Anda di halaman 1dari 193

Kumpulan Tulisan

EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN


Tinjauan Konseptual Atas Ekonomi Politik 
Lokal, Nasional, Internasional

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
SILABI

No. Judul Halam


Bab an
1 Ekonomi Politik Pembangunan & Tinjauan Konseptual 3
Atas Ekonomi Politik Internasional

2 Sumber Kuasa Korporasi 15

3 Hegemoni G-8 dan Hancurnya Kedaulatan 22


Ekonomi-Politik Negara-Negara Selatan

4 IMF/Bank Dunia dan Kita 34

5 Blok Cepu: Pertamina Vs Exxon 42

6 Keberadaan Freeport di Indonesia 52

7 Privatisasi BUMN Dalam Rangka Pembiayaan APBN 60

8 Dampak Hutang Luar Negeri Terhadap Ekonomi Politik 81


Indonesia

9 BLBI dan Tanggung Jawab Para Antek IMF 92

10 AFTA dan Implikasinya Bagi Indonesia 96

11 Dilema Kenaikan Harga BBM 109

12 Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 120


1945 - 2007

13 Pemberantasan Korupsi 134

14 Kapitalisme, Industrialisasi dan Pembangunan di Amerika 150


Latin: Peninjauan Kembali Paradigma Ketergantungan

15 Perilaku Petani: Kajian Ekonomi Politik 180

GLOSARIUM 196

2
BAB 1
Ekonomi Politik Pembangunan &
Tinjauan Konseptual Atas Ekonomi Politik Internasional
Oleh Asep Setiawan*

Ekonomi Politik menurut Ilchman-Uphoff adalah “an integrated social


science of public choice“, dan juga ekonomi politik merupakan keseluruhan
semua usaha-usaha, perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh Pemerintah yang bertujuan untuk mengatur, mempengaruhi atau langsung
menetapkan jalannya kejadian-kejadian kehidupan ekonomi secara langsung
dengan satu atau banyak cara.
Bahwasanya ekonomi politik pada negara-negara yang baru berkembang
dan politik ekonomi yang dijalankan pada negara-negara yang ekonomis maju
agak berbeda, hal ini tergantung daripada sasaran-sasaran apa yang akan diberikan
prioritas. Begitu pula tidak pernah ada kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar
negeri, dalam negeri, ataupun usaha-usaha pengembang hukum yang lepas dari
persoalan pembiayaan, dalam bentuk apapun ada hubungannya dengan cara
manusia berekonomi, juga dengan adanya tindakan-tinadakan terutama demi
peraturan atau demi pengaruh dari kejadian-kejadian ekonomi dalam negeri, luar
negeri atau tambahan pengaruh politik kebudayaan atau aspek-aspek hukum yang
harus betul-betul diperhatikan. Bahwasanya ekonomi politik dapat ditujukan
kearah: Pertama, memperbaiki keadaan moneter suatu negara, Kedua,
Mengusahakan untuk memperbanyak invesatasi di dalam negeri. Ketiga,
mematahkan posisi-posisi monopoli pihak swasta yang merugikan. Keempat,
mengusahakan agar “diperbaiki” neraca pembayaran yang memburuk dan
sebagainya. dikarenakan didalam politik dibahas penerapan kekuasaan atau
wewenang dan persaingan untuk memperolehnya dalam suatu komunitas. Dan
ekonomi membahas alokasi dan pertukaran sumber daya ekonomi maupun politik
yang langka.

*) http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/tinjauan-konseptual-atas-
ekonomi-politik-internasional/

3
Beberapa perspektif Ekonomi Politik :

a. Perspektif Liberal, tujuan adalah pertumbuhan dalam konteks ekonomi dunia.


Peran negara dalam hal ini sebagai bersifat sekunder, jaminan keamanan dan
infrastruktur. Sifat sistem internasional adalah menguntungkan semua pihak
berdasarkan pertimbangan “Comparatif Advantage”. Beberapa hambatan terhadap
pencapaian tujuan : Pertama, Kultural yakni budaya korupsi, serta kemampuan
manajemen rendah. Kedua, Hambatan struktural yakni kurang mampu
menyesuaikan ekonomi nasional dengan kebutuhan pasar internasional. Resep
yang coba ditawarkan yakni melalui Integrasi dengan sistem internasional.
Kelemahan : menekankan aspek-aspek individu dalam proses pembangunan.
Dimana setiap individu diberikan kebebasan untuk melakukan tindakan ekonomi
dan bebas untuk menindas pihak yang lemah di dalam persaingan ekonomi global
tanpa ada campur tangan dari pemerintah.

b. Perspektif Marxis, Tujuan dari perspektif Marxis ini adalah mencapai


Pertumbuhan, pemerataan dan otonomi nasional. Disini peran negara bersifat
primer dan bertindak sebagai wiraswasta atau pengelola ekonomi. Sifat sistem
internasional cenderung merugikan si lemah. Hambatan yang dihadapi adalah
kendala struktural yakni adanya dominasi kelas borjuis. Perspektif Marxis
mengajarkan untuk menghindarkan diri dari sistem kapitalis internasional.
Kelemahan : negara memiliki kekuasaan mutlak untuk memaksakan
kehendaknya terhadap warganya, dimana negara menentukan secara paksa tentang
faktor produksi apa yang harus dipunyai serta hasil-hasil produksi apa yang harus
dihasilkan. Sehingga individu tidak memilki kreativitas dalam melakukan
kegiatan usahanya.
c. Perspektif Neo-Marxis/ Depedencia, bertujuan untuk mengupayakan
pertumbuhan, pemerataan dan juga otonomi nasional. Peran negara dalam
perspektif Neo Marxis ini bersifat primer, dan usaha ditujukan untuk menghadapi
kapitalis dunia. Sifat dari sistem internasional lebih cenderung merugikan si
lemah. Hambatan yang dihadapi dalam pencapaian tujuan ialah hambatan
struktural dimana kapitalisme internasional dituduh sebagai penyebab
kemerosotan Dunia Ketiga. Jalur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan

4
menurut perspektif ini adalah dengan mengadakan suatu revolusi menentang
sistem kapitalis internasional.
Kelemahan : terjadi ketergantugan antara negara yang kuat (leading sector)
dengan negara yang miskin (legging sectors) dimana perspektif ini cenderung
untuk berfokus pada masalah pusat dan modal internasional sebagai penyebab
kemiskinan dan keterbelakangan, daripada masalah pembentukan klas-klas lokal.

d. Perspektif Non Marxis / Depedencia, Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai
serta peranan negara dalam perspektif ini tidak berbeda dengan perspektif Neo
Marxis. Begitu pula dengan sifat sistem internasional yang diterapkan serta
hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pencapaian tujuan adalah sama dengan
yang dihadapi para penganut perspektif Neo Marxis. Akan tetapi dalam perspektif
Non Marxis mereka mencoba menawarkan hal baru dalam mencapai tujuan yang
ingin dicapai yakni dengan cara mempersiapkan kelompok kepentingan pembela
rakyat lapisan bawah di tingkat nasional.
Kelemahan : mengabaikan produktivitas tenaga kerja sebagai titik sentral
dalam pembangunan ekonomi nasional dan juga perspektif ini dirasa statis, karena
tidak mampu menjelaskan dan memperhitungkan perubahan-perubahan ekonomi
di negara-negara terbelakang menurut waktu dan perubahannya.
e. Perspektif Tata Ekonomi Internasional Baru, dalam perspektif ini tujuan
yang ingin dicapai adalah pertumbuhan dalam konteks kerjasama internasional
dan juga pemerataan. Peranan negara bersifat primer dimana negara bertindak
sebagai aktor dalam posisi “bargaining” dengan negara-negara Utara. Sifat sistem
internasional cenderung merugikan si lemah akan tetapi hal ini bisa direformasi
sehingga dapat menguntungkan semua pihak. Hambatan yang harus dihadapi di
bidang struktural adalah sistem ekonomi dunia yang timpang merugikan Dunia
Ketiga. Upaya yang dicoba dilakukan dan ditawarkan dalam upaya mencapai
tujuan adalah dengan mengadakan “dialog” Utara-Selatan untuk reformasi sistem
internasional.
Kelemahan: usaha mengejar ketimpangan negara-negara dunia ketiga
terhadap negara-negara Utara semakin sulit dilakukan dikarenakan posisi
bargaining yang dimiliki negara-negara berkembang sangat lemah. Oleh karena

5
itu diperlukan upaya menjembatani ketimpangan terebut dengan mengadakan
dialog Utara Selatan untuk reformasi sistem internasional.
f. Perspektif Kebutuhan Dasar, Dalam perspektif ini tujuan yang ingin dicapai
adalah pemerataan dengan sasaran 60% lapisan masyarakat paling bawah. Negara
dalam perspektif ini bersifat primer dimana negara bertindak sebagai promotor
reformasi struktur sosial ekonomi. Yang masih menjadi tanda tanya adalah sifat
sistem internasional yang ingin diterapkan. Hambatan terhadap pencapaian tujuan
adalah kendala struktural yakni struktural kelas domestik anti pemerataan. Dalam
perspektif ini mengajarkan bahwa dalam mencapai tujuan diperlukan langkah
penggunaan perundang-undangan dan tindakan nyata lain untuk merubah strategi
ke arah pemerataan pembangunan.
Kelemahan : aspek-aspek yang dipergunakan dalam rangka mencapai
pemerataan ekonomi berimbas pada tingkat pertumbuhan itu sendiri. Dimana
hasil-hasil pembangunan tidak dapat langsung menaikkan secara drastis
pertumbuhan ekonomi sehingga dirasa cukup lambat.
Bahwasanya menurut hasil pengamatan dan analisa saya, saat ini
pemerintah Indonesia dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cenderung
menggunakan perspektif Tata Ekonomi Internasional Baru. Hal ini dapat dilihat
dari masa awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya di
bidang ekonomi dalam rangka usaha menjalankan pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi dengan memberikan dorongan kepada sektor usaha-usaha ekonomi
rakyat yang sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Presiden
menberuikan kemudahan usaha dan pemebrian kredit lunak bagi para pengusaha
kecil untuk mengembangkan usahanya. Dan hal ini membuahkan hasil, ketika
Indonesia dilanda krisis yang membuat pertumbuhan ekonomi merosot -13,7%
(1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain, dalam satu
tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian, ekonomi
nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang terjadi
capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk, sedangkan
investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang belum menentu.
Akan tetapi unit usaha UMKM sebagai “investasi ekonomi rakyat” mampu
memberikan ketahanan uji dalam menghadapi krisis yang melanda. Sehingga

6
sektor UMKM (underground economy) mampu mnyelamatkan Indonesia dari
keterpurukan krisis.
Dalam upaya mengejar langkah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi
seluruh wilayah di tanah air, pemerintah perlu untuk meningkatkan upaya
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah indonesia bagian timur agar
tingkat pertumbuhan dapat sejajar dengan wilayah indonesia bagian barat atau
paling tidak sedikit berada satu strip dibawahnya sehingga mampu berkembang
secara bersama-sama. Pemerintahan SBY membentuk departemen khusus dalam
pemerintahan yang menangani bidang akselerasi atau percepatan pembangunan
wilayah indonesia bagian timur.Di bidang politik luar negeri, pemerintah
berupaya meningkatkan posisi tawar-menawar (bargaining) bangsa ini atas
dominasi negara-negara utara atau negara-negara maju terhadap negara-negara
dunia Ketiga atau negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam hal ini, negara-
negara berkembang membentuk suatu kesepakatan atau perjanjian yang dikenal
dengan kelompok negara G77 yang dimaksudkan untuk membentuk keseragaman
langkah dan gerak dalam menghadapi dominasi negara-negara Utara.

Makin banyak kasus dalam hubungan internasional masalah ekonomi dan politik
terkait erat. Bantuan luar negeri yang diberikan kepada Indonesia dan negara
berkembang lainnya tak lepas dari kepentingan politik lembaga keuangan
internasional dimana para pemegang sahamnya didominasi dan dikuasai negara
Barat. Begitu masalah politik dalam negeri muncul maka Dana Moneter
Internasional dan Bank Dunia memberikan peringatan agar reformasi dilanjutkan
atau bantuan dihentikan.
Ancaman seperti itu tidak hanya diterima Indonesia tetapi juga negara besar
seperti Cina dimana perlakukan dari Amerika Serikat menentukan perdagangan
kedua negara. Ekspor Cina ke AS dikaitkan dengan kepentingan politik. Bila
terjadi pelanggaran hak asasi manusia maka dengan serta merta AS mengancam
akan meninjau lagi kebijakan perdagangannya kepada Cina.
Ketika Irak melancarkan serangan kepada Kuwait dan bahkan hingga kini ketika
Irak sudah mundur dari Kuwait, Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya masih
memberlakukan embargo perdagangan sebagai hukuman atas tindakan politik dan

7
militer pemerintah pimpinan Presiden Saddam Hussein. Demikian pula Iran
mengalami embargo perdagangan dari AS.
Kasus-kasus itu makin menunjukkan bahwa seusai Perang Dingin, masalah
ekonomi politik internasional makin kental dalam hubungan antar bangsa dan
bahkan antar benua. Ketika Indonesia dianggap tidak bisa mengendalikan
keamanan di Timor Timur pasca jajak pendapat, IMF langsung menghentikan
perundingan pemberian bantuan. Demikian pula Amerika Serikat menghentikan
kerja sama di bidang militer. Ini makin jelas bahwa tidak ada tindakan politik
bebas dari kepentingan ekonomi dan tidak ada pula sebuah kebijakan ekonomi
lepas dari kepentingan politik.
Makalah akan dibuka dengan tinjauan tentang pengertian dan cakupan studi
ekonomi politik internasional. Bagian kedua akan mengulas perjalanan historis
pemikiran ekonomi politik internasional.
Pengertian
Secara tradisional, demikian kata James E Alt dan Alberto Alesina (1996),
perilaku ekonomi berarti orang yang memaksimalkan nilai tukar sedangkan
perilaku politik menyangkut pemberian suara dan bergabung dengan kelompok
kepentingan.Eksistensi paralel dan eksistensi bersama “negara” dan “pasar” dalam
dunia modern ini melahirkan apa yang dinamakan “ekonomi politik”. Tanpa
kedua unsur itu takkan ada ekonomi politik.
Menurut Robert Gilpin (1987)[1] ketiadaan negara, mekanisme dan kekuatan
pasar akan menentukan kegiatan ekonomi. Hal ini akan menjadi fenomena
ekonomi murni. Sebaliknya tiadanya pasar, negara sendiri akan mengalokasikan
sumber-sumber ekonomi. Inilah dunia ilmuwan politik.
Meskipun tak ada dunia muncul dalam bentuk murni, pengaruh relatif negara atau
pasar memberikan perubahan sepanjang waktu dan dalam lingkungan yang
berbeda.
Menurut Gilpin, istilah ekonomi politik memiliki ambiguitas. Adam Smith dan
ekonom klasik menggunakannya untuk mengartikan apa yang sekarang disebut
ilmu ekonomi. Baru-baru ini, sejumlah pakar seperti Garu Becker, Anthony
Downs dan Bruno Frey mendefinisikan ekonomi politik sebagai aplikasi

8
metodologi formal ekonomi yang disebut model aktor rasional, untuk semua tipe
perilaku manusia.
Pakar lain menggunakan istilah ekonomi politik ini dengan pengertian
penggunaan teori ekonomi khusus untuk menjelaskan perilaku sosial, permainan,
tindakan kolektif dan teori Marxist. Sedangkan pakar lainnya memakai istilah
ekonomi politik untuk merujuk pada masalah yang dihasilkan oleh interaksi
kegiatan ekonomi dan politik.
Gilpin mengistilahkan ekonomi politik untuk mengindikasikan serangkaian
masalah yang dikaji dengan campuran yang lengkap metode analitik dan
perspektif teoritis. Sedangkan fokus interaksi itu adalah aktivitas manusia antara
negara dan pasar.
Formulasi ini sebenarnya tidak baru. George Hegel dalam Philosophy of Right
sudah mengkaji hubungan antara negara dan pasar. Charles Lindblom (1977)
mengusulkan “pertukaran” dan “otoritas” sebagai konsep utama ekonomi politik.
Peter Blau (1964) menggunakan “pertukaran” dan “paksaan”; Charles
Kindleberger (1970) dan David Baldwin (1971) merujuk pada “kekuasaan” dan
“uang”; Klaus Knorr (1973) memanfaatkan istilah “kekuasaan” dan “kekayaan”.
Sedangkan Oliver Williamson (1975) secara kontras memakai istilah “pasar” dan
“hirarki”, Richard Rosecrance (1986) mengkontraskan antara “pasar” dan
“teritorialitas”.
Meskipun negara menyangkut politik dan pasar menyangkut ekonomi sebagai
sesuatu yang terpisah dalam dunia modern, namun tak bisa dipisahkan secara
total. Negara mempengaruhi hasil dari aktivitas pasar dengan menentukan
karakter dan distribusi hak-hak properti serta aturan yang menguasai perilaku
ekonomi. Banyak orang yang yakin bahwa negara dapat dan bisa mempengaruhi
kekuatan pasar. Oleh karena itu secara signifikan mempengaruhi kegiatan
ekonomi. Pasar itu sendiri adalah sumber kekuasaan yang mempengaruhi
keputusan politik. Dependensi ekonomi mengukuhkan hubungan kekuasaan
merupakan ciri fundamental dunia ekonomi kontemporer.
Untuk lebih jelasnya, Balaam (1997)[2] menguraikan ekonomi politik
internasional dari untaian pengertian per kata. Internasional, katanya, merujuk
pada penanganan masalah yang berkaitan dengan lintas batas nasional dan

