pergi bersama sang ayah
ke sekolah.
Kisah ini berasal dari pengalaman seorang ibu muda, sebut saja
namanya ibu Alia, yang anaknya duduk di bangku kelas satu sekolah
dasar. Sebagai seorang yang taat beragama, dia senantiasa mengin-
gatkan anaknya untuk setiap waktu sholat masuk agar melaksanakan
sholat. Namanya anak kecil, selalu saja ada alasan yang diberikan
sang anak untuk menunda waktu sholat sehingga sholat terlambat
bahka dua waktu sholat dikumpul dikerjakan pada waktu yang ber-
samaan, seperti sholat Isya dilaksanakan pada waktu sholat subuh,
misalnya. Keadaan ini merisaukan bagi ibu Alia. Karena dari penga-
malan pribadinya, dia merasakan sholat dikerjakan pada waktunya
merupakan sarana internalisasi nilai disiplin dan menghargai waktu,
yang dipandang ibu Alia sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
kehidupan dunia dan akhirat. Keriasauan tersebut tidak berlangsung
lama. Ketika ibu Alia menemani anaknya ke sekolah untuk menerima
http://facebook.com/indonesiapustaka
160
BAB 6 Guru
Alia akan mengatakan pada anaknya: “nak, kata ibu guru kan: sholat
tidak boleh libur, walau sekolah libur!”. Mendengar nasehat gurunya
jadi rujukan, sang anak segera melaksanakan apa yang disuruh oleh
sang ibu. Kisah-kisah seperti yang dikemukakan barusan bisa diper-
panjang dengan kisah Anda sendiri, kerabat, keluarga Anda sendiri.
Dari sudut pandang seperti itulah guru merupakan teladan bagi
para muridnya. Jika guru tidak mampu memainkan peran dan me-
menuhi fungsi seperti yang diharapkan oleh masyarakat maka apa
yang diingatkan selalu melalui kearifan pepatah adat, “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari” akan bersua.
161
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
lah yang lebih dekat dari rumah, ibu Rahma meninggalkan sekolah
tersebut dengan kenangan manis bersama perubahan perilaku dan
sikap murid dari yang dilabelkan oleh guru senior sebagai anggota
masyarakat yang sering menggunakan kata-kata kotor menjadi mu-
rid yang menggunakan kata-kata yang sopan dan santun.
162
BAB 6 Guru
Kenapa ibu Rahma tidak mengambil jalur yang sama seperti yang
dilakukan seniornya? Menurut ibu Rahma, anak-anak itu bagaikan
kertas putih bersih, bagaimana sang anak tergantung pada para guru
dan orangtua yang menggambarkannya. Ibu Rahma menggambarkan
para murid dengan lukisan yang indah, sehinggah jadilah ia sebagai
lukisan yang indah di kanvas kehidupan bernama sekolah. Ini salah
satu cara pandang bagaimana teori label itu berfungsi.
Kisah ibu Rahma di Padang juga terbuka kemungkinan terjadi
di berbagai lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kisah ibu Rahma menunjukkan pada kita guru memiliki fungsi seb-
agai pelabel bagi masa depan anak-anak kita. Jika seorang guru salah
menggunakan label, maka konsekuensinya akan berdampak pada
masa depan kehidupan seorang peserta didik. Oleh sebab itu, jika
dokter dimungkinkan melakukan suatu “mal praktek”, maka guru
juga dimungkinkan melakukan hal yang sama seperti dokter, yaitu
“mal praktek” dalam dunia pendidikan.
atas ketimbang apa yang dimiliki oleh kelas menengah bawah. Apa
yang dianggap bersih menurut guru, misalnya, adalah konsep ber-
sih menurut pandangan kelas menengah atas, bukan kelas menengah
bawah. Dalam konteks inilah maka guru dipandang sebagai “penyam-
bung lidah kelas menengah atas”.
163
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
164
BAB 6 Guru
alat yang sama untuk meraih harapan tersebut seperti yang dimiliki
oleh kelas menengah atas. Dalam kondisi seperti ini, merujuk pada
pemikiran Robert K. Merton, para anggota kelas bawah mengalami
anomi, bisa bertindak atau berperilaku anomik, karena antara hara-
pan dan alat yang mereka miliki tidak sesuai, cocok atau “nyambung”.
