Anda di halaman 1dari 237

http://facebook.

com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka

PENGANTAR

PROF. DR. DAMSAR


http://facebook.com/indonesiapustaka
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah, Tuhan se-


mesta alam, merupakan kalimat pertama yang paling pantas untuk
diucapkan pertama kali, karena Allah-lah yang telah membukakan
pintu pikiran untuk menyelami beberapa ide, pemikiran, dan gagasan
yang bersemayam dalam lautan ilmu pengetahuan, yang tiada diketa-
hui berapa dalam dan luasnya. Oleh karena izin Allah jualah pengeta-
huan yang setetes tersebut bisa dimengerti dan dipahami, walaupun
sebatas perepektif diri, serta keberanian untuk dan menyampaikan-
nya kepada khalayak pembaca. Karunia dalam bentuk keberanian itu
diperlukan sebab semakin dibaca apa yang telah ditulis semakin ban-
yak saja kekurangannya. Oleh sebab itu, betapa indah dan nikmatnya
keberanian itu. Jika tidak maka buku ini tidak mungkin akan sampai
ke tangan pembaca.
Setelah lebih kurang 11 tahun mengajar sebagai dosen luar biasa
pada mata kuliah Sosiologi Pendidikan pada Program Pascasarjana
Pendidikan IPS di Universitas Negeri Padang dan dua tahun menga-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jar mata kuliah yang sama di rumah sendiri, S-2 Sosiologi Universi-
tas Andalas, akhirnya motivasi muncul untuk menunjukkan dedikasi
dan kompetensi dalam mata kuliah yang diajarkan. Sebab tidak se-
dikit dosen mengajar suatu mata kuliah karena terpaksa atau sekedar
keinginan saja, boleh jadi di sana terdapat kompensasi yang lumayan,
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

tanpa diikuti tekad untuk belajar secara otodidak dan mengembang-


kan apa yang telah diperoleh tersebut menjadi bahagian dari kompe-
tensi diri secara akademik.
Apa yang membedakan buku Pengantar Sosiologi Pendidikan ini
dengan buku (Pengantar) Sosiologi Pendidikan, baik berupa terjema-
han maupun karangan penulis Indonesia sendiri, yang telah beredar
di Indonesia selama ini? Pertama, buku ini ditulis oleh seorang yang
belajar sosiologi semenjak dari S-1, S-2, sampai S-3. Sebab dari be-
berapa buku yang beredar dipahami bahwa perspektif sosiologisnya
belum begitu kelihatan, khususnya buku yang ditulis oleh penulis In-
donesia. Oleh sebab itu, buku ini mencoba mengembalikan sosiologi
pendidikan kepada kerabangnya, yaitu salah satu cabang dari disiplin
sosiologi. Pembeda berikutnya adalah buku ini mencoba mengako-
modasi kesemua tingkatan analisis sosiologi yang ada, yaitu baik mi-
kro sosiologi maupun makro sosiologi. Selanjutnya, buku ini berbeda
dengan beberapa buku yang telah beredar karena pembahasan lebih
dalam tentang pendidikan sebagai kapital, topik yang jarang disen-
tuh. Pembeda selanjutnya adalah penjelasan dan contoh dari topik
bahasan merujuk pada fenomena dan realitas yang terjadi di Indo-
nesia. Terakhir dan dipandang sangat penting adalah penggunaan
teori-teori sosiologi pendidikan kontemporer dalam mendiskusikan
tema-tema klasik sosiologi politik seperti sosialisasi, ruang kelas,
kurikulum, dan guru.
Buku ini hadir ke hadapan pembaca, karena adanya dukungan
dari Drs. H. Zubaidi, Direktur Prenada Media, penulis dimotivasi un-
tuk menulis apa yang diajarkan kepada mahasiswa dan diberi kesem-
patan untuk menerbitkannya. Oleh karena itu, ucapan terimakasih
yang tulus ditujukan pada beliau. Juga tidak lupa diucapkan terima
kasih pada A. K. Anwar, Jefryandi, dan tim editor yang telah me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

meroses naskah menjadi buku.


Buku ini didedikasikan kepada semua guru penulis ketika masih
sekolah dulu, yaitu di SD No. 6 Tanjung Tiram Batu Bara, SMP Nege-
ri Labuhan Ruku Batu Bara, dan SMA Negeri 2 Bukittinggi. Buku ini
juga didedikasikan kepada semua dosen penulis ketika kuliah di S-1

vi
KATA PENGANTAR

Sosiologi Universitas Andalas, S-2 Sosiologi Universitas Indonesia,


dan S-3 Sosiologi Universitas Bielefeld Jerman, khususnya para pem-
bimbing/promotor penulis ketika menulis skripsi (almarhum Prof.
Dr. Abdul Aziz Saleh dan Prof. Dr. Imran Manan), tesis (Prof, Dr. Ka-
manto Sunarto dan Dr. Samuel Hanneman), dan disertasi (Prof. Dr.
Hans-Dieter Evers dan Prof. Dr. Solvay Gerke). Terimakasih, wahai
para guru dan dosen-ku.
Terimakasih juga ditujukan kepada Dr. Asmawi, kolega yang sa-
ling pengertian dalam membagi waktu perkuliahan, termasuk pada
matakuliah sosiologi pendidikan. Juga tidak dipungkiri bahwa para
mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan IPS Universitas Negeri
Padang dan Program S-1 Sosiologi Universitas Andalas yang meng-
ambil matakuliah Sosiologi Pendidikan, teristimewa mahasiswa S-2
UNP yang mengambil Sosiologi Politik pada angkatan 2008/2009,
telah memotivasi penulis untuk berkarya.
Ucapan terimakasih perlu juga disampaikan kepada Prof. Dr.
Gumilar Soemantri, yang selalu memberikan pencerahan semasa S-3
di Bilefeld, Prof. Dr. Nasikun sebagai mitra pada saat menjadi asesor
sekali gus guru “njawani”, serta kepada Prof. Dr. Musliar Kasim, Rek-
tor Unand yang telah memberikan banyak kesempatan kepada penu-
lis. Serta berbagai kolega dosen sosiologi di seluruh Indonesia, yang
sempat berdiskusi tentang sosiologi Indonesia, pada saat melakukan
tugas asesor dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Teri-
makasih untuk semuanya.
Suatu bersifat pribadi, namun memiliki makna yang men-
dalam bagi terciptanya buku ini, adalah ketulusan dan kasih sayang
Mardaleni, istri yang selalu setia, sabar dan tawakal dalam menga-
rungi bahtera rumahtangga. Juga Inas Tsabita Rahma, ananda yang
selalu paham tentang ayahnya, mendorong semangat “harus bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

ayah, tidak boleh bilang tidak bisa” dan sangat jenaka bila bercanda.
Terimakasih istri dan anakku, kalian adalah penyejuk hati di kala pa-
nas dan penenang di kala gundah. Juga kepada kakaknya Inas, Selvi
Rahayu Putri, S.Sos., telah banyak membantu Inas, bunda dan ayah,
diucapkan terimakasih.

vii
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Terakhir kepada kedua orangtua yang melahir dan membesar-


kanku, H. Abdul Aziz Sutan Rajo Intan dan Hj. Yulmiar, keduanya
telah almarhum/ah, terimakasih ayah bunda, kudoakan setiap waktu,
semoga Allah memberikan ampunan dan tempat terbaik di sisi-NYA
di alam kubur dan akhirat nanti, amin.
Tak ada gading yang tak retak, begitu kata pepatah. Oleh karena
itu, terimakasih kepada pembaca yang mau mengiikuti alur pikir pe-
nulis. Jika ada yang kurang berkenan, kritik dan saran, mohon diki-
rimkan ke alamat e-mail: damsar_aziz@yahoo.com.

Padang, 2010

Penulis
http://facebook.com/indonesiapustaka

viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL, FIGUR DAN GAMBAR

BAB 1 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI


PENDIDIKAN
A. Pengertian Sosiologi
1. David B. Brinkerhoft dan Lynn K. White
2. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt
B. Pengertian Pendidikan
C. Pengertian Sosiologi Pendidikan

D. Pendidikan Sebagai Kajian Interdisiplin


dan Intradisiplin

E. Sosiologi Pendidikan Sebagai Sosiologi Murni


http://facebook.com/indonesiapustaka

dan Sosiologi Terapan


1. Sosiologi Murni Versus Sosiologi Terapan
2. Sosiologi Pendidikan: Sosiologi Murni atau Sosiologi
Terapan?
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

BAB 2 PENDEKATAN SOSIOLOGIS TENTANG PENDIDIKAN


A. Peletak Fondasi Sosiologi Pendidikan
1. Sumbangan Karl Marx (1818-1883)
2. Sumbangan Emile Durkheim (1858-1917)
3. Sumbangan Max Weber (1864-1920)
4. Sumbangan George Herbert Mead (1863-1931)

B. Penguat Fondasi Sosiologi Pendidikan


1. Sumbangan Alfred Schutz (1889-1959)
2. Sumbangan Antonio Gramsci (1891-1937)
3. Sumbangan (1902-1979) Talcott Parsons
4. Sumbangan Louis Althusser (1918-1990)
5. Sumbangan Piere Bourdieu (1930-2002)

C. Teori Sosiologi Sebagai Pendekatan


1. Teori Struktural Fungsional
2. Teori Struktural Konlik
3. Teori Interaksionisme Simbolik
4. Teori Pertukaran

BAB 3 SOSIALISASI
A. Pengertian Sosialisasi
1. Paul. B. Horton dan Chester. L. Hunt
2. David. B Brinkerhof dan Lynn. K. White
3. James. W. Vander Zanden

B. Jenis Sosialisasi
http://facebook.com/indonesiapustaka

1. Sosialisasi Berdasarkan Kebutuhan


2. Sosialisasi Berdasarkan Cara yang Dipakai
3. Sosialisasi Berdasarkan Keberadaan Perencanaan

C. Agen Sosialisasi

x
DAFTAR ISI

1. Keluarga
2. Sekolah
3. Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
4. Media Massa
5. Agama
6. Lingkungan Tempat Tinggal
7. Tempat Kerja

D. Perkembangan Kepribadian
1. Cooley: Cermin Diri (Looking Glass Self)
2. Mead: Tahapan Perkembangan Diri
3. Freud: Tiga Unsur Diri

E. Sosialisasi Sepanjang Hidup


1. Erik H. Erikson
2. James M. Henslin

BAB 4 RUANG KELAS


A. Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem
1. Konsep Sistem
2. Ruang Kelas Sebagai Sistem Sosial
3. Ruang Kelas Sebagai Sistem Interaksi
4. Ruang Kelas Sebagai Sistem Pertukaran

B. Teori Ruang Kelas


1. Pendekatan Interaksi
2. Pendekatan Interpretatif
3. Pendekatan Radikal
http://facebook.com/indonesiapustaka

C. Ruang Kelas Dan Pemeliharaan Ketertiban Serta Disiplin


D. Ruang Kelas Dan Penggunaan Bahasa
E. Dinamika Hubungan Guru Murid di Ruang Kelas
1. Ukuran kelas

xi
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2. Konteks sosial kelas


3. Teknologi kelas
4. Struktur komunikasi
5. Suasana sosial

BAB 5 KURIKULUM
A. Apa Itu Kurikulum?
B. Tipologi Kurikulum
1. Kurikulum Berdasarkan Isi
2. Kurikulum Berdasarkan Model Pengembangan
3. Kurikulum Berdasarkan Harapan Kenyataan
4. Kurikulum Berdasarkan Struktur dan Materi
Pembelajaran
5. Kurikulum Bedasarkan Cakupan Penggunaan

C. Model Kurikulum: Pendekatan Teoritis


1. Model Kurikulum Teknik Saintiik
2. Model Kurikulum Releksif
3. Model Kurikulum yang Relasional

D. Kurikulum Tersembunyi
E. Kurikulum dan Evaluasi
1. Evaluasi Kurikulum
2. Dampak Evaluasi Kurikulum Pada Proses di Sekolah

BAB 6 GURU
A. Mengajar Sebagai Pekerjaan Atau Profesi?
http://facebook.com/indonesiapustaka

1. Mengajar Sebagai Pekerjaan


2. Mengajar Sebagai Profesi

B. Peranan Guru
1. Fungsi Manifes dari Guru
2. Fungsi Laten dari Guru

xii
DAFTAR ISI

C. Sertifikasi Guru
1. Kompetensi Guru
2. Permasalahan Sertiikasi

BAB 7 PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL


A. Pengertian Kapital
B. Pendidikan Sebagai Kapital Manusia
1. Pengertian Kapital Manusia
2. Perkembangan Teori Kapital Manusia
3. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Manusia?

C. Pendidikan Sebagai Kapital Sosial


1. Pengertian Kapital Sosial
2. Kontroversi Pemahaman Kapital Sosial
3. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Sosial?
4. Pengertian Kapital Budaya
5. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Budaya?

D. Pendidikan Sebagai Kapital Budaya


1. Pengertian Kapital Budaya
2. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Budaya?

E. Pendidikan Sebagai Kapital Simbolik


1. Pengertian Kapital Simbolik
2. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Simbolik?

DAFTAR PUSTAKA
INDEKS
TENTANG PENULIS
http://facebook.com/indonesiapustaka

xiii
http://facebook.com/indonesiapustaka

xiv
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DAFTAR TABEL, FIGUR,
DAN GAMBAR

Tabel 1.1. Fenomena Pendidikan dan Kependidikan


Tabel 1.2. Perbandingan antara Sosiologi Murni dan Sosiologi
Terapan
Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik antara Solidaritas
Mekanik dan Solidaritas Organik
Tabel 3.1. Sosialisasi Berdasarkan Cara yang Dipakai
Tabel 7.1. Kapital Sosial dan Tipe-Tipenya Menurut Portes
Tabel 7.2. Hubungan Antara Kapital Manusia, Sosial, Budaya,
dan Simbolik dalam Kaitannya dengan Pendidikan
Figur 1.1. Hubungan Antara Masyarakat dan Pendidikan
Figur 1.2. Tumpang Tindih Fokus Perhatian Antara Ilmu
Pendidikan dan Sosiologi Dalam Kajian Pendidikan
Figur 1.3. Tipologi Beragam Kegiatan Sosiolog dalam Dikhotomi
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sosiologi Murni-Sosiologi Terapan


Figur 2.1. Hubungan Antar Persyaratan Fungsional
Gambar 1.1. Cara Pandang Sosiolog terhadap Fenomena
Pendidikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

xvi
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
bab
1 PENGERTIAN
DAN RUANG LINGKUP
SOSIOLOGI PENDIDIKAN

A. PENGERTIAN SOSIOLOGI
Batasan suatu kajian ilmu sangat perlu untuk dipahami. Karena
melalui batasan tersebut kita dapat menentukan ruang kajian suatu
bidang keilmuan dengan bidang keilmuan lainnya. Namun pekerjaan
tersebut tidaklah gampang, termasuk membuat batasan sosiologi.
Karena sudut pandang dalam membuat batasan suatu kajian ilmu
dapat berbeda-beda. Oleh sebab itu, dapat dipahami mengapa misal-
nya, para ilmuan memberikan pengertian atau membuat deinisi ber-
beda antara satu dengan lainnya. Karena membuat batasan itu diper-
lukan, meskipun dipahami bahwa membuatnya tidak mudah, maka
bagian pertama buku ini kita meletakkan suatu persamaan pandan-
gan dan pemahaman tentang pengertian sosiologi, yang selanjutnya
akan mempengaruhi kita dalam melihat realitas pendidikan dalam
sudut pandang sosiologi.
Melalui penelusuran berbagai literatur tentang berbagai buku
teks sosiologi, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa
http://facebook.com/indonesiapustaka

asing, kita mengambil posisi dengan memperbincangkan dua buku


teks yang ada, yaitu masing-masing ditulis oleh David B. Brinkerhoft
dan Lynn K. White serta Paul B. Horton dan Chester L. Hunt. Berikut
dua pendapat berbeda dari para sosiolog tersebut tentang pengertian
sosiologi.
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

1. David B. Brinkerhoft dan Lynn K. White


Brinkerhoft dan White (1989: 4 ) berpendapat bahwa sosiolo-
gi merupakan studi sistematik tentang interaksi sosial manusia.
Penekanannya pada hubungan-hubungan dan pola-pola interaksi,
yaitu bagaimana pola-pola tersebut tumbuh-kembang, bagaimana
mereka dipertahankan, dan juga bagaimana mereka berubah.
Untuk memahami batasan Brinkerhoft dan White tersebut, se-
baiknya kita mengerti dulu tentang deinisi interaksi sosial. Konsep
interaksi sosial diartikan di sini sebagai suatu tindakan timbal-balik
antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi.
Suatu tindakan timbal-balik tidak akan terjadi bila tidak dilakukan
oleh dua orang atau lebih. Kita ambil sebuah kasus berikut. Karta
melempar batu ke sungai adalah suatu tindakan, tetapi hal itu belum
dapat dikatakan sebagai interaksi. Juga belum dapat disebut inter-
aksi sosial, apabila Karta melempar batu ke sungai agar temannya,
Guritno, yang sedang di seberang sungai melihat dia. Hal itu hanya
dilihat sebagai tindakan sosial, yaitu suatu tindakan individu yang
memiliki arti atau makna (meaning) subjektif bagi dirinya dan di-
kaitkan dengan orang lain. Tindakan sosial Karta melempar batu ke
sungai dapat dikatakan interaksi sosial apabila Guritno di seberang
sungai sana melihat dan melambaikan tangan kepadanya. Dengan
demikian, tindakan Karta melempar ditanggapi dengan tindakan
Guritno melihat dan melambaikan merupakan tindakan timbal-balik
antara dua orang aktor.
Tindakan timbal-balik antara Karta dan Guritno tersebut me-
menuhi 2 syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial yaitu kontak
dan komunikasi. Kontak merupakan tahap awal dari terjadinya in-
teraksi sosial. Kontak berasal dari bahasa latin, yaitu con atau cum
dan tango. Con berarti bersama-sama, sedangkan tango bermakna
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyentuh. Jadi, arti hariah dari kontak adalah bersama-sama me-


nyentuh. Kontak tidak selalu diikuti dengan hubungan tatap muka
atau pertemuan isik seperti berjabat tangan, bertegur sapa, atau
bertukar salam dalam suatu ruang yang sama. Kontak juga dapat di-
lakukan dengan tidak bersentuhan secara isik dan dalam ruang yang

2
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

berbeda, misalnya kontak dengan teman yang berada di kota yang


berbeda dengan menggunakan teknologi komunikasi informasi mod-
ern seperti telepon dengan berbagai jenisnya, internet, dan lainnya.
Kembali pada kasus Karta dan Guritno di atas, setelah tindakan
Karta melempar batu ke dalam sungai, dari seberang sungai Guritno
melihat si pelempar batu ke sungai, yang ternyata temannya Guritno.
Pada saat Guritno melihat Karta, terjadi kontak antara mereka ber-
dua, yaitu kontak mata.
Interaksi sosial tidak akan terjadi jika hanya ada kontak tanpa
diikuti dengan komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari, Kita telah
banyak melakukan kontak dengan orang lain tanpa diikuti dengan
komunikasi. Pada saat perjalanan menuju tempat kerja, misalnya,
Kita mengalami banyak kontak dengan orang lain seperti berpapasan
dengan banyak orang dari berbagai latarbelakang seperti pedagang
asongan, sopir taksi, dan lainnya. Dalam saat berpapasan, Kita saling
menatap dengan orang-orang tersebut, tetapi tidak selalu dilanjut-
kan dengan komunikasi.
Sekarang mari kita coba pahami apa itu komunikasi? Kata ko-
munikasi yang diserap dari bahasa Inggris, communication, berakar
dari perkataan bahasa Latin, yaitu communico berarti membagi, com-
munis bermakna membuat kebersamaan, communicare yang artinya
berunding atau bermusyawarah, atau comminicatio yang maknanya
pemberitahuan, penyampaian atau pemberian. Dari pengertian kata
tersebut, komunikasi dapat dipahami sebagai suatu proses penyam-
paian informasi timbal-balik antara dua orang atau lebih. Informasi
yang disampaikan dapat berupa kata-kata, gerak tubuh, atau simbol
lainnya yang memiliki makna. Makna-makna dari suatu kata, gerak
tubuh atau simbol lainnya, menurut Herbert Blumer, berasal dari in-
teraksi sosial seseorang dengan orang lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam kaitan dengan kasus Karta dan Guritno, tindakan Karta


melempar batu ke dalam sungai punya makna, yaitu sebagai suatu sa-
paan kepada Guritno yang sedang di seberang sungai. Sapaan seperti
itu dilakukan Karta karena pada saat itu dia punya masalah dengan
tenggorokan, sehingga dia tidak dapat berteriak kencang memang-

3
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

gil Guritno. Ketika Guritno mendengar suara percikan air dari batu
yang dilemparkan, dia mencari sumber, siapa gerangan si pelempar
batu ke sungai? Guritno melihat ada seseorang di seberang sungai
sana, ternyata Karta, teman sekantornya. Selanjutnya, Guritno dan
Karta sekilas saling kontak mata. Kemudian Guritno melambaikan
tangan ke arah Karta. Adegan interaksi tersebut telah dapat disebut
sebagai komunikasi, yaitu pertukaran informasi timbal-balik antara
Karta dan Guritno—Karta melempar batu ke dalam sungai dijawab
oleh Guritno dengan lambaian tangan. Pada adegan ini, informasi
yang digunakan berupa simbol lemparan batu ke dalam sungai oleh
Karta dan gerak tubuh oleh Guritno. Informasi berupa kata-kata be-
lum digunakan. Bisa saja adegan selanjutnya ada penggunaan kata-
kata, misalnya sambil melambaikan tangan ke arah Karta, Guritno
meneriakkan, “apa kabar? Mau ke mana?”. Karta menjawab dengan
mengacungkan jempol beberapa kali dan selanjutnya mengarahkan
telunjuk ke salah satu arah jalan. Apa yang dilakukan oleh Karta
tersebut diinterpretasi Guritno sebagai Karta sehat dan akan pergi ke
arah sana. Makna tersebut berasal dari interpretasi Guritno terhadap
proses interaksi sosial yang sedang berlangsung.
Deinisi sosiologi dari Brinkerhoft dan White menempatkan
manusia sebagai manusia yang aktif-kreatif. Manusia adalah sebagai
pencipta terhadap dunianya sendiri. Proses penciptaan tersebut ber-
langsung dalam hubungan interpersonal. Oleh karena itu, sosiologi
yang dikembangkan lewat deinisi ini adalah sosiologi mikro.

2. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt


Horton dan Hunt (1987: 3) berpandangan bahwa sosiologi seb-
agai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat. Untuk
memahami diinisi ini maka terlebih dahulu kita harus mengerti
http://facebook.com/indonesiapustaka

tentang batasan masyarakat. Banyak deinisi tentang masyarakat


yang telah dibuat oleh sosiolog (Soekanto, 1997). Dari sekian banyak
deinisi yang ada, untuk kepentingan pemahaman batasan sosiologi
pendidikan, menarik untuk dipahami 2 deinisi masyarakat yang ada,

4
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

yaitu deinisi dari Horton dan Hunt (1987: 59) dan Peter L.Berger
(1966).
Horton dan Hunt (1987: 59) mendeinisikan masyarakat sebagai
sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersa-
ma-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah mandiri, memi-
liki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatan-
nya dalam kelompok tersebut. Deinisi Horton dan Hunt ini relatif
jelas tanpa diberi penjelasan tambahan, kecuali konsep kebudayaan.
Seperti halnya konsep masyarakat, konsep kebudayaan didei-
nisikan secara berbeda oleh ahli kebudayaan dan sosiologi. Untuk
keperluan pemahaman diambil 2 deinisi kebudayaan, yaitu deinisi
dari Sir Edward Tylor serta Horton dan Hunt. Deinisi Tylor ten-
tang kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan,
keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemam-
puan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai
anggota masyarakat. Deinisi Tylor merupakan deinisi kebudayaan
yang klasik, sesuai dengan perkembangan ilmu sosial pada masa
itu. Dalam deinisi ini dipandang bahwa seseorang menerima ke-
budayaan sebagai bagian dari warisan sosial. Pandangan seperti ini
memberi kesan bahwa manusia adalah makhluk yang pasif, karena ia
hanya sebagai pewaris. Pandangan tersebut dapat dipahami karena
semua unsur yang disebutkan oleh Tylor di atas sudah ada sebelum
seseorang lahir dan ia tinggal memakai dari apa yang diwarisinya
tersebut. Ketika seorang anak manusia lahir di Indonesia dia seka-
dar menerima bahwa cara mengupas mangga bermula dari sisi dalam
menuju ke arah luar. Dia akan kaget karena ternyata ketika dia be-
rada di Eropa orang mengupas mangga bermula dari sisi luar menuju
ke arah dalam.
Adapun Horton dan Hunt (1987: 58) mendeinisikan kebudaya-
http://facebook.com/indonesiapustaka

an sebagai segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara


sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Deinisi Horton dan Hunt
ini menempatkan manusia tidak hanya sebagai insan yang pasif yaitu
mempelajari apa yang telah ada, tetapi juga sebagai insan yang ak-

5
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

tif yaitu mengalami bersama secara sosial. Pada saat lahir di muka
bumi, manusia diajari berbagai macam unsur budaya seperti penge-
tahuan, keyakinan, moral, hukum, adat istiadat dan sebagainya oleh
terutama orang tua dan anggota dewasa keluarga batih lainnya. Di
samping itu, manusia memiliki pengalaman baru bersama yang ber-
beda dari pengalaman yang mereka warisi sebelumnya.
Dengan deinisi budaya seperti di sebut di atas, kata Horton dan
Hunt (1987: 58), seorang menerima kebudayaan sebagai bagian dari
warisan sosial, dan pada gilirannya, dapat membentuk kebudayaan
kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian
menjadi bagian dari warisan generasi yang berikutnya. Untuk mema-
hami hal ini, mari kita ambil suatu ilustrasi. Dalam keluarga mus-
lim, misalnya, anak-anak diajarkan makan dalam keadaan duduk,
dilarang berdiri. Namun ketika dewasa, dia dapati berbagai acara
jamuan makan dalam keadaan berdiri. Budaya makan yang diwarisi
dari orangtuanya tersebut dapat berobah pada saat dia dihadapkan
berbagai pengalaman baru dan memandang pengalaman baru terse-
but sebagai sesuatu yang lebih bagus dari yang lama. Konsekuensinya
adalah pengalaman baru ini diwariskan kepada generasinya.
Kembali kepada deinisi masyarakat dari Horton dan Hunt, dei-
nisi tersebut menempatkan sosiologi pada tataran makro. Jika dei-
nisi kebudayaan dalam masyarakat dipahami dengan pandangan Ty-
lor maka sosiologi ditempatkan pada tataran makro objektif, yaitu ta-
taran makro yang berada di luar sana, bersifat eksternal. Sedangkan
kalau dipahami dengan perspektif Horton dan Hunt sendiri maka
sosiologi diposisikan pada tataran makro objektif-subjektif, yaitu
makro yang berada di luar sana (eksternal), juga dapat makro yang
berasal dari kesadaran individu (internal).
Berbeda dengan Horton dan Hunt, menurut P. L. Berger, ma-
http://facebook.com/indonesiapustaka

syarakat merupakan suatu keseluruhan kompleks hubungan yang


luas sifatnya. Maksud keseluruhan kompleks hubungan yaitu ter-
dapat bagian-bagian yang membentuk kesatuan. Misalnya tubuh ma-
nusia terdiri dari berbagai macam organ seperti jantung, hati, limpa,

6
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

pembuluh darah, jaringan otak, dan sebagainya. Keseluruhan bagian


yang ada membentuk suatu sistem yang dikenal sebagai manusia.
Analogi bagian-bagian dalam masyarakat adalah hubungan sosial,
seperti hubungan antar jenis kelamin, hubungan antar usia, hubun-
gan antar dan inter keluarga, hubungan perkawinan, dan seterusnya.
Keseluruhan hubungan sosial tersebut dikenal dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan tersebut tidak terbentuk secara tidak ber-
aturan atau sembarangan, tetapi sebaliknya hubungan tersebut me-
miliki semacam keteraturan atau pola. Seperti hubungan antar usia
dalam masyarakat Minangkabau memiliki pola yang dikenal nan
ampek (yang empat), yaitu kato mandaki (kata mendaki), kato ma-
nurun (kata menurun), kato malereng (kata melereng) dan kato man-
data (kata mendatar). Kata mendaki menunjuk pada pola hubungan
terhadap yang lebih tua: hormat dan sopan kepada yang lebih tua.
Kata menurun dimaksud sebagai pola hubungan yang dikonstruksi
terhadap orang yang lebih muda: mengasihi dan menyayangi. Kata
mendatar diartikan sebagai pola hubungan di antara teman sebaya
atau terhadap sesama besar: saling hormat dan menghargai. Kata
melereng menunjuk pada pola hubungan yang dilakukan atau ter-
hadap orang-orang yang memiliki hubungan yang terjadi karena
adanya perkawinan: saling menjaga martabat. Apabila ada anggota
komunitas yang tidak mengikuti keteraturan pola maka akan terjadi
penolakan komunitas terhadap anggota yang menyimpang seperti
tidak diajak bicara atau dikucilkan dalam berbagai kegiatan komuni-
tas. Penolakan terhadap penyimpangan merupakan cara komunitas
Minangkabau mempertahankan nan ampek ini, sehigga pola hubung-
an tidak terganggu.
Oleh karena itu, masyarakat, berdasarkan deinisi Berger, dili-
hat sebagai sesuatu yang menunjuk sistem interaksi. Sistem adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

sekumpulan dari bagian atau komponen-komponen yang saling


berhubungan dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur
dan merupakan suatu keseluruhan. Dari pengertian tersebut, maka
sistem memiliki karakteristik sebagai berikut:

7
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

1. terdiri dari berbagai/banyak bagian atau komponen,


2. bagian-bagian dari sistem berjalin-kelindan satu sama lain dalam
hubungan saling ketergantungan,
3. suatu keseluruhan atau totalitas menunjuk pada kompleksitas
hubungan yang harus dipahami secara holistik.

Sementara konsep interaksi, seperti telah dipahami sebelumnya,


sebagai tindakan yang terjadi paling kurang antara dua orang yang sa-
ling mempengaruhi perilakunya. Dari deinisi tersebut maka hubun-
gan persahabatan dan keluarga, misalnya, merupakan masyarakat.
Berbeda dengan deinisi Horton dan Hunt yang lebih menekankan
pada aspek ruang dan kuantitas, Berger lebih menekankan pada as-
pek kualitas dan konstruktif.
Setelah dijelaskan tentang 2 deinisi yang berbeda tentang so-
siologi, di mana posisi kita dalam melihat pendidikan? Posisi kita di
sini adalah menggabungkan dua deinisi di atas. Dengan cara itu, kita
melihat sosiologi sebagai studi ilmiah tentang masyarakat yang di
dalamnya terdapat proses interaksi sosial. Dengan deinisi seperti
itu, kita akan melihat interaksi interpersonal seperti interaksi sosial
antara Karta dan Guritno di atas, interaksi antara individu dan ke-
lompok seperti antara guru dan para murid di kelas, interaksi antar
kelompok (masyarakat) seperti peristiwa perkawinan yang melibat-
kan dua keluarga besar. Dengan kalimat lain, posisi kita berada an-
tara tataran sosiologi mikro dan makro serta antara realitas objektif
(eksternal) dan realitas subjektif (internal).

B. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Pengertian pendidikan, secara sederhana, dapat merujuk pada
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pendidikan, menurut Kamus


Besar Bahasa Indonesia, merupakan proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewa-
sakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dari penger-
tian kamus terlihat bahwa melalui penidikan: satu, orang mengalami

8
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

pengubahan sikap dan tata laku; dua, orang berproses menjadi de-
wasa, menjadi matang dalam sikap dan tata laku; tiga, proses pende-
wasaan tersebut dilakukan melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut juga dipahami bah-
wa pendidikan merupakan proses, cara, dan perbuatan mendidik.

C. PENGERTIAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN


Sosiologi pendidikan dapat dideinisikan dengan 2 cara. Perta-
ma, sosiologi pendidikan dideinisikan sebagai sebagai suatu kajian
yang mempelajari hubungan antara masyarakat, yang di dalamnya
terjadi interaksi sosial, dengan pendidikan. Dalam hubungan terse-
but, dapat dilihat bagaimana masyarakat mempengaruhi pendidikan.
Juga sebaliknya, bagaimana pendidikan mempengaruhi masyarakat.
Dengan pemahaman konsep masyarakat seperti di atas, maka
sosiologi pendidikan mengkaji masyarakat, yang di dalamnya ter-
dapat proses dan pola interaksi sosial, dalam hubungannya dengan
pendidikan. Hubungan dilihat dalam sisi saling pengaruh-mempe-
ngaruhi. Masyarakat sebagai realitas eksternal-objektif akan menun-
tun individu dalam melakukan kegiatan pendidikan seperti apa saja
isi dari pendididikan, bagaimana mendidiknya, siapa yang mendidik
dan dididik, dan di mana pendidikan dilakukan. Tuntunan tersebut
biasanya berasal dari budaya, termasuk di dalamnya hukum, ideologi,
dan agama. Dalam agama Islam, misalnya, seorang anak dididik ten-
tang nilai halal atau haram dari suatu makanan. Daging ayam boleh
dikonsumsi karena ia dikategorikan makanan halal. Namun apabila
ayam tersebut disembelih tidak dengan atas nama Allah, yaitu tidak
mengucapkan bismillahhirrahmannirrahim, maka makanan tersebut
dipandang haram. Juga tidak boleh menyantap makanan dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

berdiri.
Jika belum cukup paham bagaimana masyarakat mempenga-
ruhi pendidikan, mari kita ambil contoh lain. Dalam berbusana,
apakah kita dapat menggunakan semua jenis dan bentuk pakaian

9
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

pada semua kesempatan? Tentunya tidak! Ketika ada kematian, kita


menggunakan busana yang tidak menyolok mata seperti warna hi-
tam atau putih misalnya, tetapi jelas tidak warna menyala seperti
warna merah atau kuning. Jika hendak pergi ke kampus, kita tidak
menggunakan pakaian renang, tetapi mengenakan busana biasa. Ke-
tika akan menghadiri pesta perkawinan, orang tidak akan menggu-
nakan kaos oblong atau daster, tetapi menggunakan batik bagi pria
atau kebaya bagi perempuan misalnya. Dalam setiap masyarakat ter-
dapat pola busana. Pola busana tersebut menjadi rujukan bagi ang-
gota masyarakat untuk memilih warna, model, atau bahan apa yang
tepat atau sepantasnya dikenakan untuk suatu momen tertentu dari
kehidupan kita dalam masyarakat. Pola busana tersebut disosialisasi-
kan oleh anggota senior masyarakat kepada anggota yuniornya. Sos-
ialisasi merupakan salah satu proses dalam pendidikan.
Selanjutnya bagaimana pendidikan mempengaruhi masyarakat,
yang di dalamnya ada proses interaksi sosial? Banyak aspek dari ke-
hidupan (anggota) masyarakat dipengaruhi oleh pendidikan. Pili-
han seseorang terhadap suatu pekerjaan dipengaruhi salah satunya
oleh pendidikannya. Demikian pula dengan pola konsumsi dan pola
pengasuhan anak dipengaruhi oleh pendidikan. Untuk memudah-
kan pemahaman, berikut disajikan igur 1.1. yang menggambarkan
hubungan antara masyarakat dan pendidikan.
Figur 1.1. Hubungan Antara Masyarakat dan Pendidikan

Masyarakat

Pendidikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Interaksi sosial:
proses dan pola

Catatan:
hubungan timbal balik
hubungan inklusif

10
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

Dari igur di atas diperoleh pemahaman bahwa masyarakat meru-


pakan suatu realitas yang di dalamnya terjadi proses interaksi sosial
dan terdapat pola interaksi sosial. Hubungan antara pendidikan dan
masyarakat, termasuk di dalamnya ada proses dan pola interaksi,
bersifat saling mempengaruhi atau pengaruh timbal balik.
Kedua, sosiologi pendidikan dideinisikan sebagai pendekatan
sosiologis yang diterapkan pada fenomena pendidikan. Pendekatan
sosiologis terdiri dari konsep-konsep, variabel-variabel, teori-teori,
dan metode yang digunakan dalam sosiologi untuk memahami ke-
nyataan sosial, termasuk di dalamnya kompleksitas aktiitas yang
berkaitan dengan pendidikan.
Konsep merupakan pengertian yang menunjuk pada sesuatu.
Apa yang membedakan antara orang kebanyakan dan sosiolog (ahli
sosiologi) ketika berdiskusi tentang masyarakat? Perbedaannya ada-
lah terletak pada konsep yang digunakan. Orang kebanyakan menggu-
nakan konsep sosial sedangkan sosiolog memakai konsep sosiologis.
Apa beda antara keduanya? Konsep sosial adalah konsep keseharian
yang digunakan untuk menunjuk sesuatu dan yang dipahami secara
umum dalam suatu masyarakat. Sedangkan konsep sosiologis meru-
pakan konsep yang digunakan sosiologi untuk menunjuk sesuatu
dalam konteks akademik. Dalam dunia keseharian, orang kebanyakan
mendiskusikan banyak hal tentang masyarakat di berbagai tempat
misalnya di kedai kopi, warung, tempat kerja ataupun di rumah.
Dalam dunia keseharian, orang kebanyakan, misalnya, menggunakan
konsep sosialisasi menunjuk pada pengertian sesuatu yang baru yang
perlu diperkenalkan pada sekelompok orang yang belum tahu. Ketika
ada suatu program baru tentang pengentasan kemiskinan yang se-
dang diperkenalkan, maka orang kebanyakan mengatakan peristiwa
tersebut sebagai sosialisasi program pengentasan kemiskinan. Sedan-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gkan dalam dunia akademik, konsep sosialisasi, menunjuk pada suatu


proses mempelajari nilai, norma, peran dan semua persyaratan lain-
nya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif
dalam masyarakat. Nah ternyata jauh sekali perbedaan pengertian
sosialisasi antara orang kebanyakan dan sosiolog.

11
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Mari kita ambil contoh perbedaan yang lain. Orang kebanyakan


menemukan perbedaan posisi, peran dan perlakuan antar individu
dan antar kelompok dalam suatu komunitas. Dalam masyarakat tra-
disional Minangkabau, misalnya, mengenal konsep tingkatan untuk
membedakan posisi, peran dan perlakuan terhadap seseorang. Dalam
satu marga (fam/clan), masyarakat Minang mengenal konsep tingka-
tan kemanakan, yaitu tingkatan posisi, status dan perlakuan terha-
dap orang yang diayomi, diasuh atau dikuasai. Terdapat 3 tingkatan
kemenakan dalam masyarakat Minangkabau, yaitu kemanakan di
bawah dagu, kemanakan di bawah pusat dan kemanakan di bawah
lutut. Kemanakan di bawah dagu merupakan kemenakan yang me-
miliki hubungan darah dengan pengayom. Kemanakan di bawah
pusat menunjuk kemenakan yang datang dari daerah lain, biasanya
satu marga dengan pengayom. Sedangkan kemenakan di bawah lu-
tut adalah kemenakan yang berasal dari budak. Semakin tinggi posisi
kemanakan, semakin baik perlakuan pengayom. Konsep tingkatan
dalam masyarakat Minangkabau, oleh sosiolog dikenal dengan kon-
sep stratiikasi sosial, yaitu penggolongan individu secara vertikal
berdasarkan status yang dimilikinya.
Dari dua contoh tentang konsep di atas, ternyata terdapat hal
yang berbeda. Pertama, konsep yang sama, dalam hal ini konsep so-
sialisasi, memiliki pengertian atau deinisi yang berbeda antara orang
kebanyakan dan sosiolog. Kedua, kenyataan atau peristiwa yang
sama, dalam hal ini perbedaan kemenakan, digunakan konsep yang
berbeda, yaitu tingkatan bagi orang Minangkabau dan stratiikasi so-
sial bagi sosiolog.
Variabel adalah konsep akademik, termasuk sebagai konsep so-
siologis, bukan konsep sosial. Variabel merupakan konsep yang me-
miliki variasi nilai. Stratiikasi sosial, misalnya, dapat disebut sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

variabel, karena stratiikasi sosial memiliki variasi nilai yaitu tinggi,


menengah, dan bawah.
Teori merupakan abstraksi dari kenyataan yang menyatakan
hubungan sistematis antara fenomena sosial. Ketika seseorang sosio-

12
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

log mengamati terdapat perbedaan antara petani, pedagang, dan guru


dalam mensosialisasikan anak-anak mereka. Melalui pengamatan
dan wawancara dengan berbagai macam orang tua ternyata dia mene-
mukan posisi dan status orang tua mempengaruhi anak-anak mereka
dalam bersosialisasi. Maka sang sosiolog bisa mengabstraksikan ke-
nyataan tersebut dengan kalimat sebagai berikut: “stratiikasi sosial
orang tua akan mempengaruhi sosialisasi anak-anak mereka”. Kali-
mat tersebut bisa dipandang sebagai teori.
Teori dalam sosiologi telah mengalami perkembangan yang san-
gat pesat sekali. Perkembangan teori dilihat dari teori yang dibangun
oleh peneruka utama sosiologi seperti Karl Marx, Emile Durkheim,
Max Weber, George Herbert Mead, dan lainnya. Dari basis pandang-
an tokoh tersebut berkembang berbagai teori sosiologi modern sep-
erti teori struktural fungsional, teori struktural konlik, teori inter-
aksionisme simbolik, teori fenomenologi, teori etnometodologi, teori
dramaturgi, teori konstruksi sosial dan teori pertukaran. Selanjutnya
berkembang pula teori feminisme, teori post modern dan teori kritis.
Dalam bab selanjutnya, teori sosiologi akan kita bahas lagi dengan
mengaitkannya pada kenyataan dan fenomena pendidikan.
Adapun metode sosiologi bertujuan sebagai alat untuk me-
lakukan penelitian. Metode penelitian sosiologi berkembang dalam
bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan pendekatan penelitian
kuantitif yang meliputi metode survey, studi kasus, studi eksprimen,
analisis sekunder, studi dokumen, analisis isi, grounded reasearch,
dan sebagainya.
Berikut sajian suatu model penelitian, secara umum mengikuti
langkah yang relatif sama dengan penambahan dan pengurangan
tahapan:
http://facebook.com/indonesiapustaka

Satu : memilih suatu topik


Dua : mendeinisikan masalah
Tiga : meninjau bahan pustaka
Empat : merumuskan suatu hipotesis
Lima : merumuskan deinisi operasional atau deinisi konsep
Enam : memilih suatu metode penelitian

13
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Tujuh : mengumpulkan data


Delapan : analisis hasil
Sembilan : menulis dan menyebarkan hasil penelitian
Selanjutnya kita mencoba untuk memahami apa saja fenomena-
fenomena yang termasuk dalam fenomena pendidikan dan kependi-
dikan. Berikut ini disajikan di dalam tabel di bawah ini fenomena
pendidikan dan kependidikan. Fenomena tersebut dapat ditambah
sesuai dengan perkembangan realitas pendidikan dan kependidikan
yang ada.

Tabel 1.1. Fenomena Pendidikan dan Kependidikan

Lembaga Pendidikan: Formal (sekolah, madrasah, perguruan tinggi), informal


(surau), dan nonformal (LPTK, paket belajar); degree dan non-degree
Ideologi Pendidikan (liberal, kapitalis, Pancasilais, Islam)
Guru
Kepala Sekolah
Komite Sekolah
Politik Pendidikan
Proses Belajar Mengajar
Kurikulum
Lembaga Pendidikan sebagai suatu sistem
Ruang Kelas
Sekolah sebagai suatu Organisasi
Sosialisasi
Pendidikan Alternatif
Pendidikan dan Multikulturalisme, Demokrasi, serta HAM
Pedagogi versus Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi)
Pendidikan dan Kapital (sosial, budaya, simbolik, dan spritual)
Pendidikan dan Mobilitas Sosial
Pendidikan dan Perubahan Sosial
Sistem Pendidikan Nasional
http://facebook.com/indonesiapustaka

Perguruan Tinggi
Dan sebagainya

Dari tabel di atas terlihat bahwa fenomena pendidikan sangat


banyak dan beragam. Fenomena tersebut di atas berada tidak hanya

14
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

pada tataran mikro seperi proses belajar mengajar di lembaga pendi-


dikan tetapi juga ada pada tataran makro seperti politik pendidikan.
Selain itu tidak hanya menyangkut sebagai realitas subjektif seperti
sosialisasi, tetapi juga realitas objektif seperti ideologi pendidikan.
Fenomena pendidikan berkembang seiring dengan perkembangan
teknologi, informasi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Pada
masa lampau, hubungan antara guru dan murid berjarak, pada saat
sekarang guru tidak hanya berperan sebagai orang dewasa yang men-
didik, tetapi juga berperan sebagai ayah atau bunda yang mengasihi,
dan kadang juga sebagai rekan tempat mencurahkan persoalan yang
dihadapi (curhat). Oleh karena itu, perkembangan sosiologi pendidi-
kan selalu terbuka dan dinamis seiring dengan perkembangan ma-
syarakat dan kehidupan yang melingkupinya.
Untuk memahami secara visual tentang deinisi kedua dari sosi-
ologi pendidikan, disajikan gambar 1.1. berikut.

Gambar 1.1. Cara Pandang Sosiolog terhadap Fenomena Pendidikan


http://facebook.com/indonesiapustaka

15
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Gambar di atas memperlihatkan bagaimana sosiolog melihat


fenomena pendidikan. Sosiolog memiliki konsep, variabel dan teo-
ri sosiologi dalam kerangka pikir. Sedangkan metode merupakan
alat untuk mendapatkan atau memperoleh data. Melalui teori dan
metode yang dimiliki, sosiolog mengkaji fenomena pendidikan yang
berkembang dalam proses interaksi sosial dan masyarakat.

D. PENDIDIKAN SEBAGAI KAJIAN INTERDISIPLIN DAN


INTRADISIPLIN
Untuk memahami topik ini, ada baiknya kita samakan terlebih
dahulu pemahaman kita tentang konsep interdisiplin dan intradis-
iplin. Konsep disiplin dalam pembicaraan kita adalah ilmu pengeta-
huan (science) misalnya ilmu ekonomi, manajemen, sosiologi, angtro-
pologi, psikologi, dan lainnya. Dengan demikian, kajian interdisiplin
dimaksudkan di sini adalah kajian lintas ilmu yang berbeda atau an-
tar ilmu yang berbeda. Sedangkan kajian intradisiplin adalah kaji-
an di dalam ilmu itu sendiri yang memiliki berbagai macam cabang
ilmu. Sosiologi memiliki beberapa cabang, misalnya sosiologi indus-
tri, sosiologi hukum, sosiologi ekonomi, sosiologi industri, sosiologi
pendidikan, sosiologi politik, sosiologi perilaku menyimpang, dan
sebagainya. Jadi, berbagai cabang sosiologi yang ada memiliki fokus
perhatian tertentu dalam mendiskusikan atau menjelaskan suatu ke-
nyataan atau fenomena sosial.
Pendidikan memang merupakan salah satu kajian utama dalam
ilmu pendidikan, namun sekarang pendidikan telah menjadi kajian
interdisiplin. Pendidikan tidak hanya dikaji oleh ilmu pendidikan
tetapi juga oleh ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, ilmu eko-
nomi, antropologi, psikologi, dan politik. Dengan pandangan seperti
http://facebook.com/indonesiapustaka

ini, maka di antara berbagai sudut pandang ilmu terdapat bahagian


yang tumpang-tindih satu sama lain dalam melihat pendidikan. Itu
berarti ada bahagian yang sama-sama diperhatikan baik ilmu pen-
didikan maupun sosiologi ketika mengkaji fenomena pendidikan.
Seperti yang diperlihatkan oleh Figur 1.2. di bawah, daerah segitiga

16
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

dalam elip merupakan pokok bahasan pendidikan yang menjadi ka-


jian bersama antara dua bidang ilmu yaitu sosiologi dan ilmu pendi-
dikan.

Figur 1.2. Tumpang Tindih Fokus Perhatian Antara Ilmu Pendidikan


dan Sosiologi Dalam Kajian Pendidikan

Fokus Sosiologi Fokus Ilmu Pendidikan

Fenomena Pendidikan

Catatan: Daerah segitiga dalam elip merupakan daerah perbatasan.

E. SOSIOLOGI PENDIDIKAN SEBAGAI SOSIOLOGI


MURNI DAN SOSIOLOGI TERAPAN
Sebelum membahas topik ini, terlebih dahulu, ada baiknya kita
mendiskusikan apa yang dimaksud dengan sosiologi murni dan sosio-
logi terapan. Setelah itu kita akan membahas apakah sosiologi pen-
didikan dipandang sebagai sosiologi murni, sosiologi terapan atau
masuk kedua bentuk sosiologi tersebut.
http://facebook.com/indonesiapustaka

1. Sosiologi Murni Versus Sosiologi Terapan


Perdebatan para sosiolog tentang posisi sosiologi, yaitu apakah
sosiologi merupakan ilmu murni atau sebagai ilmu terapan, telah
lama terjadi. Ketika awal perkembangan sosiologi, Auguste Comte,
sebagai bapak Sosiologi, telah membawa sosiologi ke arah refor-

17
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

masi sosial, yaitu suatu usaha membangun kembali masyarakat se-


bagaimana yang diharapkan. Pemikiran Comte tersebut tidak dilan-
jutkan oleh para peletak dasar teori sosiologi lainnya seperti Emile
Durkheim dan Max Weber. Kedua tokoh yang disebut belakangan ini
mengembangkan bermacam pemikiran sosiologi yang mengarah pada
pengembangan ilmu murni. Pemikiran seperti ini begitu berkembang
dalam sosiologi, sehingga Robert Bierssedt dalam he Social Order:
An Introduction to Sociology, menulis bahwa sosiologi bersama ilmu
hukum, geologi, sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi dikelompokkan
ke dalam ilmu murni. Sedangkan politik, manajemen, dan akuntansi
dimasukkan ke dalam kelompok ilmu terapan.
Perdebatan para sosiolog tersebut secara gamblang ditulis
oleh Henslin (2007: 11) sebagai berikut:
Kontradiksi nyata antara dua tujuan ini—menganalisis masyara-
kat versus upaya mereformasinya—menciptakan suatu ketegan-
gan dalam sosiologi yang sampai sekarang masih hadir di antara
kita. Beberapa sosiolog percaya bahwa peran mereka yang pantas
ialah untuk menganalisis segi masyarakat dan untuk menerbit-
kan temuan mereka dalam jurnal sosiologi. Sosiolog lain bertang-
gungjawab untuk memanfaatkan keahlian mereka untuk berupaya
menjadikan masyarakat sebagai suatu tempat yang lebih baik un-
tuk hidup dan membawa keadilan bagi orang miskin.

Perbedaan antara penganut sosiologi murni dan sosiologi terap-


an ditandai oleh khalayak yang dijadikan sasaran dan produk yang
dihasilkan. Menurut Henslin (2007: 11) bahwa sosiologi murni di-
tujukan pada sesama sosiolog sebagai khalayak sasarannya, sedang-
kan sosiologi terapan diarahkan pada klien yang terdiri dari berbagai
macam jenisnya mulai dari perorangan sampai kelompok (perusa-
haan, komunitas, dan pemerintah). Selanjutnya, produk yang dihasil-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan oleh sosiologi murni berupa pengetahuan, sedangkan produk


dari sosiologi terapan berupa perubahan. Berikut untuk memahami
perbedaan antara sosiologi murni dan sosiologi terapan secara ring-
kas dapat dilihat pada Tabel 1.2.

18
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

Tabel 1.2 Perbandingan antara Sosiologi Murni dan Sosiologi Terapan

Sosiologi Murni Sosiologi Terapan


Khalayak Sesama sosiolog Klien
Produk Pengetahuan Perubahan

Sumber: Henslin (2007) yang dimodiikasi.

Jadi, kata Henslin bahwa sosiologi terapan tidak sama dengan


reformasi sosial. Tetapi ia lebih Sosiologi terapan merupakan penera-
pan sosiologi pada suatu situasi yang khas, bukan suatu upaya untuk
membangun kembali masyarakat. Untuk membedakan antara sosi-
ologi murni dan sosiologi terapan, Henslin membuat suatu tipologi
dikhotomis yang terdiri dari dua kutub bersebarangan, yaitu sosiolo-
gi murni di satu kutub dan sosiologi terapan di kutub lain. Tipologi
dikhotomis tersebut terdapat berbagai kegiatan sosiolog yang terben-
tang antara ke dua kutub tersebut, yaitu konstruksi teori di kutub so-
siologi terapan dan sosiologi klinis pada kutub sosiologi terapan. Di
antara kegiatan tersebut terdapat berbagai kegiatan lainnya yang di-
lakukan oleh para sosiolog antara lain: penelitian terhadap dasar ke-
hidupan, bagaimana kelompok mempengaruhi manusia, jalan tengah
kritik terhadap masyarakat dan kebijakan sosial, analisis masalah
khusus, evaluasi keefektifan kebijakan dan program, menawarkan
penyelesaikan masalah, serta mengusulkan cara untuk memperbaiki
kebijakan dan program.
Untuk memudahkan pehaman, berikut disajikan igur 1.3. yang
menjelaskan pelbagaikan kegiatan sosiolog yang dapat dikategorikan
ke dalam titik pada garis kontinum dari dua kutub yang berseberan-
gan, yaitu sosiologi murni dan sosiologi terapan.

Figur 1.3. Tipologi Beragam Kegiatan Sosiolog dalam Dikhotomi Sosiologi


http://facebook.com/indonesiapustaka

Murni-Sosiologi Terapan

1 2 3 4 5 6
Catatan:
1 = konstruksi teori, menguji hipotesis

19
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2 = penelitian terhadap dasar kehidupan, bagaimana kelompok mempen-


garuhi manusia
3 = jalan tengah kritik terhadap masyarakat dan kebijakan sosial
4 = analisis masalah khusus, evaluasi keefektifan kebijakan dan program
5 = menawarkan penyelesaikan masalah, mengusulkan cara untuk mem-
perbaiki kebijakan dan program
6 = menerapkan penyelesaian masalah (sosiologi klinis)

Bagaimana para sosiolog memahami kenyataan adanya perbe-


daan antara sosiologi murni dan sosiologi terapan? Untuk menemu-
kan pemahaman tersebut, mari kita telusuri bagaimana kata para
sosiolog yang menulis buku “pengantar sosiologi”. Bagaimana mene-
mukan pemahaman tersebut? Kita dapat merekam pemikiran mereka
melalui apa yang mereka tulis tentang pekerjaan apa saja yang dapat
atau dapat digeluti oleh sarjana sosiologi. Horton dan Hunt dalam
bukunya “Sosiologi” (1987) mengemukakan bahwa peran yang dapat
dimainkan oleh para sosiolog atau profesi yang dapat dipilih oleh ahli
sosiologi, yaitu sebagai ahli riset, konsultan kebijakan, teknisi, guru/
pendidik, dan kegiatan sosial.
Dengan cara berbeda, namun esensi dari pemikiran yang sama
dengan Horton dan Hunt, Henslin (2007) dalam bukunya “Sosiologi
dengan Pendekatan Membumi” mengemukakan beberapa pekerjaan
yang dilakoni oleh para ahli sosiologi yaitu antara lain sebagai peng-
ajar, konselor di berbagai bidang (seperti anak-anak atau penularan
penyakit), peneliti (pemasaran atau kesehatan masyarakat), konsul-
tan, pekerja sosial, dan seterusnya.
Dari penjelasan tentang berbagai bidang pekerjaan yang dapat
atau dapat dimasuki oleh para ahli sosiologi tersebut maka dapat
dinyatakan bahwa para sosiolog tidak begitu mempermasalahkan
apakah sosiologi sebagai ilmu murni, ilmu terapan atau kedua-dua-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya. Kenapa demikian? Seorang sosiolog yang bekerja sebagai dosen


pada suatu perguruan tinggi, dalam kenyataannya, juga melakukan
penelitian, diminta pandangannya untuk memecahkan suatu ma-
salah yang ada dalam masyarakat, atau diminta pemikirannya oleh
media massa tentang jalan keluar dari berbagai persoalan yang se-

20
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

dang dihadapi oleh negara atau pemerintah. Kenyataan ini menun-


jukkan kepada kita bahwa sosiolog dapat saja memasuki kedua ranah
sosiologi tersebut, yaitu sebagai ilmu murni dan ilmu terapan. Hal
tersebut tergantung pada kapasitas, keahlian dan kompetensi dari
seorang sosiolog di bidang sosiologi.

2. Sosiologi Pendidikan: Sosiologi Murni atau Sosiologi Terapan?


Berdasarkan pengalaman mengajar di berbagai perguruan tinggi,
pada saat mengajar mahasiswa pasca sarjana yang berasal dari latar-
belakang kependidikan, mereka memiliki kecenderungan mengaju-
kan pertanyaan atau analisa tentang sesuatu yang berhubungan
dengan kegunaan sosiologi bagi pendidikan dan kependidikan. Ke-
tika mendiskusikan sosialisasi, misalnya, mereka menanyakan tidak
hanya tentang bagaimana memahami sosialisasi terjadi dalam ma-
syarakat, tetapi juga bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan agar
generasi yang diharapkan dapat terbentuk melalui rekayasa sosial?
Hal tersebut di atas dapat dipahami karena seorang guru biasa-
nya memiliki kecenderungan untuk membantu murid memecahkan
masalah yang sedang dihadapi di satu sisi, serta ilmu pendidikan dan
kependidikan yang dipelajari menuntunnya untuk memahami tidak
hanya sesuatu yang bersifat apa adanya (das Sein) tetapi juga ses-
uatu yang seharusnya ada (das Sollen), di sisi lain. Dari sisi das Sollen,
seorang mahasiswa tergerak ide dan pemikirannya untuk menemu-
kan jalan atau solusi sehingga apa yang menjadi das Sollen tersebut
tercapai.
Dari kenyataan tersebut di atas, bagaimana posisi sosiologi
pendidikan dalam kaitannya dengan percabangan sosiologi antara
sebagai ilmu murni dan ilmu terapan? Dalam buku ini, posisi kita
adalah membuka peluang bagi semua pilihan yang ada, yaitu sosi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ologi pendidikan sebagai ilmu murni dan/atau ilmu terapan. Dengan


kata lain, sosiologi pendidikan dilihat sebagai ilmu murni karena
dalam materinya memberikan kontribusi bagi kompetensi, keahlian,
dan kemampuan dalam memahami fenomena pendidikan dan kepen-
didikan berdasarkan teori sosiologi pendidikan. Kemampuan teoritis

21
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

tersebut membuat mahasiswa mampu melakukan penelitian tentang


fenomena pendidikan dan kependidikan serta mengeritik fenomena
dan kebijakannya. Kemampuan seperti itu menunjukkan pada bi-
dang kegiatan sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni.
Kemampuan teoritis yang dimiliki juga memberikan kemam-
puan bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan atau kompetensi
dalam evaluasi keefektifan kebijakan dan program, menawarkan pe-
nyelesaikan masalah, serta mengusulkan cara untuk memperbaiki ke-
bijakan dan program yang berkaitan dengan pendidikan dan kepen-
didikan. Oleh sebab itu, sosiologi pendidikan juga dapat diarahkan
sebagai ilmu terapan. Demikian pula tidak tertutup kemungkinan,
mahasiswa mampu menjadikan sosiologi pendidikan sebagai ilmu
murni dan ilmu terapan sekali gus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

22
bab
2 PENDEKATAN SOSIOLOGIS
TENTANG PENDIDIKAN

A. PELETAK FONDASI SOSIOLOGI PENDIDIKAN


Penelusuran sejarah asal usul atau perkembangan suatu bidang
kajian ilmu atau cabangnya, biasanya akan terjebak pada pengambi-
lan keputusan untuk menentukan siapa yang pertama kali membahas
hal tersebut dan pada akhirnya cenderung menonjolkan individu ter-
tentu sebagai “bapak pendiri” dari suatu bentuk ilmu pengetahuan.
Hal ini, menurut Rush dan Althof (2003: 5), merupakan proses yang
sangat berbahaya. Oleh sebab itu, untuk menghindari penonjolan
tokoh tertentu, sementara yang lain tersembunyikan, maka dipan-
dang elok untuk mendiskusikan beberapa tokoh yang berjasa dalam
meletakkan fondasi sosiologi pendidikan, sehingga mereka menjadi
rujukan oleh penerus atau sebaliknya sebagai sanggahan oleh pem-
baharu dalam pemikiran sosiologi pendidikan pada masa berikutnya.
Berikut beberapa tokoh yang dipandang berjasa dalam me-
letakkan fondasi sosiologi pendidikan:

1. Sumbangan Karl Marx (1818-1883)


http://facebook.com/indonesiapustaka

Marx lahir dari keluarga Yahudi di Trier, Jer-


man, pada tahun 1818. Ibunya berasal dari keluarga
Rabbi Yahudi, sedangkan ayahnya berpendidikan
sekuler dan pengacara yang sukses. Ketika suasana
politik tidak menguntungkan bagi pengacara yahu-
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

di, ayah dan keluarganya pindah menjadi pemeluk agama Protestan.


