Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teori Pasca Ketergantungan

Teori Pasca Ketergantungan merupakan reaksi terhadap Teori


Ketergantungan, tetapi belum memiliki nama sendiri sebagai satu kelompok. Teori
ini bisa disebut sebagai Teori tentang Pembangunan, yang dimana muncul setelah
adanya Teori Ketergantungan.

2.2 Teori Liberal

Teori liberal pada dasarnya tidak banyak dipengaruhi oleh teori ketergantungan,
teori liberal tetap berjalan seperti sebelumnya yakni mengukuti asumsi-asumsi
bahwa modal dan investasi adalah masalah utama dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Kritik terhadap teori liberal pada umumnya berkisar pada ketajaman
definisi dari teori ketergantungan. Definisi yang ada dianggap terlalu kabur, sulit
dijadikan sesuatu yang operasional. Tanpa kejelasan dan ketajaman konsep-konsep
dasarnya, teori ketergantungan lebih merupakan sebuah retorika belaka. Agar
konsep ketergantungan dapat di pakai untuk menyusun teori, maka ada dua kriteria
yang harus dipenuhinya, yaitu:

Gejala ketergantungan ini harus hanya ada di negara-negara yang


ekonominya mengalami ketergantungan dan tidak di negara yang tidak tergantung
dengan negara lain.
Gejala ini mempengaruhi perkembangan dan pola pembangunan di negara-negara
yang tergantung.

Dari penelitiannya terhadap aspek ekonomi dan sosiopolitik dari gejala


ketergantungan, Lall melihat bahwa gejala ini juga terdapat di negara-negara yang
dianggap tidak tergantung. Misalnya tentang dominasi modal asing. Dalam hal ini,
Kanada dan Belgia akan lebih tergantung daripada India atau Pakistan. Tetapi sulit
sekali memasukkan Kanada dan Belgia ke dalam kelompok negara-negara yang
tergantung, karena tingkat kemakmurannya yang tinggi. Baik dominasi maupun
ketergantungan merupakan gejala yang umum yang ada di negara-negara pusat
maupun pinggiran.

Teori liberal pada dasarnya tidak banyak dipengaruhi oleh teori ketergantungan.
Teori liberal tetap berjalan seperti sebelumnya, yakni mengikuti asumsi-asumsi
bahwa modal dan investasi adalah masalah utama dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Teori yang dianut oleh para ahli ekonomi ini lebih mengembangkan diri
pada keterampilan teknisnya, yakni bagaimana membuat table input-output yang
baik, bagaimana mengukur keterkaitan diantara berbagai sector ekonomi dan
sebagainya. Tentu saja bukan tidak berguna. Tetapi, yang kurang dipersoalkan
adalah bagaimana faktor politik bisa dimasukkan ke dalam model mereka.
2.3 BILL WARREN
Warren membantah inti teori ketergantungan, yakni bahwa perkembangan
kapitalisme di negara-negara pusat dan pinggiran berbeda. Kapitalisme di negara
mana pun sama. Oleh karena itu, tesis Warren cenderung menjadi ahistoris dan
dekat dengan teori para ahli ilmu sosial liberal.

Inti dari kritik Warren adalah bahwa dalam kenyataannya, negara-negara yang
tergantung menunjukkan kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi dan proses
industrialisasinya. Bahkan kemajuan ini menunjukkan bahwa negara-negara yang
tergantung ini sedang mengarah pada pembangunan yang mandiri.

Berlawanan dengan pandangan kaum Marxis, bukti-bukti empiris menunjukkan


bahwa prospek bagi sebuah pembangunan kapitalis yang berhasil di negara-negara
berkembang ternyata baik. Pembangunan yang berhasil di negara-negara Asia
Timur dan Tenggara dianggap sebagai salah satu bukti bahwa kapitalisme memang
masih bugar, masih terus bisa mengembangkan dirinya. Warren menunjukkan data-
data yang memperlihatkannya bahwa setelah perang dunia kedua, anggapan akan
adanya keterbelakangan di negara-negara pinggiran hanya merupakan ilusi belaka.
Ada enam pokok yang dibahasnya, yakni ;
1. Masalah PNB perkapita,
2. Masalah kesenjangan sosial,
3. Masalah marginalisasi, dimana orang jadi tersingkir dari lapangan kerjanya,
4. Masalah produksi yang diarahkan pada barang-barang mewah dan bukan
barang pada kebutuhan pokok,
5. Masalah industrialisasi,
6. Masalah kapitalisme.

