Anda di halaman 1dari 24

PENTINGNYA KOMITMEN NASIONAL UNTUK

PEMBANGUNAN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Administrasi
Pembangunan
Dosen Pengampu:
Drs. Mubarok, M.Si

Disusun Oleh:
Kelompok 8
Alifatu Lela Mazidah (1178010019)
Alliy Agustiani Nusrillahi (1178010021)
Anisa Uswatun Hasanah (1178010027)

Semester V Kelas A

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019 M/1441 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah


SWT, yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Pentingnya Komitmen Nasional untuk
Pembangunan”. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang senantiasa membawa kita kepada jalan keridhaan Allah
SWT.
Makalah ini disusun demi memenuhi tugas Mata Kuliah Administrasi
Pembangunan. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak
kelemahan dan kekurangan baik bahasan, penyusunan maupun penulisannya.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran khususnya dari dosen mata
kuliah yang bersangkutan agar menjadi bekal untuk bisa lebih baik lagi dimasa
yang akan datang.
Bandung, September 2019

Penyusun

vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................vi

DAFTAR ISI......................................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1

C. Tujuan ..................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Polarisasi Dunia ...................................................................................................... 3

1. Polarisasi di Bidang Politik ................................................................................. 3

2. Polarisasi di Bidang Ekonomi ............................................................................. 8

B. Komitmen Nasional: Conditio Sine Qua Non Keberhasilan Pembangunan ......... 13

1. Elit Politik dan Peranannya ............................................................................... 13

2. Elit Administrasi dan Peranannya ..................................................................... 14

3. Elit Cendekiawan dan Peranannya .................................................................... 15

4. Elit Bisnis dan Peranannya ............................................................................... 16

5. Elit Militer dan Peranannya .............................................................................. 18

BAB III SIMPULAN ........................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 21

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dewasa ini sering terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengan
arah yang telah direncanakan sebelumnya, seperti terhambatnya
pembangunan tersebut, pengurangan kualitas hasil pembangunan, dan juga
sering terjadi konflik sosial antara aparatur pemerintahan dengan
masyarakat. Pembangunan pasti memiliki tantangan dari arah manapun
seperti ekonomi, politik, sosial budaya dan lain-lain. Dan tantangan
tersebut pasti mempengaruhi keefektifan proses pembangunan.
Pembangunan bukan hanya diartikan sebagai bangunan fisik, akan
tetapi pembangunan merupakan perubahan. Sebagai manusia kita hidup di
dunia yang penuh perubahan. Dengan demikian berarti kita perlu
senantiasa “berubah”, dan sangat diperlukan komitmen untuk perubahan
yang berkemajuan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana polarisasi dunia?
2. Bagaimana polarisasi bidang politik?
3. Bagaimana polarisasi bidang ekonomi?
4. Bagaimana elit politik dan peranannya?
5. Bagaimana elit administrasi dan peranannya?
6. Bagaimana elit cendekiawan dan peranannya?
7. Bagaimana elit bisnis dan peranannya?
8. Bagaimana elit militer dan peranannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui polarisasi dunia
2. Untuk mengetahui polarisasi bidang politik
3. Untuk mengetahui polarisasi bidang ekonomi

1
4. Untuk mengetahui elit politik dan peranannya
5. Untuk mengetahui elit administrasi dan peranannya
6. Untuk mengetahui elit cendekiawan dan peranannya
7. Untuk mengetahui elit bisnis dan peranannya
8. Untuk mengetahui elit militer dan peranannya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Polarisasi Dunia
Dalam upaya memilih dan menentukan strategi pembangunan yang
tepat, suatu negara bangsa harus berangkat dari pandangan bahwa negara
bangsa yang bersangkutanlah yang menjadi “tuan di rumah sendiri”.
“Locus of control” secara nasional harus bersifat internal. Pandangan itu
antara lain berarti bahwa kemampuan sendirilah yang diandalkan
meskipun, karena keterbatasan yang dihadapi, kerja sama dengan negara-
negara lain secara bilateral, multilateral, regional, dan global tetap
diperlukan. Agar usaha memupuk dan mewujudkan kerja sama tersebut
berhasil, perlu dipahami bentuk-bentuk polarisasi yang ada di dunia
dewasa ini.
1. Polarisasi di Bidang Politik
Meskipun Perang Dunia II telah berakhir lebih dari setengah
abad yang lalu dan Perang Dingin pun sudah usai pada akhir
dekade delapan puluhan, namun umat manusia belum bebas dari
perasaan takut, kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan. Memang
menggembirakan untuk dicatat bahwa beberapa negara yang
tadinya menganut ideologi komunis terjadi pergeseran persepsi
tentang pentingnya pendekatan ideologi dan politik untuk
mengelola negara dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat
beralih menjadi pendekatan ekonomi berdasarkan mekanisme
pasar.
Salah satu bukti nyata dari pergeseran persepsi tersebut ialah
jatuhnya pemerintahan berhaluan komunis dan bahkan bubarnya
beberapa negara berhaluan tersebut dan timbulnya pemerintahan
yang mencerminkan filsafat politik yang mengatakan bahwa
kedaulatan suatu negara berada di tangan rakyat. Dengan perkataan
lain, terjadi proses pemberdayaan rakyat dalam menentukan

