Anda di halaman 1dari 7

Analisis Pembiayaan Pembangunan Bus Transjakarta

A.

Latar Belakang
Kota Jakarta dikenal sebagai kota metropolitan. Sebagai kota besar, DKI Jakarta memiliki

beberapa masalah perkotaan, salah satunya diantaranya adalah masalah kemacetan lalu lintas di jalan
raya. Kemacetan ini timbul karena semakin banyaknya kendaraan pribadi dan kurangnya kedisiplinan
para pengendara dalam menggunakan kendaraannya. Pertambahan jumlah kendaraan pribadi di
Jakarta mencapai 1.117 per hari atau sekitar 9 % per tahun. Sementara pertumbuhan luas jalan relatif
tetap, sekitar 0,01 % per tahun (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2010). Jika tak segera ada
pembenahan pola transportasi, pada tahun 2014 Jakarta diperkirakan akan mengalami kemacetan
total.
Untuk mengatasi semakin meningkatnya kemacetan dan semakin buruknya sistem
transportasi yang ada di Kota Jakarta, maka pemerintah menggagas untuk membangun BRT (Bus
Rapid Transit) atau yang dikenal dengan sebutan busway atau bus Transjakarta. Bus Transjakarta
memulai operasinya pada 15 Januari 2004. Angkutan Transjakarta dioperasikan oleh pemerintah Kota
Jakarta dengan tujuan untuk mereduksi pemakaian kendaraan pribadi. Seiring berjalannya
pengoperasian Transjakarta, jumlah penumpang mengalami peningkatan hampir 30% dari tahun ke
tahun. Rata-rata Transjakarta mengangkut 250.000 penumpang/hari (Badan Pengelola Transjakarta,
2006). Peningkatan dalam jumlah penumpang tanpa diimbangi dengan peningkatan jumlah armada
bus akan menyebabkan penurunan kualitas pelayanan.
Menurut berita dari surat kabar elektronik Bisnis Indonesia pada Kamis, 03 Juli 2014 dalam
artikel yang berjudul Dishub Akui Sulit Beli Bus Transjakarta disebutkan bahwa Kepala Dinas
Perhubungan DKI Jakarta Muhammad Akbar mengaku kesulitan dalam pengadaan armada bus
Transjakarta. Meningkatnya jumlah penumpang dan ketidaklayakan armada bus menuntut Dishub
DKI Jakarta melakukan penambahan armada bus. Namun, disebabkan karena keterbatasan biaya dan
sulitnya sistem pengadaan sehingga Dishub DKI Jakarta mengalihkan pembelian armada bus
Transjakarta dari Dinas Perhubungan DKI kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT
Transportasi Jakarta (Transjakarta) yang juga merupakan rencana dari Pemprov DKI Jakarta. Tidak
adanya penambahan armada bus Transjakarta pada tahun ini juga disebabkan karena Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM) belum terdaftar untuk mengikuti lelang melalui sistem E-catalogue.
Menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, jika pembelian armada bus Transjakarta
dialihkan ke PT Transjakarta, PT Transjakarta dapat melakukan pengadaan armada bus Transjakarta
dengan pembelian secara langsung maupun berinvestasi dengan pihak operator swasta. Melihat
kondisi penambahan Bus Transjakarta yang membutuhkan sumber pembiayaan yang besar, sedangkan
kondisi pembiayaan Bus Transjakartasaat ini yang sangat membutuhkan keterlibatan pihak swasta,

maka permasalahan ini perlu untuk dikaji lebih dalam. Tulisan ini mencoba mengkaji permasalahan
bersasarkan isu-isu strategis yang ada dan mencari alternatif solusi yang bertujuan pada
kebermanfaatan masyarakat.

B.

Tujuan
Adapun tujuan penulisan critical review ini adalah untuk mengkritisi permasalahan

pembiayaan Bus Transjakarta dalam hal penambahan armada bus dikaitkan dengan teori-teori
pembiayaan yang dikemukakan oleh para ahli.

C.

Tinjauan pustaka

Konsep Pembiayaan Pembangunan


Pembiayaan pembangunan merupakan suatu proses yang mendorong peningkatan kuantitas,
kualitas, dan efisiensi layanan sektor keuangan yang melibatkan interaksi banyak kegiatan dan
institusi serta terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Pembiayaan pembangunan juga dapat diartikan
sebagai kemampuan keuangan pemerintah untuk mewujudkan rencana-rencana pembangunan yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dengan mengalokasikan sumber-sumber

pembiayaan, baik yang dibiayai pemerintah sendiri maupun melibatkan pihak-pihak lain (Hand out
Mata Kuliah Pembiayaan Pembangunan PWK ITS 2013).

