Anda di halaman 1dari 18

KONSEP INTEGRITAS BANGSA DALAM KAJIAN RELASI ETNIS DAN

INTEGRASI BANGSA

“Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Struktur Mata kuliah Relasi Etnis
dan Integrasi Bangsa dengan dosen pengampu oleh Dr. Nasehudin M.Pd”

Disusun oleh :

Siti Rosiah 1808104068


Siti Nur Aisah Amini 1808104080
Fasya Hamdan Akbar 1808104077

Semester VI B

Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Allah Swt yang telah memberi
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Konsep Integritas Bangsa dalam Kajian Relasi Etnis dan Integrasi
Bangsa ” penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Relasi Etnis dan Integrasi Bangsa. Kami mengharapkan makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pembaca, terutama bagi penulis sendiri.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Nasehudin M.Pd yang telah membimbing penulis untuk
menyelesaikan tugas tepat pada waktu nya.
2. Rekan rekan dan kelas yang telah ikut berpartisipasi dalam
keberlangsungan kegiatan presentasi.
3. Dan pihak - pihak yang telah membantu selama proses penyusunan
makalah ini.
Menyadari banyak nya kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
untuk melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Cirebon, Maret 2021

Penulis

2
3
Daftar Isi

Kata Pengantar
…….………………………………………………………………………………..2
Daftar Isi
…………………………………………………………...…………………………
…..3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 5


A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................................... 5
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................ 6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................ 7
A. Pengertian Integritas Bangsa ............................................................................................... 7
B. Pandangan Integrasi Bangsa Indonesia Terhadap Hubungan Antaretnis Dan
Agama ..................................................................................................................................... 8
C. Kebijakan Negara Terhadap Relasi Etnis Dan Agama ....................................................... 13
BAB III PENUTUPAN ............................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................................................ 17
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 18

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan masyarakat yang multicultural yaitu masyarakat
yang terdiri atas kelompok-kelompok yang tinggal bersama dalam suatu wilayah,
akan tetapi terpisah de facto menurut garis kebudayaan masing-masing.
Multicultural terbentuk dari kemajemukan masyarakat. Di Indonesia
kemajemukan merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya, namun
semua itu menjadi berbeda ketika kemajemukan tidak dihadapi secara dewasa dan
penuh dengan pemaknaan positif dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Semua kekayaan menjadi ancaman bagi keutuhan persatuan suatu negara yang
sedang dalam fase berkembang.
Perbedaan suku, ras, agama dan golongan menimbulkan berbagai relasi
atau hubungan antar kelompok masyarakat yang kemudian melahirkan bentuk-
bentuk dari relasi atau hubungan. Setiap identitas etnik juga memiliki kebudayaan
masing-masing yaitu pandangan, prinsip dan cara menjalani hidup, serta tujuan
yang berbeda. Dalam mencapai tujuannya masing-masing kelompok memiliki
cara dan kepentingannya yang berbeda, namun harus bertemu dalam ruang
kompetisi. Konflik dapat terjadi antar kelompok dengan identitas yang berbeda
yang saling berinteraksi dalam wilayah yang sama dan dari interaksi tersebut,
pastinya menimbulkan persepsi terhadap kelompok-kelompok tertentu, yang
terkadang positif maupun negatif dikarenakan perbedaan tersebut. Oleh karena itu
masyarakat harus mampu berprilaku rukun serta beradaptasi dengan lingkungan,
hal tersebut dilakukan supaya terciptanya integritas dan menghindari konflik.
Oleh karena itu pada pembahasan dalam makalah ini, kita akan membahas
mengenai integritas bangsa dalam kajian relasi etnis dan integrasi bangsa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan integritas bangsa?
2. Bagaimana pandangan integrasi bangsa Indonesia terhadap hubungan antar
etnis dan agama?