Tahun 1841 Marx meraih gelar doktor ilsafat dari Universitas Ber-
lin, universitas yang dipengaruhi oleh pemikiran Hegel dan pengikut-
nya yang kritis. Ia menikah pada 1843 dan hijrah ke Paris. Di sana ia
berkenalan dengan St. Simon dan Proudhon, tokoh pemikir sosialis,
dengan Engels, mitra menulis sekaligus sahabat penopang ekonomi,
serta dengan berbagai pemikiran ekonomi politik Inggris seperti
Adam Smith dan David Ricardo. Aktif dalam berbagai gerakan buruh
dan komunis. Karl Marx dipahami oleh berbagai penulis teks buku
Sosiologi Pendidikan seperti Ivor Morris (1972), K. W. Prichard dan
T. H. Buxton (1973), Philip Robinson (1986), dan Maureen T. Hal-
linan (2000) tidak memberikan banyak sumbangan teoritis terhadap
pengembangan sosiologi pendidikan, namun Marx sangat berpenga-
ruh terhadap cara berpikir tentang pendidikan dan masyarakat. Apa
sumbangan Marx tersebut?

a. Pendekatan Materialisme Historis


Istilah materialisme historis tidak pernah digunakan oleh Marx
sebagai pendekatan yang digunakannya untuk menjelaskan realitas.
Ada empat konsep sentral penting dalam memahami pendekatan ma-
terialisme historis (Morisson, 1995). Pertama, Means of Production
(cara produksi) yaitu sesuatu yang digunakan untuk memproduksi
kebutuhan material dan untuk mempertahankan keberadaan. Ked-
ua, Relations of Production (hubungan produksi), yaitu hubungan an-
tara cara suatu masyarakat memproduksi dan peranan sosial yang
terbagi kepada individu-individu dalam produksi. Misalnya, pemi-
lik dan bukan pemilik alat-alat produksi. Ketiga, Mode of Production
(mode produksi), yaitu elemen dasar dari suatu tahapan sejarah den-
gan memperlihatkan bagaimana basis ekonomi membentuk hubun-
gan sosial, yaitu cara mengorganisir produksi. Marx mengidentiikasi
http://facebook.com/indonesiapustaka

terdapat lima mode produksi yang terdapat sepanjang sejarah, secara


berurutan: komunisme primitif, masa kuno, feodal, kapitalis, dan
komunis. Keempat, Force of Production (kekuatan produksi), yaitu
kapasitas dalam benda-benda dan orang yang digunakan bagi tujuan
produksi. Misalnya pada masa feodal, kekuatan produksi bersumber

24
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

pada tanah, alat-alat pertanian dan teknik penggarapan. Atau masa


kapitalis, kekuatan produksi berasal dari teknik industri, ilmu, mo-
dal, dan teknologi mesin.
Perubahan sosial dan budaya, termasuk juga perubahan dalam di-
mensi pendidikan, bersumber pada perubahan yang terjadi pada cara
produksi. Perubahan cara produksi meliputi perkembangan teknolo-
gi baru, penemuan sumber-sumber baru, atau perkembangan baru
lain apapun dalam bidang kegiatan produktif (Johnson, 1986: 132).
Karena cara produksi berubah maka muncul kontradiksi antara cara
produksi dan hubungan produksi. Ketika kontradiksi telah merusak
parah keseimbangan, maka ia akan berdampak pada perubahan ter-
hadap hubungan produksi seperti perubahan pada pembagian kerja,
dasar dan bentuk struktur kelas. Pada gilirannya bisa merubah mode
produksi.

b. Teori Alienasi
Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lain? Kata
Marx, kerja! Hanya manusialah, makhluk yang mampu melakukan
kerja. Melalui kerja, oleh sebab itu, manusia sebagai produsen. Den-
gan demikian, produk dari kegiatan produktif (kerja) manusia meru-
pakan hakekat manusia, yang menjadi pembeda dengan makhluk lain
seperti binatang. Kalau manusia itu produsen, bagaimana mungkin
manusia kehilangan kekuasaan atas produknya sendiri? atau lebih
tegas lagi, bagaimana mungkin produk itu mendapat kekuasaan atas
produsennya? Inilah masalah alienasi (keterasingan) (Layendecker,
1983: 248).
Kapitalisme telah menyebabkan manusia mengalami alienasi
karena hasil kreatiitas produsen menjadi terasing/diasingkan dari
produsen itu sendiri. Alienasi ini bisa mengambil bentuk (1) produk
http://facebook.com/indonesiapustaka

diluar kontrol dari produsen seperti jenis, kualitas, kuantitas, harga


dan pemasaran produk. (2) produsen harus menyesuaikan diri de-
ngannya seperti mengikuti kapasitas produksi mesin. Oleh karena
itu, menurut McLellan (1973: 111), manusia mengalami alienasi
dalam 3 arti. Pertama, manusia teralienasi dari produk kerjanya

25
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

sendiri dalam arti bahwa ia hanya sekedar embel-embel dari proses


produksi, sebagai pelayan mesin atau orang yang memindahkan-min-
dahkan kertas di kantor. Kedua, manusia juga teralienasi dari dirinya
sendiri dalam arti bahwa ia kerja karena terpaksa, dan sebagai akibat-
nya manusia diubah menjadi hewan, “karena ia hanya merasa senang
apabila melakukan fungsi-fungsi hewani, yakni makan, minum dan
memiliki anak-anak”. Terakhir, manusia teralienasi dari sesamanya.
Hubungan yang ada di tempat kerja mempengaruhi hubungan dalam
kehidupan di luar kerja.

c. Teori Perubahan Sosial


Pada he communist Manifesto, Marx menyatakan “sejarah dari
semua masyarakat hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas”.
Perjuangan kelas berakar dari adanya pembagian kerja dan pemilikan
pribadi. Keberadaan pembagian kerja dan pemilikan pribadi meng-
hasilkan kontradiksi yang dalam dan luas pada masyarakat, yaitu an-
tara kelompok yang memiliki (pemilik) dan kelompok yang tidak me-
miliki serta menciptakan stratiikasi sosial dalam masyarakat yaitu
kelas pemilik dan kelas bukan pemilik.
Pada masa feodal, kontradiksi terjadi antara tuan tanah sebagai
pemilik tanah pertanian dan hamba sahaya sebagai orang yang tidak
memiliki alat produksi, yang bekerja bagi tuan tanah. Kontradiksi di-
alektis antara tuan tanah dan hamba sahaya menghasilkan sintesa
masyarakat kapitalis melalui perubahan cara produksi dan kekuatan
produksi meliputi perkembangan teknologi baru seperti ditemukan
mesin uap, pemintal dan industri lainnya serta perubahan hubungan
produksi seperti migrasi penduduk desa-pertanian ke daerah indus-
tri-perkotaan.
Pada masayarakat kapitalis, juga ditemukan kontradiksi yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

bersumber pada pemilikan dan pembagian kerja, yaitu antara ke-


las borjuis, sebagai pemilik alat produksi seperti mesin, gedung dan
modal lainnya, dan kelas proletar, sebagai kelompok yang bekerja
bagi kepentingan kapitalis. Perbedaan kelas yang ada bisa tidak dis-
adari, khususnya oleh kelas proletar. Kelas proletar tidak memiliki

26
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

kesadaran kelas, yaitu satu kesadaran subyektif akan kepentingan ke-


las obyektif yang mereka miliki bersama orang-orang lain dalam po-
sisi yang serupa dalam sistem produksi. Konsep “kepentingan” meng-
acu pada sumber-sumber material yang aktual yang diperlukan un-
tuk memenuhi kebutuhan atau keinginan individu (Johnson, 1986:
150-151). Keadaan ini disebabkan oleh superstruktur sosial-budaya
seperti ideologi, agama, dan aturan-perundangan dibangun di atas
infrastruktur ekonomi, yang notabene dikuasai oleh kelas borjuis.
Superstruktur budaya seperti itu menciptakan “kesadaran palsu”.
Bagaimana munculnya kesadaran kelas dan perjuangan kelas?
Kata Marx, terpusatnya kelas proletar dalam suatu daerah perkota-
an tertentu akan terbentuknya jaringan komunikasi. Sekali jaringan
komunikasi itu dibentuk dan kepentingan bersama menjadi jelas
maka dibentuklah organisasi kelas proletar melawan musuh bersama
(Johnson, 1986: 152). Ketika organisasi telah dibekembangkan maka
perlu ideologi yang mengikatnya. Krisis ekonomi masyarakat kapi-
talis bisa dijadikan momen untuk melakukan revolusi.

d. Tentang Agama
Pandangan Marx yang amat mengejutkan umat beragama adalah,
“agama sebagai candu masyarakat”. Pernyataan tersebut dapat dipa-
hami karena Marx melihat bahwa superstruktur sosio-budaya, —ter-
masuk di dalamnya ideologi, politik dan agama—, dibangun di atas
infrastruktur ekonomi. Semua institusi sosial, termasuk agama,
didirikan atas dasar infrastruktur ekonomi (yaitu, alat-alat produksi
dan hubungan sosial dalam produksi) dan menyesuaikan diri dengan
tuntutan-tuntutan dan persyaratan-persyaratan yang dimiliki oleh
infrastruktur ekonomi tersebut. Pengalaman ayahnya yang berpin-
dah agama dari Yahudi menjadi Protestan adalah contoh faktual dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

aktual dari pengalamannya berkaitan dengan agama dan ekonomi.


Oleh karena infrastruktur dikuasai oleh orang/kelompok yang
memiliki maka agama melayani kepentingan para pemilik melalui
berbagai ide, ritual dan praktek keagamaan. Dalam situasi seperti ini,
berbagai ide, ritual dan praktek keagamaan menciptakan kesadaran

27
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

palsu bagi para kaum yang tidak memiliki. Ketidaksadaran terhadap


kepentingan kelas objektif para kaum yang tidak memiliki karena
berbagai ide, ritual dan praktek keagamaan itulah yang menyebabkan
Marx melihat agama sebagai candu, yang menciptakan masyarakat
tidak sadar akan kepentingan objektif mereka.

2. Sumbangan Emile Durkheim (1858-1917)


Durkheim dilahirkan di Epinal Prancis pada 1858 dari
keluarga yahudi, ayahnya Rabi. Studi di Ecole Superieure
di Paris. Dari 1887 sampai 1902 menjadi gurubesar da-
lam ilmu-ilmu sosial di Bordeaux. Pada masa tersebut ia
berhasil menulis buku yang monumental yaitu tentang the
division of labor in Society, the Rules of Sociological Method,
dan Suicide. Setelah itu ia pindah ke Universitas Sorbonne
di Paris. Pada masa ini, ia kembali menerbitkan buku the
Elementary Forms of the Religious Life. Berbeda dengan
Karl Marx, sumbangan Emile Durkheim terhadap sosiologi pendidi-
kan lebih terasa, terutama berbagai ceramahnya tentang pendidikan
yang diterbitkan dalam beberapa buku seperti Education and Society
(1956), Moral Education (1961), dan Evolution of Educational hought
(1977). Berikut beberapa sumbangan Durkheim bagi sosiologi pen-
didikan.

a. Pendekatan Fungsionalisme Sosiologis


Untuk memisahkan sosiologi dari ilsafat sosial dan menegaskan
sosiologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang mandiri, maka
Durkheim menulis the Rules of Sociological Methods untuk menegas-
kan bahwa objek sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial meru-
pakan semua cara bertindak, berpikir dan merasa yang ada di luar
individu, bersifat memaksa dan umum. Fakta sosial, oleh karena itu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

memiliki tiga karakteristik: satu, eksternal, yaitu di luar individu.


Fakta sosial ada sebelum individu ada dan akan tetap ada setelah in-
dividu tiada. Dua, determined/coercive, yaitu fakta sosial memaksa in-
dividu agar selalu sesuai dengannya (fakta sosial). Tiga, general, yaitu

28
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

tersebar luar dalam komunitas/masyarakat, milik bersama, bukan


milik individu.
Adapun asumsi tentang fakta sosial meliputi: satu, gejala sos-
ial itu riel dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya
yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologi, atau karakteristik
individu lainnya. Dua, oleh karena gejala sosial adalah fakta yang riel,
maka gejala-gejala tersebut dapat diamati/dipelajari dengan metoda
empirik. Merujuk pada asumsi dan karakteristik fakta sosial di atas
maka, fakta sosial harus dianggap sebagai suatu hal yang nyata:
1. dalam bentuk material: yaitu barang sesuatu yang dapat disimak,
ditangkap, dan diobservasi seperti arsitektur dan norma hukum.
2. dalam bentuk non material: yaitu sesuatu yang dianggap nyata,
muncul dalam kesadaran manusia, seperti rasa hiba, kemarahan,
dan lain-lain.

Karena fakta sosial harus dianggap sebagai sesuatu yang nyata


maka fakta sosial dapat dikuantiikasikan, dijumlahkan, dan diukur.
Sebab itu pula ia dapat dinyatakan sebagai sesuatu angka (rate) sosial
seperti angka bunuh diri, angka mobilitas, tingkat kepopuleran calon
presiden, tingkat elektabilitas calon kepala daerah, dan sebagainya.
Selanjutnya, bagaimana strategi menjelaskan fakta sosial? Dasar
utama dalam strategi menjelaskan fakta sosial adalah fakta sosial
harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya.
Seperti bunuh diri dijelaskan dengan solidaritas. Strategi tersebut
meliputi: Satu, asal usul suatu gejala sosial (sebab-akibat). Dua, fung-
si-fungsi dari suatu gejala sosial. Misalnya, perayaan hari besar nasi-
onal 17 Agustus. Asal usul dari perayaan tersebut dapat ditelusuri
dari pengalaman kolektif tatkala terjadi peristiwa pembebasan. Se-
dangkan Fungsi perayaan atau mengapa upacara itu tetap ada adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

karena adanya kelangsungan keyakinan kolektif mengenai kesatuan


kolektif, yaitu mempertahankan masyarakat.

29
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

b. Tesis Solidaritas Sosial


Dalam bukunya the division of labor in Society, Durkheim menjelas-
kan tentang dua tipe solidaritas sosial dalam masyarakat, yaitu ma-
syarakat yang berlandaskan solidaritas mekanik dan solidaritas
organik. Pokok permasalahan dari gagasan atau ide buku tersebut
adalah pertanyaan tentang apa yang mengikat dan mempersatukan
orang? Apa yang mempersatukan orang, misalnya, antara di dalam
majlis taklim dan dalam perusahaan bisnis? Jawabannya dalam maje-
lis taklim orang disatukan karena adanya kesamaan kepercayaan,
cita-cita dan komitmen moral; sedangkan dalam perusahaan, orang
disatukan karena adanya diferensiasi dan spesialisasi, ada ikatan
seperti majelis taklim tapi tidak tegas. Untuk tujuan penguatan
pemahaman, perbandingan antara solidaritas mekanik dan solidari-
tas organik dapat dianalogkan perbandingan antara kapur tulis dan
tubuh manusia.

Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik antara Solidaritas Mekanik


dan Solidaritas Organik

Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik


Pembagian Kerja Rendah Tinggi
Kesadaran Kolektif Kuat Lemah
Hukum Dominan Represif Restitutif
Individualitas Rendah Tinggi
Konsensus Terpenting Pola Normatif Nilai Abstrak & Umum
Penghukuman Komunitas terlibat Badan kontrol sosial
Saling Ketergantungan Rendah Tinggi
Komunitas Primitif/Pedesaan Industri Perkotaan
Pengikat Kesadaran kolektif Pembagian kerja

Sumber: Johnson (1986: 188)


http://facebook.com/indonesiapustaka

Perbedaan antara masyarakat yang berlandaskan solidaritas


mekanik dan solidaritas organik memberi dampak pada perbedaan
dalam orientasi pendidikan, pengaruh pendidikan terhadap individ-
ualitas, ketergantungan, dan konsensus terpenting. pilihan politik,

30
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

perbedaan politik individual dengan komunal, dan seterusnya. Pada


masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik, misalnya, karena ter-
batasnya ketersediaan lembaga pendidikan maka orientasi pendidik-
annya juga terbatas, bisa jadi pada level pendidikan dasar. Orientasi
pendidikan seperti itu cenderung menekan individualitas dan memi-
liki saling ketergantungan yang rendah. Selanjutnya, konsensus ter-
penting pilihan merujuk pada pola normatif yang ada. Adapun pada
masyarakat yang berlandaskan solidaritas organik, orientasi pendi-
dikannya lebih luas karena ketersediaan beragam lembaga pendidi-
kan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Keberagaman
orientasi pendidikan tersebut menyuburkan individualitas dan sa-
ling ketergantungan antara sesama. Sementara konsensus terpen-
ting dalam masyarakat tipe ini merujuk pada nilai abstrak dan umum
yang tercantum dalam aturan perundangan dan hukum yang ada.

c. Teori Perubahan Sosial


Masih dalam bukunya the division of labor in Society, Durkheim
menerangkan bahwa perubahan dari solidaritas mekanik menjadi
solidaritas organik dimulai dengan adanya pertambahan penduduk
disertai oleh kepadatan moral, yaitu pertambahan penduduk disertai
pertambahan komunikasi dan interaksi antara para anggota. Kon-
sekuensinya perjuangan hidup menjadi tajam. Melalui pembagian
kerja, setiap orang mengalami spesialisasi bidang keahlian dan pe-
kerjaan sehingga konlik tidak muncul dan masyarakat dapat diper-
tahankan melaluinya.

d. Teori Moralitas
Teori moralitas merupakan pengembangan lanjut dari penerap-
an metodologi Durkheim tentang fakta sosial. Moralitas dapat dipan-
dang sebagai fakta sosial, karena ia memiliki karekteristik eksternal,
http://facebook.com/indonesiapustaka

umum, dan memaksa. Moralitas merupakan realitas yang berada di


luar individu. Moralitas hadir dalam kesadaran individu karena dipe-
lajari melalui proses sosialisasi. Oleh sebab itu, ia ada sebelum indi-
vidu itu ada dan akan tetap ada jika individu itu telah tiada. Karena
ia selalui ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya

31
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

melalui sosialisasi dalam masyarakat. Proses transmisi tersebut, atau


dikenal sebagai sosialisasi, menyebabkan moralitas tersebut hadir
dalam kesadaran semua anggota masyarakat, tidak bersifat individ-
ual. Selanjutnya, moralitas memiliki sifat memaksa, di mana semua
anggota masyarakat mengindahkan keberadaan fakta moralitas
tersebut. Jika tidak, akan ada sesuatu yang memaksa agar seseorang
untuk berperilaku, bertindak dan merasa seperti yang dikehendaki
oleh fakta moralitas.
Menurut Durkheim1 (1986: 150-255), moralitas memiliki tiga
unsur, yaitu semangat disiplin, ikatan pada kelompok, dan otonomi.
Pada dasarnya moralitas adalah suatu disiplin. Semua disiplin ber-
tujuan ganda: mengembangkan keteraturan tertentu dalam perilaku
masyarakat, dan memberinya sasaran tertentu yang sekaligus juga
membatasi cakrawalanya. Disiplin mengatur dan memaksa. Disip-
lin menjawab segala sesuatu yang selalu terulang dan bertahan lama
dalam hubungan antar manusia. Oleh karena itu disiplin mencip-
takan ikatan pada kelompok. Dengan demikian, moralitas memiliki
fungsi bagi bertahannya suatu masyarakat. Moralitas sebenarnya
perwujudan dari tujuan impersonal dan umum, yang tidak tergan-
tung dari pribadi dan kepentingan pribadi. Inilah bentuk otonomi
dari moralitas.

3. Sumbangan Max Weber (1864-1920)


Weber dilahirkan di Erfurt tahun 1864 sebagai anak
tertua dari 8 orang bersaudara. Ayahnya seorang otoriter
sedangkan ibunya adalah seorang saleh yang teraniaya.
Oleh karena itu terjadi cekcok hebat antara Max Weber
dengan ayahnya, sehingga dia mengusir ayahnya. Ia lebih
banyak dipengaruhi paman dan tantenya. Weber menge-
http://facebook.com/indonesiapustaka

cap berbagai pendidikan, antara lain ekonomi, sejarah,


hukum, ilosoi, dan teologi. Ia meraih gelar doktor dalam

1 Beberapa bab dalam ”Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas”, sebuah buku
yang disunting oleh Tauik Abdullah dan A.C. Van der Leeden, merupakan terjemahan
langsung dari buku Emile Durkheim yang berbahasa Prancis, yaitu L’education Morale
(1974).

32
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

studi organisasi dagang abad pertengahan. Ia diangkat jadi guru be-


sar dalam studi sejarah agraria Romawi di Berlin serta menjadi guru
besar ekonomi di Freiburg 1894 dan 1896 di Heidelberg.
Sumbangan pemikiran Max Weber dalam sosiologi pendidikan
dipandang tidak kalah pentingnya dengan Emile Durkheim, dan ten-
tunya melebihi kontribusi Karl Marx. Berikut beberapa sumbangan
pemikiran teoritis dan metodologis Weber pada sosiologi pendidikan:

a. Analisis Tipe Ideal dan Metode Verstehen


Analisis tipe ideal merupakan disain kategori-kategori inter-
aksi. Tipe ideal adalah jalan melingkar yang ditempuh untuk suatu
penjelasan. Tipe ideal tidak punya hubungan atau sangkut-paut de-
ngan penilaian normatif. Tipe idel adalah bentuk abstrak dari elemen
riel yang sengaja dibuat, memilih aspek-aspek suatu gejala yang keli-
hatan sama dengan konsistensi logis dan mengkonstruksikan suatu
keseluruhan dari aspek-aspek tersebut secara padu dan kompak.
Tujuan pembentukan tipe ideal adalah untuk memudahkan
analisa masalah konkrit. Dengan demikian tipe ideal adalah piranti
untuk analisa dan kegunaannya hanya dapat dinilai dengan mengem-
balikannya kepada atau mengaitkannya kembali dengan masalah
konkrit.
Sedangkan metode verstehen atau juga dikenal dengan metode
pemahaman interpretatif, yaitu suatu cara atau usaha untuk mema-
hami suatu tindakan arti/makna subyektif bagi dirinya dan dikaitkan
dengan orang lain. Ada beberapa cara untuk memahami (verstehen/
understanding) makna:
1. Rasional, yaitu sesuatu yang dipahami secara masuk akal. Misal-
nya, jika air membasahi sedangkan api membakar. Atau 1 + 1 = 2
bukan yang lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka

2. Empatik, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam


kerangka berpikir orang lain. Di sini peneliti melibatkan diri se-
cara emosional eksternal. Sering dalam kehidupan sehari-hari
kita menggunakan ungkapan berikut: “jika saya Anda, saya akan
melakukan hal yang sama “. Misalnya, kalau saya perempuan, se-

33
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

benarnya saya berkelamin laki-laki, ingin tampil menarik maka


saya juga menggunakan lipstik.
3. Apresiatif, adalah cara pemahaman arti subyektif sendiri untuk
memahami arti subyektif tindakan orang lain. Pemahaman terse-
but juga sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti jika
kaki kita ter(di)injak terasa sakit, maka demikian pula orang lain
merasakan sakit jika kaki mereka ter(di)injak. Oleh karena itu
kita harus berhati-hati agar kaki orang lain tidak ter(di)injak.

Pemahaman (undertanding) dapat dibagi dua jenis, yaitu: satu,


observational understanding/aktualles verstehen (pemahaman obser-
vasional atau pemahaman aktual), pemahaman melalui observasi
langsung atau ekspressi simbolis tanpa melihat konteks yang lebih
luas. Misalnya seseorang yang terserang kesedihan mendalam atau
kemarahan besar terlihat dari wajahnya. Seseorang yang dirundung
kesedihan mendalam tampak dari kerutan atau mimik wajah yang
sendu dan kelam. Sedangkan seseorang yang terserang kemarahan
besar terlihat dari wajah yang memerah, menahan marah.
Dua, explanatory understanding/eklarandes verstehen (pemaha-
man penjelasan) merupakan pemahaman dengan menempatkan
aksi ke dalam konteks makna yang lebih luas. Pemahaman ini men-
cari bentuk motif, yaitu: apa yang menyebabkan seseorang melaku-
kan hal seperti itu dalam situasi itu. Misalnya, seseorang membeli
gas tabung karena persediaan gas di rumahnya telah habis. Seseorang
harus memantik tombol pemantik kompor gas agar menyala apinya
sehingga bisa memanaskan makanan. Kata karena dan agar menun-
jukkan suatu motif. Kaitan antara bahagian yang disatukan oleh kata
karena dan agar menunjukkan suatu motif. Apabila konteks pemak-
naan persitiwa di atas diperluas maka bisa dipahami sebagai berikut:
seseorang membeli gas tabung karena persediaan gas di rumahnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

telah habis sehingga dia tidak bisa memanaskan makanan. Agar me-
nyala apinya dia harus memantik tombol pemantik kompor. Pemaha-
man penjelasan dapat dimengerti disebabkan oleh susunan keselu-
ruhannya memperlihatkan konsistensi logis, harmoni yang estetis,
atau kecocokan antara tujuan dan cara.

34
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

Setiap interpretasi pemahaman tentunya diusahakan mencapai


tingkat kejelasan dan kepastian yang tinggi. Meskipun demikian, be-
tapapun jelasnya interpretasi itu, tidak dapat dikatakan “causally val-
id” (absah secara kausal), itu hanya dilihat sebagai “peculiarly plausible
hypothesis” (sebagai hipotesa saja). Hal tersebut disebabkan karena:
1. motif yang disadari, bahkan oleh aktornya sendiri, dimungkink-
an menyelubungi motif lainnya yang merupakan pendorong uta-
ma aksi itu.
2. dua proses aksi yang bagi pengamat kelihatan persis sama ben-
tuknya, dapat saja didorong oleh dua motif yang sama sekali ber-
beda.
3. aktor dalam suatu situasi sering didorong oleh beberapa do-
rongan yang kontradiktif yang masing-masing dapat dipahami.
Dalam keadaan seperti, sukar sekali menduga dengan pasti do-
rongan yang mana menyebabkan terjadinya aksi itu.

Oleh karena studi ilmiah memerlukan veriikasi (pembuktian)


maka untuk menguji apakah hipotesa tersebut tidak salah dilakukan-
lah uji probability yaitu tindakan tertentu sesungguhnya dari kaitan
arti (motif) tertentu.

b. Tesis Perkembangan Kapitalisme


Dalam he Protestant Ethic and he Spirit of Capitalism, Weber me-
nyatakan bahwa ketelitian yang khusus, perhitungan dan kerja keras
dari Bisnis Barat didorong oleh perkembangan etika protestan yang
muncul pada abad ke-16 dan digerakkan oleh doktrin Calvinisme, yaitu
doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir menuntut adanya
kepercayaan bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselamatan
dan kecelakaan. Selain itu doktrin tersebut menegaskan bahwa ti-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dak seorangpun yang dapat mengetahui apakah dia termasuk salah


seorang yang terpilih. Dalam kondisi seperti ini menurut Weber,
pemeluk Calvinisme mengalami “panik terhadap keselamatan”. Cara
untuk menenangkan kepanikan tersebut adalah orang harus berpikir
bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkati Tuhan. Oleh

35
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk men-


capai keberhasilan, seseorang harus melakukan aktivitas kehidupan,
termasuk aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasi oleh disip-
lin dan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang-senang, yang di-
dorong oleh ajaran keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari Cal-
vinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa
masyarakat Barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis mod-
ern. Jadi, doktrin Calvinisme tentang takdir memberikan daya do-
rong psikologis bagi rasionalisasi dan sebagai perangsang yang kuat
dalam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam
tahap-tahap pembentukannya.
Hubungan antara semangat kapitalisme dan etika Protestan,
oleh karena itu, memiliki kaitan konsistensi logis dan pengaruh mo-
tivasional yang bersifat mendukung secara timbal balik. Hubungan
semacam itu disebut sebagai elective ainity. Hubungan tersebut
menghantarkan kapitalisme mentransformasi diri dalam bentuk
modern, yang bercirikan: tata buku/akutansi rasional, hukum rasion-
al, teknik rasional (mekanisasi), dan.massa buruh menerima upah di
pasar bebas karena mereka perlu untuk memperoleh penghasilan.
Apa kaitan tesis semangat kapitalisme dan etika Protestan den-
gan sosiologi pendidikan? Tesis tersebut memberikan inspirasi bagi
sosiolog atau ilmuan sosial berikutnya untuk mengembangkan suatu
teori dan praksis dalam mengembangkan suatu pelatihan dan pen-
didikan yang akan meningkatkan motivasi dan kemampuan yang di-
miliki, seperti tesis Need for Achievement dari McClelland, total quality
management, spritual capital, dan lainnya.

c. Tipologi Tindakan Sosial, Kewenangan, dan Birokrasi


Tindakan sosial, seperti telah didiskusikan pada Bab 1, merupak-
http://facebook.com/indonesiapustaka

an suatu tindakan individu yang memiliki arti atau makna (meaning)


subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang lain. Weber men-
emukan bahwa tindakan sosial tidak selalu memiliki dimensi rasional
tetapi terdapat berbagai tindakan non rasional yang dilakukan oleh
orang, termasuk dalam tindakan orang dalam kaitannya dengan as-

36
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

pek pendidikan dari kehidupan. Weber menemukan 4 tipe dari tinda-


kan sosial, yaitu:
1. Tindakan rasional instrumental (Zweckrationalität/instrumental-
ly rational action), yaitu suatu tindakan yang dilakukan berdasar-
kan pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam kaitannya de-
ngan tujuan suatu tindakan dan alat yang dipakai untuk meraih
tujuan yang ada. Misalnya kenapa para pengusaha banyak men-
jadi calon anggota legislatif? Ternyata dari pengalaman hidup
para pengusaha dalam dunia bisnis, kehidupan mereka tidak bisa
dilepaskan dari dunia politik. Oleh sebab itu mengombinasikan
dua aspek kehidupan, yaitu bisnis dan politik, merupakan usaha
yang strategis untuk meraih kesempatan (di dalamnya terdapat
keuntungan material) yang lebih besar dibandingkan jika hanya
berbisnis saja. Tindakan pengusaha tersebut dapat dipandang
sebagai tindakan rasional instrumental.
2. Tindakan rasional nilai (Wertrationalität/value rational action),
yaitu tindakan di mana tujuan telah ada dalam hubungannya
dengan nilai absolut dan nilai akhir bagi individu, yang diper-
timbangkan secara sadar adalah alat mencapai tujuan. Memberi
infaq dan sadhaqah di kalangan umat Islam, misalnya, dapat dili-
hat sebagai tindakan rasional nilai. Menjadi hamba Allah yang
diridhoi dan meraih surga di akhirat kelak merupakan tujuan
yang berorientasi kepada nilai absolut dan nilai akhir. Pilihan
memberi infaq dan sadhaqah sebanyak mungkin sebagai alat
untuk meraih tujuan yang berorientasi kepada nilai absolut dan
nilai akhir tersebut tidak bisa dinilai apakah lebih eisien dan
efektif dibandingkan mengerjakan sholat sunat, misalnya.
3. Tindakan afektif (afectual action), yaitu tindakan yang didomi-
nasi perasaan atau emosi tanpa releksi intelektual atau peren-
http://facebook.com/indonesiapustaka

canaan yang sadar. Misalnya tindakan-tindakan yang dilakukan


karena cinta, marah, takut, gembira sering terjadi tanpa diikuti
dengan pertimbangan rasional, logis dan ideologis. Ketika dua
anak manusia berlainan jenis sedang dilanda badai asmara, mi-
salnya, yang menyebabkan mereka mengalami “mabuk cinta”,.

37
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

tidak jarang mereka melakukan suatu tindakan yang tidak ra-


sional dan logis, sehingga seolah-olah merasakan “tahi gigi jadi
cokelat”.
4. Tindakan tradisional (traditional action), yaitu tindakan karena
kebiasaan atau tradisi. Tindakan tersebut dilakukan tanpa re-
leksi yang sadar dan perencanaan. Apabila ditanyakan kenapa
hal tersebut dilakukan? Jawaban yang diberikan adalah karena
nenek moyang mereka telah melakukannya semenjak dahulu
kala. Oleh karena itu tradisi ini harus dilanjutkan, kata pelaku
tindakan tradisional. Jika ditanyakan kepada para aktivis maha-
siswa, sebagai suatu contoh, kenapa mereka masih melakukan
plonco terhadap mahasiwa baru? Jawaban mereka adalah ini su-
dah jadi tradisi mahasiswa. Alasan untuk menciptakan keakrab-
an yang dilontarkan mahasiswa untuk menopang alasan tradisi
sering dipatahkan oleh argumentasi bahwa secara sosiologis dan
psikologis manusia cenderung untuk berteman. Oleh sebab itu
tidakpun ada plonco, mahasiswa junior akan berusaha berteman
dengan seniornya. Lagipula kenapa harus dengan pemaksaan
jika tujuannya untuk menciptakan hubungan antara senior dan
junior?

Tipologi tindakan sosial yang dilukiskan di atas bisa memberi-


kan pemahaman bagi kita terhadap tindakan sosial dari para prak-
tisi pendidikan seperti guru/dosen, manajemen lembaga pendidikan,
komite sekolah, pengawas pendidikan, dan sebagainya. Dari sisi ini,
Weber menuntun kita memahami realitas mikro dari suatu realitas
pendidikan.
Tindakan sosial dari berbagai individu mengonstruksi suatu
bangunan dasar bagi struktur-struktur sosial yang lebih besar, salah
satunya adalah kewenangan (authority/Herrschaft). Konstruksi ban-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gunan kewenangan, oleh karena itu, tidak bisa dilepaskan dari ber-
bagai tipe tindakan sosial yang ada. Suatu tindakan sosial bisa men-
gonstruksi suatu bentuk kewenangan tertentu. Tindakan sosial ra-
sional instrumental, misalnya, bisa mengonstruksi kewenangan yang
bersifat legal-rasional.

38
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

Berbeda dengan jumlah dari tipologi tindakan sosial dengan 4


tipe, Weber membangun tipologi kewenangan dengan 3 tipe, yaitu:
kewenangan tradisional, kewenangan kharismatik, dan kewenangan
legal-rasional. Tindakan tradisional mengkristalkan dan memper-
tahankan kewenangan tradisional. Tindakan rasional-instrumental
dapat melahirkan dan mempertahankan suatu kewenangan legal-
rasional. Bagaimana dengan tindakan rasional nilai? Tindakan ra-
sional nilai bisa mengongunstruksi kewenangan legal-rasional dan
tindakan afektif. Sedangkan tindakan afektif mampu mengonstruksi
kewenangan.
Weber juga melihat bagaimana tipe tindakan sosial tertentu
mempengaruhi suatu administrasi organisasi, tentunya termasuk
sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Weber dalam he heory of
Social and Economic Organization menemukan administrasi organisa-
si tradisional tidak eisien, boros dan tidak rasional. Oleh karena itu,
Weber mengusulkan suatu tipe ideal untuk administrasi organisasi
(birokrasi) agar mencapai tingkat eisiensi dan efektivitas yang lebih
tinggi yang dilandasi pada tindakan legal-rasional.
Sumbangan tak kalah pentingnya dari Weber terhadap sosiologi
pendidikan adalah tulisannya tentang “Rasionalisasi” Pendidikan dan
Pelatihan, yang merupakan sub dari bab tentang Birokrasi dalam bu-
kunya Sosiologi, yang diedit oleh Hans H. Gerth dan C. Wright Mills
atau salah satu sub bab tentang Bureaucracy and Education dalam
Economy and Society. Dalam tulisannya Weber membuat perbedaan
antara dua tipe pendidikan, yaitu tipe pendidikan rasionalis yang
menghasilkan tipe “manusia spsialis” (specialist type of man) dan tipe
pendidikan non rasional (tradisional feodalis) yang membuahkan
tipe “manusia terpelajar” (cultivated type of man).
Adapun tipe ideal birokrasi modern yang diusulkan oleh Weber
http://facebook.com/indonesiapustaka

memiliki karakteristik sebagai berikut:


1. Berbagai aktivitas reguler yang diperlukan untuk pencapaian
tujuan-tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara
yang baku sebagai kewajiban-kewajiban resmi.

39
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2. Organisasi kantor-kantor mengikuti prinsip hirarki, yaitu setiap


kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan penga-
wasan yang lebih tnggi.
3. Operasi-operasi birokratis diselenggarakan “melalui suatu sis-
tem kaidah-kaidah abstrak yang konsisten ...(dan) terdiri atas pe-
nerapan kaidah-kaidah ini terhadap kasus-kasus spesiik”.
4. Pejabat yang ideal menjalankan kantornya... berdasarkan im-
personalitas formalistik, ‘Sine ira et studio,’ tanpa kebencian atau
kegairahan, dan karenanya tanpa antusiasme atau afeksi”.
5. Perekrutan dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualiika-
si-kualiikasi teknis dan yang terhindar dari tindakan pemecatan
yang sewenang-wenang. Ada satu sistem promosi berdasarkan
senioritas atau prestasi atau menurut kedua-duanya.
6. Tipe organisasi administrasi yang murni birokratis, dalam arti
teknis murni, mampu mencapai tingkat eisiensi yang paling
tinggi.

4. Sumbangan George Herbert Mead (1863-1931)


George Herbert Mead (1863-1931) mem-
peroleh pendidikan di bidang ilsafat dan men-
gaplikasikannya dalam kajian psikologi sosial.
Mead memperoleh sarjana muda di Oberlin
College serta memperoleh pendidikan di Har-
vard. Atas permintaan John Dewey, Mead me-
niti karir Universitas Chicago sampai akhir
hayatnya.
Di dalam buku Mind, Self, and Society, Mead menjelaskan tahap
pengembangan diri (self) manusia. Ketika anak manusia lahir, dia be-
lum memiliki diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui
http://facebook.com/indonesiapustaka

interaksi dengan orang lain. Pengembangan diri manusia berlangsung


melalui beberapa tahap, yaitu tahap prepatory atau tahap play stage,
tahap pertandingan (game stage), dan tahap the generalized other. Hal
ini akan didiskusikan secara mendalam pada bab berikutnya.

40
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

Mead juga mengajukan konsep diri sebagai “I” dan “me”. “I”
merupakan diri sebagai subjek, bagian diri yang aktif, spontan, dan
kreatif. Sedangkan “me” adalah diri sebagai objek, merupakan sikap
yang diinternalisasi melalui interaksi kita dengan orang lain. Dalam
sosialisasi, individu dilihat bukan merupakan makhluk yang pasif,
tetatpi sebaliknya sebagai aktor aktif yang mengevaluasi reaksi orang
lain dan mengorganisasikkannya dalam satu kesatuan yang meny-
eluruh. Individu menampilkan diri berdasarkan berbagai pilihan diri
yang tersedia (me).

B. PENGUAT FONDASI SOSIOLOGI PENDIDIKAN


Penguat fondasi dimaksud sebagai para tokoh teori sosiologi
yang melakukan suatu aktivitas ilmiah untuk mengembangkan,
merevisi, dan mempertajam teori yang telah dikembangkan oleh
para peletak fondasi seperti yang disebut sebelumnya di atas, seperti
Marx, Durkheim, Weber, dan Mead. Adapun tokoh penguat fondasi
sosiologi pendidikan yang diperbincangkan adalah antara lain

1. Sumbangan Alfred Schutz (1889-1959)


Alfred Schutz lahir di Wina pada 13 April
1889. Dia mengikuti kuliah di Universitas
Wina dalam bidang ilmu hukum, ekonomi,
dan sosiologi.pada 1918-1921. Selama di
Wina, dia juga menghadiri kuliah yang diberi-
kan oleh Max Weber. Setelah meraih dok-
tor, dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah
bank di Wina. Kemudian pindah bekerja se-
bagai penasehat hukum pada sebuah bank swasta. Pada tahun 1939
http://facebook.com/indonesiapustaka

migrasi ke Amerika. Baru pada tahun 1943 menjadi akademisi dan


meninggal dunia pada 20 Mai 1959.
Dalam pandangan Schutz, Max Weber tidak serius mengem-
bangkan apa yang dimaksud Weber tentang verstehen (interpretative
understanding), atau disebut dengan pemahaman interpretatif, dan

41
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

teori makna. Schutz (1972: 8) menyebutkan bahwa: “Weber tidak


membedakan antara action, yang dianggap sebagai sesuatu yang ma-
sih sedang berlangsung, dan acts yang sudah selesai, antara makna
penghasil suatu benda kultural dan makna benda yang dihasilkan,
antara makna tindakan (action) saya dan makna tindakan orang
lain”. Jadi Weber, kata Schutz, mengembangkan teori makna tanpa
mendiskusikan bagaimana makna itu sendiri muncul, dipertah-
ankan, dikembangkan, dan diubah. Topik inilah dikembangkan oleh
Schutz sehingga pemikirannya dikenal sebagai fenomenologi, yaitu
studi tentang cara bagaimana di mana fenomena—hal-hal yang kita
sadari—muncul kapada kita, dan cara yang paling mendasar dari per-
munculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman
inderawi (streams of experience) yang berkesinambungan yang kita
terima melalui panca indera kita (Craib, 1985: 128).
Aliran pengalaman inderawi tersebut sebenarnya tidak punya
arti, ulas Craib (1985: 129). Mereka mempunyai kegunaan-kegunaan,
nama-nama, dan bagian-bagian yang berbeda-beda. Aliran pengalam-
an inderawi tersebut mengalami proses tipikasi, yaitu suatu proses
penggolongan atau klasiikasi dari pengalaman dengan melihat kese-
rupaannya. Setelah tipikasi, orang selanjutnya membuat serangkaian
kriteria yang dengannya orang mengorganisir pengalaman inderawi
kita ke dalam suatu dunia yang bermakna, disebut juga sebagai “kon-
teks makna” (meanings contexs). Mereka memberi tanda tertentu ke-
pada saya, katakanlah mengenai siapa diri saya. Saya mengalaminya,
sehingga muncul kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang
sangat mentah tersebut, untuk menciptakan makna.
Konteks makna tersebut diorganisir secara bersama sehingga
terbentuklah “stok pengetahuan” (stock of knowledge). Stok pengeta-
huan, kata Craib, bukanlah pengetahuan tentang dunia, melainkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

merupakan segala kegunaan-kegunaan praktis dari dunia itu sendiri.


Stok pengetahuan yang diterima secara begitu saja (taken for granted)
dan dimiliki bersama dengan orang lain merupakan dasar bagi du-
nia sosial (lifeworld/lebenswelt), yaitu landasan bagi semua aktivitas-
aktivitas kita.

42
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

Apa sumbangan lain dari pemikiran Schutz kepada sosiologi pen-


didikan? Menurut Schutz dalam menjalankan kehidupan sehari-hari
kita terus menerus menafsirkan makna subyektif dari orang-orang
lain. Proses ini berlangsung terus dan oleh Schutz (Robinson, 1986:
26) dibedakan antara interpretasi dari 2 motif yang ada, yaitu “in-
order-to” (“untuk”/tujuan) dan “because of” (“karena”/sebab). Mo-
tif “in-order-to” (“untuk”/tujuan) merujuk pada suatu keadaan pada
masa yang akan datang di mana aktor berkeinginan untuk mencapa-
inya melalui beberapa tindakannya. Oleh karena itu motif seperti ini
bersifat objektif sebab hanya saya sendiri kemungkinan mengetahui
tentang apa yang ingin saya capai di masa yang akan datang. Sedang-
kan motif “because of” (“karena”/sebab) merujuk pada suatu keadaan
pada masa lampau. Motif seperti ini bersifat objektif, menggambar-
kan masa lampau yang ditafsirkan oleh masa kini.

2. Sumbangan Antonio Gramsci (1891-1937)


Antonio Gramsci dilahirkan di Sardinia
pada 1891. Dia pergi ke Turin sebagai seorang
mahasiswa di sana dan aktif sebagai seorang
komentator politik dan jurnalis sampai 1918.
Setelah itu ia aktif dalam politik melalui keter-
libatan dalam gerakan buruh dan Partai Sosia-
lis Italia serta kemudian mendirikan Partai Ko-
munias Itali. Pada tahun 1926, dia dipenjara oleh pemerintah fasis
dan meninggal di dana pada tahun 1937.
Gramsci dipandang sebagai seorang intelektual yang dipengaruhi
pemikiran Marx. Pemikiran Gramsci yang paling banyak dikutip oleh
para ilmuan sosial dan humaniora adalah konsep hegemoni. Seder-
hananya, menurut Robinson (1986: 46), hegemoni dapat dipahami
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebagai “pengaruh yang memimpin”. Dengan mengutip Williams,


Robinson menulis hegemoni sebagai satu keseluruhan himpunan ke-
biasaan dan harapan-harapan; penggunaan energi kita, pemahaman
kita yang biasa mengenai kodrat manusia dan dunianya. Ia merupa-
kan satu perangkat makna-makna dan nilai-nilai yang, sebagaimana,

43
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

terjadi dalam praktek, tampak sebagai saling memperkuat. Atau juga


bisa dipahami melalui pemahaman Strinati (2003: 188-196) yang
melihat ia sebagai sarana kultural maupun ideologis di mana ke-
lompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat, termasuk pada
dasarnya tetapi bukan secara eksklusif kelas penguasa, melestarikan
dominasinya dengan mengamankan ”persetujuan spontan” kelom-
pok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja, melalui pencip-
taan negosiasi konsensus politik maupun ideologis yang menyusup
ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang didominasi.
Apa hubungan antara konsep hegemoni dengan sosiologi pendi-
dikan? Pendidikan dilihat memiliki peran yang strategis dalam meng-
absahkan hegemoni yang dominan. Ia mensosialisasikan kaum muda
bukan hanya fakta-fakta dunia tetapi juga tentang sikap terhadap
fakta tersebut. Kaum intelektual dapat memainkan peranan penting
untuk mempertahankan statusquo yang ada, termasuk hegemoni ke-
budayaan dominan. Namun sebaliknya juga kaum intelektual dapat
pula membangun suatu budaya kebudayaan kontra-hegemoni yang
melaluinya kebudayaan dominan dapat dilawan.

3. Sumbangan (1902-1979) Talcott Parsons


Talcott Parsons lahir 13 Desember 1902 di Colo-
rado Springs, Colorado, Amerika Serikat dari seorang
anak pendeta yang intelektual. Ia menamatkan sarjana
mudanya dalam bidang studi biologi di Kolese Amherst
(1920-1924). Bidang studi ini dikemudian hari mem-
berikan fondasi dalam cara memandang kenyataan hidup
di tengah masyarakat. Kemudian dia mengikuti program
pasca sarjana di London School of Economics pada tahun
1924. selanjutnya dia pergi ke Heidelberg, Jerman, tem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pat ia memulai tesis doktoralnya, sehingga dia berkenalan dengan


berbagai karya ilmuan sosial Jerman seperti Karl Marx, Max Weber,
dan Sombart.
Parsons merupakan salah seorang tokoh utama yang mempo-
pulerkan pendekatan sistem dalam sosiologi kontemporer. Suatu

44
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

sistem, menurut Parsons, hanya bisa fungsional apabila semua


persyaratan terpenuhi. Apa saja persyaratan fungsional yang dibu-
tuhkan oleh suatu sistem? Ada empat persyaratan fungsional yang
dibutuhkan oleh suatu sistem, yaitu: Adaptation/adaptasi (A), Goal
attainment/pencapaian tujuan (G), Integration/integrasi (I), dan La-
tent pattern maintenance/pola pemeliharaan laten (L).
Prasyarat fungsional adaptasi (A) merupakan suatu kebutuhan
sistem untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi-
nya. Lingkungan dapat berupa sosial maupun non sosial/isik. Me-
lalui adaptasi, sistem mampu menjamin apa yang dibutuhkan dari
lingkungannya serta mendistribusikan sumber-sumber tersebut ke
dalam seluruh sistem.
Goal attainment/pencapaian tujuan (G) merupakan prasyarat
fungsional yang menentukan tujuan dan skala pioritas dari tujuan-
tujuan yang ada. Setiap orang bertindak selalu diarahkan oleh suatu
pencapaian tujuan. Namun, perhatian utama bukan terfokus pada
tujuan pribadi individual, melainkan diarahkan pada tujuan bersama
para anggota dalam suatu sistem sosial.
Prasyarat fungsional integrasi (I) adalah suatu kebutuhan sistem
yang dapat mengkoordinasikan dan menciptakan kesesuaian antar
bagian-bagian atau anggota-anggota dalam suatu sistem. Fungsi in-
tegrasi bisa terpenuhi apabila bagian-bagian atau anggota-anggota
dalam suatu sistem berperan sesuai dengan fungsinya dalam satu
keseluruhan. Agar sistem sosial berfungsi efektif sebagai satu kesat-
uan, harus terdapat paling kurang suatu tingkat solidaritas di antara
bagian atau individu yang termasuk di dalamnya. Masalah integrasi
menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional
yang cukup yang menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk beker-
jasama dikembangkan dan dipertahankan. Ikatan-ikatan emosional
http://facebook.com/indonesiapustaka

tersebut tidak boleh tegantung pada keuntungan yang diterima atau


sumbangan yang diberikan untuk tercapainya tujuan individu atau
kolektif. Jika tidak, solidaritas sosial dan kesediaan untuk kerjasama
akan jauh lebih goyah sifatnya, karena hanya didasarkan pada ke-
pentingan diri pribadi semata (Johnson, 1986: 130).

45
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan laten (L) adalah


prasyarat fungsional yang dibutuhkan sistem untuk menjamin kes-
inambungan tindakan dalam sistem sesuai dengan beberapa aturan
atau norma-norma. Konsep laten menunjuk pada sesuatu yang
tersembunyi atau tidak kelihatan. Kenapa perlu prasyarat fungsional
ini? Apabila sistem sosial menghadapi kemungkinan terjadinya dis-
integrasi atau perpecahan, maka ada pola pemeliharaan yang tersem-
bunyi yang dapat memelihara agar sistem tetap terintegrasi atau
tetap terpelihara.
Bagaimana hubungan antar persyaratan fungsional tersebut?
Hubungan antar persyaratan fungsional bersifat saling pengaruh-
mempengaruhi secara timbal balik. Untuk lebih sederhananya lihat
igur berikut ini.

Figur 2.1. Hubungan Antar Persyaratan Fungsional

Adaptation
Goal attainment

Latent pattern
Integration
maintenance

Dari bagan di atas terlihat, di satu sisi, bahwa setiap persyaratan


fungsional memiliki batas yang jelas dan tegas dengan persyaratan
fungsional lainnya. Namun, disi lain, suatu persyaratan fungsional
dapat memberikan masukan (input) dan ouput bagi persyaratan
fungsional lainnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sistem sosial, seperti halnya sistem yang lain, memiliki per-


syaratan fungsional AGIL. Dalam sistem sosial, kebutuhan fungsio-
nal AGIL diemban beberapa sub-sistem seperti sistem ekonomi,
polity (sistem politik), komunitas societal, dan Fiduciary (sistem so-
sialisasi). Ekonomi merupakan sub-sistem yang bertanggungjawab

46
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

terhadap pemenuhan persyaratan fungsional adaptif (A) dalam suatu


sistem sosial. Kegiatan produksi dalam sub-sistem ekonomi meru-
pakan suatu usaha adaptif manusia agar dapat bertahan hidup (sur-
vive) dengan mengubah alam menjadi fasilitas yang dapat digunakan
atau sesuatu yang sangat bermanfaat untuk bermacam tujuan indi-
vidu dan kolekif, termasuk mencukupi kebutuhan dasar isik-biologis
manusia sebagai organisme.
Sementara itu dalam sistem sosial, polity (sistem politik) meru-
pakan sub-sistem yang memikul tanggungjawab untuk memenuhi
persyaratan fungsional pencapaian tujuan (G). Sistem politik, yang
dilakoni oleh suatu pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudika-
tif), menentukan tujuan dan skala pioritas dari tujuan-tujuan yang
ada. Setiap unsur atau bagian dari sistem politik bertindak selalu
diarahkan oleh suatu pencapaian tujuan. Tujuan individual, secara
teoritis, berbeda dengan tujuan komunitas societal. Tujuan individual
berkaitan dengan tujuan komunitas societal, manakala peran dimain-
kan seseorang berhubungan dengan perannya sebagai warganegara.
Dalam sistem politik, partai politik dan kelompok kepentingan me-
miliki pengaruh terhadap penentuan tujuan masyarakat.
Sedangkan kebutuhan prasyarat fungsional integrasi dalam
sistem sosial diemban oleh komunitas societal. Seperti telah dike-
mukakan di atas bahwa integrasi menunjuk pada persyaratan untuk
mengkoordinasikan dan menciptakan kesesuaian antar bagian-ba-
gian atau anggota-anggota dalam suatu sistem. Yang diperlihatkan
oleh suatu tingkat solidaritas minimal sehingga bagian-bagian atau
anggota-anggotanya akan bersedia untuk bekerjasama dan meng-
hindari terjadinya konlik yang akan merusak. Dalam komunitas
societal, Parsons menemukan bahwa sistem hukum, kontrol sos-
ial, kebiasaan dan norma antarpribadi serta agama sebagai suatu
http://facebook.com/indonesiapustaka

mekanisme utama yang berkaitan dengan masalah integrasi dalam


sistem sosial.
Terakhir, prasyarat kebutuhan fungsional pemeliharaan pola
laten dalam sistem sosial dipikulkan tanggungjawabnya kepada
sistem iduciary (sistem sosialisasi). Konsep iduciary menunjuk pada

47
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

peranan-peranan sebagai wali yang dilakukan oleh para pengemban


tradisi kultural maupun mereka yang memindahkan tradisi tersebut
pada anggota masyarakat. Dalam masyarakat Minangkabau, misal-
nya, peran iduciary diemban oleh lembaga “tigo tungku sajarangan”,
yaitu ninik mamak (penghulu/datuk), alim ulama, dan cerdik pandai.

4. Sumbangan Louis Althusser (1918-1990)


Louis Althusser lahir pada 1918 di Bir-
mandreis Aljazair dari pasangan Charles Al-
thusser dan Lucienne Berger. Ayahnya beker-
ja sebagai manajer di sebuah perbankan. Dia
diterima menjadi mahasiswa di the Ecole
Normale Supérieure pada tahun 1939 dan
menyelesaikan tesis masternya pada tahun
1948. Pemikiran Althusser dipengaruhi oleh
cara pandang Marx, namun cara pandang yang direvisi oleh Althusser
sendiri. Secara amat sederhana, menurut Strinati (2003: 167), tujuan
Althusser adalah mengukuhkan Marxisme sebagai sebuah ilmu pen-
getahuan dan melepaskannya dari determinisme ekonomi.
Untuk memahami inti dari pemikiran Althusser, ada baiknya di-
kutip pernyataan Strinati (2003: 169-170):
“masyarakat harus dipertimbangkan dalam hal relasi antar struk-
tur daripada suatu esensi beserta ekspresinya. Basis ekonomi atau
cara produksi, dan superstruktur atau politik dan ideologi, mela-
hirkan struktur-struktur terkait satu sama lain secara pasti. Su-
perstruktur politik dan ideologi bukan semata-mata merupakan
ekspresi esensi basis ekonomi. Pada contoh akhir, basis ekonomi
akan menjadi penentu dikarenakan dampaknya terhadap struk-
tur-struktur lain maupun dinamika masyarakat secara keseluru-
han. Namun hal ini tidak mencegah superstruktur untuk menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

“relatif mandiri” dari basisnya, atau dari melaksanakan kekuasaan,


atau memberikan pengaruh tersendiri terhadap basis tersebut
maupun terhadap kecepatan serta arah perubahan sosial. Dalam
dunia nyata, determinisme ekonomi tidak pernah dalam bentuk
murninya sehingga keberadaannya sukar untuk diputuskan dan

48
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

dijabarkan dari berbagai pengaruh lainnya.”

Seperti pertanyaan kita di atas, apa sumbangan pandangan Al-


thusser pada soiologi pendidikan? Althusser, menurut Robinson
(1986: 47), memandang negara sebagai sebuah mesin penindasan,
yang memungkinkan kelas-kelas berkuasa ... menjamin dominasi
mereka atas kelas buruh. Althusser menegaskan bahawa proses ini
berlangsung melalui “aparat represif” negara seperti polisi dan ten-
tara, serta “aparat ideologinya” seperti pendidikan, keluarga, dan me-
dia-massa. Ia melihat sekolah mengambil anak-anak dari setiap kelas
pada usia taman kanak-kanak, lalu selama bertahun-tahun ... dalam
keadaan terjepit antara aparat negara berupa keluarga dan aparat
negara berupa pendidikan, kepada mereka dipompakan ... sejumlah
tertentu “know-how” yang dibungkus ideologi yang berkuasa atau
malahan ideologi ideologi yang berkuasa itu sendiri dalam keadaan-
nya yang murni.

5. Sumbangan Piere Bourdieu (1930-2002)


Piere Bourdieu dilahirkan di kota kecil selatan Perancis pada ta-
hun1930. Dia diterima di the Ecole Normale
Supérieure pada tahun 1950-an, namun
dia tidak menulis tesis masternya karena
ketidaksetujuan terhadap struktur sekolah
yang otoriter. Dia aktif menentang orien-
tasi komunis dari sekolahnya. Pengalaman
wajib militer selama 2 tahun di Aljazair pada
1958-1960 mendorongnya untuk menulis
buku. Setelah itu dia kembali ke Paris dan mengajar sebagai asisten
di Universitas Paris. Dia mengikuti kuliah Levi-Straus di College de
France dan menjadi asisten Raymond Aron. Ketika kedudukan pe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

mimpin College de France lowong karena Raymond Aron memasuki


pensiun pada 1981, Bourdieu menggantikannya. Semenjak itu dia
memegang peranan kunci dalam sosiologi Perancis.
Sumbangan terbesar dari Bourdieu terhadap sosiologi pendidi-
kan adalah idenya tentang kapital yang dihubungkan dengan pendidi-

49
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

kan. Bourdieu melihat bahwa terdapat hubungan antara pendidikan


dengan tentang kapital budaya dan kapital simbolik. Kedua kapital
tersebut direproduksi dan dilanjutkan melalui sekolah. Hal ini akan
dibahas lebih detil pada bab Pendidikan sebagai kapital.

