PEMBANGUNAN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Administrasi
Pembangunan
Dosen Pengampu:
Drs. Mubarok, M.Si
Disusun Oleh:
Kelompok 8
Alifatu Lela Mazidah (1178010019)
Alliy Agustiani Nusrillahi (1178010021)
Anisa Uswatun Hasanah (1178010027)
Semester V Kelas A
Penyusun
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................................vii
C. Tujuan ..................................................................................................................... 1
vii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana polarisasi dunia?
2. Bagaimana polarisasi bidang politik?
3. Bagaimana polarisasi bidang ekonomi?
4. Bagaimana elit politik dan peranannya?
5. Bagaimana elit administrasi dan peranannya?
6. Bagaimana elit cendekiawan dan peranannya?
7. Bagaimana elit bisnis dan peranannya?
8. Bagaimana elit militer dan peranannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui polarisasi dunia
2. Untuk mengetahui polarisasi bidang politik
3. Untuk mengetahui polarisasi bidang ekonomi
1
4. Untuk mengetahui elit politik dan peranannya
5. Untuk mengetahui elit administrasi dan peranannya
6. Untuk mengetahui elit cendekiawan dan peranannya
7. Untuk mengetahui elit bisnis dan peranannya
8. Untuk mengetahui elit militer dan peranannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Polarisasi Dunia
Dalam upaya memilih dan menentukan strategi pembangunan yang
tepat, suatu negara bangsa harus berangkat dari pandangan bahwa negara
bangsa yang bersangkutanlah yang menjadi “tuan di rumah sendiri”.
“Locus of control” secara nasional harus bersifat internal. Pandangan itu
antara lain berarti bahwa kemampuan sendirilah yang diandalkan
meskipun, karena keterbatasan yang dihadapi, kerja sama dengan negara-
negara lain secara bilateral, multilateral, regional, dan global tetap
diperlukan. Agar usaha memupuk dan mewujudkan kerja sama tersebut
berhasil, perlu dipahami bentuk-bentuk polarisasi yang ada di dunia
dewasa ini.
1. Polarisasi di Bidang Politik
Meskipun Perang Dunia II telah berakhir lebih dari setengah
abad yang lalu dan Perang Dingin pun sudah usai pada akhir
dekade delapan puluhan, namun umat manusia belum bebas dari
perasaan takut, kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan. Memang
menggembirakan untuk dicatat bahwa beberapa negara yang
tadinya menganut ideologi komunis terjadi pergeseran persepsi
tentang pentingnya pendekatan ideologi dan politik untuk
mengelola negara dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat
beralih menjadi pendekatan ekonomi berdasarkan mekanisme
pasar.
Salah satu bukti nyata dari pergeseran persepsi tersebut ialah
jatuhnya pemerintahan berhaluan komunis dan bahkan bubarnya
beberapa negara berhaluan tersebut dan timbulnya pemerintahan
yang mencerminkan filsafat politik yang mengatakan bahwa
kedaulatan suatu negara berada di tangan rakyat. Dengan perkataan
lain, terjadi proses pemberdayaan rakyat dalam menentukan
3
kehidupan politik yang ingin ditempuhnya. Bahkan terdapat negara
yang meskipun mengaku masih menganut paham komunisme atau
sosialisme tetapi sudah semakin terbuka dan makin transparan
dalam interaksinya dengan negara-negara lain.
Jika di dunia pernah dikenal Blok Barat, Blok Timur, dan
Negara-negara Non Blok, kenyataan menunjukkan bahwa
polarisasi di bidang politik seperti itu tidak lagi menonjol.
Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa negara-negara
tertentu –terutama yang tergolong sebagai negara besar sudah
menghentikan upayanya untuk memperluas dan memperkuat
hegemoninya di bidang politik.
Implikasinya di Bidang Militer: Merupakan kenyataan sejarah
bahwa pada era Perang Dingin, terjadi perlombaan pemupukan
kekuatan di bidang militer, bukan hanya dalam arti jumlah anggota
angkatan bersenjata akan tetapi terutama dalam bidang peralatan
perang dan persenjataan yang sangat “canggih”, yang kesemuanya
tersimpul dalam apa yang dikenal sebagai “Weapons of Mass
Destruction” (WMD), khususnya senjata nuklir. Bahkan ketika itu
makin banyak negara yang ingin memiliki kemampuan untuk
menghasilkan sendiri senjata nuklir dengan daya pemusnahnya
yang sangat dahsyat.