3
kehidupan politik yang ingin ditempuhnya. Bahkan terdapat negara
yang meskipun mengaku masih menganut paham komunisme atau
sosialisme tetapi sudah semakin terbuka dan makin transparan
dalam interaksinya dengan negara-negara lain.
Jika di dunia pernah dikenal Blok Barat, Blok Timur, dan
Negara-negara Non Blok, kenyataan menunjukkan bahwa
polarisasi di bidang politik seperti itu tidak lagi menonjol.
Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa negara-negara
tertentu –terutama yang tergolong sebagai negara besar sudah
menghentikan upayanya untuk memperluas dan memperkuat
hegemoninya di bidang politik.
Implikasinya di Bidang Militer: Merupakan kenyataan sejarah
bahwa pada era Perang Dingin, terjadi perlombaan pemupukan
kekuatan di bidang militer, bukan hanya dalam arti jumlah anggota
angkatan bersenjata akan tetapi terutama dalam bidang peralatan
perang dan persenjataan yang sangat “canggih”, yang kesemuanya
tersimpul dalam apa yang dikenal sebagai “Weapons of Mass
Destruction” (WMD), khususnya senjata nuklir. Bahkan ketika itu
makin banyak negara yang ingin memiliki kemampuan untuk
menghasilkan sendiri senjata nuklir dengan daya pemusnahnya
yang sangat dahsyat.
Tidak sedikit pakar militer pada waktu itu yang memperkirakan
bahwa seandainya bom nuklir yang dimiliki oleh berbagai negara
diledakkan sekaligus, setiap manusia di bumi ini akan “kebagian”
satu bom yang dahsyatnya sama dengan bom atom yang dijatuhkan
oleh Amerika di atas kota Hiroshima, Jepang pada penghujung
Perang Dunia II yang lalu.
Dengan usainya Perang Dingin, dunia mencatat paling sedikit
lima bentuk implikasi di bidang persenjataan. Pertama: Fenomena
berhentinya perlombaan senjata, khususnya senjata nuklir. Dengan
beberapa pengecualian, yaitu masih kuatnya keinginan negara-
negara tertentu yang dipimpin oleh para despot untuk menjadi
kekuatan nuklir, negara-negara yang tadinya turut berlomba dalam
pemupukan kekuatan militer seperti tercermin dalam besarnya
angkatan bersenjatanya dan arsenal persenjataannya, menghentikan
upayanya untuk maksud-maksud yang ekspansionistik. Kalaupun
peningkatan kekuatan militer terjadi, hal itu hanya dimaksudkan
untuk membela diri dan mempertahankan kemerdekaan serta
kcdaulatan negara bangsa yang bersangkutan. Paling sedikit
demikianlah pernyataan politik yang sering dikumandangkan.
Kedua: Pemusnahan sebagian senjata nuklir yang dimiliki.
Dengan menyadari benar bahwa perlu diambil langkah-langkah
konkret agar ancaman perang nuklir lenyap atau paling sedikit
berkurang, tidak sedikit negarawan dan politisi di negara-negara
yang memiliki senjata nuklir tersebut yang bersedia memusnahkan
senjata nuklir yang dimilikinya. Bahwa pemusnahan total dari
senjata nuklir tersebut belum terwujud merupakan kenyataan yang
harus diterima. Akan tetapi paling sedikit jumlahnya tidak
bertambah banyak.
Ketiga: Dalam hubungan ini menggembirakan pula untuk
dicatat bahwa hampir semua negara di dunia yang sudah
meratifikasi “Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir” (Nuclear
Non Proliferation Treaty) yang telah disepakati oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Memang masih ada beberapa negara yang belum
meratifikasi perjanjian tersebut. Dapat diperkirakan bahwa dengan
menggunakan berbagai forum yang tersedia –baik formal dan
informal– masyarakat dunia akan terus menekan agar semua
negara meratifikasinya. Jika tekanan tersebut berhasil, jumlah
senjata nuklir di dunia akan berkurang dan timbulnya ancaman
Perang Dunia III akan semakin kecil.
Keempat: Pengalihan pemanfaatan teknologi persenjataan.
Teknologi persenjataan termasuk kategori teknologi tinggi dan
amat canggih. Dalam era Perang Dingin dan tahun-tahun yang
mendahuluinya setelah Perang Dunia II berakhir, “industri perang”
dengan teknologi tinggi tersebut merupakan salah satu sektor
industri yang berkembang dengan sangat pesat. Industri perang
bukan hanya merupakan industri yang bermuatan teknologi tinggi,
akan tetapi juga menggunakan modal yang sangat besar serta
mempekerjakan jutaan orang. Penghasilannya pun merupakan
salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting.
Baik dalam arti nilai uang setempat, maupun penerimaan
