Anda di halaman 1dari 9

A.

Sejarah Perkembangan Teori Dependensi

Secara historis, teori Dependensi lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan
ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin.[1] Secara
teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara
Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah
kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam
keterbelakangan.

Paradigma inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi. Teori ini berpendapat bahwa
kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan disebabkan
oleh faktor internal di negara tersebut, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari
luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar yang paling menentukan keterbelakangan negara Dunia
Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi negara maju pada laju pembangunan di
negara Dunia Ketiga. Dengan campur tangan tersebut, maka pembangunan di negara Dunia
Ketiga tidak berjalan dan berguna untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi,
namun semakin membawa kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan jilid dua di
negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan
negara maju kepada negara Dunia Ketiga. Jika pembangunan ingin berhasil, maka
ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga melakukan roda
pembangunannya secara mandiri.

Ada dua hal utama dalam masalah pembangunan yang menjadi karakter kaum Marxis
Klasik:

1. Negara pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok negara yang tidak dinamis dengan
cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis seperti tempat lahirnya kapitalisme, yaitu Eropa.

2. Negara pinggiran akan maju ketika telah disentuh oleh negara pusat yang membawa
kapitalisme ke negara pinggiran tersebut. Ibaratnya, negara pinggiran adalah seorang putri cantik
yang sedang tertidur, ia akan bangun dan mengembangkan potensi kecantikannya setelah
disentuh oleh pangeran tampan. Pangeran itulah yang disebut dengan negara pusat dengan
ketampanan yang dimilikinya, yaitu kapitalisme. Pendapat inilah yang kemudian dibantah oleh
teori Dependensi.
Bantahan teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ini juga ada dua hal.

1. Negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda dengan
dinamika negara kapitalis. Bila tidak mendapat sentuhan dari negara kapitalis yang telah maju,
mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkannya.

2. Justru karena dominasi, sentuhan dan campur tangan negara maju terhadap negara Dunia
Ketiga, maka negara pra-kapitalis menjadi tidak pernah maju karena tergantung kepada negara
maju tersebut. Ketergantungan tersebut ada dalam format “neo-kolonialisme” yang diterapkan
oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara
Dunia Ketiga, (Arief Budiman, 2000:62-63).

Disamping itu, lahirnya teori dependensi ini juga dipengaruhi dan merupakan jawaban atas krisis
teori Marxis ortodoks di Amerika Latin. Menurut pandangan Marxis ortodoks, Amerika Latin
harus mempunyai tahapan revolusi industri “borjuis” sebelum melampaui revolusi sosialis
proletar. Namun demikian Revolusi Repuplik Rakyat Cina (RRC) tahun 1949 dan revolusi Kuba
pada akhir tahun 1950-an mengajarkan pada kaum cendikiawan, bahwa negara dunia ketiga tidak
harus mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tersebut. Tertarik pada model pembanguan
RRC dan Kuba, banyak intelektual radikal di Amerika Latin berpendapat, bahwa negara-negara
Amerika Latin dapat saja langsung menuju dan berada pada tahapan revolusi sosialis.

B. Asumsi Dasar Teori Dependensi

Keadaan ketergantungan dilihat dari satu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara
dunia ketiga. Teori dependensi berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan
ketergantungan di Dunia Ketiga sepanjang perkembangan kapitalisme dari Abad ke-16 sampai
sekarang

Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh “faktor luar”, sebab terpenting
yang menghambat pembangunan karenanya tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau
kekurangan tenaga dan semangat wiraswasta, melainkan terletak pada diluar jangkauan politik
ekonomi dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja internasional
yang timpang bertanggung jawab terhadap kemandekan pembangunan negara Dunia Ketiga
Permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat
mengalir surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi kerena
negara Dunia Ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.

Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional
ekonomi global. Disatu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia Ketiga menyebabkan
keterbalakangannya, satu faktor yang mendorong lajunya pembangunan dinegara maju.

Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan
pembangunan. Bagi teori dependensi, pembangunan di negara pinggiran mustahil terlaksana.
Sekalipun sedikit perkembangan dapat saja terjadi dinegara pinggiran ketika misalnya sedang
terjadi depresi ekonomi dunia atau perang dunia. Teori dependensi berkeyakinan bahwa
pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam
situasi yang terus menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.