9
hubungan diantara dua atau lebih dari dua negara. Sedangkan istilah politik
merujuk pada keterlibatan kekuasaan negara untuk membuat keputusan tentang
siapa yang dapat, apa, kapan dan bagaimana dalam sebuah masyarakat.
Politik adalah proses pilihan kolektif, kompetisi kepentingan dan nilai-nilai
diantara aktor berbeda termasuk individu, kelompok, bisnis dan partai politik.
Proses politik adalah kompleks dan berlapis-lapis yang melibatkan negara
nasional, hubungan bilateral diantara negara bangsa dan banyak organisasi
internasionnal, aliansi regional dan kesepakatan global.
Pada akhirnya ekonomi politik internasional adalah menyangkut ekonomi yang
berarti sesuatu yang berkaitan dengan cara bagaimana sumber-sumber yang
langka dialokasikan untuk kegunaan yang berbeda-beda dan didistriusikan
diantara individu melalui proses pasar yang desentralisasi. Analisa ekonomi dan
analisa politik, tulis Balaam, sering melihat kepada masalah yang sama namun
analisa ekonomi berfokus tidak banyak kepada soal kekuasaan dan kepentingan
nasional Tetapi kepada masalah pendapatan dan kekayaan serta kepentingan
individual. Oleh sebab itu ekonomi politik, merupakan kombinasi dua cara
memandang secara utuh terhadap dunia dalam rangka mengetahui karakter
fundamental masyarakat.
Studi ekonomi politik internasional merupakan ilmu sosial yang didasarkan pada
satu kerangka masalah, isu dan kejadian dimana unsur ekononomi, politik dan
internasional terkait dan tumpang tindih sehingga menciptakan pola interaksi yang
kaya. Dunia merupakan sebuah tempat yang kompleks yang dihubungkan dengan
berbagai unsur yang saling berpengaruh. Mulai dari tingkat individu, elit politik-
ekonomi sampai tingkat nasional bahkan tingkat kawasan melahirkan interaksi
yang tidak sederhana. Kontak antar perbatasan dan antar nilai yang berbeda
bahkan antar kepentingan yang beraneka ragam menimbulkan berbagai masalah.
Ilmu sosial berusaha untuk memahami pola dan karakter kondisi manusia di muka
bumi dengan menganalisa penyebab dan sumber konflik serta bagaimana mereka
menyelesaikannya. Studi ekonomi politik internasional ikut memberi andil dalam
memahami ketegangan yang melibatkan kepentingan ekonomi dan politik antar
bangsa. Menurut Balaam, ekonomi politik adalah bidang studi yang menganalisa

10
masalah yang muncul dari eksistensi paralel dan interaksi dinamik “negara” dan
“pasar” di dunia modern.
Interaksi ini yang mendefinsikan ekonomi politik dapat dilukiskan dalam
sejumlah cara. Untuk tingkat tertentu, ekonomi politik berfokus pada konflik
fundamental antara kepentingan individu dan kepentingan lebih luas masyarakat
dimana individu eksis.
Bisa juga dijelaskan bahwa ekonomi politik merupakan studi ketegangan antara
market (pasar) dimana individu terlibat dalam kegiatan untuk kepentingan sendiri
dan negara dimana individu yang sama melakukan tindakan kolektif yang berlaku
demi kepentingan nasional atau kepentingan yang lebih luas yang didefinsikan
masyarakat.[3]
“Negara” merupakan realisasi dari tindakan dan keputusan kolektif. Negara sering
diartikan lembaga-lembaga politik negara bangsa modern, kawasan geografis
dengan hubungan yang relatif koheren sistem pemerintah. Negara bangsa itu
sendiri merupakan sebuah lembaga legal dengan ruang lingkup jelas teritorial dan
penduduk serta pemernitah yang mampu memikul kedaulatan. Misalnya wilayah
Indonesia, rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia.
Namun demikian kita juga perlu mempertimbangkan secara lebih luas pengertian
“negara” dengan sesuatu yang kolektif dan perilaku politik yang terjadi pada
banyak tingkat. Uni Eropa, misalnya, bukanlah sebuah negara-bangsa. Uni Eropa
adalah organisasi negara bangsa. Namun demikian organisasi ini membuat pilihan
dan kebijakan yang dapat mempengaruhi seluruh kelompok negara bangsa dan
penduduknya sehingga seperti sebuah negara.
Sementara itu market (pasar) merupakan realisasi tindakan dan keputusan
individu. Pasar biasanya diartikan lembaga-lembaga ekonomi kapitalisme
modern. Pasar merupakan lingkungan tindakan manusia yang didominasi oleh
kepentingan individu dan dikondisikan oleh kekuatan kompetisi. Kekuatan pasar
memotivasi dan mengkondisikan perilaku manusia. Individu didorong oleh
kepentingan pribadi untuk memproduksi dan mensuplai barang dan jasa yang
langka atau mengupayakan tawar menawar produk atau pekerjaan bergaji tinggi.
Mereka didorong oleh kekuatan kompetisi pasar untuk membuat produk lebih
baik,lebih murah atau lebih menarik.

11
Eksistensi paralel antara negara (politik) dan pasar (ekonomi) menciptakan
ketegangan fundamental yang memberikan ciri pada ekonomi politik. Negara dan
pasar tidak selalu konflik namun mereka tumpang tindih sehingga ketegangan
fundamentalnya tampak.
Menurut Balaam, ekonomi politik adalah disiplin intelektual yang menyelidiki
hubungan yang tinggi antara ekonomi dan politik. Ekonomi politik internasional
adalah kelanjutan dari penyelidikan di tingkat internasional. Ekonomi politik jelas
bukan hanya cara mempelajari atau memahami
Pemikiran ekonomi politik telah berkembang sejak beberapa abad lalu. Kini
aktualitas ekonomi politik semakin kuat karena pada kenyataannya kehidupan
ekonomi tak bisa dipisahkan dari kehidupan politik. Demikian pula sebaliknya,
keputusan politik banyak yang berlatar belakang kepentingan ekonomi. Fenomena
itu sangat kuat baik di negara maju maupun negara berkembang. Kaitan ekonomi
politik
Zaman Klasik Baru (Pertengahan Abad ke-19 sampai medio Abad ke-20)
Pada zaman klasik baru perkembangan ekonomi politik masih didominasi
pemikiran Mazhab Klasik. Namun muncul pula pemikiran lain yang berbeda
dengan aliran Klasik terutama setelah Marx dan Engels membuat teori-teori
mereka tentang sistem ekonomi. Namun dalam Zaman Klasik Baru yang dapat
diartikan sebagai masa jayanya pemikir-pemikir Aliran Klasik gaya baru mereka
lainnya.Tokh-tokoh pemikir zaman ini antara lain : Herman Heinrich (1810-
1858), Karl Merger (1841-1921), Eugen von Bohn Bawerk (1851-1914) dan
Friedrich von Wieser (1851-1926).
Perbedaan antara pemikiran Mazhab Klasik dan Mazhab Neo Klasik terletak pada
pola pendekatan dan metodologi yang dikembangkan. Pusat studi mulai melebar
dari Jerman, Inggris, Austria dan Amerika Serikat. Tidak semua pemikir memberi
konotasi ekonomi politik sebagai kajian mereka karena kebanyakan teori yang
diungkapkan berupa prinsip-prinsip ekonomi konvensional atau hal-hal yang
paradoksal dengan studi ekonomi politik akibat keengganan mereka menggunakan
menyebut istilah tersebut.Buah pemikiran mereka dapat dijadikan tolok ukur
tentang polemik yang terjadi mengenai eksistensi ekonomi politik yang mulai

12
popular abad ke-20. Tokoh-tokoh yang mengembangkan studi pembangunan
masyarakat yang tak lupa dari pemikiran ekonomi adalah Lucian Pye, La
Palombara, David Easton, Gabriel Almond, Max Weber, Huntington dan Hans J
Morgenthau.
Zaman Klasik Baru II
Mazhab ini muncul menjadi penyempurna Mazhab Klasik Baru. Tokoh
pemikirnya antara lain Piero Sraffa (1898-1983), Joan V Robinson (1903-1983)
dan edward H Chamberlain (1899-1967). Mazhab ini memberikan sumbangan
besar dalam lapangan ekonomi politik berupa teori-teori pembaharuan mazhab
pasar, masalah-masalah ekonomi kesejahteraan yang menyoroti segi normatif dari
mekanisme pasar. Mazhab ini menyorot segi moral dari monopoli dimana adanya
pemerasan terhadap tenaga kerja karena praktek itu menimbulkan kesengsaraan
pihak lain.Pendapat Neo Klasik antara lain :
1. Prinsip akumulasi kapital sebagai suatu faktor penting
2. Perkembangan perekonomian sebagai hasil proses bertahap, harmonis dan
kumulatif.
3. Optimisme terhadap perkembangan perekonomian.
4. Adanya aspek internasional dari perkembangan ekonomi.Menyangkut aspek
internasional perkembangan ekonomi suatu negara mengalami beberapa tahap:
a. Mula-mula negara meminjam modal .
b. Setelah melakukan produktivitas akan membayar dividen dan bunga pinjaman.
c. Peningkatan hasil negara dan sebagian melunasi pinjaman modal.
d. Menerima dividen dan bunga atau surplus.
e. Pemberi pinjaman.
Zaman Keynesian (Pertengahan Abad ke-20)
Mazhab ini dipelopori John Maynard Keynes (1883-1946), seorang pakar filsafat
dari Cambridge University, Inggris. Ciri-ciri Mazhab ini adalah :
1. Keadaan ekonomi keseluruhannya merupakan fokus untuk dianalisis.
2. Pendobrakan atas ilmu ekonomi klasik yang berasumsi bahwa sumber ekonomi
yang mengatur dirinya sendiri itu digunakan seluruhnya dan dianggap stabil.

13
3. Dalam perekonomian kapitalis dapat berkembang ketidakseimbangan yang
serius dan pengangguran serta depresi jangka panjang.Sementara itu ikhtisar
umum tentang ekonomi politik antara lain :
1. Tidak berlaku lagi dalil kuat dari pemikiran Mazhab Klasik yang menyangkut
negara dan ekonomi yang mengejar tujuan masing-masing.
2. Penguasa politik dapat mempengaruhi ekonomi melalui variabel ekonomi.
3. Analisis ekonomi dan kebijakan negara yang berpola intervensi aktif.
4. Kebajika individu dalam tabungan masyarkat dapat merugikan kepentingan
umum.
Zaman Post Keynesian
Para pemikirnya bertujuan memperluas cakrawala untuk analisis jangka panjang.
1. Terdapat syarat-syarat penting yang diperlukan untuk mempertahankan
perkembangan yang mantap dari pendapatan pada tingkat full employment
income dengan tidak mengalami deflasi maupun implasi
2. Apakah pendapatan itu benar-benar bertambah pada tingkat sedemikian rupa
sehingga dapat mencegah terjadinya kemacetan yang lama atau inflasi secara terus
menerus.

[1] Robert Gilpin The Political Economy of International Relations. NJ: Princeton
University Press, 1987, hal. 8
[2] David N Balaam and Michael Veseth, Introduction to International Political
Economy. New Jersey: Prentice Hall, 1997, hal. 4.
[3] Ibid., hal. 6.

14
BAB 2
Sumber Kuasa Korporasi*)

Mengapa Blok Cepu dimenangi ExxonMobil? Mengapa pemerintah lebih


mendukung Freeport, bukan orang Papua?

Efisiensi-produktivitas bisa menjadi argumen, namun tidak cukup menjelaskan


fenomena berkuasanya korporasi multinasional di hadapan pemerintah/ negara.
Jajak pendapat Business Week/Harris, September 2000, menunjukkan, sebagian
besar responden AS pun—asal sebagian besar korporasi raksasa—sepakat, kuasa
bisnis terhadap berbagai aspek kehidupan manusia sudah berlebihan. Kuasa
korporasi kini adalah riil.

Sumber kuasa

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi indikasi sumber kuasa itu: size ekonominya,
kekuatan diplomasi-lobinya, dan perilaku korup elite domestik/lokal.

Sepuluh tahun lalu, Raghavan menandaskan, dua pertiga ekonomi dunia dikontrol
korporasi transnasional. Anderson dan Cavanagh (2000) menemukan, 100 entitas
ekonomi terbesar di dunia terdiri dari 51 korporasi (dilihat dari sales-nya) dan 49
negara (dari GDP-nya). GDP Indonesia kalah dari total sales Exxon—salah satu
korporasi terbesar di dunia. Berdasar World Investment Report 2004-2005,
kekuatan ekonomi korporasi tumbuh kian besar, melebihi pertumbuhan GDP
negara. Total sales 10 korporasi terbesar tahun 2003 telah melebihi total GDP
negara Amerika Latin dan Karibia yang menciut menjadi 1,799,549 juta dollar
AS. Tahun 2000-2003, total sales Exxon meningkat 45 persen, GDP Indonesia
hanya 15 persen.

*) Sumber tulisan ini berasal dari Aloysius Gunadi Brata, Fakultas Ekonomi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
http://www.kompas.co.id/kompascetak/0603/20/opini/2519348.htm
dan Khudori, Negara Versus Korporasi,
http://www.korantempo.com/korantempo/2006/03/28/Opini/krn,20060328,67.id.ht

15
Luasnya negara atau penduduk yang banyak tidak lagi berarti saat menghadapi
raksasa korporasi yang total pekerjanya (”penduduk”-nya) kurang dari jutaan
orang, di antaranya berstatus foreign employment, terlebih pada korporasi yang
mengeksploitasi sumber daya alam. Lebih dari 60 persen pekerja ExxonMobil
adalah non-Amerika. Artinya, selain eksploitasi sumber alam negara berkembang,
kemakmuran korporasi raksasa juga karena dukungan pekerja yang lebih terdidik
dan berkualitas.

Kuasa korporasi juga ditambah kekuatan lobi-lobi politik, tercermin dari nama-
nama besar dalam daftar pimpinan korporasi. Karena keputusan-keputusan untuk
korporasi terkait ranah politik, tidak aneh jika diplomat atau mantan-mantan
diplomat negara asal korporasi ada yang menjadi pimpinan atau penasihat
korporasi. Di situs grup Freeport ada Dr Henry A Kissinger dan J Stapleton Roy.
Terkait hak asasi manusia, ada nama Gabrielle K McDonald, mantan Ketua
International Criminal Tribunal.

Tokoh-tokoh seperti ini tentu punya jalur diplomasi dengan pimpinan negara
tempat eksploitasi dilakukan dan punya akses ke pemerintahan di negara asal
korporasi. Bila diperlukan, tekanan-tekanan politik demi tercapainya keputusan-
keputusan bisnis yang memenangkan korporasi tentu menjadi lebih efektif.

Kuasa korporasi kian digdaya saat para elite penguasa di negara sasaran
eksploitasi masih bertabiat korup. Mudahkan urusan bisnis dengan cara
memuaskan tabiat korup elite negara berkembang. Pelestarian lingkungan atau
soal hak asasi manusia bisa disepelekan. Pelanggaran oleh korporasi multinasional
justru dianggap sepi oleh penguasa, sementara penduduk lokal justru disalahkan,
dibodoh-bodohkan.

Transparency International 2005 melaporkan, lembaga-lembaga yang terkorup


masih itu-itu juga, yakni partai politik, parlemen, polisi, dan sistem pengadilan. Di
sini, Indonesia termasuk menonjol dalam hal optimisme akan berkurangnya
korupsi di masa datang, namun masih masuk daftar negara yang partai politiknya
paling korup. Pun, sejumlah negara maju yang merupakan negara asal korporasi

16
multinasional seperti AS masuk daftar yang sama. Korupsi (termasuk
penyogokan) terjadi karena ada demand dan supply.

”Pasar” korupsi marak saat ”keuntungan” lebih besar dari biaya korupsi. Bentuk
nyatanya termasuk ”dana keamanan” atau ”uang makan” tentara/polisi. Jane
Perlez dan Raymond Bonner (New York Times, 27/12/ 2005) menulis, uang
makan yang disalurkan Freeport di Papua untuk para komandan militer mencapai
ratusan ribu dollar.

Melawan kuasa korporasi?

Mungkin hanya gerakan seperti nasionalisasi korporasi asing saja yang dapat
”mematahkan” kuasa itu. Namun, cara demikian tidak santun. Artinya, ruang
untuk berkelit dari jeratan kuasa korporasi kian menyempit. Untuk melawan size
ekonomi korporasi, ekonomi nasional harus tumbuh setinggi mungkin. Mencegah
korporasi multinasional memanfaatkan jalur-jalur lobi atau diplomasi tingkat
tinggi dalam urusan bisnis mereka juga tidak mungkin.

Yang paling mungkin dan harus dilakukan adalah membersihkan lembaga-


lembaga penting di sini dari perilaku korupsi. Adalah tugas pemerintah
membuktikan optimisme pemberantasan korupsi seperti dilaporkan Transparency
International. Apalagi karena ada banyak renteten positif yang diperoleh jika
korupsi bisa diminimalisasi. Tanpa aparat dan elite politik yang bersih, upaya
melawan kuasa korporasi multinasional hanya mimpi kosong.

Apakah nasib kita terus dalam jeratan korporasi multinasional? VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) adalah korporasi multinasional pertama di dunia yang
dibentuk tahun 1600-an. Bila kini kita merasa berada dalam jeratan korporasi
multinasional, sebetulnya itu sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu.

Mengapa pemerintah lebih percaya kepada ExxonMobil ketimbang Pertamina dan


Freeport ketimbang rakyat Papua? Analisis teknis-ekonomis bisa diajukan, tapi itu

17
tak mampu menyentuh jantung persoalan sesungguhnya: merajalelanya korporasi.

Bergolaknya protes atas kehadiran PT Freeport Indonesia di Papua sejak Februari


lalu tidak dijadikan pelajaran penting oleh para petinggi negeri ini untuk
menentukan arah kebijakan berikutnya. Ketika gelombang protes dan demonstrasi
rakyat Papua bergejolak hingga tumpah darah dan jatuh korban, pemerintah
mengeluarkan kebijakan hampir serupa: menyerahkan kepemimpinan
operatorship Blok Cepu kepada perusahaan Amerika Serikat, ExxonMobil Oil.
Mengapa pemerintah lebih percaya kepada ExxonMobil ketimbang Pertamina dan
Freeport ketimbang rakyat Papua? Analisis teknis-ekonomis bisa diajukan, tapi itu
tak mampu menyentuh jantung persoalan sesungguhnya: merajalelanya korporasi.