devisa negara. Akan tetapi dengan berhentinya perlombaan senjata
di antara berbagai negara kuat dan besar, di lingkungan industri
perang tersebut terjadi penurunan kegiatan secara drastis di bidang
produksi senjata. Meskipun benar bahwa pada gilirannya
penurunan kegiatan tersebut menuntut terjadinya restrukturisasi,
yang pada umumnya mengambil bentuk downsizing, kegiatan
perusahaan-perusahaan yang tergolong pada industri perang juga
dituntut untuk mengubah bisnis intinya (core business) menjadi
penghasil berbagai produk “sipil” dengan antara lain bermodalkan
teknologi canggih yang dikuasainya.
Berarti kemampuan industrial yang dimiliki dimanfaatkan
untuk menghasilkan berbagai produk yang mendukung kegiatan
masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang bersangkutan pada khususnya dan umat manusia pada
umumnya.
Kelima: Pengurangan anggaran belanja negara untuk pembelian
perangkat keras persenjataan. Seseorang pemerhati perkembangan
geopolitik dunia tidak perlu menjadi ahli perang untuk dapat
memperkirakan bahwa di dunia dewasa ini ancaman timbulnya
perang berskala dunia sudah sangat berkurang, meskipun tidak
dapat dikatakan sudah sama sekali lenyap. Para negarawan, politisi,
dan tokoh-tokoh militer tampaknya mendukung persepsi demikian.
Salah satu akibat dari persepsi tersebut ialah kesediaan berbagai
negara bangsa untuk mengurangi anggaran belanja yang
diperuntukkan bagi angkatan bersenjata negara yang bersangkutan,
khususnya untuk pengadaan perangkat keras dalam arti senjata
dengan segala bentuknya.
Anggaran belanja yang memadai memang tetap diperlukan baik
untuk kepentingan pemeliharaan arsenal persenjataan yang ada,
untuk pengadaan senjata-senjata baru –terutama yang dimaksudkan
untuk memiliki kemampuan mempertahankan kedaulatan
nasional– pemeliharaan kesejahteraan para prajurit beserta
keluarganya dan untuk berbagai kepentingan lainnya yang tidak
bersifat agresif atau ekspansionistik. Alasan paling kuat untuk
penyediaan anggaran belanja angkatan bersenjata yang memadai
ialah agar terdapat jaminan bahwa negara mempunyai kemampuan
yang benar-benar dapat diandalkan untuk mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatannya, kemampuan yang tinggi untuk
menjaga keutuhan wilayah kekuasaan negara, ketangguhan
menangkal ancaman dan atau serangan yang mungkin datang dari
luar, kemampuan memelihara ketertiban dan keamanan dalam
negeri sendiri.
Perubahan peta geopolitik dunia serta beralihnya pandangan
para negarawan serta politisi di banyak negara –terutama mereka
yang tadinya menggunakan pendekatan ideologi dalam
membangun negaranya– secara teoretis lebih membuka jalan untuk
meningkatkan kerja sama antarnegara di bidang politik yang pada
gilirannya membuka peluang yang lebih besar bagi setiap negara
menyelenggarakan pembangunan politik yang bentuk, proses, dan
pentahapannya disesuaikan dengan filsafat politik yang dianut dan
lingkungan internal yang dihadapinya. Dipandang dari sudut
geopolitik, polarisasi dunia di bidang politik tidak lagi “sejelas” di
masa lalu.
Wujudnya pun terlihat berubah dari polarisasi kekuatan –
termasuk kekuatan militer – menjadi penekanan pada isu-isu
politik seperti demokratisasi, pengakuan dan penghormatan hak-
hak asasi manusia dan sejenisnya yang mempunyai resonansi
dalam berbagai bidang kehidupan lainnya, terutama di bidang
ekonomi.
2. Polarisasi di Bidang Ekonomi
Polarisasi dunia di bidang politik dan ekonomi tidak
dimaksudkan untuk menonjolkan berbagai bentuk perbedaan antara
negara-negara di dunia, melainkan semata-mata untuk memberikan
bahan pemikiran tentang upaya apa yang dapat ditempuh demi
peningkatan kesejahteraan umat manusia meskipun terdapat
perbedaan-perbedaan antara satu negara dengan negara lain.
Mungkin karena mencerminkan kesenjangan ekonomi antara
negara-negara kaya dan negara-negara lainnya di dunia, polarisasi
yang tampak paling menonjol di dunia dewasa ini ialah di bidang
ekonomi. Meskipun di muka telah dibahas tentang klasifikasi
negara-negara di dunia ditinjau dari sudut ekonomi, hal tersebut
diulangi lagi untuk dikaitkan dengan bentuk-bentuk kerja sama
yang mungkin diwujudkan di bidang ekonomi di masa depan.
Sesungguhnya membuat kategorisasi tingkat-tingkat