Bagaimana memahami pikiran Merton tersebut? Untuk itu ada
baiknya dipahami melalui contoh. Ketika kelas bawah menerima
nilai dan norma kelas menengah atas tentang kecantikan dan keg-
agahan sebagai bahagian dari nilai dan norma yang mereka miliki,
misalnya, maka untuk merealisasikannya diperlukan alat, misalkan
kemampuan untuk membeli peralatan kecantikan dan kegagahan
seperti parfum merek tertentu, busana dengan label tertentu, mobil
dengan jenis buatan tertentu dan seterusnya. Bagi kelas menengah
atas, untuk merealisasikan nilai dan norma tentang kecantikan dan
kegagahan tersebut, mereka memiliki alatnya yaitu kemampuan i-
nansial yang mereka miliki. Bagaimana dengan kelas bawah? Sesuai
dengan kelasnya, mereka tidak punya alat. Oleh sebab itu, mereka
dapat merealisasikan nilai dan norma tersebut dengan melakukan
suatu perilaku menyimpang, misalnya menjadi pelacur atau menjual
barang haram seperti narkoba. Keadaan seperti ini disebut sebagai
anomi.
C. SERTIFIKASI GURU
Sertiikasi guru, seperti telah disinggung pada bagian sebelum-
nya, merupakan salah satu cara untuk melakukan standardisasi terh-
adap keahlian dan kompetensi guru. Melalui sertiikasi, aspek proses
dalam pendidikan dan pembelajaran bisa terstandardisasi. Karena
setiap guru profesional bisa mengolah aspek input dalam pendidi-
http://facebook.com/indonesiapustaka
1. Kompetensi Guru
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18
165
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
a. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik mencakup kemampuan yang berkenaan
dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang
mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mengan-
dung kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengem-
bangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi
http://facebook.com/indonesiapustaka
166
BAB 6 Guru
b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional menyangkut kemampuan yang ber-
hubungan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi
secara luas dan mendalam yang menliputi penguasaan substansi
isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keil-
muan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah
wawasan keilmuan sebagai guru. Kompetensi ini meliputi beberapa
subkompetensi dengan indikator esensial berupa:
1. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi.
Subkompetensi ini meliputi beberapa indikator esensial berupa
memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, me-
mahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi
http://facebook.com/indonesiapustaka
167
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai ba-
gian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang-
tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini meli-
puti subkompetensi dengan indikator efekif berupa:
1. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesa-
ma pendidik.
2. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesa-
ma pendidik dan tenaga kependidikan.
3. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang
tua/wali murid peserta didik dan masyarakat sekitar.
d. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian mantap, stabil, dewasa, arif dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mu-
lia. Selanjutnya setiap elemen tersebut dapat diuraikan lagi menjadi
subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
1. Memiliki kepribadian mantap dan stabil. Subkompetensi ini
mengandung indikator esensial berupa bertindak sesuai dengan
norma hukum, bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga
sebagai pendidik, dan mempunyai konsistensi dalam bertindak
sesuai dengan norma.
2. Memiliki kepribadian yang dewasa. Subkompetensi ini mempu-
nyai indikator esensial berupa menampilkan kemandirian dalam
bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai pen-
didik.
http://facebook.com/indonesiapustaka
168
BAB 6 Guru
2. Permasalahan Sertifikasi
Untuk memenuhi persyaratan sertiikasi maka seorang guru ha-
rus mencapai skor objektif minimal sebesar 850 poin atau 57 % dari
skor maksimal, yaitu 1500 poin. Jika skor objektif minimal tersebut
telah dicapai maka seorang guru bisa memperoleh predikat profe-
sional. Dalam kenyataan persyaratan minimal skor objektif minimal
sebesar 850 poin tersebut tidak mudah dicapai. Itu ditunjukkan oleh
ketidaklulusan yang tidak sedikit dari peserta sertiikasi. Memang
dari jumlah peserta sertiikasi guru yang tidak lulus tersebut bukan
semata karena faktor internal guru itu sendiri, tetapi juga bisa dikare-
http://facebook.com/indonesiapustaka
169
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
a. Faktor Guru
Keempat kompetensi di atas, yaitu kompetensi pedagogik, kom-
petensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian
tidak bisa dimiliki oleh seorang guru secara instan. Untuk memiliki
keempat kompetensi seorang guru harus melalui berbagai proses, se-
bab memang guru tidak dipersiapkan, baik secara individual maupun
secara institusional, untuk menjadi guru yang profesional setelah dia
menyelesaikan studi di bangku kuliah dan memasuki kehidupan se-
bagai guru.