C. TEORI SOSIOLOGI SEBAGAI PENDEKATAN


Pada bab Pengertian dan Ruang Lingkup, telah disinggung sebe-
lumnya, bahwa salah satu pendekatan sosiologi adalah teori sosiologi
itu sendiri. Teori merupakan alat untuk melakukan analisis. Oleh se-
bab itu, teori bukan merupakan tujuan suatu analisis, tetapi meru-
pakan alat untuk memahami kenyataan atau fenomena, dalam hal
ini ekonomi. Sebagai alat untuk memahami kenyataan atau fenom-
ena, suatu teori kadangkala tidak mampu secara tuntas menganalisis
sesuatu. Oleh karenanya, melalui suatu penelitian, teori tersebut di-
pertajam, diperkuat, atau bahkan sebaliknya dibantah dengan suatu
kenyataan atau fenomena.
Dalam sosiologi, teori telah mengalami perkembangan yang san-
gat pesat sekali. Dalam bab ini kita hanya membatasi empat teori
saja, yaitu dua pada tingkatan makro dan dua pada mikro. Perbedaan
antara makro dan mikro berkisar pada tingkatan mana suatu analisis
itu dilakukan, apakah pada tingkatan individu/interaksi atau pada
tataran struktur. Jika analisis dilakukan pada tataran individu/inter-
aksi maka dikenal sebagai teori mikro; sebaliknya jika pada tingkatan
struktur maka dikenal dengan teori makro. Pembahasan berkisar
pada baik teori sosiologi makro maupun teori sosiologi mikro: yaitu
teori struktural fungsional dan teori struktural konlik sebagai teori
sosiologi makro serta teori interaksionisme simbolik dan teori pertu-
karan sebagai teori sosiologi mikro.
http://facebook.com/indonesiapustaka

1. Teori Struktural Fungsional


Teori Struktural Fungsional menjelaskan bagaimana berfung-
sinya suatu struktur. Setiap struktur (mikro seperti persahabatan,
meso seperti organisasi dan makro seperti masyarakat dalam arti

50
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

luas seperti masyarakat Jawa) akan tetap ada sepanjang ia memiliki


fungsi. Oleh sebab itu, kemiskinan misalnya, akan tetap ada sepan-
jang ia memiliki fungsi. Apa fungsi kemiskinan? Herbert Gans (1972)
menemukan 15 fungsi kemiskinan bagi masyarakat Amerika, yaitu:
1) menyediakan tenaga untuk pekerjaan kotor bagi masyarakat. 2)
memunculkan dana-dana sosial (funds). 3) membuka lapangan kerja
baru karena dikehendaki oleh orang miskin. 4) pemanfaatkan barang
bekas yang tidak digunakan oleh orang kaya. 5) menguatkan norma-
norma sosial utama dalam masyarakat. 6) menimbulkan altruisme
terutama terhadap orang-orang miskin yang sangat membutuhkan
santunan. 7) orang kaya dapat merasakan kesusahan hidup miskin
tanpa perlu mengalaminya sendiri dengan membayangkan kehidu-
pan si miskin. 8) orang miskin memberikan standar penilaian kema-
juan bagi kelas lain. 9) membantu kelompok lain yang sedang beru-
saha sebagai anak tangganya 10) kemiskinan menyediakan alasan
bagi munculnya kalangan orang kaya yang membantu orang miskin
dengan berbagai badan amal. 11) menyediakan tenaga isik bagi
pembangunan monumen-monumen kebudayaan. 12) budaya orang
miskin sering diterima pula oleh strata sosial yang berada di atas
mereka. 13) orang miskin berjasa sebagai “kelompok gelisah” atau
menjadi musuh bagi kelompok politik tertentu. 14) pokok isu menge-
nai perubahan dan pertumbuhan dalam masyarakat selalu diletakkan
di atas masalah bagaimana membantu orang miskin. 15) kemiskinan
menyebabkan sistem politik menjadi lebih sentris dan lebih stabil.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah fungsi kemiskinannya sama
seperti AmeDona? Coba Anda amati fenomena kemiskinan yang be-
rada di sekitar Anda, bandingkan dengan apa yang telah dikatakan
Gans tersebut.
Apakah korupsi merupakan suatu hal fungsional bagi masyara-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kat Indonesia? Kalau jawabannya ya, apa fungsi korupsi? Dengan


mengikuti cara berpikir Gans tentang kemiskinan, kita temukan be-
berapa fungsi korupsi, yaitu: 1) katub penyelamat bagi orang yang
mempunyai pendapatan rendah. 2) sarana bagi-bagi (redistribusi)
pendapatan. 3) cara singkat menjadi kaya. Fungsi korupsi bisa anda

51
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

perpanjang sesuai dengan pengalaman Anda.

Asumsi Teori Struktural Fungsional


Sampai bahasan ini, apakah Anda sudah paham tentang struk-
tural fungsional? Jika belum, mari kita pahami melalui pendapat
Ralp Dahrendorf (1986: 196) tentang asumsi dasar yang dimiliki oleh
teori struktural fungsional

a. Setiap Masyarakat Terdiri Dari Berbagai Elemen yang Terstruktur Secara


Relatif Mantap dan Stabil.
Ketika Anda bangun pagi, seperti biasa, Anda berwudhu un-
tuk melaksanakan sholat subuh. Setelah itu Anda bersiap untuk
mandi, berpakaian, dan sarapan pagi. Selanjutnya Anda mening-
galkan rumah menuju tempat kerja. Pada saat di tempat kerja Anda
melakukan tugas dan melaksanakan fungsi seperti yang telah digaris-
kan oleh aturan tempat kerja Anda. Ketika menjelang siang, Anda
bersiap-siap untuk beristirahat, makan siang, dan sholat. Pada sore
hari, Anda mulai merapikan pekerjaan untuk dilanjutkan besok jika
masih belum selesai atau menyerahkan hasil pekerjaan jika selesai.
Menjelang petang Anda bersama keluarga di rumah menyambut
datangnya malam. Setelah selesai shalat magrib, Anda makan malam
bersama keluarga. Kemudian sesudah shalat isya Anda bersiap istra-
hat tidur yang mungkin diselingi dengan melakukan aktiitas waktu
senggang seperti membaca majalah, menonton telivisi, atau memba-
ca Al Quran. Orang lain juga melakukan hal yang sama dengan Anda,
tentunya dengan beragam variasi yang ada. Kegiatan Anda dan orang
lain dilakukan dalam suatu sistem interaksi antar orang dan kelom-
pok. Anda tidak bisa melakukannya sendiri, tetapi bersama orang
lain, baik membantu maupun dibantu orang lain. Setiap individu
yang bersama Anda tersebut memiliki sumbangan tersendiri bagi
http://facebook.com/indonesiapustaka

berlangsungnya kebersamaan tersebut. Demikianlah aktiitas Anda


dalam masyarakat, juga aktiitas orang lain dalam masyarakat. Ke-
giatan seperti itu anda lakukan secara mantap dan stabil: dari hari ke
hari terus ke bulan terus ke tahun, Anda rasakan relatif sama, hampir

52
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

tidak berubah.
Berdasarkan pandangan teori struktural fungsional, Anda dapat
dipandang sebagai elemen dalam masyarakat; seperti juga orang lain
sebagai elemen dari masyarakat. Jaringan hubungan antara Anda dan
orang-orang lain yang terpola dilihat sebagai masyarakat. Jaringan
hubungan yang terpola tersebut mencerminkan struktur elemen-ele-
men yang relatif mantap dan stabil. Kenapa dilihat sebagai sesuatu
relatif stabil dan mantap? Karena dari hari ke hari terus ke bulan te-
rus ke tahun, dirasakan relatif sama, hampir tidak berubah. Kalau-
pun berubah terjadi secara evolusi, berubah secara perlahan-lahan.
Perubahan tersebut tidak begitu terasa. Terasanya perubahan terse-
but pada saat memperbandingkannya dari suatu titik waktu dengan
titik waktu lain yang sangat berjarak, misalnya sepuluh tahun. Mis-
alkan menggunakan jangka waktu sepuluh tahun untuk memper-
bandingkan pola busana remaja. Andaikan Anda memperbandingkan
pola busana remaja pada tahun 1990-an dengan tahun 2000-an. Coba
Anda perhatikan, perubahan apa yang Anda temukan?

b. Elemen-Elemen Terstruktur Tersebut Terintegrasi Dengan Baik


Anda baru saja memahami bahwa jaringan hubungan antara Anda
dan orang-orang lain yang terpola dilihat sebagai masyarakat. Ja-
ringan hubungan yang terpola tersebut mencerminkan struktur ele-
men-elemen yang terintegrasi dengan baik. Artinya, elemen-elemen
yang membentuk struktur memiliki kaitan dan jalinan yang bersi-
fat saling mendukung dan saling ketergantungan antara satu dengan
lainnya. Anda perlu contoh, bukan? Anda, misalnya, sebagai pegawai
negeri sipil di kelurahan adalah salah satu elemen dari masyarakat.
Ada banyak elemen lain dari masyarakat dimana Anda berhubungan
secara timbal-balik yang bersifat saling mendukung dan saling keter-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gantungan misalnya pak lurah sebagai atasan Anda, Mpok Atun si


tukang cuci keluarga, Bang Togar si penambal ban motor Anda, Kang
Asep si loper koran Anda, Uda Buyung si penjual nasi, Bang Abdi si
penjual barang harian, dan lain sebagainya. Hubungan yang berjalin
berkulindan bersifat saling mendukung dan saling ketergantungan
tersebut membuahkan struktur elemen-elemen terintegrasi dengan

53
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

baik.

c. Setiap Elemen dalam Struktur Memiliki Fungsi,


yaitu Memberikan Sumbangan pada Bertahannya Struktur itu Sebagai
Suatu Sistem
Setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi. Apa maksudnya?
Untuk menjawabnya mari kita kembali kepada contoh di atas. Anda
adalah salah satu dari elemen dari struktur. Seperti telah dikemu-
kakan di atas, Anda adalah PNS memiliki tugas dan fungsi sebagai
aparat birokrasi. Anda adalah sekrup (mur) dari sebuah mesin bi-
rokrasi, yang bertugas dan berfungsi memberikan pelayanan publik
bagi masyarakat. Adapun Mpok Atun si tukang cuci keluarga mem-
berikan pelayanan rumahtangga, khususnya mencuci pakaian kelu-
arga Anda. Sehingga Anda dan keluarga bisa tampil rapih dihadapan
publik. Bang Togar si penambal ban motor menyediakan jasa tambal
ban sehingga kerja Anda lancar pada saat ban motor Anda bocor.
Kang Asep si loper koran menjembatani Anda memperoleh informasi
terkini tentang yang terjadi hari ini, akan datang dan sebelumnya.
Sementara Uda Buyung menyediakan masakan Padang yang Anda
butuhkan pada saat lapar. Sedangkan Bang Abdi menjual barang ha-
rian yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari. Semua sumbang-
an yang ada (dari Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda
Buyung dan Bang Abdi) membeDonan sumbangan bagi bertahannya
struktur itu sebagai suatu sistem. Bisakah Anda bayangkan jika salah
satu fungsi tersebut tidak ada elemen yang mempunyainya? Akan
terjadi kekacauan, bukan! Kehadiran Mpok Atun menyebabkan Anda
tidak perlu mengalokasikan waktu dan tenaga kerja untuk mencuci.
Begitu juga dengan Bang Togar. Apa jadinya jika tidak ada tukang
tambal motor seperti Bang Togar. Tentu akan menjadi chaos. Jadi,
semua elemen yang ada mempunyai fungsi. Fungsi tersebut mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

berikan sumbangan bagi bertahannya suatu struktur sebagai suatu


sistem.

d. Setiap Struktur yang Fungsional Dilandaskan pada Suatu Konsensus Nilai

54
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

di antara para Anggotanya.


Untuk memahami ini mari kita ambil sebuah contoh. Salah
satu struktur yang sering mempengaruhi hidup Anda adalah ke-
luarga. Tentu anda tahu banyak hal tentang keluarga Anda bukan!
Apa fungsi bapak dalam keluarga batih, yaitu keluarga yang terdiri
dari bapak, ibu berserta anak-anaknya? Anda akan menjawab bahwa
fungsi bapak dalam keluarga adalah pencari nafkah utama keluarga,
pelindung keluarga, dan pendidik anak-anak. Kemudian, apa fungsi
ibu dalam keluarga? Anda akan menjawab bahwa fungsi ibu adalah
pendidik utama anak-anak, penjaga konsumsi keluarga, dan benda-
hara keluarga. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang menetapkan fung-
si tersebut? Mungkin Anda ragu menjawabnya. Fungsi bapak dan ibu
yang Anda katakan tadi sudah ada sebelum kedua orangtua Anda la-
hir. Maksudnya ide atau gagasan tentang fungsi kedua orangtua telah
ada jauh sebelum orangtua Anda ada di muka bumi ini. Artinya, ide
atau gagasan tersebut telah menjadi konsensus nilai dalam masyara-
kat berupa adat kebiasaan, tata kelakuan, atau lainnya.
Mari kita lanjutkan dengan contoh lainnya, yaitu antara Anda
bersama saudara Anda. Katakanlah Anda bersaudara 3 orang, dimana
Anda punya seorang kakak dan adik. Anda bertiga ingin membantu
orangtua melakukan pekerjaan rumahtangga yang Ada. Oleh karena
itu, Anda bersepakat melakukan pembagian kerja antara tiga orang
bersaudara. Hasil kesepakatan tersebut menghasilkan anda menger-
jakan pekerjaan dapur, kakak membersihkan rumah, sedangkan adik
melakukan pekerjaan taman. Kesepakatan yang Anda buat bersama
saudara Anda merupakan suatu konsensus antara tiga orang ber-
saudara. Kesepakatan tersebut dilandasi oleh keinginan membantu
orangtua. Dalam masyarakat Indonesia, ide tentang membantu
orang tua merupakan ide yang berasal dari nilai budaya dan agama
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dianut.
Berdasarkan dua contoh tersebut diatas, telah memperlihatkan
bahwa fungsi dari elemen-elemen yang terstruktur dilandasi atau
dibangun diatas konsensus nilai diantara para anggotanya. Konsen-
sus nilai tersebut berasal baik dari kesepakatan yang telah ada dalam

55
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

suatu masyarakat seperti adat kebiasaan, tata perilaku, dan sebagain-


ya maupun kesepakatan yang dibuat baru.

2. Teori Struktural Konflik


Teori Struktural Konlik menjelaskan bagaimana struktur me-
miliki konlik. Berbeda dengan teori struktural fungsional yang
menekankan pada fungsi dari elemen-elemen pembentuk struktur,
teori struktural konlik melihat bahwa setiap struktur memiliki ber-
bagai elemen yang berbeda. Elemen-elemen yang berbeda tersebut
memiliki motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang berbeda-be-
da pula. Perbedaan tersebut memberikan sumbangan bagi terjadinya
disintegrasi, konlik, dan perpecahan. Konlik ada dimana-mana.
Setiap struktur terbangun didasarkan pada paksaan dari beberapa
anggotanya atas orang lain. Melalui teori ini dipahami bahwa buta
huruf terjadi karena adanya perbedaan akses antara berbagai orang
terhadap sumber-sumber langka seperti barang, jasa, informasi dan
kekuasaan. Perbedaan akses ini terjadi karena struktur tertentu yang
tercipta atau diciptakan oleh kelompok tertentu dipakaikan terhadap
kelompok lain. Seperti itulah inti dari teori struktural konlik.

Asumsi Teori Struktural Konflik


Untuk menuju pada tingkatan pemahaman yang lebih men-
dalam, mari kita dalami pendapat Ralp Dahrendorf (1986: 197-198)
tentang asumsi dasar yang dimiliki oleh teori struktural konlik.

a. Setiap Masyarakat, dalam setiap hal, Tunduk pada Proses Perubahan;


Perubahan Sosial Terdapat di mana-mana.
Berbeda dengan teori struktural fungsional yang melihat ma-
syarakat selalu dalam keadaan keseimbangan (ekuilibrium), teori
struktural konlik melihat masyarakat pada proses perubahan. Hal
http://facebook.com/indonesiapustaka

tersebut terjadi karena elemen-elemen yang berbeda sebagai pemben-


tuk masyarakat (struktur sosial) mempunyai perbedaan pula dalam
motif, maksud, kepentingan, atau tujuan. Perbedaan yang ada terse-
but menyebabkan setiap elemen berusaha untuk mengusung motif
atau tujuan yang dipunyai menjadi motif, atau tujuan dari struktur.

56
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

Ketika motif atau tujuan diri dari suatu elemen telah menjadi bagian
dari struktur maka elemen tersebut cenderung untuk memperta-
hankannya di satu sisi. Sedangkan pada sisi lain, elemen lain terus
berjuang mengusung motif atau kepentingan dirinya menjadi motif
atau kepentingan struktur. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut
adalah perubahan yang senantiasa diperjuangkan oleh setiap elemen
terhadap motif, maksud, kepentingan, atau tujuan diri.
Kita lanjutkan dengan contoh diatas. Anda sebagai pegawai negri
sipil, Mpok Atun si tukang cuci keluarga, Bang Togar si penambal ban
motor Anda, Kang Asep si loper koran Anda, Uda Buyung si penjual
nasi, dan Bang Abdi si penjual barang harian adalah elemen-elemen
dari struktur sosial yang memiliki motif, maksud, kepentingan, atau
tujuan yang berbeda. Perjuangan Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang
Asep. Uda Buyung, dan Bang Abdi dalam meraih motif, maksud, ke-
pentingan, atau tujuan yang dimiliki merupakan penggerak terhadap
perubahan dalam struktur sosial di mana mereka berada. Sepanjang
mereka tetap berjuang meraih motif, maksud, kepentingan, atau tu-
juan yang dipunyai maka sepanjang itu pula perubahan dalam struk-
tur terus bergerak

b. Setiap Masyarakat, dalam setiap hal, Memperlihatkan Pertikaian dan


Konflik; Konflik Sosial Terdapat di mana-mana.
Kita telah diskusikan bahwa setiap struktur sosial terdiri dari
beberapa elemen yang memiliki motif, maksud, kepentingan, atau
tujuan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut merupakan
sumber terjadinya pertikaian dan konlik diantara berbagai elemen
dalam struktur sosial. Selama perbedaan tersebut masih terdapat di
dalam struktur, maka selama itu pula pertikaian dan konlik dimung-
kinkan ada. Pertanyaannya adalah apakah mungkin elemen-elemen
dalam struktur tidak memiliki perbedaan dalam motif, maksud, ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pentingan, atau tujuan? Tidak, kata ahli teori struktural konlik.


Untuk pemahaman lebih lanjut, kita masih tetap dengan con-
toh yang disajikan di atas. Perbedaan motif, maksud, kepentingan,
atau tujuan antara Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep. Uda

57
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Buyung, dan Bang Abdi merupakan sumber penyebab terjadinya


konlik antar elemen dalam struktur di mana mereka berada. Perti-
kaian dan konlik akan tetap ada sepanjang mereka memiliki motif,
maksud, kepentingan, atau tujuan yang tidak sama. Namun seperti
diingatkan di atas, ketidaksamaan motif, maksud, kepentingan, atau
tujuan adalah realitas kehidupan sosial, menurut teoritisi konlik.

c. Setiap Elemen dalam Suatu Masyarakat Menyumbang Disintegrasi dan


Perubahan
Perbedaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan dari berb-
agai elemen, seperti dijelaskan diatas, merupakan sumber pertikaian
dan konlik. Selanjutnya, pertikaian dan konlik menyebabkan disin-
tegrasi dan perubahan dalam struktur sosial. Ini berarti bahwa berb-
agai elemen yang membentuk struktur tersebut mempunyai sumban-
gan terhadap terjadinya disintegrasi dan perubahan dalam struktur
tersebut.
Kita masih menggunakan contoh di atas sebagai ilustrasi bagi
pemahaman yang lebih dalam. Karena adanya perbedaan motif,
maksud, kepentingan, atau tujuan antara Anda, Mpok Atun, Bang
Togar, Kang Asep. Uda Buyung, dan Bang Abdi maka dimungkinkan
terjadinya perpecahan dan konlik antar mereka. Pada gilirannya,
pertikaian dan konlik antara sesama mereka akan menghasilkan
disintegrasi dan perubahan dalam masyarakat. Dengan demikian,
Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep. Uda Buyung, dan Bang
Abdi memiliki sumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan
dalam masyarakat.

d. Setiap Masyarakat Didasarkan pada Paksaan dari Beberapa Anggotanya


Atas Orang Lain
Keteraturan, keharmonisan atau kenormalan yang terlihat da-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lam masyarakat, dipandang oleh teoritisi konlik, sebagai suatu hasil


paksaan dari sebagian anggotanya terhadap sebagian anggota yang
lainnya. Kemampuan memaksa dari sebagian anggota masyarakat
berasal dari kemampuan mereka untuk memperoleh kebutuhan
dasar yang bersifat langka seperti hak istimewa, kekuasaan, keka-

58
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

yaan, pengetahuan, dan prestise lainnya.


Sekarang kita masuk ke dalam contoh. Katakanlah bahwa keter-
aturan, keharmonisan dan kenormalan yang Anda temui di provinsi
dimana Anda tinggal berasal dari pelaksanaan aturan perundan-
gan yang ada. Jika Anda sependapat dengan itu maka Anda tentu
sependapat pula bahwa aturan perundangan tersebut dibuat oleh se-
bagian dari anggota masyarakat yang memiliki kewenangan untuk
merumuskan, memutuskan dan menetapkan suatu aturan perun-
dangan seperti top eksekutif dan anggota legislatif. Dalam kenyata-
annya, belum tentu semua anggota legislatif setuju dengan semua isi
suatu aturan perundangan. Demikian pula rakyat belum tentu setu-
ju. Oleh karena aturan perundangan tersebut sudah ditetapkan dan
berlaku maka dengan terpaksa semua rakyat, tanpa terkecuali, harus
patuh.

3. Teori Interaksionisme Simbolik


Teori interaksionisme simbolik memahami realitas sebagai suatu
interaksi yang dipenuhi berbagai simbol. Kenyataan merupakan in-
teraksi interpersonal yang menggunakan simbol-simbol. Penekanan
pada struktur oleh dua teori makro yang dibahas sebelumnya, yai-
tu struktural fungsional dan struktural konlik, telah mangabaikan
proses interpretatif dimana individu secara aktif mengkonstruksi-
kan tindakan-tindakannya dan proses interaksi di mana individu me-
nyesuaikan diri dan mencocokkan berbagai macam tindakannya den-
gan mengambil peran dan komunikasi simbol (Johnson, 1986: 37).
Untuk memahami lebih jelas tentang teori interaksionisme sim-
bolik, mari kita lihat apa asumsi yang ada dalam teori ini. Kemudian
kita akan diskusikan bagaimana pandangan salah seorang teoritisi
interaksionisme simbolik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Asumsi Teori Interaksionisme Simbolik


Dalam mendiskusikan asumsi teori interaksionisme simbolik,
kita menggunakan pendapat dari Turner (1978: 327-330). Menurut
Turner ada empat asumsi dari teori interaksionisme simbolik, yaitu:

59
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

a. Manusia Adalah Makhluk yang Mampu Menciptakan


dan Menggunakan Simbol
Tindakan sosial dipahami suatu tindakan individu yang memi-
liki arti atau makna (meaning) subjektif bagi dirinya dan dikaitkan
dengan orang lain. Dalam proses melakukan tindakan sosial terdapat
proses pemberian arti atau pemaknaan. Proses pemberian arti atau
pemaknaan menghasilkan simbol. Ketika tindakan sosial dilakukan
oleh dua orang atau lebih maka pada saat itu dua anak manusia atau
lebih sedang menggunakan atau menciptakan simbol.
Selanjutnya kita masuk kepada sebuah contoh. Misalkan Anda
mempunyai seorang adik kecil atau keponakan yang masih anak-anak.
Karena Anda belajar sosiologi maka rasa ingin tahu Anda terhadap
apa, kenapa dan bagaimana orang berpikir atau melakukan sesuatu
itu tinggi. Ketika Anda dapati adik atau anak kecil sedang bermain
dengan teman sebayanya, Anda menyapa mereka dengan bertanya,
“sedang ngapaian, dek?”. Mereka menjawab sedang mengenderai mo-
bil. Apa yang dimaknai sebagai mobil adalah sofa di ruangan tamu.
Jadi, pada saat mereka bermain, mereka menciptakan simbol, yaitu
dengan memaknai sofa di ruangan tamu sebagai simbol mobil. Pada
saat yang sama, mereka juga menggunakan simbol mobil, misalnya
melalui mulut mereka dikeluarkan bunyi suara mobil sedang melaju
kencang.
Kehidupan orang dewasa lebih kurang seperti anak kecil diatas:
orang dewasa menggunakan dan menciptakan simbol. Perbedaan
antara anak kecil dan orang dewasa terletak pada tingkat kerumit-
an atau kesederhanaan penciptaan dan penggunaan simbol. Dalam
dunia orang dewasa, penciptaan dan penggunaan simbol berkaitan
banyak aspek lain kehidupan seperti aspek kekuasaan, spritualitas,
ekonomi, dan sebagainya. Sedangkan dalam dunia anak-anak, pen-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ciptaan dan penggunaan simbol terbatas sampai bagaimana mereka


bisa saling berkomunikasi tanpa ada kaitannya dengan aspek lain dari
kehidupan. Sarung dalam dunia orang dewasa, misalnya, bisa dimak-
nai dengan berbagai macam cara. Sarung bisa diinterpretasikan seba-
gai simbol kekolotan, keterbelakangan atau ketradisionalan. Tetapi

60
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

juga bisa dimaknai sebagai simbol kesederhanaan atau kereligiusan.

b. Manusia Menggunakan Simbol untuk Saling Berkomunikasi


Untuk apa manusia menciptakan atau menggunakan simbol?
Jawabannya adalah untuk saling berkomunikasi. Manusia mencip-
takan simbol melalui pemberian nilai atau pemaknaan terhadap
sesuatu (baik berupa bunyi, kata, gerak tubuh, benda, atau hal yang
lainnya). Sesuatu yang telah diberi nilai atau makna disebut dengan
simbol. Melalui simbol tersebut manusia saling berkomunikasi.
Kembali kepada contoh kita diatas, pemaknaan sofa di ruang tamu
sebagai simbol mobil. Pada saat bermain, termasuk bermain mobil-
mobilan oleh anak-anak diatas, mereka perlu saling berkomunikasi.
Bermain tidak akan bisa berlangsung atau terjadi jika tidak terjadi
saling berkomunikasi. Oleh sebab itu, anak-anak menggunakan sofa
sebagai simbol mobil agar mereka bisa saling berkomunikasi untuk
bisa saling bermain.
Pasti contoh yang paling jelas dan tegas adalah bahasa. Seperti
Anda ketahui, bahasa adalah simbol utama yang diperlukan dalam
berkomunikasi. Oleh sebab itu, sukar dibayangkan seseorang dapat
berkomunikasi jika tidak dapat menguasai satupun bahasa, paling
tidak bahasa isyarat. Sebuah komunikasi akan berjalan lancar, apa-
bila pihak-pihak yang terlibat komunikasi menggunakan simbol yang
dapat dipahami secara bersama. Biasanya simbol yang dapat dipaha-
mi bersama adalah bahasa pengantar yang dapat dipakai dimana saja
seperti bahasa nasional atau bahasa internasional (bahasa Ingris).

c. Manusia Berkomunikasi Melalui Pengambilan Peran (Role Taking)


Untuk memahami asumsi ini, terlebih dahulu Anda harus pa-
ham dengan konsep pengambilan peran (role taking). Pengambilan
peran (role taking) merupakan proses pengambilan peran yang yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengacu pada bagaimana kita melihat situasi sosial dari sisi orang
lain di mana dari dia kita akan memperoleh respon. Dalam proses
pengambilan peran, seseorang menempatkan dirinya dalam kerang-
ka berpikir orang lain. Jadi, seseorang mengambil peran polisi, mis-
alnya, adalah berusaha menempatkan diri dalam kerangka berpikir

61
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

polisi, atau melihat situasi atau perilaku seseorang seperti yang di-
lakukan oleh polisi. Atau contoh lain, Anda mengambil peran guber-
nur, misalnya, adalah berupaya memposisikan diri dalam perspektif
berpikir gubernur, atau melihat situasi atau atau perilaku seseorang
seperti yang dilakukan oleh gubernur. Kita akan kembali ke topik ini
ketika membicarakan pengambilan peran politik melalui perspektif
George Herbert Mead pada bab selanjutnya.

d. Masyarakat Terbentuk, Bertahan, dan Berubah Berdasarkan Kemampuan


Manusia untuk Berpikir, untuk Mendefinisikan,
untuk Melakukan Refleksi Diri dan untuk Melakukan Evaluasi
Masyarakat dibentuk, dipertahankan dan diubah berdasarkan
kemampuan manusia yang dikembangkan melalui interaksi sosial.
Kemampuan manusia dalam berpikir, mendeinisikan, releksi-diri
dan evaluasi berkembang melalui interaksi sosial. Jadi, proses in-
teraksi sosial adalah sangat penting dalam mengembangkan ke-
mampuan manusia. Dengan kemampuan tersebut, melalui proses
interaksi juga, manusia membentuk, mempertahankan dan merobah
masyarakat. Misalnya, lembaga perkawinan dibentuk, dipertahankan
dan diubah melalui kemampuan aktor-aktor, yang membentuknya,
dalam berpikir, mendeinisikan, releksi diri dan evaluasi melalui in-
teraksi sosial.

4. Teori Pertukaran
Teori pertukaran melihat dunia ini sebagai arena pertukaran,
tempat orang-orang saling bertukar ganjaran/hadiah. Apapun ben-
tuk perilaku sosial seperti persahabatan, perkawinan, atau perceraian
tidak lepas dari soal pertukaran. Semua berawal dari pertukaran, be-
gitu kata tokoh teori pertukaran. Untuk memahami teori ini lebih
dalam kita akan membahas asumsi yang dikandung dalam teori ini
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan selanjutnya didiskusikan pandangan salah seorang tokoh ten-


tang teori ini.

Asumsi Teori Pertukaran


Apabila kita pahami dari berbagai pemikiran teori yang dikemu-

62
BAB 2 Pendekatan Sosiologi tentang Pendidikan

kakan oleh George Caspar Homans, Peter M. Blau, Richard Emerson,


John hibout dan Harold H. Kelly maka dapat ditarik suatu pemaha-
man bahwa teori pertukaran memiliki asumsi dasar sebagai berikut:

a. Manusia adalah makhluk yang rasional, dia memperhitungkan untung


dan rugi
Pemikiran tentang manusia merupakan makhluk yang rasional
telah didiskusikan di atas. Teori pertukaran melihat bahwa manusia
terus menerus terlibat dalam memilih di antara perilaku-perilaku
alternatif, dengan pilihan mencerminkan cost and reward (biaya dan
ganjaran) yang diharapkan berhubungan dengan garis-garis perilaku
alternatif itu. Tindakan sosial dipandang ekuivalen dengan tindakan
ekonomis. Suatu tindakan adalah rasional berdasarkan perhitungan
untung rugi.
Dalam rangka interaksi sosial, aktor mempertimbangkan keun-
tungan yang lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkannya (cost
beneit ratio). Oleh sebab itu, semakin tinggi ganjaran (reward) yang
diperoleh makin besar kemungkinan suatu prilaku akan diulang. Se-
baliknya, makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment)
yang akan diperoleh maka makin kecil kemungkinan prilaku yang
sama akan diulang.
Teori pertukaran dapat digunakan untuk memahami mengapa
kelompok berpendidikan rendah tidak memilih-milih pekerjaan
dibandingkan dengan yang lebih tinggi. Pengalaman masa lampau
telah banyak memberikan pelajaran bahwa tidak memilih-milih pe-
kerjaan akan dapat bertahan hidup (survive). Atau kita bisa memaha-
mi, misalnya, mengapa orang menciptakan hubungan persahabatan?
Melalui teori pertukaran, kita pahami bahwa persahabatan dibuat
dan dipertahankan karena disana diperoleh keuntungan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

b. Perilaku Pertukaran Sosial Terjadi Apabila: (1) Perilaku Tersebut Harus


Berorientasi pada Tujuan-Tujuan yang Hanya dapat Dicapai Melalui
Interaksi dengan Orang Lain” dan (2) Perilaku Harus Bertujuan untuk

63
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Memperoleh Sarana Bagi Pencapaian Tujuan-Tujuan Tersebut.


Asumsi dari Blau ini, menurut Poloma (1984), juga sejalan den-
gan pemikiran Homans tentang pertukaran. Perilaku sosial terjadi
melalui interaksi sosial yang mana para pelaku berorientasi pada
tujuan. Untuk memperoleh kasih sayang, misalnya, seseorang harus
berorientasi pada perolehan kasih sayang tersebut. Perolehan kasih
sayang tersebut hanya mungkin dilakukan melalui interaksi dengan
orang lain. Tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Perilaku untuk
mendapatkan kasih sayang tersebut memerlukan sarana bagi penca-
paiannya, misalnya, hubungan persahabatan atau perkawinan. Dalam
hubungan persahabatan atau perkawinan, pihak terlibat (antara dua
sahabat atau antara suami istri) melakukan interaksi dengan meng-
orientasikan perilakunya untuk memperoleh kasih sayang. Dengan
cara tersebut pertukaran sosial bisa terjadi.

c. Transaksi-Transaksi Pertukaran Terjadi Hanya Apabila Pihak yang Terlibat


Memperoleh Keuntungan dari Pertukaran itu
Sebuah tindakan pertukaran tidak akan terjadi apabila dari pi-
hak-pihak yang terlibat ada yang tidak mendapatkan keuntungan
dari suatu transaksi pertukaran. Keuntungan dari suatu pertukaran,
tidak selalu berupa ganjaran ekstrinsik seperti uang, barang-barang
atau jasa, tetapi juga bisa bisa ganjaran intrinsik seperti kasih sayang,
kehormatan, kecantikan, atau keperkasaan.
Seperti yang telah dikatakan di atas, tidak mungkin bertepuk
sebelah tangan. Dalam kaitan dengan asumsi ini, tidak mung-
kin suatu pertukaran sosial terjadi kalau satu pihak saja mendapat
keuntungan, sedangkan yang lain tidak mendapat apa-apa, apalagi
kalau pihak lain tersebut justru mendapatkan kerugian. Hubungan
persahabatan atau hubungan perkawinan, seperti telah kita bahas di
http://facebook.com/indonesiapustaka

atas, tidak mungkin terjadi kalau ada pihak yang tidak memperoleh
keuntungan, apalagi ada pihak yang merugi karena hubungan terse-
but. Jika ada pihak yang tidak mendapatkan apa-apa atau malah rugi
maka hubungan persahabatan atau perkawinan tersebut bisa bubar,
menurut pandangan teori ini.

64
bab
3 SOSIALISASI

A. PENGERTIAN SOSIALISASI
Sejak lama para ilmuan, termasuk sosiolog, tertarik untuk me-
ngetahui apa yang menjadi sifat manusiawi pada sifat manusia.
Sejauhmanakah ciri-ciri orang berasal dari “alam” (keturunan), dan
sejauhmana dari “asuhan” (lingkungan sosial/social environment)?
Ciri-ciri orang bisa dikenal sebagai kepribadian (personality) atau diri
(self). Dalam kaitan inilah maka pembahasan sosialisasi dalam sosio-
logi pendidikan menjadi pokok bahasan utama.
Dalam kehidupan sehari-hari, seperti telah disinggung pada bab
1, konsep sosialisasi sering disinonimkan dengan konsep diseminasi.
Padahal kedua konsep tersebut berbeda secara signiikan maksud
dan tujuannya. Oleh karena itu untuk mempertegas pengertian dan
mempertajam pemahaman tentang sosialisasi maka konsep ini ada
baiknya dibahas kembali pada bab ini. Para ahli sosiologi, antropologi
dan psikologi telah banyak membahas pengertian atau merumus-
kan batasan sosialiasi. Berikut beberapa pengertian sosialisasi yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

dibuat oleh berbagai pakar:

1. Paul. B. Horton dan Chester. L. Hunt


Horton dan Hunt (1989: 100) memberi batasan sosialisasi seba-
gai “suatu proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah-
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

dagingkan, internalize) norma-norma kelompok di mana ia hidup


sehingga timbullah “diri” yang unik”.

2. David. B Brinkerhoff dan Lynn. K. White


Brinkerhof dan White (1989: 90) memberikan penekanan yang
berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Horton dan Hunt. Bagi
Brinkerhof dan White, sosialisasi diberi pengertian sebagai “suatu
proses belajar peran, status dan nilai yang diperlukan untuk keikut­
sertaan (partisipasi) dalam institusi sosial.”

3. James. W. Vander Zanden


Berbeda dengan dua deinisi di atas, Zanden (1986: 60) mendei­
nisikan sosialisasi sebagai “suatu proses interaksi sosial dengan mana
orang memperoleh pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku esensial
untuk keikutsertaan (partisipasi) efektif dalam masyarakat.”
Dari tiga deinisi di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua
hal yang penting dalam suatu proses sosialisasi, yaitu satu, tentang
proses, yaitu suatu transmisi pengetahuan, sikap, nilai, norma, dan
perilaku esensial. Kedua, tentang tujuan, yaitu sesuatu yang diperlu­
kan agar mampu berpartisipasi efektif dalam masyarakat.

B. JENIS SOSIALISASI
Sebelum mendiskusikan lebih jauh tentang sosialisasi, ada baik­
nya kita coba memahami jenis sosialisasi dari berbagai sisi, yaitu an­
tara lain sosialisasi berdasarkan kebutuhan, cara yang digunakan,

1. Sosialisasi Berdasarkan Kebutuhan


Berdasarkan kebutuhan, sosialisasi diklasiikasi atas sosialisasi
http://facebook.com/indonesiapustaka

primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer menunjuk pada


suatu proses melaluinya seorang anak manusia mempelajari atau me­
nerima pengetahuan, sikap, nilai, norma, perilaku esensial, dan hara­
pan­harapan agar mampu berpartisipasi efektif dalam masyarakat
dan/atau menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi primer merupakan

66
BAB 3 Sosialisasi

kebutuhan sosial primer bagi anak manusia karena apabila mereka


tidak dapat memenuhi kebutuhan sosial primer tersebut maka mere-
ka akan mengalami “kelumpuhan” berpartisipasi dalam kehidup-
an sosial. Semenjak usia dini anak-anak telah mengalami proses di
mana mereka mempelajari bagaimana melaksanakan kewajiban dan
menuntut hak-hak dari suatu peran serta sikap, perasaan, dan harap-
an-harapan yang sesuai dengan peran tersebut. Melalui sosialisasilah
anak terhindar dari “kelumpuhan” berpartisipasi dan, sebaliknya,
mampu berpartisipasi efektif dalam masyarakat.
Adapun sosialisasi sekunder, menurut Berger dan Luckmann
(1990: 187), adalah setiap proses selanjutnya yang mengimbas in-
dividu yang telah disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru
dari dunia objektif masyarakatnya. Sosialisasi sekunder dikenal juga
sebagai resosialisasi, secara hariah berarti sosialisasi kembali, yaitu
suatu proses mempelajari norma, nilai, sikap, dan perilaku baru agar
sepadan dengan situasi baru yang mereka hadapi dalam kehidupan
(Henslin, 2007: 79). Dalam bentuknya yang paling lazim, lanjut
Henslin, resosialisasi terjadi tiap kali kita mempelajari sesuatu yang
berbeda, bahkan bisa bertentangan, dengan kondisi awal. Sebagian
besar resosialisasi bersifat lembut, dengan hanya melibatkan modii-
kasi kecil pada hal-hal yang telah dipelajari. Namun juga bisa bersifat
sangat kuat. Apa yang dimaksud dengan bersifat lembut atau sangat
kuat?
Resosialisasi yang didahului oleh desosialisasi, yaitu proses “pen-
cabutan” diri yang dimiliki seseorang, merupakan resosialisasi yang
bersifat sangat kuat dan keras. Resosialisasi ini berlangsung dalam
institusi total (total institutions), yaitu suatu tempat di mana sejum-
lah orang terputus dari masyarakat untuk jangka waktu tertentu hid-
up bersama dan hampir sepenuhnya berada di bawah pengendalian
http://facebook.com/indonesiapustaka

para pejabat yang mengelola tempat tersebut secara formal seperti


penjara, kamp konsentrasi, biara, dan kamp pelatihan tentara. (Gof­
man, 1961). Orang yang telah dinyatakan bersalah, misalnya, oleh
karena itu, dia dimasukkan ke dalam penjara. Maka proses dari orang
bebas menjadi orang terpenjara dapat dinyatakan sebagai bentuk

67
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

dari proses “pencabutan” diri yang dimiliki seseorang. Proses “penca-


nutan” tersebut dipandang proses yang keras.
Resosialisasi dapat terjadi dalam bentuk sosialisasi antisipatoris,
yaitu sosialisasi yang terjadi bagi orang yang akan memainkan suatu
peran baru. Belajar memainkan peran sebelum memegang peranan
tersebut terjadi dalam berbagai aktivitas masyarakat, misalnya ma-
gang dalam suatu jabatan sebelum seseorang benar-benar mendudu-
ki jabatan tersebut atau menjalani masa uji coba sebelum diterima
sebagai pegawai tetap atau mengikuti orientasi mahasiswa baru di
suatu perguruan tinggi. Sosialisasi antisipatoris berulang kali dialami
dalam kehidupan kita: setelah selesai pada suatu jenjang pendidikan
masuk ke jenjang pendidikan baru (dari sekolah menengah atas ke
perguruan tinggi), dari dunia pendidikan ke dunia kerja, dari masa
lajang ke jenjang perkawinan, dari dunia kerja ke dunia pensiun, dan
sebagainya.

2. Sosialisasi Berdasarkan Cara yang Dipakai


Kamanto Sunarto (2004: 31) menerangkan sosialisasi berdasar-
kan cara yang digunakan dapat berlangsung dalam dua bentuk: per-
tama, sosialisasi represif, yaitu sosialisasi yang menekankan pada
kepatuhan anak dan penghukuman terhadap perilaku yang keliru.
Kedua sosialisasi partisipasif, yaitu sosialisasi yang menekankan
pada otonomi anak dan memberikan imbalan terhadap perilaku anak
yang baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut ini.

Tabel 3.1. Sosialisasi Berdasarkan Cara yang Dipakai

Sosialisasi Represif Sosialisasi Partisipatif


• menghukum perilaku yang keliru • memberi imbalan bagi perilaku yang
• hukuman dan imbalan material baik
• kepatuhan anak • hukuman dan imbalan simbolis
http://facebook.com/indonesiapustaka

• komunikasi sebagai perintah • otonomi anak


• komunikasi non-verbal • komunikasi sebagai interaksi
• sosialiasi yang berpusat pada orang tua • komunikasi verbal
• anak memperhatikan keinginan orang tua • sosialisasi yang berpusat pada anak
• keluarga merupakan signiicant other • orang tua memperhatikan keperluan
anak
• keluarga merupakan generalized other
Sumber: Sunarto (2004: 31).

68
BAB 3 Sosialisasi

Pola sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan secara berbe-


da ini akan mempengaruhi anak dalam tingkat kemandirian, kepe-
mimpinan, dan kemampuan dia untuk bekerja dengan orang lain.
Sosialisasi partisipatif akan menghasilkan anak yang lebih mandiri,
memiliki kemampuan memimpin dan bekerja sama yang lebih baik
dibandingkan apabila diasuh dengan pola sosialisasi yang represif.

3. Sosialisasi Berdasarkan Keberadaan Perencanaan


Bila sosialisasi dilihat berdasarkan keberadaan perencanaan,
maka sosialisasi dapat mengambil bentuk sosialisasi berdasarkan
perencanaan dan tanpa perencanaan. Sosialisasi berdasarkan per-
encanaan merupakan sosialisasi dilakukan atas dasar rencana yang
berkelanjutan dan sistematis. Sosialisasi jenis ini dapat ditemukan
dalam dunia pendidikan formal seperti sekolah dan perguruan tinggi
serta pendidikan non formal seperti kursus dan pelatihan. Dalam
sosialisasi berdasarkan perencanaan, semua tujuan pembelajaran,
materi, proses, dan penilaian telah dikonstruksi secara matang, se-
hingga semua terukur dan dapat dievaluasi dan monitor.
Sedangkan sosialisasi tanpa perencanaan terjadi dalam suatu
proses interaksi yang terjadi dalam masyarakat, misalnya dalam ke-
luarga, kelompok teman sebaya atau lingkungan tempat tinggal. So-
sialisasi tanpa perencanaan dilakukan melalui perilaku, sikap dan
tutur aktual dari orangtua atau anggota senior dari masyarakat. Ket-
auladanan atau percontohan melalui perilaku, sikap dan tutur aktual
tersebut, para anggota senior masyarakat melakukan transmisi pen-
getahuan, nilai, norma dan harapan-harapan kepada anggota muda
mereka. Proses seperti ini juga dikenal sebagai pendidikan informal.

C. AGEN SOSIALISASI
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam sosialisasi, terdapat beberapa agen yang dipandang me-


megang peranan penting, yaitu antara lain keluarga, sekolah, kelom-
pok teman sebaya, media massa, agama, lingkungan tempat tinggal,
dan tempat kerja. Agen tersebutlah dipandang yang berperan dalam

69
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

membentuk pengetahuan, sikap, nilai, norma, perilaku esensial, dan


harapan-harapan agar mampu berpartisipasi efektif dalam masyara-
kat.

1. Keluarga
Bagaimana sosialisasi dilakukan? Dalam masyarakat modern, ke-
luarga batih (nuclear family) merupakan agen sosialisasi primer uta-
ma. Seorang bayi menemukan ibunya sebagai orang yang pertama kali
memeluk, membelai, dan mengasihinya secara isik. Pelukan, belaian,
dan kasih secara isik tersebut merupakan pelajaran pertama yang
diperolehnya tentang aspek afeksi-emosional dari kehidupan. Pelaja-
ran berikutnya seperti nilai, norma, sikap, dan harapan diterima dari
keluarga seiring dengan berjalannya waktu, yang berkait dengan per-
tambahan usia. Sedangkan dalam masyarakat tradisional, keluarga
luas (extended family) seperti nenek, tante, dan anggota dewasa lain-
nya dalam keluarga luas turut serta dalam melakukan sosialisasi ter-
hadap keluarga muda. Mereka semua memiliki tanggungjawab so-
sial budaya untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai, norma dan
harapan-harapan yang berkembang dalam masyarakat.
Sosialisasi dilakukan berdasarkan pola keluarga yang dimiliki.
Bernstein menemukan dua tipe ideal dari pola keluarga, yaitu ke-
luarga yang berorientasi kepada posisi dan yang berorientasi kepada
pribadi. Keluarga posisional (position-centered family), seperti dikutip
oleh Robinson (1986: 81-82), merupakan keluarga di mana terjadi
pemisahan peran yang jelas di antara para anggota-anggotanya, seb-
agai ayah, ibu, anak, atau pada usia tertentu sebagai kakek atau ne-
nek. Sosialisasi anak dalam keluarga seperti ini terjadi dalam suatu
kerangka yang jelas. Dalam kaitannya dengan sosialisasi dalam kelu-
arga posisional, anak yang mengalami sosialisasi akan sangat mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

perhatikan posisi mereka dalam hubungan dengan orang lain. Mer-


eka akan sangat sadar dengan posisi mereka dalam kaitannya den-
gan usia, jender, status sosial ekonomi dan kepemilikan kekuasaan.
Mereka akan memperlakukan orang lain sesuai dengan usia, jender,
dan status sosial ekonomi, termasuk pendidikan, pekerjaan, jabatan,

70
BAB 3 Sosialisasi

dan kekuasaan yang dimiliki. Mereka akan memahami kedudukan


yang dimiliki di antara berbagai posisi yang ada dalam masyarakat.
Di samping itu, mereka lebih bebas menentukan sikap dan perilaku
sosialnya sesuai dengan pikirannya yang relatif bebas serta tidak ter-
gantung pada (orientasi) keluarga.
Adapun keluarga yang terpusat pada pribadi (person-centered
family) merupakan keluarga di mana anak dipandang dalam rangka
karakteristik unik yang dimilikinya sebagai pribadi. Dalam keluarga
yang bertipe ini, sejak si anak masih kecil, telah peka dan secara ak-
tif dirangsang perkembangan bahasanya, agar dapat dikontrol sesuai
cara-cara mereka sendiri. Mereka yang disosialisasikan melalui kelu-
arga yang terpusat pada pribadi akan dididik, diuji, dan dikembang-
kan sesuai dengan format keluarga. Dengan kata lain, bakat, potensi
dan kompetensi yang dimilikinya dikembangkan tidak jauh dari apa
yang dimiliki oleh keluarga. Hal ini mengingatkan kita pada teori ke-
arifan sosial dunia Melayu, “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan
jua”.
Berbeda dengan penelitian Bernstein, dalam studi literatur
yang dilakukan oleh Henslin (2007: 77) terhadap kajian Kohn dan
rekan-rekannya ditemukan bahwa kelas sosial suatu keluarga mem-
pengaruhi cara dan isi sosialisasi dalam keluarga tersebut. Pada kelas
pekerja orang tua cenderung memperhatikan nilai-nilai konformi-
tas seperti taat, rapi dan bersih pada anak-anak mereka. Agar anak
mereka bisa menginternalisasikan nilai ketaatan maka orangtua
cenderung menggunakan hukuman isik. Berbeda dengan kelas pe-
kerja, orang tua dari kelas menengah cenderung mengembangkan
rasa ingin tahu, ekspresi diri, dan pengendalian diri terhadap anak-
anak mereka. Oleh karenanya orangtua dari kelas menengah cender-
ung mengembangkan motivasi dan penggunaan nalar bagi anak-anak
http://facebook.com/indonesiapustaka

mereka ketimbang ancaman dan hukuman isik.


Mengapa ada pola asuh yang berbeda antara dua kelas yang ber-
beda? Kajian literatur yang dilakukan Henslin menunjukkan bahwa
pengalaman hidup, khususnya dalam kaitan dengan dunia kerja,
menjadi kunci jawabannya. Pengalaman kerja yang penuh dengan

71
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

prosedur kerja yang rinci ditetapkan oleh atasan dari kelas pekerja
memberikan pelajaran bahwa ketaatan terhadap aturan merupakan
kunci sukses dalam kehidupan. Oleh sebab itu, nilai tersebut dipan-
dang penting untuk disosialisasikan dan diinternasisasikan kepada
anak mereka agar generasi muda bisa mengikuti jejak generasi tua.
Berbeda dengan kelas pekerja, kelas menengah mengalami kenyataan
bahwa kunci sukses atau keberhasilan kehidupan terletak pada ke-
mampuan pengambilan inisiatif dalam pekerjaan sehingga nilai sep-
erti itulah yang dipandang penting untuk diwariskan pada generasi
berikutnya.

2. Sekolah
Sekolah, dalam arti yang luas di dalamnya mencakup mulai dari
kelompok bermain (play-group/PG), taman kanak-kanak (TK), seko-
lah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menen-
gah atas (SMA), sampai perguruan tinggi merupakan salah satu agen
sosialisasi yang penting dalam kehidupan manusia. Sekolah perlahan
menjadi agen pengganti terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga,
seiring dengan intensifnya anak memasuki ruang sosial dari ruang
sekolah. Pada suatu titik dari intensitas tersebut, tidak jarang sang
anak sangat percaya kepada gurunya dibandingkan dengan kedua
orangtuanya, terutama pada anak usia kelompok bermain, taman
kanak-kanak, dan sekolah dasar. Untuk memahami realitas tersebut
lihat kotak di bawah.

Tsabita adalah seorang anak perempuan yang berusia enam tahun. Dia meng ikuti
PG, TK selanjutnya SD yang dikelola oleh sebuah yayasan pendidikan Islam di Padang.
Sebelum masuk PG, TK dan SD, Tsabita menjadikan kedua orangtuanya sebagai pa-
nutan dan rujukan dari segala perilakunya. Namun hal tersebut berubah ketika dia
memasuki PG, TK dan SD. Sekolah merubah signiicant other utama dari orangtua
kepada guru. Jika ada sesuatu yang berbeda dilakukan oleh orangtuanya dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

apa yang diterimanya dari guru, dia akan protes tentang hal tersebut. Mi salnya jika
dia melihat bundanya sedang minum atau makan berdiri maka dia akan berteriak
sambil menyebut hadits yang melarang minum atau makan sambil berdiri. Atau jika
dia meminta sesuatu yang disarankan oleh guru maka sesuatu tersebut harus sama
persis dengan apa yang disarankan oleh gurunya. Jika tidak Tsabita tidak mau me-
nerimanya. Memang guru adalah tauladan utama bagi anak-anak TK dan SD.

72
BAB 3 Sosialisasi

Apa yang membedakan sosialisasi dalam keluarga dengan seko-


lah? Untuk menerangkan hal ini menarik untuk memahami kutipan
Kamanto Sunarto (2004) terhadap pandangan Dreeben yang meng-
gunakan perspektif Parsonian tentang perbedaan sosialisasi antara
keluarga dan sekolah. Menurut Dreeben, seperti dikutip Sunarto
(2004: 25), seorang anak belajar kemandirian lebih intensif di sekolah
dibandingkan di tempat lain. Ketika di rumah seorang anak dimung-
kinkan memperoleh bantuan anggota keluarga (orangtua dan para
saudaranya) untuk melaksanakan bermacam tugas dan pekerjaan,
sedangkan di sekolah sebagian tugas dan pekerjaan dilaksanakan
secara mandiri yang disertai dengan tanggungjawab. Guru menun-
tut kemandirian dan tanggungjawab pribadi peserta didik terhadap
tugas dan pekerjaan yang diberikan. Kerjasama hanya dibenarkan
bilamana tidak menyertai unsur penipuan atau kecurangan.
Nilai kedua yang disosialisasikan kepada anak di sekolah adalah
nilai tentang prestasi. Jika di rumah peran yang dimainkan oleh
seorang anak bersifat askriptif, yaitu peran yang diwarisi kepada dia
secara taken for granted semenjak dia lahir seperti peran sebagai anak
laki-laki atau anak perempuan, anak sulung atau anak bungsu, seb-
agai anak Asia atau Australia, sebagai anak Jawa atau anak Minang,
serta sebagai abang, kakak, atau adik. Berbeda dengan di rumah, di
sekolah peserta didik dipacu untuk berprestasi. Posisi seorang anak
di antara para peserta didik lainnya tergantung pada raihan prestasi
yang dicapai oleh anak tersebut, yang diperlihatkan oleh ranking nilai
rapor atau hasil ujian lainnya. Memang diakui adanya peran orangtua
untuk mendorong prestasi anak, namun sekolah lebih besar daya do-
rongnya dibandingkan dengan keluarga. Sebab sekolah memotivasi
para peserta didik dalam hampir segala aktivitas sekolah, baik kuri-
kuler maupun ekstra kurikuler, untuk mengembangkan kemampuan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan bersaing untuk meraih prestasi dan menghindari kegagalan.


Semua itu dipandang akan mempengaruhi peran yang akan dimain-
kan di masa akan datang.
Nilai ketiga yang disosialisasikan sekolah kepada peserta didik
adalah universalisme, yaitu perlakuan yang sama pada setiap orang.

73
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Pada saat peserta didik berada di sekolah, mereka diperlakukan sama


antara satu dengan lainnya. Perbedaan latarbelakang status sosial
ekonomi tidak menyebabkan perbedaan perlakuan terhadap peserta
didik. Perlakuan berbeda terhadap peserta didik bilamana seorang
siswa tidak mengindahkan nilai dan aturan yang berlaku sehingga
dia diperlakukan berbeda dengan memberikan hukuman atau suatu
penyadaran sosial misalnya. Sedangkan di rumah dimungkinkan
orangtua melakukan perlakuan yang partikularistik atau khusus ter-
hadap anak kandungnya bila dibandingkan dengan anak orang lain,
misalnya.
Nilai berikutnya yang diajarkan kepada peserta didik oleh guru
di sekolah adalah nilai spesiisitas, kebalikan dari nilai kekaburan
(difuseness). Di sekolah seseorang ditanggapi atau ditangani secara
spesiik terhadap apa yang dikerjakannya. Bilamana dia memiliki
kelemahan atau melakukan kekeliruan dalam suatu bidang kegiatan,
katakanlah tidak terampil dalam kegiatan olahraga, maka dia dipan-
dang memiliki kelemahan pada bidang olahraga saja. Tidak pada bi-
dang mata ajar yang lainnya, malah dalam beberapa mata ajar seperti
matematika dan biologi sebagai pemuncaknya sehingga dia mem-
peroleh pujian. Berbeda dengan di keluarga, kegiatan dan penilaian
terhadap anak dilakukan secara kabur. Ketika anak melakukan suatu
kesalahan, katakanlah memecahkan piring, maka hukuman tidak
hanya dikaitkan dengan kegiatan memcahkan piring, tetapi juga ber-
lanjut dan berkait dengan bidang kegiatan yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kegiatan piring pecah.
Jadi, sekolah mensosialisasikan nilai-nilai yang hidup dalam ma-
syarakat. Sehingga ia dipandang sebagai tempat yang menjadi tran-
sisi dari kehidupan keluarga ke dalam kehidupan masyarakat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

3. Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)


Kelompok teman sebaya (peer group) merupakan suatu kelompok
dari orang-orang yang seusia dan memiliki status yang sama, den-
gan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul (Horton
dan Hunt, 1987: 115). Dalam kehidupan seseorang, kelompok yang

74
BAB 3 Sosialisasi

pertama kali sebagai kelompok rujukannya adalah keluarga. Kelu-


arga seperti disebut di atas memberikan ciri-ciri dasar kepribadian
seseorang. Seiring dengan berjalannya waktu, aktor sekolah, khusus-
nya guru, menjadi kelompok rujukan berikutnya bagi peserta didik.
Kemudian seiring dengan perkembangan waktu, kelompok te-
man sebaya (peer group) menjadi kelompok rujukan (reference group)
dalam mengembangkan sikap dan perilaku. Sosialisasi melalui ke-
lompok teman sebaya bersifat informal dan langsung. Bagaimana
pengaruh kelompok teman sebaya terhadap kehidupan kita? Untuk
mengetahui hal ini mari kita simak bagaimana pandangan Henslin
tentang hal ini. Henslin (2007: 79) mengemukakan bahwa kelom-
pok teman sebaya memiliki daya paksa terhadap orang yang masuk
ke dalamnya. Hampir tidak mungkin orang melawan kelompok te-
man sebaya yang peraturan utamanya “konformitas atau penolakan”.
Seseorang yang tidak melakukan apa yang dilakukan orang lain men-
jadi “orang luar”, “bukan anggota”, “kasta luar”. Bagi anak-anak di
bawah dan di atas sepuluh tahun yang sedang belajar menemukan
jalannya, merasakan betapa berkuasanya kelompok teman sebaya.
Sebagai akibatnya, lanjut Henslin, standar kelompok teman sebaya
cenderung mendominasi kehidupan kita. Jika kelompok teman se-
baya mendengar lagu dangdut, pop, atau klasik, maka hampir tidak
bisa dihindari para anggotanya akan mengikuti apa yang digemari
oleh kelompoknya. Hal yang sama juga berlaku pada perilaku lainnya
seperti gaya busana, rambut, atau perilaku positif lainya, bahkan juga
perilaku negatif yang melanggar norma sosial. Jika kelompok teman
sebaya memiliki keinginan masuk ke perguruan tinggi dan berhasrat
maju, maka kita pun cenderung akan demikian. Juga sebaliknya, apa-
bila mereka cenderung menyalahgunakan obat-obatan, menipu, dan
mencuri, maka kita pun akan cenderung berbuat demikian.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Oleh sebab itu, bisa dipahami, misalnya, mengapa ketika kampa-


nye pada suatu pemilihan umum (presiden, kepala daerah, dan kepala
desa) berlangsung para kontestan atau peserta menggunakan kawula
muda yang cantik dan gagah sebagai tim kampanye. Atau mengam-
bil artis sebagai calon legislatif atau pasangan kepala daerah untuk

75
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

mendongkrak raihan suara, karena artis tersebut dipandang menjadi


kelompok rujukan bagi para kawula muda.
Kelompok teman sebaya yang menjadi kelompok rujukan bisa
beragam. Kelompok teman sebaya bisa terbentuk karena seprofesi,
sehobi, sekelas, sealumni, sekampung, sedaerah, dan sebagainya. Ke-
lompok rujukan bisa pula beragam tergantung rujukan yang berkai-
tan dengan apa. Misalnya untuk motivasi dan kerja keras yang diru-
juk adalah kelompok seprofesi, sedangkan untuk berpolitik misalnya
teman sepengajian atau teman sehobi.