Teori Dependensi juga lahir atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik tentang
pembangunan yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran neo-marxisme yang
kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini.

C. Teori Dependensi (Ketergantungan)

Secara garis besar, teori Dependensi adalah suatu keadaan dimana keoutusan-keputusan utama
yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di Negara berkembang seperti keputusan mengenai
harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar
Negara yang bersangkutan.[2]

Pada umumnnya memberikan gambaran melalui analisis dialektesis yaitu suatu analisis yang
menganggap bahwa gejala-gejala social yang dapat diamati sehari-hari pasti mempunyai
penyebab tertentu[3]. Teori ini menjadi titik tolak penyusaian ekonomi terbelakang pada system
dunia, sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya penyerahan sumber penghasilan
daerah ke pusat, sehingga mengakibatkan perekonomian daerah menjadi terbelakang.

Menurut Servaes (1986), teori-tteori Dependensi dan keterbelakangan lahir sebagai hasil
“revolusi intelektual” secara umum pada pertengahan tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuan
Amerika Latin terhadap pandangan Barat mengenai pembangunan . meskipun paradigm
Dependensi dapat dikatakan asli Amerika Latin, namun “bapak pendiri” perspektif ini adalah
Baran, yang bersama Magdoff dan Sweezy merupakan juru bicara kelompok North American
Monthly Review.

Baran merupakan orang pertama dalam mengemukakan bahwa pembangunan dan


keterbelakangan harus dilihat sebagai suatu proses yang: (a) saling berhubungan dan
berkesinambungan (interrelated and continuous process), dan (b) merupakan dua aspek dari satu
proses yang sama, daripada suatu keadaan eksistensi yang orisinil.

Teori-teori mengenai ketergantungan dan keterbelakangan telah digambarkan dalam studi-studi


yang dilakukan Celso Furtado, Andre Gunder Frank, Theotonio Dos Santos, Fernando Henrique
Cardoso dan lain-lain. Pada umumnya mereka itu membahas secara serius masalah colonial yang
secara historis membekas pada pertumbuhan di negara-negara Amerika Latin, Afrika dan Asia.
Menurut mereka, kecuali dengan suatu pengenalan yang eksplisit akan konsekuensi hubungan
tersebut, maka mustahil dapat diperoleh suatu pengertian yang akurat mengenai situsi yang
sekarang di negara-negara tersebut. Dengan kata lain bahwa keterbelakangan yang ada sekarang
ini merupakan konsekuensi masa penjajahan yang telah dialami oleh negara-negara baru.

Proses keterbelakangan yang melanda negara-negara baru, menurut Furtado (1972)


meliputi tiga tahapan historis yang terdiri dari[4]:

1. Tahap keuntungan-keuntungan komparatif. Selama periode seusai revolusi industry, ketika


system divisi tenaga kerja internasional diciptakan dan ekonomi dunia distrukturkan, negara-
negara industry pada umumnya menspesialisasikan diri pada kegiatan-kegiatan yang ditandai
dengan kemajuan teknik yang menyebar.

2. Tahap substitusi impor. Terbentuknya suatu kelompok social kecil dengan keistimewaan
(privilages) dikalangan bangsa-bangsa yang terbelakang menimbulkan suatu keharusan untuk
mengimpor sejumlah barang-barang tertentu guna memenuhi pola konsumsi yang telah diadopsi
kelompok ini dalam meniru bangsa yang kaya.

3. Tahap berkembangnya perusahaan multi-nasional (PMN). Timbulnya PMN telah menjadi


suatu fenomena terpenting dalam tatanan ekonomi internasional, karena transaksi internal yang
dilakukan oleh PMN telah mengambil alih operasi pasar yang ada selama ini.
Cardozo menunjukkan unsur keempat yang menunjang proses keterbelakangan ini, yaitu
semakin mantapnya elit-elit local domestic di Negara berkembang oleh elit internasional. Suatu
analisis kelas menunjukkan bahwa kemimpinan di banyak Negara berkembang-khususnya di
Negara yang paling terintegrasi ke dalam ekonomi pasar dunia-adalah didukung oleh jalinan
hubungan-hubungan bisnis, social dan politik yang dibina selama bertahun-tahun dan dipimpin
oleh negara-negara maju.