Dari data statistik yang dikumpulkannya, Warren membuktikan bahwa apa yang
diramalkan oleh teori ketergantungan ternyata tidak benar. Oleh karena itu, dia
menyimpulkan : “Jadi, berlawanan dengan pendapat umum yang ada, dunia ketiga
tidak mengalami kemandekan secara relatif maupun absolut setelah perang dunia
ke dua. Sebaliknya, kemajuan yang berarti dalam hal kemakmuran material dan
pembangunan kekuatan produksi telah tercapai, dengan kecepatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan keadaan sebelum perang. Kenyataan ini juga berlawanan
dengan pandangan kaum Marxis yang menyatakan bahwa pembangunan nasional
yang mengikuti jalan kapitalis bisa terjadi di dunia ketiga”.

Bagi Warren, tidak bisa dicegah lagi bahwa kapitalisme akan berkembang dan
menggejala di semua negara di dunia ini. Baru setelah kapitalisme berkembang
sampai mencapai titik jenuhnya, perubahan ke sosialisme dimungkinkan. Karena itu,
memaksakan perubahan ke sosialisme sekarang juga merupakan hal yang sia-sia,
karena pada saat ini perkembangan kapitalisme belum mencapai titik jenuhnya.
Karena itu, perkembanngan kapitalisme di Negara-negara pinggiran masih
dimungkinkan. Pembangunan yang berhasil di Negara-negara Asia Timur ( Korea
Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura) dianggap sebagai salah satu bukti
bahwa kapitalisme memang masih tumbuh subur, masih terus bisa mengembangkan
dirinya.
2.4 Teori Artikulasi

Munculnya teori ini dikarenakan ketidakpuasan terhadap teori


ketergantungan karena pada dasarnya pembangunan dan industrialisasi memang
terjadi di negara-negara terbelakang. Pertama dikembangkan oleh antropolog
Perancis, seperti Claude Meillassoux dan Pierre Phillippe Rey. Teori ini melihat
persoalan keterbelakangan dalam lingkungan proses produksi, artinya
keterbelakangan di negara-negara Dunia Ketiga harus dilihat sebagai kegagalan dari
kapitalisme untuk berfungsi secara murni, sebagai akibat dari adanya cara produksi
lain di negara-negara tersebut.

Teori artikulasi bertitik tolak dari konsep Formasi Sosial. Dalam Marxisme dikenal
konsep cara produksi (mode of production), misalnya cara produksi feodal, cara
produksi kapitalis, dan cara produksi sosialis, yang ketiganya memiliki perbedaan.
Misal dalam kapitalisme terdapat pasar bebas, akumulasi modal yang cepat dan
sebagainya. Namun, kenyataan yang sesungguhnya dalam masyarakat tidak hitam
putih seperti itu. Adanya cara peralihan seperti dari cara produksi feodal ke kapitalis
bukan terjadi pada hitungan hari, tetapi memakan waktu yang lama dan pada waktu
peralihan yang lama inilah terjadi percampuran dari dua atau lebih cara produksi.
Oleh karena itu, gejala di mana beberapa cara produksi ada bersama disebut
dengan formasi sosial.

Jika teori ketergantungan melihat bahwa kapitalisme yang menggejala di negara-


negara pinggiran berlainan dengan kapitalisme yang menggejala di negara-negara
pusat, maka teori artikulasi berpendapat bahwa kapitalisme di negara-negara
pinggiran tidak dapat berkembang karena artikulasinya, atau kombinasi unsur-
unsurnya tidak efisien. Dengan kata lain, kegagalan dari kapitalisme di negara-
negara pinggiran bukan karena yang berkembang di sana adalah kapitalisme yang
berbeda, tetapi karena koeksistensi cara produksi kapitalisme dengan cara produksi
lainnya (kemungkinan) saling menghambat.