perekonomian berbagai negara sebagai dasar polarisasi bukanlah
tugas yang mudah. Ini antara lain karena aneka ragam tolak
ukurnya, perubahan atau perkembangan yang terjadi dengan cepat
dan turut berperannya faktor-faktor non-ekonomi. Misalnya dengan
hanya membagi negara-negara di dunia menjadi negara-negara
kaya di satu pihak dan negara-negara miskin di pihak lain memang
sudah menggambarkan polarisasi tersebut meskipun cara demikian
terlalu menyederhanakan maknanya. Seperti diketahui “tingkat-
tingkat” kekayaan dan kemiskinan cukup banyak.
Namun demikian, meskipun secara sederhana dan mungkin
tidak terlalu akurat, kategorisasi tersebut dapat dilakukan, misalnya
dengan menggunakan kriteria pendapatan per kapita, produk bruto
domestik (Gross Domestic Product), tahap industrialisasi, proses
produksi yang mutakhir berkat penguasaan teknologi, kecanggihan
manajemen bisnis, dan penguasaan pangsa pasar global.
Dengan agregasi berbagai kriteria tersebut, negara-negara di
dunia biasanya digolongkan pada negara-negara industri maju,
negara-negara yang berada pada tahap awal industrialisasi, dan
negara-negara terbelakang. Kenyataan menunjukkan bahwa
negara-negara industri maju dan kaya pada umumnya terdapat di
belahan bumi utara dan kebetulan atau tidak, semuanya berada di
Benua Eropa dan Amerika Utara kecuali Jepang. Dikaitkan dengan
mutlak perlunya kerja sama bilateral, regional, multilateral, dan
global di bidang ekonomi, paling sedikit lima faktor perlu
mendapat perhatian, yang apabila tidak diatasi, dapat menjadi
ganjalan.
Pertama: Dengan menggunakan berbagai kriteria yang telah
disinggung di atas, negara-negara tersebut dapat dikatakan
menguasai perekonomian dunia. Bahkan dilihat dari segi tingkat
kesejahteraan masyarakat yang sudah dicapai, negara-negara kaya
tersebut berada jauh di depan dan bahkan ada pakar yang
berpendapat bahwa kesenjangan antara negara-negara kaya dengan
negara-negara lainnya semakin melebar meskipun negara-negara
lain itu telah mencapai hasil-hasil yang sangat menggembirakan
dalam pembangunan perekonomian masing-masing. Kesenjangan
tersebut harus diperkecil karena memang tidak mungkin
dihilangkan sama sekali.
Kedua: Kesediaan mengalihkan penguasaan teknologi canggih,
khususnya yang bertalian dengan proses produksi dan peningkatan
mutu. Hal ini perlu penekanan karena gejala-gejala dan praktek
bisnis yang terlihat menunjukkan bahwa para usahawan di negara-
negara industri maju tersebut tidak mau atau paling sedikit enggan
untuk mengalihkan penguasaan teknologi tersebut kepada para
usahawan di negara-negara lain. Bahkan juga kepada mitra
usahanya yang bersifat aliansi strategis sekalipun. Semata-mata
dilihat dari sudut pandang bisnis, sikap demikian dapat dipahami
karena penguasaan teknologi canggih tersebut merupakan
keunggulan kompetitif bagi mereka. Akan tetapi jika ketidakmauan
dan keengganan tersebut berlanjut, keinginan masyarakat dunia
untuk mengurangi kesenjangan antara negara-negara kaya dan
negara-negara lainnya tidak akan terwujud.
Ketiga: Kesediaan mengalihkan pengetahuan dan keterampilan
manajerial. Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bidang
kehidupan ekonomi di mana terdapat keunggulan dunia usaha di
negara-negara industri maju terletak pada pengetahuan dan
keterampilan manajerial baik dalam arti manajemen umum
(general management), maupun dalam berbagai bidang fungsional
termasuk manajemen produksi, manajemen pemasaran, manajemen
keuangan, manajemen logistik, manajemen sumber daya manusia,
dan manajemen perkantoran. Juga tingginya kemampuan dalam
manajemen berbagai sektor industri seperti industri perbankan,
pasar modal, dan industri jasa lainnya.
Terdapat juga keunggulan dalam hal penyelenggaraan fungsi-
fungsi manajemen. Salah satu faktor pendukung kuat bagi tumbuh
dan terpeliharanya keunggulan tersebut ialah karena dunia usaha di
negara-negara industri maju membudayakan kegiatan penelitian
dan pengembangan, termasuk kesediaan untuk menyisihkan dana
yang cukup besar untuk melakukannya, bukan hanya dalam arti
penelitian terapan (applied research and development) akan tetapi
juga yang bersifat murni dan dasar (pure and basic research).