Sumber-Sumber Pembiayaan Pembangunan


Sumber pembiayaan pembangunan terdiri atas dua jenis, yaitu sumber pembiayaan
konvensional dan non-konvensional. Pembiayaan konvensional

merupakan sumber-sumber

penerimaan yang diperoleh dari pemerintah (pembiayaan publik) yaitu dari anggaran pemerintah
(APBN/APBD) melalui:

Pajak: suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pungutan tersebut
didasarkan pada UU, pemungutnya dapat dipaksakan kepada subjek pajak, tidak ada balas
jasa langsung yang ditujukan kepada penggunanya. Contohnya seperti pajak penghasilan,

PBB, PPN, dll


Retribusi: pungutan pemerintah karena pembayar menerima jasa tertentu dari pemerintah.

Contohnya seperti retribusi parkir, retribusi air/listrik, retribusi perijinan


Transfer: sejumlah uang yang diterima pemerintah pusat/daerah pembagian hasil sebagai
sumber pembiayaan akibat. Contohnya seperti DAU, DAK, dana otonomi khusus, dll

Hutang: sejumlah uang yang diterima pemerintah pusat/daerah dengan kewajiban


mengembalikan pada jangka waktu tertentu kepada pemberi hutang. Contohnya seperti

hutang luar negeri, hutang antar daerah, dll


Laba perusahaan: sejumlah uang yang diterima pemerintah pusat/daerah yang berasal dari
laba perusahaannya. Contohnya seperti laba BUMN, BUMD.

Sedangkan pembiayaan non-konvensional pada dasarnya merupakan inovasi sumber-sumber


penerimaan yang tidak dibatasi oleh sumber penerimaan pajak dan bukan pajak dimana terdiri atas
kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Secara teoritis, modal bagi pembiayaan
pembangunan dapat diperoleh dari 3 sumber dasar yakni pemerintah/public, swasta/private, dan
gabungan antar keduanya.

Kerjasama Pemerintah Swasta dalam Pembiayaan Pembangunan


Pendekatan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) sudah banyak dilakukan dalam
membiayai pembangunan infrastruktur di berbagai negara. Pada hakekatnya KPS dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan spesifik proyek. Beberapa varian definisi KPS, antara lain,
adalah (Bult-Spiering and Dewulf, 2006):
1.

KPS sebagai reformasi manajemen ketika fungsi pemerintahan dan birokrasi mengalami
perubahan dan pencerahan dari interaksinya dengan manajemen profesional yang biasanya

2.

dimiliki oleh sektor swasta.


KPS adalah kerjasama yang melembaga dari sektor publik dan sektor swasta yang bekerja
bersama untuk mencapai target tertentu ketika kedua belah pihak menerima risiko investasi

3.

atas dasar pembagian keuntungan dan biaya yang dipikulnya.


KPS adalah kerjasama antara pemerintah dan swasta yang menghasilkan produk atau jasa
dengan risiko, biaya, dan keuntungan ditanggung bersama berdasarkan nilai tambah yang
diciptakannya.
KPS merupakan alat untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kualitas produk-produk

dan pelayanan publik. Tujuan bersama yang hendak dicapai dengan menggunakan skema KPS ini,
antara lain, adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya, meningkatkan
kualitas produk-produk dan pelayanan publik, dan adanya pembagian modal, risiko, dan kompetensi
atau keahlian sumber daya manusia secara bersama-sama.

Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pembiayaan Transportasi Perkotaan


Pembiayaan transportasi perkotaan melibatkan berbagai actor, semuanya memainkan peran
yang berbeda-beda namun sama pentingnya. Aktor-aktor tersebut, antara lain:

Pemerintah kota : Bertanggung jawab untuk mengumpulkan sumber dana lokal,


mengkoordinasi pendanaan, menerapkan kebijakan, dan dalam berbagai Negara secara

langsung mengoperasikan transportasi publik.


Pemerintah nasional dan daerah provinsi : Bertanggung jawab mengumpulkan sumber dana
dalam tingkat nasional/regional, dan menetapkan peraturan dalam mengalokasikan dan

mendistribusi ulang sumber dana si antara tingkat nasional dan lokal.


Warga Negara : Pengguna transportasi kota, pembayar pajak, membayar biaya dan ongkos,

serta bertanggung jawab akan kebijakan public sebagai pemilih.


Organisasi Donor Internasional : Penyedia dana (melalui Official Development AssistanceODA/Bantuan Teknis), transfer teknologi dan pengetahuan, serta mengedepankan

pemerintahan yang baik.