Tidak sedikit pakar militer pada waktu itu yang memperkirakan
bahwa seandainya bom nuklir yang dimiliki oleh berbagai negara
diledakkan sekaligus, setiap manusia di bumi ini akan “kebagian”
satu bom yang dahsyatnya sama dengan bom atom yang dijatuhkan
oleh Amerika di atas kota Hiroshima, Jepang pada penghujung
Perang Dunia II yang lalu.
Dengan usainya Perang Dingin, dunia mencatat paling sedikit
lima bentuk implikasi di bidang persenjataan. Pertama: Fenomena
berhentinya perlombaan senjata, khususnya senjata nuklir. Dengan
beberapa pengecualian, yaitu masih kuatnya keinginan negara-
negara tertentu yang dipimpin oleh para despot untuk menjadi
kekuatan nuklir, negara-negara yang tadinya turut berlomba dalam
pemupukan kekuatan militer seperti tercermin dalam besarnya
angkatan bersenjatanya dan arsenal persenjataannya, menghentikan
upayanya untuk maksud-maksud yang ekspansionistik. Kalaupun
peningkatan kekuatan militer terjadi, hal itu hanya dimaksudkan
untuk membela diri dan mempertahankan kemerdekaan serta
kcdaulatan negara bangsa yang bersangkutan. Paling sedikit
demikianlah pernyataan politik yang sering dikumandangkan.
Kedua: Pemusnahan sebagian senjata nuklir yang dimiliki.
Dengan menyadari benar bahwa perlu diambil langkah-langkah
konkret agar ancaman perang nuklir lenyap atau paling sedikit
berkurang, tidak sedikit negarawan dan politisi di negara-negara
yang memiliki senjata nuklir tersebut yang bersedia memusnahkan
senjata nuklir yang dimilikinya. Bahwa pemusnahan total dari
senjata nuklir tersebut belum terwujud merupakan kenyataan yang
harus diterima. Akan tetapi paling sedikit jumlahnya tidak
bertambah banyak.
Ketiga: Dalam hubungan ini menggembirakan pula untuk
dicatat bahwa hampir semua negara di dunia yang sudah
meratifikasi “Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir” (Nuclear
Non Proliferation Treaty) yang telah disepakati oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Memang masih ada beberapa negara yang belum
meratifikasi perjanjian tersebut. Dapat diperkirakan bahwa dengan
menggunakan berbagai forum yang tersedia –baik formal dan
informal– masyarakat dunia akan terus menekan agar semua
negara meratifikasinya. Jika tekanan tersebut berhasil, jumlah
senjata nuklir di dunia akan berkurang dan timbulnya ancaman
Perang Dunia III akan semakin kecil.
Keempat: Pengalihan pemanfaatan teknologi persenjataan.
Teknologi persenjataan termasuk kategori teknologi tinggi dan
amat canggih. Dalam era Perang Dingin dan tahun-tahun yang
mendahuluinya setelah Perang Dunia II berakhir, “industri perang”
dengan teknologi tinggi tersebut merupakan salah satu sektor
industri yang berkembang dengan sangat pesat. Industri perang
bukan hanya merupakan industri yang bermuatan teknologi tinggi,
akan tetapi juga menggunakan modal yang sangat besar serta
mempekerjakan jutaan orang. Penghasilannya pun merupakan
salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting.
Baik dalam arti nilai uang setempat, maupun penerimaan
devisa negara. Akan tetapi dengan berhentinya perlombaan senjata
di antara berbagai negara kuat dan besar, di lingkungan industri
perang tersebut terjadi penurunan kegiatan secara drastis di bidang
produksi senjata. Meskipun benar bahwa pada gilirannya
penurunan kegiatan tersebut menuntut terjadinya restrukturisasi,
yang pada umumnya mengambil bentuk downsizing, kegiatan
perusahaan-perusahaan yang tergolong pada industri perang juga
dituntut untuk mengubah bisnis intinya (core business) menjadi
penghasil berbagai produk “sipil” dengan antara lain bermodalkan
teknologi canggih yang dikuasainya.
Berarti kemampuan industrial yang dimiliki dimanfaatkan
untuk menghasilkan berbagai produk yang mendukung kegiatan
masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang bersangkutan pada khususnya dan umat manusia pada
umumnya.