4. Media Massa
Media massa merupakan agen sosialisasi yang semakin menguat
peranannya. Media massa, baik media cetak seperti surat kabar dan
majalah maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan inter-
net, semakin memegang peranan penting dalam mempengaruhi cara
pandang, cara pikir, cara tindak, dan sikap seseorang. Pengaruh me-
dia massa cenderung bersifat massiv, berskala besar, dan segera.
Pesan-pesan yang disampaikan melalui siaran atau tayangan me-
dia elektronik, terutama televisi, dapat mempengaruhi khalayak baik
secara positif maupun negatif. Berbagai tayangan agama dan pendi-
dikan seperti ceramah agama, kuliah subuh, perilaku lora dan fauna,
dan lain sebagainya merupakan tayangan positif yang dapat menin-
gkatkan kualitas keterlibatan partisipasi efektif individual dalam
masyarakat atau meningkatkan pemahaman akan nilai dan pengeta-
huan yang bermanfaat bagi individu untuk bisa hidup efektif dalam
masyarakat. Sebaliknya berbagai tayangan kekerasan, kriminal dan
pornograi dapat menjadi sesuatu yang negatip bagi khalayak. Berb-
agai tayangan negatif tersebut bisa menjadi objek peniruan (imitasi)
atau sumber inspirasi bagi khalayak pemirsanya. Dari berbagai kasus
http://facebook.com/indonesiapustaka

kekerasan dan perbuatan cabul (asusila) yang dilakukan oleh anak-


anak di bawah umur ternyata mereka, pada umumnya, melakukan
perbuatan negatip tersebut disebabkan karena setelah menonton
tayangan negatip seperti tayangan pornograi dari televisi atau ilem
porno VCD misalnya. Atau berbagai tindak kekerasan yang dilakukan

76
BAB 3 Sosialisasi

oleh anak-anak disebabkan oleh inspirasi yang muncul setelah me-


nonton tayangan televisi.
Apakah pengaruh terpaan tayangan media elektronik bisa dite-
pis? Berbagai nasehat ahli psikologi dan ilmu komunikasi menganjur-
kan agar mendampingi anak-anak dalam menonton tayangan televisi
sehingga jika ada tayangan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma
yang dianut keluarga dan masyarakat maka orangtua bisa menjelas-
kan tentang seharus dan sebaiknya. Selain itu orangtua dapat pula
menyarankan agar saluran yang sedang ditonton agar diganti dengan
saluran yang lain lebih baik menurut perspektif orangtua.
Persoalan serupa telah muncul, malah lebih dahsyat, yaitu ke-
tika tayangan, gambar atau ilem pornograi dan kekerasan hadir
di ruang pribadi Anda. Ruang privat yang tidak hanya dimiliki oleh
Anda sendiri bahkan oleh seluruh anggota keluarga Anda. Pornograi
dan kekerasan hadir ke ruang pribadi Anda melalui internet, dengan
berbagai medianya seperti komputer, laptop, dan telepon genggam
dengan berbagai macam aplikasinya. Anda tidak mungkin mengunci
rapat semua pintu pemakaian dan penggunaan internet sehingga
gelombang inovasi teknologi informasi tidak menyentuh kehidupan
Anda, termasuk ruang privat Anda. Dalam situasi nasehat yang di-
berikan para psikologi sosial dan ahli komunikasi adalah diperlukan
sosialisasi yang lebih efektif kepada anak-anak atau generasi yang
lebih muda agar mereka mampu menyaring apa yang baik dan buruk
tentang suatu tayangan serta menjaga nilai-nilai dan norma-norma
yang dipandang perlu dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat. Itu
artinya orangtua masa kini memiliki kerja yang ekstra berat diband-
ingkan orangtua generasi sebelumnya dalam mensosialisasikan nilai
dan norma yang dipandang perlu dan baik.
Bagaimana dengan sosialisasi politik? Penggunaan media massa
http://facebook.com/indonesiapustaka

secara intensif oleh partai politik sebagai media dan sekaligus agen
sosialisasi politik di Indonesia terjadi pada pemilihan umum 1999,
terutama masa kampanye. Ada kecenderungan terjadi peningkatan
belanja iklan politik oleh partai politik atau pasangan calon (presiden
atau kepala daerah) kepada media massa, terutama televisi, untuk

77
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

menjadikan media sebagai agen sosialisasi politik mereka.


Media massa yang disebut di atas pada umumnya berupa ko-
rporasi, bukan individual. Di masa akan datang di Indonesia, para
politisi atau partai politik dalam melakukan sosialisasi politik di-
perkirakan akan meningkat dalam menggunakan fasilitas teknologi
komunikasi dan informasi, yang dikenal dengan ICT, yaitu berupa
internet dan telepon seluler dengan berbagai perangkat multi medi-
anya digunakan secara pribadi. Penggunaan media komunikasi per-
sonal seperti blackbarry dan pemanfaatan jaringan komunikasi un-
tuk melakukan sosialisasi politik, seperti yang dilakukan oleh Barack
Husein Obama dalam memenangkan pemilihan presiden Amerika,
diperkirakan akan semakin meningkat di indonesia.

5. Agama
Di seluruh dunia, kata Henslin (2008: 164), agama memberikan
jawaban pada pertanyaan yang membingungkan mengenai makna ke-
hidupan sebenarnya—seperti tujuan hidup, mengapa manusia men-
derita, dan eksistensi kehidupan di alam akhirat. Agama, oleh sebab
itu, memberikan tuntunan tentang nilai seperti baik dan buruknya
atau benar dan salahnya sesuatu. Agama mengarahkan kita dalam
persoalan moralitas. Oleh sebab itu, agama dalam pandangan Hens-
lin dipandang sebagai agen sosialisasi, melalui lembaga keagamaan
seperti gereja, pesantren, dan lain sebagainya.
Agama tidak hanya berpengaruh pada aspek hubungan vertikal
antara manusia dengan tuhannya atau aspek religius dari kehidupan,
tetapi juga berpengaruh pada aspek-aspek kehidupan lainnya seperti
ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam kaitan ini, oleh sebab itu, bisa
dipahami kenapa Max Weber membuat tipe tindakan rasional nilai
dalam tipologi tindakan sosial. Bagi pemeluk Islam, misalnya, men-
http://facebook.com/indonesiapustaka

genal berbagai nilai dan norma yang berhubungan dengan haram,


riba, dan sebagainya. Oleh karena itu, para santri yang berprofesi se-
bagai pedagang atau pengusaha akan sangat hati-hati dalam melaku-
kan investasi, sebab ada tuntunan nilai-nilai syariah yang harus di-
perhatikan dalam berbisnis, yaitu nilai-nilai halal, haram, subhat, bo-

78
BAB 3 Sosialisasi

leh, sunat, dan wajib. Demikian juga dalam aspek sosial budaya, cara
berbusana, bergaul, bertindak, tata krama, dan berperilaku memiliki
tuntunan dalam agama. Bagi pemeluk Islam memandang aneh apa-
bila terdapat larangan tentang berbusana muslimah di negara-negara
Barat, yang diakui sebagai kampiun demokrasi, sementara “busana
bugil”, yaitu orang berpakaian tapi mempertontonkan hal yang vital
dari tubuh, dibolehkan. Bukankah sekularisme juga sebagai agama,
sepertinya juga Hindu, Katolik, atau Islam?
Jadi dalam perspektif ini tampak bahwa aspek agama melekat
(embedded) dalam berbagai aspek kehidupan lainnya seperti aspek
sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sedangkan ketidakmelekatan/
keterpisahannya (disembeddednes) dapat dilihat dalam konstruksi
teoritis-hipotetis belaka.

6. Lingkungan Tempat Tinggal


Dalam masyarakat Indonesia dikenal paling sedikit dua lingkun-
gan tempat tinggal, yaitu kompleks perumahan dan perkampungan.
Kompleks perumahan dipandang sebagai suatu lingkungan tempat
tinggal yang tertata dengan rapi dan terencana dibandingkan den-
gan perkampungan, yang dilihat sebagai sebagai lingkungan tempat
tinggal yang berkembang secara alamiah dan relatif lebih homogen
secara sosial dan budaya dari penghuninya. Bagi orangtua yang in-
gin menumbuhkembangkan pada suatu lingkungan tempat tinggal,
biasanya mereka akan mempertimbangkan plus minus antara me-
milih perkampungan atau kompleks perumahan. Para orangtua akan
mempertimbangkan bagaimana miliue dari lingkungan tempat ting-
gal seperti interaksi sosial antar warga, fasilitas publik, status sosial
ekonomi, dan sebagainya.
Pada kompleks perumahan elit hubungan interaksi sosial di an-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tara sesama warga tidak begitu intensif dibandingkan dengan kom-


plek perumahan kelas menengah bawah dan perkampungan. Bisa
saja bagi elit ini merupakan suatu bentuk proteksi agar anggota kelu-
arga tidak dipengaruhi secara negatif oleh lingkungan tempat tinggal
dan ini merupakan cara untuk menghindari masalah yang berkaitan

79
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

dengan dampat dari suatu sosialisasi. Sedangkan bagi kelompok


masyarakat yang berasal dari perkampungan, biasanya berasal dari
kelompok kelas menengah bawah, cenderung memilih tinggal di tem-
pat di mana mereka berasal, yaitu perkampungan, karena di sana ke-
luarga besar mereka juga tinggal sehingga mereka bisa menitipkan
anak mereka kepada keluarga besar mereka tersebut.
Pilihan lingkungan tempat tinggal oleh seseorang memiliki ba-
nyak variabel, di antaranya kenyamanan dan keamanan bagi sosia-
lisasi anak mereka dari perpektif mereka tentunya. Di samping itu
juga terdapat variabel-variabel status sosial ekonomi, budaya, dan
agama menjadi pertimbangan pemilihan lingkungan tempat tinggal.

7. Tempat Kerja
Tempat kerja merupakan salah satu agen sosialisasi yang mem-
pengaruhi kita. Tempat kerja adalah tahapan lanjut dari perkemban-
gan kehidupan kita, yang berawal dari keluarga, sekolah, kelompok
teman sebaya, media massa, agama, lingkungan tempat tinggal, ke-
mudia tempat kerja. Ketika di sekolah menengah atas atau perguruan
tinggi kita melakukan kegiatan atau program magang merupakan
suatu bentuk sosialisasi antisipatoris, belajar memainkan suatu per-
an sebelum memegangnya.
Semakin lama kita terlibat pada suatu jenis pekerjaan, kata
Henslin (2007: 79), maka pekerjaan tersebut semakin menjadi ba-
gian dari konsep diri kita. Pada akhirnya kita akan melihat diri kita
dalam kerangka pekerjaan tersebut, sehingga jika seseorang memin-
ta kita mendiskripsikan diri kita, kita akan cenderung memasukkan
pekerjaan dalam deskripsi diri kita. Kita mungkin akan menjelaskan:
“saya adalah dosen”, “saya jurnalis”, atau “saya adalah pebisnis”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

D. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Perkembangan kepribadian dipahami secara berbeda oleh berb-
agai ahli. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sudut pandang yang

80
BAB 3 Sosialisasi

berbeda dan keahlian yang berbeda. Berikut beberapa pandangan


ahli tentang perkembangan kepribadian:

1. Cooley: Cermin Diri (Looking Glass Self)


Charles Horton Cooley (1864-1929) me-
nyelesaikan program doktornya di Universitas
Michigan pada tahun 1894. Karir dosennya telah
dimulai semenjak sebelum meraih gelar Ph.D.-
nya di alamamaternya sampai pensiun. Meski
C.H. Cooley mengajar di Universitas Michigan,
namun pemikiran sosiologi-nya mengikuti alir-
an Chicago yang sejalan dengan teori interaksionisme simbolik.
Diri, sebagai sisi khas dari kemanusiaan (humanness), dibangun
secara sosial; maksudnya, perasaan mengenai diri kita berkembang
melalui interaksi dengan orang lain. Cooley (1964) mengusulkan
konsep looking-glass self (cermin diri) untuk menggambarkan suatu
analogi perkembangan diri melalui cermin, di mana cermin meman-
tulkan apa yang terdapat di depannya, dari sana seseorang melihat
dirinya: ganteng, cantik, perkasa, ramah, dan sebagainya. Terdapat
tiga unsur dalam looking-glass self (cermin diri):
1. Anda membayangkan bagaimana Anda nampak bagi mereka di
sekeliling kita. Sebagai contoh, kita dapat berpikir bahwa orang
lain menganggap Anda sebagai seorang peramah atau pemarah.
2. Anda menafsirkan reaksi orang lain. Anda menarik kesimpulan
bagaimana orang lain mengevaluasi Anda. Apakah mereka me-
nyukai Anda karena Anda seorang peramah?
3. Anda mengembangkan suatu konsep-diri (self-concept). Cara
Anda menginterpretasikan reaksi orang lain terhdapa Anda
memberikan Anda perasaan dan ide mengenai diri Anda sendi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ri. Suatu releksi yang menyenangkan dalam cermin diri sosial


ini mengarah pada suatu konsep-diri yang positif; suatu releksi
negatif mengarah ke suatu konsep-diri negatif.

Melakukan cermin diri tidak berhenti pada suatu masa, misalnya

81
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

masa dewasa yang diangga telah memiliki konsep-diri yang mapan


dan tetap; sebaliknya konsep-diri dibangun terus-menerus sepanjang
hayat. Dengan demikian, konsep-diri menurut Cooley merupakan
produk yang tidak pernah selesai dibentuk, bahkan sampai usia lan-
jut.
Bagaimana relevansi looking-glass self (cermin diri) pada proses
perkembangan diri di masyarakat saat ini? Kalau kita cermati apa
yang dilakukan oleh para pejabat publik dan politisi yang bersaing
untuk meraih kekuasaan pada berbagai tingkatan, seperti anggota
legislatif dan elit eksekutif (pemerintah pusat, provinsi, kabupaten
dan kota), ternyata mereka mengeksplorasi dan mengintensifkan
pemanfaatan efek cermin diri bagi pencitraan diri menjadi positif
sesuai dengan konstruksi yang diharapkan. Pencitraan diri melibat-
kan berbagai cara dan teknik efek citra melalui media sehingga apa
yang dikatakan, bagaimana mengatakannya, dan dalam situasi apa
hal tersebut dikatakan meminta pertimbangan berbagai ahli (seperti
politik, sosiologi, militer, agama, etika, komunikasi, dan psikologi).
Seseorang bisa mendapat pencitraan positif karena meraih award
anti korupsi karena diberikan oleh suatu lembaga yang dibuat seolah
independen pada saat sekian bulan menjelang suatu pemilihan, mi-
salnya. Pencitraan positif tersebut dikristalkan melalui penyebaran
informasi sedemikian rupa melalui berbagai media masaa. Padahal
sejatinya, orang tersebut tidak begitu serius memberantas korupsi
atau melakukan suatu program anti korupsi. Konsekuensi pencitraan
seperti ini ratingnya menjadi naik dimata pemilih. Sehingga pemilih
memberikan suara terbanyak pada kandidat yang memperoleh award
anti-korupsi tersebut.
Apakah cermin diri politik bisa berubah? Dalam kehidupan poli-
tik di Indonesia pernah ada satu partai politik yang mencitrakan diri
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebagai “partainya wong cilik”. Pada awalnya pencitraan tersebut


menarik banyak orang untuk memilih partai tersebut. Namun pen-
citraan tersebut memudar di kala pemimpin “partainya wong cilik”
menjadi kepala pemerintahan, yang memiliki otoritas untuk merea-
lisasikan citra yang melekat pada partainya. Namun sayangnya ke-

82
BAB 3 Sosialisasi

banyakan kebijakan yang dibuat, menurut pandangan para pemilih-


nya, tidak mencerminkan keberpihakan pada “wong cilik”. Akibatnya
lawannya memelesetkan jargon “partainya wong cilik” menjadi “par-
tainya wong licik.” Sehingga “partainya wong cilik” yang sebelumnya
sebagai partai pemenang pemilihan umum dikalahkan oleh partai
lain pada pemilihan berikutnya.

2. Mead: Tahapan Perkembangan Diri


Di dalam buku Mind, Self, and Society, seperti telah disinggung
pada bab sebelumnya, Mead menjelaskan tahap pengembangan diri
(self) manusia. Ketika anak manusia lahir, dia belum memiliki diri.
Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan
orang lain. Pengembangan diri manusia berlangsung melalui bebera-
pa tahap, yaitu tahap prepatory atau tahap play stage, tahap pertan-
dingan (game stage), dan tahap the generalized other.
Pada tahap perkembangan awal anak, yaitu tahap prepatory atau
tahap play stage, seorang anak belajar mengambil perspektif orang
lain, yang dianggap sesuai dengan kebutuhan hidupnya, dan meli-
hat dirinya sebagai objek. Misalnya seorang anak sedang mengena-
kan pakaian seragam kerja, seolah-olah ia adalah ayah yang sedang
memakai pakaian seragam kerja. Dia mengenakan pakaian seragam
polisi lalu lintas ayahnya dengan segala asesorisnya. Dengan meniup
peliut tangannya bergerak memberi tanda berhenti, jalan dan hati-
hati, seolah-olah dia sedang dinas mengatur lalu-lintas seperti ayahn-
ya yang dilihatnya beberapa kali saat mengatur lalu lintas di suatu
persimpangan jalan besar di kotanya. Pada tahap ini, ia menirukan
peran orang tuanya, yaitu sebagai polisi lalu lintas. Pada tahap ini si
anak belum memahami sepenuhnya isi peran yang ditirunya terse-
but.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pada perkembangan lanjut anak, yaitu tahap pertandingan (game


stage) seorang anak tidak hanya mengetahui peran yang dimainkan-
nya, melainkan juga peran yang harus dimainkan orang lain dengan
siapa dia melakukan interaksi. Dalam suatu pertandingan, misalnya,
anak mengetahui apa yang diharapkan oleh orang lain dari dia, juga

83
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

mengerti apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain
dalam suatu pertandingan. Dalam proses ini terjadi proses pengam-
bilan peran (role taking), di mana seseorang mempertimbangkan atau
mengantisipasi peran orang lain yang dianggap sesuai dengan kebu-
tuhan atau sering muncul dalam hidupnya, dikenal dengan signiicant
other.
Selanjutnya perkembangan lanjutnya adalah anak mampu men-
gontrol perilakunya sendiri menurut peran-peran umum yang bersi-
fat impersonal, yang didalamnya terdapat harapan-harapan dan stan-
dar-standar komunitas (masyarakat keseluruhan) berupa kebiasaan,
pola normatif atau ideal yang abstrak, atau nilai-nilai universal, dike-
nal dengan the generalized other. Pada tahap ini seorang anak tidak
hanya memahami peran yang harus dijalankannya, tetapi juga dia
telah mengetahui peran yang harus dijalankan oleh oleh orang lain
dengan siapa dia berinteraksi. Misalnya, ketika seorang anak pergi ke
sekolah, dia telah mengetahui peran apa yang dimainkan oleh dirinya
ketika dia berhadapan dengan teman-teman sekelas, kakak-kakak
atau adik-adik lain kelas, guru kelas, guru lainnya, kepala sekolah,
penjaga sekolah, atau petugas keamanan. Selain itu dia mengetahui
harus bersikap dan berperilaku seperti apa, misalnya bagaimana ber-
busana yang dikaitkan warna, bahan dan modelnya, atau bagaimana
menuturkan kata sesuai dengan orang yang dihadapi.

3. Freud: Tiga Unsur Diri


Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang dokter di
Wina awal tahun 1900-an yang mendirikan psikoanalisa,
suatu teknik untuk merawat masalah emosional melalui
penjajakan jangka panjang dan intensif pada pikiran bawah
sadar. Freud melihat tiga unsur dalam diri, yaitu id, super-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ego, dan ego. Id merupakan pusat nafsu dan dorongan yang


yang bersifat naluriah dan asosial, rakus dan antisosial. Jadi,
setiap anak yang lahir telah memiliki satu unsur diri yang bernama
id. Dorongan bawaan lahir dan naluriah tersebut menyebabkan orang
mencari kepuasan diri. Itu dibuktikan oleh Freud dengan argumneta-

84
BAB 3 Sosialisasi

si bahwa bayi yang baru lahir terbukti dari tangisannya karena lapar
atau sakit. Dorongan tersebut beroperasi sepanjang hidup manusia
yang menuntut pemenuhan langsung keperluan dasar: perhatian, ke-
selamatan, makanan, seks, dan seterusnya.
Namun dorongan id untuk memenuhi keputusan langsung ber-
hadapan dengan suatu penghalang: kebutuhan akan orang lain, khu-
susnya orang tua. Penghalang inilah dikenal dengan superego, yaitu
unsur diri yang bersifat sosial dan merupakan kompleks dari cita-cita
dan nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang dan membentuk hati
nurani (conscience). Superego mewakili kebudayaan dalam diri ses-
eorang, norma dan nilai yang telah kita internalisasi dari kelompok
sosial seseorang. Sebagai suatu komponen moral dari diri, superego
menimbulkan rasa bersalah atau malu ketika seseorang melanggar
aturan sosial atau adat, sebaliknya akan menimbulkan rasa bangga
dan puas manakala telah mentaatinya (Henslin, 2007).
Pertentangan antara id dan superego memiliki dampak terhadap
diri seseorang. Jika id lepas kendali, seseorang akan mengikuti hasrat
diri terhadap kesenangan dan melanggar norma masyarakat. Seba-
liknya, jika superego lepas kendali maka seseorang akan terlaku kaku
terhadap aturan yang ada. Oleh karena itu diperlukan kekuatan pe-
nyeimbang dari dua unsur diri yang bertolakbelakang tersebut, yaitu
unsur diri yang dikenal sebagai ego, adalah unsur diri yang bersifat sa-
dar dan rasional. Jadi ego merupakan penyeimbang antara dorongan
yang bersifat bawaan lahir dan naluriah atau id dengan tuntutan
masyarakat atau superego. Oleh karena itu, pada orang yang secara
emosional sehat, ego mampu menyeimbangkan tuntutan antara id
dan superego yang bertentangan tersebut. Sebaliknya jika orang tidak
mampu menyesesuaikan diri maka orang tersebut mengalami kebin-
gunan internal dan perilaku bermasalah (Henslin, 2007).
http://facebook.com/indonesiapustaka

E. SOSIALISASI SEPANJANG HIDUP


Para ahli telah banyak mendiskusikan tentang bagaimana pen-
jalanan sosialisasi sepanjang hidup seseorang, mulai dari lahir sampai

85
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

ajalnya tiba. Sosialisasi sepanjang siklus hidup tersebut akan dibahas


menurut dua pandang ahli, yaitu:

1. Erik H. Erikson
Erik H. Erikson lahir tanggal 15 Juni 1902 di
Frankfurt, Jerman dari orangtua berkebangsaan
Denmark. Karena orangtuanya bercerai sebelum
kelahirannya, Erikson tidak mengenal ayahnya.
Ibunya, seorang wanita Yahudi, menikah lagi
dengan seorang dokter spesialis anak, heodor
Homburger. Erikson sangat menghormati ayahtirinya, untuk itu dia
menggunakan nama ayahtirinya dalam namanya, sehingga menjadi
Erik Homburger Erikson. Dia hanya tamat Gymnasium dan tertarik
dengan seni. Ketika gelombang anti Yahudi marak di Jerman dan
Austria, dia pindah ke Amerika. Karena dia memiliki keahlian dalam
bidang psikoanalisis, yang dikuasai dan berkembang tatkala menjadi
guru di sekolah swasta kecil yang progresif di Wina, maka dia diminta
menjadi gurubesar di California dan Harvard.
Erikson (2001: 220-234) mendiskusikan tentang sosialisasi sik-
lus kehidupan. Dia senang menggunakan konsep “life cycle” (siklus
kehidupan) untuk melukiskan seluruh perkembangan diri, dari kand-
ungan ibu sampai kandungan bumi (from womb to tomb), yang diiden-
tiikasinya ke dalam delapan tahapan siklus kehidupan. Setiap taha-
pan siklus kehidupan, individu mengalami krisis identitas yang harus
dipecahkan serta kebijakan dasar yang perlu untuk dikembangkan.
Berikut diskusi singkat tentang delapan tahapan siklus kehidupan:

a. Masa Bayi (sampai 1 tahun)


Pada masa bayi, seorang individu mengalami krisis identitas
http://facebook.com/indonesiapustaka

pada masa siklus awal dari kehidupannya, yaitu kepercayaan dasar


(basic trust) dan kecurigaan dasar. Jika ibu atau pengasuh peng-
ganti ibunya mencurahkan cinta dan memenuhi kebutuhan isiknya
secara konsisten, maka akan terbentuk rasa aman dan kepercayaan
dari sang bayi. Sebaliknya jika ibu mengabaikan, dingin, kejam, dan

86
BAB 3 Sosialisasi

inkonsisten terhadap bayi, maka sang bayi akan merasa tidak aman
dan memiliki kecurigaan pada orang lain. Pada masa ini kebijakan
dasar yang dikembangkan adalah tentang harapan. Sedangkan radius
hubungan yang paling penting adalah pribadi ibu.

b. Masa kanak-Kanak Awal (2-3 tahun)


Pada masa kanak-kanak awal, seorang individu menghadapi kri-
sis identitas antara otonomi versus rasa bimbang dan malu. Pada
masa ini, anak mulai belajar berjalan, berbicara, menggunakan tan-
gan, dan melakukan bermacam hal. Anak-anak juga mulai mengon-
struksi diri menjadi otonom melalui pengembangan kemampuan me-
milih, ungkapan berbagai keinginan, kehendak, atau kemauan serta
pencapaian harapan. Jika anak didorong dan berhasil, maka mereka
merasa sebagai orang yang cakap atau mampu, sehingga sebagai
orang yang otonom berkembang. Sebaliknya jika dihambat atau tidak
didorong, berkemungkinan besar anak menjadi bimbang dan merasa
malu dalam berinteraksi dengan orang lain. Pada masa ini kebijakan
dasar yang dikembangkan adalah tentang kehendak. Sedangkan ra-
dius hubungan yang paling penting adalah pribadi orangtua.

c. Masa Bermain (4-5 tahun)


Pada masa bermain, seorang individu mengalami krisis identitas
antara inisiatif versus rasa bersalah (guilt). Pada masa ini, anak mulai
mengembangkan daya inisiatif dengan keberanian untuk memper-
timbangkan dan mengikuti tujuan-tujuan yang berharga dan nyata,
yang dituntun oleh suara hati. Bila hal tersebut tidak mampu dikem-
bangkan akan muncul diri yang dilumpuhkan oleh rasa diri bersalah
oleh ketakutan akan hukuman. Jadi pada tahapan ini, anak memu-
tuskan konlik Oedipus dan mulai mengembangkan pengertian mor-
al. Pada masa ini kebijakan dasar yang dikembangkan adalah tentang
http://facebook.com/indonesiapustaka

tujuan. Sedangkan radius hubungan yang paling penting adalah ke-


luarga batih.

d. Masa Sekolah (6-11 tahun)


Pada masa sekolah, seorang individu harus mengatasi krisis

87
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

identitas antara kerajinan dan rasa rendah diri. Pada masa ini, anak
mengembangkan suatu rasa kerajinan, yaitu dia mulai mengerti dunia
alat yang ada dalam kebudayaannya, dan dia dapat menjadi seorang
anggota yang sangat bergairah dan asyik dari situasi produktif yang
berlangsung di sekolah, yang secara bertahap menggantikan tahapan
bermain. Sebaliknya bisa saja anak mengalami rasa ketidakmampuan
(inadequacy) dan putus asa bilamana dia tidak mampu mengembang-
kan kemahiran/kecakapan atau kompetensi dalam menguasai dunia
alat. Apabila ini muncul maka ia dapat berujung pada kehadiran rasa
rendah diri pada sang anak. Agar hal tersebut tidak terjadi maka pe-
ran sekolah dan para tetangga sangat berarti menumbuhkembang-
kan kompetensi sang anak.

e. Masa Remaja (12-18 tahun)


Pada masa remaja, orang harus menyelesaikan krisis indentitas
antara penemuan identitas atau kebingungan identitas. Pada masa
ini, remaja mengembangkan identitas diri melalui interaksi dengan
orang lain, terutama kelompok teman sebaya. Remaja dapat mene-
mukan identitas diri bila dia dikokohkan oleh kelompok teman seba-
ya dan diteguhkan oleh berbagai macam ajaran, kepercayaan dan ide-
ologi yang mengungkapkan janji bahwa orang yang paling baik akan
menjadi pemimpin dan bahwa peraturan yang ada, akan mengem-
bangkan hal yang terbaik dalam diri orang. Sebaliknya para remaja
akan mengalami kebingungan identitas tatkala kelompok teman se-
baya tidak mampu meneguhkan identitas sosial temannya dan ad-
anya ideologi yang lemah dalam masyarakat. Pada masa ini kebijakan
dasar yang dikembangkan adalah tentang (penemuan) identitas. Se-
dangkan radius hubungan yang paling penting adalah kelompok te-
man sebaya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

f. Masa Dewasa (19-35 tahun)


Orang dewasa harus menyelesaikan krisis identitas antara kein-
timan dan isolasi. Orang dewasa, menurut Erikson (2001: 231), siap
untuk mengalami keintiman dan kesetiakawanan. Dia dapat ber-
janji setia pada hubungan pasangan bahkan apabila mereka menun-

88
BAB 3 Sosialisasi

tut bermacam pengorbanan dan kompromi yang berarti. Daya etis


muncul karena diferensiasi yang lebih lanjut dari keyakinan ideologis
pada masa remaja dan rasa kewajiban moral pada masa kanak-kanak.
Apabila ini gagal, maka orang akan mengalami isolasi. Pada masa ini
kebijakan dasar yang dikembangkan adalah tentang cinta atau kasaih
sayang. Sedangkan radius hubungan yang paling penting adalah pat-
ner dalam persahabatan seks.

g. Masa Paruh Baya (36-50 tahun)


Dalam usia paruh baya, orang mengalami krisis identitas yang
harus diselesaikan antara generativitas dan keasyikan dengan diri
sendiri. Orang seusia paruh baya mengembangkan sesuatu pada ke-
luarga dan masyarakat, termasuk karir dalam kerja serta pengabdian
pada masyarakat. Kegagalan orang mengembangkan generativitas
bisa menyebabkan orang asyik dengan dirinya sendiri. Pada masa ini
kebijakan dasar yang dikembangkan adalah pemeliharaan/perhatian.
Sedangkan radius hubungan yang paling penting adalah pembagian
kerja yang ditandai dengan pengaturan rumahtangga secara bersama.

h. Usia Tua (50 tahun ke atas)


Orangtua harus menyelesaikan krisis identitas yang mereka ha-
dapi antara integritas dan keputusasaan. Orangtua menghadapi akh-
ir hayat apakah dalam situasi terhormat atau penuh keputusasaan.
Karena berbagai pengalaman hidupnya, orangtua memiliki kebijaksa-
naan, yang ditandai dengan kematangan jiwa, pikir dan tindak. Kare-
na itu, integritas mengandung integrasi emosional yang setia pada
pembawa gambaran masa lalu dan siap menerima (kadang-kadang
menolak) kepemimpinan sekarang (Erikson, 2001: 231). Ketidak-
mampuan membangun integritas akan menyebabkan orangtua men-
galami keputusasaan, yang ditandai oleh ketakutan akan kematian.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pada masa ini kebijakan dasar yang dikembangkan adalah kebijaksa-


naan. Sedangkan radius hubungan yang paling penting adalah umat
manusia yang satu.

89
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2. James M. Henslin
Berbeda dengan Erikson, Henslin mengembangkan sosialisasi
melalui perjalanan hidup mengembang 4 tahapan, yaitu:

a. Masa Kanak-Kanak (sampai usia 12 tahun)


Masa kanak-kanak, kata Henslin (2007: 83), tidak hanya sekedar
masalah biologi. Masa kanak-kanak setiap orang terjadi dalam titik
tertentu dalam sejarah dan tertancap dalam ruang sosial tertentu,
terutama kelas sosial dan jender. Faktor sosial, oleh karenanya, sama
pentingnya dengan faktor biologis, sebab faktor sosial menentukan
masa kanak-kanak setiap orang. Berbeda dengan faktor biologis yang
cenderung bersifat universal, faktor sosial yang dialami anak me-
miliki ruang sosial dan sejarah tersendiri, yang diperlihatkan oleh
keberagaman kebudayaan yang ada. Oleh sebab itu sosialisasi anak
dipahami berbeda-beda berdasarkan kebudayaan yang dimiliki.

b. Masa Remaja (13-17 tahun)


Masa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak
dan masa dewasa, dilihat masa yang penuh gejolak. Masa ini men-
jadi penting sejak Revolusi Industri membawa surplus industri me-
limpah sehingga jutaan anak remaja dapat tidak dikelompokkan ke
dalam angkatan kerja. Dalam masyarakat tradisional terdapat ritus
inisiasi yang dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan pada masyarakat
terindustrialisasi, remaja harus menemukan dirinya sendiri di antara
dunia kanak-kanak yang harus ditinggalkan dan dunia dewasa yang
belum bisa terjangkau. Situasi seperti ini remaja membangun subkul-
tur mereka sendirim seperti pola busana, gaya rambut, bahasa, gerak
isyarat dan musik yang khas.

c. Masa Dewasa Muda (Usia 18-29 tahun)


http://facebook.com/indonesiapustaka

Masa dewasa muda, dilihat Henslin (2007: 84), sebagai suatu


masa remaja yang diperpanjang, dalam dunia yang terindustrial-
sasi, melalui keikutsertaan dalam pendidikan formal. Akhir sekolah
menengah atas merupakan periode perpanjangan dari kebebasan ter-
hadap tuntutan untuk mencari nafkah sendiri melalui keikutsertaan

90
BAB 3 Sosialisasi

dalam pendidikan tinggi seperti akademi atau perguruan tinggi lain-


nya. Pada masa kedewasaan transisional ini, orang dewasa muda di-
persiapkan melangkah bertahap ke dalam tanggungjawab orang de-
wasa: menyelesaikan pendidikan, menerima pekerjaan penuh waktu,
dan melibatkan diri dalam ritus pernikahan.

d. Masa Usia Menengah (usia 30-65 tahun)


Henslin membagi masa usia menengah dini (usia 30-49 tahun)
dan masa usia menengah lanjut (usia 50-65 tahun). Pada masa usia
menengah dini, Henslin (2007: 84) mengatakan, sebagian orang
lebih yakin mengenai diri mereka sendiri dan tujuan hidup mereka.
Namun, sebagaimana halnya tiap titik dalam perjalanan hidup, diri
dapat mengalami goncangan hebat, misalnya karena perceraian atau
pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk itu diperlukan waktu yang
tidak sedikit untuk memulihkan diri dan bangkit dari keterjatuhan.
Sedangkan masa usia menengah lanjut, orang mulai merasakan ke-
sehatan dan isik tubuh yang berbeda dari sebelumnya dan mulai
membayangkan tentang kematian. Pada tahap ini orang mulai mer-
enanung apa yang telah dilakukan di masa lampau dan apa yang akan
dilakukan di masa akan datang, yang biasanya menjangkau sesuatu
yang berada di luar sana dan waktu masa datang yang tidak terbatas,
hidup di luar dunia yang fana ini.

e. Masa Usia Lanjut (sekitar 65 tahun ke atas)


Pada masyarakat industri, usia hidup orang lebih panjang den-
gan masa sebelumnya. Oleh sebab itu, masa usia lanjut berkisar pada
sekitar 65 tahun ke atas. Orang mempersiapkan diri terhadap “waktu
sedang mendekati”. Pada masa ini, teman, sahabat dan mitra yang
pernah bersama pada masa lampau, satu demi satu dipanggil oleh
Sang pencipta. Jika sebelumnya kematian dipahami sebagai suatu ide
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang abstrak, perlahan seiring dengan perjalanan waktu mengkristal


menjadi suatu kenyataan yang harus dipersiapkan menuju ke sana.
Jika kita lihat perbandingan antara pemikiran Erikson dan
Henslin tentang tahapan perjalan hidup (siklus kehidupan), Erikson
menetapkan tahapan akhir pada usia 50 tahun ke atas sedangkan

91
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Henslin sekitar 65 tahun. Ini berarti terdapat suatu rentang waktu


yang berbeda pada masa Erikson dengan Henslin, yaitu sekitar 15
tahun. Perbedaan ini bisa dipahami karena pada saat sekarang telah
terjadi perbaikan kualitas kehidupan dalam arti kesehatan, gizi, dan
teknologi dalam bekerja.
http://facebook.com/indonesiapustaka

92
bab
4 RUANG KELAS

Ruang kelas bukan sekedar ruang isik semata, namun ia melam-


paui itu, yaitu mencakup juga ruang sosial dan budaya. Oleh sebab
itu diskusi kita tentang ruang kelas mencakup banyak hal. Di antara
yang banyak tersebut beberapa di antaranya kita diskusikan dalam
bab ini, yaitu antara lain ruang kelas sebagai suatu sistem, teori ruang
kelas, ruang kelas dan pemeliharaan ketertiban dan disiplin, ruang
kelas dan penggunaan bahasa, serta dinamika ruang kelas.

A. RUANG KELAS SEBAGAI SUATU SISTEM


Sebelum diskusi tentang sekolah sebagai suatu sistem sosial,
ada baiknya dipahami dulu tentang beberapa konsep seperti sistem,
sistem sosial, sistem interaksi, dan sistem pertukaran. Berikut be-
berapa sudut pandang dalam memahami berbagai konsep tersebut.

1. Konsep Sistem
Untuk memahami topik ini mari kita pahami terlebih dahulu
http://facebook.com/indonesiapustaka

konsep sistem sosial, yamg terdiri dari dua suku kata system dan
sosial. Secara etimologis, menurut bahwa kata sistem merupakan
kata serapan yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu systema, systema-
tos, yang berasal dari kata synistani. Adapun kata synistani terdiri
dari 2 suku kata, yaitu syn dan hystanat. Adapun kata syn bermakna
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

bersama; sedangkan hystanat memiliki arti sebagai menempatkan.


Jadi synistani memiliki pengertian sebagai menempatkan bersama.
Adapun berdasarkan penelusuran etimologis Tatang Amirin (2003)
menyimpulkan bahwa systema memiliki pengertian berikut: (1) suatu
hubungan yang tersusun atas sekian banyak bagian, dan (2) hubun-
gan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-kom-
ponen secara teratur. Jadi, systema itu mengandung arti sehimpunan
bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan
merupakan suatu keseluruhan.
Pengertian sistem dapat juga dipahami dengan menemukan arti
atau makna dari kamus. Jika ditelusuri pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi ketiga, ditemukan bahwa kata sistem memiliki 3 arti,
yaitu: satu, perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan se-
hingga membentuk suatu totalitas. Dua, susunan teratur dari pan-
dangan, teori, asas, dsb. Tiga, metode.
Apa yang dapat disimpulkan dari pengertian kamus dari sistem?
Dari penelusuran etimologis kata sistem dan pengertian kamusnya
dapat dipahami bahwa sistem merupakan “suatu keteraturan hubun-
gan antar unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga membentuk to-
talitas”.
Bagaimana batasan yang diberikan oleh para ahli tentang deinisi
sistem? Berikut beberapa pandangan berbagai ahli tentang konsep
sistem, yaitu antara lain: satu, deinisi menurut Winardi. Pengertian
sistem dikemukakan dalam bukunya Pengantar tentang Teori Sistem
dan Analisis Sistem. Adapun pemikiran Winardi sebagai berikut:
“sistem merupakan suatu kelompok elemen-elemen yang interdepen-
den yang antar berhubungan atau yang saling mempengaruhi satu
sama lain. Sistem merupakan suatu konglomerat hal-hal tertentu
yang secara keseluruhan membentuk suatu keseluruhan yang me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyatu.”
Dua, batasan menurut Gabriel A. Almond. Dia menulis deinisi
sistem pada bab “Studi Perbandingan Sistem Politik” dalam buku Per-
bandingan Sistem Politik yang diedit oleh Mochtar Mas’oed dan Collin
MacAndrews (1981: 2). Adapun pandangan Almond sebagai berikut:

94
BAB 4 Ruang Kelas

“sistem diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan


adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan,
yang mempengaruhinya maupun dipengaruhinya.”
Tiga, deinisi menurut Robert M.Z. Lawang. Dalam buku modul
Universitas Terbuka, Sistem Sosial Indonesia, Robert M.Z. Lawang
(1985: 3-5) menjelaskan deinisi sistem. Adapun inti gagasan ten-
tang sistem Lawang sebagai berikut: “suatu saling ketergantungan
antara satu komponen dengan komponen lainnya dalam hubungan
timbal-balik yang konstan. Konstan artinya apa yang terjadi kema-
rin merupakan perulangan dari yang sebelumnya, dan besok akan di-
ulang kembali dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya yang sifat
konstan itulah, maka pola hubungan interaksi itu memiliki sistem
tertentu.”
Apa yang dapat kita simpulkan dari pandangan para ahli tentang
konsep sistem tersebut? Dari pandangan ketiga ahli tersebut, den-
gan memperhatikan titik perhatian masing-masing tokoh, dapat dis-
impulkan bahwa “sistem merupakan suatu kelompok elemen-elemen
yang saling berhubungan secara interdependen (saling ketergantun-
gan) dan konstan”.

2. Ruang Kelas Sebagai Sistem Sosial


Sebelum mendiskusikan topik ini, mari kita lanjutnya pemba-
hasan tentang dua konsep, yaitu konsep sosial dan sistem sosial. Sep-
erti halnya membicarakan pengertian sistem, pengertian sosial juga
dicoba dipahami melalui pengertian kamus dan pengertian ahli. Kata
sosial kalau dirujuk asal usulnya, salah satunya, dapat berakar dari
kata Latin, yaitu socius, yang berarti bersama-sama, bersatu, terikat,
sekutu, berteman; atau kata socio yang bermakna menyekutukan,
menjadikan teman, mengikat atau mempertemukan. Dari pengertian
http://facebook.com/indonesiapustaka

dua kata tersebut maka sosial dapat dipahami sebagai pertemanan


atau masyarakat. Adapun apabila ditelusuri pada Kamus Besar Ba-
hasa Indonesia edisi ketiga, ditemukan bahwa kata sistem memiliki
2 arti, yaitu: satu, berkenaan dengan masyarakat. Dua, suka mem-
perhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dsb),

95
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

dalam bentuk ragam cakapan. Berdasarkan penelusuran etimologis


dan pengertian kamusnya dapat disimpulkan bahwa kata sosial di-
mengerti sebagai sesuatu yang dihubungkan atau dikaitkan dengan
teman, pertemanan, atau masyarakat.
Bagaimana pandangan para ahli tentang konsep sosial? Karena
keterbatasan bacaan dan literatur penulis, ternyata dari hasil pene-
lusuran pengertian kata sosial dari beberapa sumber, ditemukan
hanya seorang sosiolog yang membahas tuntas makna kata tersebut
yaitu Robert M.Z. Lawang (1985:7) dalam buku modul Universitas
Terbuka, Pengantar Sosiologi. Lawang mengemukakan pandangannya
tentang pengertian kata sosial sebagai berikut: “arti subjektif yang
memperhitungkan perilaku orang lain yang terlibat dalam suatu tin-
dakan. Arti subjektif menunjuk pada arti yang diberikan oleh orang
yang bertindak untuk tindakannya sendiri”
Setelah kita mendiskusikan konsep sistem dan sosial, maka
pertanyaan kita berikutnya adalah bagaimana batasan dari konsep
sistem sosial? Pengertian sistem dan sosial telah didiskusikan sebe-
lumnya secara terpisah atau sendiri-sendiri. Pada bagian ini dicoba
untuk memahami secara utuh kedua konsep tersebut. Pada penger-
tian kamus, baik pengertian yang berdasarkan penelusuran etimolo-
gis maupun merujuk pada kamus, tidak ditemukan penjelasan kata
sistem sosial sekali gus. Oleh sebab itu, kedua pengertian tersebut,
baik penelusuran etimologis maupun rujukan kamus, disatukan un-
tuk dipahami makna atau artinya secara keseluruhan. Apabila kedua
makna kata-kata tersebut dipahami secara keseluruhan, maka sistem
sosial bisa dipahami sebagai saling keterkaitan yang teratur antar in-
dividu sehingga membentuk totalitas. Deinisi sistem sosial seperti
ini mencakup berbagai fenomena: mulai dari persahabatan sam-
pai pada masyarakat, mulai dari kelompok kelompok sampai pada
http://facebook.com/indonesiapustaka

negara. Kenapa hubungan persahabatan antara dua orang individu,


katakanlah antara Inas dan Tsabita, bisa dikatakan sebagai sistem
sosial? Sebab hubungan yang terjalin antara Inas dan Tsabita mem-
bentuk suatu saling keterkaitan secara teratur antara individu dan
individu sebagai suatu totalitas, yang dikenal sebagai persahabatan.

96
BAB 4 Ruang Kelas

Berbeda dari pengertian kamus, pada pengertian ahli ditemukan


pandangan berbagai ahli tentang konsep sistem sosial. Berikut dike-
mukakan beberapa pengertian berbagai ahli tentang konsep sistem
sosial tersebut. Dalam buku modul Universitas Terbuka, Pengantar
Sosiologi, Robert M.Z. Lawang (1985: 56) menjelaskan deinisi sistem
sosial. Adapun inti gagasan Lawang tentang sistem sosial sebagai
berikut: “sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang hubungan tim-
bal-baliknya kurang lebih bersifat konstan.”
Seperti telah didiskusikan pada bab terdahulu, sosiolog utama
yang dirujuk jika membahas sistem sosial adalah Talcott Parsons.
Parsons merupakan salah seorang tokoh utama yang mempopuler-
kan pendekatan sistem dalam sosiologi kontemporer. Suatu sistem
hanya bisa fungsional apabila semua persyaratan terpenuhi. Apa saja
persyaratan fungsional yang dibutuhkan oleh suatu sistem? Ada em-
pat persyaratan fungsional yang dibutuhkan oleh suatu sistem, yaitu:
Adaptation/adaptasi (A), Goal attainment/pencapaian tujuan (G), In-
tegration/integrasi (I), dan Latent pattern maintenance/pola pemeli-
haraan laten (L).
Sekarang bagaimana kita memahami ruang kelas sebagai sistem
sosial? Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur yang saling fungsion-
al antara satu sama lain, yaitu guru, murid dan manajemen sekolah.
Setiap aktor memperhatikan status dan peran sebelum mereka ber-
tindak dan berperilaku. Status aktor, apakah ia sebagai guru, murid
atau manajemen sekolah, memiliki perilaku yang diharapkan dari se-
seorang untuk dimainkan, dikenal juga sebagai peran. Status sebagai
manajemen sekolah diharapkan memainkan peran sebagai pengelola
yang efektif dari sisi teknis administratif serta penyediaan sarana
dan prasarana sekolah yang dibutuhkan. Selanjutnya, status sebagai
guru diharapkan untuk berperilaku sebagai seorang pendidik, pen-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gayom, pengasuh, dan pemberi motivasi bagi peserta didik. Adapun


status sebagai murid, umumnya, diharapkan untuk berperilaku se-
bagai seorang penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pen-
cari kebenaran. Dalam ruang kelas, hubungan antara guru dan murid
dengan status dan peran mereka masing-masing membentuk suatu

97
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

jaringan hubungan yang terpola. Pola jaringan hubungan antara


guru dan murid akan memberikan dampak terhadap perilaku, kom-
petensi, kapital sosial budaya, dan keberhasilan peserta didik di masa
akan datang. Topik ini merupakan bahan kajian dalam teori ruang ke-
las dengan pendekatan interaksi. Dalam pendekatan interaksi, guru
dan murid dituntun oleh harapan peran yang melekat pada posisi
dan status mereka. Harapan peran tersebut dipahami melalui proses
sosialisasi yang mereka alami, baik pada sosialisasi primer maupun
sekunder.

3. Ruang Kelas Sebagai Sistem Interaksi


Apa itu sistem interaksi? Seperti telah didiskusikan di atas, kon-
sep sistem dipahami sebagai sekumpulan dari bagian atau kompo-
nen-komponen yang saling berhubungan dalam ketergantungan satu
sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Adapun
konsep interaksi (sosial) diartikan di sini sebagai suatu tindakan tim-
bal-balik antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komu-
nikasi. Dari penjelasan konsep sistem dan inteksi (sosial) di atas dan
bab terdahulu, diulang lagi, bahwa sistem interaksi (sosial) merupak-
an suatu tindakan timbal-balik atau saling berhubungan antara dua
orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi dalam keter-
gantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu kes-
eluruhan. Dari deinisi tersebut maka hubungan guru-murid di ruang
kelas dapat dipandang sebagai suatu masyarakat. Sebab hubungan
guru-murid merupakan suatu interaksi sosial, di mana dalam konsep
persahabatan, hubungan guru-murid mengandung suatu tindakan
timbal-balik antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan
komunikasi. Di samping itu hubungan guru-murid dapat dipandang
sebagai suatu sistem, yaitu sebagai sekumpulan dari bagian atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

komponen-komponen yang saling berhubungan dalam ketergantun-


gan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.
Oleh karena itu pula hubungan guru-murid dapat dilihat sebagai
sistem interaksi (sosial).
Untuk pemahaman lebih dalamnya, mari kita mengupas tun-

98
BAB 4 Ruang Kelas

tas hubungan guru-murid di ruang kelas sebagai sistem interaksi.


Hubungan guru-murid terdiri dari dua pihak yang terikat pada suatu
ikatan moral dan etika profesi kependidikan. Sebelum mereka mem-
bentuk hubungan guru-murid, sebagai individu, masing-masing mer-
eka memiliki motif, keinginan, kepentingan, kebutuhan dan orien-
tasi sendiri tentang berbagai macam hal berkaitan dengan pendidi-
kan dan kependidikan. Pada masa awal pendidikan, hubungan antara
mereka, sebagai suami dan istri, sedang mengalami penjajakan pem-
bentukan pola. Masing-masing individu, baik guru maupun murid.
memberikan sinyal, tanda, persepsi, sikap, dan tindakan tentang ses-
uatu yang berkaitan dengan keberadaan hubungan mereka. Setelah
masa penjajakan berakhir, secara perlahan, muncul pola hubungan
antara guru dan murid. Dalam pola hubungan antara guru dan mu-
rid, tidak semua motif, keinginan, kepentingan, kebutuhan dan ori-
entasi yang dimiliki oleh guru dan masing-masing murid tercakup
dalam pola tersebut. Namun ketika suatu pola hubungan guru-murid
telah terbentuk maka ia menjadi milik bersama dan menjadi rujukan
dalam perilaku dan tindakan masing-masing individu, baik guru dan
murid. Dalam pola hubungan tersebut berisi berbagai “kesepakatan”,
seperti tentang disiplin, kebersihan, karapihan, pekerjaan rumah,
kuis, ulangan harian, ulang tengah semester, ujian semester, dan se-
bagainya. Dalam “kesepakatan” tersebut terkandung prinsip bahwa
bahwa mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, antara
guru dan semua murid, dalam melakasanakan kegiatan proses belajar
mengajar. Pola hubungan tersebut juga menjadi pengontrol perilaku
masing-masing. Pola hubungan tersebut dilihat sebagai sistem inter-
aksi.
Ruang kelas sebagai sistem interaksi dikaji secara mendalam
dalam teori ruang kelas dengan pendekatan interpretatif. Pendeka-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tan ini meletakkan aktor yang terlibat, baik guru maupun murid, se-
bagai makhluk yang aktif dan kreatif dalam membangun dunianya,
dalam hal ini kaitannya dengan ruang kelas. Ruang kelas sebagai
sistem interaksi dipenuhi oleh fenomena deinisi situasi, interpretasi
realitas, dan pemaknaan terhadap kenyataan yang dihadapi.

99
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

4. Ruang Kelas Sebagai Sistem Pertukaran


Dalam melihat ruang kelas sebagai sistem pertukaran, ruang
kelas dipandang terdiri dari bagian-bagian (individu atau kelompok
individu) yang saling ketergantungan dalam suatu pertukaran. yang
terpola. Dengan kata lain, bagian-bagian, unsur-unsur atau item-
item memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang ter-
us-menerus dan ajek. Pertukaran dilakukan karena bagian-bagian,
dalam hal ini individu-individu, dilihat sebagai makhluk yang rasion-
al, dia memperhitungkan untung rugi. Suatu sistem bertahan apabila
semua unsur pembentuk sistem memperoleh untung atau minimal
tidak mendapatkan kerugian. Seperti telah didiskusikan pada bab
2, bahwa keuntungan tidak selalu bersifat ekstrinsik tetapi juga bisa
bersifat intrinsik. Jika ada bagian atau unsur pembentuk sistem
mengalami kerugian, maka diperkirakan sistem tidak bisa terbentuk
atau apabila sistem telah ada maka bisa jadi sistem akan bubar.
Mari kita pahami lebih dalam dengan contoh hubungan guru-
murid. Melalui cara pandang ruang kelas sebagai sistem pertukaran,
kita bisa melihat bahwa hubungan guru-murid sebagai suatu sistem
pertukaran. Hubungan guru-murid sebagai suatu sistem pertukaran
terbentuk apabila unsur-unsur atau item-item, dalam hal ini guru dan
para murid, memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran
yang terus-menerus dan ajek. Dalam sistem pertukaran, guru dan
murid dipandang mempunyai ketergantungan satu sama lain dalam
rangka memperoleh keuntungan, baik bersifat ekstrinsik berupa ma-
teri dan benda maupun intrinsik berupa nilai (peringkat), penghar-
gaan, pengakuan, perhatian, cinta, kasih sayang. Apa yang dilakukan
oleh guru berujung pada pendapatan inansial yang layak, penghar-
gaan, pengakuan, dan kecintaan dari para murid, orangtua/wali mu-
rid, dan kepala sekolah. Adapun para murid dalam proses pertukaran
http://facebook.com/indonesiapustaka

berusaha memperolah nilai (peringkat), penghargaan, kasih sayang,


perhatian dan cinta dari guru.
Ruang kelas sebagai sistem pertukaran dianalis berdasarkan
teori pertukaran. Teori pertukaran dapat ditelusuri dari berbagai
tokoh mereka seperti George Homans, Peter M. Blau, John hibout

100
BAB 4 Ruang Kelas

dan Harold H. Kelley. Dalam pendekatan ini, seperti telah didiskusi-


kan pada bab terdahulu, para pelaku pertukaran dipandang sebagai
makhluk rasional. Dia mempertimbangkan untung rugi (cost-beneit
ratio) dalam memutuskan sesuatu. Jika untung, dia akan melakukan
sesuatu; jika rugi dia akan meninggalkan atau tidak melakukan ses-
uatu.
Untuk memahami ini mari kita coba menggunakan teori pertu-
karan dari George Caspar Homans untuk menjelaskan ruang kelas
sebagai suatu sistem pertukaran. Homans mengembangkan bebera-
pa proposisi untuk memahami kenyataan sosial dari sudut pandang
teori pertukaran:

a. Proposisi sukses (the Succes Pproposition)


“Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu
memperoleh ganjaran/hadiah, semakin besar kemungkinan orang
melakukan tindakan itu”.
Pada proposisi ini dijelaskan bahwa jika seseorang berhasil
mendapatkan ganjaran/hadiah, maka ia cenderung akan mengu-
langi kegiatan tersebut. Jika seorang anak, misalnya, dipuji karena
penampilannya yang menarik, maka ia akan cenderung berpenampi-
lan menarik lagi di masa akan datang. Atau jika seorang berhasil
memperoleh indeks prestasi tinggi karena ketekunan dan keserius-
anya belajar, maka di masa akan datang dia akan cenderung belajar
secara tekun dan serius unruk memperoleh nilai tinggi.

b. Proposisi Stimulus (the stimulus Proposition)


“Bila kejadian di masa lalu stimulus tertentu atau seperangkat
stimuli telah menyebabkan tindakan orang diberi ganjaran/hadiah,
maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang dengan stimuli di
http://facebook.com/indonesiapustaka

masa lalu, makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan se-


rupa”
Perulangan perilaku sangat mungkin terjadi jika stimuli saat
ini tidak berbeda dengan stimuli masa lampau yang mana perilaku
tersebut diberi ganjaran/hadiah. Mari kita ambil contoh sederhana

101
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

yang dikemukakan oleh Homans sendiri: “Pemancing yang melem-


parkan kailnya ke dalam kolam yang keruh dan berhasil menangkap
ikan, akan lebih suka memancing di kolam yang keruh kembali”. Atau
kita ambil contoh lain. Seorang pedagang kakilima menggelar ba-
rangnya di trotoar perempatan yang sibuk ternyata tidak digusur dan
mendapatkan angka penjualan tinggi, maka pada hari-hari berikut-
nya dia akan berdagang di sana. Atau misalkan pada semester kedua
perkuliahaannya, Ahmad merasakan dan mengalami belajar mandiri
lebih eisien dan berhasil meraih nilai tertinggi dibandingkan den-
gan belajar kelompok. semenjak itu dia lebih suka belajar mandiri
ketimbang belajar kelompok. Adapun stimuli pada tiga contoh ba-
rusan adalah pada yang pertama memancing di kolam yang keruh,
bukan di kolam air tenang atau di kali. Sementara kedua berjualan di
trotoar perempatan yang sibuk tidak digusur, bukan di pasar. Adapun
ketiga belajar mandiri, bukan belajar berkelompok.

c. Proposisi Nilai (the Value Proposition)


“Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka besar kemungkinan
seseorang melakukan tindakan itu”
Pada proposisi ini Homans memperkenalkan konsep ganjaran/
hadiah. Proposisi nilai berkait dengan derajat atau tingkat di mana
orang menginginkan ganjaran/hadiah yang diberikan oleh stimulus:
lebih atau kurang berharga, lebih atau kurang prioritas. Misalkan,
mana yang lebih berharga menonton konser dari suatu grup band
pavorit yang telah lama diimpikan untuk menghadirinya atau bela-
jar untuk menghadapi ujian mid keesokan paginya? Jadi, mahasiswa
harus antara memilih menonton konser yang berarti mengabaikan
nilai ujian atau belajar yang berarti mengabaikan kesempatan yang
seumur hidup belum mungkin akan bertemu lagi. Dalam stimulus
http://facebook.com/indonesiapustaka

seperti, Homans mengatakan bahwa mahasiswa akan melakukan tin-


dakan berdasarkan nilai yang paling tinggi dari pilihan yang ada.

d. Proposisi deprivasi-satiasi (the Deprivation-Satiation Propotition)


“Semakin sering seseorang menerima ganjaran/hadiah tertentu
di masa lalu yang dekat, maka makin kurang bernilai baginya setiap

102
BAB 4 Ruang Kelas

unit ganjaran/hadiah berikutnya”


Proposisi ini mengingatkan kemungkinan terjadinya kejenuhan
dengan ganjaran tertentu. Kembali kepada kasus mahasiswa, ternyata
dia memilih menonton konser. Kenapa? Pada masa lampau, nilai-ni-
lai harian dari mata kuliah yang akan diuji sangat bagus. Berdasarkan
perhitungan yang ada, jika nilainya turun pada mid, akan tertutupi
dengan nilai-nilai harian. Selain itu dia juga sudah mempersiapkan
diri jauh hari untuk ujian mid mata kuliah tersebut. Dia yakin masih
akan memperoleh nilai bagus, atau paling tidak yang nilai tidak jelek.
Kalaupun salah perhitungan, secara komulatif nilainya masih tetap
bagus meski nilai satu mata kuliah yang diuji besok tidak baik. Jadi,
dia memilih konser karena telah terjadi kejenuhan dengan ganjaran
dari nilai-nilai ujian dari mata kuliah.yang telah diikuti.

e. Proposisi Agresi-Persetujuan (the Aggression-Approval Proposition)


Proposisi A: “Bila tindakan seseorang tidak memperoleh gan-
jaran/hadiah yang ia harapkan atau menerima hukuman yang tidak
ia harapkan, ia akan marah; besar kemungkinan ia akan melakukan
perilaku agresif dan akibatnya perilaku demikian menjadi lebih ber-
nilai baginya”.
Proposisi B: “Bila tindakan seseorang memperoleh ganjaran/
hadiah yang diharapkannya, terutama ganjaran/hadiah yang lebih
besar dari yang ia harapkan, atau tidak menerima hukuman yang ia
bayangkan, maka ia akan merasa senang; ia makin besar kemungki-
nannya melaksanakan perilaku yang disetujui dan hasil dari tindakan
seperti itu akan menjadi lebih bernilai baginya”.
Proposisi berlapis dua ini berkait dengan keadaan mental-emo-
sional manusia. Kita lanjutkan kasus mahasiswa kita. Bila ternyata
setelah sampai di tempat konser, tiket masuk pertunjukan habis.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka ia akan sangat kecewa dan marah. Sebaliknya, ternyata dia


mendapatkan tiket dan bisa menonton konser tersebut, dia merasa
senang.