5
3. Apa saja kebijakan Negara terhadap relasi etnis dan agama?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan integritas bangsa.
2. Untuk mengetahui pandangan integritas bangsa Indonesia terhadap
hubungan antar etnis dan agama.
3. Untuk mengetahui kebijakan Negara terhadap relasi etnis dan agama.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Integritas Bangsa


Integritas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu
mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga
memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Integritas pun
sering diidentikkan dengan sikap jujur atau Kejujuran. Dengan demikian, di dalam
integritas terhimpun berbagai sifat pendukung yang bisa membuat orang menjadi
berwibawa, jujur, dan konsisten terhadap kebenaran.
Integritas adalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam
tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip,
ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas
berarti memiliki pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat. Integritas itu
sendiri berasal dari kata Latin “integer”, yang berarti: Sikap yang teguh
mempertahankan prinsip, tidak mau korupsi, dan menjadi dasar yang melekat
pada diri sendiri sebagai nilai-nilai moral.
Makna atau Pengertian Bangsa
a. Menurut Ernest Renan (Perancis) Bangsa adalah sekelompok manusia yang
memiliki kebudayaan atau adat-istiadat yang sama.
b. Menurut Otto Bauer (Jerman) Bangsa merupakan sekelompok manusia yang
memiliki persamaan karakter karena persamaan nasib dan pengalaman sejarah
budaya yang tumbuh berkembang bersama dengan tumbuh kembangnya Bangsa
c. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bangsa menurut hukum adalah rakyat
atau orang-orang yang berada di dalam suatu masyarakat hukum yang terorganisir.
Kelompok ini umumnya menempati bagian atau wilayah tertentu. Berbicara
dalam bahasa yang sama, memiliki sejarah, kebiasaan dan kebudayaan yang sama,
serta terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat.1

1
Suwito, Anton. 2014. Membangun Integritas Bangsa Dikalangan Pemuda Untuk
Menangkal Radikalisme .Jurnal Ilmiah. Vol.IV, NO.2.

7
Dapat disimpulkan bahwa Integritas bangsa dapat diartikan sebagai suatu
sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki
potensi dan kemampuan yang memancarkan perilaku berwibawa, jujur, dan
konsisten terhadap kebenaran.
B. Pandangan Integrasi Bangsa Indonesia Terhadap Hubungan Antaretnis
Dan Agama
Hubungan Antara Etnis
Dalam suatu negara sering kali terdapat berbagai kelompok etnis yang
berbeda. Di Indonesia misalnya, kita mengenal ada etnis Jawa, Ambon, Madura,
Cina, Minang, batak, dan lain sebagainya. Keberadaan kelompok etnis tersebut
tidak selamanya permanen dan bahkan seringkali hilang karena adanya asimilasi
dan amalgamasi. Yang dimaksud asimilasi adalah pencampuran dua kebudayaan
yang disertai dengan hilangnya kebudayaan asli sehingga melahirkan kebudayaan
baru . Sedangkan yang dimaksud dengan amalgamasi adalah perkawinan
campuran antar etnis.
Belakangan ini masalah etnisitas ramai dibicarakan, setelah kasus
kerusuhan etnik semakin banyak mewarnai perjalanan kehidupan bangsa kita.
Setelah sekian lama di masa Orba, persoalan konflik etnik sengaja dipendam,
bahkan tabu untuk dibicarakan. Kini kita terus dihadapkan banyak peristiwa
konflik etnik di berbagai tempat, mulai dari skala kecil hingga besar, yang
berlangsung cepat hingga yang berkelanjutan, semakin kompleks. Kita
menyaksikan betapa buruknya perlakuan antar manusia yang terlibat kerusuhan
dan terlebih lagi betapa sulit dan berlikunya jalan yang harus ditempuh untuk
memperbaiki kembali hubungan-hubungan sosial yang terlanjur putus.
Etnisitas dan hubungan antar kelompok etnik dipandang memiliki
hubungan yang erat dengan masalah-masalah pembangunan masyarakat Indonesia.
Keberagaman budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah
sebuah potensi untuk membentuk identitas kita sebagai bangsa Indonesia
(Huntington, 1997 dalam Wirutomo dkk, 2012). Ketika perbedaan budaya selalu
menghasilkan perbedaan dalam interaksi diantara anggota kelompok-kelompok
tertentu, maka hubungan sosial sosial tersebut mengandung unsure etnis.