Dalam lingkungan dunia usaha di negara-negara berkembang dan
terbelakang memang terlihat upaya yang intensif dan ekstensif
untuk menguasai berbagai bidang manajerial tersebut termasuk
kesadaran tentang benarnya pandangan bahwa meskipun
manajemen sebagai disiplin ilmiah mempunyai berbagai prinsip,
rumus-rumus, dan dalil-dalil yang bersifat universal, penerapannya
harus mempertimbangkan faktor-faktor situasional, kondisi, ruang,
dan waktu. Yang kiranya perlu mendapat perhatian yang lebih
besar di masa-masa yang akan datang adalah penumbuhan jiwa
kewirausahaan (enterpreneurship).
Keempat: Penggunaan ekonomi sebagai “senjata” politik.
Tidak sedikit pemerintahan negara-negara maju yang dengan atau
tanpa “lobbying” dunia usaha menggunakan peristiwa-peristiwa
ekonomi tertentu sebagai “senjata” untuk memperoleh apa yang
diinginkannya di bidang politik. Baik secara terang-terangan
maupun secara terselubung dalam “kemasan” bahasa diplomatik,
isu-isu non-ekonomi yang sering “diangkat ke permukaan” antara
lain adalah: hak-hak asasi manusia, demokratisasi ekonomi yang
tidak disertai oleh demokratisasi politik, tidak adanya kebebasan
pers, pemerintahan yang otoriter, adanya tahanan politik, tekanan
kepada orang-orang yang dianggap sebagai “disiden”, dominasi
suatu partai politik, lembaga perwakilan yang hanya berperan
sebagai “stempel karet”, lembaga peradilan yang tidak bebas.
Di samping itu, berbagai isu ekonomi juga sering
dipermasalahkan seperti kebijaksanaan yang protektif, keunggulan
komparatif seperti ongkos produksi yang rendah karena berbagai
badan usaha milik negara mempekerjakan para narapidana,
mempekerjakan anak-anak di bawah umur, diskriminasi dalam
berbagai bentuk berdasarkan jenis kelamin, usia, asal usul, suku
dan ras, keterbatasan pekerja memperoleh haknya, sistem imbalan
yang tidak wajar, larangan mogok, dan tidak berfungsinya serikat
pekerja sebagaimana mestinya. Tuntutan yang dikemukakan ialah
agar hubungan perekonomian dan perdagangan antara negara maju
yang bersangkutan dengan negara-negara tertentu lainnya
berlangsung, isu-isu itu diminta untuk diatasi terlebih dahulu.
Dalam hal penyelesaian tidak terjadi atau tidak sesuai dengan
keinginan dan tuntutan negara maju yang bersangkutan, tidak
jarang diambil tindakan ekonomi yang merugikan negara
berkembang tertentu mulai dari yang keras seperti embargo,
pengenaan sanksi ekonomi, larangan transaksi ekspor dan atau
impor, atau tindakan lainnya. Di pihak lain, negara yang terkena
tindakan seperti itu sering melemparkan “tangkisan” bahwa
tuntutan negara maju itu tidak dapat diterima karena merupakan
salah satu bentuk campur tangan dalam urusan negeri negara lain.
Jika dibiarkan berlanjut, situasi itu tidak mendorong dan tidak
kondusif bagi kerja sama ekonomi dalam rangka peningkatan
kesejahteraan umat manusia.
Kelima: Untuk mengurangi kesenjangan ekonomi yang terdapat
antara negara-negara industri maju dengan negara-negara Dunia
Ketiga, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melakukan berbagai
upaya. Salah satu bentuk upaya tersebut menyangkut badan khusus
yang menangani pengaturan perdagangan dan tarif. Badan khusus
tersebut ialah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan hanya
mengubah namanya dari GATT menjadi World Trade Organization
(WTO), melalui keputusan para menteri dalam sidangnya di
Makaresh, Maroko pada permulaan bulan Desember, 1995 sebagai
tindak lanjut dari serangkaian sidang tingkat menteri mengenai hal
ini yang terkenal dengan istilah “Putaran Uruguay” (Uruguay
Round), melainkan juga pemberian fungsi yang lebih jelas dan
kekuasaan yang lebih besar dalam hal pengaturan perdagangan dan
tariff. Bahkan juga untuk menyelesaikan sengketa perdagangan
antarbangsa.
Sulitnya menumbuhkan dan memelihara kerja sama di bidang
ekonomi disebabkan oleh “berlindungnya” para pemimpin
pemerintahan, birokrat, dan para pelaku ekonomi di balik
“kepentingan nasional.” Berarti kemauan dan pernyataan politik,
betapapun pentingnya, mutlak perlu ditindaklanjuti dalam arti
kesediaan untuk melihat “hutan” yang lebih luas, yaitu peningkatan
kesejahteraan seluruh umat manusia dan tidak sekadar
“menonjolkan pohon” yang disebut “kepentingan nasional”
tersebut.