Teori Artikulasi bertitik tolak dari konsep formasi sosial. Dalam Marxisme dikenal
konsep cara produksi. Masing-masing cara produksi mempunyai ciri yang berlainan
dengan cara produksi lainnya. Namun dalam kenyataannya di dalam masyarakat
selalu terdapat lebih dari satu cara produksi secara bersama-sama. Inilah yang
disebut formasi sosial, yaitu gejala dimana beberapa cara berproduksi ada bersama.

Dalam teori artikulasi kapitalisme di negara-negara pinggiran tidak bisa


berkembang karena artikulasinya atau kombinasi unsur-unsurnya tidak efisien. Ada
banyak unsur penghambatnya. Bagi teori artikulasi kegagalan dari kapitalisme di
negara-negara pinggiran bukan karena yang berkembang di sana adalah
kapitalisme yang berbeda, tetapi karena koeksistensi cara produksi kapitalisme
dengan cara produksi lainnya bersifat saling menghambat. Teori artikulasi disebut
juga sebagai teori yang memakai pendekatan cara produksi. Pada teori ini,
persoalan keterbelakangan dilihat dalam lingkungan proses produksi. Bagi teori
artikulasi, keterbelakangan di negara-negara dunia ketiga harus di dilihat sebagai
kegagalan dari kapitalisme untuk berfungsi secara murni. Sebagai akibat dari
adanya cara produksi lain di negara-negara tersebut.
2.5 Teori Sistem Dunia Menurut Immanuel Wallerstein

Teori Sistem Dunia dari Wallerstein, misalnya, terdapat persamaan dengan Teori
Ketergantungan A.G. Frank. Keduanya melihat negara tidak bisa dianalisis secara
mandiri, terpisah dari totalitas sistem dunia. Bedanya, Frank melihat hubungan
antara negara pinggiran dan negara pusat sebagai hubungan yang selalu merugikan
negara yang pertama, Wallerstein tidak sepesimis itu. Bagi Wallerstein, dinamika
sistem dunia, yakni kapitalisme global, selalu memberikan peluang bagi negara-
negara yang ada untuk naik atau turun klas. Sistem dunia yang dulu memberi
keunggulan pada negara-negara yang bisa menghasilkan komoditi primer, pada saat
lain keunggulan ini beralih kepada negara-negara yang mengembangkan
industrinya. Sistem dunia ini juga yang kemudian memberi kesempatan kepada
negara-negara pinggiran yang sudah siap mengambil alih kesempatan untuk
melakukan produksi barang-barang yang sudah tidak menguntungkan lagi di
negara-negara pusat, karena upah buruh yang meningkat (Budiman, 2000:111-112).

Teori Sistem Dunia sebenarnya sangat sederhana. Menurut Wallerstein, dulu dunia
dikuasai oleh sistem-sistem kecil dalam bentuk kerajaan-kerajaan mini. Masing-
masing tidak saling berhubungan, kemudian terjadi penggabungan, baik melalui
penaklukan maupun secara sukarela. Meskipun kerajaan besar itu tidak sampai
menguasai seluruh dunia, tetapi karena besarnya mampu mengendalikan
kawasannya melalui sebuah sistem politik. Tetapi sekarang, telah muncul sistem
perekonomian dunia, maka sistem politik tak lagi menjadi alat untuk menguasai
dunia, melainkan melalui pertukaran di pasar, atau yang disebut oleh Wallerstein
sebagai kapitalisme global. Kemudian ia membagi tiga kelompok negara: Pusat,
setengah-pinggiran dan pinggiran. Tetapi dinamika dari ketiga kelompok negara ini
ditentukan oleh sistem dunia. Bagi Wallerstein, semua sistem sosial harus dilihat
sebagai sebuah keseluruhan. Negara kebangsaan dalam sebuah dunia yang
modern, bukan lagi sebuah sistem yang tertutup dan karena itu tidak bisa dianalisis
seakan-akan mereka berdiri sendiri (Budiman, 2000:109). Tetapi kritik yang
diberikan kepada Teori Sistem Dunia dari Wallerstein adalah perhatiannya yang
kurang terhadap struktur internal dari negara-negara yang ada. Dinamika utama
diberikan kepada faktor-faktor eksternal. Kalau pada Teori Ketergantungan, faktor
eksternal ini adalah negara-negara pusat yang lebih kuat, pada Teori Sistem Dunia
faktor eksternal ini adalah sistem dunia yang merupakan hasil interaksi dari negara-
negara yang ada (Budiman, 2000:112).