8
Perbedaan budaya tidak serta merta menciptakan suatu kesadaran kelompok etnik;
hubungan sosial yang terjadi dengan mereka yang berbedalah yang menghasilkan
kategori “kita” dan “mereka”. Sehingga identitas kelompok etnik harus
didefinisikan dalam konteks relasinya dengan kelompok etnik lain (Wirutomo dkk
2012:90).
Seiring dengan berjalannya waktu keberagaman budaya yang ada dalam
masyarakat Indonesia menghasilkan suatu hubungan kerja sama antar kelompok
etnik melalui interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memberikan dampak
positif yang harus dikembangkan untuk membentuk identitas masyarakat
Indonesia. Namun, perlu diingat bahwa hubungan antar kelompok etnik juga
dapat mengarah pada etnosentrisme dan chauvinism kelompok. Munculnya
pertentangan dari kelompok etnik minoritas terhadap kelompok etnik mayoritas,
masalah tersebut dapat menyebabkan terjadinya konflik yang mengancam
integrasi sosial dan nasional Indonesia.
Hubungan Antar Agama
Dalam konteks Indonesia, sejak berabad-abad yang lalu di Kepulauan
Nusantara sudah terdapat berbagai agama: Hindu, Budha dan pelbagai
kepercayaan, baik animisme maupun dinamisme. Kecenderungan sinkretisme
yang mencampurkan berbagai agama yang ada juga menjadi warna tersendiri
terutama di Pulau Jawa.
Secara akademis membincangkan persoalan agama di keraton-keraton
Jawa oleh elit agama juga merupakan tradisi yang tidak asing. Menurut
Onghokham, mereka bersikap saling toleran, tanpa perasaan emosi. Namun di sisi
lain perbedaan agama atau pendapat mengenai teologi juga seringkali
mengakibatkan konflik berdarah. Pola relasi antaragama pada masa lalu sangat
dipengaruhi oleh politik stelsel dan politik keagamaan pemerintah kolonial.
Masing-masing dibiarkan dalam sebuah relasi antitesis, persaingan. Sementara
Pemerintah kolonial melakukan politik keagamaan yang hanya bertendensi pada
dogma (ajaran) bukan etika (perilaku). Akibatnya kehidupan keagamaan
kehilangan inspirasi bagi umatnya. Oleh elit penguasa kolonial, komunikasi

9
antarumat beragama dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak berjalan secara
bebas dan terbuka.
Sejak abad ke-19 M, agama-agama muncul dalam sebuah fase formatif
yang ditandai oleh upaya untuk merumuskan ajaran-ajaran dan pendidikan yang
dirasa cocok dengan tantangan yang muncul saat ini. Kontak hubungan dengan
pusat-pusat keagamaan di luar negeri menyebabkan munculnya gerakan purifikasi
agama. Ortodoksi agama-agama kemudian menjadi ciri yang menonjol, misalnya
Kristen menjadi westernis, begitu pula Islam menjadi Arabis, Hindu menjadi
Indianis, sementara Budha menjadi Srilangkais dan Thailandis.
Kecenderungan semacam ini kemudian menimbulkan problem relasi
antaragama, misalnya stigma sejarah yang pahit tentang Perang Salib turut
terbawa-bawa ke Indonesia, begitu pula perang antara Protestan dan Katolik
dalam sejarah Eropa yang sama-sama menimbulkan trauma sejarah.
Daftar panjang ”perang agama” bisa ditambah dengan konflik-konflik di
zaman modern sebagaimana yang terjadi di Irlandia Utara, Libanon, Israel, Bosnia
dan lain-lain. Ketika agama Kristen masuk ke Indonesia (dulu Nusantara), hampir
sebagian besar penduduknya telah memeluk agama Islam. Kedua agama tersebut
sama-sama merupakan agama pendatang bagi bangsa Indonesia. Agama Kristen
masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa Barat (kolonial) pada
abad ke16-17 M, sedangkan agama Islam datang lebih awal (abad 9-10 M)
melalui para pedagang Muslim dari Arab, Persia (Iran), atau India (Gujarat).
Sebetulnya akar konflik Islam-Kristen itu sudah terjadi sejak awal sebelum
perjumpannya di Indonesia.
Menurut Cooley2, sejak awal hubungan antara umat Islam dan Kristen di
Indonesia sudah menunjukkan ketegangan, karena sebelum masuk ke Indonesia
kedua agama tersebut telah terlibat persaingan dan konflik di Asia Barat, Afrika
Utara dan Eropa Barat. Konflik itu kemudian terbawa hingga kedua agama
tersebut bertemu di Indonesia. Salah satu konflik itu menurut Nurcholish Madjid