Pada 1980-an, kapitalisme menang atas komunisme. Pada 1990-an, diam-diam


kapitalisme menang lagi atas demokrasi. Maklum, demokrasi bisa dijual dengan
harga penawaran tertinggi, dan pasar bebas tanpa batas--yang kini gencar
dikampanyekan lewat jargon globalisasi--ternyata dirancang untuk diatur secara
terpusat oleh megakorporasi global yang ukurannya (baca: kekuatannya) lebih
besar daripada negara.

Tanpa disadari, meminjam istilah David C. Korten, korporasi kini telah mengatur
dunia. Tony Clarke, seorang akademisi dan aktivis di Kanada, dalam buku The
Case Against the Global Economy (2001) menyebutkan, dari 100 institusi dunia
yang paling kaya, termasuk negara, 52 institusi terkaya itu adalah korporasi
transnasional (TNC), dan 70 persen perdagangan global dikontrol oleh hanya 500
perusahaan. Sebagai ilustrasi, total penerimaan Mitsubishi jauh lebih besar
daripada pendapatan kotor domestik (GDP) Indonesia, pendapatan Ford melebihi
GDP Afrika Selatan, dan pendapatan Dutch Shell melebihi GDP Norwegia
(www.acmoti.org).

GDP Indonesia kalah dari total sales Exxon--salah satu TNC dunia. Dengan
kekuatannya itu, TNC bisa mendikte kebijakan negara tempat ia tinggal, lewat
lobi partai dan penguasa. Chiquita, TNC Amerika yang memproduksi dan
mengontrol 50 persen perdagangan pisang dunia, pada 1997 menyogok lebih US$
500 ribu untuk kampanye Partai Republik ataupun Partai Demokrat di AS. Karena

18
kuatnya lobi, koalisi TNC bisa menaikkan sumbangan politisnya ke Partai
Republik yang berkuasa, dari US$ 37 juta (1992) menjadi US$ 53 juta (2002).
Kini 72 persen pundi partai itu dipasok TNC, terutama TNC agrobisnis (The New
York Times, 9 September 2003). Sebagai imbalannya, Presiden Bush pada 2002--
antara lain--meneken Farm Bill senilai US$ 180 miliar untuk 10 tahun ke depan.

Perkembangan benih transgenik di AS dan di berbagai belahan dunia oleh dua


TNC raksasa, Du Pont dan Monsanto, juga tak lepas dari peran Departemen
Pertanian AS (USDA). Bahkan, dalam forum-forum perundingan penting, Cargill
dan Monsanto punya pengaruh besar. Seorang eksekutif Cargill telah memimpin
Tim Negosiasi Hayati (biosafety protocol) di Cartagena, sementara Mickey
Cantor, bekas ketua USTR (kantor perdagangan AS), duduk dalam board
Monsanto (Setiawan, 2003). Dengan posisi strategis seperti itu, para TNC--dalam
kasus ini TNC agrobisnis--mudah memasukkan kepentingannya lewat pemerintah
AS, pemegang saham terbesar (18 persen) di Dana Moneter Internasional (IMF).

Dalam kasus ExxonMobil, seperti ditulis Kwik Kian Gie (Kompas, 23 Februari
2006), pemerintah AS ikut campur tangan demikian jauh. Tujuannya agar
perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai
pengelola Blok Cepu. Tidak tanggung-tanggung, campur tangan dilakukan
pemimpin tertinggi ExxonMobil, Duta Besar Ralph Boyce, dan Presiden Bush.
Kedatangan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, yang bersamaan dengan
panasnya penentuan operator Blok Cepu, bukan sebuah kebetulan. Meskipun
Menteri Koordinator Perekonomian Boediono membantah ada intervensi atau
tekanan (Kompas, 16 Maret 2006), penunjukan Exxon sebagai operator Blok
Cepu tampak paralel dengan kehadiran Rice.

Inilah kenyataan mutakhir di depan mata: penguasa negara didikte untuk melayani
dan memuluskan kepentingan korporasi. TNC, yang mestinya tunduk kepada
otoritas politik tempatnya berada, justru bisa mendikte negara yang berdaulat dan
pemimpin yang mendapat mandat dari rakyat untuk menyerahkan kedaulatan
kepada mereka. Dengan kekuatan ekonomi, lobi politik, dan fleksibilitas sebagai
"birokrasi" lintas negara, korporasi menjelma bak raksasa. Negara jadi kerdil dan

19
tak berdaya. Penguasa negara lantas mengabdi kepada kepentingan korporasi,
bukan melayani rakyat.

Negara besar yang dipimpin penguasa lemah, seperti Indonesia, akan jadi bulan-
bulanan TNC semacam Exxon dan Freeport, dengan meminjam tangan penguasa
yang bisa didiktenya (AS). Didorong hasrat kuat memperbesar keuntungan bagi
para investornya, korporasi global dan lembaga (keuangan) global, seperti IMF,
Bank Dunia, dan Badan Perdagangan Dunia (WTO), telah mengubah kekuasaan
ekonominya menjadi kekuasaan politik. Kini mereka mendominasi proses-proses
keputusan pemerintah dan mengubah kaidah-kaidah perniagaan dunia lewat
perdagangan internasional dan persetujuan investasi yang pro-TNC.

Di mana-mana dikampanyekan negara harus mundur dari urusan ekonomi,


digantikan kebijakan laissez faire. Tujuannya adalah memperbesar keuntungan.
Tidak peduli apakah kesewenang-wenangan pasar telah menjelma jadi kanker
planet, menjajah ruang hidup, merusak lingkungan, menghancurkan kehidupan,
mengusir orang, melumpuhkan lembaga-lembaga demokrasi, dan
menumbuhsuburkan nafsu mencari uang yang tak terpuaskan. Yang penting:
profit.

Maka, memasuki awal abad ke-21 ini, pemimpin-pemimpin negara setiap hari
cuma mendengar lima kata kunci yang berfungsi bak mantra: pasar bebas,
perdagangan bebas, pajak yang rendah, privatisasi, dan deregulasi. Dengan
mengadopsi kelima kata ini, "emoh negara" mendapatkan realisasinya paling
puncak. Negara minggir, sementara para pengusaha bebas beroperasi ke mana saja
tanpa restriksi. Setiap kali negara coba-coba intervensi, ia akan diingatkan dengan
Washington Consensus. Jika masih nekat, kupingnya akan ditarik polisi-polisi
internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Tugas pemimpin negara jadi sederhana, tapi vulgar: menjaga kepentingan


pengusaha. Dalam batas-batas tertentu, kemiskinan, tersingkirnya warga lokal,
rusaknya lingkungan, dan bentuk "kekerasan" lain dalam berbagai manifestasinya
di Papua tak lepas dari hadirnya Freeport di sana. Negara yang mestinya menjadi

20
majikan, pemilik, redistributor, regulator, dan pembuat kebijakan ekonomi justru
bersikap netral, seperti disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam penentuan
operator Blok Cepu. Bagaimana mungkin pemerintah tidak bersikap terhadap hal
yang menyangkut kepentingan negara?

Pertanyaannya: apa gunanya negara? Dewasa ini memang terjadi pergeseran besar
fungsi negara, seiring dengan keberhasilan kampanye kaum neoliberal. Namun, di
banyak negara, juga di negara maju, fungsi negara sebagai regulator, redistributor,
dan pembuat kebijakan ekonomi tidak banyak bergeser. Bahkan, seperti di Cina,
negara juga bertindak sebagai pemilik dan majikan. Faktor terpenting adalah visi
dan misi pemimpin negara. Dewasa ini kita menyaksikan negara kecil tapi
berdaya dan tidak mudah didikte TNC dan negara maju, seperti Venezuela,
Bolivia, dan Malaysia. Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Koran
Tempo, 24 Maret 2006), penulis sepakat globalisasi tak mungkin dihindari. Yang
penting, kata Yudhoyono, bagaimana kita cerdas menyikapinya. Sayang,
kecerdasan itu belum tampak.

URLSource:
http://www.korantempo.com/korantempo/2006/03/28/Opini/krn,20060328,67.id.ht

21
BAB 3
HEGEMONI G-8 DAN HANCURNYA
KEDAULATAN EKONOMI-POLITIK NEGARA-
NEGARA SELATAN

FRIDAY, 21 NOVEMBER 2008

Secara historis terbentuknya kelompok negara-negara G-8 berawal dari


resesi global yang disebabkan oleh krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970-an.
Pada tahun 1974, Amerika Serikat menginisiasi sebuah forum yang dinamakan
Library Group yaitu sebuah forum informal yang dihadiri oleh senior financial
official dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman Barat, Perancis, dan Jepang. Pada
tahun 1975 kepala negara Perancis mengundang kepala negara-negara tersebut
untuk melakukan pertemuan di Rambouillet ditambah dengan Italia. Setelah
pertemuan kedua mereka bersepakat untuk melakukan pertemuan regular setiap
tahun (G-6). Pada tahun berikutnya, Kanada menambah keanggotaan G-6 menjadi
G-7.
Sejak tahun 1977 pertemuan G-7 juga telah mengundang perwakilan Uni
Eropa yang kamudian secara setiap tahunnya ikut dalam pertemuan G-7.
Berakhirnya perang dingin dan pecahnya Uni Sovyet membuat Rusia muncul
sebagai negara yang perlu diperhitungkan keberadaannya. Sejak pertemuan pada
tahun 1994 di Naples, Rusia selalu terlibat diluar pertemuan utama anggota G-7.
Atas inisiatif Presiden Bill Clinton, pada tahun 1997 Rusia secara formal masuk
dalam keanggotaan G-8 sampai sekarang.
G-8 merupakan forum internasional yang anggotanya terdiri dari 8 negara
besar (industri maju): Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Itali, Jerman, Kanada,
Jepang, dan Rusia. Ke-8 negara ini secara ekonomi-politik dan militer merupakan
negara-negara yang menguasai kekuatan dunia. Secara ekonomi kelompok
negara-negara ini menguasai 65% ekonomi dunia, berada dalam kelompok negara
dangan kekuatan militer terbesar, dan memiliki kekuatan nuklir aktif. Ditambah
dengan keberadaan Cina dan beberapa organisasi internasional yang juga aktif
dalam setiap pertemuan tahunan G-8.

22
Kelompok negara-negara maju ini memiliki satu forum pertemuan tahunan
yang  dihadiri oleh kepala pemerintahan masing-masing negara anggota dan juga
mengundang beberapa organisasi multilateral seperti Uni Eropa, PBB, WTO,
Bank Dunia, International Atomic Energy Agency, dan African Union. Selain itu,
sejak tahun 2005 kelompok G-8 juga berinisiatif untuk melibatkan negara-negara
berkembang yang diundang untuk hadir dalam pertemuan tersebut (Brazil, China,
India, Mexico dan Afrika Selatan).  
Selain pertemuan di tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan, G-8
juga memiliki forum untuk pertemuan di tingkat menteri seperti pertemuan
menteri keuangan yang dilakukan empat kali dalam setahun, pertemuan menteri
lingkungan atau pertemuan menteri luar negeri. Pertemuan menteri luar negeri
tersebut dirancang untuk mempersiapkan pertemuan di tingkat kepala negara.
Sedangkan output dari pertemuan tersebut merupakan bagian dari pernyataan
bersama dari negara-negara G-8 berkaitan dengan isu dan kebijakan global.

G-8 dan keuatan ekonomi-politik global


Kelompok negara-negara G-8 merupakan negara-negara yang
mendominasi kekuatan ekonomi politik global. Secara ekonomi mereka
merupakan negara-negara industri maju sedangkan secara politik mereka
termasuk negara-negara yang juga memiliki dominasi ”hard power” dalam politik
internasional. Perhatian negara-negara G-8 khususnya dalam pembangunan
ekonomi global adalah untuk menciptakan iklim dan kondisi yang mendukung
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.  
Saat ini kelompok G-8 juga mencermati kondisi ekonomi global yang
menunjukkan perkembangan negatif terutama disebabkan oleh krisis pangan dan
energi yang dianggap mampu menghambat laju pertumbuhan ekonomi global.
Inflasi yang cukup tinggi juga terjadi di negara-negara maju. Melihat kondisi dan
multiple effect dalam ekonomi politik global yang terjadi saat ini beberapa agenda
yang akan dibahas dalam pertemuan G-8 di Hokkaido Jepang diantaranya yaitu
pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan, investasi, perdagangan,
perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, munculnya kekuatan
ekonomi baru, dan sumber daya alam. Output yang diinginkan setelah pertemuan

23
G-8 ke-34 tersebut adalah bagaimana negara-negara anggota G-8
mengkordinasikan kebijakannya dalam menghadapi isu-isu internasional.
Kelompok negara maju tersebut sangat mendukung kebijakan investasi
dan perdagangan bebas yang identik dengan liberalisasi dan privatisasi. Mereka
percaya bahwa jika investasi internasional bisa dilakukan secara bebas dan
terbuka maka akan lebih mempercepat laju pertumbuhaan ekonomi global. Dalam
pernyataan bersamanya kelompok negara G-8 menyatakan dukungannya dalam
dua pilar yaitu kebijakan investasi dan sektor keuangan yang dilakukan oleh IMF
melalui rezim investasi terbuka dan Poverty Reduction Growth Facility (PRGF).
Namun yang terjadi sebenarnya bahwa pertumbuhan ekonomi yang
didorong liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan rezim investasi bebas hanya
menguntungkan negara-negara maju. Liberalisasi perdagangan tidak hanya
mempermudah transfer hasil produksi tetapi juga mempermudah negara-negara
maju untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki oleh negara-negara
dunia ketiga. Lebih dari 50% perdagangan dunia dikuasai oleh negara-negara
maju di Amerika Utara dan Eropa yang masuk dalam G-8. Belum lagi nilai total
perdagangan yang dimiliki oleh Jepang dan Rusia menambah besar keuntungan
jika liberalisasi perdagangan diberlakukan secara global.  
Dalam hal investasi, rezim open investment merupakan pintu untuk
mempermudah arus investasi. FDI dan portfolio investment merupakan faktor
yang cukup penting bagi perkembangan perusahaan multinasional dan
transnasional sehingga perusahaan-perusahaan tersebut mampu bergerak melintasi
batas negara. Melalui capital transfer inilah perusahaan multinasional bisa
melakukan ekspansi ke luar negara bahkan melakukan kontrol terhadap pasar,
produksi, maupun kegiatan ekonomi lain seperti investasi di sektor jasa,
manufaktur, atau komoditas lainnya.  
Semakin bebasnya arus modal mendorong perubahan kondisi ekonomi
politik yang semakin berkembang saat ini dimana aliran modal di sektor swasta
telah menggantikan aliran modal bilateral dan multilateral (official flows) sebagai
sumber modal asing yang digunakan oleh negara berkembang. Perubahan ini
selain membawa perubahan pada siapa yang melakukan kontrol terhadap modal,
juga berubahanya motif dan kepentingan bagi pihak yang menanamkan modal

24
serta bagaimana bentuk aliran modal itu ditransfer ke negara lain. Semakin lama
arus modal semakin bersifat highly mobile dan tidak stabil (volatile). Highly
mobile capital inilah yang membuat negara terutama negara-negara berkembang
sebagai host country semakin rentan terhadap perubahan yang terjadi dalam
ekonomi global.
Ironisnya, negara-negara maju justru menerapkan standar ganda dalam
kebijakannya. Mereka mendesakkan agenda-agenda ekonomi yang sangat liberal
bagi negara-negara dunia ketiga namun di sisi lain memiliki kebijakan nasional
yang sangat protektif. Misalnya dalam isu pertanian yang masih menjadi
perdebatan antara negara maju dan negara berkembang, negara-negara maju selalu
berkeberatan untuk mencabut kebijakan proteksinya. Belum lagi kecurangan yang
dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang
tetap melakukan subsidi dan proteksi terhadap sektor pertanian mereka.  
  Tingkat seluruh subsidi pertanian di Amerika Serikat justru semakin
meningkat dari $182 milyar pada tahun 1995, menjadi $280 milyar di tahun 1997
dan meningkat lagi menjadi $362 milyar pada tahun 1998. Begitu pula dengan
Uni Eropa yang banyak mengandalkan Common Agricultural Policy (CAP)
miliknya. CAP Uni Eropa merupakan salah satu kebijakan paling proteksionis di
dunia dan memiliki dampak merusak terhadap ketahanan pangan di negara-negara
berkembang. Lima belas negara Uni Eropa mengeluarkan dana sebesar $42 milyar
per tahun untuk mensubsidi petani mereka melalui kebijakan ini. Dukungan CAP
terhadap petani tersebut berbentuk pembayaran langsung, harga-harga intervensi,
fasilitas-fasilitas penyimpanan untuk surplus produksi, dan subsidi-subsidi ekspor.
Subsidi-subsidi ekspor CAP tersebut memungkinkan produksi Uni Eropa mampu
bersaing dengan produksi petani di negara berkembang. Berbagai hambatan impor
Uni Eropa juga telah mencerabut peluang ekspor kaum petani di negara-negara
berkembang.1.  
“Posisi” G-8 dalam isu utang
Utang luar negeri merupakan bagian dari aliran modal dari wilayah atau
negara-negara maju (developed region) ke negara-negara yang belum berkembang
(less developed region). Dalam sejarahnya pada awal abad ke-19, aliran modal ini
digunakan oleh Inggris untuk melakukan pembangunan di negara-negara