Kelima: Pengurangan anggaran belanja negara untuk pembelian
perangkat keras persenjataan. Seseorang pemerhati perkembangan
geopolitik dunia tidak perlu menjadi ahli perang untuk dapat
memperkirakan bahwa di dunia dewasa ini ancaman timbulnya
perang berskala dunia sudah sangat berkurang, meskipun tidak
dapat dikatakan sudah sama sekali lenyap. Para negarawan, politisi,
dan tokoh-tokoh militer tampaknya mendukung persepsi demikian.
Salah satu akibat dari persepsi tersebut ialah kesediaan berbagai
negara bangsa untuk mengurangi anggaran belanja yang
diperuntukkan bagi angkatan bersenjata negara yang bersangkutan,
khususnya untuk pengadaan perangkat keras dalam arti senjata
dengan segala bentuknya.
Anggaran belanja yang memadai memang tetap diperlukan baik
untuk kepentingan pemeliharaan arsenal persenjataan yang ada,
untuk pengadaan senjata-senjata baru –terutama yang dimaksudkan
untuk memiliki kemampuan mempertahankan kedaulatan
nasional– pemeliharaan kesejahteraan para prajurit beserta
keluarganya dan untuk berbagai kepentingan lainnya yang tidak
bersifat agresif atau ekspansionistik. Alasan paling kuat untuk
penyediaan anggaran belanja angkatan bersenjata yang memadai
ialah agar terdapat jaminan bahwa negara mempunyai kemampuan
yang benar-benar dapat diandalkan untuk mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatannya, kemampuan yang tinggi untuk
menjaga keutuhan wilayah kekuasaan negara, ketangguhan
menangkal ancaman dan atau serangan yang mungkin datang dari
luar, kemampuan memelihara ketertiban dan keamanan dalam
negeri sendiri.
Perubahan peta geopolitik dunia serta beralihnya pandangan
para negarawan serta politisi di banyak negara –terutama mereka
yang tadinya menggunakan pendekatan ideologi dalam
membangun negaranya– secara teoretis lebih membuka jalan untuk
meningkatkan kerja sama antarnegara di bidang politik yang pada
gilirannya membuka peluang yang lebih besar bagi setiap negara
menyelenggarakan pembangunan politik yang bentuk, proses, dan
pentahapannya disesuaikan dengan filsafat politik yang dianut dan
lingkungan internal yang dihadapinya. Dipandang dari sudut
geopolitik, polarisasi dunia di bidang politik tidak lagi “sejelas” di
masa lalu.
Wujudnya pun terlihat berubah dari polarisasi kekuatan –
termasuk kekuatan militer – menjadi penekanan pada isu-isu
politik seperti demokratisasi, pengakuan dan penghormatan hak-
hak asasi manusia dan sejenisnya yang mempunyai resonansi
dalam berbagai bidang kehidupan lainnya, terutama di bidang
ekonomi.
2. Polarisasi di Bidang Ekonomi
Polarisasi dunia di bidang politik dan ekonomi tidak
dimaksudkan untuk menonjolkan berbagai bentuk perbedaan antara
negara-negara di dunia, melainkan semata-mata untuk memberikan
bahan pemikiran tentang upaya apa yang dapat ditempuh demi
peningkatan kesejahteraan umat manusia meskipun terdapat
perbedaan-perbedaan antara satu negara dengan negara lain.
Mungkin karena mencerminkan kesenjangan ekonomi antara
negara-negara kaya dan negara-negara lainnya di dunia, polarisasi
yang tampak paling menonjol di dunia dewasa ini ialah di bidang
ekonomi. Meskipun di muka telah dibahas tentang klasifikasi
negara-negara di dunia ditinjau dari sudut ekonomi, hal tersebut
diulangi lagi untuk dikaitkan dengan bentuk-bentuk kerja sama
yang mungkin diwujudkan di bidang ekonomi di masa depan.
Sesungguhnya membuat kategorisasi tingkat-tingkat
perekonomian berbagai negara sebagai dasar polarisasi bukanlah
tugas yang mudah. Ini antara lain karena aneka ragam tolak
ukurnya, perubahan atau perkembangan yang terjadi dengan cepat
dan turut berperannya faktor-faktor non-ekonomi. Misalnya dengan
hanya membagi negara-negara di dunia menjadi negara-negara
kaya di satu pihak dan negara-negara miskin di pihak lain memang
sudah menggambarkan polarisasi tersebut meskipun cara demikian
terlalu menyederhanakan maknanya. Seperti diketahui “tingkat-
tingkat” kekayaan dan kemiskinan cukup banyak.