Sterusnya Baran dan Hobsbauw (1961) menegaskan bahwa untuk menanggulangi masalah
keterbelakangan, harus dipahami lebih dulu mengapa negara-negara tersebut menjadi
terbelakang? Dalam teori tahapan pertumbuhan ekonomi dan model-model pembangunan yang
dipengaurhinya tampak seakan-akan negara-negara yang disebut terbelakang itu muncul begitu
saja entah dari mana.

Dalam teori semacam itu, negara-negara yang belum berkembang itu digambarkan seolah-olah
tidak punya riwayat sejarah, dan mereka begitu saja dikelompokkan bersama di bawah satu label:
masayarakat tradisional.

Padahal sekarang ini, bahkan suatu pengenalan yang sederhana mengenai sejarah menunjukkan
bahwa ketrbelakangan bukan sesuatu yang orisinal atau tradisional, dan tidak pula bahwa masa
lalu atau masa kini dari Negara terbelakang mengingatkan pada aspek mana pun dari negara-
negara yang kini telah maju (Frank, 1972).

Hubungan ketrgantungan tersebut bukan semata-mata dibidang ekonimi saja. Para penulis seperti
Freire (1968) dan Rayan (1971) menunjukkan bahwa disebarluaskannya idoelogi-ideologi,
system-sistem keyakinan, konglomerasi nilai-nilai, dan lain-lain dari negara-negara maju di
negara-negara satelit merupakan suatu cara untuk melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan
yang ada sekarang, berikut keadaan ketergantungan tadi.

D. Kritik Terhadap Teori Dependensi

Setelah menghadapi sekian banyak tudingan dari teorisi Dependensi, banyak juga para analis
pembangunan yang berpegangan pada teori awal tadi yang merasa bahwa hal-hal yang
dikemukakan dalam teori Dependensi itu sesuatu yang dilebih-lebihkan. Adapun yang
menuduh :kaum dependista” telah mendistorsikan sejarah dalam kupasan mereka, terutama yang
menyangkut hubunagan antara negara-negara maju dengan negara-negara terbelakang. Namun,
nyatanya teori Dependensi dan keterbelakangan tersebut memang mendapat pengaruh yang besar
di tengah negara-negara sedang berkembang.

Menurut Servaes (1986), hal-hal yang dikritik pada teori Dependensi dan keterbelakangan
itu pada pokoknya adalah[5]:

1. Bahwa pandangan kaum dependensia tentang kontradiksi yang fundamental di dunia antara
Pusat dan Periferi ternyata tidak berhasil memperhitungkan struktur-struktur kelas yang bersifat
internal dan kelas produksi di Periferi yang menghambat terbentukya tenaga produktif.

2. Bahwa teori Dependensi cenderung untuk berfokus kepada masalah pusat dan modal
internasional karena kedua ha itu “dipersalahkan” sebagai penyebab kemiskinan dan
keterbelakangan, ketimbang masalah pembentukan kelas-kelas local.

3. Teori Dependensi telah gagal dalam memperbedakan kapitalis dengan feodalis; atau
bentuk-bentuk pengendalian produser masa prakapitalis lainnya dan apropriasi surplus.

4. Teori Dependensi mengabaikan produktifitas tenaga kerja sebagai titik sentral dalam
pembangunan ekonomi nasional, dan meletakkan tenaga penggerak (motor force) dari
pembangunan kapitalis dan masalah keterbelakangan pada transfer surplus ekonomi Pusat ke
Periferi.

5. Teori Dependendi juga dinilai menggalakan suatu ideology berorientasi ke Dunia Ketiga
yang meruntuhkan potensi solodaritas kelas internasional dengan menyatukan semuanya sebagai
“musuh”, yakni baik elit maupun massa yang berada di bangsa-bangsa Pusat.

6. Teori Dependensi dinilai statis karena ia tidak mampu menjelaskan dan memperhitungkan
perubahan-perubahan ekonomi di negara-negara terbelakang menurut waktunya.
Kelemahan dan Kekuatan Teori Ketergantungan

Menurut Robert A. Packenham, teori ketergantungan itu memiliki kelemahan dan kekuatan.
Packenham menyebutkan ada 6 kelemahan dari teori ketergantungan, antara lain:

1. Menyalahkan hanya kapitalisme sebagai penyebab dari ketergantungan.

2. Konsep-konsep inti, termasuk konsep ketergantungan itu sendiri à kurang didefinisikan


secara jelas.