25
koloninya di Amerika utara, Afrika selatan, dan Australasia. Pada dekade 1920
sampai dengan tahun 1930-an, perkembangan aliran modal ini lebih banyak
dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat ke negara-
negara Amerika Latin.
Setelah perang dunia kedua berakhir dan banyak negara-negara Asia-
Afrika yang merdeka, utang luar negeri dijadikan sebagai alat untuk 'membantu'
pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Setelah berakhirnya Perang Dunia
kedua bentuk aliran pinjaman ke negara-negara dunia ketiga mulai berubah.
Mengikuti keberhasilan Marshall Plan untuk pembangunan Eropa yang hancur
akibat perang, Amerika Serikat dan negara-negara maju menyediakan pinjaman
untuk pembangunan negara-negara dunia ketiga dalam bentuk foreign aid atau
official development assistance (ODA). Beberapa dari foreign aid yang diberikan
tersebut dalam bentuk grant atau hibah namun sebagian besar merupakan
pinjaman lunak (concessional loan). Tujuan dari ODA yang diberikan kepada
negara-negara dunia ketiga adalah sebagai berikut: Official development
assistance was supposed to aid the take-off into self-sustaining growth which
Rostow had identified as the pivotal stage in the development process(Rostow,
1960).  Foreign aid would plug the gap.2
Namun di sisi lain, sejak kemunculannya pasca Perang Dunia II, berbagai
macam bentuk pinjaman dan bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara
maju, khususnya Amerika Serikat dinilai memiliki kepentingan politik dan
ekonomi. Bahkan ketika Marshal Plan menjadi sebuah ide baru dalam 'foreign aid'
sudah dinilai memiliki banyak kepentingan ekonomi Amerika selain kepentingan
geopolitik dalam situasi perang dingin.3
Beginning with Marshal Plan when it was new aid concept, which
included a sort of preferential credit that generally benefited the supplier of aid
more than recipient.4
Marshal Plan generosity: much of the money so provided came back to the
USA for the purchase of food, raw materials and capital goods. It was thus a
powerful stimulant to American Economy.5
Munculnya wacana debt trap ditanggapi oleh negara-negara kreditor dan IFIs
seperti IMF dan Bank Dunia dengan mengeluarkan inisiatif baru yaitu mekanisme

26
Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) pada tahun 1996 untuk menghapuskan
utang bagi negara-negara yang tergolong sangat miskin. Namun mekanisme ini
tetap mensyaratkan hal yang sama dengan penarikan utang. Liberalisasi dan
privatisasi masih menjadi syarat utama jika sebuah negara ingin menghapuskan
utangnya.  
Dalam isu utang khususnya, G-8 yang juga merupakan negara-negara
kreditor bagi banyak negara-negara dunia ketiga sangat mendukung mekanisme
Heavily Indebted Poor Countries, Paris Club, dan World Bank's Debt Reduction
Facility yang dijadikan sebagai skema penghapusan utang bagi negara-negara
dunia ketiga. Padahal mekanisme tersebut justru membawa negara-negara dunia
debitor terjebak dalam privatisasi dan liberalisasi terutama di sektor-sektor
strategis.  
Pengalaman di beberapa negara yang telah melakukan skema tersebut
hampir seragam. Zambia harus melakukan privatisasi terhadap bank nasionalnya.
Nikaragua harus melakukan privatisasi di sektor listrik yang mengakibatkan
kenaikan tarif listrik sebesar 20% yang justru membebani masyarakat miskin.
Sedangkan di Sierra Leone privatisasi dilakukan di hampir semua sektor strategis
seperti air, energi dan komunikasi yang melibatkan 24 perusahaan milik negara.
Pada kenyataannya kebijakan ekonomi-politik global dan skema penghapusan
utang yang selama ini didukung oleh negara-negara G-8 justru membuat kondisi
di negara-negara dunia ketiga semakin buruk.
Bagi negara-negara Afrika mekanisme-mekanisme tersebut dianggap telah
digunakan oleh lembaga kreditor untuk mendiktekan kebijakan ekonomi yang
harus dilakukan di negara mereka. Sejalan dengan komentar yang diberikan oleh
berbagai NGO seperti Jubilee South, Focus on the Global South, AWEPON, dan
the Centor do Estudios Internacionales yang melihat fenomena poverty reduction
program yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia justru didominasi oleh
pendesakan kebijakan liberalisasi di berbagai sektor.
"Fighting poverty becomes the newest justification for the aging
prescriptions geared to increasing the overall opening of the "host country" to
external economic actors and free market rules."6

27
Beberapa mekanisme negosiasi utang yang sering dipakai oleh negara-
negara G-8 lainnya yaitu Paris Club dan London Club. Paris Club dipakai untuk
menegosiasikan utang bilateral antar pemerintah sedangkan London Club
digunakan untuk menegosiasikan utang komersial. Namun mekanisme negosiasi
tersebut masih dianggap tidak “adil” bagi kepentingan negara-negara debitor.
Kesepakatan tentang debt rescheduling atau debt relief hanya berdasarkan hasil
negosiasi informal antara debitor dan ke-19 kreditor yang ada dalam forum.
Meskipun demikian, mekanisme debt relief yang sering menjadi rujukan
bagi negara-negara kreditor tersebut sebenarnya hanya lebih ditujukan untuk
melindungi kepentingan kreditor dan sistem keuangan internasional daripada
untuk mengatasi masalah krisis utang di negara-negara dunia ketiga. Hal ini
tercermin ketika anjuran yang diberikan oleh International Financial Institution
kepada negara-negara miskin tetap harus memprioritaskan debt service daripada
membiayai subsidi dan pengeluaran sosial lainnya.  
Persyaratan yang diberikan untuk menerima penghapusan utang oleh
negara-negara kreditor ini kebanyakan sama seperti persyaratan pinjaman yang
diberikan oleh IMF dan Bank Dunia. Persyaratan tersebut merupakan bagian dari
kebijakan neoliberal yang ada dalam Washington Consensus diantaranya yaitu
disiplin fiscal, tax reform, liberalisasi suku bunga, liberalisasi perdagangan,
privatisasi, dan deregulasi. Ironisnya, mereka juga memasukkan larangan terhadap
pengeluaran untuk kebutuhan dasar seperti infrastruktur, kesehatan, dan
pendidikan padahal bagi banyak negara berkembang atau negara miskin justru hal
itulah yang paling dibutuhkan oleh masyarakat.

G-8 vs. kampanye global atas isu utang


Kritik terhadap keberadaan kominitas negara-negara maju dalam
kelompok G-8 banyak dikaitkan dengan tanggung jawab negara-negara maju atas
beberapa isu global seperti kemiskinan di Afrika dan negara-negara berkembang
yang disebabkan oleh utang dan kebijakan perdagangan internasional. Pemanasan
global yang disebabkan emisi karbon, permasalahan AIDS yang terkendala
penerapan hak paten atas obat-obatan, serta isu-isu lain yang berkaitan dengan
globalisasi. Berbagai macam bentuk demonstrasi telah dilakukan oleh kalangan

28
NGO untuk menentang legitimasi kelompok G-8 yang dianggap harus
bertanggung jawab terhadap sekian banyak permasalahan global. Kampanye
penghapusan utang secara global yang dilakukan bersamaan dengan pertemuan
tahunan G-8 telah dimulai sejak tahun 1998 pada pertemuan G-8 di Birmingham.  
Pada tanggal 18 November tahun 2006, pejabat senior Jerman
mengumumkan bahwa pertemuan G-8 tahun 2007 di Jerman tidak akan
memasukan debt relief dan bantuan terhadap Afrika dalam agendanya karena
rencananya akan dibicarakan pada pertemuan di tahun 2008 di Jepang. Namun
melihat daftar agenda yang akan dibicarakan pada pertemmuan G-8 di Jepang
ternyata hanya permasalahan Afrika yang akan dimasukkan. Sedangkan isu debt
relief tidak muncul dalam agenda pertemuan G-8 ke-34 di Jepang.  
Menghadapi gerakan kampanye penghapusan utang global yang mulai
bangkit sejak aksi besar-besaran pada pertemuan G-8 di Birmingham, kelompok
negara-negara G-8 merespon dengan memberikan komitmen untuk melakukan
penghapusan utang bagi negara-negara dunia ketiga. Namun realisasi yang
diwujudkan oleh negara-negara G-8 jauh dari apa yang dijanjikan. Paris Club
mengklaim bahwa telah membuat 404 kesepakatan dengan 85 negara debitor. Dari
$506 billion hanya $7 billion penghapusan utang yang direalisasikan dan
semuanya kepada negara-negara yang masuk dalam kategori HIPC.  
Melalui mekanisme HIPC sendiri dari total $63.4 billion yang dijanjikan
hanya bisa terealisasi $45.4 billion. Data-data tersebut menunjukkan bahwa terlalu
sedikit jumlah utang yang bisa dihapuskan. Negara-negara miskin masih harus
mengeluarakan $100 million per hari untuk membayar utang. Sampai sekarang
masih diperlukan penghapusan utang minimal sebesar $400 billion lagi bagi 100
negara-negara di dunia untuk bisa menjamin ketersediaan kebutuhan dasar bagi
masyarakatanya (Jubilee UK, 2008)
Tidak hanya jumlahnya yang terlalu kecil, tetapi juga persyaratan yang
diajukan bagi negara-negara yang ingin mendapatkan penghapusan utang masih
menjadi masalah utama. Persyaratan untuk melakukan transparansi dan
akuntabilitas dalam prosesnya memang penting, namun persyaratan yang
berkaitan dengan kebijakan ekonomi seperti privatisasi, liberalisasi, dan praktek

29
kebijakan fiscal harus dihapuskan. Proses penghapusan utang yang tidak adil juga
masih menjadi sumber sulitnya mengatasi permasalahan ini.
After a brief survey of the roots of the debt crisis, we look at the key elements of
the debt problem: the unpayable nature of much of the debt; the unjust origins of
much of the debt; the unfair processes of debt cancellation; and the need to act
now to prevent a future debt crisis (Jubilee Debt Campaign UK, 2008)
Oleh karena itu sangat jelas dirasakan bahwa selama ini upaya
penyelesaian krisis utang di negara-negara miskin dan negara berkembang
dikendalikan oleh pihak kreditor dan bukan untuk kepentingan negara debitor.
Tidak hanya dalam isu utang, tapi dalam beberapa isu global lainnya penyelesaian
masalah yang ditawarkan oleh kelompok negara-negara maju ini telah digunakan
hanya untuk melancarkan kepentingan ekonomi dan politik Negara-negara
tersebut.

G-8 dan Indonesia


Pertemuan G-8 ke-34 juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk
hadir dalam forum tersebut. Tidak hanya di tingkat kepala negara, kelompok G-8
juga telah mengundang Indonesia untuk hadir dalam pertemuan di tingkat menteri
yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu. Undangan yang ditujukan untuk
Presiden Indonesia pada pertemuan G-8 di Jepang memberikan kesempatan bagi
Indonesia untuk mendesakkan kepentingan Indonesia dalam beberapa isu.
Pertama, dalam isu krisis energi saat ini dimana Indonesia juga terkena
dampaknya maka dibutuhkan kebijakan energi yang lebih berpihak pada
kepentingan nasional. Proses ekstraksi sumber daya energi di Indonesia saat ini
erat dengan kepentingan negara-negara maju karena 85% struktur produksi migas
di Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Dari 137 konsesi pengelolaan
lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga
menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di
urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China
National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea
Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy,
2007). Spekulasi investor di sektor migas yang banyak dilakukan oleh negara-

30
negara maju merupakan penyebab utama tingginya harga minyak internasional
saat ini.
Kedua, dalam isu krisis pangan tidak semata-mata karena kurangnya
pasokan bahan pangan. Liberalisasi pertanian yang didorong atas kepentingan
negara-negara maju memberikan kontribusi bagi terjadinya krisis pangan saat ini.
Bukan hanya isu food security seperti yang harus didukung oleh kelompok negara
maju tetapi kita juga harus mendesakkan upaya untuk mencapai kedaulatan
pangan.  Kebijakan perdagangan memaksa liberalisasi lebih lanjut atas pasar
pangan. Sebagai akibatnya, barang-barang import membanjiri pasar domestik.
Krisis pangan dan lingkungan saat ini merupakan hasil dari kontrol rantai pangan
dan pertanian yang sangat luas oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan
liberalisasi pasar. Hal ini merusak lingkungan, menggantikan pertanian keluarga
dengan perkebunan pertanian skla besar. Pangan saat ini berada di tangan para
investor dan spekulan. Seluruh kebijakan telah meninggalkan jutaan petani tanpa
pendapatan yang layak dan populasi dunia dalam krisis pangan global (La Via
Campesina, 2008). Saat ini pemerintah di negara-negar G-8 harus memecahkkan
krisis yang mereka ciptakan ketika mereka berpikir bahwa perdagangan bebas
dapat mencukupi dan memberi makan dunia. Saatnya telah tiba untuk mengubah
kebijakan pertanian menuju produksi pangan skala kecil, kedaulatan pangan dan
pasar lokal.
Ketiga, dalam isu pemanasan global, upaya untuk mendesak “tanggung
jawab” negara-negara maju harus terus dilakukan. Industrialisasi yang ada di
negara-negara maju dan juga eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan yang
mereka lakukan di negara-negara berkembang merupakan penyebab utama
kerusakan lingkungan secara global.
Isu genting dalam upaya mengatasi pemanasan global salah satunya adalah
pembiayaan mitigasi dan adaptasi. Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang
mendorong pembiayaan perubahan iklim melalui mekanisme utang lewat Bank
Dunia. Upaya ini adalah merupakan tindakan pengalihan tanggung jawab
sekaligus pencarian keuntungan (profiteering) krisis lingkungan tergenting saat
ini. Tanggung jawab negara maju dalam pembiayaan mengatasi perubahan iklim
tidak boleh dalam rupa utang baru dalam mekanisme apapun. Negara-negara maju

31
harus mengurangi emisinya secara siginifikan sambil membayar pampasan
ekologik kepada negara-negara berkembang
Keempat, liberalisasi investasi dan privatisasi yang terus didorong oleh
negara-negara maju dan juga mulai diterapkan secara masif di Indonesia juga
tidak terlepas dari kepentingan negara-negara maju yang membutuhkan “lahan”
baru untuk memutar aliran kapitalnya. Kecenderungan kebijakan yang dilakukan
di Indonesia justru memilih liberalisasi dan memberikan peluang yang lebih luas
bagi ekspansi modal internasional.  
Beberapa regulasi nasional seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan
UU Penanaman Modal tahun 2007 justru menjamin kebebasan aliran modal dan
investasi asing. Sektor-sektor strategis di Indonesia kini didominasi oleh
kepemilikan perusahaan asing. Investasi asing telah menguasai 85,4% konsesi
pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih
dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (Forum Rektor Indonesia,
2007). Pemberlakuan aturan investasi yang baru tersebut membuat Indonesia
berada dalam fenomena race to the bottom.
Kelima, isu utang yang justru disingkirkan dalam agenda pertemuan G-8
yang akan datang juga harus mendapat perhatian. Tuntutan penghapusan utang
bagi Indonesia tidak hanya karena utang tersebut merupakan utang haram (odious
debt) tetapi juga karena kebijakan penarikan utang saat ini tidak mendatangkan
manfaat bagi rakyat. Net negative transfer yang terjadi karena pembayaran
berbagai bentuk fee (commitment fee, administration fee, front end fee; dan Agent
Fee), pembayaran bunga, dan selisih Net Present Value (NPV) justru lebih
membebani masyarakat Indonesia. Pertemuan G-8 yang dihadiri oleh negara-
negara kreditor dan IFIs harus dimanfaatkan untuk “menegosiasikan” kembali
beban utang Indonesia secara adil.

32
BAB 4
IMF/BANK DUNIA DAN KITA
OLEH IVAN A HADAR*)

Di Singapura, pada 18–20 September 2006 ini, berlangsung pertemuan


tahunan Bank Dunia – Dana Moneter Internasional (IMF). Sementara itu, karena
tindakan represif pemerintah Singapura, sekitar 180 LSM internasional
memboikot sidang tersebut.
Salah satu topik pertemuan Bank Dunia-IMF itu adalah perombakan IMF,
khususnya soal hak suara negara berkembang. Meski, banyak suara yang
mengatakan bahwa hal tersebut jauh dari berarti untuk membuat IMF dan Bank
Dunia bersikap imbang terhadapanggotanya.
Bank Dunia dan IMF didirikan atas rekomendasi PBB terkait moneter dan
keuangan internasional di Bretton Woods, AS, Juli, 1944, sebagai bagian dari
upaya pembangunan kembali perekonomian dunia, khususnya Eropa, yang hancur
akibat depresi dan Perang Dunia II. Dua dekade kemudian, setelah Eropa pulih,
kucuran kredit dua lembaga yang sering disebut Bretton Woods Institutions
dialihkan ke negara-negara berkembang.
Pada dasarnya, IMF adalah lembaga publik yang didanai oleh pembayar
pajak dari seluruh dunia. Meski demikian, IMF “sekadar” bertanggung jawab
kepada para menteri keuangan dan direktur bank sentral negara-negara
anggotanya, bukan kepada rakyat pembayar pajak atau kepada masyarakat yang
menjadi kelompok sasaran berbagai programnya.

IvanAHadar, Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for


Democracy Education).
URL Source: http://sinarharapan.co.id/berita/0609/21/opi01.html

33
“Kontrol” atas IMF dilakukan oleh perwakilan negara anggota lewat pengambilan
suara yang rumit dengan bobot suara masing-masing negara ditentukan oleh
kekuatan ekonominya. Tak heran bahwa negara-negara industri memiliki bobot
suara terbesar dengan AS sebagai satu-satunya pemegang hak veto.
Antara IMF dan Bank Dunia terdapat pembagian kerja dan fungsi. Bank Dunia,
umumnya, memberikan kredit jangka panjang kepada pemerintahan untuk
mendanai proyek-proyek pembangunan dan infrastruktur, seperti jalan,
pembangkit tenaga listrik, sekolah, bendungan, pelabuhan, jembatan.
Sementara itu, IMF menentukan apakah sebuah negara layak menerima
kredit. Negara penerima kredit harus melaksanakan “program penyesuaian
struktural”, mencakup privatisasi dan penyunatan anggaran layanan masyarakat
seperti kesehatan dan pendidikan.