Kalau dipahami dari sisi faktor guru terdapat beberapa perma-
salahan yang ditemukan dalam kaitannya dengan sertiikasi guru,
yaitu:
1. Kualiikasi Strata 1 (S1) dan Diploma IV (D-IV). Persyaratan
untuk mengikuti sertiikasi guru ditetapkan menurut aturan
perundangan di Indonesia adalah berkualiikasi S1 dan D-IV.
Aturan perundangan sebelumnya menetapkan kualiikasi yang
lebih rendah (DII dan DIII) untuk menempati suatu jabatan guru
di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Persoalan yang dihadapi
guru, terutama oleh guru senior, adalah pengalaman selama ini
yang dimilikinya, katakanlah telah mengajar 30 tahun lebih, be-
lum cukup dipandang kompeten secara prosedural formal, kare-
na dia belum S1 atau D-IV. Sehingga dia tidak dapat merasakan
nikmatnya menjadi seorang guru yang berpredikat profesional,
karena telah lulus sertiikasi. Jika dia harus mengikuti S1 atau
D-IV, ketika dia menamatkan pendidikannya tersebut, maka dia
juga harus pensiun karena usianya mewajibkan untuk pensiun.
Dari sudut ini, perlakuan terhadap guru senor dipandang tidak
adil, tidak ada penghargaan terhadap apa yang mereka telah laku-
kan selama ini. Bisa salah salah satu dari guru yang diperlaku-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan seperti itu adalah guru dari para pembuat kebijakan terse-
but. Oleh karena adanya kritik terhadap persyaratan sertiikasi
seperti itu, maka suara yang kritis tersebut dijadikan masukan
untuk merubah kebijakan yang ada sehingga terbitlah Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pe-
170
BAB 6 Guru
171
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
capai.
172
BAB 6 Guru
c. Faktor Asesor
Asesor dapat juga menjadi persoalan dalam penyelenggaraan
sertiikasi dosen. Persoalan yang ditemukan dengan asesor berkait
173
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
174
bab
7 PENDIDIKAN
SEBAGAI KAPITAL
A. PENGERTIAN KAPITAL
Apa itu kapital? Merupakan suatu pertanyaan yang perlu di-
jawab dan penting untuk didiskusikan. Untuk menemukan jawaban
pertanyaan tersebut kita dapat mulai menelusuri jawabannya melalui
etimologi. Secara etimologis, kapital berasal dari kata “capital”, yang
akar katanya dari kata Latin, caput, berarti “kepala”. Adapun artinya
dipahami, pada abad ke-12 dan ke-13, adalah dana, persediaan ba-
rang, sejumlah uang dan bunga uang pinjaman (Berger, 1990: 20).
Dalam tulisan ini, “capital” tidak diterjemahkan sebagai modal
seperti kelaziman yang dilakukan oleh banyak orang. Alasannya sep-
erti yang dikemukakan oleh Lawang (2004: 3) dalam bukunya “Kapi-
tal Sosial: dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar”, yaitu: per-
tama, capital (Inggris) memang berarti modal, boleh dalam bentuk
yang biasanya digunakan untuk belanja barang kapital isik (physical
capital goods) yang memungkinkan suatu investasi dapat berjalan.
Dalam pengertian ini nampaknya tidak ada keberatan berarti yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
nilai pakai dan nilai tukar, kita kutip penjelasan Johnson (1986: 155)
tentang hal ini: “seseorang yang mengendarai sebuah mobil tua yang
harganya hanya sebagian kecil dari harga dari sebuah mobil baru di
pasar (nilai tukar), tetapi yang melayani pemiliknya sebagai satu alat
transportasi terpercaya (nilai guna) yang tidak dapat diganti dengan
176
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
uang pembelian dalam jumlah besar melebihi nilai pasar yang selay-
aknya untuk mobil tua itu”.