2
Sudarto. Konflik Islam-Kristen:Menguak Akar Masalah Hubungan Antarumat
Beragama di Indonesia (Semarang :Pustaka Rizki Putera,1999), 71-72.

10
adalah karena faktor ekonomi. Kedatangan orang-orang Barat, baik Portugis,
Inggris maupun Belanda ke wilayah Asia Timur, termasuk Indonesia tujuannya
adalah untuk membebaskan ketergantungan ekonomi mereka kepada Dunia Islam,
yang saat itu menguasai perekonomian dunia. Tetapi Cooley berkesimpulan,
bahwa aspek politik merupakan faktor dominan yang mempengaruhi hubungan
Islam dan Kristen di Indonesia. Senada dengan Madjid dan Cooley, Siraj
menegaskan, bahwa ketegangan hubungan Kristen-Islam bukanlah disebabkan
oleh faktor akidah atau keyakinan. Namun seperti pada masa Perang Salib, faktor
politis dan ekonomis lebih banyak berperan.
Secara politis, posisi Kristen sebagai agama yang dibawa kolonialisme
Belanda memberikan citra yang kurang menguntungkan bagi umat Islam. Dengan
demikian, Kristen diidentikkan dengan penjajah. Ketegangan ini ditambah lagi
dengan situasi politik di Indonesia sejak awal 1970-an. Untuk mengukuhkan
status qua, rezim Orde Baru memasukkan sebagian kalangan non-Muslim ke
dalam lingkaran birokrasi dan sumber-sumber ekonomi. Pada saat yang sama,
Orde Baru juga meminggirkan umat Islam dari lingkaran politik dan sumber daya
ekonomi. Wajar jika kemudian muncul isu agama dalam situasi ketimpangan
tersebut. Umat Islam pun secara politis menentang kebijakan negara, dan kadang
meluap dalam bentuk gerakan Islam radikal.
Kecurigaanpun kian menumpuk di antara umat Islam dan umat Kristiani.
Di satu sisi, sejumlah kelompok mendapatkan keistimewaan negara sehingga
lahirlah para konglomerat dan kelompok kaya baru yang banyak mendapat
fasilitas penguasa saat itu. Sementara di sisi lain, mayoritas umat Islam tergeser ke
pinggir, maka muncullah kesenjangan ekonomi yang berujung pada krisis
berkepanjangan, yang sewaktu-waktu bisa meledak dalam sekian bentuk
kerusuhan dan konflik bernuansa agama. Persoalan kian ruwet karena perpolitikan
Indonesia masih jauh dari sistem demokrasi yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kekeruhan hubungan Islam-Kristen tidak jarang
dilatarbelakangi nuansa politis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan
agama itu sendiri. Faktor lain yang memicu ketidakmesraan hubungan umat Islam
dan Kritiani menurut Siraj, juga tak lepas dari problem pemahaman umat Islam