B. Komitmen Nasional: Conditio Sine Qua Non Keberhasilan


Pembangunan
Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan dalam semua segi
kehidupan dan penghidupan bangsa menuntut komitmen seluruh
komponen masyarakat. Idealnya, berdasarkan strategi dan rencana
pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah, semua warga masyarakat
turut menjadi “pemain” dan tidak ada yang sekadar menjadi “penonton”.
Memang benar bahwa jenis, intensitas, dan eksentitas keterlibatan
berbagai pihak berbeda-beda karena pengetahuan, keterampilan, pemikiran
intelektual, waktu, tenaga, dan kesempatan yang dimiliki juga beraneka
ragam. Meskipun penyelenggaraan kegiatan pembangunan tidak
menggunakan pendekatan “elitist”, kelompok elite dalam masyarakat
harus memberikan kontribusi yang lebih substansial dibandingkan dengan
para warga masyarakat yang lain.
1. Elit Politik dan Peranannya
Dalam teori administrasi pembangunan, kelompok elite
politik sering dikenal sebagai “legitimizers”. Mereka pada
umumnya terdiri dari tokoh-tokoh partai politik dan sebagian di
antaranya duduk di lembaga perwakilan sebagai “wakil rakyat”
selaku pemegang kedaulatan rakyat. Dengan demikian, mereka
berbicara atas nama rakyat dan salah satu fungsi mereka ialah
menentuk bidang-bidang pembangunan apa yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah termasuk skala prioritasnya. Kiranya
mudah untuk menerima pandangan yang mengatakan bahwa
politik pembangunan yang ditentukan oleh elite politik seyogianya
memperhitungkan kemampuan nasional yang ada.
Politik pembangunan tidak dirumuskan dan ditetapkan
demikian idealistik dan utopisnya sehingga tidak mungkin
dilaksanakan. Seandainya perumusan demikian yang berlaku,
bukannya mustahil timbul frustrasi, apatisme, dan ketegangan
nasional. Oleh karena itu, para anggota elite politik harus sungguh-
sungguh memahami dan mengetahui batas-batas kemampuan
nasional yang sudah dimiliki dan mengenali pula potensi yang
dapat digali, dikembangkan, dan dimanfaatkan. Dengan perkataan
lain, elite politik harus memiliki kemampuan melakukan analisis
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman atau yang dalam
bahasa manajemen populer dengan istilah (Strengths, Weaknesses,
Opportunities, and Threats–SWOT).
2. Elit Administrasi dan Peranannya
Meskipun memang benar bahwa pemerintah bukanlah satu-
satunya pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
berbagai kegiatan pembangunan nasional, tetap merupakan
kenyataan bahwa peranan pemerintah dengan seluruh jajarannya
bersifat dominan. Pemerintah berfungsi antara lain untuk
menjabarkan strategi pembangunan nasional menjadi rencana
pembangunan, baik untuk kepentingan jangka panjang, jangka
sedang, dan jangka pendek. Aparat pemerintah pulalah yang harus
menciptakan iklim yang kondusif untuk meningkatkan kepedulian
dan partisipasi berbagai kelompok di masyarakat.
Bahkan, juga dalam mengalokasikan sumber daya dan dana
tertentu, misalnya melalui tender berbagai proyek pembangunan di
seluruh wilayah kekuasaan negara. Pengalaman menunjukkan
bahwa ada kegiatan pembangunan tertentu yang demi kepentingan
nasional dan karena sifatnya yang menyangkut keselamatan negara
dan eksistensinya diselenggarakan sendiri oleh pemerintah.
Untuk penyelenggaraan fungsi-fungsi tersebut, birokrasi
pemerintahan harus menjadi instrumen yang andal, tangguh, dan
profesional. Ciri-ciri tersebut berlaku bagi seluruh jajaran birokrasi,
akan tetapi merupakan tuntutan kuat bagi mereka yang tergolong
sebagai elite birokrasi atau elite administratif. Artinya, mereka
mendapat kepercayaan menduduki jabatan manajerial publik
tingkat tinggi dan mengemban misi pengabdian kepada
kepentingan negara dan bangsa. Kelompok elite administratif harus
mampu berperan selaku "administrative policy makers" dan
sebagai pelaksana keputusan politik yang telah dirumuskan dan
ditentukan oleh elite politik.
Agar mampu menampilkan kinerja yang memuaskan, elite
administratif harus memelihara hubungan kerja yang bersifat
kooperatif dengan elite politik. Hubungan kerja yang serasi dan
kerja sama yang harmonis dikatakan mutlak karena seperti
diketahui, ada ungkapan yang mengatakan bahwa apabila proses
politik berakhir, proses administrasi mulai (“when politics ends,
administration begins”).
3. Elit Cendekiawan dan Peranannya
Dewasa ini ilmu pengetahuan berkembang dengan
kepesatan yang belum pernah dialami oleh umat manusia
sebelumnya. Salah satu hasil perkembangan tersebut ialah
“lahimya” berbagai disiplin ilmu baru yang bersifat spesialistik.
Perkembangan ini sangat menggembirakan karena umat manusia
memiliki instrumen ilmu baru dan lebih ampuh untuk digunakan
dalam memecahkan berbagai masalah rumit yang timbul karena
dinamika manusia. Tetapi meskipun demikian, harus diingatkan
bahwa perkembangan tersebut hanya menguntungkan apabila: (a)
disiplin ilmu baru yang dikembangkan mempunyai nilai aplikatif
tinggi dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi,
termasuk permasalahan dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan
pembangunan, (b) para cerdik pandai tidak hanya harus menguasai
teori ilmu yang bersifat universal, akan tetapi juga harus mampu
menerapkannya sesuai dengan tuntutan politik dan sosial yang
sifatnya lokal dan khas.