103
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

f. Proposisi Rasionalitas (the Rationality Proposition)


“Dalam memilih di antara berbagai tindakan alternatif, ses-
eorang akan memilih satu di antaranya, yang dia anggap saat itu me-
miliki nilai/value (V), sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas (p),
untuk mendapatkan hasil, yang lebih besar”.
Proposisi ini berkaitan denga teori pilihan rasional yang berakar
dari teori ekonomi. Pertimbangan antara nilai dari ganjaran/hadiah
dan probabilitas, yaitu kemungkinan untuk mencapai atau meraih-
nya, akan bermuara pada pilihan rasional yang akan dijatuhkan oleh
aktor. Nilai tertinggi belum tentu menjadi pilihan aktor apabila prob-
abilitasnya sangat rendah. Sehingga yang akan dipilih aktor adalah
nilai di bawah dari yang tertinggi, namun probalitasnya tinggi menu-
rut aktor.

B. TEORI RUANG KELAS


Ruang kelas telah menjadi kajian menarik bagi para pengkaji pen-
didikan, termasuk sosiologi. Terdapat beberapa pendekatan dalam
sosiologi tentang ruang kelas, yaitu pendekatan interaksi, pendeka-
tan interpretatif, dan pendidikan radikal.

1. Pendekatan Interaksi
Pendekatan interaksi memberikan perhatian yang khusus ter-
hadap pengamatan pada metode pengajaran dalam mengelola ruang
kelas yang eisien.

a. Perilaku dominatif versus integratif


Pendekatan interaksi memperhatikan bagaimana pengaruh pe-
rilaku dominatif yang diperbandingkan dengan perilaku integra-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tif terhadap anak. Guru, dalam perspektif ini, dipandang memiliki


perilaku yang berbeda dalam memperlakukan murid atau peserta
didik di ruang kelas. Perilaku dominatif guru dalam kelas menge-
sankan bentuk kediktatoran dalam ruang kelas. Perilaku dominatif
memosisikan guru sebagai sumber kebenaran. Guru juga dipandang

104
BAB 4 Ruang Kelas

sebagai makhluk maha tahu terhadap segala sesuatu. Gurulah seb-


agai tokoh penentu tentang benar salah terhadap suatu hal, misalnya
sikap, perilaku, aktivitas, atau kerja. Sebaliknya anak dianggap seb-
agai makhluk bodoh, yang senantiasa perlu bimbingan dan arahan
dari guru.
Adapun perilaku integratif guru dalam ruang kelas akan me-
nyebabkan terangkulnya bahagian terbesar murid dalam aktivitas di
ruang belajar. Perilaku integratif memosisikan guru sebagai sumber
motivasional dan inspirasi. Guru memberikan dorongan, inspirasi
dan motivasi terhadap semua peserta didik, tanpa kecuali: miskin
atau kaya, bodoh atau pintar, sehat atau dispabel, serta jelek atau
cantik/gagah. Perilaku integratif guru memberikan ruang inklusivi-
tas terhadap semua jenis perbedaan latarbelakang peserta didik un-
tuk memperoleh dorongan, inspirasi dan motivasional yang sama.
Studi perilaku guru telah dilakukan oleh H.H. Anderson, namun
studi tersebut, seperti yang dikutip oleh Robinson (1986: 128), tidak
sampai menjelaskan tentang perilaku seperti apa yang paling efesien
dan efektif dalam mengajar di ruang kelas.

b. Gaya kepemimpinan guru


Gaya kepemimpinan guru dapat mempengaruhi produktiitas
anak-anak di ruang kelas. Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat
dibagi sedikitnya dalam 3 jenis, yaitu otokratik, demokratik, dan
laisser-faire. Gaya kepemimpinan guru yang otokratik dicirikan den-
gan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang bertukar
pandangan/pendapat terhadap sesuatu antara guru dan murid, dan
tidak memberikan ruang bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu. Se-
lanjutnya, gaya kepemimpinan guru yang demokratik ditandai den-
gan kepemimpinan yang demokratis, adanya ruang untuk bertukar
http://facebook.com/indonesiapustaka

pandangan/pendapat, dan kebaikan bersama dikonstruksikan secara


bersama melalui musyawarah. Adapun, gaya kepemimpinan laisser-
faire dikarakteristikkan dengan kepemimpinan yang cuek dan ruang
bertukar pandangan/pendapat tidak diperlukan sebab peserta didik
dibolehkan melakukan apa saja apabila dia memandang sesuatu itu
penting untuk dilakukan.

105
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Gaya kepemimpinan demokratik diajukan sebagai suatu bentuk


gaya yang perlu dikembangkan di sekolah. Walaupun produktiitas
anak paling tinggi di bawah gaya kepemimpinan otokratik apabila ia
hadir di ruang kelas. Namun bila ia tidak ada, produktiitasnya ren-
dah, seperti halnya anak-anak di bawah pengasuhan guru yang ber-
pola kepemimpinan yang laisser-faire. Anak-anak merasa puas dan
senantiasa produktif di bawah pengasuhan guru yang demokratis
(Robinson, 1986: 129).
Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat mempengaruhi cara
berpikir, cara merasa, dan cara bertindak siswa di kemudian hari.
Bagi siswa yang menganggap apa-apa yang diterima, diperoleh, dan
dipelajari si sekolah merupakan suatu yang baik untuk dijadikan
pedoman, referensi atau rujukan di masa akan datang, maka sikap
dan perilaku sosial budaya dan politik siswa tersebut, secara teoritis
hipotetis akan, juga bias cermin gaya kepemimpinan gurunya ketika
di masa sekolah dulu. Seberapa jauh bias tersebut, tergantung pula
konteks sosialisasi lainnya, baik primer maupun sekunder.

c. Teacher Centred Versus Learner Centred


Withal, seperti juga dikutip oleh Robinson (1986: 128), melihat
bagaimana proses pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher
centred) dibandingkan dengan yang berpusat pada pelajar (lerner
centred). Apakah guru diposisikan sebagai orang yang memberikan
petunjuk-petunjuk, menetapkan arahan-arahan, mengeluarkan nas-
ehat-nasehat, dan membenarkan otoritas atau sebagai orang yang
menerima perasaan-perasaan, menghargai gagasan-gagasan, mem-
berikan dorongan kepada murid dan mengajukan pertanyaan-per-
tanyaan. Pola hubungan guru-murid yang disebut pertama dikenal
sebagai teacher-centered. Adapun hubungan guru-murid yang disebut
http://facebook.com/indonesiapustaka

terkahir dikenal sebagai learner-centered. Semakin cenderung hubun-


gan guru-murid ke arah teacher-centered maka semakin cenderung
pula ketergantungan murid terhadap guru dan semakin kecil ke-
mandirian murid. Sebaliknya, apabila hubungan guru-murid semakin
cenderung ke arah learner-centered, maka semakin kurang ketergan-
tungan terhadap guru dan semakin tinggi kemandirian murid. Jadi,

106
BAB 4 Ruang Kelas

menurut Withal, guru dengan menggunakan pendekatan lerner cen-


tred lebih efektif pengajarannya di ruang kelas dibandingkan dengan
guru yang menggunakan pendekatan teacher centred.
Pola hubungan antara guru dan murid dalam proses belajar men-
gajar (PBM) dapat juga merupakan pedoman, referensi atau ruju-
kan di masa akan datang dalam merasa, berpikir, bersikap, dan ber-
perilaku yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan sep-
erti sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Seperti telah disebut di atas,
seberapa besar sosialisasi di sekolah berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku seorang peserta didik di masa dewasanya tergantung pula
pada konteks sosialisasi lainnya, baik primer maupun sekunder.

2. Pendekatan Interpretatif
Realitas sosial termasuk ruang kelas, seperti telah dibahas pada
bab sebelumnya, dipahami sebagai kenyataan interaksional yang di-
penuhi berbagai simbol. Kenyataan, oleh sebab itu, dipandang sebagai
interaksi interpersonal yang menggunakan simbol-simbol, di mana
individu secara aktif, melalui proses interpretatif, mengonstruksikan
tindakan-tindakannya dan proses interaksi di mana individu menye-
suaikan diri dan mencocokkan berbagai macam tindakannya dengan
mengambil peran dan komunikasi simbol.
Salah satu proses interpretatif dipahami oleh W.I. homas (1966)
sebagai deinisi situasi. Bagi homas suatu stimulus (rangsangan) ti-
dak langsung dilanjuti dengan tanggapan (respon), tetapi melewati
suatu proses yang dikenal sebagai deinisi situasi yaitu suatu pros-
es penilaian dan pertimbangan melalui pemberian makna terha-
dap suatu stimulus yang diterima. Dalam berbagai situasi, msalnya
di jalanan, di pasar, atau di tempat kerja, ketika orang berpapasan
dengan orang lain sering mendapatkan tatapan yang disertai dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

berbagai sikap dan perilaku seperti senyum, salam, anggukan, dan


sebagainya. Sikap dan perilaku tersebut tidak serta merta ditanggapi,
tetapi situasi tersebut terlebih dahulu dideinisikan. Bisa jadi suatu
senyum, salam, dan anggukan dideinisikan sebagai jebakan atau per-
angkap. Oleh sebab itu, senyum, salam, dan anggukan tersebut di-

107
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

tanggapi secara dingin. Tanggapan secara dingin tersebut merupakan


respon yang muncul karena didahului oleh deinisi situasi.
Dalam kaitan dengan deinisi situasi, salah satu gagasan penting
dari homas adalah ungkapannya tentang: “when men deine situation
as real, they are real in their consequences” (jika orang mendeinisikan
situasi sebagai suatu hal nyata, situasi itu nyata dalam konsekuen-
sinya). Apa yang dikatakan oleh W.I. homas, dikuatkan oleh Waller,
seperti dikutip Robinson (1986), bahwa sekali suatu situasi dipan-
dang dengan cara tertentu dan dalam suatu “konigurasi tertentu”,
maka akan sangat sulit untuk melihatnya lagi dengan cara yang ber-
beda. Jadi, ketika suatu deinisi situasi terbentuk, maka ia digunakan
terus menerus digunakan, sehingga sukar untuk mengubahnya. Den-
gan cara pandang demikian maka sekali guru mendeinisikan situasi
hubungannya dengan seorang murid sebagai seorang bodoh, maka
deinisi tersebut akan terus digunakan, sehingga sukar merubahnya,
meskipun murid tersebut tidak lagi bodoh, misalnya.
Dengan cara pandang deinisi sosial, maka pendidikan, menurut
Waller, merupakan seni menanamkan deinisi situasi yang berlaku
pada kaum muda, dan yang sudah diterima oleh golongan penyeleng-
gara sekolah. Dengan demikian sekolah merupakan suatu alat yang
ampuh untuk melakukan kontrol sosial (seperti dikutip Robinson,
1986: 135).

3. Pendekatan Radikal
Salah satu teori yang terpenting dalam pendekatan radikal
adalah teori pelabelan (teori labelling). Teori ini dikatakan radikal
karena ia mempertanyakan sesuatu yang dipandang “memang seha-
rusnya demikian” dan memberikan alternatif cara pandang dalam
melihat sesuatu. Teori pelabelan memiliki akar pemikiran yang sama
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan teori deinisi situasi dari W. I. homas, yaitu perspektif inter-


aksionisme simbolik.
Teori pelabelan memberikan penekanan pada signiikansi label
(nama, reputasi) yang diberikan pada diri seseorang. Oleh sebab itu,
label dipandang menjadi bagian dari konsep diri seseorang, yang

108
BAB 4 Ruang Kelas

membawa seseorang ke arah suatu persepsi, prasangka atau penyim-


pangan tertentu yang dikenakan pada diri-nya atau sebaliknya keluar
dari semua yang disebut tersebut. Pertanyaan menarik bagi teori
pelabelan bukanlah “bagaimana seseorang memperoleh suatu label
tertentu?” melainkan “mengapa seseorang dilabel seperti itu, bukan
dengan label lain?”. Untuk memahami ini maka ada baiknya kita me-
mahami hasil penelitian Ray Rist, seperti yang dikutip oleh Henslin
(2008: 159):
Risk melaksanakan observasi partisipatif dalam suatu sekolah
dasar Afro-Amerika. Ia menemukan bahwa hanya waktu delapan
hari, guru taman kanak-kanak merasa bahwa ia sudah mengeta-
hui kemampuan anak-anak dan menempatkan mereka ke tiga
meja terpisah. Di Meja 1, Ny. Caplow menempatkan mereka yang
dianggapnya “pembelajar cepat.” Mereka duduk di bagian depan
kelas yang terdekat dengannya. Mereka yang dianggapnya “pem-
belajar lambat” ditempatkannya di Meja 3 yang terletak di bagian
belakang kelas. Ia menempatkan siswa “rata-rata” di Meja 2, di an-
tara kedua meja lainnya.
Hal ini mengherankan Rist. Ia tahu bahwa anak-anak belum men-
jalani tes kemampuan, namun gurunya yakin bahwa ia dapat men-
gidentiikasi siswa yang cerdas dan yang tidak cerdas. Setelah me-
nyelidiki lebih lanjut, Rist menemukan bahwa kelas sosial meru-
pakan dasar yang melandasi penempatan anak-anak di meja ber-
beda. Anak-anak kelas menengah dipisahkan untuk ditempatkan
di Meja 1, anak-anak dari rumah tangga lebih miskin ditempatkan
di Meja 2 dan Meja 3. Guru memberikan perhatian tersebesar pada
anak-anak di Meja 1, yang paling dekat dengannya, lebih sedikit
perhatian di Meja 2, dan perhatian terkecil ke Meja 3. Dengan
berjalannya waktu anak-anak dari Meja 1 mempersepsikan bahwa
mereka diperlakukan dengan lebih baik dan mulai menganggap
diri mereka lebih pandai. Mereka menjadi pemimpin dalam ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

giatan kelas dan bahkan mengejek anak-anak di meja-meja lain


dengan memanggil mereka “bodoh.” Pada akhirnya anak-anak di
Meja 3 lebih cenderung menarik diri dari banyak kegiatan kelas.
Pada akhir tahun, hanya anak-anak di Meja 1 yang berhasil me-
nyelesaikan pelajaran yang mempersiapkan mereka untuk dapat
membaca.

109
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Penjurusan awal ini bertahan. Guru kelas satu mereka melihat


prestasi yang telah mereka capai dan menempatkan mereka yang
berasal Meja 1 untuk duduk di Meja 1 kelas satu. Ia memperlaku-
kan meja-meja tersebut seperti cara guru taman kanak-kanak
memperlakukan siswa-siswanya, dan siswa di Meja 1 kembali me-
mimpin kelas.
Reputasi anak-anak terus memberikan dampak pada hidup mer-
eka. Guru kelas dua meninjau mereka dan juga membagi kelasnya
dalam tiga kelompok. Yang pertama dinamakannya “Macan” dan,
sesuai dengan namanya, diberi bahan bacaan menantang. Tidak-
lah mengherankan bahwa para Macan ini berasal dari Meja 1 di
taman kanak-kanak. Kelompok kedua dinamakannya “Perkutut.”
Kelompok ketiga terdiri atas anak-anak yang tahun lalu tidak lu-
lus, yang dinamakan “Badut.” Para Perkutut danh Badut mendapat
bahan bacaan yang kurang menantang.
Rist menyimpulkan bahwa perjalanan masing-masing anak selama
sekolah ditentukan sejak hari kedelapan di taman kanak-kanak!

Mengapa anak-anak diberi label Meja 1, Meja 2, dan Meja 3 oleh


guru taman kanak-kanak? Jawabannya, kata Rist, adalah penjenjan-
gan atau stratiikasi dari kelas sosial dari sang murid: semakin bawah
strata yang dimiliki seorang murid taman kanak-kanak, maka sema-
kin besar nomor Meja yang ditentukan oleh sang guru, juga semakin
rendah kualitas pemahaman belajar sang anak, menurut guru. Cara
seperti ini dipandang sebagai pemberian label!
Dalam teori ini, korban pemberian label dilihat sebagai korban,
yaitu korban penggunaan kekuasaan yang semena-mena dari peme-
gang kekuasaan, suatu bentuk dari abuse of power (penyalahgunaan
kekuasaan). Guru, dalam hal ini guru taman kanak-kanak, telah
menggunakan kekuasaan untuk memberikan label terhadap semua
murid tanpa didahului dengan tes kecerdasan atau sejenisnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Selanjutnya, apa konsekuensi pemberian label terhadap murid?


Dampak pemberian suatu label terhadap murid adalah persepsi, pra-
sangka atau penyimpangan tertentu yang dikenakan pada diri-nya.
Bagi anak dari Meja 1 memiliki persepsi positip dan prasangka baik

110
BAB 4 Ruang Kelas

terhadap dirinya sendiri atas label yang diberikan oleh guru mere-
ka; sebaliknya bagi murid Meja 2 dan Meja 3, merereka mempunyai
persepsi negatif dan prasangka tidak baik terhadap dirinya send-
iri. Persepsi dan prasangka ini menciptakan self-fulilling prophecy
(pembenaran ramalan pribadi), yaitu suatu ramalan yang mengawali
serangkaian peristiwa, yang akhirnya membuat ramalan itu benar-
benar menjadi kenyataan; sehingga mereka dikelompokkan sama
seperti apa yang mereka persepsikan dan prasangka seperti awal-
nya. Pelabelan lanjutan yang diwujudkan dalam pengelompokan di
kelas satu dan kelas dua semakin menegaskan persepsi dan praduga
tentang diri mereka sendiri dan diri orang lain yang terkait dengan
proses pengelompokan tersebut. Hal itu terjadi karena label mem-
buat orang melakukan atensi selektif (selective attention), di mana
label menuntun kita untuk melihat hal tertentu dan menutup mata
terhadap hal yang lain, meskipun ada bukti bahwa label yang menun-
tun tersebut salah. Sementara itu, kurangnya pilihan menyebabkan
orang yang dilabel lama-kelamaan memandang dirinya sendiri seb-
agaimana orang lain memandangnya.

C. RUANG KELAS DAN PEMELIHARAAN KETERTIBAN


SERTA DISIPLIN
Bagaimana guru mengontrol kelas? Kenapa ada situasi yang ber-
beda dalam kelas yang sama? Jika seorang guru sedang menerang-
kan suatu pelajaran kepada muridnya pada suatu kelas, suasana kelas
tampak terkendali. Namun pada kelas yang sama bila diajar oleh guru
tertentu, maka suasana kelas tidak terkendali. Kenapa demikian?
Atau bila seorang guru keluar kelas karena harus ke toilet, sang guru
meletakkan peci di atas meja, memberikan tugas sekolah, atau me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyuruh seorang murid membantu untuk mencatat di papan tulis,


ternyata kelas terkendali. Sebaliknya guru yang lain, meskipun dia
berada di ruang kelas, namun suasana ruang kelas tidak terkendali.
Kenapa demikian?
Hal yang disebut barusan terkait dengan pemeliharaan keter-

111
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

tiban dan disiplin. Pemeliharaan ketertiban dan disiplin merupakan


dua konsep yang berdekatan. Pemeliharaan ketertiban berkait den-
gan kemampuan diri untuk tertib sesuai dengan konstruksi sosial dan
hukum yang ada. Adapun disiplin merupakan kemampuan diri un-
tuk taat, patuh dan berkomitmen untuk sesuai apa yang dipandang
baik dan benar dalam konstruksi sosial, budaya dan hukum. Jadi, apa
hubungan antara pemeliharaan ketertiban dan disiplin? Berdasarkan
pemahaman makna di atas maka dapat dimengerti bahwa orang yang
memiliki disiplin akan melakukan pemeliharaan ketertiban. Dengan
kata lain, murid yang memiliki disiplin, misalnya, maka ia akan cen-
derung memelihara ketertiban, termasuk ketertiban ruang kelas. Ka-
lau demikian alur pikir kita, bagaimana datangnya disiplin?
Tentu disiplin bukan sesuatu yang muncul dari langit atau ter-
bit dari dalam bumi, melainkan merupakan hasil dari suatu proses
konstruksi sosial, yang melibatkan proses eksternalisasi, obyektii-
kasi, dan internalisasi. Taat akan aturan perundangan yang ada dan
komit terhadap rencana dan tujuan yang telah dirancang (yang ada)
merupakan hasil obyektiikasi dari proses pengkristalan dari berb-
agai kegiatan interpersonal yang dipandang baik, benar, efektif dan
eisien dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan dengan
berbagai dimensinya (sosial, budaya, politik, hukum, dan ekonomi).
Eksternalisasi berbagai kegiatan interpersonal tersebut mengkristal
secara perlahan sehingga terbentuk sebagai sesuatu yang bersifat
eksternal, umum (general), dan memaksa, seperti yang dirujuk oleh
Durkheim sebagai fakta sosial. Taat akan aturan perundangan yang
ada dan komit terhadap rencana dan tujuan yang telah dirancang
tidak menjadi sesuatu yang diluar dari kesadaran individu karena
ia telah mengalami proses internalisasi, yaitu suatu proses menda-
rahdagingkan, menjadikan sesuatu yang asing menjadi sesuatu yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

dikenal dan dipahami sebagai bahagian dari diri sendiri sehingga re-
alitas obyektif dapat dipahami sebagai realitas subyektif.
Kenapa suatu ruang kelas bisa mengalami tidak tertib dan disip-
lin? Ada dua pihak yang berkait dengan situasi tersebut, yaitu guru
dan murid. Ketika ruang kelas tidak tertib dan disiplin maka salah

112
BAB 4 Ruang Kelas

satu akar dari persoalan tersebut mungkin bisa ditelusuri bagaimana


guru mensosialisasikan ketaatan terhadap aturan perundangan yang
ada dan komitmen terhadap rencana dan tujuan yang telah dirancang
(yang ada). Dari sisi guru terdapat beberapa hal yang menyebabkan
sosialisasi tidak seperti yang diharapkan, yaitu antara lain kegagalan
memainkan peran guru, kegagalan memahami konsep disiplin, atau
ketiadaan dukungan kelembagaan.
Kegagalan memainkan peran guru yang diharapkan, seperti
ketidakmampuan dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan norma
yang dipandang penting kepada murid, dapat dialami oleh guru. Keti-
dakmampuan tersebut tersebut bisa dikarenakan karena persiapan
peran sebagai guru yang tidak memadai. Seorang masuk ke pergu-
ruan tinggi pendidikan guru karena terpaksa, dengan berbagai alasan
keterpaksaan, cenderung tidak mempersiapkan diri secara memadai
dalam menguasai keterampilan, praksis, atau kompetensi sebagai
guru. Konsekuensi logis dari keadaan ini adalah dia gagal memainkan
peran guru seperti yang diharapkan, misalnya sosialisasi yang baru-
san didiskusikan di atas.
Kegagalan memahami konsep disiplin tidak hanya oleh guru seb-
agai pendidik tetapi juga kelihatannya oleh kebanyakan anggota ma-
syarakat Indonesia. Kita sering mengidentikkan konsep didiplin den-
gan kemampuan baris-berbaris atau ketegasan seperti yang dikon-
struksi dalam komunitas militer. Dalam kenyataannya, terdapat bu-
daya dan situasi sosial yang berbeda antara komunitas militer dengan
non-militer. Perbedaan tersebut memberi dampak pada perbedaan
implementasi dari pengertian konsep antara komunitas militer dan
non-militer. Konsep disiplin baik dalam komunitas militer maupun
non-militer memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan
perundangan yang ada dan komit terhadap rencana dan tujuan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

telah dirancang (yang ada). Namun mereka berbeda dalam penera-


pannya, yang di dalamnya ada metode, penghargaan (reward) dan hu-
kuman (punishment).
Dalam komunitas militer, disiplin disosialisasikan dalam institusi
total (total institution), yaitu suatu tempat di mana sejumlah individu

113
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

menghabiskan waktu yang cukup lama terlibat dan berperan dalam


kehidupan yang diatur secara formal dan terpisah dari masyarakat
luas, dalam hal ini kamp pelatihan militer. Dalam kamp pelatihan,
individu dicabut identitasnya yang telah dimiliki sebelumnya seperti
alumni SMA ternama, keluarga pengusaha, atau anak bungsu misal-
nya. Dia bukan siapa-siapa tetapi sekedar nomor dari regu atau kes-
atuan tertentu. Dia adalah regu atau kesatuan, sebaliknya regu atau
kesatuan adalah dia. Jika ada anggota regu melakukan kesalahan,
maka semua anggota regu atau kesatuan turut menanggung tang-
gungjawab terhadap kesalahan tersebut, biasa diberi hukuman isik
yang berkaitan dengan kemampuan militer. Begitulah disiplin dalam
komunitas militer disosialisasikan.
Berbeda dalam komunitas non-militer, disiplin dikonstruksikan
dalam ruang sosial yang berbeda sama sekali dengan institusi sosial.
Dalam ruang sosial komunitas non-militer ditandai oleh kesetaraan,
demokrasi, anti-kekerasan, dan persahabatan yang merupakan ni-
lai dan norma yang dijunjung tinggi. Oleh sebab itu, penghargaan
(reward) dan hukuman (punishment) dalam sosialisasi disiplin seyo-
gyanya tidak sama dengan metode yang dilakukan dalam komunitas
militer seperti yang dilakukan selama ini. Keteladanan, harga diri, ke-
sadaran dan motivasi merupakan metode penting dalam penegakan
disiplin dalam komunitas non-militer, yang selama ini diabaikan,
termasuk oleh guru. Ketika di jalan raya, misalnya, para pengendara
yang sedang tertib menunggu lampu hijau di persimpangan dikag-
etkan oleh perilaku polisi yang melanggar rambu lalu lintas. Atau
anggota masyarakat dikagetkan oleh kenyataan bahwa oknum ten-
tara yang jadi backing dari para illegal logging, misalnya. Atau lebih
dahsyat lagi kekegagetan masyarkat Indonesia terhadap isi dari ka-
set yang diputarkan oleh permintaan Mahkamah Konstitusi dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

kaitannya dengan kasus yudicial review kasus Bibit dan Chandra dari
KPK pada akhir 2009. Kasus-kasus tersebut itu menunjukkan pen-
cederaan terhadap keteladanan yang seharusnya ditunjukkan karena
adanya harapan peran dari posisi-posisi yang dimiliki (polisi, tentara,
dan jaksa).

114
BAB 4 Ruang Kelas

Guru tidak bisa mensosialisasikan nilai dan norma yang dipan-


dang penting bisa jadi bukan karena kegagalan memainkan peran
guru dan kegagalan memahami konsep disiplin, melainkan disebab-
kan oleh ketiadaan dukungan lembaga. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan, misalnya, dalam kenyataannya tidak selalu memiliki
aturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada hanya beberapa pernyata-
an tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh siswa
selama berada di sekolah, sementara sanksi dan hukuman terhadap
sesuatu yang dilanggar bersifat tidak tertulis. Sehingga kesan yang
ditimbulkan adalah hukuman tergantung pada siapa yang memutus-
kannya tanpa ada standar dan indikator yang dapat menjadi rujukan.
Persoalan ini bertambah rumit ketika pelanggaran disiplin dilakukan
oleh siswa yang berasal dari kelas sosial tertentu, misalnya orang tua
mereka sebagai pejabat atau pengusaha yang senantiasa menjadi pe-
nyumbang tersebesar pada sekolah.
Apa sumbangan murid sehingga ruang kelas menjadi tidak tertib
dan disiplin? Beberapa sebab yang dapat diajukan adalah persiapan
peran yang tidak memadai dan tarikan kelompok rujukan (reference
group). Tidak jarang dalam sosialisasi terjadi diskontinuitas antara
apa yang diinternalisasi oleh anak, biasanya berupa kebudayaan ideal
dan aturan perilaku resmi, dengan apa yang tidak diajarkan seperti
kebudayaan real dan aturan perilaku yang tidak resmi. Para murid
diajarkan tentang nilai dan norma ideal dari berbagai sila dalam Pan-
casila dan dianjurkan untuk berperilaku seperti yang diajarkan di
sekolah, misalnya, namun dalam kenyataan keseharian, banyak orang
tidak berperilaku seperti yang diajarkan tersebut. Realitas seperti ini
dihadapi oleh banyak murid, sehingga mereka mengalami persiapan
peran yang tidak memadai, yang selanjutnya memberi dampak mer-
eka mengabaikan nilai dan norma yang dianggap penting dalam ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hidupan seperti tertib dan disiplin.


Bisa saja para murid tidak mengalami persiapan peran yang
tidak memadai, ketidaktertiban dan ketidakdisiplinan dapat saja
muncul dari penyebab lain yaitu tarikan kelompok rujukan (reference
group). Ketika keluarga dan sekolah, misalnya karena broken home

115
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

atau “teman sekolah yang tidak gaul,” tidak mampu menarik seba-
gian murid menjadi kelompok rujukan mereka, maka dia akan men-
emukan kelompok rujukan di luar itu, biasanya kelompok teman se-
baya (peer group). Karena kelompok teman sebaya mampu memberi-
kan apa yang mereka maui dan inginkan maka mereka sanggup pula
memenuhi kebutuhan kelompok teman sebaya, seperti mematuhi
sub kultur yang mereka miliki. Pada saat pemenuhan kebutuhan sub
kultur dilakukan ternyata berbeda dengan budaya ideal yang dimi-
liki oleh keluarga dan sekolah, maka pada saat itulah dimungkinkan
munculnya ketidaktertiban dan ketidakdisiplinan yang dilakukan
para murid tersebut.

D. RUANG KELAS DAN PENGGUNAAN BAHASA


Bahasa, menurut Horton dan Hunt (1987: 183-184), adalah
suatu alat untuk menggambarkan kenyataan, dan perubahan dalam
penggunaan bahasa dapat mengubah cara pandang orang terhadap
kenyataan. Suatu redeinisi, yang memberikan arti baru terhadap
kata-kata lama, dapat mengakibatkan lahirnya redeinisi sikap dan
jalinan hubungan. Untuk memahami pandangan Horton dan Hunt
tersebut, bisa kita ikuti beberapa bentuk percakapan berikut:
Pada ruang kelas berbeda dari dua lokal anak kelas 1 diberikan
suatu pertanyaan yang sama oleh guru yang berbeda. Ternyata jawa-
ban para murid tersebut salah semua, tetapi pernyataan yang dilon-
tarkan oleh guru berbeda.

Lokal 1
Guru : anak-anak, 10 + 3 – 4= berapa?
Badu : 8, ibu!
http://facebook.com/indonesiapustaka

Guru : salah! (dengan intonasi kesal)


Lokal 2
Guru : anak-anak, 10 + 3 – 4= berapa?
Budi : 8, ibu!
Guru : hampir benar! (dengan suara ramah yang disertai dengan se-

116
BAB 4 Ruang Kelas

nyuman)
Apakah pernyataan dua ibu guru terhadap dua murid tersebut,
seperti digambarkan di atas, memiliki dampak yang sama terhadap
murid? Ternyata tidak! Pada Lokal 1, pernyataan ibu guru akan mem-
buat murid tidak berani lagi menjawab pertanyaan guru. Bahkan bisa
saja si murid merasa dilecehkan dengan cara guru mengungkapkan
pernyataannya. Adapun pada Lokal 2, pernyataan guru tersebut akan
membuat murid berusaha lagi unuk menjawab pertanyaan sampai
dia dapat menjawab dengan benar. Begitulah kekuatan bahasa terha-
dap sikap, perilaku dan pemikiran manusia.
Penggunaan bahasa sangat penting dalam proses pendidikan,
karena melalui hahasa, orang mendeinisikan, melabelkan, atau
menjelaskan, sehingga sesuatu itu menjadi jelas atau sebaliknya tidak
menjadi jelas sama sekali. Kemampuan guru menggunakan bahasa
secara baik dan benar dengan intonasi yang sesuai akan memudah-
kan bagi murid menerima pesan atau transfer ilmu yang dilakukan.
Sebaliknya, ketidakmampuan guru dalam berbahasa secara baik,
benar dan komunikatif maka transfer ilmu akan tersendat.

E. DINAMIKA HUBUNGAN GURU- MURID DI RUANG


KELAS
Ruang kelas memiliki dinamika tersendiri. Ruang kelas bisa ber-
jalan aktif, akrab, lentur, dan harmonis; sebaliknya dapat pula men-
jadi pasif, renggang, kaku, dan ricuh. Dinamik kelas dipengaruhi be-
berapa hal antar lain:

1. Ukuran Kelas
Apakah sama dinamika suatu kelas bila jumlah muridnya 15
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang dibandingkan dengan 30 orang, 50 orang atau 75 orang? Jawa-


bannya tentu berbeda! Seorang guru diharapkan untuk mengenal
“luar dalam”, yaitu segenap aspek kehidupan peserta didik. Melalui
pengenalan “luar dalam” peserta didik tersebut, seorang guru bisa
melakukan pembelajaran dan pendidikan sesuai dengan kapasitas,

117
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

potensi, konteks dan situasional dari peserta didik, sehingga proses


pembelajaran dan pendidikan bisa dilakukan optimal dan efektif,
serta tujuan pembelajaran dan pendidikan dapat dicapai seperti
yang diharapkan. Oleh sebab itu, ruang kelas yang diisi oleh siswa
yang terlalu banyak akan menyulitkan bagi guru untuk melakukan
proses dan pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan seperti
yang diidealkan. Semakin kecil jumlah peserta didik dalam ruang ke-
las, maka semakin baik proses dan pencapaian tujuan pembelajaran
dan pendidikan (Lee, 2000). Memang para ahli pendidikan dan din-
amika kelompok tidak sepakat dalam jumlah konkritnya, tetapi tam-
paknya jumlah yang diidealkan berkisar 20 orang perguru. Jika lebih
dari itu akan menyulitkan bagi guru untuk melaksanakan proses dan
pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan yang diidealkan. Se-
lain itu, hubungan sosial antara guru dan peserta didik lebih intens,
akrab, dan personal. Demikian juga dengan hubungan sosial antar
peserta didik terjadi lebih intim. Hubungan seperti itu dipandang
memberikan kontribusi terhadap keberhasilan peserta didik dalam
mengikuti proses dan mencapai tujuan pembelajaran dan pendidi-
kan.
Selanjutnya apakah luas ruangan akan mempengaruhi dinamika
kelas? . Apakah, misalnya, ditemukan perbedaan dinamika suatu ke-
las yang ruangannya berukuran kecil dengan yang besar? Pertanyaan
ini tidak bisa dijawab langsung jika tidak dikaitkan dengan jumlah
peserta didik. Pada ruang kelas kecil jika diisi dengan jumlah murid
ysng sedikit maka ruang tersebut akan lebih dinamis dibandingkan
dengan diisi oleh jumlah murid yang besar. Jumlah peserta didik
yang besar pada ruang kelas kecil akan menghasilkan atau paling ti-
dak terkesan crowded, sumpek dan ribut. Adapun apabila ruang besar
diisi oleh jumlah peserta didik yang besar maka diperkirakan guru
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak mampu untuk menguasai secara efektif proses pembelajaran


dan pendidikan, sehingga tujuan pembelajaran dan pendidikan sukar
dicapai secara optimal. Selanjutnya jika ruang besar diiisi oleh sedikit
peserta didik, sekitar 20 siswa misalnya, maka terkesan senyap, pada
saat tertentu suasana senyap diperlukaan, terutama ketika konsen-

118
BAB 4 Ruang Kelas

trasi dibutuhkan, namun perlu suasana dinamis lainnya dalam ruang


kelas seperti suasana “heboh” yang dinamis. Selain itu ruang besar
tersebut terkesan mubazir.
Bagaimana dengan ruang kelas alamiah, yang batasnya adalah
alam? Belajar di ruang kelas alamiah, di mana lotengnya langit, pin-
tunya terbuka dari seluruh penjuru mata angin, dindingnya adalah
pepohonan yang mengitari, dan lantainya tanah tempat berpijak
merupakan pengalaman yang mengasyikkan dan menyenangkan.
Namun dalam waktu yang panjang dan berkelanjutan, peserta didik
perlu ruang kelas yang memiliki dinding nyata sebagai pembatas, atap
sebagai pelindung angin, hujan dan panas, dan lantai tempat berdiri
yang tidak menyebabkan kaki kotor. Ruang kelas in door diperlukan
bagi peserta didik agar dapat lebih konsentrasi, nyaman, dan aman
dari berbagai gangguan perubahan suhu dan cuaca. Adapun ruang
kelas out door juga diperlukan bagi siswa untuk lebih bersahabat den-
gan alam dan melalui ruang kelas seperti ini siswa bisa melakukan
“alam terkembang jadi guru”. Berguru pada alam diperlukan karena ia
merupakan guru yang tidak pernah berdusta dan mendidik manusia
belajar jujur terhadap diri sendiri dan relasi dengan alam itu send-
iri. Kombinasi ruang kelas in door dan out door akan menjadi peserta
didik lbelajar ebih dinamis dibandingkan jika hanya menggunakan
salah satu dari kedua cara tersebut in door dan out door.

2. Konteks Sosial Kelas


Konteks sosial kelas meliputi beberapa aspek dari latarbelakang
murid seperti jenis kelamin, usia, ras, kesukuan, dan status sos-
ial ekonomi. Pertanyaan berikut akan menuntun pemahaman kita
tentang konteks sosial kelas mempengaruhi dinamika ruang kelas.
Apakah sama dinamika suatu ruang kelas antara latarbelakang jenis
http://facebook.com/indonesiapustaka

kelamin, usia, ras, kesukuan, dan status sosial ekonomi dari murid
yang homogen dengan yang heterogen? Jelas akan diperoleh perbe-
daan antara heterogenitas dan homogenitas jenis kelamin, usia, ras,
kesukuan, atau status sosial ekonomi terhadap dinamika ruang kelas.
Dalam suatu ruang kelas yang heterogen, perbedaan latarbe-

119
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

lakang yang mencerminkan stratiikasi sosial, akan mempengaruhi


interaksi sosial antara guru dan peserta didik serta antar peserta di-
dik dengan latarbelakang yang berbeda. Seperti telah didiskusikan
sebelumnya bahwa peserta didik yang bersal dari kelas menengah
bawah sering mendapat label sebagai siswa bodoh, malas, dan jorok.
Adapun anak yang berasal dari kelas menengah atas memperoleh
label yang positif. Suasana kelas seperti ini tentunya tidak kondusif
bagi anak yang berasal dari kelas bawah. Selanjutnya, jika siswa dibe-
dakan dan dikelompokkan dalam ruang kelas berdasarkan latarbe-
lakang mereka akan dipandang sebagai suatu bentuk diskriminasi
di sekolah. Kalau dilihat secara lebih kritis apa yang dilakukan oleh
sekolah dan guru terhadap peserta didik, pada umumnya, adalah dis-
kriminasi “terselubung” di dunia pendidikan. Mari kita pahami ide
ini melalui kenyataan yang ada. Sekolah berstandar internasional
yang bertebaran di seluruh Indonesia, pada hakekatnya, merupakan
praksis diskriminatif terhadap siswa. Sebab siswa yang bisa masuk
di sana adalah siswa yang berlatarbelakang mampu, atau dari kelas
menengah atas. Karena hanya mereka yang mampu yang bisa ma-
suk ke sana melalui skor bahasa Inggris dan biaya yang relatif besar.
Untuk memperoleh skor bahasa Inggris yang relatif baik maka para
siswa harus ikut kursus bahasa Inggris sebelumnya. Untuk itu perlu
biaya yang tidak sedikit. Adapun biaya sekolahnya lebih tinggi dari
biaya sekolah reguler. Selain itu, ini juga merupakan bentuk ketidaka-
dilan pemerintah daerah terhadap siswa yang tidak ikut sekolah ber-
standar internasional. Kenapa demikian? Sebab pemerintah daerah
menaikkan gengsi daerahnya melalui keberadaan sekolah berstandar
internasional tersebut. Oleh karena itu, dana pendidikan dikucurkan
lebih banyak ke sana dibandingkan kepada yang reguler.

3. Teknologi Kelas
http://facebook.com/indonesiapustaka

Teknologi kelas berupa pengaturan posisi tempat duduk murid


seperti baris atau setengah lingkaran, peralatan labor sederhana atau
canggih, pengunaan komputer atau ICT dapat juga mempengaruhi
dinamika kelas. Tata letak duduk para siswa dapat mempengaruhi
dinamika ruang kelas. Tata letak duduk yang berbentuk setengan

120
BAB 4 Ruang Kelas

lingkaran atau lingkaran akan menciptakan ruang kelas lebih dina-


mis dibandingkan dengan tata letak duduk barisan. Sebab tata duduk
setengah lingkaran atau lingkaran memberikan posisi yang menye-
babkan para siswa bisa saling memandang wajah dan mengetahui
ekspresi di antara satu sama lain. Interaksi seperti ini dapat memoti-
vasi satu sama lain dalam proses pembelajaran dan pendidikan dalam
ruang kelas.
Pengaruh peralatan labor sederhana dan canggih tergantung
pada guru yang membimbing para peserta didik dalam menggunak-
annya. Peralatan labor dari barang bekas bisa membuat para siswa
menjadi kreatif bila ia dirancang bersama antara guru dan para
peserta didik. Perancangan bersama peralatan alat labor tersebut
menimbulkan dinamika tersendiri dalam ruang kelas. Demikian pula
saat menggunakan peralatan labor yang dirancang bersama tersebut
akan memiliki dinamika tersendiri bila dibandingkan dengan meng-
gunakan peralatan labor yang telah tersedia sebelumnya.
Penggunakan komputer atau ICT dalam proses pembelajaran
dan pendidikan bisa memperlancar atau dapat pula menghambat
dinamika para siswa dalam ruang kelas. Penggunaan komputer atau
ICT oleh peserta didik perlu diarahkan oleh guru, sehingga proses
dan tujuan pembelajaran dan pendidikan bisa dicapai seperti yang
diharapkan. Demikian pula dengan dinamika proses dan pencapaian
dalam proses pembelajaran dan pendidikan harus dikonstruksi oleh
guru.

4. Struktur Komunikasi
Apakah ada perbedaan dalam dinamika ruang kelas bila komu-
nikasi satu arah dibandingkan dengan komunikasi dua arah? Seperti
telah diemukakan pada bahagian terdahulu, struktur komunikasi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dua arah (dialogis) antara para siswa dan guru akan menciptakan ru-
ang kelas yang dinamis dibandingkan dengan komunikasi satu arah
(monologis). Struktur komunikasi antara guru dan para peserta di-
dik, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, tidak lepas dari tipe
kepemimpinan guru dalam kelas, pandangan guru tentang hubun-

121
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

gannya dengan para peserta didik, dan budaya sekolah yang meling-
kupinya.

5. Suasana Sosial
Suasana sosial suatu kelas berkait dengan bagaimana atmos-
ir dari suatu kelas seperti hubungan antara guru dan murid serta
hubungan antara murid dan murid yang dihubungkan dengan keter-
gantungan, keharmonisan, penghargaan, pengakuan, dan lainnya.
Ruang kelas merupakan tempat di mana terjadinya sosialisasi dan
implementasi nilai-nilai, norma, pengetahuan dan keterampilan
yang dipandang penting dimiliki oleh peserta didik dalam mengha-
dapi kehidupan nyata setelah menyelesaikan proses pembelajaran
dan pendidikan di lembaga pendidikan. Nilai-nilai kemandirian, ke-
jujuran, persaingan sehat (sportivitas), optimisme, dan kerja keras
merupakan nilai-nilai yang disosialisasikan di ruang kelas. Sosia-
lisasi nilai-nilai tersebut akan menciptakan ruang kelas lebih dinamis
dalam proses pembelajaran dan pendidikan sekolah dibandingkan
dengan ketiadaan sosialisasi nilai-nilai yang disebut barusan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

122
bab
5 KURIKULUM

A. APA ITU KURIKULUM?


Untuk menjawab pertanyaan di atas, salah satu caranya adalah
menelusuri makna dari konsep kurikulum tersebut. Kurikulum dipa-
hami berakar dari bahasa Latin, yaitu ’curere’, bermakna laluan atau
jejak. Dengan demikian kurikulum dimengerti sebagai suatu laluan
atau jejak yang akan ditelusuri. Makna tersebut meluas menjadi ’ju-
rusan’. Dalam bahasa Ingris, kurikulum dipahami sebagai ’jelmaan’
atau ’metamorfosis’. Paduan pengertian kurikulum tersebut dipaha-
mi sebagai laluan dari satu peringkat ke peringkat berikutnya.
Bagaimana pandangan tentang ahli tentang pengertian kuriku-
lum? Berikut beberapa pandangan ahli tentang kurikulum:
ɶ Grayson: „suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran yang
diharapkan dari suatu pembelajaran“
ɶ Inlow: „semua pengalaman yang direncanakan, yang dilakukan
oleh sekolah untuk menolong para siswa dalam mencapai hasil
belajar kepada kemampuan siswa yang paling baik.“
http://facebook.com/indonesiapustaka

ɶ Saylor J. Gallen dan William N. Alexander:„ keseluruhan usaha


sekolah untuk mempengaruhi belajar, baik berlangsung di kelas,
di halaman maupun di luar sekolah“.
ɶ William B. Ragan: „semua pengalaman anak yang menjadi tang-
gungjawab sekolah“
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Jadi kurikulum berdasarkan dari berbagai pandangan ahli terse-


but dapat dipahami sebagai:
a. Suatu perencanaan
b. Suatu usaha pembelajaran
c. Suatu hasil

Dengan demikian kurikulum dapat pula dipahami sebagai suatu


perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan hasil dari per-
encanaan dan proses pembelajaran dari sekolah atau perguruan.
Bagaimana pula kurikulum menurut pandangan legalitas formal
dari aturan perundanganh yang ada. Berdasarkan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan
bahwa „kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan men-
genai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan se-
bagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tu-
juan pendidikan tertentu.
Berdasarkan berbagai penjelasan (etimologis, keahlian, dan legal
formal) di atas, maka kurikulum dipahami bukan sekedar buku teks,
pokok persoalan (subject matter), rangkaian pelajaran, isi atau pro-
gram pendidikan, juga bukan sekedar pelajaran kursus. Kurikulum
merupakan semua situasi atau keadaan dalam mana lembaga pendi-
dikan dapat menyelidiki, mengorganisir, memonitor dan mengevalu-
asi secara sadar terhadap pengembangan kepribadian peserta didik.

B. TIPOLOGI KURIKULUM
Berbagai pakar pendidikan dan sosiologi pendidikan telah men-
gonstruksi berbagai tipe kurikulum berdasarkan sudut pandang atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

landasan pemikiran yang berbeda:

1. Kurikulum Berdasarkan Isi


Kurikulum menurut isi yang terkandung di dalamnya mempun-
yai tiga tipe, yaitu kurikulum klasik, kurikulum vokasional, dan kuri-

124
BAB 5 Kurikulum

kulum life adjustment.

a. Kurikulum Klasik
Kurikulum yang bersifat tradisional menekankan pada bahasa
asing, bahasa kuno, sejarah, sastra, matematika, dan ilmu murni.
Kurikulum klasik berkembang pada masa lampau di mana negara,
dalam hal ini kerajaan, membutuhkan para pegawai administrasi un-
tuk mengatur rumahtangga kerajaan dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat (rakyat).

b. Kurikulum Vokasional
Kurikulum vokasional diarahkan untuk menyiapkan peserta di-
dik untuk bekerja. Oleh sebab itu, berbagai keterampilan dan keahl-
ian dipersiapkan bagi peserta didik sesuai dengan kebutuhan pasar
yang sedang berkembang. Dalam perspektif ini, konsep match and
link, keterkaitan dan keterhubungan antara dunia pendidikan dan
dunia kerja haruslah memperlihatkan suatu bentuk yang harmonis
dan mantap. Sebab, dalam pikiran pragmatis, sekolah dipandang
sebagai input tenaga kerja bagi industri dan dunia kerja pada umum-
nya. Oleh karena itu, segala kebutuhan industri dan dunia kerja dari
sisi keterampilan dan keahlian diharapkan mampu disumbangkan
oleh dunia pendidikan, dalam hal ini sekolah atau perguruan tinggi.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, kurikulum vokasional di-
arahkan pada pendidikan kejuruan dan keahlian teknis seperti seko-
lah menengah kejuruan dengan berbagai macam penjurusannya sep-
erti teknik, elektronik, mwdia, keuangan, tata boga, dan sebagainya
serta politeknik juga dengan berbagai macam penjurusannya.

c. Kurikulum life adjustment


Kurikulum life adjustment menekanan pada pengembangan ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pribadian, yang meliputi pada pengetahuan, pemahaman dan penga-


laman tentang bagaimana bisa hidup adaptif dalam mengharungi ke-
hidupan dengan berbagai dimensinya.seperti bagaimana menjaga ke-
sehatan, mengonstruksi hubungan sosial, membangun rumahtang-
ga, dan sebagainya.

125
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2. Kurikulum Berdasarkan Model Pengembangan


Kurikulum berdasarkan bagaimana ia dikonstruksi atau diban-
gun dapat mengambil dua tipe, yaitu kurikulum model administratif
dan kurikulum model akar rumput.

a. Kuikulum Model Administratif


Kurikulum model administratif merupakan kurikulum yang
digagas dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip administra-
tif oleh para administrator pendidikan. Melalui kewewenangan legal
formal dari jabatan dalam administrasi pendidikan, para adminis-
trator menginisiasi dan membentuk suatu kelompok kerja dengan
suatu model tim yang disepakati dan dipandang mampu melakukan
suatu tugas dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tim tersebut bisa
dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok pengarah dan kelompok
pelaksana. Sesuai dengan namanya kelompok pengarah, tim ini men-
garahkan bagaimana dasar, arah, landasan, kebijakan dan strategi
pengembangan kurikulum dibuat. Kelompok pengarah terdiri dari
pejabat tinggi dalam administrasi pendidikan dan pakar senior dalam
berbagai kajian kependidikan. Berdasarkan arahan tersebut, kelom-
pok pelaksana melakukan berbagai kegiatan dalam merumuskan tu-
juan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, menemukan
strategi pembelajaran dan evaluasi. Kelompok pelaksana terdiri dari
berbagai pakar dalam bidang kurikulum, bidang pendidikan, dalam
disiplin keilmuan tertentu, dan sebagainya.

b. Kurikulum Model Akar Rumput


Berbeda dengan kurikulum model administratif, kurikulum
model akar rumput tidak digagas dan dibangun dari pemikiran elit
birokrasi pendidikan yang cenderung bersifat sentralis dan berdi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

mensi top-down, melain dikonstruksi dan dibangun oleh para guru


dan sekolah berdasarkan dengan visi, misi dan tujuan yang akan
mereka raih. Kalaupun ada standar yang bersifat nasional, ia seke-
dar dijadikan sebagai rujukan, namun isi, sekuens materi, strategi
pembelajaran dan evaluasi dirancang oleh masing-masing sekolah

126
BAB 5 Kurikulum

yang dimotori oleh para guru yang akan mencerminkan konteks dan
situasi lokal yang ada.
Konstruksi pengembangan kurikulum yang bersifat desentral-
istik ini, memberikan keleluasaan bagi sekolah beserta guru untuk
melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan penyempurnaan ber-
dasarkan konteks dan situasi sekolah dan kelas. Pengembangan kuri-
kulum seperti ini memungkinkan sekolah mengembangkan ciri atau
kekhasan sekolah mereka sehingga hal itu menjadikan suatu seko-
lah dimintai dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini melahirkan
kompetisi yang relatif adil karena bersaing berdasarkan pada keung-
gulan komparatif sekolah yang dimiliki.
Memang kurikulum model akar rumput, kelulusan siswa tidak
dapat dievaluasi dengan menggunakan standar yang berlaku secara
nasional, karena guru mengembangkan kurikulum berdasarkan kon-
teks dan situasi kelas. Adapun kurikulum model administratif me-
mang dikonstruksikan untuk melakukan evaluasi kelulusan siswa
berdasarkan pada standar yang berlaku secara nasional. Hal ini akan
didiskusikan lebih dalam pada bagian berikutnya.

3. Kurikulum Berdasarkan Harapan Kenyataan


Berdasarkan harapan kenyataan, kurikulum dapat dibagi ke
dalam kurikulum kurikulum ideal dan kurikulum real (aktual).

a. Kurikulum Ideal
Kurikulum ideal merupakan kurikulum yang dicita-citakan, di-
harapkan dan diinginkan oleh banyak orang, paling tidak oleh para
pembuatnya. Ia mengandung gagasan konseptual ideal tentang apa
seharusnya dan baik dikandung oleh suatu kurikulum. Kurikulum
ideal tercantum dalam dokumen resmi yang dimiliki oleh suatu lem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

baga pendidikan. Dalam konteks Indonesia, kurikulum nasional dan


kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan contoh dari
kurikulum ideal.

127
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

b. Kurikulum Real
Kurikulum real merupakan kurikulum yang diimplementasikan
dalam proses pendidikan, pembelajaran dan pengajaran. Kenyataan
(realitas) memiliki kecenderungan yang tidak selalu sama dengan
sesuatu yang diharapkan, diinginkan dan dicita-citakan. Oleh sebab
itu, apa yang didokumentasikan tidak selalu sama dengan apa yang
diimplementasikan. Misalnya apa yang telah diamanatkan dalam
kurikulum nasional atau digariskan dalam kuruikulum tingkat satu-
an pendidikan, dalam kenyataannya belum tentu persis sama seperti
apa yang dilaksanakan di dalam kelas atau di sekolah. Tentunya,
semakin dekat persamaan dan kesamaan antara kurikulum ideal den-
gan kurikulum real, maka semakin baik dan tepat pencapaian suatu
kurikulum.

4. Kurikulum Berdasarkan Struktur dan Materi Pembelajaran


Berdasarkan struktur dan materi pembelajaran, kurikulum
dapat dibagi ke dalam tipe kurikulum terpisah, kurikulum terpadu,
dan kurikulum terkorelasi.

a. Kurikulum Terpisah
Kurikulum terpisah (separated curriculum) adalah kurikulum
yang mata pelajaran atau mata kuliahnya dirancang untuk disajikan
atau diberikan secara terpisah-pisah. Mata kuliah sosiologi pendidi-
kan, misalnya, diberikan secara terpisah dengan mata kuliah antrop-
ologi pendidikan dalam program studi pascasarjana pendidikan ilmu
pengetahuan sosial.

b. Kurikulum Terpadu
Kurikulum terpadu (integrated curriculum) adalah kurikulum di
mana bahan ajarnya disajikan secara terpadu. Kurikulum ini biasan-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ya disajikan dalam bentuk tematik, sehingga semua mata pelajaran


bisa terintegrasi atau terpadu ketika pendidik menjelaskan, men-
erangkan atau mendiskusikan suatu tema. Misalnya, tema pelajaran
lingkungan hidup sehat bisa dijelaskan, diterangkan dan didiskusi-
kan dengan berbagai mata pelajaran yang ada seperti mata pelaja-

128
BAB 5 Kurikulum

ran sains, bahasa Indonesia, agama, ilmu pengetahuan sosial, dan


matematika.

c. Kurikulum Terkorelasi
Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum) adalah kurikulum
yang bahan ajarnya dirancang, dikonstruksi dan disajikan secara ter-
korelasi dengan bahan ajar yang lain. Misalnya, untuk memahami be-
berapa materi dari sosiologi konsumsi terkait dengan beberapa ma-
teri dalam sosiologi kebudayaan. Bisa juga, misalnya, apabila ingin
mengambil matakuliah sosiologi kontemporer maka terlebih dahulu
harus lulus dalam mata kuliah sosiologi klasik. Atau apabila seorang
mahasiswa ingin mengambil kuliah teori sosiologi klasik, maka dia
harus lulus mata kuliah pengantar sosiologi terlebih dahulu.

5. Kurikulum Bedasarkan Cakupan Penggunaan


Berdasarkan cakupan penggunaan, kurikulum bisa diklasiikasi-
kan atas kurikulum nasional, kurikulum lokal, dan kurikulum sub-
lokal (sekolah).

a. Kurikulum Nasional
Kurikulum nasional merupakan kurikulum yang diinisiasi, diran-
cang, dan dilaksanakan secara nasional. Kurikulum tersebut dikon-
struksi oleh suatu tim nasional yang melibatkan berbagai kepakaran
tingkat nasional dari berbagai bidang keilmuan. Kurikulum nasional,
dikenal juga dengan kurnas, menjadi rujukan pembelajaran dan pen-
gajaran oleh seluruh lembaga pendidikan dalam suatu wilayah negara.

b. Kurikulum Lokal
Kurikulum lokal merupakan kurikulum yang diinisiasi, diran-
cang dan dilaksanakan secara lokal. Konsep lokal bisa berkait dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

suatu wilayah provinsi, kabupaten atau kota. Kurikulum lokal pada


suatu negara kesatuan, seperti negara kesatuan Republik Indonesia,
cenderung dipahami sebagai memasukkan muatan lokal pada kuri-
kulum nasional yang ada, misalnya memasukkan mata pelajaran Bu-

129
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

daya Adat Minangkabau di Sumatera Barat atau Bahasa Jawa di Jawa


Tengah, misalnya.
Dalam negara serikat (federal), kurikulum lokal pada negara
kesatuan, dipandang sebagai kurikurum negara bagian. Kurikulum
negara bagian bisa saja tidak ada kaitannya dengan kurikulum nasi-
onal, yaitu kurikulum berlaku secara nasional. Karena memang neg-
ara serikat tidak memiliki hak untuk mengatur kurikulum secara na-
sional atau kurikulum nasional hanya mengandung garis besar saja,
sedangkan hal rinci dan detil merupakan kewenangan negara bagian,
misalnya.

c. Kurikulum Sub-Lokal (Sekolah)


Kurikulum sub lokal atau sekolah adalah kurikulum yang opera-
sionalnya diinisiasi, dirancang dan dilaksanakan dalam lingkup seko-
lah. Kruikulum ini dikenal sebagai kurikulum tingkat satuan pen-
didikan (KTSP). Kurikulum sekolah ini merupakan operasionalisasi
berdasarkan konteks situasi dan kondisi sekolah dengan tetap meru-
juk pada kurikulum pada tingkat nasional. Ini merupakan gagasan
kebijakan pendidikan yang berdimensi semi otonom.
Kurikulum perguruan tinggi dapat diklasiikasikan pada kuri-
kulum lokal atau sub-lokal dalam perspektif desentralis dan dengan
otonomi yang luas. Perguruan tinggi bisa membuat kurikulum ber-
dasarkan visi, misi, tujuan dan kompetensi yang ingin dicapai oleh
suatu program studi, tanpa ada intervensi dari eksternal dalam ben-
tuk kurikulum nasional, misalnya. Dalam mengonstruksi kurikulum,
program studi dapat menginisiasi dan merancang kurikulum melalui
pertemuan dengan berbagai pihak terkait (stakeholders), baik sebagai
pengguna jasa, seperti mahasiswa atau alumni, maupun pengguna
lulusan, seperti pemerintah (daerah), korporasi/industri, lembaga
http://facebook.com/indonesiapustaka

swadaya masyarakat. Melalui pertemuan tersebut, program studi


meminta masukan berupa kritik atau saran tentang rancangan kuri-
kulum yang di dalamnya tercakup visi, misi, tujuan, dan kompetensi
yang ingin diraih.