11
yang masih dangkal terhadap ajaran yang dianut. Dengan pengetahuan agama
yang sangat dangkal itu, mereka sering mengaku sebagai pemimpin umat yang
mewakili mayoritas bangsa Indonesia. Salah satu contoh kedangkalan tersebut
tampak dari upaya beberapa orang yang mengaku sebagai cendekiawan yang
ingin mengganti Pancasila dengan asas Islam, sehingga baginya negara Islam itu
haruslah diwujudkan.
Pemikiran yang mengarah pada pembentukan negara teokrastis ini tentu
perlu kita pertanyakan. Benarkah Nabi Muhammad sebagai sosok teladan umat
Islam memiliki ajaran seperti itu? Di sinilah, kedua agama tersebut saling
menanamkan rasa kebencian. Barat, sebagai representasi Kristen sambil
melakukan ekspansi ekonomi ke Indonesia membawa misi kristenisasi, sementara
Islam melihat Barat di samping sebagai kolonial juga sebagai pembawa misi
kristenisasi yang harus dihadapi. Keduanya sama-sama memiliki kepentingan dan
membawa potensi konflik, baik pada masa kolonial, Orde Lama maupun Orde
Baru.
Dengan demikian jika ditinjau dari perspektif sejarah, pada masa kolonial
ketegangan hubungan antara umat Islam dan Kristen lebih dipicu oleh kegiatan
penginjilan (misionaris) yang mendapat bantuan besar dari pemerintahan penjajah
Belanda, baik bantuan politik maupun finansial. Sementara pada masa Orde lama
ketegangan antarkedua komunitas umat beragama tersebut mencuat saat
pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Dalam
pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan ”tujuh kata” yang bernuansa Islami, yang
oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam, lantas
pada akhirnya dihapuskan. Namun demikian, menurut Rabi’, keputusan para
pendiri Republik Indonesia --yang sebagian besar juga terdiri dari pemuka-
pemuka agama Islam-- untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dapat
ditunjuk sebagai upaya sungguh-sungguh dalam mencari sistem kenegaraan yang
menjamin kerukunan dan pluralisme keagamaan.

12
C. Kebijakan Negara Terhadap Relasi Etnis Dan Agama
Kebijakan Negara Terhadap Relasi Etnis
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis.
Adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan
hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian,
keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara
yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Kondisi masyarakat Indonesia,
yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya,
agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Untuk menjamin tidak
terjadinya konflik dan diskriminasi maka Pemerintah Indonesia membentuk
sebuah Undang undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis.
Kebijakan Negara Terhadap Relasi Agama
1. Kebijakaan di era reformasi
Era reformasi, sebagai suatu tonggak transisi sejarah dalam perjalanan
kehidupan bangsa, muncul pada akhir Mei 1998 menyusul lengsernya Presiden
Soeharto. Kemudian BJ Habibie naik ke kursi kepresidenan, dan dinilai belum
banyak mampu menanggulangi berbagai macam krisis. Krisis hubungan
antaragama berkembang meluas dan berkepanjangan, bahkan sampai masa
pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Oktober 1999-Juli 2001) dan Megawati
Soekarno Putri (23 Juli 2001-Mei 2004). Mereka belum begitu mampu
memperlihatkan kemampuannya untuk menyelesaikan konflik hubungan
antaragama tersebut. dalam rentang waktu itu, hubungan Muslim dan Kristen
secara umum berlangsung dalam keadaan tidak harmonis. Sedangkan hubungan
antarumat beragama di luar kedua komunitas tersebut berlangsung relatif baik dan
tidak ada persoalan-persoalan krusial yang sangat mengganjal.
Meskipun demikian, ada beberapa kebijakan yang perlu dicatat sebagai
prestasi masa pemerintahan reformasi, yaitu: 1) Pemerintahan Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) telah mencabut TAP MPRS No. 25/1966 tentang Larangan
Penyebaran Ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme. Dengan pencabutan TAP