Namun demikian, meskipun secara sederhana dan mungkin
tidak terlalu akurat, kategorisasi tersebut dapat dilakukan, misalnya
dengan menggunakan kriteria pendapatan per kapita, produk bruto
domestik (Gross Domestic Product), tahap industrialisasi, proses
produksi yang mutakhir berkat penguasaan teknologi, kecanggihan
manajemen bisnis, dan penguasaan pangsa pasar global.
Dengan agregasi berbagai kriteria tersebut, negara-negara di
dunia biasanya digolongkan pada negara-negara industri maju,
negara-negara yang berada pada tahap awal industrialisasi, dan
negara-negara terbelakang. Kenyataan menunjukkan bahwa
negara-negara industri maju dan kaya pada umumnya terdapat di
belahan bumi utara dan kebetulan atau tidak, semuanya berada di
Benua Eropa dan Amerika Utara kecuali Jepang. Dikaitkan dengan
mutlak perlunya kerja sama bilateral, regional, multilateral, dan
global di bidang ekonomi, paling sedikit lima faktor perlu
mendapat perhatian, yang apabila tidak diatasi, dapat menjadi
ganjalan.
Pertama: Dengan menggunakan berbagai kriteria yang telah
disinggung di atas, negara-negara tersebut dapat dikatakan
menguasai perekonomian dunia. Bahkan dilihat dari segi tingkat
kesejahteraan masyarakat yang sudah dicapai, negara-negara kaya
tersebut berada jauh di depan dan bahkan ada pakar yang
berpendapat bahwa kesenjangan antara negara-negara kaya dengan
negara-negara lainnya semakin melebar meskipun negara-negara
lain itu telah mencapai hasil-hasil yang sangat menggembirakan
dalam pembangunan perekonomian masing-masing. Kesenjangan
tersebut harus diperkecil karena memang tidak mungkin
dihilangkan sama sekali.
Kedua: Kesediaan mengalihkan penguasaan teknologi canggih,
khususnya yang bertalian dengan proses produksi dan peningkatan
mutu. Hal ini perlu penekanan karena gejala-gejala dan praktek
bisnis yang terlihat menunjukkan bahwa para usahawan di negara-
negara industri maju tersebut tidak mau atau paling sedikit enggan
untuk mengalihkan penguasaan teknologi tersebut kepada para
usahawan di negara-negara lain. Bahkan juga kepada mitra
usahanya yang bersifat aliansi strategis sekalipun. Semata-mata
dilihat dari sudut pandang bisnis, sikap demikian dapat dipahami
karena penguasaan teknologi canggih tersebut merupakan
keunggulan kompetitif bagi mereka. Akan tetapi jika ketidakmauan
dan keengganan tersebut berlanjut, keinginan masyarakat dunia
untuk mengurangi kesenjangan antara negara-negara kaya dan
negara-negara lainnya tidak akan terwujud.
Ketiga: Kesediaan mengalihkan pengetahuan dan keterampilan
manajerial. Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bidang
kehidupan ekonomi di mana terdapat keunggulan dunia usaha di
negara-negara industri maju terletak pada pengetahuan dan
keterampilan manajerial baik dalam arti manajemen umum
(general management), maupun dalam berbagai bidang fungsional
termasuk manajemen produksi, manajemen pemasaran, manajemen
keuangan, manajemen logistik, manajemen sumber daya manusia,
dan manajemen perkantoran. Juga tingginya kemampuan dalam
manajemen berbagai sektor industri seperti industri perbankan,
pasar modal, dan industri jasa lainnya.
Terdapat juga keunggulan dalam hal penyelenggaraan fungsi-
fungsi manajemen. Salah satu faktor pendukung kuat bagi tumbuh
dan terpeliharanya keunggulan tersebut ialah karena dunia usaha di
negara-negara industri maju membudayakan kegiatan penelitian
dan pengembangan, termasuk kesediaan untuk menyisihkan dana
yang cukup besar untuk melakukannya, bukan hanya dalam arti
penelitian terapan (applied research and development) akan tetapi
juga yang bersifat murni dan dasar (pure and basic research).
Dalam lingkungan dunia usaha di negara-negara berkembang dan
terbelakang memang terlihat upaya yang intensif dan ekstensif
untuk menguasai berbagai bidang manajerial tersebut termasuk
kesadaran tentang benarnya pandangan bahwa meskipun
manajemen sebagai disiplin ilmiah mempunyai berbagai prinsip,
rumus-rumus, dan dalil-dalil yang bersifat universal, penerapannya
harus mempertimbangkan faktor-faktor situasional, kondisi, ruang,
dan waktu. Yang kiranya perlu mendapat perhatian yang lebih
besar di masa-masa yang akan datang adalah penumbuhan jiwa
kewirausahaan (enterpreneurship).