130
BAB 5 Kurikulum

C. MODEL KURIKULUM: PENDEKATAN TEORITIS


Bagaimana suatu kurikulum dikonstruksi? Berikut beberapa
pendekatan teoritis yang berkembang dalam konstruksi model kuri-
kulum:

1. Model Kurikulum Teknik Saintifik


Inti dari model kurikulum teknik saintiik atau rasionalis adalah
semua bentuk kehidupan manusia dapat dicari hukum-hukum yang
bersifat umum. Melalui hukum tersebut, kegiatan manusia dan tin-
dakan manusia dapat dikontrol, dirasionalisasikan, atau dibirokrasi-
kan. Dengan cara itu, kurikulum dipandang memiliki derajat obyek-
tivitas, universalitas, dan logika yang tinggi; sehingga efesiensi dan
efektivitas sistem pendidikan yang tinggi dapat dicapai. Semua itu
dapat diraih melalui penerapan manajemen ilmiah. Gagasan tersebut
memperoleh puncaknya ketika F. W. Taylor mengusung ideologi sci-
entism.
Jadi model kurikulum teknik saintiik melihat dunia pendidikan
bagaikan mesin yang dapat digambar, dibuat, dan diamati. Model ini
terlalu menekankan pada pernyataan tujuan pendidikan yang dibuat,
sehingga dikritik tidak manusiawi karena tidak mempertimbangkan
peserta didik.

2. Model Kurikulum Refleksif


Kurikulum dilihat sebagai suatu konstruk sosial dari para pem-
buatnya. Oleh sebab itu kurikulum dapat diperbincangkan, didiskusi-
kan, dirundingkan dan dinegosiasi secara bersama. Kurikulum sep-
erti apa yang bisa didiskusikan dan dirundingkan? Untuk menjawab
pertanyaan ini, paling tidak ada dua tingkatan kurikulum, yaitu: satu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

kurikulum holistik, yaitu suatu bangunan keseluruhan yang diterima


peserta didik dari sekolah seperti kurikulum SMA jurusan IPS atau
kurikulum program studi sosiologi di suatu perguruan tinggi. dua,
kurikulum parsial, yaitu suatu bagian tertentu dari bangunan keselu-
ruhan yang diterima peserta dari sekolah seperti silabus sosiologi di

131
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SMA jurusan IPS atau silabus sosiologi pendidikan dari program stu-
di sosiologi. Dalam konstruksi kurikulum holistik, kurikulum dapat
dirundingkan dengan stakeholders atau pihak berkepentingan. Dalam
konstruksi kurikulum program studi sosiologi, pihak pengelola pro-
gram studi (prodi) dapat mengundang semua dosen prodi, pemerin-
tah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), perusahaan/industri, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM).Tiga pihak yang disebut tera-
khir yaitu pemda, pebisnis dan LSM merupakan pihak pengguna dari
sesuatu yang dihasilkan (lususan) oleh lembaga pendidikan. Adapun
para pengelola dan dosen prodi merupakan pihak yang menyediakan
jasa penedidikan. Oleh karena itu antara apa yang ditawarkan oleh
lembaga pendidikan dan apa diminta oleh pihak pengguna sedapat
mungkin terjadi kedekatan atau ksesesuaian. Dalam konteks inilah
suatu kurikulum diperbincangkan, didiskusikan, dirundingkan dan
dinegosiasi secara bersama.
Demikian pula dengan kurikulum parsial, silabus dapat pula di-
perbincangkan, didiskusikan, dirundingkan dan dinegosiasi secara
bersama. Dalam mata kuliah sosiologi pendidikan, misalnya, dosen
bisa menawarkan konstruksi materi atau isi mata kuliah yang diper-
lukan oleh mahasiswa secara bersama. Dengan kata lain, materi atau
isi mata kuliah sosiologi pendidikan diperbincangkan, didiskusikan,
dirundingkan dan dinegosiasi secara bersama.antara dosen dan ma-
hasiswa pada saat membuat kontrak belajar.
Pada tingkatan perguruan tinggi, kurikulum, baik secara holistik
maupun secara parsial, bisa diperbincangkan, didiskusikan, dirund-
ingkan dan dinegosiasi secara bersama. Namun untuk pendidikan
menengah hal itu sukar dilakukan karena terlalu banyak relativi-
tas dan naïf misalnya mengenai kemampuan para guru untuk men-
gubah batasan yang sudah ada tentang pengetahuan. Selain itu, tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

mungkin kurikulum, misalnya silabus suatu mata pelajaran diperbin-


cangkan, didiskusikan, dirundingkan dan dinegosiasi secara bersama
antara guru dan murid.

132
BAB 5 Kurikulum

3. Model Kurikulum yang Relasional


Intinya adalah usaha untuk mempertalikan apa yang diajarkan
di sekolah dengan struktur sosial. Jadi adanya pengakuan bahwa
apa yang dianggap sebagai pengetahuan di sekolah tumbuh dari sua-
tu latar belakang dari historis tertentu. Pemikiran tentang apa yang
seharusnya diajarkan di sekolah, bagaimana cara mengajarkannya,
dengan cara apa mengajarkannya, dan siapa yang dapat mengajar-
kannya, adalah releksi dari sejarah struktur sosial atau masyarakat.
Dengan kata lain, apa yang diusung dalam pemikiran tentang tuju-
an, isi, materi, dan strategi dalam kurikulum merupakan cerminan
sejarah perjuangan hidup yang diharapkan bisa diselesaikan melalui
pendidikan.
Keinginan ”link dan match” antara kurikulum dan antisipasi ke-
nyataan kehidupan seperti dunia kerja atau dunia sosial lainnya me-
rupakan sejarah kenyataan dunia sosial yang dihadapi oleh masyara-
kat. Oleh sebab itu, para perancang kurikulum diharapkan mampu
untuk menangkap realitas tersebut. Ketika persoalan korupsi di-
pandang sesbagai suatu penyakit masyarakat dan menakutkan, maka
lembaga kejaksaan mengintroduksi suatu ”materi pelajaran” yang
bernama kantin kejujuran. Pada saat, narkoba dan AID telah merusak
dan membunuh banyak orang maka banyak pihak menyarankan agar
memasukkan materi tentang bahaya narkoba dan AID ke dalam kuri-
kulum sekolah. Ketika tawuran antar pelajar dan mahasiswa merajal-
ela, maka berbagai pihak menyarankan pula agar idealitas dan praksis
tentang budi pekerti, demokrasi, hak azazi manusia, keadilan, dan
multikulturalisme diharapkan menjadi isi dari kurikulum yang ada,
sehingga manusia Indonesia lebih mampu dalam mengaktualisasi-
kan budi pekerti, demokrasi, hak azazi manusia, keadilan, dan mul-
tikulturalisme tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ide seperti ini
http://facebook.com/indonesiapustaka

dilihat sebagai bagian dari bagaimana kurikulum relasional tersebut


dikonstruksi.

133
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

D. KURIKULUM TERSEMBUNYI
Konsep kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), menurut
Ballantine (1983: 178), dikembangkan oleh Benson Snyder pada ta-
hun 1971 dan digunakan oleh para pendidik, sosiolog, dan psikolog
dalam menjelaskan sistem informal. Konsep ini menunjuk pada “per-
mintaan implisit (sebagai lawan dari kewajiban eksplisit dari `kuri-
kulum tampak’ (visible curriculum) yang ditemukan pada setiap insti-
tusi pembelajaran dan yang mana (maha)siswa harus mengetahaui
dan menanggapi sehingga dapat bertahan di dalamnya“. Kurikulum
tersembunyi merujuk pada peraturan, regulasi dan rutin yang mana
partisipan sekolah mesti menyesuaikan diri. Itu dapat dilihat melalui
bagaimana ruang kelas diorganisasi, sistem penghargaan, dan sosiali-
sasi moral berlangsung melalui peraturan, regulasi dan rutin.
Berbeda dengan Ballantine, Robinson (1986: 231) menemukan
bahwa konsep kurikulum tersembunyi diciptakan oleh Jackson un-
tuk menunjukkan pelajaran-pelajaran yang diperoleh para murid
atas kenyataan bahwa mereka merupakan bagian dari sekumpulan
manusia (crowd), seperti belajar tenang menghadapi kenyataan kalau
”keinginan dan hasrat pribadi mereka terus-menerus ditangguhkan,
ditolak, dan diganggu”.
Ballantine selanjutnya menyebutkan bahwa tersedia banyak al-
ternatif nama dari kurikulum tersembunyi seperti tidak tertulis,
tidak dipelajari, tacit, laten, atau tidak tercatat. Nama-nama terse-
but tidak tepat sebab fenomena tersebut bukannya tersembunyi
dan tidak dipelajari, oleh karena itu David Hargreaves, seperti dika-
takan Ballantine (1983: 178), mengusulkan konsep parakurikulum,
yang menunjuk pada sesuatu yang diajarkan dan dipelajari bersama
dengan kurikulum resmi atau formal. Apa yang dikemukakan David
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hargreaves tidak disepakati oleh Ballantine. Oleh karena itu Ballan-


tine mengusulkan konsep sistem informal yang terdiri dari paraku-
rikulum, iklim, hubungan kekuasaan, dan konsekuensi yang tidak
terantisipasi.
Bagaimana posisi kita tentang hal ini dalam tulisan ini? Kuriku-

134
BAB 5 Kurikulum

lum tersembunyi (hidden curriculum) sebagai konsep tetap diguna-


kan, namun pengertiannya diperluas menjadi sebagai sesuatu yang
diajarkan dan dipelajari bersama dengan kurikulum resmi atau for-
mal, melekat dalam peraturan, regulasi dan rutin tidak tertulis ten-
tang perilaku dan sikap, seperti ketaatan pada pihak yang berwenang
dan norma yang berlaku umum (arus utama), serta iklim, hubungan
kekuasaan, dan konsekuensi yang tidak terantisipasi. Kurikulum
tersembunyi memperlihatkan, misalnya, bagaimana pelajaran-pela-
jaran yang diperoleh para murid atas kenyataan bahwa mereka mer-
upakan bagian dari suatu komunitas, seperti konsepsi tentang rapi
akan diajarkan, pada umumnya, berdasarkan nilai-nilai yang dianut
oleh kelompok menengah ke atas. Konsep rapi pada masyarakat In-
donesia, misalnya, dikatakan bahwa seseorang rapi apabila dia meng-
gunakan pentolan dan bersepatu. Sehingga dia dipandang berbusana
pantas karena rapi untuk menghadiri berbagai kegiatan resmi seperti
pergi ke sekolah, bekerja di kantor, dan lain sebagainya. Seseorang
tidak dipandang rapi apabila dia mengenakan sarung dan sandal,
meskipun busana yang dikenakan harum dan tidak kusut. Kerapian
dalam busana kerja dan sekolah tersebut mencerminkan dari gaga-
san dan ideologi suatu kelompok, dalam hal ini kelompok abangan,
misalnya.
Dalam penjelasan materi tentang pekerjaan di taman kanak-ka-
nak atau tahun permulaan di sekolah dasar, sebagai contoh lain dari
kurikulum tersembunyi, para guru masih tetap melakukan pelajaran
bias jender kepada peserta didik. Ketika para ibu guru di taman ka-
nak-kanak menjelaskan konsep pekerjaan, maka mereka cenderung
menggunakan penjelasan yang telah lama berkembang dan dianggap
sebagai suatu yang semestinya memang demikian. Misalnya bunda
bekerja sebagai ibu rumahtangga, sedangkan ayah bekerja di kantor.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Selanjutnya ditegaskan lagi dengan ibu memasak di dapur, sedang-


kan ayah membaca koran di ruang tamu. Konstruksi berpikir seperti
ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat taman
kanak-kanak atau sekolah; sehingga ia bisa membekas dalam pikiran
peserta didik bahwa ruang ibu hanyalah di sektor domestik, sedang-

135
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

kan ayah di sektor publik dalam jangka waktu yang panjang. Padahal
dalam kenyataannya, telah terjadi perubahan sosial sedemikian rupa
sehingga banyak bunda yang bekerja di sektor publik, seperti yang
dilakukan oleh ayah. Di samping itu, ayah juga bisa melakukan berba-
gai aktivitas yang berhubungan dengan dapur.
Apakah ide dan perilaku kekerasan dan koruptif merupakan
kurikulum tersembunyi dari dunia pendidikan di republik ini? Se-
bagian dari pendidik akan mengatakan tidak, bahkan mungkin ada
yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin. Untuk itu mari
kita jawab pertanyaan tersebut dengan kenyataan dan fakta yang ada
dalam dunia pendidikan kita. Setiap lembaga pendidikan formal me-
miliki suatu kegiatan yang bernama masa orientasi (maha)siswa atau
dengan berbagai nama lain yang maksudnya sama. Kegiatan terse-
but dimaksudkan oleh para penggagasnya atau pelaksananya sebagai
acara ’inisiasi’ bagi para anggota baru untuk masuk ke dalam suatu
komunitas baru, yang bernama sekolah menengah pertama, sekolah
menengah atas, atau perguruan tinggi. Melalui ’inisiasi’ diharapkan
para anggota baru bisa menerima nilai dan norma baru berupa man-
diri, kerja keras, disiplin, dan sebagainya.
Apa yang dilakukan oleh para senior agar norma dan nilai baru
tersebut tersosialisasi ke dalam cara berpikir, merasa, bertindak dan
berperilaku dari para junior? Untuk menerapkan disiplin kepada
junior, senior membuat peraturan tentang kehadiran tepat waktu
dalam berbagai kegiatan ’inisiasi’ tersebut, misalnya pushup, lari kel-
iling suatu area, marayap di tanah atau di lantai, dan lainnya. Me-
nariknya para senior tidak sekedar menemukan kesalahan, tetapi
lebih banyak ”mencari-cari” berbagai kesalahan junior, salah satunya
dengan cara menetapkan konsep ”jam waktu setempat”. Para senior
dapat melakukan apa saja terhadap junior mereka, tentunya ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tang benar atau salahnya suatu tindakan atau perilaku junior, yang
dikaitkan dengan ”jam waktu setempat”. Bagaimana hal tersebut bisa
terjadi? Setiap junior dikonstruksikan tidak pernah tepat waktu ber-
dasarkan ”jam waktu setempat”. Karena ”jam waktu setempat” dicip-
takan tidak memiliki standar waktu. Oleh karena itu setiap junior

136
BAB 5 Kurikulum

dipastikan datang tidak tepat waktu atau terlambat. Apabila seorang


junior datang lebih awal dari jadwal yang ditentukan, dia akan diberi
hukuman karena tidak sesuai dengan jadwal. Demikian pula jika ju-
nior datang terlambat dari jadwal, maka dia juga mendapatkan suatu
hukuman.
Jika junior dianggap bersalah, maka salah satu bentuk hukuman
yang diterimanya adalah kekerasan lunak, yaitu kekerasan psikologis
dan emosional, di mana para junior dimarahi, dihardik dan dibentak,
malah tidak jarang dicaci, dimaki atau dihina di depan khalayak oleh
senior. Bila senior memandang kesalahan yang dilakukan junior telah
memasuki skala berat, maka hukuman yang diberikan juga berat. Hu-
kuman berat tersebut cenderung berupa kekerasan isik. Kekerasan
isik yang diterima oleh para junior atas kesalahan, yang tidak jarang
bukan merupakan kesalahan yang mereka buat, adalah dijewer tel-
inga, dipukul, ditendang, bahkan sampai nyawa melayang (mening-
gal). Dari pengalaman kita selama ini di republik yang dicintai ini, ada
kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tingga
pula tingkat kekerasan yang dilakukan oleh senior. Dengan kata
lain, jika masuk SLTP para siswa menerima kekerasan ringan, masuk
SLTA mendapatkan kekerasan tingkat sedang, dan masuk perguruan
tinggi kekerasan tingkat berat, seperti kasus STPDN, ITB, dan lain
sebagainya.
Ternyata acara inisiasi tersebut tidak hanya menyajikan suatu
bentuk pelajaran kekerasan, tetapi juga diiringi dengan pelajaran lain
yaitu tentang bagaimana melakukan korupsi. Kenapa bisa demikian?
Karena senior memiliki suatu kuasa (power), maka kuasa tersebut di-
mungkinkan salah kelola atau salah guna (abuse of power) oleh orang
yang memilikinya. Bagaimana salah kelola atau salah guna (abuse of
power) bisa terjadi dalam kegiatan ’inisiasi’ tersebut? Senior, sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

pihak yang memiliki kuasa dalam kegiatan ’inisiasi’, bisa menetapkan


apa saja jenis hukuman terhadap tindakan atau perilaku junior yang
dipandang harus diberi hukuman. Seorang junior yang dipandang
bersalah diwajibkan membuat surat kepada senior yang berisi per-
mintaan maaf. Surat tersebut diwajibkan diberi perangko lima ribu

137
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

rupiah, misalnya. Selanjutnya sebagai bentuk ketulusan dari suatu


permintaan maaf, maka junior diwajibkan pula untuk menyertainya
dengan ”coklat silver queen”, misalnya. Perbuatan senior seperti ini
bisa diperpanjang dengan berbagai perbuatan lain yang serupa sep-
erti kewajiban junior membeli sesuatu yang diperdagangkan oleh
senior, membawa makanan ekstra buat senior, dan sebagainya. Kes-
emua perbuatan tersebut merupakan bentuk dari ”korupsi kecil-keci-
lan” yang dilakukan oleh senior, yang memiliki kuasa.
Kalau realitas pendidikan di republik yang dicintai ini seperti
yang dikemukakan di atas, maka pantaskah sekolah dan perguruan
tinggi tersebut dipandang sebagai lembaga peradaban?, yaitu lem-
baga yang menumbuh-kembangkan peradaban dan membentenginya
dari penggembosan. Bukankah realitas tersebut lebih tepatnya di-
masukkan kepada proses pembiadaban, bukan proses peradaban?
Sebab jika kekerasan terus menerus ditransmisikan oleh lembaga
pendidikan kepada (maha)siswa baru maka ia akan mengkristal seb-
agai suatu budaya lembaga. Selanjutnya budaya tersebut diinternal-
isasikan dalam diri dari aktor, sehingga kekerasan dipadang sebagai
kelaziman dan ”memang seharusnya demikian”. Jika fase internalisa-
si telah sempurna, maka kekerasan akan menjadi santapan kesehar-
ian yang harus ada dalam sajian makanan, seperti ”sambal balado”
bagi orang Minang atau sayuran bagi orang Sunda. Demikian juga
transmisi nilai koruptif dalam acara ’inisiasi’ tersebut.
Demikianlah bagaimana kurikulum tersembunyi berkembang
dalam praktik dari suatu proses pendidikan, pengajaran, dan pembe-
lajaran. Para praktisi pendidikan bisa saja tidak menyadari hal terse-
but atau jika sadar, mungkin mereka tidak yakin hal tersebut seperti
itu. Atau jika sadar, para pengelola sekolah tidak bisa menghapus-
kan kegiatan ’inisiasi’ tersebut karena ’telah terprogramkan’ secara
http://facebook.com/indonesiapustaka

nasional. Pihak pengelola sekolah tidak kuasa untuk menghilangkan


kegiatan ’inisiasi’ karena selain merasa tidak punya kuasa atau ke-
wenangan, juga pusing untuk memindahkan anggaran dari kegiatan
tersebut. Karena setiap kegiatan atau program memiliki konsukuensi
anggaran, yang berarti ada tambahan pemasukan buat guru. Adapun

138
BAB 5 Kurikulum

pada level perguruan tinggi juga seperti itu, selain alasan telah ter-
program, juga pihak pengelola perguruan tinggi tidak mau direpot-
kan oleh demonstrasi mahasiswa senior karena dengan ditiadakan-
nya acara ’inisiasi’ tersebut mereka yang senior tidak punya ruang
dan kesempatan untuk melampiaskan kembali seperti apa yang mer-
eka terima tatkala menjadi junior dulu.
Keadaan seperti yang disebut di ataslah menjadi akar tunggang
dari rantai kekerasan dan perilaku koruptif dunia pendidikan tidak
bisa diputuskan. Oleh sebab itu bisa dipahami mengapa berbagai
kurikulum tersembunyi yang berdampak negatif bagi kehidupan ma-
syarakat Indonesia tidak serta merta dienyahkan dari bumi pertiwi
ini.

E. KURIKULUM DAN EVALUASI


Diskusi kurikulum dan evaluasi meliputi pembahasan tentang
evaluasi kurikulum dan dampak evaluasi kurikulum pada proses di
sekolah.

1. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum dapat dipahami secara holistik dan parsial.
Secara holistik, evaluasi kurikulum berarti evaluasi pendidikan se-
cara menyeluruh, meliputi:
ƒ isi atau substansi,
ƒ proses pelaksanaan program pendidikan
ƒ kompetensi lulusan,
ƒ pengadaan dan peningkatan kemampuan tenaga kependidikan,
ƒ pengelolaan (manajemen) pendidikan
ƒ sarana dan prasarana
http://facebook.com/indonesiapustaka

ƒ pembiayaan
ƒ penilaian pendidikan

Adapun secara parsial, evaluasi kurikulum meliputi sebagian


kompenan dari semua yang dijelaskan di atas, biasanya menyangkut

139
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

penilaian hasil belajar, yang pada gilirannya diharapkan dapat mem-


perbaiki cara belajar peserta didik dan perbaikan program pembela-
jaran.
Pada tingkat manakah evaluasi itu dilakukan? Dalam perkem-
bangan evaluasi kurikulum di Indonesia pernah dilaksanakan secara
nasional dan secara lokal (sekolah). Evaluasi kurikulum melalui ujian
nasional menjadi persoalan ketika ia menjadi standar kelulusan yang
bersifat nasional pula. Kebijakan ujian nasional sebagai standar kelu-
luasan secara nasional mengabaikan kenyataan bahwa adanya ma-
salah pada perbedaan dalam standar fasilitas dan guru yang dimiliki,
baik antar daerah maupun antar sekolah secara nasiional. Ketimpan-
gan fasilitas (laboratorium, perpustakaan, komputer, dan lainnya)
dan guru (kualitas dan kompetensinya) yang sedemikian rupa secara
nasional telah menyebabkan ketidakadilan dalam persaingan secara
nasional pula. Seperti kita diketahui bahwa semakin dekat suatu se-
kolah ke pusat kekuasaan maka semakin baik fasilitas dan guru yang
dimiliki oleh sekolah. Sekolah-sekolah yang berada di Jakarta akan
lebih baik kuantitas dan kualittas fasilitas serta guru yang dimiliki
dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di Papua. Oleh sebab
itu, realitas ujian nasional sebagai standar kelulusan telah menimbul-
kan dampak negatif seperti yang dikemukakan di bawah.

2. Dampak Evaluasi Kurikulum Pada Proses di Sekolah


Pada bagian ini akan dididkusikan dampak evaluasi kurikulum
secara nasional pada proses di sekolah. Dampak evaluasi kurikulum
secara nasional dapat memiliki dampak negatif dan positif.

a. Dampak Negatif Evaluasi Kurikulum


Dampak negatif evaluasi kurikulum secara nasional meiliputi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dampak terhadap proses belajar mengajar (PBM), dampak pada


hubungan sosial antara guru dan murid serta dampak pada nilai dan
norma.
Satu: Dampak terhadap Proses PBM
Seperti dikemukakan di atas, jika evaluasi kurikulum nasional

140
BAB 5 Kurikulum

dimaksud sebagai standar kelulusan siswa secara nasional pula, maka


ia akan menimbulkan beberapa dampak terhadap proses belajar
mengajar (PBM) di sekolah, yaitu antara lain. satu, sekolah tidak lagi
menjadi lembaga pendidikan yang mentransmisikan nilai dan norma
yang dipandang penting dalam menghadapi kehidupan. Kalaupun
transmisi nilai dan norma tersebut dilakukan, itupun hanya sampai
pada semester pertama kelas 2. Karena pada semesrter kedua kelas
2, sekolah akan mempersiapkan siswa menguasai ”materi” ujian na-
sional. Konsekuensinya sosialisasi siswa di sekolah tidak sempurna.
Dua, lembaga pendidikan, oleh sebab itu, direduksi menjadi tem-
pat latihan untuk membahas dan menjawab materi soal yang tercak-
up dalam kisi-kisi yang telah digariskan oleh departemen pendidikan
secara nasional. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dikerdil-
kan menjadi kursus, tempat bimbingan belajar, yang dikenal sebagai
lembaga pendidikan non formal. Karena dalam konsepsi pemikiran
pengelola sekolah, guru, juga termasuk pemerintah daerah, dalam
hal ini dinas pendidikan, melihat bahwa keterampilan menjawab ber-
bagai macam, ragam atau jenis soal ujian nasional diperlukan bagi
siswa agar para siswa terampil dalam menjawab pertanyaan pada saat
ujian nasional berlangsung.
Dua: Dampak pada Hubungan Sosial antara Guru dan Murid
Ujian nasional telah menciptakan stratiikasi sosial terhadap
guru oleh para siswa. Semua guru dibuat stratiikasinya berdasarkan
atas dua kelas, yaitu kelas mata pelajaran yang ikut diuji dan kelas
mata pelajaran yang tidak ikut diuji pada ujian nasional. Perbedaan
kelas tersebut memberikan dampak pada perbedaan sikap, perilaku,
dan tindakan terhadap guru oleh para siswa. Dalam stratiikasi sosial
tersebut, guru yang mengajar mata pelajaran ikut diuji memperoleh
perhatian, penghormatan, dan ketundukan yang lebih besar diban-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dingkan dengan guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak diuji
dalam ujian nasional. Keadaan ini selanjutnya memberikan dampak
terhadap kemampuan guru untuk memotivasi dan menasehati mu-
rid serta sebaliknya kepatuhan murid terhadap motivasi dan nasehat
yang diberikan guru. Dalam berbagai perbincangan dengan banyak

141
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

guru dari berbagai level sekolah ditemukan bahwa peserta didik lebih
taat, patuh, dan penurut apabila mereka disuruh untuk rajin dalam
mengulang pelajaran di rumah oleh guru yang mengajar mata pela-
jaran yang diuji pada ujian nasional. Sebaliknya bila guru yang men-
gajar mata pelajaran yang tidak diuji menyarankan agar siswa rajin
belajar mengulangi materi di rumah, maka jawaban yang keluar dari
mulut para siswa adalah: “bapak/ibu, mata pelajarannya tidak masuk
ujian nasional, capek-capek mengulang, menghabiskan waktu saja!”
Jawaban seperti itu tentu sesuatu yang menyakitkan bagi guru. Nase-
hat dan motivasi yang baik dibalas dengan pelecehan terhadap mata
pelajaran yang diasuhnya. Dimensi seperti ini diabaikan oleh para
pembuat kebijakan pada tingkat pusat.
Tiga: Dampak pada Nilai dan Norma
Evaluasi kurikulum nasional yang bertujuan untuk mengetahui
pencapaian standar kelulusan siswa secara nasional serta sekali gus
raihan kualitas peserta didik dan sekolah secara nasional memberi-
kan dampak pada penggembosan, pengikisan dan destruksi terhadap
nilai dan norma yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Pelaksa-
naan ujian nasional yang menjadi standar kelulusan bagi siswa tidak
pelak lagi telah mengakibatkan berbagai pihak berjuang agar siswa
yang berada di bawah kewenangan mereka lulus sebanyak mungkin,
jika bisa lulus 100 %, tentunya dengan berbagai daya upaya dilaku-
kan.
Pemerintah daerah, baik kabupaten maupun kota, terutama
kepala daerahnya (bupati atau walikota), melihat bahwa jumlah ke-
lulusan siswa pada ujian nasional merupakan salah satu indikator
keberhasilan sebagai kepala daerah. Oleh sebab itu, ujian nasional
sebagai suatu usaha evaluasi terhadap kurikulum yang seyogyanya
merupakan ranah pendidikan dikonstruksi oleh kepala daerah dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

politisi, termasuk anggota DPRD, sebagai ranah politik. Perubahan


ruang evaluasi kurikulum dalam konteks ujian nasional dari ranah
pendidikan menjadi ranah politik telah memnculkan tekanan kepada
kepala dinas pendidikan agar semua sekolah yang berada di bawah
tanggungjawab dari dinas pendidikan dari suatu kabupaten atau kota

142
BAB 5 Kurikulum

lulus sebanyak mungkin, jika bisa 100 %. Karena tekanan yang kuat
dari kepala daerah, bupati atau walikota, terhadap kepala dinas pen-
didikan, maka kepala dinas juga menekan kepala sekolah agar sekolah
mempersiapkan para siswa sebaik mungkin dalam mengahadapi dan
melakukan ujian sehingga peserta ujian nasional bisa lulus sebanyak
mungkin, kalau bisa 100 %. Jika kepala dinas tidak bisa mencapai
target kelulusan yang ditetapkan kepala daerah maka dia dipecat oleh
kepala daerah melalui penggantiannya dengan orang lain. Demikian
pula dengan kepala sekolah yang tidak mampu memenuhi target ke-
lulusan kepala dinas maka dia akan diberhentikan dari jabatannya.
Apa konsekuensi dari keadaan di atas? Kepala dinas, kepala se-
kolah dan guru sekolah melakukan berbagai upaya, baik yang sah
maupun cara yang tidak sah atau melanggar aturan yang ada. Ada-
pun upaya yang sah dilakukan oleh sekolah di antaranya menambah
jam kegiatan belajar, khususnya pembahasan soal ujian, mengadakan
latihan bersama lembaga kursus, dan sebagainya. Adapun upaya yang
tidak sah, cenderung melanggar aturan perundangan yang ada, be-
rupa menyediakan sebagian atau semua jawaban dari soal ujian na-
sional pada sebelum dan/atau sedang ujian berlangsung, mengatur
posisi peserta ujian sedemikian rupa sehingga si pintar bisa “mem-
bantu” peserta ujian lainnya, memperlonggar pengawasan terhadap
peserta ujian, dan sebagainya.1 Bagaimana dengan tim pemantau in-
depeden? Tim melaksanakan tugasnya sesuai dengan strandar prose-
dur, namun dalam pelaksanaan tugasnya, bisa saja didistorsikan oleh
sekolah atau lembaga yang di atasnya seperti kepala dinas. Sekolah,
misalnya, menetapkan seorang atau beberapa orang guru untuk “me-
layani” anggota tim pemantau agar perhatian mereka teralihkan dari
pemantauan menjadi “mendiskusikan sesuatu”. Atau dibuat jadwal
kunjungan para pejabat daerah (bupati/wakil atau walikota/wakil,
http://facebook.com/indonesiapustaka

kepala dinas, anggota DPRD) sedemikian rupa sehingga pemantauan


tim teralihkan dengan kedatangan tersebut.

1
Kenyataan tersebut merupakan diskusi dalam ruang kelas yang dihadiri oleh para
guru, wawancara tidak terstruktur dengan beberapa guru, kepala sekolah dan dinas di
suatu provinsi, kota dan kabupaten di republik ini.

143
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Kenyataan yang digambarkan tersebut di atas sukar terbanta-


hkan jika dilakukan penelitian secara komprehensif, jujur, adil dan
bertanggungjawab. Apa hubungan kenyataan yang dikemukakan di
atas dengan nilai dan moral yang dipandang penting dalam masyara-
kat? Sangat jelas dan erat sekali hubungan antara keduanya. Salah
satu nilai yang dilanggar dan digembosi adalah nilai tentang keju-
juran. Nilai kejujuran dipandang penting oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui berbagai kearifan
sosial yang dimiliki oleh masyarakat.
Pepatah dan mamangan adat seperti ”berjalan lurus, berkata
benar”, ”lidah tidak bertulang”, ”pagar makan tanaman”, atau ”sekali
lancung ke ujian seumur hidup orang tidak percaya” merupakan ke-
arifan sosial bangsa Indonesia yang menuntun cara berpikir, merasa,
bertindak dan berperilaku mereka. Kearifan sosial tersebut men-
egaskan tentang pentingnya nilai kejujuran (”berjalan lurus, berka-
ta benar”) dan perlunya untuk menghindari kejujuran (”lidah tidak
bertulang” dan ”pagar makan tanaman”) dalam hidup agar terhindar
dari ketidakpercayaan orang lain (”sekali lancung ke ujian seumur
hidup orang tidak percaya”).
Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa pelaksanaan
ujian nasional dilakukan secara jujur jika gambaran tentang ujian na-
sional seperti yang kita pahami di atas. Oleh sebab itu, ”ketidakju-
juran” dalam pelaksanaan ujian nasional itu sendiri dapat pula dili-
hat sebagai pelajaran terakhir yang dilaksanakan oleh sekolah dalam
kurikulum tersembunyi.
Nilai berikutnya yang didekonstruksi melalui pelaksanaan ujian
nasional adalah nilai tentang pentingnya kerja keras. Dalam ma-
syarakat Indonesia terdapat banyak petuah budaya, fatwa adat atau
pepatah-petitih yang menyatakan pentingnya kerja keras dalam ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hidupan kita seperti ”rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh”,


”berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit da-
hulu, bersenang-senang kemudian”, ”berlayar sampai ke pulau, ber-
jalan sampai ke batas”, atau ”pasar jalan karena ditempuh, hapal kaji
karena diulang”. Dalam konteks pendidikan, kerja keras diwujudkan

144
BAB 5 Kurikulum

dalam usaha yang maksimal dalam belajar dan menimba ilmu seperti
mengulang pelajaran, mengerjakan pekerjaan rumah, atau menge-
jakan berbagai macam latihan. Melalui berbagai kegiatan tersebut,
peserta didik akan terlatih sehingga memiliki kompetensi seperti
yang diharapkan.
Pembocoran kunci jawaban dari soal-soal ujian nasional yang di-
lakukan oleh pengurus sekolah dan guru pada waktu sebelum dan
sesudah ujian nasional diadakan, merupakan suatu bentuk dari
penggembosan atau pengempesan nilai tentang kerja keras. Nilai
kerja keras telah ditanam oleh setiap pendidik semenjak tahun perta-
ma menjadi (maha)siswa. Nilai tersebut dalam sekejap diruntuhkan
melalui suatu kebijakan sentralis yang bernama ujian nasional, yang
diselenggarakan dalam situasi dan kondisi yang kurang jujur.
Nilai lain yang diruntuhkan melalui pelaksanaan ujian nasional
adalah persaingan sehat. Seperti nilai kejujuran dan kerja keras, ni-
lai persaingan sehat juga merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh
hampir seluruh masyarakat Indonesia. Kearifan sosial yang bersum-
ber dari tradisi seperi petuah budaya, fatwa adat atau bidal dan pan-
tun adat seperti ”jika ingin kaya, rajin mencari; ingin pandai, rajin
belajar; jika ingin tuah, tabur dengan kehormatan” atau ”jika lampu
orang terang, lampu awak gelap, jangan matikan lampu orang, tapi
benderangkan lampu awak”. Kearifan sosial ini menuntun kita agar
berkompetisi sehatlah dalam mencapai sesuatu, karena kesempatan
terbuka untuk mencapai sesuatu jika sesuai dengan jalannya. Dalam
berkompetisi jangan mencurangi orang lain, tetapi lakukanlah hal
yang terbaik yang bisa dilakukan. Nilai berkompetisi secara sehat
telah disosialisasikan semenjak siswa mendapatkan pelajaran per-
tamanya di sekolah seperti tidak boleh curang, misalnya mencontek
atau mengakui kerja orang lain sebagai kerja diri sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Persengkokolan berbagai oknum sekolah dalam pmbocoran kun-


ci jawaban dari soal-soal ujian nasional yang dilakukan pada waktu
sebelum dan sesudah ujian nasional diadakan, merupakan suatu ben-
tuk dari pengeroposan atau pelapukan terhadap nilai yang dipan-
dang penting dimiliki siswa dalam mengharungi kehidupan mereka.

145
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Pengeroposan dan pelapukan tersebut justru terjadi pada saat siswa


akan meninggalkan lembaga yang memberikannya pendidikan, pem-
belajaran, dan pengajaran. Dengan kata lain, para siswa dilepas ke-
pergian mereka dari sekolah dengan nilai yang bertentangan dengan
apa yang mereka telah terima dan pegang erat pada masa sebelumnya
di sekolah.
Jika kita paham dan sepakat terhadap realitas seperti yang dibe-
berkan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa sekolah telah
menghancurkan nilai-nilai penting dalam peradaban manusia yaitu
nilai kejujuran, kerja keras dan kompetisi secara sehat. Apabila nilai-
nilai peradaban seperti disebut tadi dihancurkan, maka apakah salah
bila kita berkesimpulan bahwa sekolah membangun keterbelangan
nilai berupa sosialisasi nilai yang berdimensi negatif pada saat siswa
akan meninggalkan sekolah seperti ketidakjujuran, malas, dan ber-
laku curang.
Realitas nilai yang dikonstruksi dari pelaksanaan ujian nasional
seperti itu adalah dunia pendidikan yang dibangun atas dasar dis-
trust. Kenapa demikian? Semua pelajar, guru dan sekolah merupak-
an agen pendidikan yang memiliki potensi untuk tidak jujur dalam
melaksanakan ujian. Oleh sebab itu perlu pengawasan dan peman-
tauan ujian yang sangat ketat, yang melibatkan pengawas, polisi, dan
tim pemantau. Suatu lembaga pembangun dan penopang peradaban,
yang bernama lembaga pendidikan, sudah dikonstruksi seperti itu,
pertanyaan yang muncul adalah kepada siapa lagi masyarakat ber-
harap untuk mendapatkan rujukan nilai, bersikap, bertindak, dan
berperilaku dalam bangunan peradaban di republik ini? Suatu hal
yang belum pernah terjadi di republik ini sebelumnya. Apakah ini na-
manya reformasi pendidikan? Jika, ya! Mau dibawa ke mana bangsa
dan negara ini dengan sistem seperti itu?
http://facebook.com/indonesiapustaka

b. Dampak Positif Evaluasi Kurikulum


Evaluasi kurikulum secara nasional, melalui ujian yang diseleng-
garakan secara nasional, namun tidak harus menjadi standar kelulu-
san nasional, telah menghasilkan nilai ujian yang berskala nasional

146
BAB 5 Kurikulum

pula. Nilai evaluasi secara nasional yang bersifat murni, tidak ada
penambahan dengan nilai yang berasal dari sekolah, telah menjadi
instrumen untuk masuk ke sekolah yang lebih tinggi, menggantikan
tes yang diselenggarakan oleh sekolah yang dituju. Sistem peneri-
maan murid baru melalui seleksi peringkat nilai evaluasi secara nasi-
onal yang bersifat murni, memberikan dampak positif. Sebab sistem
tersebut memberikan peluang dan kesempatan yang adil kepada se-
luruh peserta didik untuk memasuki sekolah lanjutannya sesuai den-
gan kemampuan yang mereka miliki. Melalui pola ini dimungkinkan
anak-anak dari keluarga miskin bisa menikmati pendidikan di seko-
lah yang bermutu karena prestasi sang anak sendiri. Adapun sistem
penerimaan murid baru melalui tes yang diselenggarakan sekolah
menciptakan ketidakadilan karena seleksi tersebut menyebabkan
terjadinya korupsi dan nepotisme sebab uang dan relasi dengan pi-
hak sekolah (kepala sekolah dan guru) dijadikan standar untuk kelu-
lusan anak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

147
bab
6 GURU

A. MENGAJAR SEBAGAI PEKERJAAN


ATAU PROFESI?
Bagaimana para guru memandang proses dan kegiatan belajar
mengajar yang mereka lakukan sendiri? Paling tidak terdapat dua
jawaban terhadap pertanyaan tersebut, yaitu mengajar sebagai pe-
kerjaan dan mengajar sebagai profesi. Untuk memahami ini perlu
kita kupas kedua jawaban tersebut.

1. Mengajar Sebagai Pekerjaan


Pekerjaan merupakan suatu rangkaian aktivitas untuk mem-
peroleh pendapatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Oleh karena pekerjaan dipandang sebagai cara pemenuhan kebutu-
han hidup, ketika kebutuhan hidup telah terpenuhi, maka pekerjaan
tersebut dilakukan seadanya sepanjang apa yang dilakukan tidak
mempengaruhi perolehan pendapatan yang pada gilirannya mem-
pengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup. Mengapa bisa seperti itu?
Apabila suatu rangkaian aktivitas untuk memperoleh pendapatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagi pemenuhan kebutuhan hidup dipandang berjalan lancar tanpa


hambatan sehingga hidup sesuai seperti yang diharapkan, maka ti-
dak ada alasan atau kekuatan internal untuk merobah visi, cara, rit-
ma, sikap, atau perilaku terhadap pekerjaan tersebut.
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Cara pandang seperti di atas kelihatannya sangat dominan di ka-


langan para guru, terutama para guru perempuan sebelum adanya
sertiikasi guru, di masa lampau tentang pekerjaan. Kenapa demiki-
an? Dalam masyarakat Indonesia pada masa lampau, pembagian ker-
ja antara perempuan dan laki-laki dikonstruksi sedemikian rupa, di
mana perempuan bekerja di ruang domestik (rumah dan lingkungan-
nya) dan laki-laki ditempatkan di ruang publik (di luar rumah seperti
kantor dan pabrik). Konstruksi sosial budaya seperti ini dipandang
sebagai sesuatu yang seharusnya dan semestinya demikian, yang ter-
kristalisasi sebagai tradisi, adat atau kebiasaan. Jika ada perempuan
yang menyimpang dari tradisi tersebut, maka akan ada resistensi
sosial dan budaya terhadap perilaku atau tindakan yang dipandang
menyimpang oleh komunitas, mungkin berupa penolaksn komunitas
terhadap perempuan tersebut untuk dijadikan sebagai menantu atau
ipar dari suatu keluarga besar. Ketika perempuan telah mulai ban-
yak melakukan perilaku atau tindakan yang dipandang penyimpang
tersebut, yaitu bekerja di luar rumah, maka komunitas di(ter)paksa
secara perlahan untuk menafsirkan ulang mana tindakan menyim-
pang atau tidak menyimpang dalam kaitannya dengan pekerjaan.
Penafsiran ulang pekerjaan yang dipandang menyimpang atau
tidak, pada suatu titik menghasilkan kompromi, yaitu mensinergi-
kan pekerjaan domestik dan pekerjaan publik. Apa pekerjaan yang
dipandang sinergis antara pekerjaan domestik dan pekerjaan publik
menurut masyarakat? Salah satu pekerjaan yang dilihat sinergis an-
tara pekerjaan domestik dan pekerjaan publik adalah pekerjaan seb-
agai guru. Mengapa demikian? Pekerjaan guru, dilihat dari perspe-
ktif emik, merupakan “pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan domestik,
yang dilakukan dalam rumahtangga. Aktiitas-aktiitas seperti men-
gasuh, membesarkan dan mendidik anak di dalam keluarga dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka

diperbesar cakupan, jangkauan, dan kuantitasnya dengan memper-


luas ruang dan memperpanjang waktu melalui memasuki pekerjaan
sebagai guru.
Bekerja sebagai guru bagi seorang perempuan akan memperluas
ruang dan memperpanjang waktu dalam mengasuh, membesarkan

150
BAB 6 Guru

dan mendidik anak, dalam hal ini anak secara sosial pedagogis, yaitu
guru sebagai ibu sedangkan murid sebagai anak, dalam hal ini anak
didik. Kegiatan sebagai guru, dipahami secara emik oleh masyarakat,
bukan merupakan pekerjaan yang berat dan bertentangan dengan
pekerjaan yang dilakukan di rumahtangga; sebaliknya ia dilihat se-
bagai kelanjutan dari pekerjaan rumahtangga seperti tugas pengasu-
han dan pendidikan anak. Karena ia dipandang sebagai “pekerjaan
lanjutan” maka bisa dipahami mengapa banyak perempuan masuk ke
sekolah atau perguruan tinggi yang berdimensi atau berkaitan den-
gan kependidikan, di mana pekerjaan utama setelah selesai mengi-
kuti pendidikan adalah guru.
Ketika guru dipandang sebagai “pekerjaan lanjutan” dari peker-
jaan domestik, maka pekerjaan tersebut dilakukan seperti menger-
jakan pekerjaan domestik. Seperti diketahui bahwa pekerjaan
rumahtangga dilakukan dan dirasakan oleh perempuan sebagai ses-
uatu yang biasa, monoton, tidaik menantang, dan kurang dinamis.
Cara memandang pekerjaan domestik seperti itu juga mempenga-
ruhi cara pandang mereka tentang pekerjaan guru sebagai “pekerjaan
lanjutan” dari pekerjaan domestik, sehingga ia dilakukan seadanya,
monoton, cara dan strategi pembelajaran tidak berbeda jauh dari ta-
hun awal mengajar sampai saat pensiun menjadi guru. Untuk mena-
jamkan pemahaman tentang penomena ini, mungkin ada baiknya
kita ambil contoh lain. Misalnya dalam masyarakat Minangkabau tra-
disional mempersiapkan masakan dalam rumahtangga merupakan
tugas perempuan, khususnya istri. Tugas tersebut dilakukan setiap
hari dan terus menerus oleh istri, sehingga memasak dirasakan suatu
pekerjaan yang monoton dan tidak jarang membosankan. Berbeda
jika seorang laki-laki yang bekerja sebagai “tukang masak”, dikenal
sebagai koki dalam konsep modern, pada suatu rumah makan atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

restoran, tidak akan melihat apa yang dilakukannya sebagai sesuatu


yang monoton dan membosankan, karena dia melihat apa yang di-
lakukannya sebagai profesi.

151
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2. Mengajar Sebagai Profesi


Mengajar sebagai profesi berarti mengonstruksikan jabatan seb-
agai guru dipandang sebagai profesi. Memang tidak dipungkiri bah-
wa pada masa lampau para guru, khususnya perempuan, telah ada
yang melihat dan menyadari bahwa pekerjaan mereka sebagai guru
merupakan suatu profesi, bukan sekedar sebagai pekerjaan belaka,
namun lebih jauh dari itu. Cara pandang seperti itu jumlahnya lebih
terbatas dibandingkan dengan yang melihat guru sebagai sekedar pe-
kerjaan, tidak lebih.
Kesadaran para perempuan pendidik tentang guru sebagai
profesi, muncul tatkala pekerjaan domestik (perkejaan di dalam
rumahtangga) telah tidak membebani atau berkurang karena anak-
anak telah beranjak besar dan dewasa, sehingga keterikatan terha-
dap pekerjaan kerumahtanggan sudah melonggar. Konsekuensi dari
perkembangan ini, menyebabkan sebagian ibu guru mulai mengem-
bangkan diri melalui berbagai cara seperti belajar sendiri (otodidak)
melalui berbagai media, mengikuti pelatihan, bahkan melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, kesadaran dalam melihat,
memandang, dan memperlakukan guru sebagai suatu profesi dikare-
nakan adanya dorongan dari dalam (faktor internal) seperti sema-
kin banyaknya waktu luang sehingga bisa dialihkan menjadi waktu
untuk belajar dan untuk mempersiapkan diri lebih matang dalam
berbagai materi ajar dan cara serta strategi belajar mengajar. Apabila
dorongan dari dalam tersebut tidak dimiliki pada saat ada peluang
untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi diri menjadi seorang
prefesional, maka sukar diharapkan guru tersebut bisa menjadi pro-
fesional sampai dia memasuki masa pensiun.
Dorongan dan tekanan untuk menjadikan posisi guru sebagai
profesi semakin menguat ketika ada Undang-Undang tentang Guru
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan Dosen. Undang-undang tersebut memberikan ganjaran dan hu-


kuman terhadap guru dan dosen terhadap aktivitas dan kegiatan
yang dilakukannya dalam hubungannya dengan jabatan guru dan
dosen. Semua guru didorang untuk menjadikan semua aktivitas dan
kegiatannya dilakukan secara profesional. Karena adanya dorongan

152
BAB 6 Guru

guru menjadi profesional maka guru diharuskan meningkatkan kual-


itas, kompetensi, dan keahlian profesional mereka. Dorongan ekster-
nal ini sedikit banyaknya telah memberikan motivasi bagi guru untuk
merobah diri dalam peningkatan kualitas, kompetensi, dan keahlian
profesional mereka. Dalam kenyataaannya, setelah Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ini diimplementa-
sikan, ada kecenderungan banyak para guru meningkatkan kualii-
kasi diri melalui mengikuti pendidikan lanjutan strata satu (S1) dan
strata dua (S2). Kenyataan seperti itu, tidak terbayangkan pada masa
sebelumnya akan terjadi.
Tidak dipungkiri bahwa tidak semua guru yang telah disertii-
kasi telah merobah diri menjadi guru yang profesional, seperti yang
diamanahkan oleh undang-undang tentang guru dan dosen tersebut.
Meskipun demikian telah tampak bahwa guru sudah mulai serius
dibandingkan sebelumnya untuk meningkatkan kualitas diri dalam
melaksanakan proses belajar mengajar (PBM). Topik ini akan dibahas
pada bahagian berikutnya.
Bagaimana sesuatu itu bisa dikatakan sebagai profesi? Per-
syaratan apa yang harus dipenuhi sehingga sesuatu dapat disebut
sebagai suatu profesi? Berikut beberapa karakteristik yang harus di-
penuhi seseorang sehingga sesuatu yang dikerjakan tersebut dapat
disebut sebagai suatu profesi:

a. Sumber Pendapatan Utama


Suatu jabatan dikatakan bisa memenuhi unsur profesi, salah sa-
tunya adalah, apabila ia dilakukan karena menjadi sumber pendapa-
tan utama bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Karena suatu jabatan
dilihat sebagai sumber pendapatan utama, maka orang akan melaku-
kan sesuatu yang terbaik dan optimal yang bisa dilakukan terhadap
http://facebook.com/indonesiapustaka

pekerjaan tersebut. Semakin baik dan optimal sesuatu itu dilakukan


maka semakin besar pula peluang peningkatan penerimaan pendapa-
tan. Hipotesis ini bisa menjadi masuk akal ketika dikaitkan dengan
sertiikasi guru. Bila seorang guru melakukan sesuatu dengan baik
dan optimal diperkirakan sang guru bisa meraih kompetensi yang

153
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

seharusnya dimiliki. Selanjutnya bila kompetensi tersebut telah


menjadi bahagian dari apa yang menjadi kegiatannya sebagai guru
maka diperkirakan dia akan lulus sertiikasi guru. Konsekuensi logis
dari seorang guru lulus sertiikasi adalah peningkatan penerimaan
pendapatan.

b. Curahan Waktu Kerja Terbesar


Esensi dari karakteristik profesi sebagai pekerjaan utama di atas
adalah curahan waktu kerja terbesar berada pada aktivitas yang men-
jadi sumber pendapatan utama. Seorang guru yang profesional, mis-
alnya, akan mencurahkan waktu kerja yang terbesar pada aktivitas
dan kegiataan yang berhubungan dengan profesinya sebagai guru,
seperti mempersiapkan bahan dan materi, mengoreksi latihan, dan
memperdalam cara dan strategi baru dalam mengajar, bukan pada
pekerjaan yang lain. Curahan waktu kerja terbesar tersebut berkait
dengan karakteristik berikutnya dari profesi yaitu keahlian dan kom-
petensi, sebab seperti kata pepatah, “pasar jalan karena ditempuh,
hapal kaji karena diulang”. Melalui pepatah tersebut, kita juga bisa
menghipotesiskan: “pasar jalan, karena ditempuh, aktivitas profe-
sional, karena dikompetensi”.

c. Keahlian dan Kompetensi Khusus


Suatu profesi tertentu memiliki keahlian dan kompetensi ter-
tentu pula, termasuk guru sebagai profesi. Keahlian seorang guru
berkait dengan kemampuannya dalam mengajar, mendidik, mem-
bimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik. Sedangkan kompetensi dari seorang guru profesional ber-
hubungan dengan penguasaan materi atau bahan ajar, perencanaan
program proses belajar mengajar, pengelolaan program belajar-men-
gajar, penggunaan media dan sumber pembelajaran, pelaksanaan
http://facebook.com/indonesiapustaka

evaluasi dan penilaian prestasi siswa, program bimbingan dan kon-


seling, diagnosis kesulitan belajar siswa, dan pelaksanaan adminis-
trasi kurikulum atau administrasi guru.

154
BAB 6 Guru

d. Pendidikan dan Pelatihan Khusus


Untuk mendapatkan keahlian dan kompetensi khusus dari suatu
profesi diperlukan pula suatu pendidikan dan pelatihan khusus pula.
Seorang yang ingin menjadi apoteker, suatu profesi yang berhubung-
an dengan aktivitas farmasi dan obat-obatan, maka di samping dia
harus menyelesaikan pendidikan pada sarjana strata satu (S1) di
bidang farmasi, selanjutnya dia juga harus melanjutnya pendidikan
keahlian (profesi) sebagai apoteker selama paling kurang dua semes-
ter. Demikian pula, bila seseorang ingin menjadi dokter, maka selain
harus menyelesaikan studi S1 pada pendidikan kedokteran, dia juga
harus mengambil pendidikan keahlian dalam bidang medis sebagai
dokter umum. Hal yang sama juga harus dilalui oleh seorang guru.
Seorang calon guru harus menyelesaikan pendidikan strata satu yang
berhubungan dengan isi dan substansi yang akan diajarkan seperti
sosiologi, sejarah, matematika, dan lain sebagainya. Setelah itu dia
harus mengikuti pendidikan keprofesian sebagai guru di lembaga
yang direkomendasikan menurut aturan perundangan.

e. Standardisasi
Keahlian dan kompetensi memerlukan standar. Melalui standar,
setiap profesional bisa diuji atau dinilai keahlian dan kompetensi
yang dimilikinya. Pengujian dan penilaian terhadap keahlian dan
kompetensi yang dimiliki dilakukan secara periodik dan berkelanju-
tan, sehingga keahlian dan kompetensi dari suatu profesi bisa ter-
standar. Dalam profesi guru, standardisasi dilakukan melalui serti-
ikasi guru. Konsekuensi logis adanya standardisasi keahlian dan
kompetensi guru adalah adanya standardisasi pendapatan dari guru.
Adalah suatu hal yang tidak mungkin diharapkan jika seorang guru
diminta untuk berkualitas dan berkompetensi, sementara pendapa-
tan yang diterimanya tidak bisa memenuhi hidup layak, sebagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang diterima oleh profesi lain. Apa yang dilakukan terhadap guru
selama ini dengan “meninabobokkan” para guru sebagai pahlawan
tanpa jasa, sebenarnya, merupakan pengalihan kesadaran objektif
guru untuk memperoleh pendapatan layak sebagai manusia yang
bermartabat secara moral dan material menjadi seorang “malaikat”

155
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

yang tidak perlu kehidupan dunia material. Bagaimana lagu Himne


Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, yang digubah Sartono, mampu
mengalihkan kesadaran objektif para guru menjadi kesadaran palsu
sebagai pahlawan tanpa tanda jasa:
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru.
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku.
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku.

S’bagai prasasti terima kasih ku ‘ntuk pengabdianmu


Engkau sebagai pelita dalam kegelapan.
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan.
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa.

Perulangan penyebutan pahlawan tanpa tanda jasa menyebab-


kan teorema homas, “when men deine situation as real, they are real
in their consequences” (jika orang mendeinisikan situasi sebagai suatu
hal nyata, situasi itu nyata dalam konsekuensinya) terwujud. Ketika
guru diperdengarkan Himne Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
terus-menerus dan dinyatakan pada setiap kesempatan pertemuan
dengan guru bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka
apa yang dilagukan dan dinyatakan terus menerus tersebut menjadi
nyata dalam konsekuensinya. Situasi ini berimplikasi pada sikap,
perilaku dan tindakan guru yang malu atau merasa dipermalukan bila
membicarakan reward atau penghargaan atas jasa yang diberikannya
kepada masyarakat. Karena guru harus ikhlas, sabar dan tidak mate-
rialis atas jasa yang telah ditunaikannya kepada masyarakat.
Konsekuensi standardisasi keahlian dan kompetensi seyogyanya
dibarengi pula dengan standardisasi penerimaan atau pendapatan
yang dapat dicapai oleh seorang yang berprofesi sebagai guru. Un-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah


mengakomodasi hal tersebut. Selain mendapatkan gaji pokok dan
tunjangan fungsional sebagai guru, guru yang telah lulus sertiikasi
akan menperoleh tunjangan profesi sebanyak satu bulan gaji pokok
yang mereka miliki.

156
BAB 6 Guru

f. Organisasi dan Kode Etik Profesi


Setiap profesi memiliki organisasi dan kode etik profesi. Guru
di republik ini memiliki organisasi profesi yang bernama Persatuan
Guru Repuublik Indonesia (PGRI). Kode etik profesi guru di Indone-
sia meliputi:
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila.
2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik
sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4. Guru menciptakan suasana sebaik-baiknya yang menunjang ber-
hasilnya proses belajar mengajar.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orangtua murid dan
masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rsa tang-
gungjawab bersama terhadap pendidikan.
6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan,
dan kesetiakwanan sosial.
8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu
organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9. Guru melaksanakan segala kebijakasanaan pemerintah dalam bi-
dang pendidikan.

B. PERANAN GURU
Kalau ditelusuri konsep peranan secara lebih detil, maka kita
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan menemukan konsep fungsi. Kenapa demikian? Setiap orang me-


miliki suatu posisi dalam ruang sosial seperti kelompok, keluarga,
komunitas atau masyarakat. Posisi merupakan kedudukan seseorang
dalam suatu kelompok atau kedudukan dalam hubungannya dengan
kelompok lain, misalnya posisi sebagai guru. Posisi sebagai guru me-

157
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

miliki hak dan kewajiban yang diembannya, dikenal sebagai status.


Sedangkan perilaku yang diharapkan dari orang yang memiliki suatu
status disebut sebagai peranan. Ketika peranan tersebut dimainkan,
ia memiliki konsekuensi terhadap penyesuaian atau adaptif terhadap
sistem. Inilah dikenal sebagai fungsi. Dalam titik ini, guru dilihat seb-
agai kelembagaan, bukan sebagai posisi semata. Fungsi memiliki dua
dimensi, yaitu laten dan manifes. Fungsi laten merupakan berbagai
konsekuensi dari praktik kultural yang tidak disengaja atau tidak
disadari, membantu penyesuaian atau adaptasi sistem. Sedangkan
fungsi manifes merupakan berbagai konsekuensi dari praktik kultur-
al yang disengaja atau disadari, membantu penyesuaian atau adap-
tasi sistem. Melalui cara pendang ini, maka kita dapat melihat fungsi
guru dari dua sudut, yaitu fungsi manifes dan fungsi laten guru.