3. Hanya didefinisikan sebagai konsep dikotomi.

4. Sedikit sekali dibicarakan tentang proses yang memungkinkan sebuah negara dapat lepas
dari teori tersebut.

5. Selalu dianggap sebagai sesuatu yang negatif.

6. Kurang membahas dengan teori lain (otonomi).

Packenham juga mengatakan disamping kelemahan terdapat juga kekuatan dari teori
ketergantungan, kekuatannya antara lain:

1. Menekankan aspek internasional

2. Mempersoalkan akibat dari politik luar negeri.

3. Membahas proses internal dari perubahan di negara-negara pinggiran.

4. Menekankan pada kegiatan sektor swasta dalam hubungannya dengan kegiatan perusahaan-
perusahaan multinasional.

5. Membahas hubungan antar klas yang ada di dalam negeri.

6. Mempersoalkan bagaimana kekayaan nasional ini dibagikan antar klas-klas sosial, antar
daerah, dan antar negara.
2.2 Sistem Pembangunan di Indonesia

Indonesia sebagai sebuah negara yang digolongkan ke negara berkembang memiliki sistem
pembangunan yang bisa dikatakan berubah-ubah namun tidak bertentangan dengan dasar negara
dan konstitusi. Perubahan puncuk pimpinan menjadi faktor perubahan sistem yang dianut.

Pada awal kemerdekaan, di bawah pimpinan Soekarno, sistem yang dianut adalah sistem
pembangunan yang berdikari. Berdikari yang dimaksud adalah Indonesia tidak boleh terlalu
bergantung dengan negara lain, apalagi dengan negara maju seperti Amerika Serikat atau Uni
Soviet. Saat itu, Soekarno menolak untuk berkompromi dengan negara luar. Sepertinya Soekarno
pada masanya memiliki keyakinan yang kuat dengan kemampuan untuk membangun Indonesia.

Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, ada pergeseran, yang awalnya anti terhadap dunia
luar berubah menjadi sangat pro. Ini diperlihatkan dengan membuka peluang bagi asing untuk
berinvestasi menanamkan modal di Indonesia. Di era orde baru ini menitik beratkan pada
pembangunan.

Sedangkan setelah era reformasi, banyak hal yang berubah. Indonesia sepertinya semakin
membuka diri dengan dunia luar. Banyak persekutuan diikuti oleh Indonesia, mulai dari PBB,
APEC, ASEAN dan lain sebagainnya. Ini dimaksud sebagai jalan untuk membuka kerjasama
antara Indonesia dengan negara lain. Memang di era globalisasi seperti sekarang ini Indonesia
harus mengikuti tren. Teren untuk berkerjasama dengan dunia internasional.

Sebenarnya pembangunan nasional Indonesia itu merpakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk
mewujudkan tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945. Dan seluruh pembangunan yang
dilaksanakan tidakboleh bertentangan dengan sila-sila dalam Pancasila. Jadi inti dari
pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan
nasional.
2.3 Faktor Penghambat Penerapan Teori Ketergantungan di Indonesia

Indonesia di era globalisasi ini tidak bisa terlepas dari pengaruh luar. Bisa dilihat bagaimana
sikap Indonesia ketika terjadi kekurangan atau kelangkaan kedelai, daging dan lainnya.
Pemerintah Indonesia melakukan impor. Ini berarti Indonesia sangat tergantung dengan negara
lain.

BAB III

KESIMPULAN

Teori Dependensi adalah suatu keadaan dimana keoutusan-keputusan utama yang mempengaruhi
kemajuan ekonomi di Negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola
investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar Negara yang
bersangkutan.

Secara historis, teori Dependensi lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan
ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin. Secara teoritik,
teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia
Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian
negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.

Setelah menghadapi sekian banyak tudingan dari teorisi Dependensi, banyak juga para analis
pembangunan yang berpegangan pada teori awal tadi yang merasa bahwa hal-hal yang
dikemukakan dalam teori Dependensi itu sesuatu yang dilebih-lebihkan. Adapun yang
menuduh :kaum dependista” telah mendistorsikan sejarah dalam kupasan mereka, terutama yang
menyangkut hubunagan antara negara-negara maju dengan negara-negara terbelakang. Namun,
nyatanya teori Dependensi dan keterbelakangan tersebut memang mendapat pengaruh yang besar
di tengah negara-negara sedang berkembang.

Anda mungkin juga menyukai