Keempat: Penggunaan ekonomi sebagai “senjata” politik.
Tidak sedikit pemerintahan negara-negara maju yang dengan atau
tanpa “lobbying” dunia usaha menggunakan peristiwa-peristiwa
ekonomi tertentu sebagai “senjata” untuk memperoleh apa yang
diinginkannya di bidang politik. Baik secara terang-terangan
maupun secara terselubung dalam “kemasan” bahasa diplomatik,
isu-isu non-ekonomi yang sering “diangkat ke permukaan” antara
lain adalah: hak-hak asasi manusia, demokratisasi ekonomi yang
tidak disertai oleh demokratisasi politik, tidak adanya kebebasan
pers, pemerintahan yang otoriter, adanya tahanan politik, tekanan
kepada orang-orang yang dianggap sebagai “disiden”, dominasi
suatu partai politik, lembaga perwakilan yang hanya berperan
sebagai “stempel karet”, lembaga peradilan yang tidak bebas.
Di samping itu, berbagai isu ekonomi juga sering
dipermasalahkan seperti kebijaksanaan yang protektif, keunggulan
komparatif seperti ongkos produksi yang rendah karena berbagai
badan usaha milik negara mempekerjakan para narapidana,
mempekerjakan anak-anak di bawah umur, diskriminasi dalam
berbagai bentuk berdasarkan jenis kelamin, usia, asal usul, suku
dan ras, keterbatasan pekerja memperoleh haknya, sistem imbalan
yang tidak wajar, larangan mogok, dan tidak berfungsinya serikat
pekerja sebagaimana mestinya. Tuntutan yang dikemukakan ialah
agar hubungan perekonomian dan perdagangan antara negara maju
yang bersangkutan dengan negara-negara tertentu lainnya
berlangsung, isu-isu itu diminta untuk diatasi terlebih dahulu.
Dalam hal penyelesaian tidak terjadi atau tidak sesuai dengan
keinginan dan tuntutan negara maju yang bersangkutan, tidak
jarang diambil tindakan ekonomi yang merugikan negara
berkembang tertentu mulai dari yang keras seperti embargo,
pengenaan sanksi ekonomi, larangan transaksi ekspor dan atau
impor, atau tindakan lainnya. Di pihak lain, negara yang terkena
tindakan seperti itu sering melemparkan “tangkisan” bahwa
tuntutan negara maju itu tidak dapat diterima karena merupakan
salah satu bentuk campur tangan dalam urusan negeri negara lain.
Jika dibiarkan berlanjut, situasi itu tidak mendorong dan tidak
kondusif bagi kerja sama ekonomi dalam rangka peningkatan
kesejahteraan umat manusia.
Kelima: Untuk mengurangi kesenjangan ekonomi yang terdapat
antara negara-negara industri maju dengan negara-negara Dunia
Ketiga, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melakukan berbagai
upaya. Salah satu bentuk upaya tersebut menyangkut badan khusus
yang menangani pengaturan perdagangan dan tarif. Badan khusus
tersebut ialah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan hanya
mengubah namanya dari GATT menjadi World Trade Organization
(WTO), melalui keputusan para menteri dalam sidangnya di
Makaresh, Maroko pada permulaan bulan Desember, 1995 sebagai
tindak lanjut dari serangkaian sidang tingkat menteri mengenai hal
ini yang terkenal dengan istilah “Putaran Uruguay” (Uruguay
Round), melainkan juga pemberian fungsi yang lebih jelas dan
kekuasaan yang lebih besar dalam hal pengaturan perdagangan dan
tariff. Bahkan juga untuk menyelesaikan sengketa perdagangan
antarbangsa.
Sulitnya menumbuhkan dan memelihara kerja sama di bidang
ekonomi disebabkan oleh “berlindungnya” para pemimpin
pemerintahan, birokrat, dan para pelaku ekonomi di balik
“kepentingan nasional.” Berarti kemauan dan pernyataan politik,
betapapun pentingnya, mutlak perlu ditindaklanjuti dalam arti
kesediaan untuk melihat “hutan” yang lebih luas, yaitu peningkatan
kesejahteraan seluruh umat manusia dan tidak sekadar
“menonjolkan pohon” yang disebut “kepentingan nasional”
tersebut.
20
DAFTAR PUSTAKA
21