Implikasi kedua hal tersebut ialah bahwa para anggota elite
akademis tidak hidup terisolasi dalam “menara gading” dan hanya
mengembangkan disiplin ilmu tertentu semata-mata demi ilmu.
Pandangan ini perlu ditekankan karena pengamatan menunjukkan
bahwa tidak sedikit para ilmuwan di negara-negara yang sedang
berkembang dan membangun yang menempuh pendidikan
tingginya di luar negeri, terutama di Eropa dan Amerika Serikat.
Keunggulan dalam penguasaan teori yang bersifat universal dan
kemampuan analitik yang tinggi masih harus “diuji” dalam
penerapannya yang bersifat adaptif.
4. Elit Bisnis dan Peranannya
Meskipun harus diakui bahwa sektor swasta di negara-
negara industri baru, sedang berkembang, dan sedang membangun
belum sekuat rekan-rekan (counterparts) mereka di negara-negara
industri maju, kini semakin disadari bahwa sektor tersebut –
terutama melalui interaksi dan partisipasinya– merupakan mitra
bagi pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan
nasional. Faktor-faktor yang menyebabkan belum kuatnya sektor
swasta di negara-negara dunia antara lain ialah: kewirausahawanan
(entrepreneurship) yang belum membudaya, lemahnya
permodalan, belum dikuasainya teori manajemen mutakhir –baik
dalam arti manajemen umum, manajemen fungsional, fungsi-
fungsi manajerial, dan teknik-teknik manajemen– iklim berusaha
yang tidak selalu kondusif, keengganan mengambil risiko, dan
faktor-faktor ekonomi lainnya.
Karena berbagai faktor itu, tidak jarang dilemparkan
tuduhan kepada dunia usaha bahwa mereka dihinggapi oleh
“mental catut” dan mengelola usahanya dengan cara-cara yang
manipulatif dan spekulatif. Ada kalanya tuduhan tersebut masih
“diperkuat” oleh persepsi negatif di kalangan masyarakat
mengenai perilaku para usahawan antara lain dalam bentuk
memberikan suap, uang pelicin, kolusi dengan anggota birokrasi
pemerintahan, manipulasi perolehan lisensi istimewa, penanaman
modal hanya pada kegiatan ekonomi yang akan mendatangkan
keuntungan seketika tetapi tidak mempunyai daya tahan untuk
jangka panjang, dan perilaku tercela lainnya.
Para elite bisnis harus melihat dan memperlakukan
berbagai faktor tersebut sebagai tantangan yang harus dihadapi dan
diselesaikan. Jika tidak, alternatif yang akan timbul ke permukaan
ialah etatisme dalam arti terlalu dominannya peranan pemerintah.
Dalam kaitan ini harus segera ditambahkan bahwa di negara-
negara industri baru, negara sedang berkembang, dan negara
sedang membangun para usahawan memang telah mengalami
banyak kemajuan yang menggembirakan. Justru karena kemajuan
itulah mereka dituntut untuk berpartisipasi lebih aktif, substansial,
dan proaktif dalam membangun bangsa dan negaranya.
Partisipasi demikian dapat mengambil berbagai bentuk
seperti (a) pemberian dukungan pada strategi, rencana, dan
kebijaksanaan pembangunan nasional, (b) meningkatkan kegiatan
ekspor dan dengan demikian meningkatkan penerimaan devisa
negara, (c) mengurangi pengangguran dengan menciptakan
lapangan kerja yang lebih banyak, (d) menghasilkan produk untuk
konsumsi dalam negeri sehingga mengurangi impor bahan tertentu
karena memang sudah dapat dihasilkan di dalam negeri sendiri,
(e) menunaikan berbagai kewajiban sosial kepada masyarakat, (f)
membina kemitraan antara usaha besar, kecil, dan menengah, dan
(g) meningkatkan daya saing melalui ketangguhan dalam
memelihara dan mempertahankan keunggulan kompetitif yang
dimiliki.
5. Elit Militer dan Peranannya
Dapat dipastikan bahwa suatu negara bangsa bertekad bulat
untuk mempertahankan kemerdekaannya, menjamin integritas
teritorialnya, menegakkan kedaulatannya, menjamin stabilitas
dalam segala bidang dan penghidupan bangsa, seperti di bidang
politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta sosial budaya.
Oleh karena itu, setiap negara memerlukan ketahanan nasional
yang ampuh dan andal. Dengan kemampuan seperti itu, negara
bangsa yang bersangkutan akan memerlukan angkatan bersenjata
yang efektif dan modern untuk menangkal berbagai bentuk
ancaman –atau bahkan serangan– yang mungkin datang dari luar
dan untuk memadamkan segala bentuk gangguan yang mungkin
timbul di dalam negeri.
Kemampuan demikian tetap diperlukan meskipun secara global
kemungkinan timbulnya Perang Dunia Ketiga kelihatannya kecil,
perang yang bersifat lokal, ketidakstabilan politik, gerakan
separatisme, terorisme, kejahatan terorganisasi, dan berbagai
bentuk gangguan keamanan lainnya tidak dapat di pandang
remeh.
Dengan kata lain, kegiatan pembangunan hanya akan berhasil
apabila dalam suatu negara tidak terjadi gejolak, instabilitas dan
gangguan keamanan serta ketertiban umum. Meskipun benar
bahwa keabsahan “pendekatan sekuriti dan kesejahteraan”
adakalanya dipertanyakan, yang jelas ialah bahwa upaya
meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat mutlak
memerlukan keamanan, ketertiban, disiplin nasional, dan semangat
juang yang tinggi.
Karena latar belakang pendidikan, sifat misi, dan fungsinya
serta disiplin organisasionalnya, para kelompok elite di kalangan
angkatan bersenjata dapat memainkan peranan yang penting, bukan
hanya dalam memimpin angkatan bersenjata yang bersangkutan,
akan tetapi juga sebagai “role model” bagi warga masyarakat
lainnya dan sebagai stabilisator dan dinamisator bagi pembangunan
bangsa.
BAB III
SIMPULAN