13
tersebut telah membebaskan sisi hukum para mantan anggota PKI dan
keturunannya dari dampak negatif yang dikandung oleh kebijakan Orba tersebut.
2) Pemerintah Gus Dur dengan Kepres No. 6 tahun 2000 mencabut Instruksi
Presiden No. 14/1967 tentang Pelarangan Agama Kong Hucu di Indonesia. 3)
Pemerintah mencabut pemberlakuan asas tunggal bagi semua organisasi politik
(TAP II/MPR/1983) dan untuk organisasi kemasyarakatan (UU No. 8 tahun 1985).
2. Kebijakan di bidang pembinaan kerukunan antarumat beragama
Dalam rangka membina dan mengembangkan sendi-sendi kerukunan
antarumat beragama, pemerintah telah mengidentifikasi beberapa masalah yang
dapat menimbulkan titik rawan di bidang kerukunan antarumat beragama.
Masalah-masalah rentan tersebut adalah: pendirian tempat ibadah, penyiaran
agama, bantuan luar negeri, perkawinan berbeda agama, perayaan hari-hari besar
keagamaan, penodaan agama, kegiatan aliran sempalan, dan aspek-aspek non
agama. Persoalan-persoalan tersebut telah disadari dan diantisipasi sejak dini oleh
pemerintah. Di antara langkah-langkah antisipatif yang diambil adalah
dikeluarkannya berbagai keputusan atau undang-undang yang mengatur hal
tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:
SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 01/Ber/Mdn-Mag/1969 tentang Tata Cara Pembangunan Rumah
Ibadah, yang perlu mendapatkan izin dari pejabat pemerintah dan
mempertimbangkan kondisi dan keadaan setempat. Surat Kawat Menteri Dalam
Negeri No. 264/KWT/DITPUM/DV/V/1975 yang ditujukan kepada para gubernur
dan kepala daerah di seluruh Indonesia tentang larangan penggunaan rumah
tempat tinggal untuk dipakai sebagai tempat upacara keagamaan (kebaktian).
Surat Keputusan Menag No. 70/1978 berisi tentang Pedoman Tata Cara Penyiaran
dan Penyebaran Agama. Surat Keputusan Menag No.77/1978 tentang Prosedur
Pemberian Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga-lembaga Keagamaan yang ada
di Indonesia, dan ditindaklanjuti dengan SKB Menag dan Mendagri No. 1 tahun
1979. Dan juga penetapan Presiden RI No. 1 tahun 1965 yang kemudian
dikukuhkan menjadi UU No. 1/Pn.Ps/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan
dan Atau Penodaan Agama. dalam penjelasannya tertulis ada enam agama,

14
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu”. Pernyataan ini seyogyanya tidak
ditafsirkan sebagai pembatasan agama tetapi bersifat konstatasi tentang agama
yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
3. Kebijakan di bidang pelayanan agama
Melalui Departemen Agama, pemerintah memberikan pelayanan-
pelayanan keagamaan kepada lima agama yang dikelola secara resmi dengan
diberikan kesempatan menyelenggarakan program siaran keagamaan melalui
televisi nasional secara bergiliran untuk keperluan pembinaan rohani bagi
kelompok komunitas masing-masing.
Khusus untuk umat islam, pelayanan keagamaan yang diberikan kepada mereka
lebih banyak dan bervariasi karena posisi mayoritas mereka di dalam negara
Indonesia. Contoh yang paling nyata adalah pelayanan di bidang pelaksanaan
ibadah haji ke tanah suci Mekkah, yang berupa pelayanan administratif dan teknik
pelaksanaan ibadah haji maupun didirikannya asrama-asrama haji untuk
menampung para jamaah haji di berbagai kota di tanah air.
Pada tahun 1991, pemerintah juga mendukung pendirian bank Islam (Bank
Muamalat Islam). Pemerintah melalui Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Badan Zakat dan Infak-
Shadaqah. Kebijakan lain yaitu tentang pelaksanaan MTQ (Musabaqah Tilawatil
Qur’an) tingkat nasional, pelestarian peringatanhari-hari besar Islam yang
diselenggarakan secara kenegaraan, pemberian sumbangan dana untuk
pembangunan dan pemeliharaan sarana-saranan ibadah, dan adanya keharusan
pencantuman label “halal” oleh pihak produsen pada produk makanan dan
minuman yang mereka hasilkan.
4. Kebijakan di bidang pendidikan agama
Sejak masa awal kemerdekaan hingga sekarang, kedudukan pendidikan
agama di sekolah semakin kukuh, yaitu didasarkan atas Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran pada tahun 1947. Bahkan
sejak tahun 1966 pendidikan agama sudah diatur dalam TAP MPR dan GBHN,
dan yang terakhir adalah Undang-undang No. 2 / 1989 tentang Sistem Pendidikan