Dengan demikian Teori Sistem Dunia dari Wallerstein berlainan dengan Teori
Artikulasi yang lebih menekankan analisisnya pada kondisi internal yang ada di
dalam negeri negara-negara yang diteliti. Teori Artikulasi yang mula-mula
dikembangkan oleh para antropolog Perancis seperti Claude Meillassoux dan Pierre
Philippe Rey, disebut juga sebagai teori yang memakai pendekatan cara produksi.
Pada teori ini, persoalan keterbelakangan dilihat dalam lingkungan proses produksi.
Menurut Teori Artikulasi, keterbelakangan di negara-negara Dunia Ketiga harus
dilihat sebagai kegagalan dari kapitalisme untuk berfungsi secara murni, sebagai
akibat dari adanya cara produksi lain di negara-negara tersebut. Tiap-tiap negara
tentunya mempunyai kombinasi cara-cara produksi yang unik, yang satu berbeda
dari yang lainnya, sebagai akibat dari perbedaan proses perjalanan sejarah masing-
masing. Karena itu, keterbelakangan harus dipelajari secara kasus demi kasus.
Dengan prinsip inilah Teori Artikulasi menjadi lebih luwes daripada Teori
Ketergantungan. Teori Artikulasi bukan saja bisa menjelaskan gejala
keterbelakangan di Dunia Ketiga, tetapi juga mengapa bisa terjadi pembangunan di
bagian dunia tersebut (Budiman, 2000:106-107).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori sistem ilmiah berlainan dengan teori artikulasi yang lebih


mementingkan analisi pada kondisi internal yang ada di negari-negara yang di teliti.
Teori Artikulasi dan teori sistem dunia merupakan dua teori baru dalam kelompok
teori-teori baru yang mencoba memecahkan masalah-masalah yang terdapat pada
teori ketergantungan. Tetapi sambil memecahkan persoalan-persoalan yang ada,
teori-teori ini juga menciptakan persoalan-persoalan baru.

3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini yang telah kami buat mudah-mudahan pembaca
dapat mengambil hikmah dari meteri tentang Teori Pasca Ketergantungan, kami
harap kritik yang membangun demi menyempurnakannya makalah ini. Terimakasih