Sektor swasta : Operator transportasi publik, pembuatan kendaraan, dan penyedia
infrastruktur. Beberapa dari pelayanan ini disediakan secara tidak formal.
Semua pemangku kepentingan perlu diperhitungkan dalam mengembangkan kerangka

pembiayaan yang efektif untuk transportasi perkotaan. Mengingat keterbatasan sector publik dalam
membiayai secara langsung (melalui pendapatan pajak secara umum), hal-hal berikut ini penting
untuk dipertimbangkan :

Pelibatan sektor swasta untuk membangun, mengoperasikan, dan membiayai infrastruktur


transportasi perkotaan dan jasa (termasuk angkutan umum), didukung dengan kerangka

regulasi yang kuat/kontrak kerja yang secara efektif mengelola kegiatan sektor swasta.
Kebijakan yang mengarah pada penerimaan langsung dari pengguna transportasi
khususnya pengguna kendaraan pribadi, untuk menutup biaya pembangunan infrastruktur
dan layanan yang sebelumnya dibiayai oleh pendapatan umum, serta biaya eksternalitas yang
dibuat para pengguna dan diderita oleh masyarakat secara umum.

(Pembiayaan Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan: Modul 1f)

D.

Pembahasan (Critical Review)


Bus Transjakarta atau busway adalah salah satu transportasi cepat massal yang merupakan

solusi kemacetan untuk DKI Jakarta. Transjakarta Busway mulai dioperasikan pada tanggal 15
Januari 2004 dan merupakan program unggulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk
pengembangan transportasi publik berbasis bus. Transjakarta Buswaymerupakan pionir reformasi

angkutan umum yang memprioritaskan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan keterjangkauan bagi
masyarakat.
Sarana dan prasarana Transjakarta dirancang secara khusus yang berfungsi sebagai sistem
transportasi yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah cukup besar. Infrastruktur,
pengelolaan, pengendalian dan perencanaan sistem TransjakartaBusway disediakan oleh Pemerintah
Daerah DKI Jakarta, sementara kegiatan operasional bus dan penerimaan pembayaran dari sistem
tiket dikerjasamakan dengan pihak swasta.
Dalam upaya pengelolaan bus Transjakarta, Gubernur Propinsi DKI Jakarta telah membuat
suatu keputusan Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan
Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi DKI Jakarta. Dalam keputusan tersebut, dibentuk Badan
Pengelola yang bertanggung jawab mengelola sistem angkutan umum busway. Dalam urusan
pembiayaan pelaksanaan kegiatan Badan Pengelola dibebankan pada APBD dan sumber dana lain
yang sah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada 27 Maret 2014, Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu Joko Widodo meresmikan
pembentukan BUMD PT. Transjakarta. BUMD PT. Transjakarta adalah badan yang mengurusi,
mengatur, dan mengelola secara khusus mengenai bus Transjakarta. Dalam melaksanakan tugasnya,
BUMD PT. Transjakarta berpedoman padaPerda Transportasi Daerah dan Perda Pembentukan BUMD
PT.

Transjakarta.

Perda

tersebut

diresmikan

pada

akhir

2013

lalu.

(http://www.dprd-

dkijakartaprov.go.id/). Pada Perda tersebut dijelaskan secara rinci mengenai tata cara pengelolaan bus
Transjakarta. BUMD PT. Transjakarta pada awalnya mempunyai modal sebesar Rp 1,5 triliun, dengan
modal dari Jakpro sebesar Rp 10 miliar. Target jangka pendek yang dilakukan BUMD PT.
Transjakarta

saat

ini

adalah

melakukan

pembenahan

terhadap

pelayanan

bus

Transjakarta. (www.tempo.co)
Dalam artikel online surat kabar Bisnis Indonesia yang ditulis pada bulan Juli 2014 lalu,
menyebutkan bahwa Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengalami kesulitan dalam pengadaan armada
bus Transjakarta. Selain disebabkan karena kurangnya sumber pembiayaan juga disebabkan karena
rumitnya sistem pengadaan armada jika melalui Dinas Perhubungan DKI Jakarta.Pengadaan armada
bus Transjakarta melalui Dinas Perhubungan membutuhkan waktu yang lama karena ada sistem
pengawasan untuk melihat kualitas armada bus tersebut. Untuk menguji kualitas armada bus tersebut,
dibutuhkan vendor assesment dan vendornya pun harus dinilai. Armada bus tersebut diimpor dan
harus dilakukan inspeksi bus terlebih dahulu atau pre delivery inspection. Inspeksi juga dilakukan
setelah armada bus tersebut tiba di Jakarta. Kendala-kendala tersebut akhirnya membuat Kepala Dinas
Perhubungan DKI Jakarta menyetujui rencana Pemerintah Propinsi untuk mengalihkan pembelian
armada bus Transjakarta kepada BUMD PT. Transjakarta. Sebenarnya memang sudah seharusnya
pengadaan armada bus Transjakarta dibebankan kepada BUMD PT. Transjakarta. Akan tetapi,