Terjebak dalamUtang
Menurut IMF dan Bank Dunia, reformasi ekonomi neo-liberal ini, adalah pil pahit
yang mutlak dibutuhkan sebagai landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang
dijanjikan bakal menaikkan taraf hidup masyarakat miskin. Namun, kenyataan
berbicara lain.
Kebanyakan negara berkembang terjebak dalam utang luar negeri yang
menggerogoti devisa. Selama ini, bunga utang yang telah dibayar negara-negara
berkembang, misalnya, adalah sembilan kali jumlah utang luar negeri mereka.
Bagi Indonesia, meski telah membayar mahal, resep yang dipaksakan IMF untuk
mengatasi krisis moneter dan ekonomi, seperti yang belakangan diakui sendiri
oleh IMF, ternyata salah dan berakibat fatal. Beberapa data berikut bisa banyak
berbicara. Dalam bidang pendidikan, terjadi penurunan murid sekolah sebesar 25
%, sementara tingkat kemiskinan meningkat tajam dari 11% menjadi 40-60%.
Mengikuti resep IMF, pemerintah Indonesia juga memberikan suntikan dana segar
triliunan rupiah kepada bank-bank bermasalah, tanpa menyelesaikan akar
persoalan. Sementara itu, IMF sendiri “membeli” bank-bank pemicu krisis, seperti
Citicorp, Chase Manhattan, JP Morgan, seharga 200 miliar dolar AS. Dana itu

34
seharusnya lebih baik dipakai untuk membantu pengadaan lapangan kerja jutaan
buruh atau memberi makan bagi petani yang kelaparan.
Sebenarnya, kata kunci permasalahan IMF dan lembaga ekonomi
internasional lainnya adalah governance, yaitu berkaitan dengan pertanyaan
tentang siapa yang mengambil keputusan dan mengapa. Dari 184 negara anggota,
termasuk Indonesia, 19 negara industri memiliki lebih 60% suara, sementara 122
negara berkembang hanya memiliki sekitar 31% suara.
Setiap negara pemegang kuota terbesar, yaitu AS, Jepang, Jerman, Prancis,
dan Inggris, menempatkan seorang direktur pelaksana. Sebagai perbandingan,
hanya 2 direktur mewakili 42 negara Afrika. Kondisi yang sama juga ada dalam
Bank Dunia.
Menurut Stiglitz, “Lembaga-lembaga tersebut bukan sekadar dikuasai oleh
negara-negara maju, namun terutama oleh kepentingan dunia usaha dan keuangan
mereka” (Globalization and its Discontents, 2002, hal. 225).

IMF Gagal Penuhi Misi


Saat ini, 62 tahun semenjak didirikan, bisa dipastikan bahwa IMF gagal
memenuhi misi awalnya. Banyak rumusan ekonomi-politik, terutama penerapan
liberalisasi pasar modal yang terlalu cepat, telah mempertajam destabilisasi
ekonomi dunia.
Mereka yang radikal menganggap IMF dan Bank Dunia tak mungkin
direformasi karena wakil serikat buruh dan kelompok lingkungan dipastikan tidak
akan mampu mempengaruhi secara mendasar kebijakan IMF dan Bank Dunia.
Selain itu, konon kinilah saat yang tepat untuk menuntut pembubaran dua
lembaga tersebut, karena sejak krisis Asia, wibawa Bank Dunia dan IMF merosot
tajam. Lagi pula, kritik juga berdatangan dari kubu “kanan”.
Laporan Meltzer yang dipublikasikan Kongres AS, misalnya, memuat
kritik tajam atas dua lembaga ini sebagai “penuh rahasia, suka mengancam, dan
sama sekali tidak membawa dampak positif.” (2003).
Setuju atau tidak, tampaknya gerak langkah globalisasi memang tak
mungkin dibendung. Pertanyaannya, bagaimana kita mengaturnya agar bisa
membawa kemaslahatan bagi sebanyak mungkin warga dunia. Untuk memberi

35
bentuk pada globalisasi agar buahnya bisa dirasakan merata, terutama dibutuhkan
revisi mendasar sistem governancenya, yaitu struktur kepemimpinan dan
pengawasan tiga lembaga pilarnya.
Hak suara di IMF dan Bank Dunia harus diperbaharui agar bersikap imbang bagi
semua anggota, sementara di WTO hak suara tidak boleh hanya dimiliki oleh
menteri-menteri ekonomi seperti halnya monopoli suara oleh menteri keuangan di
IMF dan Bank Dunia.
Bagi Indonesia, yang masih belum beranjak keluar dari krisis, dibutuhkan
perbaikan jaringan keamanan sosial serta penghapusan utang luar negeri.
Perekonomian kita dipastikan tidak mungkin menggeliat tumbuh selama, paling
tidak, sebagian utang luar negerinya belum dihapus. Untuk membayar utang,
sebagian besar devisa kita kembali mengalir ke negara-negara industri.
Gerakan Jubilee-2000 baru berhasil memobilisasi dukungan internasional
yang cukup luas bagi penghapusan utang luar negeri negara-negara termiskin.
Indonesia belum dimasukkan ke dalam kategori ini. Terlepas dari itu, IMF dalam
salah satu laporannya telah mengakui kesalahan yang dibuat dalam menangani
krisis di Indonesia. Adalah sangat patut bila kita mengharapkan, atau bahkan,
menuntut “ganti rugi”berupa penghapusan (sebagian) utang atas kesalahannya.

Siapa Butuh IMF? Oleh Fabby Tumiwa

"The IMF has today become completely irrelevant!"

Itulah pernyataan Jayati Gosh, profesor ekonomi Universitas Jawaharlal Nehru.


Dalam sebuah pertemuan di Washington, mantan staf IMF Denis de Tray
mengungkapkan hal senada, "Fund lost its legitimacy then, and it never recovered
it" (Focus on the Global South, 2006).

IMF bersama Bank Dunia didirikan tahun 1944. Pendirian keduanya yang dikenal
sebagai Bretton Woods Institutions merupakan reaksi dari depresi ekonomi tahun
1930-an dan kebutuhan mendukung pembangunan Eropa pasca-Perang Dunia II.

36
Misi utama

Ketika didirikan, IMF memiliki dua misi utama.

Pertama, stabilisasi nilai tukar mata uang yang dipatok dengan nilai emas. Misi ini
ambruk saat terjadi krisis keuangan dunia tahun 1971-1973.

Kedua, memberi pinjaman jangka pendek bagi negara-negara miskin dan


berkembang yang mengalami kesulitan neraca pembayaran, dan tahun 1970-an
memberi pinjaman modal jangka pendek bagi negara-negara industri, klien utama
lembaga ini dua dekade sebelumnya. Seiring berakhirnya perang dingin, jumlah
anggota IMF meningkat, dari 25 saat didirikan menjadi 185 negara.

Setelah kehilangan misi awalnya, IMF menetapkan misi baru, yaitu manajemen
krisis sambil menyediakan fasilitas pinjaman jangka pendek bagi negara
berkembang yang tidak memiliki akses terhadap pasar uang.

Saat pembiayaan jangka pendek tidak lagi relevan, IMF bersama Bank Dunia
menyusun program asistensi jangka menengah dan panjang bagi negara-negara
berkembang. Strategi baru ini membuat IMF tidak lagi berperan sebagai pusat
sistem moneter internasional, tetapi lembaga khusus yang memberi bantuan bagi
negara berkembang.

Strategi itu semula ditentang John Maynard Keynes, ekonom yang menjadi
inisiator berdirinya Bretton Wood Institutions (Buira, 2002: The Governance of
International Monetary Fund).

Tidak hanya itu, sejumlah kalangan mempertanyakan kapasitas staf IMF dalam
mengadopsi strategi baru ini, termasuk penggunaan model financing
programming. Studi mantan ekonom Bank Dunia, Wiliam Easterly (An Identity
Crisis: Examining IMF Financial Programming, 2004), menyimpulkan, dalam
aplikasi langsung, financing programming tidak secara baik memperkirakan atau
menjelaskan target variabel, bahkan saat berbagai komponen identitas diketahui
pasti. Easterly menyarankan agar staf IMF mengacu teori makroekonomi dan

37
fakta empiris di luar financing programming untuk merancang paket program
stabilisasi (stabilization package).

Memaksakan kebijakan

Komposisi staf IMF yang didominasi mayoritas ekonom negara-negara G-7


(khususnya AS dan Inggris) dari aliran neoklasik juga dikritik. IMF dituding
sebagai lembaga yang memaksakan kebijakan deregulasi, liberalisasi finansial,
dan privatisasi kepada negara-negara berkembang melalui berbagai persyaratan
(conditionalities) yang menyertai paket pinjaman dan program stabilisasi IMF.

Rancangan kebijakan IMF amat dipengaruhi kepentingan negara-negara yang


memiliki voting power terbesar, khususnya AS, sehingga tidak ada ruang bagi
negara-negara berkembang untuk merumuskan kebijakan yang akhirnya harus
mereka adopsi.

Oleh banyak pihak, IMF juga dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya
krisis finansial 1997 di Asia. Alasannya, pada tahun-tahun sebelum krisis lembaga
ini mendesakkan kebijakan untuk mengakhiri kontrol kapital (capital controls)
yang mutlak diikuti negara-negara di Asia.

Berpihak pada kreditor

Liberalisasi keuangan menarik miliaran dollar dana spekulasi dari 1993-1997,


sebaliknya tidak ada hambatan saat dana-dana itu ditarik keluar di awal krisis.
Dalam beberapa minggu, sekitar 100 miliar dollar AS lari dari Indonesia,
Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea Selatan yang dalam sekejap meruntuhkan
ekonomi negara-negara itu.

IMF juga dituding terlalu berpihak pada kepentingan kreditor dan investor. Paket
penyelamatan yang dirancang IMF tidak ditujukan untuk menyelamatkan
ekonomi, tetapi mengamankan pembayaran tunggakan kepada kreditor dan
investor.

38
Sebagai contoh, penerapan kebijakan Lending into Arrears (LIA) yang
memungkinkan IMF memberi dukungan pembayaran bagi negara yang memiliki
tunggakan kepada kreditor swasta.

Berdasarkan sejumlah kasus, penerapan kebijakan ini dinilai tidak konsisten dan
IMF jarang memainkan peran konstruktif dalam menyeimbangkan kepentingan
pihak yang berutang (sovereign debtors) dan kreditor.

IMF malah menggunakan instrumen LIA untuk memaksakan pandangan dan


keberpihakannya kepada kreditor asing daripada negara-negara pengutang
(Simpson, 2006: The Role of IMF in Debt Restructuring: Lending into Arrears,
Moral Hazard and Sustainability Concerns). Apakah ini terjadi untuk kasus
Indonesia? Perlu diselidiki lebih lanjut.

Berdasar data pinjaman, IMF makin kehilangan legitimasi dan peran. Kian sedikit
negara yang berutang ke IMF. Tahun 2003, jumlah pinjaman 72 miliar dollar
menjadi 37,4 miliar dollar (2005) dan 15,3 miliar dollar (2006). Dari jumlah itu,
80 persen (12,2 miliar dollar) pinjaman Turki.

Negara-negara yang meminjam—Thailand, Argentina, Indonesia, Brasil, dan


Uruguay—memutuskan untuk mempercepat pengembalian pinjaman (Schuldt,
2006). Percepatan ini mengakibatkan penerimaan bunga pinjaman IMF berkurang
drastis dari 3,19 miliar dollar (2003) menjadi 1,39 miliar dollar (2006) dan 635
juta dollar (2009).

Percepatan pembayaran Brasil dan Argentina memotong potensi penerimaan


bunga IMF 1,75 miliar dollar. Berkurangnya pendapatan mengakibatkan
menipisnya anggaran IMF, bahkan bisa mengakibatkan kesulitan finansial serius
jika tidak ada dukungan dana operasional anggotanya. Akan amat aneh jika
lembaga yang bertugas membantu negara keluar dari krisis keuangan justru
mengalami krisis.

Kedatangan Managing Director IMF Rodrigo Rato, 23-24 Januari di Jakarta—apa


pun agendanya—tidak perlu disikapi berlebihan oleh para ekonom pemerintah.

39
Sebaliknya, para ekonom pemerintah harus lebih kritis dan menuntut tanggung
jawab IMF atas salah terapinya terhadap ekonomi kita yang berakibat hingga kini.

Indonesia juga harus tegas menuntut agenda reformasi tata kelola (governance)
lembaga ini, yang gagal disepakati dalam pertemuan di Singapura tahun lalu.
Dalam kondisi krisis legitimasi, peran, dan anggaran, sepertinya IMF yang lebih
membutuhkan kita. Mungkin Presiden SBY berani menyatakan, "Siapa butuh
IMF, Mr Rato?"

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0701/24/opini/3264596.htm

Fabby Tumiwa Aktivis Organisasi Nonpemerintah, Pemerhati Masalah


Ekonomi-Politik dan Globalisasi

40
Bab 5
Blok Cepu: Pertamina Vs Exxon

Indonesia kaya dengan sumber daya alam, tetapi rakyatnya miskin. Kondisi
seperti ini banyak terjadi pada kawasan-kawasan sekitar pertambangan. Hal ini
menunjukkan bahwa ada kesalahan dalam sistem ekonomi pertambangan selama
ini. Salah satu kesalahan terjadi karena elite pemerintahan berkolusi dengan
pengusaha dan investor asing. Karena itu, kebijakan pertambangan selalu
mengorbankan kepentingan negara dan rakyat. Diantara kebutuhan sektor
pertambangan tersebut terjadi pada kasus blok Cepu. Hak penguasaan kawasan
migas blok Cepu adalah Pertamina, yang kemudian beralih ke tangan Humpuss
Patra Gas dalam kerjasama TAC sampai tahun 2010. Seharusnya Humpuss
mengelola secara profesional hak tersebut dan kemudian mengembalikannya
kepada Pertamina kembali, jika sudah selesai masa kontraknya.
Dalam hal ini Humpuss merupakan perusahaan pemburu rente yang
memperjualbelikan lisensi dari negara, contohnya seperti menjual kekayaan
negara dengan murah sehingga manfaatnya tidak maksimal untuk rakyat. Dalam
praktiknya tersebut merupakan praktik korupsi yang menjual bukan haknya
kepada pihak lain karena tidak adanya modal sehingga lisensi tersebut dijual
secara tidak legal. Lisensi blok Cepu tersebut kemudian hilang dan kini diambil
oleh ExxonMobil. Pihak ExxonMobil posisinya sebagai perusahaan yang
menadah hak yang tidak jelas keabsahaannya. Praktik jual beli tersebut pada
dasarnya berbau KKN karena perusahaan tersebut mengambil bukan dari usaha
yang bernilai tambah, melainkan dari jual beli kekuasaan. Jadi kasus blok Cepu
ini adalah bentuk praktik kekuasaan yang menjualbelikan lisensi dengan
pengorbanan pendapatan negara yang hilang.

Derita Panjang Pertamina


Sejak Pertamina didirikan pemerintah pada tahun 1968 yang merupakan
gabungan dari Pertamin dan Permina, Pertamina ditugaskan oleh pemerintah
untuk mampu menjadi pengelola migas nasional yang mandiri. Harapannya

41
adalah pengelolaan migas dalam negeri nantinya tidak lagi tergantung pada
perusahaan-perusahaan asing. Mengingat Pertamina merupakan perusahaan yang
dimiliki oleh pemerintah, tentunya pemerintah diharapkan mengontrol secara ketat
manajemen Pertamina agar tidak terjadi penyimpangan. Awal era Orde Baru
Pertamina diberikan kesempatan yang cukup besar untuk melakukan proses alih
teknologi dan penumpukan modal agar menjadi perusahaan besar yang nantinya
menjadi kaki tangan pemerintah dalam penguasaan migas nasional. Filofosi
mulia untuk melahirkan perusahaan migas nasional yang besar hanya tinggal
mimpi. Faktor internal dari kesalahan manajemen yang sarat dengan korupsi tidak
disikapi secara tepat oleh pemerintah. Pertamina hanya menikmati keuntungan
ekonomis selama 4 tahun.Dengan lahirnya UU Migas no 22 tahun 2001 yang
meliberalisasi sektor hulu dan hilir diyakini makin membuat Pertamina yang
sedang kritis menjadi semakin parah jika tidak dilakukan langkah yang tepat.
Sektor hilir yang selama ini menjadi sisa gerak Pertamina akan semakin terhimpit
setelah diperkenankannya pihak lain masuk. Sebenarnya blok Cepu yang
menyimpan cadangan minyak sangat besar merupakan peluang besar pemerintah
untuk menghidupkan kembali Pertamina. Besarnya cadangan minyak yang
diprediksikan mencapai 170-200 ribu barel per harinya jelas akan mampu
membangkitkan kondisi finansial dan penguasaan teknologi bagi kebangkitan
Pertamina. Jajaran Pertamina bahkan optimis mampu mengelola blok Cepu.
Secara finansialpun Pertamina menjanjikan banyaknya bank yang siap mendanai
produksi di blok Cepu ini. Artinya, tidak ada alasan yang bisa diterima akal sehat
jika Cepu justru dikelola oleh pihak asing. Sikap optimis yang memberikan
harapan akan bangkitnya Pertamina setelah hampir 40 tahun pemerintah ternyata
berakhir dengan anti klimaks setelah ExxonMobil ditunjuk menjadi pemimpin
pengelolaan produksi di Blok Cepu ini.