15
Nasional (UUSPN) yang antara lain, mempertegas bahwa pendidikan agama
merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional, dan bahwa agama
merupakan mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di sekolah-sekolah dari
tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi. Di samping itu yang terkait
dengan umat Islam adalah seperti penayangan pelajaran bahasa Arab seminggu
sekali di TVRI, penetapan bulan puasa sebagai hari libur dan keputusan
pemerintah tahun 1991, yang mengubah kebijakannya dengan memperbolehkan
para pelajar wanita Muslim memakai jilbab ke sekolah.
Pemerintah juga melaksanakan kebijakan dalam bentuk mendirikan
sekolah-sekolah agama negeri. Sejauh menyangkut Islam, pemerintah (dalam hal
ini DEPAG) mendirikan sekolah-sekolah Islam negeri dari sejak MIN, MTsN,
MAN sampai STAIN dan IAIN.
Untuk kalangan non-Islam, DEPAG juga mengelola sekolah-sekolah
tinggi negeri. Untuk kalangan Kristen (Protestan) Dirjen Bimas Kristen Agama
Depag hingga saat ini mengelola tiga Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri
masing-masing di Tarutung (SUMUT), Ambon (Maluku) dan Sentani (IRJA).
Untuk kalangan Hindu, Dirjen Bimas Hindu dan Budha Depag sampai saat ini
mengelola dua Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri, masing-masing di Denpasar
(Bali) dan Mataram (Lombok). Sekolah-sekolah agama negeri yang didirikan oleh
Departemen Agama bukan hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan di bidang tenaga administratif, edukatif dan profesional di Lingkungan
Departemen Agama, tetapi juga untuk keperluan masyarakat secara umum.

16
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Integritas bangsa dapat diartikan sebagai suatu sifat, atau keadaan yang
menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yang memancarkan perilaku berwibawa, jujur, dan konsisten terhadap kebenaran.
Kebijakan Negara terhadap relasi etnis yaitu untuk menjamin tidak terjadinya
konflik dan diskriminasi maka Pemerintah Indonesia membentuk sebuah Undang
undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Sedangkan kebijakan Negara terhadap relasi agama yaitu ada kebijakaan di era
reformasi, kebijakan di bidang pembinaan kerukunan antarumat beragama,
kebijakan di bidang pelayanan agama, dan kebijakan di bidang pendidikan agama.
B. Saran
Untuk mencari informasi yang lebih, penulis sarankan pembaca untuk
mencari informasi dari sumber-sumber atau referensi lain baik itu dari media
elektronik, media cetak, internet, buku dan yang lainnya. Hal ini supaya
menambah wawasan kita mengenai relasi etnis dan integrasi bangsa khususnya
menambah wawasan mengenai konsep integritas bangsa dalam kajian relasi etnis
dan integrasi bangsa.

17
Daftar Pustaka

Sudarto. Konflik Islam-Kristen:Menguak Akar Masalah Hubungan Antarumat


Beragama di Indonesia (Semarang :Pustaka Rizki Putera,1999)
Suwito, Anton. 2014. Membangun Integritas Bangsa Dikalangan Pemuda Untuk
Menangkal Radikalisme .Jurnal Ilmiah. Vol.IV, NO.2.
Wibowo, I. 2000. Negara dan Mayarakat : Berkaca dari Pengalaman Republik
Rakyat Cina. Gramedia: Jakarta.
Winarno. 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan
Tinggi. Bumi Aksara: Jakarta.
Sumber Internet :
Bohlan, (2005). Integrasi nasional. (http://www.basic-integrasi-nasional.org )
Diakses pada tanggal 13 Maret 2021
https://mujiatulaviat.wordpress.com/2016/03/22/relasi-antar-etnis/ Diakses pada
tanggal 13 Maret 2021
https://core.ac.uk/download/pdf/235260757.pdf Diakses pada tanggal 13 Maret
2021

18

Anda mungkin juga menyukai