Dalam masyarakat kapitalisme, buruh dapat dilihat sebagai sum-
ber nilai guna dan juga nilai tukar. Sebagai sumber nilai guna, buruh
menjadi sumber kegiatan yang digunakan untuk produksi suatu ba-
rang tertentu untuk dipakai. Adapun sebagai sumber nilai tukar, bu-
ruh dipandang sebagai masukan umum untuk proses produksi komo-
ditas-komoditas yang dihasilkan tidak untuk pemakaian pribadi bu-
ruh itu sendiri ataupun untuk pemakaian majikan, melainkan untuk
dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal, untuk ditukarkan
dengan uang. Jadi, dalam sistem kapitalis, buruh dipandang sebagai
komoditas yang dapat diperjualbelikan dalam pasar impersonal, se-
perti komoditas lainnya. Namun, buruh mampu memproduksi nilai
tukar lebih besar daripada yang diminta untuk mempertahankan nilai
tukarnya itu. Dengan kata lain, seorang buruh mampu memproduksi
jumlah komoditas dengan nilai tukar jauh lebih banyak daripada nilai
tukar makanan, pakaian, perumahan, dan lainnya untuk memperta-
hankan hidup dan untuk memperoleh tenaga kerja yang lebih banyak
lagi. Tambahan atau kelebihan dari persyaratan kelangsungan hidup
buruh dan pemulihan tenaga kerjanya kembali disebut sebagai nilai
surplus (Johnson, 1986: 155-156).
Selanjutnya, untuk memahami nilai surplus dicoba melalui
penjelasan lewat suatu contoh berikut ini. Semua kebutuhan hidup
buruh seperti makanan, pakaian, perumahan, dan lainnya agar sang
buruh mampu mempertahankan hidup dan memulihkan tenaga ker-
janya dapat dihasilkan rata-rata dalam 6 jam kerja dan nilainya sama
dengan Rp 60.000. Ini berarti bahwa seorang buruh layak mendapat
upah Rp 60.000 per hari dari majikannya. Itu dipandang adil karena
memang nilai tenaga kerjanya tidak lebih dari jumlah tersebut. Na-
http://facebook.com/indonesiapustaka
177
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
lai baru tersebut tidak diberikan kepada buruh, tetapi diambil oleh
kapitalis, karena kapitalis tetap membayar upah buruh sebanyak Rp
60.000 perhari, sedangkan 4 jam tenaga kerja yang besarnya seban-
yak Rp 40.000 dipandang sebagai nilai surplus, diambil oleh kapitalis.
Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa kapital dilihatnya sebagai
bagian dari nilai surplus (surplus value/mehrwert) yang diperoleh kap-
italis.
Fenomena di atas ditegaskan oleh Karl Marx (1976: 987) dengan
pernyataan berikut:
“jika waktu kerja buruh harus menciptakan nilai menurut pro-
porsi durasi kerjanya, maka ini adalah waktu kerja yang diper-
lukan secara sosial. Dengan kata lain, pekerja harus melakukan
kuantitas kerja yang secara normal pada waktu tertentu. Dengan
demikian kapitalis memaksanya bekerja di atas angka intensitas
rata-rata yang normal secara sosial. Dia akan berusaha sekeras
mungkin untuk meningkatkan outputnya di atas batas minimum
ini dan meringkas sebanyak mungkin kerja pada waktu itu. Setiap
intensiikasi kerja di atas angka rata-rata menciptakan nilai sur-
plus baginya. Terlebih lagi, dia akan mencoba mengekstensifkan
proses kerjanya seluas mungkin sampai di lura batas yang harus
dikerjakan untuk memperbaiki nilai kapital variabel yang diin-
vestasikan, yaitu, upah kerja”.
Selain itu, kapital juga dipandang oleh Marx sebagai suatu ben-
tuk investasi yang diharapkan akan meraup keuntungan dalam pasar.
Dengan kata lain, nilai surplus yang diperoleh kapitalis diinvestasi-
kannya kembali ke dalam suatu proses produksi dan sirkulasi komo-
ditas agar dia dapat meraih keuntungan yang lebih besar lagi lewat
nilai surplus.