Pokok pikiran pengelolaan blok Cepu


Industri perminyakan Indonesia , saat ini sedang mengalami ujian yang
sangat berat. Produksi crude oil nasional mengalami penurunan cukup tajam. Hal
ini bisa berdampak pada kinerja ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dimana
23,6% pendapatan negara ditopang sektor perminyakan. Tahun 2001-2003

42
produksi crude oil Indonesia berkisar 1,42-1,25 juta barel per hari. Sedangkan
menurut data terbaru dari BP Migas sampai Juli 2005 angkanya tinggal 1,065 juta
barel per hari. Hal ini berarti mengalami penurunan sekitar 350 ribu sampai 200
ribu barel per hari. Angka tersebut jauh lebih kecil dibanding batas produksi
sebagai anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang mencapai
1,4 juta barel per hari. Sehingga Indonesia terpaksa mengimpor minyak mentah
dan bahan bakar minyak(BBM) sampai ratusan ribu barel per hari. Impor tersebut
guna untuk menutup kesenjangan produksi dengan konsumsi dalam negeri yang
terus meningkat mencapai 1,3 juta barel per hari.
Dengan jumlah cadangan minyak yang tinggal 4,5 miliar barel,
diperkirakan cadangan minyak itu akan habis dalam kurun waktu 10 tahun dengan
asumsi tidak ada eksplorasi cadangan. Dengan ditemukan dan siap diproduksinya
beberapa sumur di Blok Cepu, khususnya di lapangan Banyu Urip Bojonegoro,
kemungkinan untuk mendongkrak produksi harian minyak mentah Indonesia
kembali terbuka. Pemerintah pusat mengharapkan jika proses produksi Lapangan
Banyu Urip bisa berjalan, produksi harian minyak mentah Indonesia mencapai
kembali batas diperbolehkannya masuk menjadi anggota OPEC.
Karena itu muncul kontroversi diantara masyarakat dan kalangan elite
politik yang terbelah tentang pengelolaan Blok Cepu yang menyimpan cadangan
minyak dan gas terbesar yang ditemukan di Indonesia. Kalangan yang “pro”
menganggap kesepakatan ini sebagai kemenangan yang layak untuk dirayakan
karena berhasil menyelesaikan masalah yang telah terkatung-katung lama,
kemudian mereka mengklaim bahwa kesepakatan tersebut telah memberikan hasil
yang maksimal bagi bangsa Indonesia. Pada saat yang sama “kalangan pro”
bahkan menuduh mereka yang menolak kesepakatan tersebut sebagai pihak yang
tidak mengerti permasalahan dan menggunakan agumen-argumen nasionalisme
yang sempit dan usang. Sementara itu, kalangan yang “menolak” menganggap
kesepakatan tersebut tidak lebih dari penyerahan total kebijakan dan kedaulatan
bangsa dalam pengelolaan sumber daya alam yang sangat strategis kepada pihak
luar, bukan untuk kemandirian dan kemajuan bangsa. Di samping itu, ”kalangan
menolak” berpendapat bahwa hasil kesepakatan tersebut tidak memberikan
keuntungan ekonomi yang maksimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa.

43
Ada lagi kalangan ketiga, yaitu mereka yang tidak terlalu peduli dengan
kesepakatan tersebut bagi mereka yang penting adalah bagaimana Blok Cepu
tersebut secepatnya berproduksi menghasilkan manfaat bagi masyarakat dan
bangsa. Sudah barang tentu sikap seperti ini sangat dipengaruhi oleh informasi
yang tidak utuh sehingga mereka tidak mengetahui berbagai implikasi jangka
panjang dari kesepakatan tersebut.
Banyak kalangan yang menolak pengelolaan Blok Cepu dilakukan oleh
ExxonMobil (EM) dan percaya bahwa Pertamina lebih pantas dan layak
mengelola Blok Cepu. Tetapi pemerintah Amerika Serikat melakukan tekanan
secara terbuka maupun terselubung agar pengelolaan Blok Cepu jatuh ke tangan
ExxonMobil. Dalam hal ini timbul persoalan tentang pengelolaan Blok Cepu akan
lebih murah dan efisien dilakukan oleh Pertamina atau Exxon. Dan persoalan
berikutnya adalah apakah keputusan tersebut tepat untuk menyerah kepada
ExxonMobil dalam pengelolaan Blok Cepu ketika pada saat pemerintah
menginginkan Pertamina untuk tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan
Migas dan bertaraf Internasional yang berkaitan dengan aspek legalitas dalam
pengalihan kepemilikan hak dan operatorship Blok Cepu tersebut.
Pertamina menjadi BUMN harus bisa bersaing dengan perusahaan migas
lainnya di dalam maupun luar negeri. Sehingga Pertamina mengalami berbagai
hambatan untuk beroperasi secara normal sebagai sebuah perusahaan. Pertamina
hanya berfokus kepada kegiatan yang bersifat PSO (Public Service Obligation),
sedangkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dilakukan dengan bekerjasama
dengan pihak lain yang terkadang dengan tekanan politik dan bernuansa KKN.
Benar bahwa Pertamina pun tidak efisien dan menjalankan praktik usaha yang
penuh dengan KKN. Namun upaya meningkatkan efisiensi dan menghilangkan
praktik-praktik KKN di tubuh Pertamina seharusnya dilakukan tanpa
mengerdilkan Pertamina secara kelembagaan. Jika pemerintah memiliki visi
bahwa bangsa ini harus menguasai dan mandiri di bidang energi sudah seharusnya
Pertamina ditingkatkan profesionalisme dan kemampuannya dalam mengelola
sumber daya alam strategis.
Kebijakan yang tidak masuk akal ketika Pertamina memiliki kesempatan
untuk berkembang dengan mengelola Blok Cepu yang memiliki cadangan migas

44
terbesar, ternyata pemerintah malah tidak menyerahkan pengelolaan Blok Cepu ke
Pertamina melainkan mengalihkan pengelolaan ke pihak asing. Jadi sangat
bertolak belakang antara kehendak dengan tindakan. Hal ini terjadi karena tidak
adanya sumber daya yang bisa diandalkan untuk mempercayakan pengelolaan
Blok Cepu kepada Pertamina baik dari segi pembiayaan maupun sumber daya
manusia. Aset yang potensial dimiliki oleh Pertamina sendiri akan lebih besar dari
Petronas dan multiplier effects dari kepemilikan aset ini bisa lebih besar terhadap
perekonomian bangsa bila diinvestasikan dengan baik. Apabila mempercayakan
pengelolaan Blok Cepu pada Pertamina yang didapat adalah penambahan aset
pertamina yang akan menempatkan Pertamina sebagai salah satu perusahaan
minyak berskala besar, pengelolaan minyak secara mandiri dengan segala nilai
tambahnya bagi perekonomian nasional, dan beragam multiplier effects melalui
penggunaan aset Pertamina secara tepat. Artinya, dengan menyerahkan
pengelolaan Blok Cepu kepada ExxonMobil kita hanya memperoleh hasil yang
tidak maksimal dari sisi ekonomi, itu pun bersifat jangka pendek. Sementara
manfaat jangka panjang dari kekayaan alam yang dimiliki terbuang dengan sia-sia
dengan segala multiplier effects yang dimungkinkannya.
Dalam kasus ini Komisi VII DPR meminta pemerintah mematuhi Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dalam
menyelesaikan kontrak kerja sama dengan ExxonMobil Indonesia dalam
pengelolaan ladang minyak di Blok Cepu. Dan meminta pemerintah
memverifikasi berbagai masukan yang menunjukkan adanya indikasi terjadinya
penggelembungan biaya (mark up), korupsi, kolusi dan nepotisme, serta
penyimpangan dalam pengelolaan Blok Cepu selama ini. Seperti telah dicemaskan
oleh banyak kalangan, akhirnya ExxonMobil resmi menjadi pengelola ladang
minyak di Blok Cepu. Ladang minyak yang diyakini menyimpan cadangan dalam
jumlah mencapai 1.1 milyar barel di kedalaman kurang dari 1.700 meter itu,
memiliki cadangan potensial yang mencapai 11 milyar barel di kedalaman di atas
2000 meter. Data-data penting berkenaan dengan berapa besar sesungguhnya
cadangan minyak yang ada di Cepu akan diperoleh oleh pemerintah melalui
Pertamina. Dengan Exxon Mobil sebagai pengelolanya, sangat mungkin data-data
tersebut dimanipulasi. Sebagai pemimpin tentu akan sangat mudah bagi

45
ExxonMobil untuk menguasai posisi-posisi strategis dalam pengoperasian blok
Cepu ini. Sebaliknya, sulit bagi Pertamina untuk menguasainya. Akhirnya
pemerintah pun akan sulit mengetahui berapa sebenarnya cadangan minyak yang
ada di dalamnya.
Blok Cepu yang menyimpan cadangan minyak sangat besar merupakan
peluang besar pemerintah untuk menghidupkan kembali Pertamina.dan
membangkitkan kondisi finansial dan penguasaan teknologi bagi kebangkitan
Pertamina. Sengketa antara Pertamina dan Exxon dalam perebutan hak kelola
Blok Cepu adalah contoh mahal. Sengketa itu berlangsung lebih dari dua tahun,
sehingga Blok Cepu sampai sekarang belum bisa memproduksi minyak secara
optimal. Pada akhirnya pemerintah menetapkan Exxon yang mengelola Blok
Cepu dengan persentase bagi hasil 85% (pertamina) dan 15% Exxon.
Pemerintah seharusnya sangat berkepentingan untuk memiliki perusahaan
migas yang besar. Inilah yang dilakukan oleh banyak negara di dunia untuk
menjamin pasokan energi migas nasionalnya. Sayangnya peluang untuk melihat
Pertamina menjadi besar layaknya Exxon Mobil, Shell atau bahkan Petronas
justru ditutup oleh pemerintahnya sendiri. Lebih dari 30 tahun sejak didirikan,
Pertamina tetap menjadi perusahaan lokal yang tidak bisa dibanggakan

Kronologis Blok Cepu


23 Januari 1990: Kontrak kerja sama dalam bentuk technical assistance (TAC)
antara Pertamina dan Humpuss Patra Gas (HPG) ditandatangani.
TAC berlaku selama 20 tahun, hingga 2010. HPG menguasai 100
persen working interest (semacam saham, atau hak pengelolaan).
Tahun 1993: HPG melakukan pengeksposan data untuk mencari investor dengan
menawarkan 49% saham.
Tahun 1995: Ampolex Ltd dari Australia resmi membeli 49% saham HPG,
dengan syarat HPG tetap bertindak sebagai operator. Tidak berapa
lama Ampolex Ltd diakuisisi oleh MEPA (Mobil Energy dan
Petroleum Australia dan menunjuk MOI (Mobil Oil Indonesia)
sebagai representative menyangkut segala hak dan kewajibannya
menyangkut kepemilikan 49% saham HPG.

46
12 Juni 1997: Karena kekurangan dana, HPG menjual 49 persen working
interestnya ke perusahaan Australia, Ampolex. (Belakangan,
perusahaan induk Ampolex diakuisisi oleh 13 Juli 1998: HPG
mengajukan form out (pengalihan seluruh interest-nya) melalui
surat no 201/EXE/VII/98.
8 Oktober 1998: Pertamina menyetujui form out HPG, dengan syarat terlebih
dahulu dilakukan perubahan terhadap klausul kontrak yang
melarang pengalihan working interest ke pihak asing.Mobil Oil.
Sementara, pada 1 Desember 1998, Mobil Oil merger dengan
Exxon, membentuk perusahaan baru, ExxonMobil Corp).
Tahun 1998-1999: Diadakan perundingan untuk mengakuisisi 100% saham HPG
oleh MOI. Dan bersamaan dengan itu Mobil International sebagai
induk MOI diakuisisi oleh Exxon di AS, sehingga bergantilah
nama MOI menjadi Exxon Mobil.
8 April 1999: ExxonMobil mengirim surat kepada Pertamina, menyetujui
pengalihan 51 persen interest HPG, termasuk semua kewajibannya.
10 November 2000: Dibuat head of agreement (HOA) sebagai implementasi
terhadap persetujuan penjualan interest HPG kepada ExxonMobil.
Desember 2001: Plant of Development (POD) lapangan Banyu Urip (bagian dari
Blok Cepu), disetujui untuk dikembangkan. ExxonMobil
mengajukan perpanjangan kontrak hingga 2030.
Juni 2002: Dilakukan diskusi kemungkinan kerja sama Pertamina-ExxonMobil di
Blok Cepu. Lemigas ditunjuk sebagai pihak independen yang
mengkaji Blok Cepu dari sisi teknis dan ekonomis..
6 April 2004: Dewan komisaris Pertamina menyarankan, KKS hanya
ditandatangani Pertamina dan BP Migas. Kepentingan ExxonMobil
diakomodasi dalam joint operation agreement (JOA).
28 April 2004: JOA untuk akomodasi kepentingan ExxonMobil disetujui Menneg
BUMN. JOA akan ditandatangani Pertamina dan ExxonMobil.
29 Juli 2004: Komisaris menolak usulan HOA. Kerja sama dengan ExxonMobil
sesuai existing kontrak hingga 2010. Setelah 2010, akan
dioperasikan oleh Pertamina, atau terbuka kerja sama dengan pihak

47
lain – tak harus dengan ExxonMobil.
25 Agustus 2004: Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi ESDM DPR RI,
di Jakarta, Dirut Pertamina Widya Purnama mengatakan,
Pertamina tidak akan memperpanjang kontrak ExxonMobil di Blok
Cepu, yang akan berakhir 2010.
2 September 2004: Pimpinan ExxonMobil bertemu dengan direksi Pertamina, di
kantor pusat Pertamina, Jakarta. Mereka kembali mendesak agar
Pertamina memberiperpanjangan kontrak, dengan alasan
ExxonMobil telah mengeluarkan investasi besar dan memiliki
reputasi bagus.
29 Maret 2005: Menneg BUMN, selaku RUPS Pertamina, melalui Kepmen
BUMN No Kep-16A/MBU/2005 membentuk tim negosiasi
penyelesaian permasalahan antara Pertamina dan ExxonMobil
terkait dengan Blok Cepu.
27 Mei 2005: Menko Perekonomian Aburizal Bakrie mengisyaratkan, kontrak
ExxonMobil di Cepu akan diperpanjang. Ia tak menampik
kemungkinan perpanjangan kontrak hingga 2030.
25 Juni 2005: Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) kerja sama pengelolaan
Blok Cepu oleh Ketua Tim Negosiasi, Martiono Hadianto dengan
Vice President ExxonMobil Exploration Company for South East
Asia Pacific, Stephen Greenlee. Approval diberikan oleh Menko
Perekonomian Aburizal Bakrie, sebagai wakil pemerintah. Intinya,
participating interest (PI) antara Pertamina, ExxonMobil dan
Pemda/BUMD adalah 45 persen, 45 persen dan 10 persen.
30 Juni 2005: RUPS Pertamina di Kantor Kementerian Negara BUMN. Sejumlah
butir keputusan, di antaranya adalah menyetujui PI 55 persen untuk
Pertamina dan BUMD, 45 persen untuk ExxonMobil. Selain itu,
direksi dan komisaris Pertamina diminta segera menindaklanjuti hal-
hal yang dianggap perlu untuk dimasukkan dalam JOA, antara lain
soal working areas, kompensasi, dan operatorship. Direksi dan
komisaris Pertamina juga ditugaskan untuk menindaklanjuti
kesepakatankesepakatan lainnya, antara lain profit split,

48
pembentukan anak perusahaan Pertamina (yang akan mengelola
Blok Cepu) serta mempelajari aspek hukum perubahan dari TAC
menjadi PSC. Keputusan lain, menugaskan direksi dan komisaris
Pertamina untuk menyelesaikan definitive agreement dalam waktu
90 hari, sejak penandatanganan MoU 25 Juni 2005.
25 Juli 2005: Menindaklanjuti keputusan RUPS, Widya Purnama mengirim surat
kepada Menneg BUMN. Dalam surat itu, Widya menyampaikan
platform Pertamina, yang menegaskan perlakuan khusus yang
dimiliki Pertamina (antara lain split 60/40 dan DMO fee full price)
merupakan privileges sesuai UU Migas No 2/2001 dan PP No
35/2004. Melalui surat itu, Widya juga mengungkapkan,
operatorship mutlak dilaksanakan Pertamina mengingat lahan Blok
Cepu merupakan wilayah kerja Pertamina, yang sekaligus single
majority pemegang working interest.
29 Juli 2005: PT Surya Energi Raya (SER) menyatakan siap mengelola Blok
Cepu. SER khusus mengelola dana partisipasi bernilai sekitar Rp 24
triliun. Dalam pengelolaan, SER akan bermitra dengan BUMD
Bojonegoro, PT Asri Dharma Sejahtera.
10 Agustus 2005: Wapres Jusuf Kalla memerintahkan Pertamina melaksanakan
hasil kesepakatan tim negosiasi Blok Cepu. Sebagai perusahaan yang
dikuasai pemerintah, Pertamina harus mengikuti keputusan
pemerintah.
17 September 2005: Perpanjangan KKS Blok Cepu, antara Pertamina dan
ExxonMobil ditandatangani. Namun JOA antara kedua pihak belum
disepakati

Hasil kesepakatan Blok Cepu


- Pengelola Blok Cepu adalah Perusahaan kontraktor yang terdiri atas
ExxonMobil Indonesia (45%), Pertamina (45%) dan Pemerintah
Kab.Bojonegoro (10%).
- Modal yang harus disetor oleh Pertamina dan Pemkab Bojonegoro akan
ditalangi oleh Exxon dan dibayar dari hasil minyak. Namun Exxon

49
mengenakan bunga 8% setahun.
- Setelah kontrak baru ditandatangani, Technical Assistance Contract (TAC)
sekarang di tangan Exxon dan berlaku hingga 2010 langsung batal.
Sebagai gantinya, kontraktor mengantongi Kontrak Production
Sharing(KPS) untuk 30 tahun.
- Bagi hasil minyak antara Pemerintah RI dengan kontraktor pengelola Blok
Cepu menggunakan sistem pembagian fleksibel berdasarkan naik turunnya harga
minyak. Bila harga minyak sangat rendah, perusahaan akan menerima jumlah
maksimal 30%, sedangkan harga minyak melewati batas tertinggi, perusahaan
akan menerima 15%.

50
BAB 6
KEBERADAAN FREEPORT DI INDONESIA
Penelusuran KOMPAS mengenai PT Freeport Indonesia*

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini saudara diharapkan dapat:
1. menceritakan kembali alasan Freeport menguasai Grasberg di Papua.
2. mengidentifikasi nama-nama tokoh yang terkait dengan penguasaan
Freeport di Papua.
3. mensintesakan kaitan politik dan ekonomi dalam kasus Freeport.