TEORI NEO LIBERALISME

Pembangunan Neoliberalisme dan Munculnya kesenjangan Pembangunan mula-


mula dipakai dalam arti pertumbuhan ekonomi. Suatu masyarakat atau negara dinilai
berhasil melaksanakan pembangunan apabila pertumbuhan ekonomi masyarakat
tersebut cukup tinggi. Dengan kata lain, yang diukur adalah produktivitas
masyarakat atau negara ditambah dengan konsumsinya setiap tahunnya. Dalam
bahasa teknis ekonominya, seberapa besar Produk Nasional Bruto (PNB) dan
Produk Domestik Bruto (PDB) yang mampu di-generate (Budiman, 2000: 2).
Memasuki era 1980an, berkembang sebuah model yang menjadikan pasar sebagai
penuntun dalam pembangunan. Model ini dikenal dengan liberal neo-klasik atau
neoliberalisme. Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi tetap menjadi prioritas tapi
dengan penekanan pada: (1) Disiplin fiskal: defisit budget pemerintah haruslah tidak
lebih dari 2 persen GDP; (2) Prioritas belanja publik: pengeluaran untuk belanja
publik harus dikurangi; (3) Reformasi pajak: insentif dan kemudahan bagi pengusaha
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pajak; (4) Liberalisasi finansial:
tingkat bunga yang ditentukan oleh pasar; (5) Nilai tukar: bunga bank yang kompetitif
untuk mamacu ekspor non-tradisional; (6) Liberalisasi perdagangan: segala restriksi
pada impor harus dirubah dan tidak lebih dari 10 % dalam tempo waktu 3 -10 tahun;
(7) Investasi asing langsung; penghapusan segala bentuk halangan terhadap
masuknya investasi asing; (8) Privatisasi: penjualan kepemilikan perusahaan-
perusahaan negara kepada pihak swasta; (9) Deregulasi: penghapusan regulasi
yang menghalangi kompetisi pasar; (10) Hak kekayaan intelektual; sistem hukum
yang ada harus melindungi kekayaan intelektual tanpa tarif yang berlebihan.
(Williamson dalam Peet dan Hatrwick, 1999: 51). Selain sepuluh kebijakan di atas
(yang dikenal dengan Konsensus Washington atau Structural Adjustment Programs
atau SAP), juga diperkenalkan model reformasi perburuhan yang menggunakan
sistem fleksibilitas untuk menghasilkan upah buruh yang lebih murah (Munck, 2003:
53). Dari kebijakan-kebijakan tersebut di atas, menurut penjaga gawangnya (IMF
dan Bank Dunia), akan tercapai tiga hal : (1) Terbukanya pasar dalam negeri yang
menyatu ke dalam pasar global; (2) Berkurangnya intervensi pemerintah terhadap
perekonomian dan meningkatkan peranan kementrian perekonomian melalui disiplin
fiskal, anggaran berimbang, dan reformasi pajak; (3) Meningkatkan signifikansi
pasar dalam alokasi sumber daya dan menjadikan sektor swasta sebagai instrument
utama dalam pertumbuhan ekonomi. (Gwynne dalam Kirby, 2003: 56). Kebijakan-
kebijakan liberal neo-klasik ini kemudian dianut oleh hampir semua negara. Menurut
David Harvey dalam Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (2009), saat ini
hampir tidak ada negara yang tidak menganut neoliberalisme. Negara-negara
kesejahteraan tua-pun seperti Selandia Baru dan Swedia juga turut mengadopsi
model ini, walaupun tidak secara keseluruhan. Model pembangunan yang bias kelas
ini menjadikan kelas the haves, dengan kekuatan kapitalnya, mendapatkan ruang
yang begitu luas dalam perekonomian, sementara di sisi lain, kelas pekerja –yang
upahnya menurun akibat sistem fleksibiltas- dan rakyat miskin –yang subsidinya
dikurangi atau dicabut- semakin termarjinalkan. Terpolarisasinya kekayaan ke
tangan segelintir the haves menjadikan kesenjangan di dunia semakin melebar
dalam beberapa dasawarsa terakhir. Laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada
tahun 1992 memperkirakan bahwa 20 persen dari populasi dunia yang tinggal di
negara-negara maju, memperoleh 82,7 persen dari total pendapatan dunia,
sementara 20 persen lainnya yang tinggal di negara-negara miskin memperoleh 1,4
persen. Pada tahun 1989, rata-rata pendapatan dari 20 persen masyarakat yang
hidup di negara-negara paling kaya mencapai 60 kali lebih tinggi daripada 20 persen
yang hidup di negara-negara paling miskin. Rasio ini merupakan dua kali rasio tahun
1950, yang sebesar 30 kali (Khor dalam Winarno, 2007: 84). Sementara di negara-
negara berkembang, misalnya dalam konteks Indonesia, neoliberalisme
menghasilkan 40 persen kelompok penduduk berpendapatan terendah makin
tersisih. Kelompok penduduk ini hanya menikmati porsi pertumbuhan ekonomi 19,2
persen pada 2006, makin mengecil dari 20,92 persen pada 2000. Sebaliknya, 20
persen kelompok penduduk terkaya menikmati peningkatan pertumbuhan ekonomi
dari 42,19 persen menjadi 45,72 persen dalam rentang waktu yang sama

Anda mungkin juga menyukai