Gagasan teori kapital yang dikembangkan oleh Karl Marx men-
http://facebook.com/indonesiapustaka
178
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
luas.
Pada periode sejarah perkembangan teori neo kapital, kapital
berkembang dalam berbagai bentuk dan dimensi seperti kapital ma-
nusia (human capital), kapital sosial (social capital), kapital budaya
(cultural capital) dan kapital simbolik (symbolic capital). Kesemua teori
kapital baru tersebut tumbuh dan berkembang berdasarkan gagasan
awal tentang kapital, yaitu kapital dilihat sebagai suatu bentuk nilai
surplus dan investasi yang diharapkan pengembaliannya dalam ber-
bagai bentuk seperti keuntungan, pendapatan, laba, perolehan, keleb
179
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
180
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
melekat dalam diri pekerja itu sendiri. Jadi, investasi kapital manusia
lewat peningkatan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman pe-
kerja tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan tetapi juga baik
bagi pekerja itu sendiri.
Dalam sosiologi, seperti dikatakan di atas, beberapa sosi-
181
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
182
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
183
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
184
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
organisasi sosial.
Seorang sosiolog Indonesia yang serius membahas konsep kapi-
tal sosial, Robert M.Z. Lawang, (2004) mendeinisikan kapital sosial
sebagai semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh
individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang
185
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
186
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
Motivasi
Sumber Alasan Contoh
Donor
http://facebook.com/indonesiapustaka
187
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Lanjutan ...
Resiprositas Instrumental Harapan kembalian Informasi bisnis
yang sepadan di masa
datang
Kepercayaan Instrumental Harapan status Jaminan utang pada
komunitas yang lebih orang sekampung atau
tinggi dan kembalian sedaerah
yang sepadan di masa
datang yang tunduk
pada sanksi kolektif
188
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
189
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
190
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
yang dimiliki secara bersama tentang sesuatu itu baik atau buruk, di-
harapkan atau tidak diharapkan (William, 1970: 27). Misalnya, tidak
ada persoalan apakah musik dangdut itu benar atau salah secara mor-
al. Namun bagi orang tertentu mendengar alunan seruling dangdut
dengan tembang “Begadang” merupakan pengalaman yang berharga,
191
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
sedangkan bagi orang lain dapat saja sesuatu yang memuakkan dan
dipandang cengeng.
Nilai-nilai yang dapat menjadi sumber kapital sosial banyak. Na-
mun dari sekian banyak sumber kapital sosial, yang relevan dengan
studi sosiologi pendidikan adalah kepercayaan, resiprositas, dan rasa
tanggungjawab. Kita telah bicarakan kepercayaan di atas. Sekarang
kita akan diskusikan 2 nilai sisanya, yaitu resiprositas dan rasa tang-
gungjawab. Resiprositas, seperti yang distudi oleh Damsar (1999: ),
menunjuk pada gerakan di antara kelompok-kelompok simetris yang
saling berhubungan. Ini terjadi apabila hubungan timbal balik antara
individu-individu atau antara kelompok-kelompok sering dilakukan.
Hubungan bersifat simetris terjadi apabila hubungan antara berbagai
pihak (antara individu dan individu, individu dan kelompok, serta
kelompok dan kelompok) memiliki posisi dan peranan yang relatif
sama dalam suatu proses pertukaran. Misalnya dalam masyarakat
Minangkabau terdapat tuntutan adat tentang resiprositas yaitu ”kaba
baik bahimbauan, kaba buruak bahambauan” (kabar baik dihimbaukan,
kabar jelek berhamburan) yang bermakna bahwa jika ada berita yang
menggembirakan (baik) seperti memanen padi maka petani pemilik
sawah harus memberitahu kepada kerabat-kerabatnya tentang waktu
dan tempat memanen padi sebelumnya, jika ia ingin dibantu dalam
memanen padi. Sebaliknya, kerabat-kerabatnya juga melakukan hal
yang sama kepadanya apabila mereka akan memanen padi di sawah.
Adapun berita buruk, misalnya tentang kematian, maka para kerabat
dan kenalan datang tanpa diminta.