POLITIK dan bisnis, dua hal yang tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi
dari koin yang sama. Meniadakan yang satu berarti meniadakan semua. Suka atau
tidak, itulah bisnis dan politik. Kenyataan demikianlah yang dihadapi Freeport
Sulphur tahun 1959. Ketika baru saja produksi perdana biji nikel perusahaan
tambangnya dikapalkan, Fidel Castro berhasil merebut kota Havana dan
merontokkan kekuasaan rezim diktator Batista untuk selamanya. Atas nama
revolusi rakyat, seluruh perusahaan asing di Kuba dinasionalisasikan. Termasuk
penambangan biji nikel milik Freeport Sulphur.
Di tengah badai demikian, negosiasi dengan rezim Castro sangat mustahil.
Apalagi beredar isu bahwa eksekutif Freeport terlibat membiayai rencana
pembunuhan Castro. Dalam masa pemerintahannya, Castro berulang kali lolos dari
percobaan pembunuhan.
Bulan Agustus masih pada tahun yang sama, Forbes Wilson, direktur dan
pakar top pertambangan di Freeport, bertemu dengan Jan van Fruisen, Direktur
Pelaksana East Borneo Company, yang juga bergerak di sektor pertambangan.
Gruisen baru saja menemukan secara kebetulan suatu laporan yang sudah dipenuhi
debu, mengenai Gunung Erstberg (Gunung Tembaga). Laporan tersebut ditulis Jean
Jaques Dozy tahun 1936.
*)

51
Selama masa pendudukan Jerman, laporan itu bertahun-tahun terselip di deretan
buku yang terbengkalai di perpustakaan Belanda. Dalam laporan itu Dozy
menggambarkan Erstberg sebagai sangat menakjubkan keindahannya. Sedang
kandungan biji tembaga yang tersimpan di situ terhampar luas di permukaan tanah
Suatu hal yang sangat langka di jagat ini.
Wilson yang tertarik pada laporan tersebut segera menghubungi kantor
pusatnya di New York. Ia minta izin sekaligus juga uang untuk melakukan survei
ke daerah yang penduduknya dikabarkan masih hidup seperti di zaman batu. Dalam
benak Wilson, inilah saatnya Freeport melakukan diversifikasi.
Tanggal 1 Februari 1960 Freeport Sulphur dan East Borneo Company
membuat kontrak kerja sama eksplorasi biji tembaga tersebut. Dengan bantuan
penduduk asli yang masih hidup dalam peradaban masa silam, selama beberapa
bulan Wilson menjelajah kawasan Erstberg. Perjalanannya ini kelak dituangkan
dalam bukunya The Conquest of Cooper Mountain.
Ketika Wilson tiba di Gunung Tembaga itu, ia terperanjat menyaksikan
kekayaan biji tembaga yang terhampar luas di atas permukaan tanah. Inilah
keajaiban alam yang sulit ditemui di mana pun. Dalam laporannya Wilson
mengatakan, suatu hal yang tidak lazim proses mineralisasi di kawasan yang begitu
tinggi, atau lebih 2000 m di atas permukaan laut. Sekitar 40 sampai 50 persen biji
besi, dan 3 persen tembaga, serta masih terdapat perak dan emas. Angka 3 persen
itu saja sudah cukup menguntungkan bagi industri tambang.
Dari laporan ini dibuat kalkulasi, dengan perhitungan 13 juta ton biji
tembaga di permukaan tanah dan 14 juta ton di bawah tanah dengan kedalaman 100
m. Jika untuk memproses 5.000 ton biji tembaga/hari dibutuhkan investasi 60 juta
dollar AS, dengan rincian biaya produksi 16 sen dollar/pon, sementara harga jual 35
sen/pon, maka dalam 3 tahun saja investasi itu sudah lunas. Kelak mereka akan
lebih kaget karena angka deposit biji tembaga itu ternyata jauh lebih besar.
Itulah sebagian yang ditulis Lisa Pease dalam artikelnya "JFK, Indonesia,
CIA, and Freeport" di majalah Probe (1996). Meskipun sudah lama dipublikasikan,
tidak banyak di Indonesia membacanya. Suatu uraian historis mengenai kaitan
Freeport dengan keadaan politik di Indonesia dan AS waktu itu, menyadarkan kita
betapa dahsyatnya kekuasaan raksasa bisnis transnasional itu.

52
Menurut Lisa, kegembiraan eksekutif Freeport ternyata hanya sesaat.
Ketika proyek tambang itu akan dimulai, hubungan Indonesia-Belanda sangat
genting dan mendekati perang terbuka. Presiden Soekarno mulai mendaratkan
pasukannya di Irian Barat.
Celakanya lagi, Presiden John F Kennedy malah lebih memihak Indonesia
dengan mengutus Ellsworth Bunker sebagai negosiator. Untuk menekan Belanda,
AS menghentikan bantuan Mashall Plan, dengan alasan khawatir digunakan
membiayai perang. Belanda yang membutuhkan dana bagi pembangunan kembali
negerinya dari reruntuhan Perang Dunia II, terpaksa mengalah untuk mundur dari
Irian Barat. PBB akan membentuk pemerintahan transisional sebelum
menyerahkannya kepada Indonesia, yang selanjutnya tahun 1969 akan
diselenggarakan pemungutan pendapat rakyat untuk memilih apakah gabung RI
atau tidak.
Kontrak kerja sama Freeport dengan Belanda akhirnya mentah lagi.
Menurut Lisa dalam artikelnya yang tersimpan di National Archieve, Washington
DC, Freeport sempat pula melobi PBB mengenai status kontrak yang sudah
disepakati. Namun pejabat PBB mengatakan hal itu sebaiknya dirundingkan dengan
pihak RI. Beberapa kali dicoba mendekati pemerintah RI melalui kedubesnya di
Washington, tetapi tidak ada jawaban.
Lebih menjengkelkan eksekutif Freeport lagi, Presiden Kennedy
menyiapkan paket ekonomi membantu Indonesia, dengan melibatkan IMF dan
Bank Dunia. Dalam pandangan Kennedy, Soekarno adalah seorang nasionalis tulen,
bukan komunis. Ini jelas dari sikap Bung Karno yang memerintahkan angkatan
perang menumpas pemberontakan komunis tahun 1948 di Madiun.
Dari persepektif demikian, bagi Kennedy, menghentikan bantuan ekonomi
kepada Indonesia akan membuat negeri ini mencari alternatif ke Blok Timur. Di
tengah memanasnya Perang Dingin, hal itu harus dicegah mengingat Indonesia
menempati urutan kelima terbesar penduduknya di dunia, lokasinya di jalur
pelayaran terpadat di dunia, dan kekayaan alamnya urutan keempat di dunia.
Tapi tidak lama setelah Kennedy tewas tertembak, 22 November 1963,
Freeport bangkit kembali, karena Johnson yang menggantikan sebagai pejabat
sementara presiden, secara dramatis merombak kebijakan dan bantuan luar negeri

53
AS. Termasuk kebijakan dan pengurangan bantuan ekonomi kepada RI, kecuali
TNI.
Salah satu anggota dewan direksi Freeport yang paling bahagia atas
perubahan tersebut adalah Augustus C. "Gus" Long. Itu sebabnya ia tidak ragu ikut
membentuk tim kampanye bagi pemilihan Johnson dalam pemilu presiden tahun
1964.
Akan halnya kematian Kennedy, hingga sekarang masih menyimpan
misteri.
Tidak sedikit pula menuding Freeport Sulphur berada di belakang peristiwa ini,
walaupun sudah berulang kali dibantahnya. Majalah Probe yang hingga saat ini
masih terus berupaya membuka tabir misteri pembunuhan itu, tetap
mengkaitkannya dengan konspirasi CIA, yang di dalamnya terkait eksekutif
Freeport.
Lantas apa hubungannya dengan Indonesia? Augustus C. Long inilah
pemain utama. Ia pernah beberapa tahun menjadi ketua dewan direktur Texaco.
Long sendiri mempunyai dua kepentingan di Indonesia. Selain menyangkut
Freeport, ia juga menghadapi masalah berkaitan dengan kebijakan baru kontrak
perminyakan Indonesia tahun 1961. Presiden Soekarno memutuskan, 60 persen dari
keuntungan harus diserahkan kepada pemerintah RI.
Caltex, satu dari tiga perusahaan minyak terbesar yang beroperasi di
Indonesia waktu itu, sangat terpukul dengan kebijakan baru tersebut. Caltex adalah
perusahaan migas patungan Standard Oil of California dengan Texaco (Texas
Company), di mana Augustus Long pernah memimpinnya selama bertahun-tahun.
Di luar Texaco, Long aktif dalam Presbyterian Hospital, New York, di mana ia
terpilih dua kali menjadi presidennya, tahun 1961 dan 1962. Tempat ini sejak lama
dikenal sebagai ajang pertemuan pentolan CIA.
Long pensiun sebagai bos Texaco tahun 1964, namun tahun 1970 kembali
memegang kendali Texaco. Tapi inilah yang menggugah Lisa Pease untuk mencoba
mencari jawaban atas pertanyaan, apa yang dilakukan Long selama periode
"pensiun sementara" itu?
Maret 1965 Long terpilih sebagai direktur Chemical Bank, salah satu
perusahaan di bawah kendali Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat sebagai

54
anggota dewan penasihat intelijen presiden untuk masalah luar negeri. Suatu badan
yang sangat berpengaruh dalam menyetujui atau menyarankan operasi rahasia di
negara-negara tertentu. Operasi rahasia inilah yang menamatkan kekuasaan
Presiden Soekarno dengan meletusnya G-30-S.
Situasi Indonesia sendiri memanas sejak awal 1965. Kesabaran Presiden
Soekarno melihat AS yang masih membantu Malaysia, sudah sampai pada
batasnya. Ancaman keluar dari PBB benar-benar diwujudkan. Semua bantuan AS
ditolak. Bahkan giliran perusahaan minyak AS yang terancam dinasionalisasi.
Sedang perusahaan ban mobil dan perkebunan AS, Goodyear, sudah lebih dahulu
disita.
Yang membuat perusahaan minyak tersebut bernasib mujur adalah
keputusan Singapura keluar dari Federasi Malaysia. Keputusan ini agak mengurangi
ketegangan. Paling tidak Bung Karno yang selama ini menolak Federasi Malaysia,
karena dianggap bentukan Inggris dan batu loncatan Nekolim menguasai Asia
Tenggara, tidak kehilangan muka. Dokumen lain menyebut, keluarnya Singapura
berkat desakan AS terhadap Inggris. Buku mengenai President Johnson dan
Kebijakan Politik Luar Negeri AS, yang belum lama ini ditarik Deplu AS dari
peredaran, banyak membuka file rahasia mengenai politik konfrontasi itu.
Ketika terjadi peristiwa G-30-S, walaupun berita-berita di Washington
tampaknya masih simpang-siur pada 1 Oktober 1965, tapi ini hanyalah sekadar
sandiwara. Mengutip artikel Peter Dale Scot yang diterbitkan di majalah Lobster
(1990) di Inggris, Lisa Pease menyebut, tahun 1964 seorang peneliti yang diberi
akses membuka file di Deplu Pakistan, menemukan surat salah seorang dubes
Pakistan di Eropa.
Dalam suratnya Desember 1964 itu, sang dubes menyampaikan informasi
dari seorang pejabat intel Belanda yang ditempatkan di NATO. Di situ
dikemukakan, dalam waktu tidak lama lagi Indonesia akan beralih ke Barat. Suatu
peristiwa mirip kudeta yang dilakukan komunis akan terjadi di sana, sehingga
angkatan darat mempunyai alasan kuat untuk menamatkan partai komunis dan
membuat Soekarno menjadi seorang tahanan.
Tapi yang lebih menarik adalah kabel yang dikirim Deplu AS ke PBB
pada April 1965. Di situ dijelaskan bahwa Freeport Surphur telah mencapai

55
kesepakatan dengan Pemerintah RI mengenai penambangan puncak Erstberg.
Padahal waktu itu mustahil pemerintah RI melakukan hal ini. Bahkan perusahaan
AS yang ada saja akan dinasionalisasi.
Persoalannya, AS sudah tahu apa yang akan terjadi. Komunikasi telegram
kedubes AS di Jakarta dengan Deplu akhir Januari 1965, sangat jelas
mengindikasikan hal ini. Salah satu telegram itu menyebut adanya pertemuan
pejabat teras angkatan darat, yang membicarakan rencana darurat jika Presiden
Soekarno mendadak meninggal dunia. Kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto
malah melangkah lebih jauh, mendesak agar sesegera mungkin angkatan darat
mengambil alih kekuasaan, tanpa menunggu Presiden Soekarno berhalangan.
(Telegram rahasia Cinpac 342,21 Januari 1965, Pkl. 21.48).
Awal November 1965, ketua dewan direktur Freeport, Langbourne
Williams, menelepon Direktur Forbes Wilson di rumahnya, menanyakan apakah
Freeport sudah siap untuk melaksanakan proyek di Irian Barat. Wilson nyaris tidak
percaya mendengar berita ini. Apalagi waktu itu Soekarno masih presiden RI,
bahkan hingga 1967. Lantas dari mana informasi ini diperoleh?
Texaco, perusahaan yang lama dipegang Augustus C. Long, mempunyai
dua sumber informasi penting. Yakni Julius Tahija dan Ibnu Soetowo. Julius Tahija
pula yang menjadi perantara menegosiasikan Freeport dengan Ibnu Soetowo yang
menjabat Menteri Pertambangan dan Perminyakan. Posisi Ibnu Soetowo di
angkatan darat sangat penting, karena dialah yang menutup kebutuhan dana operasi
angkatan darat.
Lantas ketika UU PMA disahkan tahun 1967, perusahaan asing yang
pertama kali kontraknya ditandangani Soeharto adalah Freeport. Perusahaan ini
dengan canggihnya bermain di segala lini. Di bawah komando Augustus C Long,
yang dekat dengan pusat kekuasaan di Gedung Putih, tidak hanya Freeport yang
mujur, tapi juga Texaco dan perusahaan minyak lainnya. Sebab tidak lama setelah
Bung Karno dilengserkan, Ibnu Sutowo membuat perjanjian kontrak baru
perminyakan, yang porsi keuntungan lebih besar pada perusahaan asing.
Salah satu sahabat lama Augustus C Long adalah Steve Bechtel Sr.
Mereka kadang-kadang tampak makan malam bersama. Bechtel Sr mendirikan
perusahaan patungan dengan Direktur CIA John McCone, yang diberi nama

56
Bechtel-McCone di Los Angeles. Tahun 1964 dan 1965 Direktur CIA McCone dan
Dubes AS di Jakarta Howard Jones, membriefing Steve Bechte Sr, mengenai
cepatnya perubahan situasi yang makin memburuk di Indonesia.
Bagi CIA sendiri Bechtel Sr bukanlah orang asing. Ia adalah anggota
penyantun Asia Foundation yang dibentuk CIA sejak masa Allen Dulles. Banyak
orang CIA yang bekerja di Bechtel. Bahkan mantan Direktur CIA, Richard Helms,
bergabung dengan Bechtel sebagai konsultan internasional tahun 1978. Menurut
Lisa Pease, walaupun sempat cekcok, Freeport akhirnya mengajak Bechtel
membantu membangun konstruksi infrastruktur yang tepat untuk mewujudkan
impian mereka menjadi kenyataan. Untuk mengembirakan Soeharto dan bangsa
Indonesia, melalui salah satu anggota dewan direkturnya, Menlu Henry Kissinger,
President Gerald Ford berkunjung ke Jakarta. Beberapa jam ketika pesawat terbang
kepresidenan ini meninggalkan landasan pacu Halim Perdanakusuma, ribuan tentara
Indonesia melakukan invasi ke Timtim. "Tanpa bantuan senjata dan logistik dari
AS, sulit membayangkan Indonesia akan berhasil," ujar C Philip Lieghty, mantan
anggota CIA yang ditempatkan dalam operasi itu. Ia mengakui sempat membahas
dampak invasi itu atas AS, termasuk menjaga kemungkinan serangan Kongres.
Tahun 1980 Freeport bergabung dengan McMoRan, perusahaan
eksplorasidan pengembangan minyak, yang dinakhodai "Jim Bob" Moffett. Tidak
lama kemudian markasnya pindah ke New Orleans. Freeport McMoRan sangat
cepat menapak menjadi raksasa dunia, dengan keuntungan diperkirakan
lebih 1,5 milyar dollar AS/tahun. Dalam bukunya setebal 384 halaman, yang
diterbitkan tahun 1996 dengan judul Grasberg, George A. Mealey menyebut saat
ini Freeport McMoRan merupakan tambang tembaga yang mempunyai deposit
ketiga terbesar di dunia. Sedang untuk emas menempati urutan pertama.
Merujuk data tahun 1995, eksekutif Freeport ini menyebut, di areal ini
tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons.
Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS. Hingga 45 tahun ke depan
penambangan di Grasberg masih menguntungkan. Kemasan promosinya yang
paling menakjubkan adalah, biaya produksi tambang emas dan tembaga di sini yang
termurah di dunia.

57
Tapi lihatlah apa yang terjadi atas penduduk asli dari suku Amungme
maupun suku-suku lainnya. Jika disimak dari kategori Alvin Toffler, The Third
Wave, sebagian besar dari mereka hidup masih seperti di zaman batu. Dengan kaki
telanjang dan penutup tubuh hanya sebatas kemaluan, mereka mengembara di
hutan-hutan, mengejar binatang buruan bersenjatakan panah dan tombak. Nyaris
tidak masuk akal bahwa ada mahluk manusia bertahan dengan cara demikian di
tengah udara dingin di atas ketinggian lebih 2.000 m dari permukaan laut.
Sama tidak masuk akalnya keadaan pemerintah Indonesia yang mengemis
mencari pinjaman ke sana-sini, sementara cadangan emas dan tembaga yang dapat
membayar seluruh utang pemerintah, diserahkan kepada pihak asing. Alhasil, selain
kerepotan membayar bunga dan cicilan utang, reputasi pemerintah RI melorot di
mata internasional.
Tidak ada gerak dan denyut kehidupan baru di pegunungan tengah Irian
Jaya, kecuali di sekitar Tembagapura, tempat bercokolnya kawasan industri
tambang itu. Tapi dari tanah adat penduduk setengah primitif inilah diangkut
kekayaan alam yang tidak terhingga nilainya. Kekayaan alam itu pula yang ikut
meramaikan pasar uang, komoditi, dan saham di New York.
Penduduk suku Amungme dan suku-suku lainnya di pedalaman Irian Jaya
tidak dapat membayangkan apa dan bagaimana kesibukan jam kerja dan cahaya
lampu yang berkilau pada malam hari di kawasan Manhattan, New York. Sebab di
sini pun mereka tidak mempunyai ruang sekadar mengabstraksikan dan bertanya
sumber kemewahan di kompleks Freeport.
Di sini bertanya bukan suatu kebiasaan yang baik. Mirip goa atau pohon-
pohon besar yang diyakini banyak penduduk pedalaman Irja ada penunggunya dan
bisa membawa bencana, demikian pula halnya bertanya. Sebab aparat keamanan
yang berwajah garang yang didatangkan dari Jakarta, sudah siap dengan jawaban
"Kamu OPM, ya." Stigma ini identik dengan pintu neraka.
Itulah yang dialami mereka ketika Kelly Kwalik dan pasukannya yang
berkoteka menyandera sejumlah peneliti asing. Ribuan pasukan elite dari berbagai
kesatuan yang diterbangkan dari Jakarta maupun kota-kota lainnya, mengepung
rapat setiap pelosok yang mungkin di huni manusia. Suara helikopter tidak henti-
hentinya meraung-raung di udara membuat penduduk lari ketakutan.