keberhasilan kegiatan pembangunan akan lebih terjamin apabila seluruh


warga masyarakat membuat komitmen untuk turut berperan sebagai pelaku
pembangunan dengan para anggota elite masyarakat sebagai panutan, pengarah,
pembimbing, dan motivator. Dalam literatur tentang administrasi pembangunan,
para warga masyarakat yang diharapkan ikut berperan dalam pembangunan
disebut sebagai development clientele.

Dengan perkataan lain, partisipasi masyarakat luas mutlak diperlukan oleh


karena mereka itulah yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan
pembangunan tersebut. Memang benar bahwa keputusan politik diambil oleh
power elite atau political elite. Juga benar bahwa pemerintah melalui elite
administratif merencanakan dan merumuskan program kerja dalam rangka
mewujudkan keputusan politik. Dukungan teoritikal dan ilmiah diperoleh dari
para ilmuwan, pakar, dan cendekiawan. Demikian juga para elite dunia bisnis
dengan berbagai pendekatan seperti investasi, industrialisasi, penanaman modal,
dan penciptaan lapangan kerja. Angkatan bersenjata memelihara keamanan
nasional dan ketertiban umum. Akan tetapi jika para warga masyarakat tidak
dilibatkan, berarti mereka hanya diperlakukan sebagai objek pembangunan.
Padahal seluruh warga masyarakat harus diperlakukan sebagai subjek dan objek
Pembangunan sekaligus.

20
DAFTAR PUSTAKA

Afifuddin. 2012. Pengantar Administrasi Pembangunan: Konsep, Teori, dan


Implikasinya di Era Reformasi. Bandung: Alfabeta
Anggara & Sumantri. 2016. Administrasi Pembangunan: Teori dan Praktik.
Bandung: Pustaka Setia
Siagian. 2014. Administrasi Pembangunan: Konsep, Strategi, dan Dimensinya.
Jakarta: Bumi Aksara
Liauw. 2015. Administrasi Pembangunan: Studi Kajian PKL. Bandung: Refika
Aditama
Sudriamunawar. 2012. Pengantar Studi Administrasi Pembangunan Edisi Revisi.
Bandung: Mandar Maju

21

Anda mungkin juga menyukai