Pada aktiitas tersebut, berbagai pihak yang terlibat resiprositas
memiliki posisi sosial yang sama, meskipun di antara mereka memi-
liki derajat harta kekayaan dan fungsionaris adat yang berbeda-beda.
Posisi dan peranan sebagai pengundang, tuan rumah, atau pemberi
http://facebook.com/indonesiapustaka
192
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
193
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
194
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
belang”, “nan kurik kundi nan merah saga, nan baik budi nan indah
basa”, “hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati”.
Adapun nilai tanggungjawab merupakan salah satu nilai yang
diagungkan dalam banyak masyarakat dunia. Dalam dunia Melayu
dikenal pepatah, „tangan mencencang, bahu memikul“. Pepatah ini
bermakna bahwa siapa yang melakukan suatu perbuatan atau ak-
tiitas, dia yang harus mempertanggungjawabkannya. Masyarakat
Minangkabau memahami nilai tanggungjawab lewat pepatah adat,
“bakato sapatah dipikiri, bajalan salangkah maliek suruit, muluit tado-
rong ameh timbangannyo, kaki tataruang inai padahannyo” (berkata
sepatah dipikiri, berjalan selangkah lihatlah ke belakang, mulut ter-
dorong dibayar dengan emas, kaki terdorong diberi inai”. Dalam akti-
itas bisnis, semua keputusan memiliki risiko. Ketika suatu keputusan
dibuat, berarti seseorang telah siap dengan segala konsekuensi yang
akan mengikutinya, baik positif maupun negatif. Nilai tanggungjaw-
ab, dalam aktiitas bisnis, berkaitan dengan nilai kepercayaan. Per-
tanggungjawaban seseorang terhadap segala konsekuensi dari suatu
tindakan bisnis yang dilakukannya dapat mempertahankan bahkan
meningkatkan kepercayaan orang lain terhadap dirinya.
Norma, sebagai sumber daya sosial terakhir, dipahami sebagai
aturan main bersama yang menuntun perilaku seseorang. Norma
memberikan kita suatu cara di mana kita mengorientasikan diri kita
terhadap orang lain. Norma menuntun kita dalam melakukan dei-
nisi situasi. Norma, oleh karena itu, menjadi kompas dalam menemu-
kan jalan-jalan di belantara kehidupan sosial. Sullivan dan homp-
son (1984: 39-41) membagi norma atas tiga macam: kebiasaan (folk-
sways), tata kalakuan (mores), dan hukum (law). Kebiasaan adalah
cara-cara yang lazim, wajar, dan berulang dilakukan oleh sekelompok
orang terhadap sesuatu. Dalam berjabat tangan, misalnya, kebiasaan
http://facebook.com/indonesiapustaka
195
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
196
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
197
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
198
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
199
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
200
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
tensi atau rasa gaya, tetapi juga dijelmakan secara hariah. Artinya,
hal tersebut ditanamkan dalam diri individu, dalam ukuran tubuh,
bentuk, postur, cara berjalan, cara duduk, ekspresi wajah, rasa bebas
terhadap tubuh sendiri, cara makan, minum, keluasaan ruang sosial
dan waktu yang dirasakan yang dirasakan seseorang sebagai haknya;
201
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
bahkan naik turun tekanan suara, aksen dan komplekssitas pola pi-
dato merupakan bagian dari habitus individu (Lury, 1998).
Bagi Bourdieu, selera dibentuk habitus yang berlangsung lama;
bukan dibentuk oleh opini dangkal dan retorika. Habitus memben-
tuk preferensi agen terhadap makanan, pakaian, perabotan rumah,
musik, drama, sastra, lukisan, ilm, fotograi, dan preferensi etis lain-
nya.
Jadi, habitus ada dalam pikiran aktor, sedangkan ranah ada di
luar pikiran mereka. Hubungan antara keduanya bersifat pengaruh
timbal-balik yang dialektik. Seperti yang dikatakan Bourdieu (1984:
94): “habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi dan
hanya sah dalam sebuah ranah, dalam hubungannya dengan suatu
ranah ... habitus itu sendiri adalah “ranah dari kekuatan yang ada”,
sebuah situasi dinamis di mana kekuatan hanya terjelma dalam
hubungan dengan kecenderungan tertentu. Inilah yang menyebab-
kan habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan
dalam ranah yang berbeda, dalam konigurasi yang berbeda atau
dalam sektor yang berlawanan dari ranah yang sama”.