1. Fungsi Manifes dari Guru


Fungsi yang diharapkan, disengaja, dan disadari dari guru oleh
masyarakat pada suatu ruang terdiri dari:

a. Guru sebagai Pengajar


Pada masyarakat manapun, baik masyarakat maju maupun se-
dang berkembang, menyadari dan mengharapkan agar guru menjadi
pengajar terhadap anak-anak mereka. Masyarakat mengharapkan
guru bisa memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang
dibutuhkan oleh anak-anak mereka dalam mengharungi kehidupan
kelak seperti berhitung, membaca, menulis, dan lain sebagainya.
Konsepsi pengetahuan dan keterampilan dasar dalam setiap ma-
syarakat berbeda sesuai dengan perkembangan dan latar belakang
masyarakat tersebut. Pada masyarakat perdesaan pesisir memer-
lukan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berbeda dengan
masyarakat indutrial perkotaan. Pada masyarakat perdesaan pesisir,
http://facebook.com/indonesiapustaka

misalnya, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tentang ke-


lautan, nelayan dan kepesisiran seperti budidaya rumput laut, jenis
ikan tertentu, udang, dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat
industrial perkotaan, misalnya, memerlukan pengetahuan dan ket-
erampilan tentang industri dan perdagangan seperti keterampilan

158
BAB 6 Guru

menggunakan berbagai program komputer, berbagai keterampilan


las, dan sebagainya.

b. Guru sebagai Pendidik


Dalam masyarakat, guru tidak hanya diharapkan untuk sekedar
mengajarkan pengetahuan dan keterampilan seperti yang dikemuka-
kan di atas, tetapi kebih dari itu dengan mendidik segala “sesuatu”
yang diperlukan murid sehingga dalam beradaptasi dengan berbagai
persoalan kehidupan seperti praksis budi pekerti (akhlak), soft skill,
dan berbagai kapital yang diperlukan dalam hidup seperti kapital
sosial, kapital budaya, kapital simbolik, dan kapital spritual. Perbe-
daan antara pengajar dan pendidik dalam konteks ini adalah terletak
pada kedalaman dan kualitas dari aktivitas yang dilakukan. Mengajar
dipahami hanya sekedar mentransfer atau memindahkan, sedangkan
mendidik dilihat tidak hanya memindahkan tetapi lebih dalam lagi
“mendarahdagingkan” (internalized). Meskipun sebagian guru telah
mengalami sertiikasi, namun mereka yang telah disertiikasi terse-
but masih ada yang belum menjadi pendidik, hanya sekedar sebagai
pengajar. Tindakan dan perilaku guru sebagai pendidik, seperti cara
menjelaskan, berdiskusi, memotivasi, dan lainnya tidak selalu di-
jumpai di sekolah-sekolah. Masih kita dengar, misalnya, bagaimana
seorang guru melecehkan murid ketitika mereka bertanya tentang
hal yang menjadi topik pelajaran. Atau guru melecehkan jawaban
yang diberikan oleh murid atas pertanyaan yang diberikan.

c. Guru sebagai Teladan


Guru dikonstruksi oleh para murid, terutama pada taman
kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD), sebagai makhluk yang mu-
lia, seperti makhluk “setengah dewa”. Oleh sebab itu, apa saja yang
dikatakan, dilakukan dan diperbuat oleh guru dipandang sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

suatu kebenaran, dari sisi manapun, baik dalam cara maupun sub-
stansi. Pengalaman yang dimiliki oleh para orangtua yang memiliki
anak yang sedang mengikuti taman kanak-kanak atau sekolah dasar
menunjukkan bahwa anak-anak mereka lebih taat dan patuh terha-
dap gurunya ketimbang apa yang dikatakan, disuruh atau disarankan

159
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

oleh mereka sebagai orangtua. Banyak kisah orang tua tentang hal
ini. Untuk keperluan pemahaman, perlu diceritakan kisah dua orang
tua tentang ketaatan anaknya terhadap guru.
Kisah pertama tentang ketaatan anak terhadap guru berasal
dari keluarga Ihsan, bukan nama sebenarnya. Ihsan bekerja sebagai
seorang dosen pada salah satu perguruan tinggi negeri di Sumatera
Barat. Suatu ketika anak perempuan bungsunya menangis dan tidak
mau pergi ke sekolah. Anaknya sedang duduk dibangku kelas satu
sekolah dasar. Setelah ditanya kenapa sang anak tidak mau pergi
sekolah, ternyata dia lupa membelikan topi dan kacu pramuka. Pada
hal seminggu sebelumnya sang anak mengatakan kepadanya bahwa
“seragam pramuka harus dilengkapi dengan kacu dan topi pramuka,
begitu kata guru”. Setelah dijanjikan akan dibelikan di sekolah sesa-
mpai mereka di sana, maka sang anak mau pergi bersama sang ayah
ke sekolah.
Kisah ini berasal dari pengalaman seorang ibu muda, sebut saja
namanya ibu Alia, yang anaknya duduk di bangku kelas satu sekolah
dasar. Sebagai seorang yang taat beragama, dia senantiasa mengin-
gatkan anaknya untuk setiap waktu sholat masuk agar melaksanakan
sholat. Namanya anak kecil, selalu saja ada alasan yang diberikan
sang anak untuk menunda waktu sholat sehingga sholat terlambat
bahka dua waktu sholat dikumpul dikerjakan pada waktu yang ber-
samaan, seperti sholat Isya dilaksanakan pada waktu sholat subuh,
misalnya. Keadaan ini merisaukan bagi ibu Alia. Karena dari penga-
malan pribadinya, dia merasakan sholat dikerjakan pada waktunya
merupakan sarana internalisasi nilai disiplin dan menghargai waktu,
yang dipandang ibu Alia sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
kehidupan dunia dan akhirat. Keriasauan tersebut tidak berlangsung
lama. Ketika ibu Alia menemani anaknya ke sekolah untuk menerima
http://facebook.com/indonesiapustaka

raport semester anaknya, sebelum penyerahan raport, seorang guru


menasehati seluruh murid untuk tidak libur sholat meskipun seko-
lah libur. Nasehat guru tersebut dijadikan “senjata” bagi ibu Alia un-
tuk mengajak anaknya sholat ketika waktunya telah masuk. Ketika
anaknya terlihat malas-malasan untuk mengejarkan sholat, maka ibu

160
BAB 6 Guru

Alia akan mengatakan pada anaknya: “nak, kata ibu guru kan: sholat
tidak boleh libur, walau sekolah libur!”. Mendengar nasehat gurunya
jadi rujukan, sang anak segera melaksanakan apa yang disuruh oleh
sang ibu. Kisah-kisah seperti yang dikemukakan barusan bisa diper-
panjang dengan kisah Anda sendiri, kerabat, keluarga Anda sendiri.
Dari sudut pandang seperti itulah guru merupakan teladan bagi
para muridnya. Jika guru tidak mampu memainkan peran dan me-
menuhi fungsi seperti yang diharapkan oleh masyarakat maka apa
yang diingatkan selalu melalui kearifan pepatah adat, “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari” akan bersua.

d. Guru sebagai Motivator


Karena guru dilihat sebagai makhluk yang mulia, “setengah
nabi”, maka masyarakat mengharapkan guru memainkan fungsi
sebagai motivator bagi para muridnya. Guru diharapkan mampu
memberikan dorongan, kekuatan, motivasi, dan energi yang besar
kepada semua muridnya agar mereka mampu meraih cita-cita yang
digantung setinggi langit. Berbagai kisah, biograi dan sejarah guru
telah menunjukkan betapa hebat dan dahsyatnya peran guru sebagai
motivator terhadap anak-anak di taman kanak-kanak dan sekolah
dasar. Seperti yang dikisahkan dalam “laskar pelangi”, sebuah kisah
anak-anak Bangka Belitung yang ditulis dalam novel yang kemudian
diangkat ke dalam layar lebar (ilm), tergambar bagaimana seorang
guru mampu memberikan motivasi bagi anak didiknya di Sekolah
Dasar Muhammadiyah untuk melukis mimpi indah dan menggapai
mimpi yang ditoreh setinggi langit tersebut. Tidak perlu diperdebat-
kan lagi bagaimana banyak kisah orang berhasil di Indonesia salah
satu peletak dasar dasar keberhasilan mereka adalah fondasi mimpi
dan kepribadian yang dibangun oleh guru mereka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

2. Fungsi Laten dari Guru


Fungsi yang tidak diharapkan, disengaja, dan disadari dari guru
terhadap masyarakat pada suatu ruang terdiri dari:

161
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

a. Guru sebagai Pelabel


Pada bagian sebelumnya telah didiskusikan bagaimana ke-
ampuhan pelabelan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya.
Keberhasilan atau ketidakberhasilan seorang peserta didik tergan-
tung pada pelabelan yang diberikan kepadanya oleh guru. Jika pada
Bab Ruang Kelas, kita telah mendiskusikan teori pelabelan dengan
mengutip kasus di luar negeri sana. Sekarang coba kita simak kisah
seorang guru pada satu taman kanak-kanak di kota Padang sebut saja
namanya ibu Rahma, tentu bukan nama sebenarnya. Sebagai seorang
guru TK yang baru diangkat, belajar pengalaman proses belajar-
mengajar (PBM) kepada senior adalah merupakan hal yang lumrah.
Sang guru yunior ini kaget ternyata pelajaran yang diterimanya dari
guru senior bertentangan dengan beberapa teori yang selama ini dia
dapatkan dari bangku kuliah. Apa kata sang guru senior yang menye-
babkan sang yunior kaget? Adapun pelajaran dari sang senior sebagai
berikut: “Rahma, kita mengajar anak-anak dari kelas bawah. Bagi
mereka, kata-kata kotor seperti sumpah serapah atau makian adalah
makanan seharian mereka. Oleh karena itu, jika kita tidak mengikuti
cara mereka maka kita tidak akan dipatuhi.” Memang senior melak-
sanakan apa yang dikatakannya tersebut. Namun nasehat sang se-
nior tidak diturutinya, ibu Rahma mengajar seperti teori sebutkan.
Ibu Rahma mengajar tentang bagaimana bersikap, bertindak, ber-
perilaku dan berbicara yang seharusnya dilakukan oleh seorang mu-
rid dan anak seperti berlaku dan berkata sopan dan santun. Dalam
bulan pertama, dia mendapat cibiran dari senior dan orangtua murid.
Namun masuk bulan kedua, perilaku dan sikap anak perlahan mulai
berubah. Para orangtua murid merasakan juga perubahan perilaku
dan sikap sang anak di rumah. Para orang tua mulai mau menden-
gar usulan dan nasehat ibu Rahma. Karena alasan pindah ke seko-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lah yang lebih dekat dari rumah, ibu Rahma meninggalkan sekolah
tersebut dengan kenangan manis bersama perubahan perilaku dan
sikap murid dari yang dilabelkan oleh guru senior sebagai anggota
masyarakat yang sering menggunakan kata-kata kotor menjadi mu-
rid yang menggunakan kata-kata yang sopan dan santun.

162
BAB 6 Guru

Kenapa ibu Rahma tidak mengambil jalur yang sama seperti yang
dilakukan seniornya? Menurut ibu Rahma, anak-anak itu bagaikan
kertas putih bersih, bagaimana sang anak tergantung pada para guru
dan orangtua yang menggambarkannya. Ibu Rahma menggambarkan
para murid dengan lukisan yang indah, sehinggah jadilah ia sebagai
lukisan yang indah di kanvas kehidupan bernama sekolah. Ini salah
satu cara pandang bagaimana teori label itu berfungsi.
Kisah ibu Rahma di Padang juga terbuka kemungkinan terjadi
di berbagai lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kisah ibu Rahma menunjukkan pada kita guru memiliki fungsi seb-
agai pelabel bagi masa depan anak-anak kita. Jika seorang guru salah
menggunakan label, maka konsekuensinya akan berdampak pada
masa depan kehidupan seorang peserta didik. Oleh sebab itu, jika
dokter dimungkinkan melakukan suatu “mal praktek”, maka guru
juga dimungkinkan melakukan hal yang sama seperti dokter, yaitu
“mal praktek” dalam dunia pendidikan.

b. Guru sebagai “Penyambung Lidah Kelas Menengah Atas”


Guru menyosialisasikan nilai-nilai dan norma-norma yang ada
dalam masyarakat. Apa yang dianggap baik dan buruk, apa yang di-
pandang benar dan salah, dan apa yang dilihat tinggi atau rendah
merupakan konstruksi sosial tentang nilai dan norma dalam ma-
syarakat. Dalam masyarakat, konstruksi sosial tentang nilai dan
norma tidaklah homogen atau seragam, tetapi sebaliknya hetero-
gen atau beragam,. Keberagaman tersebut mencerminkan stratii-
kasi sosial dalam masyarakat, di mana masyarakat dibagi ke dalam
berbagai kelas yang berbeda: kelas atas, kelas menengah, dan kelas
bawah. Apa yang disosialisasikan dalam ruang kelas melalui guru cen-
derung merupakan nilai-nilai dan norma-norma dari kelas menengah
http://facebook.com/indonesiapustaka

atas ketimbang apa yang dimiliki oleh kelas menengah bawah. Apa
yang dianggap bersih menurut guru, misalnya, adalah konsep ber-
sih menurut pandangan kelas menengah atas, bukan kelas menengah
bawah. Dalam konteks inilah maka guru dipandang sebagai “penyam-
bung lidah kelas menengah atas”.

163
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Guru sebagai “penyambung lidah kelas menengah atas” telah


menyebabkan para murid memiliki pandangan yang relatif sama di
antara mereka satu sama lain, yaitu pandangan dari perspektif kelas
menengah atas. Pandangan yang sama tersebut di satu sisi memung-
kinkan mereka bisa bekerjasama satu sama lain. Tetapi di sisi lain,
pandangan tentang nilai dan norma dari kelas bawah dipandang se-
bagai sesuatu yang tidak cocok bagi kehidupan orang yang berpendi-
dikan. Pandangan yang disebut belakang ini, pada hakekatnya, meru-
pakan pandangan yang melecehkan nilai dan norma kelas bawah,
yang pada tataran tertentu sebenarnya cocok dan adaptif bagi kelas
bawah dalam mengatasi peroalan kehidupan.

c. Guru sebagai Pengekal Statusquo


Keadaan statusquo menunjukkan pada suatu keadaan yang rela-
tif dalam situasi keseimbangan, tidak berubah atau stagnan. Keadaan
seperti itu dikekalkan oleh guru melalui peranan yang dimilikinya.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa guru melalui proses bela-
jar mengajar telah melangggengkan nilai-nilai dan norma-norma
dari kelas menengah atas. Dengan demikian, anak-anak dari kelas
menengah atas memiliki keuntungan dan keunggulan dibandingkan
dengan anak-anak dari kelas menengah kelas menengah bawah, se-
bab anak-anak menengah atas mempelajari apa yang telah mereka
miliki, lakukan dan laksanakan. Konsekuensinya adalah anak-anak
kelas menengah bawah terus tertinggal dalam persaingan dari anak-
anak kelas menengah atas. Oleh sebab itu ide pendidikan sebagai alat
mobilitas sosial menjadi “pepesan kosong” seperti dilihat oleh teori-
tisi struktural konlik. Di sisi lain, seperti telah didiskusikan di atas,
pendidikan telah mencabut akar nilai dan norma para murid yang
berasal dari kalangan kelas bawah. Konsekuensinya bila mereka “ga-
gal” bersaing dengan para murid kelas menengah atas dalam lapan-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gan pekerjaan, mereka cenderung akan gagal pula dalam lapangan


kehidupan secara lebih luas. Sebab akar nilai dan norma kelas bawah
telah tercabut dari diri mereka, sementara harapan kehidupan telah
terbentuk sesuai dengan harapan yang dimiliki oleh kelas menengah
atas. Sedangkan mereka yang berasal dari kelas bawah tidak memiliki

164
BAB 6 Guru

alat yang sama untuk meraih harapan tersebut seperti yang dimiliki
oleh kelas menengah atas. Dalam kondisi seperti ini, merujuk pada
pemikiran Robert K. Merton, para anggota kelas bawah mengalami
anomi, bisa bertindak atau berperilaku anomik, karena antara hara-
pan dan alat yang mereka miliki tidak sesuai, cocok atau “nyambung”.
Bagaimana memahami pikiran Merton tersebut? Untuk itu ada
baiknya dipahami melalui contoh. Ketika kelas bawah menerima
nilai dan norma kelas menengah atas tentang kecantikan dan keg-
agahan sebagai bahagian dari nilai dan norma yang mereka miliki,
misalnya, maka untuk merealisasikannya diperlukan alat, misalkan
kemampuan untuk membeli peralatan kecantikan dan kegagahan
seperti parfum merek tertentu, busana dengan label tertentu, mobil
dengan jenis buatan tertentu dan seterusnya. Bagi kelas menengah
atas, untuk merealisasikan nilai dan norma tentang kecantikan dan
kegagahan tersebut, mereka memiliki alatnya yaitu kemampuan i-
nansial yang mereka miliki. Bagaimana dengan kelas bawah? Sesuai
dengan kelasnya, mereka tidak punya alat. Oleh sebab itu, mereka
dapat merealisasikan nilai dan norma tersebut dengan melakukan
suatu perilaku menyimpang, misalnya menjadi pelacur atau menjual
barang haram seperti narkoba. Keadaan seperti ini disebut sebagai
anomi.

C. SERTIFIKASI GURU
Sertiikasi guru, seperti telah disinggung pada bagian sebelum-
nya, merupakan salah satu cara untuk melakukan standardisasi terh-
adap keahlian dan kompetensi guru. Melalui sertiikasi, aspek proses
dalam pendidikan dan pembelajaran bisa terstandardisasi. Karena
setiap guru profesional bisa mengolah aspek input dalam pendidi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan dan pembelajaran menjadi suatu output tertentu, seperti yang


diharapkan.

1. Kompetensi Guru
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18

165
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Tahun 2007 tentang Sertiikasi bagi Guru dalam Jabatan disebutkan


bahwa sertiikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji
kompetensi. Apa itu kompetensi? Merujuk pada Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 045/U/2005, kompetensi diartikan sebagai
seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimil-
iki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat
dalam melaksanakan tugas-tugas ssuai denngan pekerjaan tertentu.
Kompetensi dalam bentuk penilaian protopolio atau penilaian kum-
pulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru, yang mencak-
up 10 komponen, yaitu: (1) kualiikasi akademik, (2) pendidikan dan
latihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, (5) penilaian dari atas dan pengawasan, (6) prestasi
akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam
forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan
sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Dari 10 komponen tersebut bisa dirinci lagi ke dalam be-
berapa jenis kompetensi, yaitu antara lain kompetensi kepribadian,
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi so-
sial. Berikut disajikan beberapa kompetensi guru dengan elemen dan
indikatornya:

a. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik mencakup kemampuan yang berkenaan
dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang
mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mengan-
dung kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengem-
bangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi
http://facebook.com/indonesiapustaka

pedagogik tersebut dapat diperinci lagi menjadi subkompetensi dan


indikator esensialnya, yaitu:
1. Memahami peserta didik. Subkompetensi ini mencakup indika-
tor esensial berupa memahami peserta didik dengan memanfaat-
kan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, memahami peserta

166
BAB 6 Guru

didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian, dan


mengidentiikasi bekal ajar awal peserta didik.
2. Merancang pembelajaran. Subkompetensi ini meliputi indika-
tor esensial berupa menerapkan teori belajar dan pembelajaran,
menetapkan strategi pembelajaran berlandaskan pada karak-
teristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan ma-
teri ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan
strategi yang dipilih.
3. Melakukan pembelajaran secara umum
4. Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan ber-
bagai potensi yang dipunyainya. Subkompetensi ini mempun-
yai indikator esensial berupa memfasilitasi peserta didik untuk
pengembanan berbagai potensi akademik, dan memfasilitasi
peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi aka-
demik, dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan
berbagai potensi non-akademik.

b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional menyangkut kemampuan yang ber-
hubungan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi
secara luas dan mendalam yang menliputi penguasaan substansi
isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keil-
muan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah
wawasan keilmuan sebagai guru. Kompetensi ini meliputi beberapa
subkompetensi dengan indikator esensial berupa:
1. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi.
Subkompetensi ini meliputi beberapa indikator esensial berupa
memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, me-
mahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi
http://facebook.com/indonesiapustaka

atau koheren dengan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan


sehari-hari.
2. Menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk
menambah wawasan dan memperdalam pengatahuan/materi bi-
dang studi.

167
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai ba-
gian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang-
tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini meli-
puti subkompetensi dengan indikator efekif berupa:
1. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesa-
ma pendidik.
2. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesa-
ma pendidik dan tenaga kependidikan.
3. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang
tua/wali murid peserta didik dan masyarakat sekitar.

d. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian mantap, stabil, dewasa, arif dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mu-
lia. Selanjutnya setiap elemen tersebut dapat diuraikan lagi menjadi
subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
1. Memiliki kepribadian mantap dan stabil. Subkompetensi ini
mengandung indikator esensial berupa bertindak sesuai dengan
norma hukum, bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga
sebagai pendidik, dan mempunyai konsistensi dalam bertindak
sesuai dengan norma.
2. Memiliki kepribadian yang dewasa. Subkompetensi ini mempu-
nyai indikator esensial berupa menampilkan kemandirian dalam
bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai pen-
didik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

3. Memiliki kepribadian yang arif. Subkomptensi ini memiliki in-


dikator esensial berupa menampilkan tindakan yang didasarkan
pada kemanfaatan peserta didik, sekolah dan masyarakat serta
memperlihatkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
4. Memiliki kepribadian yang berwibawa. Subkompetensi ini men-

168
BAB 6 Guru

gandung indikator esensial berupa memiliki perilaku yang ber-


pengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku
yang disegani.
5. Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan. Subkompe-
tensi mempunyai indikator berupa bertindak sesuai dengan nor-
ma religius (iman dan taqwa, jujur, ihklas, suka menolong), dan
memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.

Penetapan kebijakan kompetensi dan keahlian guru di Indonesia


dikonstruksi secara sosial politik antara para elit birokrasi penentu
kebijakan kependidikan dan para pakar kependidikan. Dalam kon-
struksi realitas tentang penetapan kebijakan kompetensi dan ke-
ahlian guru tersebut, para elit birokrasi penentu kebijakan kepen-
didikan dan para pakar kependidikan tidak semata dilandasi oleh
argumentasi teoritis akademik dan praksis kependidikan, tetapi juga
oleh argumentasi inansial dan keuangan negara. Akibatnya dalam
implementasi kebijakan tentang sertiikasi terjadi distorsi antara apa
yang menjadi harapan dan tujuan yang terdokumentasi dalam aturan
perundangan dengan praksis yang dilakukan.

2. Permasalahan Sertifikasi
Untuk memenuhi persyaratan sertiikasi maka seorang guru ha-
rus mencapai skor objektif minimal sebesar 850 poin atau 57 % dari
skor maksimal, yaitu 1500 poin. Jika skor objektif minimal tersebut
telah dicapai maka seorang guru bisa memperoleh predikat profe-
sional. Dalam kenyataan persyaratan minimal skor objektif minimal
sebesar 850 poin tersebut tidak mudah dicapai. Itu ditunjukkan oleh
ketidaklulusan yang tidak sedikit dari peserta sertiikasi. Memang
dari jumlah peserta sertiikasi guru yang tidak lulus tersebut bukan
semata karena faktor internal guru itu sendiri, tetapi juga bisa dikare-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nakan oleh faktor lain seperti kelembagaan sertiikasi dan asesor.


Berikut ini didiskusikan beberapa permasalahan yang ditemukan
dalam penyelenggaraan sertiikasi guru:

169
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

a. Faktor Guru
Keempat kompetensi di atas, yaitu kompetensi pedagogik, kom-
petensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian
tidak bisa dimiliki oleh seorang guru secara instan. Untuk memiliki
keempat kompetensi seorang guru harus melalui berbagai proses, se-
bab memang guru tidak dipersiapkan, baik secara individual maupun
secara institusional, untuk menjadi guru yang profesional setelah dia
menyelesaikan studi di bangku kuliah dan memasuki kehidupan se-
bagai guru.
Kalau dipahami dari sisi faktor guru terdapat beberapa perma-
salahan yang ditemukan dalam kaitannya dengan sertiikasi guru,
yaitu:
1. Kualiikasi Strata 1 (S1) dan Diploma IV (D-IV). Persyaratan
untuk mengikuti sertiikasi guru ditetapkan menurut aturan
perundangan di Indonesia adalah berkualiikasi S1 dan D-IV.
Aturan perundangan sebelumnya menetapkan kualiikasi yang
lebih rendah (DII dan DIII) untuk menempati suatu jabatan guru
di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Persoalan yang dihadapi
guru, terutama oleh guru senior, adalah pengalaman selama ini
yang dimilikinya, katakanlah telah mengajar 30 tahun lebih, be-
lum cukup dipandang kompeten secara prosedural formal, kare-
na dia belum S1 atau D-IV. Sehingga dia tidak dapat merasakan
nikmatnya menjadi seorang guru yang berpredikat profesional,
karena telah lulus sertiikasi. Jika dia harus mengikuti S1 atau
D-IV, ketika dia menamatkan pendidikannya tersebut, maka dia
juga harus pensiun karena usianya mewajibkan untuk pensiun.
Dari sudut ini, perlakuan terhadap guru senor dipandang tidak
adil, tidak ada penghargaan terhadap apa yang mereka telah laku-
kan selama ini. Bisa salah salah satu dari guru yang diperlaku-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan seperti itu adalah guru dari para pembuat kebijakan terse-
but. Oleh karena adanya kritik terhadap persyaratan sertiikasi
seperti itu, maka suara yang kritis tersebut dijadikan masukan
untuk merubah kebijakan yang ada sehingga terbitlah Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pe-

170
BAB 6 Guru

menuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan


yang memungkinkan persyaratan S1 dan D-IV tidak diwajibkan
kepada guru senior.
2. Keilmuan. Ketika beberapa mata pelajaran baru diusulkan men-
jadi mata pelajaran inti dari suatu tingkatan pendidikan pada
masa lalu, misalnya mata pelajaran sosiologi dan antropologi,
karena tidak ada guru yang berlatarbelakang kualiikasi pendi-
dikan S1 sosiologi, maka guru yang memiliki jam mengajarkan-
nya kurang dibolehkan mengajar sosiologi. Karena guru tersebut
belajar otodidak dan mengikuti beberapa pelatihan, maka sang
guru merasa mampu untuk mengajar sosiologi. Di antara mere-
ka ada yang mampu menguasai sosiologi, terutama guru yang
berkualiikasi serumpun bidang keilmuannya seperti sejarah dan
geograi, sedangkan yang lain belum mampu. Solusi terhadap
ini adalah pengakuan terhadap penambahan jam mengajar bagi
guru yang memiliki kualiikasi satu rumpun. Bagaimana mengu-
kur kompetensi dalam bidang keilmuan (profesional) yang tidak
menjadi bidang studi mereka ketika studi S1 atau D-IV? Persoal-
an ini belum menemukan jalan keluarnya.
3. Pendidikan dan Pelatihan. Ada kesan komponen ini bias kota.
Kenapa demikian? Bahwa semua kegiatan pendidikan dan pela-
tihan dilakukan di kota, oleh sebab itu informasi kegiatan terse-
but akan diperoleh lebih cepat oleh para guru yang berada di
kota dibandingkan guru yang berada di desa. Karena kesempatan
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan terbatas, maka ada
kecenderungan guru yang berada di kota yang memiliki kesem-
patan lebih besar untuk meraih kesempatan tersebut. Jika infor-
masi kegiatan tersebut didistribusikan kepada guru yang berada
di desa, informasi yang diterima sering telat, sehingga ketika ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

guru yang ingin mengikuti kegiatan tersebut ternyata pendaf-


taran telah tutup. Persoalan ini belum mendapatkan perhatian
yang khusus dari pihak yang berkepentingan dalam “pembinaan
akademik” seperti Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pen-
didikan Provinsi, dan Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.

171
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

4. Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah. Seperti pendidikan dan pe-


latihan, keikursertaan dalam forum ilmiah juga cenderung bias
kota, sebab kegiatan tersebut diselenggarakan di kota, paling ren-
dah dilaksanakan di ibu kota pemerintahan daerah berkeduduk-
an (kabupaten/kota). Sehingga kesempatan guru yang berada di
desa sangat kurang pula. Selain itu, jika ada forum tersebut di-
adakan kuantitas pelaksanaannya sangat kurang.
5. Kewajiban Mengajar 24 jam. Bagi guru yang mengajar tidak di
sekolah dasar, baik sekolah lanjutan tingkat pertama maupun
lanjutan tingkat atas, akan sukar memperoleh 24 jam mengajar.
Ada dua persoalan yang mengakibatkan seorang guru tidak bisa
mengajar 24 jam seperti yang diamanatkan oleh aturan perun-
dangan, yaitu: satu, jumlah guru suatu bidang studi lebih banyak
dibandingkan jumlah jam mengajar yang tersedia. Misalnya guru
untuk mata pelajaran sejarah pada suatu sekolah tiga orang,
sedangkan kelas yang belajar sejarah hanya sembilan lokal. Jika
jumlah jam pelajaran dibagi habis berdasarkan jumlah guru, maka
setiap guru akan mengajar katakanlah selama 12 jam/minggu.
Dua, jumlah jam mengajar tidak mencukupi 24 jam, meskipun
gurunya hanya satu orang. Ketika sekolah membutuhkan guru
dengan kualiikasi tertentu, misalnya tamatan pendidikan ba-
hasa Jerman, maka melalui sekolah mendapatkan tenaganya.
Pada saat kebutuhan sertiikasi muncul, ternyata jam pelajaran
bahasa Jerman tidak mencapai 24 jam. Kenyataan tersebut yang
sering dikeluhkan oleh para guru, sehingga muncullah ketida-
kjujuran dalam melaporkan jumlah jam mengajar. Solusi yang
dianjurkan oleh Depdiknas adalah penempatan ulang guru pada
sebaran sekolah yang ada pada suatu kabupaten/kota oleh dinas
pendidikan, sehingga kebutuhan mengajar 24 jam tersebut ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka

capai.

b. Faktor Kelembagaan Sertifikasi


Kelembagaan sertiikasi berkait dengan segala sesuatu yang
berkait yang berkait dengan penyelenggaraan dan tata kelola dari
sertiikasi seperti organsiasi dan pengorganisasian serta berbagai

172
BAB 6 Guru

aturan perundangan dan pengaturannya. Berikut beberapa permala-


han yang berkaitan dengan faktor ini:
1. Penyelenggaraan. Setiap pihak seperti LPTK, LPMP, Dinas Pen-
didikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan lainnya memiliki
tugas dan fungsi yang jelas dalam penyelenggaraan sertiikasi,
namun tugas dan fungsi tersebut belum dimainkan secara baik,
sehingga penyelenggaraan sertiikasi belum berjalan seperti
yang diharapkan oleh banyak pihak. Permasalahan penyelengga-
raan meliputi data belum inal dari LPMP, SK asesor baru belum
diterima, nomor peserta tidak sesuai dengan kode bidang studi,
dinas pendidikan belum mengirimkan dokumen portofolio, dan
sebagainya.
2. Koordinasi. Kata koordinasi merupakan kata terindah dalam
manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan administrasi pu-
blik dan mudah untuk diucapkan, namun sukar untuk dilak-
sanakan, termasuk dalam tata kelola sertiikasi guru. Dalam
penyelenggaraan sertiikasi guru, terdapat kesulitan koordinasi
antara berbagai pihak terkait antara lain LPTK, LPMP, KSG, Di-
nas Pendidikan, dan Departemen Pendidikan Nasional. Beberapa
masalah koordinasi ditemukan, antara lain masalah SK asesor
baru, keterlambatan distribusi portofolio, kesalahan dan keter-
lambatan data peserta, kesalahan pengisian portofolio, distribui
informasi kebijakan baru.
3. Pendanaan. Ketika berbagai pihak telah menyelesaikan tugas
seperti yang telah ditetapkan, namun kompensasi atau peng-
hargaan dalam bentuk honor (uang) terhadap apa yang telah
dilakukan belum bisa diterima segera setelah selesai pekerjaan
yang mereka lakukan. Masih ada saja pihak yang mengeluhkan
persoalan ini. Di samping, para peserta sertiikasi yang telah lu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lus juga tidak bisa segera menerima tunjangan profesi, di antara


mereka ada yang menunggu lebih satu tahun.

c. Faktor Asesor
Asesor dapat juga menjadi persoalan dalam penyelenggaraan
sertiikasi dosen. Persoalan yang ditemukan dengan asesor berkait

173
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

dengan paling sedikit dua hal, yaitu: satu, latarbelakang pendidikan


yang dimiliki tidak sesuai dengan persyaratan yang dimiliki di mana
salah satu pndidikan harus dalam bidang pendidikan. Namun karena
memiliki jabatan tertentu di LPTK, dosen tersebut masih bisa ikut
menjadi asesor. Dua, ketidakmampuan untuk menyamakan persepsi
penilaian yang terlampau timpang antar asesor, sehingga diperlukan
asesor netral dari luar.

d. Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru


Apabila seorang peserta sertiikasi tidak lulus dalam penilaian
portofolio, maka dia diharuskan untuk melengkapi dokumen forto-
folio agar mencapai nilai lulus atau mengikuti pendidikan dan pela-
tihan profesi guru. Jika mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi
guru, maka pada bahagian akhir dari kegiatan tersebut para peserta
akan mengikuti ujian. Pendidikan dan pelatihan profesi guru terse-
but cenderung dipandang sebagai Aspirin, yaitu sebagai obat yang
menghilangkan rasa sakit terhadap semua penyakit, namun bukan
sebagai penyembuh penyakit yang diserita. Jika seseorang tidak lulus
dalam penilaian portofolio, maka dia mendapatkan pendidikan dan
pelatihan yang berkaitan dengan semua kompetensi, bukan terhadap
kompetensi yang dinilai kurang atau tidak lulus saja. Oleh karena itu,
kegiatan tersebut dilihat sebagai aspirin.

e. Kelulusan dan Profesionalitas


Apakah seorang guru yang telah dinyatakan lulus sertiikasi dan
memperoleh penghargaan berupa tunjangan profesi bisa dinyatakan
profesional? Secara teoritis-hipotetis bisa! Namun jika ditelusuri re-
alitas yang sebenarnya maka sebahagian guru belum bisa dikatakan
sebagai guru profesional. Meskipun telah lulus sertiikasi guru, na-
mun sebahagian guru yang lulus tersebut belum menunjukkan kom-
http://facebook.com/indonesiapustaka

petensi pedagogik dan kompetensi profesional pada saat mereka


melaksanakan proses pembelajaran dan pendidikan di ruang kelas
dari sekolah mereka. Dalam konteks ini, kelulusan dari suatu uji
portofolio, belum tentu secara substansial profesional dalam melak-
sanakan tugas dan fungsi sebagai guru.

174
bab
7 PENDIDIKAN
SEBAGAI KAPITAL

A. PENGERTIAN KAPITAL
Apa itu kapital? Merupakan suatu pertanyaan yang perlu di-
jawab dan penting untuk didiskusikan. Untuk menemukan jawaban
pertanyaan tersebut kita dapat mulai menelusuri jawabannya melalui
etimologi. Secara etimologis, kapital berasal dari kata “capital”, yang
akar katanya dari kata Latin, caput, berarti “kepala”. Adapun artinya
dipahami, pada abad ke-12 dan ke-13, adalah dana, persediaan ba-
rang, sejumlah uang dan bunga uang pinjaman (Berger, 1990: 20).
Dalam tulisan ini, “capital” tidak diterjemahkan sebagai modal
seperti kelaziman yang dilakukan oleh banyak orang. Alasannya sep-
erti yang dikemukakan oleh Lawang (2004: 3) dalam bukunya “Kapi-
tal Sosial: dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar”, yaitu: per-
tama, capital (Inggris) memang berarti modal, boleh dalam bentuk
yang biasanya digunakan untuk belanja barang kapital isik (physical
capital goods) yang memungkinkan suatu investasi dapat berjalan.
Dalam pengertian ini nampaknya tidak ada keberatan berarti yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyangkut pengertian kapital. Kedua, dalam bahasa Indonesia


orang sering menggunakan istilah “modal dengkul”, artinya tidak ada
uang untuk dijadikan modal bagi belanja barang kapital isik, kecuali
tenaga orang itu sendiri, dapat dalam pengertian tenaga isik, dapat
juga dalam pengertian keterampilan atau gabungan keduanya. Tena-
ga isik memang tidak dapat dipisahkan dari keterampilan, tetapi
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

keduanya tidak identik. Keduanya tidak dapat dipisahkan kerena ket-


erampilan itu hanya dapat diwujudkan dengan menggunakan tenaga
isik dalam ukuran penggunaan kalori besar atau kecil. Tetapi tidak
semua penggunaan tenaga isik digabungkan dengan keterampilan.
Jalan kaki membutuhkan tenaga isik, tetapi jalan kaki (apalagi ja-
lan-jalan) bukanlah suatu keterampilan sebagai suatu bentuk kapital
manusia (human capital). Karena alasan inilah maka konsep capital
tidak diterjemahkan dengan modal. Ketiga, merupakan alasan penu-
lis sendiri, konsep kapital berkait dengan suatu investasi. Oleh kare-
na itu, kapital berhubung dengan suatu proses yang cukup panjang,
yang tidak dapat langsung digunakan seperti halnya “dengkul” yang
ada di depan mata dan siap digunakan.
Karya sosiologi utama serta monumental berasal dari tulisan
Karl Marx tentang “Das Kapital”. Karl Marx dapat dinyatakan sebagai
tokoh peneruka utama dalam memperbincangkan tentang kapital.
Sebagai peletak dasar bagi perkembangan teori-teori kapital selanjut-
nya, maka teori kapital Karl Marx perlu dibahas pertama kali di sini
(Lin dkk, 2001; Lawang, 2004). Jika dinapaktilasi gagasan Marx, kap-
ital dilihatnya sebagai bagian dari nilai surplus (surplus value/mehrw-
ert) yang diperoleh kapitalis atau borjuis, yang mengontrol cara-cara
produksi, dalam sirkulasi komoditas dan uang antara proses produksi
dan konsumsi (Brewer, 1984; Lin dkk, 2001).
Apa itu nilai surplus? Sebelum menjawabnya, terlebih marilah
kita mengingat kembali konsep nilai guna (use value) dan nilai tukar
(exchange value). Nilai guna sebuah barang adalah nilai kebergunaan
suatu barang atau keuntungan yang diberikan oleh suatu barang ke-
tika ia dipakai. Adapun nilai tukar, yaitu nilai suatu barang yang akan
didapatkan ketika barang tersebut ditukarkan dengan benda lain.
Untuk memantapkan pemahaman tentang perbedaan antara konsep
http://facebook.com/indonesiapustaka

nilai pakai dan nilai tukar, kita kutip penjelasan Johnson (1986: 155)
tentang hal ini: “seseorang yang mengendarai sebuah mobil tua yang
harganya hanya sebagian kecil dari harga dari sebuah mobil baru di
pasar (nilai tukar), tetapi yang melayani pemiliknya sebagai satu alat
transportasi terpercaya (nilai guna) yang tidak dapat diganti dengan

176
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

uang pembelian dalam jumlah besar melebihi nilai pasar yang selay-
aknya untuk mobil tua itu”.
Dalam masyarakat kapitalisme, buruh dapat dilihat sebagai sum-
ber nilai guna dan juga nilai tukar. Sebagai sumber nilai guna, buruh
menjadi sumber kegiatan yang digunakan untuk produksi suatu ba-
rang tertentu untuk dipakai. Adapun sebagai sumber nilai tukar, bu-
ruh dipandang sebagai masukan umum untuk proses produksi komo-
ditas-komoditas yang dihasilkan tidak untuk pemakaian pribadi bu-
ruh itu sendiri ataupun untuk pemakaian majikan, melainkan untuk
dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal, untuk ditukarkan
dengan uang. Jadi, dalam sistem kapitalis, buruh dipandang sebagai
komoditas yang dapat diperjualbelikan dalam pasar impersonal, se-
perti komoditas lainnya. Namun, buruh mampu memproduksi nilai
tukar lebih besar daripada yang diminta untuk mempertahankan nilai
tukarnya itu. Dengan kata lain, seorang buruh mampu memproduksi
jumlah komoditas dengan nilai tukar jauh lebih banyak daripada nilai
tukar makanan, pakaian, perumahan, dan lainnya untuk memperta-
hankan hidup dan untuk memperoleh tenaga kerja yang lebih banyak
lagi. Tambahan atau kelebihan dari persyaratan kelangsungan hidup
buruh dan pemulihan tenaga kerjanya kembali disebut sebagai nilai
surplus (Johnson, 1986: 155-156).
Selanjutnya, untuk memahami nilai surplus dicoba melalui
penjelasan lewat suatu contoh berikut ini. Semua kebutuhan hidup
buruh seperti makanan, pakaian, perumahan, dan lainnya agar sang
buruh mampu mempertahankan hidup dan memulihkan tenaga ker-
janya dapat dihasilkan rata-rata dalam 6 jam kerja dan nilainya sama
dengan Rp 60.000. Ini berarti bahwa seorang buruh layak mendapat
upah Rp 60.000 per hari dari majikannya. Itu dipandang adil karena
memang nilai tenaga kerjanya tidak lebih dari jumlah tersebut. Na-
http://facebook.com/indonesiapustaka

mun dalam kenyataannya, karena alasan kapasitas produksi pabrik


dan lain sebagainya, kapitalis tidak mempekerjakan buruh selama 6
jam, melainkan 10 jam sehari. Keadaan ini menimbulkan nilai baru
sebanyak 4 jam kerja lebih lama dari yang diperlukan sang buruh un-
tuk mempertahankan hidup dan memulihkan tenaga kerjanya. Ni-

177
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

lai baru tersebut tidak diberikan kepada buruh, tetapi diambil oleh
kapitalis, karena kapitalis tetap membayar upah buruh sebanyak Rp
60.000 perhari, sedangkan 4 jam tenaga kerja yang besarnya seban-
yak Rp 40.000 dipandang sebagai nilai surplus, diambil oleh kapitalis.
Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa kapital dilihatnya sebagai
bagian dari nilai surplus (surplus value/mehrwert) yang diperoleh kap-
italis.
Fenomena di atas ditegaskan oleh Karl Marx (1976: 987) dengan
pernyataan berikut:
“jika waktu kerja buruh harus menciptakan nilai menurut pro-
porsi durasi kerjanya, maka ini adalah waktu kerja yang diper-
lukan secara sosial. Dengan kata lain, pekerja harus melakukan
kuantitas kerja yang secara normal pada waktu tertentu. Dengan
demikian kapitalis memaksanya bekerja di atas angka intensitas
rata-rata yang normal secara sosial. Dia akan berusaha sekeras
mungkin untuk meningkatkan outputnya di atas batas minimum
ini dan meringkas sebanyak mungkin kerja pada waktu itu. Setiap
intensiikasi kerja di atas angka rata-rata menciptakan nilai sur-
plus baginya. Terlebih lagi, dia akan mencoba mengekstensifkan
proses kerjanya seluas mungkin sampai di lura batas yang harus
dikerjakan untuk memperbaiki nilai kapital variabel yang diin-
vestasikan, yaitu, upah kerja”.

Selain itu, kapital juga dipandang oleh Marx sebagai suatu ben-
tuk investasi yang diharapkan akan meraup keuntungan dalam pasar.
Dengan kata lain, nilai surplus yang diperoleh kapitalis diinvestasi-
kannya kembali ke dalam suatu proses produksi dan sirkulasi komo-
ditas agar dia dapat meraih keuntungan yang lebih besar lagi lewat
nilai surplus.
Gagasan teori kapital yang dikembangkan oleh Karl Marx men-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jadi bahan mentah bagi perkembangan teori kapital selanjutnya.


Oleh karena itu salah satu ide yang berkembang pada teori kapital
berikutnya adalah melihat bahwa kapital merupakan suatu bentuk
nilai surplus dan investasi yang diharapkan pengembaliannya (Lin,
2004), seperti pendapatan, keuntungan, atau laba dalam arti yang

178
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

luas.
Pada periode sejarah perkembangan teori neo kapital, kapital
berkembang dalam berbagai bentuk dan dimensi seperti kapital ma-
nusia (human capital), kapital sosial (social capital), kapital budaya
(cultural capital) dan kapital simbolik (symbolic capital). Kesemua teori
kapital baru tersebut tumbuh dan berkembang berdasarkan gagasan
awal tentang kapital, yaitu kapital dilihat sebagai suatu bentuk nilai
surplus dan investasi yang diharapkan pengembaliannya dalam ber-
bagai bentuk seperti keuntungan, pendapatan, laba, perolehan, keleb

B. PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL MANUSIA


Konsep kapital manusia (human capital) diperkenalkan oleh
heodore W. Schultz lewat pidatonya berjudul “Investment in Human
Capital ” dihadapan para ekonom Amerika pada 1960, kemudian di-
publikasikan melalui jurnal American Economic Review, pada Maret
1961. Sebelumnya, para ekonom hanya mengenal kapital isik berupa
alat-alat, mesin dan peralatan produktif lainnya yang ditenggarai
memberikan konstribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangu-
nan. Gagasan tentang kapital manusia memperoleh sambutan yang
luas di kalangan para ekonom seperti Bowman, Denison, Becker, dan
lainnya. Selain itu gagasan tentang kapital manusia juga berkembang
ke dalam sosiologi seperti yang dilakukan oleh Parsons, Coleman,
Blau dan Duncan.
Gagasan kapital manusia yang diajukan Schultz melalui “Invest-
ment in Human Capital ” adalah bahwa proses perolehan pengetahuan
dan keterampilan melalui pendidikan bukan sekedar sebagai suatu
kegiatan konsumtif, melainkan suatu bentuk investasi sumberdaya
manusia (SDM). Pendidikan, sebagai suatu sarana pengembangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kualitas manusia, memiliki kontribusi langsung terhadap pertumbu-


han pendapatan negara melalui peningkatan keterampilan dan ke-
mampuan produksi dari tenaga kerja.

1. Pengertian Kapital Manusia

179
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Dari gagasan awal kapital manusia yang diajukan oleh Schultz


tersebut telah berkembang berbagai batasan pengertian (deinisi)
tentang kapital manusia. Ace Suryadi (1999: 52-53) dalam bukunya
“Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan”, misalnya, mene-
mukan bahwa kapital manusia menunjuk pada tenaga kerja yang
merupakan pemegang capital (capital holder) sebagaimana tercermin
di dalam keterampilan, pengetahuan, dan produktivitas kerja sese-
orang. Adapun Elinor Ostrom (2000: 175) melihat kapital manusia
sebagai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh seseorang
yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan. Sementara Robert
M. Z. Lawang merumuskan kapital manusia sebagai kemampuan
yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan/atau pe-
ngalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang perlu
untuk melakukan kegiatan tertentu (2004: 10).
Dari ketiga rumusan kapital manusia tersebut di atas tidak
tampak perbedaan yang mencolok di antara antara satu sama lain-
nya. Ketiga rumusan tersebut, seperti yang dikatakan oleh James
S. Coleman (2008: 373), menunjukkan bahwa sebagaimana kapital
isik yang diciptakan dengan mengubah materi untuk membentuk
alat yang memudahkan produksi, kapital manusia diciptakan dengan
mengubah manusia dengan memberikan mereka keterampilan dan
kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara
baru. Kapital isik berwujud, ia diwujudkan dalam bentuk materi
yang jelas. Adapun kapital manusia tidak berwujud, ia diwujudkan
dalam keterampilan dan pengetahuan yang dipelajari oleh individu.
Kapital isik memudahkan aktivitas produktif, demikian juga dengan
kapital manusia.

2. PERKEMBANGAN TEORI KAPITAL MANUSIA


http://facebook.com/indonesiapustaka

Akar perkembangan teori kapital manusia dapat ditelusuri


dalam pemikiran peletak dasar ilmu ekonomi modern, yaitu Adam
Smith (Suryadi, 1999; Lin, 2001). Menurut Adam Smith, seperti yang
dikatakan oleh Suryadi (1999: 44), kapital manusia terdiri atas ke-

180
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

mampuan dan kecakapan yang diperoleh semua anggota masyarakat.


Perolehan kemampuan, yang dapat dilakukan melalui pendidikan,
belajar sendiri, atau belajar sambil bekerja memerlukan biaya yang
harus dikeluarkan oleh yang bersangkutan. Biaya auatu pengorban-
an tersebut dikeluarkan untuk memudah mencari pekerjaan, pro-
mosi pekerjaan, serta memperoleh pendapatan yang layak. Menu-
rut Smith, lanjut Suryadi (1999: 45), kemampuan dan keterampilan
menggunakan mesin-mesin sama penting dan sama mahalnya den-
gan mesin-mesin itu sendiri. Kemampuan dan keterampilan terse-
but, oleh sebab itu, dapat dipandang sebagai kapital.
Berdasarkan penelusuran Suryadi (1999: 45), Heinrich von
hunen dipandang sebagai seorang penggagas awal studi kapital ma-
nusia. Hal itu dikarenakan ia dilihat sebagai penerima konsep kapital
manusia dengan sepenuhnya. Heinrich von hunen mengakui bahwa
tingkat pelayanan dari manusia merupakan bagian terpenting dari
aset nasional. Suatu tingkat pelayanan manusia tidak terlepas dari
kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang diperoleh me-
lalui pendidikan. Von hunen berargumentasi bahwa pendidikan
tinggi akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan yang tinggi
pula. Pada gilirannya itu akan manciptakan penghasilan tinggi pula.
Seperti telah disebut di atas, heodore W. Schultz memberikan
batasan yang tegas apa yang disebut dengan kapital manusia. Gagas-
an Schultz tentang kapital manusia tersebut telah memberikan mo-
tivasi bagi para ekonom untuk mengembangkan studi lebih lanjut
tentang kapital manusia. Gary S. Becker (1964), misalnya, melihat
kapital manusia sebagai nilai yang ditambahkan kepada seorang pe-
kerja ketika pekerja mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan
aset lain yang berguna bagi pemberi kerja atau perusahaan serta bagi
proses produksi dan pertukaran. Nilai yang ditambahkan tersebut
http://facebook.com/indonesiapustaka

melekat dalam diri pekerja itu sendiri. Jadi, investasi kapital manusia
lewat peningkatan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman pe-
kerja tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan tetapi juga baik
bagi pekerja itu sendiri.
Dalam sosiologi, seperti dikatakan di atas, beberapa sosi-

181
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

olog disebut telah membawa kapital manusia ke dalam bidang ka-


jian sosiologi, yaitu Parsons, Colemann, Blau dan Duncan. Melalui
he American Occupational Structure, Peter M. Blau dan Otis Dudley
Duncan menyajikan suatu analisa sistematis tentang struktur pe-
kerjaan, karena itu merupakan dasar utama bagi sistem stratiikasi
masyarakat Amerika. Proses-proses mobilitas sosial satu generasi ke
generasi berikutnya dan dari karir awal ke jabatan yang dituju, diang-
gap mencerminkan dinamika struktur pekerjaan (1967: 1). Dalam
penelitian ini, Blau dan Duncan menganalisa lima variabel, yaitu
tingkat pendidikan responden, pekerjaan pertama responden, status
pekerjaan responden pada tahun 1962, status pekerjaan ayah, dan
pekerjaan ayah. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pen-
didikan ayah dan pekerjaan ayah “menyebabkan” tingkat pendidikan,
pekerjaan, dan pekerjaan pertama maupun pekerjaan responden
pada tahun 1962.
Teori kapital manusia, seperti teori yang lainnya, menuai beber-
apa kritik. Ace Suryadi (1999) menemukan beberapa kritik yang ditu-
jukan pada teori kapital manusia dan dikelompokka ke dalam empat
kelompok besar, yaitu:
Satu, Pengaruh Tidak Langsung. Suryadi (1999: 65-66) men-
dapatkan penelitian Herbert Gintis yang menemukan bahwa pendi-
dikan atau latihan memang penting bagi tenaga kerja, tetapi tidak se-
cara langsung dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan.
Pendidikan memang memberikan pengaruh terhadap produktivitas,
tetapi tidak langsung.
Dua, Efek Kredesianlisme. Mengutip Ivan Berg, Suryadi selan-
jutnya menemukan bahwa perluasan pendidikan hanya memberikan
pengaruh yang sangat kecil terhadap produktivitas tenaga kerja. Per-
luasan kesempatan pendidikan justru menyebabkan pasokan berlebih
http://facebook.com/indonesiapustaka

tenaga kerja terdidik dengan rentangan kualiikasi tenaga kerja yang


semakin besar karena sertiikasi pendidikan telah dilegitimasikan se-
bagai syarat penting untuk mendapat pekerjaan. Ketika kemampuan
dan keterampilan menjadi syarat dalam mengangkat tenaga kerja,
maka sertiikat dan ijazah bukan merupakan hal utama dalam pen-

182
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

gangkatan pegawai atau tenaga kerja (1999: 66-67).


Tiga, Asumsi “Screening Device”. Merujuk Keneth Arrow, Surya-
di (1999: 67) menyebutkan bahwa pendidikan dipandang sebagai
screening device, karena pendidikan tidak secara langsung meningkat-
kan produktivitas dan keterampilan lulusan sebagai calon pegawai.
Pendidikan dilihat sebagai pembenaran terhadap seleksi dan penen-
tuan gagi pegawai.
Empat, Regularitas. Menurut Suryadi (1996: 67-68) keteraturan
atau regularitas dalam penemuan-penemuan penelitian tentang kap-
ital manusia tidak dapat digeneralisasi, karena sangat bergantung
pada karakterestik dari segmen masyarakatnya. Oleh karena itu,
teori kapital manusia mungkin berlaku pada dua segmen masyarakat
yang berkarakteristik ekstrem satu sama lainya, yaitu pada kelompok
masyarakat pendidikan sangat tinggi dan kelompok masyarakat san-
gat rendah.

3. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Manusia?


Dari pengertian konsep dan teori kapital manusia yang berkem-
bang terlihat bahwa pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan
stribut serupa lainnya yang diperoleh seseorang yang diperlukan un-
tuk melakukan suatu kegiatan dalam kehidupannya dapat diperoleh
melalui berbagai pendidikan, yaitu pendidikan formal seperti di seko-
lah, pendidikan nonformal seperti pelatihan di tempat kursus, mau-
pun pendidikan informal seperti belajar life-skill di surau. Kesemua
pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan stribut serupa lainnya
tersebut dipandang sebagai kapital manusia.
Pengakuan kepemilikan kapital manusia berupa pengetahuan,
keterampilan kemampuan, dan stribut serupa lainnya, oleh karena
itu diwujudkan dalam cara yang berbeda. Pengakuan terhadap kapi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tal manusia yang diperoleh melalui pendidikan formal diwujudkan


dalam bentuk ijazah pendidikan. Dengan kata lain, ketika seseorang
melamar suatu pekerjaan tertentu, maka ijazah pendidikan formal
yang dimiliki diterima sebagai salah satu persyaratan atau kualiikasi
untuk pekerjaan tersebut. Bisa saja pengakuan yang diberikan ter-

183
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

hadap suatu ijazah dikaitkan dengan apakah lembaga di mana ijazah


tersebut dikeluarkan terakreditasi sesuai dengan lembaga akreditasi
yang berhak untuk melaksanakannya.
Adapun pengakuan terhadap kapital manusia yang didapatkan
lewat pendidikan nonformal ditunjukkan oleh penerimaan terhadap
sertiikat yang dimiliki. Sertiikat yang dimiliki dapat saja dipertan-
yakan oleh pemberi kerja, namun keraguan terhadap suatu sertii-
kat dapat sirna ketika pengetahuan keterampilan, kemampuan, atau
stribut serupa lainnya dipertontonkan atau diperlihatkan kepada
pemberi kerja.
Sementara pengakuan terhadap kapital manusia yang didapat-
kan lewat pendidikan informal biasanya tidak melalui ijazah atau
sertiikat yang dimiliki, tetapi cenderung bersifat informal. De-
ngan kata lain, masyarakat mengakui seseorng memiliki suatu pe-
ngetahuan, keterampilan, kemampuan, atau stribut serupa lainnya
yang diperlukan oleh masyarakat seperti kemampuan memijat atau
melakukan pengobatan alternatif misalnya ketika mereka langsung
merasakannya.

C. PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL SOSIAL


Konsep kapital sosial (social capital) telah menjadi perhatian
oleh banyak ilmuan ilmu ekonomi, ilmu politik dan sosiologi (Arrow,
1999). Dengan demikian, konsep tersebut telah dibahas di kalangan
luas lintas disiplin ilmu. Oleh karena itu, konsep kapital sosial akan
dipahami melalui pandangan beberapa ilmuan yang dikenal menaruh
perhatian tentang hal ini. Selain itu juga diperbincangkan beberapa
kontroversi yang berkaitan dengan konsep kapital sosial.
http://facebook.com/indonesiapustaka

1. Pengertian Kapital Sosial


Seperti disinggung di atas terdapat beberapa pemikiran yang
berkembang tentang deinisi kapital sosial. Berikut beberapa penger-
tian yang dikemukakan beberapa ahli tentang kapital sosial.

184
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

Piere Bourdieu (1986) mendeinisikan kapital sosial sebagai


„sumberdaya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang be-
rasal dari jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung terus-
menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (den-
gan kata lain, keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan
kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif“.
James Coleman (2008: 268), merumuskan pengertian kapital so-
sial sebagai “seperangkat sumber daya yang inheren dalam hubungan
keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna
bagi pengembangan kognitif dan sosial seorang anak”. Coleman me-
nambahkan bahwa kapital sosial merupakan “aspek dari struktur so-
sial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial”.
Sementara Alejandro Portes (1995:12-13), juga seorang sosiolog,
membatasi kapital sosial sebagai “kemampuan individu-individu
untuk mengatur sumber-sumber langka berdasarkan keanggotaan
mereka dalam jaringan atau struktur sosial yang lebih luas”. Sumber-
sumber langka tersebut dapat bersifat nyata secara ekonomi seperti
potongan harga dan utang bebas bunga, atau tidak nyata seperti in-
formasi tentang kondisi bisnis.
Adapun seorang ilmuan politik Robert Putnam (1999) memberi
deinisi kapital sosial sebagai “jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan ke-
percayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan, yang
memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk manfaat bersama“.
Lain lagi deinisi seorang sosiolog lain bernama Jonathan H.
Turner (Dasgupta dan Serageldin, 1999: 95) berpendapat bahwa ka-
pital sosial menunjuk pada kekuatan-kekuatan yang meningkatkan
potensi untuk perkembangan ekonomi dalam suatu masyarakat de-
ngan menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial dan pola
http://facebook.com/indonesiapustaka

organisasi sosial.
Seorang sosiolog Indonesia yang serius membahas konsep kapi-
tal sosial, Robert M.Z. Lawang, (2004) mendeinisikan kapital sosial
sebagai semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh
individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang

185
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/


atau kelompok secara eisien dan efektif dengan kapital lainnya.
Adapun Nan Lin (2001: 17) membatasi pengertian kapital sosial
sebagai suatu investasi dalam hubungan sosial oleh individu-individu
melalui mana mereka memperoleh akses terhadap sumber-sumber
terlekat (embedded resources) untuk meningkatkan hasil yang diha-
rapkan dari tindakan-tindakan yang ekspresif atau instrumental.
Dari berbagai deinisi di atas dapat disimpulkan bahwa kapital
sosial merupakan investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial
seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan meng-
gerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan in-
dividual dan/atau kelompok secara eisien dan efektif dengan kapital
lainnya.

2. Kontroversi Pemahaman Kapital Sosial


Kapital sosial, menurut Coleman (1990), memiliki berbagai ben-
tuk, yaitu antara lain: kewajiban dan harapan, potensi informasi,
norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, dan organisasi so-
sial yang dapat digunakan secara tepat. Adapun Pratikno, dkk (2001)
menemukan, berdasarkan studi literatur, tiga level bentuk kapital so-
sial, yaitu nilai, institusi dan mekanisme. Nilai terdiri dari simpati,
rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas dan pengakuan timbal
balik. Sementara itu, institusi mencakup keterlibatan umum sebagai
warganegara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Adapun, me-
kanisme meliputi kerjasama dan sinergi antar kelompok.
Apa yang dikatakan bentuk kapital sosial oleh Coleman dan
Pratikno, dkk, dilihat Portes sebagai sumber kapital sosial. Sumber
itu sendiri, tegas Portes (1995), bukan kapital sosial. Konsep kapi-
tal sosial merujuk pada kemampuan individu untuk memobilisasi
http://facebook.com/indonesiapustaka

sumber-sumber langka terhadap permintaan. Sumber langka terse-


but memiliki karakteristik sebagai ”hadiah”, sebab sumber tersebut
tidak diharapkan untuk dibayar dalam sejumlah uang atau nilai lain-
nya pada periode masa tersebut. Sumber yang diperoleh lewat kapital
sosial tersebut sering mengandung harapan resiprositas pada bentuk

186
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

yang sama di masa datang. Portes mengajukan 4 sumber kapital so-


sial yaitu nilai, solidaritas, resiprositas, dan kepercayaan. Mendidik
anak sampai ”berhasil” sesuai dengan kemampuan, misalnya, meru-
pakan suatu nilai yang hampir ditemukan pada semua suku bangsa
di dunia. Mendidik anak itu sendiri bukan merupakan kapital sos-
ial, tetapi sumber dari kapital yang berlandaskan nilai yang diterima
umum dalam masyarakat. Adapun kapital sosial adalah kemampuan
seseorang untuk mendidik anak sehingga ”berhasil”. Keberhasilan
tersebut pada akhirnya membuat orang tersebut pada masa datang
menerima ”sesuatu” dari anak, perlakuan sosial yang baik di masa tua
misalnya. Ringkasnya dapat dilihat pada Tabel 7.1.
Dari dua pendapat yang berbeda tersebut di atas, di mana posisi
tulisan ini, apakah kerjasama, kepercayaan, nilai dan norma sebagai
bentuk atau sumber kapital sosial? Untuk menjawabnya, kembali ke-
pada batasan deinisi kapital sosial yang dirumuskan penulis di atas,
yaitu “investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti jar-
ingan, kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan menggerakkan,
dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual
dan/atau kelompok secara eisien dan efektif dengan kapital lainnya”.
Dari rumusan penulis tersebut, secara sederhana, dipahami bahwa
kapital sosial adalah investasi sosial dalam struktur hubungan sosial
untuk meraih tujuan yang diharapkan. Rumusan ini mirip dari rumu-
san sederhana Nan Lin (2001: 6) yang mendeinisikan kapital sosial
sebagai “investasi dalam hubungan sosial dengan hasil yang diharap-
kan”.