disebabkan karena BUMD PT. Transjakarta baru saja diresmikan sehingga segala proses yang
berkaitan dengan pengelolaan ataupun pengadaan bus Transjakarta belum sepenuhnya diatur oleh
BUMD PT. Transjakarta atau dalam artian belum sepenuhnya BUMD PT. Transjakarta lepas dengan
Dishub DKI Jakarta yang sebelumnya mengatur urusan bus Transjakarta.
Menurut Kepala Dishub DKI Jakarta, jika pembelian dialihkan ke BUMD PT. Transjakarta
maka mereka bisa melakukan kerja sama dengan pihak swasta sebagai investor ataupun operator,
contohnya Perum Damri. Saat ini Perum Damri merupakan investor dan operator bus Transjakarta di
Koridor I (Blok M-Kota) dan Koridor VIII (Lebakbulus-Harmoni). Sedangkan di Koridor XI
(Kampung Melayu-Pulogebang), Damri bertindak sebagai operator. Untuk pembiayaannya,
Transjakarta yang dulunya Badan Layanan Umum (BLU) tetapi, sekarang sudah menjadi BUMD PT.
Transjakarta, maka Transjakarta tidak mendapat subsidi dari Pemerintah Propinsi seperti sebelumnya.
BUMD PT. Transjakarta hanya mendapat penyertaan modal dan saham dari Pemerintah Propinsi.
Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Propinsi, BUMD PT. Transjakarta dan
Perum Damri sebagai pihak swasta merupakan bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
atau Public Private Partnership (PPP).Dalam pembiayaan pembangunan, KPS adalah langkah efektif
yang dapat dilakukan karena berguna untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kualitas
produk-produk dan pelayanan publik, dalam hal ini bus Transjakarta. Tujuan bersama yang hendak
dicapai dengan menggunakan skema KPS ini, antara lain, adalah untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi dalam pelaksanaannya, meningkatkan kualitas produk-produk dan pelayanan publik, dan
adanya pembagian modal, risiko, dan kompetensi atau keahlian sumber daya manusia secara bersamasama. Melalui bentuk kerja sama ini juga dilakukan bagi tugas dan bagi hasil antara BUMD PT.
Transjakarta, Pemerintah Propinsi, dan Perum Damri. Selain akan lebih ringan, dengan menggunakan
kerjasama Pemerintah-Swasta maka persoalan-persoalan pembiayaan pun dapat diminimalisir.

E.

Kesimpulan
Adanya bus Transjakarta merupakan solusi konkrit dari Gubernur DKI Jakarta untuk

mengatasi kemacetan di DKI Jakarta karena terlalu banyak kendaraan pribadi. Dengan adanya bus
Transjakarta tersebut diharapkan preferensi masyarakat dalam memilih moda angkutan beralih ke bus
Transjakarta sebagai angkutan umum yang mengutamakan keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan
keterjangkauan. Akan tetapi, tujuan utama tersebut tidak akan tercapai jika tidak adanya kerja sama
antara pemerintah, swasta, dan partisipasi masyarakat. Tingkat pelayanan yang baik akan mendorong
masyarakat memilih moda angkutan umum tersebut. Namun, pelayanan yang baik bukan tanpa biaya.
Biaya perawatan, pengelolaan, maupun pengadaan armada bus mutlak diperlukan setiap beberapa
waktu sekali.

Dengan adanya Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS), maka pembiayaan terhadap pengelolaan bus
Transjakarta menjadi lebih ringan dan meminimalisir terjadinya persoalan.

DAFTAR PUSTAKA
Herbowo, Novian. 2012. Studi persepsi pengguna transjakarta pada koridor ii (pulogadungharmoni). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 23 No. 1, April 2012, hlm.37 50
Fitriati, Rachma. 2010. Gagalkah Transjakarta?. Jurnal Manajemen Bisnis Vol. 3 No. 1
Susanto,

Bambang;

Mohammed

Ali

Berawi.

2012. Perkembangan

Kebijakan

Pembiayaan Infrastruktur Transportasi Berbasis Kerjasama Pemerintah Swasta Di Indonesia. Jurnal


Transportasi Vol. 12 No. 2 Agustus 2012: 93-102

Anda mungkin juga menyukai