Bagi Bourdieu, selera membantu seorang individu untuk mema-
hami posisinya di antara orang lain-orang lain. Dengan demikian,
seorang individu dapat menemukan dirinya dalam persamaan atau
perbedaan dengan orang lain dalam selera. Apakah Anda sudah pa-
ham pandangan Bourdieu tentang selera? Anda perlu contoh yang
lain, bukan! Selera Anda terhadap makanan, misalnya, mencer-
minkan siapa Anda di antara orang-orang lain. Pada saat Anda akan
membeli makanan tentu Anda merencanakannya akan membeli ses-
uatu. Dasar pertimbangan terhadap rencana membeli sesuatu terse-
but berhubungan dengan ranah dan habitus yang dimiliki. Apakah
sama keputusan Anda, Jika Anda sebagai seorang buruh dibanding-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan bila Anda adalah seorang profesional? Jelas, beda! Selera seorang
buruh berasal dari kondisi pengalaman kerja dan beban kebutuhan
hidup mereka. Seorang buruh bekerja keras secara manual dan me-
miliki kapital ekonomi yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan
dan kenyamanan hidup (kondisi ini dapat disebut sebagai ranah).
202
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
203
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
204
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
205
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
206
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
Lanjutan ...
Budaya Kompetensi atau pengetahuan kul- Agen sosialisasi dan
tural hegemonik
Simbolik Kemampuan mengatur simbol Agen sosialisasi dan
hegemonik
http://facebook.com/indonesiapustaka
207
http://facebook.com/indonesiapustaka
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, D.F. (1966) he Peyote Religion among the Nevaho. Chicago: Al-
dine.
Almond, G.A. dan S. Verba. (1984). Budaya Politik. (terj.) Jakarta:
Bina Aksara.
Almond, G.A dan G.B. Powell Jr. (1978) Comparative Politics: System,
Process and Policy.
Amal, I (ed.). (1988). Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Andrain, C. F. (1992). Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogya-
karta: Tiara Wacana.
Anwar, M.K. dan V. Salviana. (2006). Perilaku Partai Politik. Yogya-
karta: UMM press
Ariin, A. (1998). Ilmu Komunikasi. Jakarta: RajaGraindo Persada
Bachtiar, W. (2006) Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosda
Beilharz, P. (2003). Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://facebook.com/indonesiapustaka
210
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
211
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
212
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
213
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
214
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
215
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
216
INDEKS
A E
Althusser, L Etika protestan
Arrow Etnograi
B F
Becker, G. 2 Fungsi
Berger, P.L
G
Blau
Gans, Herbert
Bourdieu, P.
Giddens, A
Brinkerhorf
Goodman
C Gramsci, A
Calvinisme
H
Coleman, James
Hermeneutik 37
http://facebook.com/indonesiapustaka
D Hirsman 23
Dahrendorf, Ralf Holton 14
Dramaturgi Horton P.B. 4
Durkheim, Emile
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
I L
Identitas Lee
Interaksi Sosial Luckman
Investasi Sosial Luhmann
Lury
J
Jaringan M
Jaringan Sosial Makna (meaning)
Jenkins Masyarakat
Mahar
K
Marx, Karl
Kapital
Mead, G.H
Kapital Budaya
Melihat tembus
Kapital manusia
Metode
Kapital Simbolik
Minangkabau
Kapital Sosial
Kapitalisme N
Kebudayaan Nilai
Kelas borjuis Nilai Guna
Kelas proletar Nilai Tukar
Kepercayaan
P
Kesadaran Kolektif
Parsons, Talcott
Keterasingan (alienasi)
Pearson
Konlik
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pendekatan kualitatif
Konsep
Pendekatan kuantitatif
Konsensus nilai
Pendekatan sosiologis
Konsumsi
Perjuangan kelas
Kontak
218
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
Sosiologi Pendidikan
Status W
Stratiikasi sosial Weber, Max
Struktur sosial White
219
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
221
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
http://facebook.com/indonesiapustaka
222
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
http://facebook.com/indonesiapustaka
223
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital