Setelah itu, menurut Inkeles, manusia modern akan memiliki berbagai karakteristik,
yakni:
1. Terbuka terhadap pengalaman baru.
2. Independen terhadap otoritas tradisional.
3. Percaya terhadap ilmu pengetahuan.
4. Manusia modern memiliki ambisi hidup yang tinggi
5. Memiliki rencana jangka panjang.
6. Aktif terlibat dalam percaturan politik.
Dari karakteristik itu, Inkeles menemukan pokok-pokok pikiran, yaitu:
Pertama, bahwa pendidikan merupakan faktor terpenting yang mencirikan manusia
modern.
Kedua, jenis pekerjaan di pabrik akan turut mempengaruhi manusia menjadi
modern.
Robert N. Bellah: Agama Tokugawa
Bellah menguji:
Apa sumbangan yang diberikan oleh agama Tokugawa terhadap cepatnya laju
pembangunan Ekonomi Jepang? dan;
Bagaimana sumbangan itu diwujudkan?
3.
Perhatian Bellah terhadap Jepang bukan karena Jepang satu-satunya negara bukan barat
yang mampu mengembangkan industrialisasinya pada ambang pintu mamasuki abad ke-20,
tetapi juga karena jepang memiliki satu pola industrialisasi yang khas.
Awal gerak gelombang industrialisasi di jepang pada akhir abad ke-19 tidak dimulai
dari langkah kaum industriawan, pengrajin, atau pedagang, melainkan oleh
kelas samurai. Kelas samurai inilah yang sesungguhnya membangun kembali masa kejayaan
kekaisaran Jepang, dan meletakkan dasar-dasar modernisasi Jepang.
Dengan mengikuti arah penelitian yang dikembangkan oleh Weber, Bellah mulai
tertarik untuk menguji ada tidaknya keterlibatan agama dalam kasus Jepang ini. Dengan kata
lain, Apakah ada satu analogi fungsional dari etik protestan dalam agama Jepang? yang
menimbulkan lahirnya masyarakat industri modern Jepang sekarang ini.
Agama Jepang
Dalam usahanya mengamati agama di Jepang, Bellah membuat dua klasifikasi
observasi.
Pertama, sekalipun memang terdapat banyak agama di Jepang, termasuk di dalamnya
Konfusianisme, Budhisme, dan Shinto. Hal ini tidak menghalangi untuk menganalisa
atau mengkategorikan agama-agama di Jepang tersebut sebagai entitas.
Agama di Jepang memang sudah berbaur dan sulit dibedakan secara lebih rinci lagi.
Agama satu dengan agama yang lainnya sama-sama mempengaruhi dan memiliki
hubungan. Sehingga bisa dikatakan bahwa Konfusianisme di Jepang sangat berbeda
dengan Konfusianisme di China dan Budhisme jepang berbeda dangan Budhisme
India.
Kedua, bahwa agama di Jepang membentuk nilai-nilai dasar masyarakat Jepang.
Dilihat dari sejarah, agama di Jepang bermula sebagai etika dari para pejuang
Bellah mengambil tiga keterkaitan antara agama dan pembangunan ekonomi di Jepang,
yakni:
a. Pengaruh Agama Secara Langsung Mempengaruhi Etika Ekonomi
b. Pengaruh Agama Terhadap Ekonomi Terjadi Melalui Pranata Politik
c. Pengaruh Agama Terjadi Melalui Pranata Kelurga
Sejak zaman Aristoteles hingga kini, teori-teori ilmu sosial memiliki kecenderungan
untuk menyatakan, bahwa semakin baik derajat kehidupan ekonomis suatu negara, semakin
besar tersedia kemungkinan, bahwa negara tersebut akan memegang dan memelihara tatanan
demokrasi.
Dalam hal ini Lipset hendak mencoba mencari bukti:
1. Pertama. Apakah hanya negara-negara atau masyarakat yang kaya saja yang mampu
mendukung dan menumbuhkan demokrasi?
2. Kedua. Apakah masyarakat miskin yang di dalamnya terdapat massa miskin yang
demikian banyak akan mendorong timbulnya pemerintahan oligarkis dan atau Tirani?
Pada dasarnya, Lipset menggunakan analisa stratifikasi untuk menjelaskan keterkaitan antara
pembangunan ekonomi dan demokrasi. Baginya, pembangunan ekonomi, meningkatnya
pendapatan, derajat keamanan ekonomis, dan menyebarnya pendidikan banyak berpengaruh
terhadap bentuk perjuangan lapisan masyarakat yang dari padanya tersusun landasan
pembangunan demokrasi.
Pertama, lapisan masyarakat kelas bawah di negara-negara miskin memiliki
pengalaman yang lebih inferior dibanding lapisan masyarakat yang sama di negara
maju, dengan kata lain partai politik di negara miskin memiliki kecenderungan untuk
lebih ekstrem dan radikal dibanding partai politik di negara yang telah maju.
Kedua, pembangunan ekonomi juga mempengaruhi tingkah laku politik kelas
menengah, karena kelas menengah ini memiliki kecenderungan untuk secara aktif
terlibat dalam organisasi politik, maka mereka mampu melakukan aksi untuk ikut
mengendalikan kekuasaan negara.
Nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai badan usaha
Hongkong.
Adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di
Hongkong.
Wong tidak memberlakukan pranata keluarga sebagai faktor yang menghambat
pembangunan ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa pranata keluarga tradisional
justru akan mampu membentuk etos ekonomi dinamis dengan apa yang disebut sebagai etos
usaha keluarga. Etos ini melihat keluarga sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang akan
memberikan landasan untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.
Menurut Wong, ada tiga karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Yaitu:
1. Konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan, tetapi disaat yang
sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan struktur organisasi.
2. Otonomi dihargai sangat tinggi, dan bekerja secara mandiri lebih disukai.
3. Usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi
tidak stabil.
2. Davis: Teori Lintas Gawang dan Teori Barikade
Teori Lintas Gawang (A theory of hurdles)
Menurut Davis, Weber telah menawarkan teori lintas gawang, yakni teori yang
menyatakan bahwa pembangunan merupakan seperangkat rintangan panjang yang melintang
sejak garis permulaan sampai garis terakhir. Dalam lomba ini, peserta lomba yang berhasil
mengatasi segala rintangan hendak diberi ganjaran berupa julukan sebagai masyarakat
modern dan rasional.
Rintangan lintas gawang yang perlu dilewati ini terdiri atas brbagai macam. Pertama,
peserta lomba hendaknya mampu menghilangkan rintangan ekonomis jika hendak mencapai
karakteristik dasar kapitalisme. Kedua, peserta lomba juga diharapkan memapu mengatasi
gawang rintangan sosial politik. Ketiga, peserta lomba juga dihadapkan pada gawang
rintangan psikologi.
Menurut Davis, Weber dan semua pengikutnya dalam teori modernisasi yang telah
mencoba menjelaskan keterkaitan antara agama dan Pembangunan telah membuat berbagai
kesalahan berikut :
Mereka secara agak sembarangan telah membuat asumsi, bahwa agama merupakan
satu-satunya sumber tumbuhnya etos spiritual atau sistem nilai pokok yang
diperlukan untuk mempengaruhi semua segmen masyarakat untuk bergerak kearah
yang sama dan satu tujuan.
Telah menganggap bahwa sekularisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
proses modernisasi dan civilisasi.
Pengikut Weber yang memiliki kecenderungan untuk secara berlebihan memberikan
tekanan kepada keunikan budaya Jepang dalam menjelaskan keberhasilan
pembangunan ekonominya, sama sekali gagal memperhatikan factor hubungan social
lainnya (kepentingan individu, persaingan, ketidakloyalan, konflik).
Teori Barikade
Davis menawarkan teori barunya yang disebut Teori Barikade. Dia memberikan
sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas gawangnya. Menurut Davis, teori lintas
gawang pada dasarnya melihat agama dari sudut pandang peserta lomba modernisasi yang
agresif, dan berasumsi bahwa halangan dalam lari lintas gawang ini dengan pasti akan dapat
dilalui. Davis menawarkan satu argumentasi dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari
sudut pandang tradisionalisme. Bagaimana masyarakat tradisional menyiapkan barikade
untuk melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan oleh
berkembangnya nilai-nilai kapitalisme. Yang ditakutkan oleh masyarakat tradisional bukan
kemajuan dan modernisasi, tetapi pada kerusuhan social dan kekejian moral yang timbul
sebagai akibat dari tiadanya batas berkembangnya tata niaga perdagangan dan kapitalisme itu
sendiri.
Tradisi yang memiliki potensi besar dalam mobilisasi sosial dan perubahan;
Pada 1980-an terjadi kebangkitan gerakan tradisionalis dalam bentukIslamic
Resurgence tentang penolakan nilai-nilai barat atau gaya hidup barat dan ketaatan
terhadap kode etik islam serta penegakan hukum suci.
Dalam melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan Akankah Akan Ada Lebih
Banyak Negara Demokratis? Huntington membahas proses politik melalui pembangunan
demokrasi. Dia membahas tiga model demokratisasi, yaitu:
1. Model Linear, seperti yang terjadi di Inggris dan Swedia, di mana demokrasi
berkembang berawal dari tahap terwujudnya persatuan nasional, tahap perjuangan
politik, tahap keputusan untuk adopsi aturan demokrasi dan tahap pembiasaan kerja
sesuai aturan demokrasi
2. Model Siklus, seperti yang terjadi di negara Amerika Latin, di mana ada intervensi
militer terhadap pemerintahan terutama pada saat terjadi kekacauan ekonomi atau
kerusuhan politik
3. Model Dialektis, seperti yang terjadi di Jerman, Yunani dan Spanyol, di mana terjadi
tekanan terhadap rezim otoriter oleh kelas menengah dalam hal partisipasi politik
Huntington membahas isu urutan terbaik bagi perkembangan demokrasi, yaitu:
Mendefinisikan identitas nasional
Mengembangkan lembaga politik yang efektif seperti sistem pemilu dan partai
Memperluas partisipasi politik