Tabel 7.1. Kapital Sosial dan Tipe-Tipenya Menurut Portes

Motivasi
Sumber Alasan Contoh
Donor
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nilai Altruistik Moral umum yang Pemberian orangtua


imperatif pada anak
Solidaritas Altruistik Identiikasi dengan Pemberian pada orang
kebutuhan & tujuan sekampung
kelompok dalam

187
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Lanjutan ...
Resiprositas Instrumental Harapan kembalian Informasi bisnis
yang sepadan di masa
datang
Kepercayaan Instrumental Harapan status Jaminan utang pada
komunitas yang lebih orang sekampung atau
tinggi dan kembalian sedaerah
yang sepadan di masa
datang yang tunduk
pada sanksi kolektif

Sumber: A. Portes (1995:15)

Adapun yang dimaksudkan dengan investasi sosial di sini adalah


sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma
serta kekuatan menggerakkan. Kapital sebagai investasi sosial, oleh
karena itu, memiliki aspek statis dan dinamis. Dengan kata lain, as-
pek statis dan dinamis dari kapital sosial bagaikan dua sisi yang ber-
beda dari koin mata uang yang sama. Adapun aspek statis dari kapi-
tal sosial adalah sumber daya sosial, sedangkan aspek dinamisnya
adalah kekuatan menggerakkan. Sumber daya sosial sebagai aspek
statis dari kapital sosial dipahami dalam arti bahwa sumber daya so-
sial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma merupakan kapi-
tal yang diperlukan dalam suatu struktur hubungan sosial. Investasi
dapat terjadi jika aktor memiliki sumber tersebut.
Apa sumber daya dari kapital sosial? Seperti telah dikemukakan
berulang di atas bahwa sumber daya dari kapital sosial meliputi jar-
ingan, kepercayaan, nilai dan norma. Mari diurai secara lebih terinci.
Apa itu jaringan? Berdasarkan penulusuran Damsar (2009: 157-158)
terdapat penjelasan rumusan jaringan yang menarik dari Robert M.
Z. Lawang (2004: 50-54). Jaringan merupakan terjemahan dari net-
work, yang berasal dari dua suku kata yaitu net dan work. Net diter-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jemahkan dalam bahasa sebagai jaring, yaitu tenunan seperti jala,


terdiri dari banyak ikatan antar simpul yang saling terhubung antara
satu sama lain. Adapun kata work bermakna sebagai kerja. Gabun-
gan kata net dan work, sehingga menjadi network, yang penekanan-
nya terletak pada kerja bukan pada jaring, dimengerti sebagai kerja

188
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

(bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti halnya jaring


(net). Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka jaringan (network),
menurut Lawang (2004: 50-51), dimengerti sebagai:
i. Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubung-
kan dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat
dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma
yang mengikat kedua belah pihak.
ii. Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui me-
dia hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersa-
ma-sama.
iii. Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang ter-
jalin antar simpul itu pasti kuat menahan beban bersama, dan
malah dapat “menangkap ikan” lebih banyak.
iv. Dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat
berdiri sendiri. Malah kalau satu simpul saja putus, maka kese-
luruhan jaring itu tidak dapat berfungsi lagi, sampai simpul itu
diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang
kuat. Dalam hal ini, analogi tidak seluruhnya tepat terutama ka-
lau orang yang membentuk jaring itu hanya dua saja.
v. Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan,
atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisah-
kan.
vi. Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan
menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan di-
pertahankan.

Adapun sosial, seperti telah dikemukakan pada bahagian sebel-


umnya, dimengerti sebagai sesuatu yang dikaitkan atau dihubungkan
dengan orang lain atau menunjuk pada makna subyektif yang mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pertimbangkan perilaku atau tindakan orang lain yang berkaitan


dengan pemaknaan tersebut.
Dengan demikian jaringan sosial merupakan hubungan antar in-
dividu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau dikait-
kan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan. Simpul dilihat mela-

189
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

lui aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan


hubungan antar para aktor tersebut. Dalam kenyataan, dimungkinan
terdapat banyak jenis ikatan antar simpul. Jaringan dikatakan seba-
gai sumber daya dari kapital sosial karena dengan kepemilikan ”hu-
bungan antar individu yang memiliki makna subyektif yang berhu-
bungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan”
maka para aktor memiliki sesuatu kapital yang mampu diinvestasi-
kan dalam suatu struktur hubungan sosial.
Apa pula yang dimaksud dengan kepercayaan? Merujuk pada
hasil napak-tilas konsep kepercayaan yang dilakukan oleh Damsar
(1999: 185-186), dikatakan bahwa dalam terminologi sosiologi, kon-
sep kepercayaan dikenal dengan trust. Deinisi kepercayaan (trust)
dalam Oxford English Dictionary dijelaskan sebagai conidence in
yang berarti yakin pada dan reliance on yang bermakna parcaya atas
beberapa kualitas atau atribut sesuatu atau seseorang, atau kebena-
ran suatu pernyataan.
Bagaimana para teoritisi memberi batasan pada konsep keper-
cayaan? Torsvik (2000: 458), menyebutkan kepercayaan merupakan
“kecenderungan perilaku tertentu yang dapat mengurangi risiko yang
muncul dari perilakunya”. Konsep kepercayaan yang dikaitkan den-
gan risiko, juga dikemukakan oleh Luhmann (1979; 1988), suatu isti-
lah yang hanya muncul pada zaman modern. Pengertian kepercayaan
yang dikaitkan dengan risiko dikritik oleh beberapa teoritisi, salah
satu di antaranya adalah Giddens (2005). Menurut Giddens (2005:
44) kepercayaan pada dasarnya terikat, bukan kepada risiko, namun
kepada berbagai kemungkinan. Kepercayaan selalu mengandung ko-
notasi keyakinan di tengah-tengah berbagai akibat yang serba mung-
kin, apakah dia berhubungan dengan tindakan individu atau dengan
beroperasinya sistem. Dalam kasus kepercayaan terhadap agen ma-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nusia, dugaan akan keyakinan melibatkan “kebaikan” (penghargaan)


atau cinta kasih. Itulah mengapa kepercayaan kepada seseorang se-
cara psikologis mengandung konsekuensi bagi individu yang per-
caya: sandera moral terhadap keberuntungan diserahkan. Jadi, apa
batasan kepercayaan menurut Giddens? Kepercayaan, menurut Gid-

190
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

dens (2005: 45), dideinisikan sebagai keyakinan akan reliabilitas se-


seorang atau sistem, terkait dengan berbagai hasil atau peristiwa, di
mana keyakinan itu mengekspresikan suatu iman (faith) terhadap in-
tegritas atau cinta kasih orang lain, atau terhadap ketepatan prinsip
abstrak (pengetahuan teknis).
Deinisi kepercayaan yang tidak dikaitkan dengan risiko, juga
dikemukakan oleh Zucker (1986). Zucker memberi batasan keper-
cayaan sebagai “seperangkat harapan yang dimiliki bersama-sama
oleh semua yang berada dalam pertukaran”. Deinisi Zucker tersebut
dekat dengan batasan yang diberikan oleh Lawang. Menurut Lawa-
ng (2004: 36) kepercayaan merupakan “hubungan antara dua belah
pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan
salah satu pihak atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial”. Se-
lanjutnya Lawang (2004) menyimpulkan inti konsep kepercayaan se-
bagai berikut: (1) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih. Ter-
masuk dalam hubungan ini adalah institusi, yang dalam pengertian
ini diwakili orang. (ii) Harapan yang akan terkandung dalam hubun-
gan itu, yang kalau direalisasi tidak akan merugikan salah satu atau
kedua belah pihak. (iii) Interaksi yang memungkinkan hubungan dan
harapan itu berwujud.
Dari semua deinisi di atas, dalam tulisan ini, lebih cocok meng-
gunakan batasan yang diberikan oleh Giddens. Selain mencakup
berbagai fenomena dan peristiwa kepercayaan, juga memiliki irisan
dengan beberapa pendapat teoritisi lain seperti Zucker dan Lawang,
misalnya.
Adapun, nilai dipahami sebagai gagasan mengenai apakah suatu
pengalaman berarti, berharga, bernilai dan pantas atau tidak berarti,
tidak berharga, tidak bernilai dan tidak pantas. Gagasan seperti ini
dikenal sebagai nilai. Oleh karena itu pula, nilai berkait dengan ide
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dimiliki secara bersama tentang sesuatu itu baik atau buruk, di-
harapkan atau tidak diharapkan (William, 1970: 27). Misalnya, tidak
ada persoalan apakah musik dangdut itu benar atau salah secara mor-
al. Namun bagi orang tertentu mendengar alunan seruling dangdut
dengan tembang “Begadang” merupakan pengalaman yang berharga,

191
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

sedangkan bagi orang lain dapat saja sesuatu yang memuakkan dan
dipandang cengeng.
Nilai-nilai yang dapat menjadi sumber kapital sosial banyak. Na-
mun dari sekian banyak sumber kapital sosial, yang relevan dengan
studi sosiologi pendidikan adalah kepercayaan, resiprositas, dan rasa
tanggungjawab. Kita telah bicarakan kepercayaan di atas. Sekarang
kita akan diskusikan 2 nilai sisanya, yaitu resiprositas dan rasa tang-
gungjawab. Resiprositas, seperti yang distudi oleh Damsar (1999: ),
menunjuk pada gerakan di antara kelompok-kelompok simetris yang
saling berhubungan. Ini terjadi apabila hubungan timbal balik antara
individu-individu atau antara kelompok-kelompok sering dilakukan.
Hubungan bersifat simetris terjadi apabila hubungan antara berbagai
pihak (antara individu dan individu, individu dan kelompok, serta
kelompok dan kelompok) memiliki posisi dan peranan yang relatif
sama dalam suatu proses pertukaran. Misalnya dalam masyarakat
Minangkabau terdapat tuntutan adat tentang resiprositas yaitu ”kaba
baik bahimbauan, kaba buruak bahambauan” (kabar baik dihimbaukan,
kabar jelek berhamburan) yang bermakna bahwa jika ada berita yang
menggembirakan (baik) seperti memanen padi maka petani pemilik
sawah harus memberitahu kepada kerabat-kerabatnya tentang waktu
dan tempat memanen padi sebelumnya, jika ia ingin dibantu dalam
memanen padi. Sebaliknya, kerabat-kerabatnya juga melakukan hal
yang sama kepadanya apabila mereka akan memanen padi di sawah.
Adapun berita buruk, misalnya tentang kematian, maka para kerabat
dan kenalan datang tanpa diminta.
Pada aktiitas tersebut, berbagai pihak yang terlibat resiprositas
memiliki posisi sosial yang sama, meskipun di antara mereka memi-
liki derajat harta kekayaan dan fungsionaris adat yang berbeda-beda.
Posisi dan peranan sebagai pengundang, tuan rumah, atau pemberi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan yang diundang, tamu, atau penerima dalam kegiatan resiprosi-


tas terjadi secara bergiliran silih berganti. Dengan kata lain siapa saja
individu atau kelompok yang memiliki aktiitas atau hajat resiprosi-
tas dapat mengambil peranan dan posisi sebagai pengundang, tuan
rumah atau pemberi pada suatu waktu, dan pada waktu lain dia atau

192
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

mereka diposisikan atau diberi peran sebagai yang diundang, tamu


atau penerima. Hubungan seperti ini terjadi apabila hubungan ber-
bagai pihak (antara individu dan individu, individu dan kelompok,
serta kelompok dan kelompok) bersifat intim dan akrab. Hal ini di-
tunjukkan oleh hubungan personal antara individu yang ada, bukan
dalam hubungan yang impersonal. Dengan kata lain, mereka, yang
terlibat dalam aktiitas resiprositas, saling kenal antara satu sama
lain. Dalam hubungan seperti ini, resiprositas merupakan kewajiban
membayar atau membalas kembali kepada orang atau kelompok lain
atas apa yang mereka berikan atau lakukan untuk kita, atau dalam
tindakan nyata membayar atau membalas kembali kepada orang atau
kelompok lain.
Dari berbagai kepustakaan yang ada tentang resiprositas dapat
disimpulkan terdapat dua jenis resiprositas, yaitu resiprositas se-
banding (balanced reciprocity) dan resiprositas umum (generalized
reciprocity). Resiprositas sebanding merupakan kewajiban membayar
atau membalas kembali kepada orang atau kelompok lain atas apa
yang mereka berikan atau lakukan untuk kita secara setara, seringka-
li, langsung, dan terjadwal. Resiprositas sebanding menekankan pada
apa yang diterima dari seseorang atau kelompok pada masa lampau
haruslah setara dengan apa yang akan diberikan kepada orang atau
kelompok pemberi. Sifat langsung ditunjukkan oleh siapa memberi-
kan apa kepada siapa dan akan menerima apa dari siapa. Adapun si-
fat terjadwal menunjuk pada kepastian seseorang kapan akan mem-
peroleh pembayaran atau pembalasan atas pemberian atau kegiatan
yang dilakukan sebelumnya. Mari kita ambil contoh, dalam masyara-
kat Minangkabau, terutama dari daerah Pariaman, dikenal tradisi ba-
doncek. Tradisi ini merupakan suatu bentuk resiprositas sebanding
di mana orang akan menyumbangkan sejumlah uang tertentu un-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tuk suatu acara, misalnya acara perkawinan atau acara mendirikan


rumah. Setiap orang pada kegiatan badoncek dalam acara perkawinan,
misalnya, akan diminta untuk menyebutkan sejumlah uang yang
akan diberikan kepada tuan rumah. Tuan rumah akan menulis jum-
lah uang tersebut beserta nama dari pemberinya. Penulisan itu pent-

193
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

ing dilakukan sebab pada kesempatan lain di mana jika si pemberi


mengundang pada suatu acara dan ada kegiatan badoncek-nya maka
dia harus membayar kembali sejumlah uang yang sama dengan yang
diterimanya sebelumnya. Jadi pada tradisi ini terlihat kepastian akan
jumlah uang dan jadwal. Resiprositas sebanding masih banyak dite-
mui dalam masyarakat Indonesia. Tradisi sambatan dalam masyara-
kat Jawa, tradisi julo-julo dalam masyarakat Minangkabau, atau tra-
disi arisan dalam berbagai masyarakat di Nusantara merupakan con-
toh dari resiprositas berbanding. Pada masyarakat perkotaan dapat
juga ditemukan resiprositas sebanding. Pemberian kado atau hadiah
pada saat ulang tahun, misalnya, dapat dilihat sebagai resiprositas se-
banding jika para pelakunya saling menghadiahkan dan mencatatnya
pada saat aktiitas itu berlangsung. Jadi resiprositas sebanding dapat
diidentiikasikan dengan kenyataan bahwa individu dengan sengaja
dan terbuka mengkalkulasi apa yang mereka berikan kepada orang
lain dan secara terbuka dinyatakan sifat pengembalian yang akan di-
peroleh. Setiap pihak yang berinteraksi mengharapkan keuntungan,
tetapi ada harapan yang jelas akan adanya keuntungan timbal-balik,
dan jarang ada “eksploitasi” (Sanderson, 2003: 117-118).
Adapun resiprositas umum merupakan kewajiban memberi atau
membantu orang atau kelompok lain tanpa mengharapkan pengem-
balian, pembayaran atau balasan yang setara dan langsung. Berbeda
dengan resiprositas berbanding, resiprositas umum tidak menggu-
nakan kesepakatan terbuka atau langsung antara pihak-pihak terli-
bat. Ada harapan bersifat umum (general) bahwa pengembalian setara
atau hutang ini akan tiba pada saatnya, tetapi tidak ada batas waktu
tertentu pengembalian, juga tidak ada spesiikasi mengenai bagaima-
na pengembalian itu dilakukan. Istilah pengembalian dalam resipros-
itas umum sangat samar (Sanderson, 2003: 118). Dalam masyarakat
http://facebook.com/indonesiapustaka

etnik di Indonesia terdapat berbagai kearifan lokal yang mengandung


nilai dan norma yang menyuruh orang untuk berbuat baik kepada
semua orang tanpa menegaskan bentuk dan waktu pengembalian-
nya, misalnya: “berbuat baik pada-padai berbuat buruk jangan seka-
li”, “manusia mati meninggalkan nama, harimau mati meninggalkan

194
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

belang”, “nan kurik kundi nan merah saga, nan baik budi nan indah
basa”, “hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati”.
Adapun nilai tanggungjawab merupakan salah satu nilai yang
diagungkan dalam banyak masyarakat dunia. Dalam dunia Melayu
dikenal pepatah, „tangan mencencang, bahu memikul“. Pepatah ini
bermakna bahwa siapa yang melakukan suatu perbuatan atau ak-
tiitas, dia yang harus mempertanggungjawabkannya. Masyarakat
Minangkabau memahami nilai tanggungjawab lewat pepatah adat,
“bakato sapatah dipikiri, bajalan salangkah maliek suruit, muluit tado-
rong ameh timbangannyo, kaki tataruang inai padahannyo” (berkata
sepatah dipikiri, berjalan selangkah lihatlah ke belakang, mulut ter-
dorong dibayar dengan emas, kaki terdorong diberi inai”. Dalam akti-
itas bisnis, semua keputusan memiliki risiko. Ketika suatu keputusan
dibuat, berarti seseorang telah siap dengan segala konsekuensi yang
akan mengikutinya, baik positif maupun negatif. Nilai tanggungjaw-
ab, dalam aktiitas bisnis, berkaitan dengan nilai kepercayaan. Per-
tanggungjawaban seseorang terhadap segala konsekuensi dari suatu
tindakan bisnis yang dilakukannya dapat mempertahankan bahkan
meningkatkan kepercayaan orang lain terhadap dirinya.
Norma, sebagai sumber daya sosial terakhir, dipahami sebagai
aturan main bersama yang menuntun perilaku seseorang. Norma
memberikan kita suatu cara di mana kita mengorientasikan diri kita
terhadap orang lain. Norma menuntun kita dalam melakukan dei-
nisi situasi. Norma, oleh karena itu, menjadi kompas dalam menemu-
kan jalan-jalan di belantara kehidupan sosial. Sullivan dan homp-
son (1984: 39-41) membagi norma atas tiga macam: kebiasaan (folk-
sways), tata kalakuan (mores), dan hukum (law). Kebiasaan adalah
cara-cara yang lazim, wajar, dan berulang dilakukan oleh sekelompok
orang terhadap sesuatu. Dalam berjabat tangan, misalnya, kebiasaan
http://facebook.com/indonesiapustaka

di Jepang diiringi dengan membungkukkan badan, sedangkan di In-


donesia dengan badan tegak. Horton dan Hunt membagi kebiasaan
atas dua golongan: (1) hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan
santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus diikuti karena ya-
kin kebiasaan itu penting untuk mensejahterakan masyarakat (1984:

195
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

66). Selanjutnya Horton dan Hunt menegaskan bahwa apabila ke-


biasaan tersebut dikaitkan dengan gagasan tentang salah dan benar
maka ia dipandang sebagai tata kelakuan. Dengan demikian tata
kelakuan merupakan gagasan yang kuat mengenai salah dan benar
yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain. Ini berarti
adat istiadat/tata kelakuan berkaitan erat dengan moral. Berbagai
tabu dan pantangan yang terdapat dalam masyarakat adalah bentuk
dari tata kelakuan. Apabila tata kelakuan diformalkan dan dikodei-
kasikan dengan penerapan sanksi dan hukuman oleh otoritas pemer-
intah maka ia dipandang sebagai hukum.
Dalam konteks pembahasan kapital sosial, norma tidak dapat
dilepaskan dengan jaringan, kepercayaan dan nilai. Dengan menggu-
nakan pendekatan pertukaran, karena manusia adalah makhluk yang
rasional, yaitu mempertimbangkan untung dan rugi baik dalam di-
mensi intrinsik maupun ekstrinsik, jika suatu pertukaran mendapat-
kan suatu keuntungan, maka akan muncul pertukaran selanjutnya,
yang diharapkan mendapatkan keuntungan pula. Jika beberapa kali
pertukaran yang berlangsung memperoleh keuntungan maka mun-
cullah norma sebagai aturan main bersama yang menuntun perilaku
seseorang, yaitu suatu pertukaran menguntungan para pihak yang
terlibat. Resiprositas yang dimiliki norma mengandung hak dan ke-
wajiban bagi para pihak yang terlibat dalam pertukaran. Dengan kata
lain, semua pihak harus memiliki tanggungjawab menjaga norma
yang terbentuk dalam suatu pertukaran, jika ada orang yang melang-
gar norma yang berdampak pada berkurangnya keuntungan para pi-
hak yang terlibat, diberi sanksi atau hukuman berat. Apabila pertu-
karan tersebut berlangsung terus-menerus dan lama maka ia akan
mengkristalkan suatu jaringan hubungan sosial yang di dalamnya
mengandung suatu kepercayaan bahwa para pihak yang terlibat per-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tukaran akan memperoleh keuntungan yang merata. Hal itulah yang


memunculkan norma keadilan. Jika ia dilanggar akan memperoleh
sanksi atau hukuman yang berat pula.
Adapun kekuatan menggerakkan sebagai aspek dinamis dari
kapital sosial dipahami dalam arti bahwa kapital sosial sebagai in-

196
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

vestasi dapat membesar, mengecil, tetap atau bahkan menghilang


dalam suatu struktur hubungan sosial. Pemahaman ini mirip dengan
apa yang dikatakan oleh Portes dengan kapital sosial sebagai kemam-
puan individu untuk memobilisasi sumber-sumber langka. Kemam-
puan individu untuk memobilisasi sumber-sumber langka menu-
rut Portes tersebut dapat dipahami dengan penggunaan “kekuatan
menggerakkan” oleh aktor dalam aktivitas investasi sosial pada suatu
struktur hubungan sosial. Segala sumber daya sosial (jaringan, keper-
cayaan, nilai dan norma) yang dimiliki tersebut mengandung kekua-
tan menggerakkan investasi sosial untuk menjadi lebih besar atau
lebih kecil. Kekuatan menggerakkan tersebut tampak pada saat kapi-
tal sosial tersebut digunakan dalam suatu struktur hubungan sosial.
Penampakannya terlihat dari sejauh mana investasi sosial yang telah
ditanam mampu mencapai tujuan individual dan/atau kelompok se-
cara eisien dan efektif dengan kapital lainnya.

3. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Sosial?


Mengikuti pendidikan formal dan informal, seseorang dapat
memperoleh segala sumber daya sosial seperti jaringan, kepercay-
aan, nilai dan norma. Terutama dalam pendidikan formal, ketika
seseorang menyelesaikan studi di suatu tingkatan pendidikan (SD
sampai Perguruan Tinggi), segera dia memperoleh predikat sebagai
alumni dari suatu lembaga pendidikan formal di mana dia belajar.
Sumber daya sosial sebagai alumni dari suatu lembaga pendidikan
formal, bila mampu mengolahnya menjadi suatu jaringan sosial sesa-
ma alumni maka ia akan menjadi kapital sosial. Dalam realitas ke-
hidupan sehari-hari, betapa fungsionalnya jaringan alumni sebagai
sumber daya sosial seseorang dalam menumbuh-kembangkan kapital
sosial. Perguruan tinggi ternama seperti Universitas Gadjah Mada,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Per-


tanian Bogor mampu secara efektif membuat jaringan alumni seba-
gai kapital sosial bagi para anggotanya. Perguruan tinggi tersebut
ditenggarai menguasai kementerian tertentu yang diperlihatkan dari
dominasi alumni mereka pada jabatan strategis tertentu dan jum-
lah alumni mereka yang bekerja pada kementerian tersebut. Alum-

197
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

ni UGM, misalnya, menguasai Kementerian Dalam Negeri. Adapun


alumni UI mendominasi Kementerian Keuangan.
Kapital sosial yang diolah dari sumber daya jaringan alumni akan
bertambah kuat bila orang tersebut mampu pula menciptakan suatu
derajat kepercayaan antara dia dan para alumni lainnya. Selain itu,
ketika dia masih sebagai (maha)siswa, dia juga memperoleh nilai dan
norma tertentu, biasanya nilai dan norma tentang kerja keras, jujur,
santun, dan lainnya yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Bila kesemua sumber daya sosial tersebut mampu diolah oleh sang
alumni tersebut dengan baik, maka kapital sosial yang dimiliki akan
semakin kuat.
Sumber daya sosial yang diperoleh dari lembaga pendidikan
informal tampaknya kurang banyak dibandingkan didapatkan se-
seorang dari pendidikan formal. Meskipun demikian, sumber daya
sosial yang diperoleh pada pendidikan informal dapat diolah menjadi
kapital sosial.

D. PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL BUDAYA


Dalam kajian sosiologi tentang kapital, Pierre Bourdieu dikenal
sebagai tokoh peneruka dalam studi tentang kapital budaya. Meskip-
un pandangan Bourdieu sukar untuk dijelaskan, namun ada beberapa
pandangannya dapat dirangkaikan menjadi suatu pamahaman kes-
eluruhan tentang kapital budaya.

1. Pengertian Kapital Budaya


Dalam suatu sisi, Bourdieu mendeinisikan kapital budaya, sep-
erti dikutip Mahar dkk (2005: 16), sebagai selera bernilai budaya dan
pola-pola konsumsi. Kapital budaya, oleh karena itu, lanjut Mahar
http://facebook.com/indonesiapustaka

dkk, mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan,


dan bentuk-bentuk bahasa. Di sisi lain, Bourdieu, menurut Ritzer
dan Goodman (2004: 525), menjelaskan batasan kapital budaya seb-
agai berbagai pengetahuan yang sah. Deinisi seperti itu sama dengan
pemahaman yang dimiliki oleh Jenkins (2004: 125). Berbeda dengan

198
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

pemahaman Mahar dkk, Ritzer dan Goodman serta Jenkins, Lury


(1998) melihat Bourdieu membatasi kapital budaya sebagai kapital
pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pem-
bedaan atau penaksiran nilai seperti misalnya apakah suatu karya
termasuk “seni” atau “bukan seni”. Penjelasan detil batasan Bourdieu
tentang kapital budaya ditulis oleh Lee (2006: 58), kapital budaya
dideinisikan sebagai kepemilikan kompetensi kultural tertentu, atau
seperangkat pengetahuan kultural yang menyediakan bentuk kon-
sumsi kultural yang dibedakan secara khusus dan klasiikasi rumit
dari barang-barang kultural dan simbolis.
Dari beberapa deinisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kapital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengeta-
huan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola
konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk kualiikasi
pendidikan. Berdasarkan batasan seperti ini maka reproduksi sosial,
yaitu pemeliharan pengetahuan dan pengalaman dari satu generasi
ke generasi berikutnya, “dipertahankan” melalui sistem pendidikan:
Sistem pendidikan, suatu pengkelasan terlembaga yang dirinya
sendiri, merupakan sebuah sistem klasiikasi yang terobjektii-
kasi yang mereproduksi hirarki dunia sosial dalam bentuk yang
tertransformasi. ....mentransformasi klasiikasi-klasiikasi sosial
menjadi klasiikasi-klasiikasi akademis dengan segala tampilan
netralitasnya, dan memapankan hirarki yang tidak dialami sebagai
hirarki yang semata-mata teknis—dan karenanya bersifat memi-
hak dan berat sebelah—namun sebagai hirarki mutlak, yang ter-
tanam dalam alam, sehingga nilai sosial lalu diidentiikasi dengan
nilai ‘personal’, martabat sekolah dengan martabat manusiawi.
‘Budaya’ yang dasumsikan terjamin oleh kualiikasi pendidikan itu
merupakan salah satu komponen dasar dalam kebanyakan deinisi
mengenai manusia unggul, sehingga tiadanya hal dasar tersebut
http://facebook.com/indonesiapustaka

dipersepsi sebagai rintangan hakiki, yang menghilangkan identi-


tas seseorang dan martabat manusiawi, yang menghukumnya un-
tuk bungkam dalam setiap situasi resmi, ketika ia harus ‘muncul
di publik’, mempresentasikan dirinya di hadapan yang lain dengan
tubuh, sikap dan bahasanya.

199
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Kesalahanpengenalan terhadap berbagai penentu sosial karir


pendidikan—dan karenanya terhadap trajektori sosial yang ikut di-
tentukan karir tersebut—memberikan nilai hak kepada ijazah pen-
didikan, dan menjadikan sistem pendidikan sebagai salah satu agensi
fundamental yang mempertahankan tatanan sosial (Bourdieu: 1984:
387).
Menurut Lawang (2004: 16-18), Bourdieu menjelaskan kapital
budaya dalam tiga dimensi: yaitu dimensi manusia yang wujudnya
adalah badan, dimensi objek dalam bentuk apa saja yang pernah di-
hasilkan oleh manusia, dan dimensi institusional, khususnya menun-
juk pada pendidikan. Dimensi manusia dari kapital budaya adalah
embodied state, yaitu keadaan yang membadan, atau keadaan yang
terwujud dalam badan manusia, atau yang menyatu seluruhnya de-
ngan manusia sebagai satu kesatuan. Sementara dimensi objek dari
kapital budaya, dikenal sebagai objectiied state, yaitu suatu keadaan
yang sudah dibendakan atau dijadikan objek oleh manusia. Adapun
dimensi institusional dari kapital budaya merupakan suatu keadaan
di mana benda-benda itu sudah menunjukkan entitas yang sama
sekali terpisah dan mandiri, yang diperlihatkan dengan sistem pen-
didikan. Dengan demikian, kapital budaya menunjuk pada keadaan
yang berwujud potensial, bagi seseorang yang dapat diuangkan atau
dipertukarkan dengan kapital-kapital lainnya.
Mungkin masih belum terlalu paham tentang kapital budaya dari
pandangan Bourdieu tersebut? Untuk memantapkan pemahaman,
perlu kiranya dijelaskan dengan mengaitkan konsep kapital budaya
dengan beberapa konsep lain dari Bourdieu seperti ranah (ield) dan
habitus. Ranah adalah jaringan antar posisi objektif. Posisi berbagai
agen (individu atau kolektif) dalam ranah berkait dengan jumlah
kapital yang dipunyai, terutama kapital ekonomi dan kapital budaya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kapital ekonomi berupa harta kekayaan material, sedangkan kapital


budaya berupa modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan
untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai, terutama berasal
dari pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin
elit institusi pendidikan yang diikuti maka semakin besar simpanan

200
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

kapital budaya orang tersebut. Berdasarkan perbedaan kapital terse-


but, maka seseorang dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari em-
pat kelompok sosial: (1) tinggi baik pada kapital ekonomi maupun
kapital budaya; (2) tinggi dalam kapital ekonomi, rendah dalam kapi-
tal budaya, (3) rendah dalam kapital ekonomi, tinggi dalam kapital
budaya, (4) rendah baik pada kapital ekonomi maupun kapital bu-
daya.
Adapun habitus merupakan “struktur mental atau kognitif” yang
digunakan aktor untuk mengharungi kehidupan sosial. Ia sebagai
suatu sistem disposisi, sebuah sistem yang mengatur kapasitas indi-
vidu untuk bertindak. Bourdieu menulis (1984: 170): “habitus adalah
keniscayaan yang diinternalisasikan dan dialihkan ke dalam disposisi
yang melahirkan praktik bermakna dan persepsi yang memberikan
makna; habitus adalah disposisi umum dan dapat digerakkan yang
mengandung aplikasi universal dan sistematis—di luar batas hal-hal
yang telah dipelajari secara langsung—terhadap keniscayaan yang in-
heren dalam kondisi-kondisi belajar”.
Pengertian habitus dari buku Distinction, mungkin agak sukar
dipahami. Untuk itu berikut ini ditampilkan batasan habitus dari
buku Outline of a heory of Practice (1977: 83), yaitu: “sebuah sistem
disposisi yang kekal dan berpindah-pindah, yang mengintegrasikan
pengalaman-pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempa-
tan sebagai sebuah matriks persepsi, apresiasi dan tindakan-tindakan
dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga,
berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkinkan
solusi masalah yang nyaris serupa”. Jadi, agen membuat persepsi,
menyatakan apresiasi dan melakukan tindakan dengan mempertim-
bangkan matriks yang disediakan oleh habitus.
Habitus tidak sekedar merujuk pada pengetahuan, atau kompe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tensi atau rasa gaya, tetapi juga dijelmakan secara hariah. Artinya,
hal tersebut ditanamkan dalam diri individu, dalam ukuran tubuh,
bentuk, postur, cara berjalan, cara duduk, ekspresi wajah, rasa bebas
terhadap tubuh sendiri, cara makan, minum, keluasaan ruang sosial
dan waktu yang dirasakan yang dirasakan seseorang sebagai haknya;

201
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

bahkan naik turun tekanan suara, aksen dan komplekssitas pola pi-
dato merupakan bagian dari habitus individu (Lury, 1998).
Bagi Bourdieu, selera dibentuk habitus yang berlangsung lama;
bukan dibentuk oleh opini dangkal dan retorika. Habitus memben-
tuk preferensi agen terhadap makanan, pakaian, perabotan rumah,
musik, drama, sastra, lukisan, ilm, fotograi, dan preferensi etis lain-
nya.
Jadi, habitus ada dalam pikiran aktor, sedangkan ranah ada di
luar pikiran mereka. Hubungan antara keduanya bersifat pengaruh
timbal-balik yang dialektik. Seperti yang dikatakan Bourdieu (1984:
94): “habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi dan
hanya sah dalam sebuah ranah, dalam hubungannya dengan suatu
ranah ... habitus itu sendiri adalah “ranah dari kekuatan yang ada”,
sebuah situasi dinamis di mana kekuatan hanya terjelma dalam
hubungan dengan kecenderungan tertentu. Inilah yang menyebab-
kan habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan
dalam ranah yang berbeda, dalam konigurasi yang berbeda atau
dalam sektor yang berlawanan dari ranah yang sama”.
Bagi Bourdieu, selera membantu seorang individu untuk mema-
hami posisinya di antara orang lain-orang lain. Dengan demikian,
seorang individu dapat menemukan dirinya dalam persamaan atau
perbedaan dengan orang lain dalam selera. Apakah Anda sudah pa-
ham pandangan Bourdieu tentang selera? Anda perlu contoh yang
lain, bukan! Selera Anda terhadap makanan, misalnya, mencer-
minkan siapa Anda di antara orang-orang lain. Pada saat Anda akan
membeli makanan tentu Anda merencanakannya akan membeli ses-
uatu. Dasar pertimbangan terhadap rencana membeli sesuatu terse-
but berhubungan dengan ranah dan habitus yang dimiliki. Apakah
sama keputusan Anda, Jika Anda sebagai seorang buruh dibanding-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan bila Anda adalah seorang profesional? Jelas, beda! Selera seorang
buruh berasal dari kondisi pengalaman kerja dan beban kebutuhan
hidup mereka. Seorang buruh bekerja keras secara manual dan me-
miliki kapital ekonomi yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan
dan kenyamanan hidup (kondisi ini dapat disebut sebagai ranah).

202
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

Ranah tersebut mempengaruhi hasrat mereka yang cenderung pada


pemenuhan kebutuhan yang bersifat isikal seperti jumlah makanan
yang dapat dibeli untuk dikonsumsi. Kondisi objektif ini mengkristal
menjadi pengetahuan yang di dalamnya terdapat matriks persepsi,
apresiasi, dan tindakan-tindakan. Matriks tersebut memfungsikan
habitus sebagai rujukan untuk mengekspresikan hasrat dalam selera.
Adapun seorang profesional tumbuh dan kembang dalam pendi-
dikan yang memberikan kemampuan abstraksi dan sikap mental edu-
katif (masih ingatkan, ini disebut sebagai kapital budaya). Selain itu,
sebagai seorang profesional, karena kondisi pekerjaannya dan kapital
budaya yang dimiliki, dia memiliki kapital ekonomi yang relatif baik.
Kondisi objektif ini, juga dikenal sebagai ranah, memengaruhi hasrat
mereka yang cenderung pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat
abstrak seperti kualitas dan citra dari apa yang mereka konsumsi.
Kondisi objektif ini dibatinkan melalui habitus sebagai hasrat yang
dikespresikan dalam selera.

2. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Budaya?


Kapital budaya, seperti disimpulkan di atas, merupakan kepemi-
likan kompetensi atau pengetahuan kultural yang menuntun selera
bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan
dalam bentuk kualiikasi pendidikan. Dari pengertian tentang kapital
budaya dan penjelasannya tampak jelas bahwa pendidikan memberi-
kan seseorang modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan
untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai. Nilai sopan san-
tun, malu, kerja keras, kejujuran, kepercayaan, dan lainnya dibentuk,
diperkuat, dan dipertahankan melalui, terutama, pendidikan formal.
Hal itu tampak bagaimana nilai dan norma yang disosialisasikan
oleh guru pada pendidikan dasar, terutama Taman Kanak-Kanak dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sekolah Dasar, mampu menjadi rujukan berpikir, bersikap dan ber-


perilaku peserta didik. Nilai dan norma inilah, biasanya berasal dari
kelas menengah atas, menjadi mainstream dalam kehidupan berma-
syarakat. Mari kita pahami dengan suatu contoh. Kenapa sarungan
(memakai sarung) dipandang tidak pantas, sopan dan elok untuk

203
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

dipakai ke tempat kerja? Bukankah ketika Haju Agus Salim pernah


memakai sarungan dalam suatu sidang di Perserikatan Bangsa-Bang-
sa pada saat zaman revolusi kemerdekaan dahulu? Pendidikanlah
yang membuat kita berpikir, bersikap, bertindak dan berperilaku
seperti itu.
Pendidikan membentuk kompetensi dan pengetahuan kultural
seseorang. Kompetensi dan pengetahuan kultural tersebut mem-
berikan seseorang preferensi dalam berpikir, bersikap, bertindak
dan berperilaku dalam bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi dan model-
model tentang keberhasilan dan kegagalan, cantik dan jelek, indah
dan buruk, sehat dan sakit, sopan dan asalan.

E. PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL SIMBOLIK


Seperti halnya kapital budaya, Bourdieu dipandang sebagai
peneruka dalam studi tentang kapital simbolik. Oleh sebab itu, pan-
dangan Bourdieu tentang kapital simbolik perlu memperoleh kehor-
matan untuk dibahas dalam bagian ini.

1. Pengertian Kapital Simbolik


Apa itu kapital simbolik menurut Bourdieu? Dalam pandangan
Bourdieu (1977: 183), kapital simbolik merupakan suatu bentuk ka-
pital ekonomi isikal yang telah mengalami transformasi dan, kare-
nanya, telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat sepan-
jang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk
kapital ‘material’ yang adalah, pada hakikatnya, sumber efek-efeknya
juga. Mahar dkk (2005: 16) memahami prestise, status dan otori-
tas sebagai kapital simbolik dari Bourdieu. Sementara, pemahaman
Jenkins (2004: 125) serta Ritzer dan Goodman (2004: 526), kapi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tal simbolik terwujud dalam prestise, status, otoritas, dan kehor-


matan (gengsi) sosial. Adapun, Lee memahami kapital simbolik dari
Bourdieu sebagai kuantitas metaforis status dan prestise, yang ber-
asal dari keterampilan mengatur simbol sosial. Dari berbagai pema-
haman para sosiolog tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kapital

204
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

simbolik merupakan kapital yang terwujud dalam prestise, status,


otoritas, dan kehormatan (gengsi) sosial, yang berasal dari keter-
ampilan mengatur simbol sosial.
Deinisi kapital simbolik dari Bourdieu yang dijelaskan di atas
memang agak sukar dipahami, jika tidak mengaitkannya dengan je-
nis kapital lainnya. Oleh sebab itu, Turner, misalnya, melihat kapital
simbolik sebagai ‘penggunaan simbol-simbol untuk melegitimasi pe-
milikan pelbagai tingkat dan konigurasi ketiga bentuk kapital lain-
nya (yaitu kapital ekonomi, kapital sosial, dan kapital budaya)’. Ada-
pun Lee (2006: 58) mencoba melukiskan hubungan antara kapital
simbolik dengan kapital lainnya melalui proposisi berikut: “semakin
besar kepemilikan dan investasi modal pendidikan dan kultural, se-
makin artikulatif dan khas bentuk konsumsi kultural yang dilakukan,
dan dengan demikian semakin besar pula hasil modal simbolis yang
dapat diperoleh.”
Untuk memperluas pemahaman, mari kita coba menjelaskan
kapital simbolik dengan contoh. Katakanlah seseorang yang barusan
mendapatkan undian sebanyak Rp 500 Milyar akan masuk ke dalam
golongan ekonomi atas. Namun orang tersebut belum tentu memi-
liki kapital budaya dan kapital simbolik yang tinggi. Berbeda dengan
seseorang yang berasal dari keluarga kaya, melalui sosialisasi atau re-
produksi sosial, memperoleh jenis pendidikan, gaya, rasa dan selera
tertentu tentang sesuatu. Pembedaan orang dalam pendidikan, gaya,
rasa dan selera tertentu tentang sesuatu (makanan, pakaian, perabo-
tan rumah, musik, drama, sastra, lukisan, ilm, fotograi, dan prefer-
ensi etis lainnya), pada gilirannya, memberi dampak terhadap perbe-
daan orang dalam prestise, status, otoritas, dan kehormatan (gengsi)
sosial. Dengan kata lain, keterampilan mengatur simbol sosial tidak
serta merta atau segera diperoleh seseorang ketika dia mendapatkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kapital ekonomi yang tinggi, karena keterampilan tersebut diperoleh


melalui proses yang panjang melalui pendidikan atau reproduksi so-
sial lainnya.

205
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Simbolik?


Kemampuan mengatur simbol seseorang berbeda menurut pres-
tise, status, otoritas, dan kehormatan (gengsi) sosial. Kemampuan
mengatur simbol tersebut tidak diperoleh sejak lahir tetapi didapat
melalui pendidikan formal dan nonformal serta reproduksi sosial
lainnya seperti pendidikan informal dalam keluarga. Keluarga kelas
menengah atas diuntungkan dengan reproduksi sosial dalam kelu-
arga sehingga kemampuan mengatur simbolnya lebih tajam dan kuat
dibandingkan dengan kelas bawah.
Kompetisi dalam meraih prestise, status, otoritas, dan kehor-
matan (gengsi) sosial, oleh karena itu, menguntungkan kelas mene-
ngah atas. Sebab pendidikan yang dimasuki oleh anggota kelas bawah
ternyata habitus dari kelas menengah atas. Sehingga kompetisi an-
tara anggota kelas menengah atas dan kelas bawah berjalan tidak
seimbang. Kapital simbolik, oleh sebab itu, melanggengkan stratii-
kasi sosial yang ada.
Bagaimana hubungan antara kapital manusia, kapital sosial, kapi-
tal budaya dan kapital simbolik dalam kaitannya dengan pendidikan?
Pendidikan, berdasarkan diskusi di atas, memiliki peranan penting
sebagai agen sosialisasi terhadap semua kapital yang ada (kapital
manusia, kapital sosial, kapital budaya dan kapital simbolik). Selain
sebagai agen sosialisasi, pendidikan juga berperan sebagai agen hege-
moni dalam kapital budaya dan kapital simbolik. Dengan demikian,
pendidikan menjadi simpul dari pertemuan antara kesemua kapital
yang ada. Secara ringkas melalui tabel di bawah ini.

Tabel 7.2. Hubungan Antara Kapital Manusia, Sosial, Budaya,


dan Simbolik dalam Kaitannya dengan Pendidikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jenis Kapital Atribut Peranan Pendidikan


Manusia Pengetahuan, keterampilan, kemam- Agen sosialisasi
puan, dan stribut serupa lainnya
Sosial Jaringan alumni, kepercayaan, dan Agen sosialisasi
kerjasama

206
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

Lanjutan ...
Budaya Kompetensi atau pengetahuan kul- Agen sosialisasi dan
tural hegemonik
Simbolik Kemampuan mengatur simbol Agen sosialisasi dan
hegemonik
http://facebook.com/indonesiapustaka

207
http://facebook.com/indonesiapustaka
DAFTAR PUSTAKA

Aberle, D.F. (1966) he Peyote Religion among the Nevaho. Chicago: Al-
dine.
Almond, G.A. dan S. Verba. (1984). Budaya Politik. (terj.) Jakarta:
Bina Aksara.
Almond, G.A dan G.B. Powell Jr. (1978) Comparative Politics: System,
Process and Policy.
Amal, I (ed.). (1988). Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Andrain, C. F. (1992). Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogya-
karta: Tiara Wacana.
Anwar, M.K. dan V. Salviana. (2006). Perilaku Partai Politik. Yogya-
karta: UMM press
Ariin, A. (1998). Ilmu Komunikasi. Jakarta: RajaGraindo Persada
Bachtiar, W. (2006) Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosda
Beilharz, P. (2003). Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bellamy, R. (1990). Teori Sosial Modern: Perspektif Itali. (terj.). Jakar-


ta: LP3ES.
Blau, P.M. (1964). Exchange and Power in Social Life. New York: Willey.
Blumer, H. (1969). Symbolic Interactionism: Perspective and Method.
Englewood, N.J.: Prentice Hall.
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Brinkerhof, D.B. dan L. K. White. (1989). Essentials of Sociology. New


York: West.
Brewer, A, (2000), Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Yogyakarta,
Teplok Press.
Budiardjo, M (1994). Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer
dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Budiardjo, M. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Cangara, H. (2009). Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Ja-
karta: RajaGraindo Persada.
Caporaso, J. A dan D. P. Levine. (2008), Teori-Teori Ekonomi Politik.
(terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Chandoke, N. (2001) Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogya-
karta : Wacana.
Chaney, D. (2004). Lifestyles. Yogyakarta: Jalasutra.
Cooley, C.H. (1964). Human Nature and the Social Order. New York:
Scribner’s
Coser, L. (1956). he Function of Social Conlict. New York: he Free
Press.
Craib, I. (1986). Teori Teori Sosial Modern. Jakarta: Rajawali Press.
Crick, B. (1964), In Defence of Politics. Middlesex, England: Penguin
Books .
Dahl, R. A. (1980). Analisa Politik Modern. (terj.). Jakarta : Dewaruci
press.
Dahrendorf, R (1986). Konlik dan Konlik dalam Masyarakat Industri:
Sebuah Analisa-Kritik. (terj.)Jakarta: Rajawali Press.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Damsar (2000) “Masyarakat Madani dan Peran Perguruan Tinggi: Suatu


Kajian Sosiologis” dalam Indonesia Baru Menuju Masyarakat Mada-
ni diedit oleh Syakirman M. Noor. Padang : Baitul Hikmah Press.
Danial, A. (2009). Iklan Politik TV: Moderniasi Kampanye Politik Pasca
Orde Baru. Yogyakarta: LkiS.

210
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

Davis, K dan W. Moore. (1945), “Some Principles of Stratiication”,


American Sociological Review 24: 362-417.
Derrida, J, (2000), Hantu-Hantu Marx, (terj.)Yogyakarta, Bentang.
Duverger, M. (1982). Sosiologi Politik. (terj.) Jakarta: YIIS.
Easton, D. (1981), “Analisa Sistem Politik” dalam Perbandingan Sistem
Politik diedit
oleh M. Mas’oed dan C. MacAndrews. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni-
versity Press.
Evers, H.-D. (1994) “he traders dilemma: A theory of the social transfor-
mation of markets and society”, dalam H.-D. Evers and H. Schrader
(eds.), he Moral Economy of Trade: Ethnicity and Developing Mar-
kets. London: Routledge
Fauls, K. (1999). Political Sociology, A Critical Introduction. Eiden-
burgh: Eidenburgh University Pres
Featherson, M. (2001). Posmodernisme dan Budaya Konsumen. (terj.).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, M. (1980), he Archaeology of Knowledge and the Discourse on
Language. New York: Harper Colophon.
Fried, M. (1967). he Evolution of Political Society. New York: Random
House.
Fromm, E. (2001), Konsep Manusia Menurut Marx. (terj.). Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
Gans, H. (1972).“he Positive Functions of Poverty“. AJS 78: 275-89
Gatara, S.A.A. dan M. D. Said. (2007), Sosiologi Politik. Bandung:
Pustaka Setia.
Geerzt, C. (1973). Penjaja dan Raja. (terj.). Jakarta: Gramedia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Gellner, E. (1995). Membangun Masyarakat Sipil. (terj.) Jakarta: Mizan.


Giddens, A. dkk (1986), Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. (terj.)
Jakarta: UIP
Giddens, A. dkk (2005), Sosiologi : Sejarah dan Berbagai Pemikirannya.

211
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

(terj.) Yogyakarta: Kreasi Wacana.


Giddens, A. dkk (2008). Social heory Today. Yogyakarta: Pustaka Pe-
lajar.
Henslin, J.M. (2008). Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta:
Erlangga.
Hikam, M.A.S (1999). Islam, Demokratisasi & Pemberdayaan Civil soci-
ety. Jakarta: Erlangga
Homans, G. (1974). Social Behavior: Its Elemantary Forms. New
York: Harcout Brace Javanovich.
Huntington, S. P. dan J. M. Nelson (???) No Easy Choice: Political Par-
ticipation in Developing Countries
Johnson, D.P. (1986), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1 & 2
(terj.) Jakarta: Gramedia.
Kantaprawira, R. (2004). Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pen-
gantar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Kartono, D. T. (2007), Sosiologi Distribusi. Buku Materi Pokok UT.
Penerbit: Universitas Terbuka.
Kinloch, G.C. (2005), Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosi-
ologi.(terj.) Bandung: Pustaka Setia.
Krasner, S. (1978), Defending the National Interest. Princeton. N.J:
McGraw Hill.
Lasswell, H.D. (1936), Politics: Who Gets What, When, and How. New
York: Whittlesey House.
Laeyendecker, L. (1983), Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi. Jakarta, Gramedia.
Lawang, R.M.Z. (1985), Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi (modul
http://facebook.com/indonesiapustaka

1-5). Jakarta: Universitas Terbuka.


Lenski, G. (1966), Power and Privelege: S heory of Social Stratiication.
New York: McGraw-Hill.
Liddle, R.W. (1992), Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan

212
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

Politik. Jakarta: LP3ES.


Liliweri, A. (2007). Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mahasim, A (1995), “Masyarakat Madani dan Lawan-Lawannya : Seb-
agai Suatu Mukadimah” sebagai Kata Pengantar dari Membangun
Masyarakat Sipil oleh Ernest Gellner. Bandung: Mizan.
Maliki, Z. (2003), Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Suraba-
ya: LPAM.
Maran, R.R. (2001), Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta.
Mas’oed, M dan C. MacAndrews. (1981), Perbandingan Sistem Politik.
Jakarta: Gadjah Mada University Press.
Mareek, P.J. (1995), Political Marketing and Communication. London:
John Libbey & Co.
Marx, K dan F. Engels, (1962) Selected Works, Vol1 Moscow: Foreign
Language Publishing House.
Mead, G.H. (1971). Mind, Self, and Society. Chicago: he University of
Chicago Press.
Merton, R.K. (1967). On heoretical Sociology. New York: he Free
Press.
Mills, C.W. (2003), Kaum Marxis: Ide-Ide Dasar dan Sejarah Perkemban-
gan. (terj.). Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
________, (1956), he Power Elite. New York: Oxford University Press.
Morgenthau, H.J. (1960), Politics among Nations. New York: Alfred
Knopf.
Morisson, K. (1995), Marx, Durkheim, Weber : Formation of Social
hought. London, Sage Publication Ltd
http://facebook.com/indonesiapustaka

Muhaimin, Y.A. (1990), Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi In-


donesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES.
Mumford, L. (1973), he City in History. Middlesex : Penguin Book.
Nordlinger, E. (1981), On the Autonomy of the Democratic State. Cam-

213
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

bridge. Mass.: Harvard University Press.


Norris, P. (2000), A Virtous Circle: Political Communication in Industrial
Sociaties. New York: Cambridge University Press.
Orum, A.M. (1989). Introduction to Political Sociology. New Jersey:
Printice-Hall, Inc.
Parwitaningsih, dkk. (2005). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Poloma, M.M. (1984). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.
Ricardo, D. (1951), “he Principle of Political and Taxation” dalam Work
and Correspondence of David Ricardo. P. Srafa Cambridge: Cam-
bridge University Press.
Ritzer, G. (1985), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Ja-
karta: Rajawali Press.
Ritzer, G dan D. J. Goodman. (2004), Teori Sosiologi Modern. Jakarta,
Prenada.
Ritzer, G. (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Rajawali
Roth, D dan F. L. Wilson (1976). he Comparative Study of Politics. En-
glewood Clifs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Rush, M dan P. Althof. (2003). Pengantar Sosiologi Politik. (terj.) Ja-
karta: RajaGraindo Persada.
Russel, B. (1988) Kekuasaan. Jakarta: YOI
Saleh, A. A. (1990). Partisipasi Sosial. Pidato pengkuhan guru besar
Sosiologi pada Jurusan Sosiologi, Padang 25 Juli 1990.
Salim, A. (2008). Pengantar Sosiologi Mikro. Yogyakarta: Pustaka Pe-
lajar.
Sanderson, S.K. Makro Sosiologi. Jakarta: RajaGraindo Persada
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sanit, A. (1980). Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan lingkun-


gan. JakartaYIIS.
Sartori, G. (1976). Party and Party Systems: A Framework for Analysis.
Cambridge: Cambridge University Press.

214
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

Schattschneider, E. F. (1960), he Semisovereign People: A Realst’s View


of Democracy in America. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Schmitt, C. (1976), he Concept of the Political. New Brunswick, N.J.:
Rutger University Press.
Scott, J. (1976), he Moral Economy of the Peasant. New Haven: Yale
University Press.
Simamora, S. (1985). Pembangunan Politik dalam Perspektif. Jakarta:
Bina Aksara.
Situmorang, A.W. (2007). Gerakan Sosial, Studi Kasus Beberapa Perla-
wanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Skocpol, T (1995). “Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in
Curren Research” dalam Bringing the State Back In diedit oleh Pe-
ter B. Evans et al. Cambridge: Crambridge University Press.
Slater, D. (1997). Consumer Culture and Modernity. Cambridge: Polity
Press.
Smith, A. (1965). An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations. New York: Modern Library.
Soesilo, A.S. dkk (2004). Sosiologi Politik. Jakarta: Universitas Ter-
buka.
Stark, R. (1987). Sociology. California: Wardsworth Pub. Comp
Sudarsono, Y. ed. (1982). Pembangunan Politik dan Perubahan Politik.
Jakarta: YOI.
Suhelmi, A. (2007). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pusta-
ka Utama.
Sullivan, T.J. dan K. S. hompson. (1984). Sociology. New York: Jhon
Willey & Sons
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sundhaussen, U. (1988). Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju


Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.
Suparb, P-O (1990) Market and Petty-Trade along the hai-Malaysian
Borders. Disertasi (tidak diterbitkan) di Facultas Sosiologi Uni-
versitas Bielefeld

215
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Widiasarana In-


donesia.
Suwarsono dan A. Y. So. (2000), Perubahan Sosial dan Pembangunan.
Jakarta: LP3ES.
hio, A. (1989). Sociology: An Introduction. New york: Harper & Row.
Tocqueville, A. de (2005). Alexis de Tocqueville tentang Revolusi, De-
mokrasi dan Masyarakat. Jakarta: YOI
hompson, G. et al, (1991), Market, Hierarchies, and Networks: the Co-
ordination of Social Life. London: Sage.
Triwibowo, D. dkk. Gerakan Sosial, Wahana Civil Society bagi De-
mokratisasi. Jakarta: LP3ES.
Turner, J.H. (1978). he Structure of Sociological heory. Homewood,
Ill: Dorsey.
Veeger, K.J. (1985), Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia.
Weber, M. (2000), Sosiologi. (terj.From Max Weber) Yogyakarta: Pusta-
ka Pelajar
________, (2006). Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Suraba-
ya: Pustaka Promethea.
Winnet, A (2004). Communicating Efectively in the Workplace: Four
Essential Steps Your Communication Skills. Dalam portal Business
Communication.
Wiryanto (2000). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo
Zanden, J. W. Vander (1986) Sociology: the Core. New York: Alfred A.
Knopf.
Zeitlin, I.M. (1995). Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Zuzmelia (2007). Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari Minangkabau:


Kasus Pasar Kayu Manis (Cassiavera) di Kabupaten Tanah Datar
dan Agam Sumatera Barat.
Disertasi pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

216
INDEKS

A E
Althusser, L Etika protestan
Arrow Etnograi

B F
Becker, G. 2 Fungsi
Berger, P.L
G
Blau
Gans, Herbert
Bourdieu, P.
Giddens, A
Brinkerhorf
Goodman

C Gramsci, A
Calvinisme
H
Coleman, James
Hermeneutik 37
http://facebook.com/indonesiapustaka

D Hirsman 23
Dahrendorf, Ralf Holton 14
Dramaturgi Horton P.B. 4
Durkheim, Emile
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN

I L
Identitas Lee
Interaksi Sosial Luckman
Investasi Sosial Luhmann
Lury
J
Jaringan M
Jaringan Sosial Makna (meaning)
Jenkins Masyarakat
Mahar
K
Marx, Karl
Kapital
Mead, G.H
Kapital Budaya
Melihat tembus
Kapital manusia
Metode
Kapital Simbolik
Minangkabau
Kapital Sosial
Kapitalisme N
Kebudayaan Nilai
Kelas borjuis Nilai Guna
Kelas proletar Nilai Tukar
Kepercayaan
P
Kesadaran Kolektif
Parsons, Talcott
Keterasingan (alienasi)
Pearson
Konlik
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pendekatan kualitatif
Konsep
Pendekatan kuantitatif
Konsensus nilai
Pendekatan sosiologis
Konsumsi
Perjuangan kelas
Kontak

218
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

Pertukaran Struktural fungsional


Prediksi 36 Struktural konlik
Portes, Alejandro Studi kasus
Putnam, Robert Survey
Sullivan
R
Resiprositas T
Ritzer, G. Teori
Teori Interaksionisme Simbolik
S
Teori Pertukaran
Sanderson
Teori Struktural Fungsional
Schumpeter, Joseph
Teori Struktural Konlik
Schutz, A
hompson
Semangat kapitalism
Tindakan aktor
Sistem
Tindakan Rasional
Sistem interaksi
Tindakan Sosial
Solidaritas mekanik
Turner
Solidaritas organik
Tylor, S.E
Sosial
Sosialisasi U
Sosiologi makro Utilitarianisme
Sosiologi mikro
V
Sosiologi
Variabel
Sosiologi Ekonomi
Verstehen
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sosiologi Pendidikan
Status W
Stratiikasi sosial Weber, Max
Struktur sosial White

219
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka

221
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital
http://facebook.com/indonesiapustaka

222
PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
http://facebook.com/indonesiapustaka

223
BAB 7 Pendidikan sebagai Kapital

Anda mungkin juga menyukai