58
Tidak cukup hanya itu, didatangkan pula satuan antiteroris Inggris,
Jerman, bahkan tentara bayaran Afrika Selatan dari perusahaan Executive
Outcomes. Selain itu melalui lobi pejabat Singapura ke Dubes Israel yang bertugas
di sana, Tel Aviv meminjam pesawat mata-mata tanpa awak. Pesawat canggih
dengan peralatan elektroniknya ini dapat mendeteksi gerakan manusia di permukaan
tanah dan mengirimkan fotonya melalui satelit.
Banyak penduduk tidak bersalah tewas dibantai. Apalagi ketika sebuah
pesawat helikopter menggunakan logo palang merah, yang penumpangnya termasuk
tentara bayaran Afsel, memberondong penduduk desa. Pengejaran besar-besaran itu
dan dengan biaya yang amat mahal pula, baru usai setelah berlangsung tanpa henti
selama sekitar 3 bulan. Pers nasional dan internasional yang sudah melewati titik
jenuh penantiannya, akhirnya dapat sekadar membuat foto sandera yang berhasil
dibebaskan.
Sambutan pers atas keberhasilan itu sangat meriah, seperti layaknya
menyongsong pahlawan pulang perang. Padahal seharusnya kita malu karena
hanya menghadapi seorang mantan guru SD yang sederhana, yang memimpin
puluhan orang pengikutnya bersenjatakan tombak, panah, dan beberapa pucuk
senjata tua.

59
BAB 7
PRIVATISASI BUMN DALAM RANGKA PEMBIAYAAN
APBN
Oleh:
Syahrir Ika dan Agunan P. Samosir2
1

Abstraksi
Kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia semakin menjadi
bagian penting dari kebijakan ekonomi pemerintah. Privatisasi
dipandang sebagai langkah untuk mengurangi intervensi
pemerintah dalam bidang ekonomi yang seharusnya dilaksanakan
oleh sektor swasta. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan
daya saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendukung
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, privatisasi yang
dilakukan pemerintah saat ini bukan dalam tujuan diantas,
melainkan untuk menutup defisit APBN. Karena sektor-sektor
penerimaan dan pembiayaan lainnya tidak mencukupi dalam
keseimbangan anggaran yang telah ditetapkan. Dalam
perjalanannya, privatisasi yang telah berjalan dan yang akan
dilakukan menjadi dilematis seperti yang telah terjadi pada
privatisasi Indosat baru-baru ini.

Para ekonom dan pengambil kebijakan pada prinsipnya sependapat tentang


hakekat atau makna dari privatisasi. Basri (2002), misalnya, berpendapat bahwa
hakekat atau makna privatisasi adalah mengurangi keterlibatan atau intervensi
pemerintah ke ekonomi secara langsung. Pemerintah cukup melaksanakan tugas-
tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh pasar termasuk pertahanan dan
keamanan serta redistribusi pendapatan. Dalam kata-katanya “Dalam keadaan
yang ideal, negara hanya bertindak sebagai pengatur, penata, penegak rule of law,
dan penjamin rasa aman.”
Pendapat ini mendapat dukungan yang luas dari para pengambil kebijakan
nasional. Deputi Menteri BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi, Mahmud
Yasin (2002), berpendapat bahwa makna privatisasi adalah perubahan peran
pemerintah dari pemilik dan pelaksana menjadi sebagai regulator dan promotor.
Dengan kata lain, kepemilikan pemerintah pada badan-badan usaha perlu
dikurangi sampai pada posisi yang minoritas. Pelepasan kepemilikan pemerintah
60
tersebut lebih diprioritaskan untuk BUMN-BUMN yang berada pada pasar
kompetitif dan atau bukan melakukan tugas-tugas pelayanan dasar yang penting
(bukan public service obligations, PSO).
Dari tahun ke tahun sejak reformasi, privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) semakin meningkat saja. Tawaran mulai dibuka lebar. Ini sebuah
tantangan, jika anda tertarik untuk membeli saham BUMN di atas, hanya dengan
mengajukan sebuah proposal pendek dan mengajak partner MNC/TNC atau
pejabat negara atau Bank Dunia untuk mencari koneksi sebuah MNC/TNC
sebagai partner, anda akan mudah memperoleh rekomendasi dari pejabat Bank
Dunia tersebut untuk mendapatkan pinjaman dari sebuah bank internasional atau
anak perusahaan Bank Dunia seperti IFC (International Financial Corporation)
dan MIGA (Multilateral Investment Guarantee Agency). Di samping itu anda
juga akan mudah mendapatkan perlindungan atas investasi jika terjadi konflik
oleh ICSID (The International Centre for Settlement of Investment Disputes).
Berbagai perusahaan besar yang umumnya berawal dari rekanan Presiden RI atau
pejabat tinggi negara telah mendapatkan kemudahaan itu untuk melakukan
transaksi bisnisnya di Indonesia. Dalam privatisasi BUMN kasus yang sama pun
bisa terjadi.
 Privatisasi sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi di Indonesia sebenarnya
diisukan secara bertahap sejak masa pemerintahan Suharto, yakni sejak
diberlakukannya deregulasi dan dikorporasikannya perusahaan negara menjadi
perusahaan umum. Didorong oleh krisis keuangan pada tahun 1998, menyusul
dikenakannya kewajiban pemerintah untuk melakukan bail out atas hutang bank-
bank swasta yang menyebabkan deficit APBN, maka pemerintah diminta oleh
IMF melalui Letter of Intent memberlakukan Undang-undang No 22 Tahun 2001
mengenai privatisasi BUMN sebagai perusahaan public (PERSERO). UU ini
kemudian diikuti Peraturan Pemerintah No. 31 of 2003. Contoh BUMN yang
termasuk paling awal diprivatisasi adalah PN Pertamina yang diubah menjadi PT
PERTAMINA (PERSERO) pada tanggal 9 Oktober 2003. Keberhasilannya
kemudian diikuti oleh penjualan saham PT Indosat dsb. Ironisnya, dalam proses
jual beli itu pada prakteknya privatisasi hampir tidak berhubungan dengan
kepentingan untuk mendapatkan pendapatan negara yang signifikan walaupun

61
selalu dikatakan untuk mengurangi defisit APBN. Privatisasi umumnya selalu
lebih mengutamakan cipratan dana hasil penjualan kepada para pejabat negara
atau partai politik yang terkait serta peran pialang atau broker yang sangat
menentukan, sehingga harga jual sahamnyapun tidak dinilai sesuai harga pasar
(undervalued). Sementara itu para pekerja juga meminta hasil penjualannya
dengan mengatasnamakan nasionalisme. Inilah yang sering menimbulkan
kontroversi, pro dan kontra, baik dalam isu ekonomi maupun politik.
Pengumuman atas diprivatisasikannya PT Semen Gresik kepada Cemex pada
tahun 1998 dan PT Indosat kepeda Singapore Telcom & Telemedia tahun 2002
misalnya sudah mengundang kontroversi diikuti oleh konflik politik antara para
pejabatnya, tokoh politik dengan Menteri dan jajaran Menteri BUMN. Kedua
saham perusahaan ini memang dijual dengan harga yang sangat, sangat murah.
 Melihat situasi itu muncul berbagai pertanyaan, antara lain, apa tujuan dan
sasaran sebenarnya atas penjualan itu? Apakah penjualan itu dipastikan efektif
bagi Negara? Apakah yang diinginkan hanya sekedar pemasukan Negara dalam
jumlah yang banyak atau hanya untuk memenuhi deficit APBN? Menyimak
pendapat Tony A Prasetyantono, ada faktor ekonomi yang menyebabkan BUMN
dijual. Pertama, oleh alasan X-efficiency (Harvey Liebenstein 1966), yakni perlu
adanya efisiensi di luar kompetisi. Kedua, allocative efficiency (JS Mill 1848)
yang memandang bahwa adanya mopnopoli natural akan menyebabkan pasar
dengan sendirinya mendorong pencapaian efisiensi melalui persaingan. Ketiga,
dynamic efficiency oleh Joseph Schumpeter, yang mempersyaratkan inovasi
manajemen. Keempat, adalah dorongan deficit anggaran belanja pemerintah.
Yang menjadi masalah adalah jika yang dijual itu adalah asset Negara yang
bersifat strategis dan menguntungkan yang dalam penjualan ini dijual secara
murah, maka seluruh bumi Nusantara akan terganggu aktifitas ekonomi dan
politiknya. Dengan alasan kebangkrutan dengan beban untuk membayar hutang,
mengurangi pengangguran atau kemiskinan, apalagi terutama ditambah dengan
kondisi krisis ekonomi seperti yang dialami Indonesia di tahun 1998 yang
menyebabkan deficit APBN yang jumlahnya puluhan trilyun, ditambah dengan
proses jual beli secara koruptif yang melibatkan sejumlah pejabat, pemerintah
tentu akan menjual murah BUMN nya. Tidak heran jika Stiglitz menyatakan

62
developing countries to be aware of widespread corruption in the privatization
process ;in many countries, privatization got the name of briberization.
 
Seperti bermain monopoli, sebagai pembeli, anda dengan mudah dapat memilih
dan segera melakukan transaksi atas asset Negara yang dijual murah ini menurut
kehendak anda dengan jaminan pinjaman perusahaan multinasional/multilateral
kelas dunia tersebut di atas. Sayang, dari tabel di atas untuk tahun 2001 tak dimuat
privatisasi yang dilakukan. Di tahun itu yang dijual adalah PT Telkom dan PT
Sucofindo, dua di antara the golden boys BUMN Indonesia yang sebenarnya
sangat strategis dan paling menguntungkan jika pemerintah tidak gegabah
menjualnya. Dengan back up UU No 22/2001 sektor-sektor BUMN yang
diperjualbelikan pemerintah meliputi sektor mineral (PT Batubara Bukit Asam,
PT Aneka Tambang), energi (PT Gas Negara), kimia dan kesehatan (PT Kimia
Farma, PT Indo Farma, PT Bio Farma),asuransi (PT Asuransi Kesehatan
Indonesia), telekomunikasi (PT Telkom, PT Indosat), pariwisata (PT Bali Tourism
& Development), jasa (Perum Jasa Tirta), kawasan industry (PT Kawasan Berikat
Nusantara, PT PDI Pulau Batam), infrastruktur , tekstil (PT Primissima),
perkebunan dan kehutanan (PTPN III, PTPN X, PT PSB, PT Perhutani),
pendidikan (PT Balai Pustaka),
 
Adapun kriteria yang digunakan umumnya adalah bahwa BUMN beroperasi
dalam sektor atau industry yang kompetitif, dengan perubahan cepat dalam
teknologi dan kepemilikan saham pemerintah minoritas, tidak lagi mayoritas.
Metode penjualan yang dilakukan, selain menggunakan IPO (Initial Public
Offering) juga right issue (melalui penjualan P.T.Telkom dan P.T. Antam) atau
strategic sale. IPO dilakukan yakni dengan menciptakan proses penjualan
strategis, pembelian oleh manajemen pekerja (employee management buy out),
pembelian oleh pemerintahan regional (regional government buy out) dan
likuidasi. Umumnya dengan metode privatisasi seperti ini manajemen yang baru
ditetapkan dengan menggunakan pekerja lokal dengan hanya satu sampai sepuluh
pekerja asing. Namun demikian umumnya perbedaan gaji, jaminan dan
perlindungan terhadap karyawan antara pekerja asing dan lokal sangat tinggi.

63
Demikian pula perbedaan standar gaji di Indonesia dengan Vietnam dalam kelas
dan kemampuan yang sama misalnya mempunyai perbedaan yang signifikan.
Indonesia lebih banyak diasosiasikan sebagai Negara dengan pekerja yang sulit
diatur. Di sisi lain pekerja Indonesia terlihat masih belum mampu membedakan
kondisinya dengan kondisi pekerja di Negara tetangga. Faktor ini belum
memperoleh porsi perhatian yang luas dari para karyawan ataupun akademik.
Masalah perbedaan kesejahteraan sangat perlu diperhatikan.
 
Jika kompetisi sangat tinggi, apalagi akan dibentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN
beberapa saat lagi, perlu dipikirkan mengenai perlakuan perusahaan yang
seharusnya dalam standar yang sama antara pekerja Indonesia dengan pekerja
Singapore misalnya dalam kelas dan lapangan kerja yang sama. Tanpa itu, atau
berupaya memanipulasi kemungkinan itu dengan membedakan PDB masing-
masing Negara, maka faktor penguasaan tenaga dan keahlian oleh pemilik modal
tak akan terbendung lagi. Pihak pemilik modal akan semakin menutupnya dengan
berbagai peraturan dan hambatan perdagangan termasuk dalam pengaturan yang
lebih kurang ajar dalam dispute of settlement dan kesepakatan dalam perdagangan
bebas.
Perebutan peran lembaga donor di Indonesia
Di Indonesia yang terjadi adalah kasus yang sedemikian merugikan. Mengapa
demikian? Mari kita cermati lebih lanjut. Umumnya aksi privatisasi sebuah
perusahaan akan diikuti dengan restrukturisasi asset, inovasi manajemen dan pola
produksi perusahaan. Restrukturisasi ini umumnya berakibat pada rasionalisasi
pegawai yang mengatasnamakan efisiensi dan inovasi seperti dijelaskan di atas.
Namun, ada the invisible hands yang selalu mendengungkan, Bagaimanapun,
privatisasi harus dilaksanakan. Alasan ini secara tegas diminta dan disahkan oleh
IMF dalam Letter of Intentnya kepada pemerintah Indonesia di tahun 1999 dan
terus diperbarui di tahun 2000 dan 2003. Indonesia yang pejabatnya korup ini pun
diam (karena jika diam berarti akan mendapat emas, limpahan keuntungan
penjualan aset). Permintaan IMF ini sejalan dengan komitmennya bersama
lembaga donor lain seperti Bank Dunia, dll. dalam Konsensus Washington di
tahun 1992 yang dimaksudkan untuk melaksanakan proses liberalisasi dalam

64
globalisasi dalam rangka mengakhiri krisis ekonomi yang muncul di Negara-
negara berkembang (pada waktu itu krisis ekonomi yang terjadi berada di Negara-
negara Amerika Latin). Ketika posisi IMF di Indonesia melemah, ditandai dengan
gagalnya konsep IMF dalam proses bail out hutang swasta diikuti dengan
dihentikannya perjanjian hutang baru Indonesia pada IMF, Bank Dunia dengan
gesit segera menggantikan dan memperbesar posisinya dalam proses privatisasi
dan upaya legalisasi liberalisasi ekonomi, menggantikan posisi IMF dan Bank
Dunia sendiri.
Kebijakan privatisasi sebenarnya sudah sejak lama dikumandangkan melalui
Bank Dunia dan peraturan liberalisasi perdagangannya dinegosiasikan di World
Trade Organization menurut aturan kesepakatan yang diatur dalam General
Agreement on Trade in Services (GATS). Peraturan dengan prasyaratnya
(conditionalities) ini menciptakan korporasi antar Negara yang mengeruk
sumberdaya Negara untuk dimanfaatkan demi kebutuhan vital di tangan
manajemen korporasi swasta dengan keuntungan yang diambilnya atas hasil
pelayanannya.
 Seperti telah dikemukakan di atas, peran lembaga multilateral sangat vital dalam
mensukseskan privatisasi. Kesuksesannya atas privatisasi adalah kesuksesan yang
milyaran dolar AS jumlahnya. Berbagai penelitian baik oleh Bank Dunia maupun
dengan menghampiri intelektual nasional maupun internasional, dilakukan untuk
mencari bukti kuat mengenai istimewanya prospek privatisasi di Indonesia. Dari
hasil penelitian itu diperoleh kesimpulan dan legitimasi yang misinya sama
dengan Bank Dunia, antara lain bahwa, privatisasi akan mendatangkan
keuntungan signifikan, dengan manajemen dan ongkos produksi yang efisien,
perolehan pajak membesar, dibelanjakan melalui investasi capital, dengan hasil
dan pencapaian ketenagakerjaan yang maksimal dan menurunkan rasio hutang.
Dari hasil penelitian semacam itu kemudian program ditentukan, terutama proses
reformasi hukumnya.
Berulangkali pemerintah harus mengundangkan dan mengeluarkan Peraturan
Presiden atau keputusan Pemerintah mengenai privatisasi dan liberalisasi dengan
sektor-sektor yang melingkupinya. Surat Keputusan Presiden No.18 Tahun 2006
tentang Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero), misalnya, adalah

65
keputusan untuk menegaskan privatisasi yang dilakukan oleh komite tersebut
secara sah, dengan mengingat atau merujuk pada serangkaian ketentuan
privatisasi yang ada dalam peraturan yang terdahulu seperti Pasal 4 ayat (1)
Amandemen Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang No 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang NO 8 tentang Pasar Modal, Undang-
undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-undang No 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah NO 41 Tahun 2003
tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan
pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) dan
Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara,
Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi
Perusahaan Perseroan (PERSERO), peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2005
tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha MIlik
Negara. Peraturan ini semakin kuat ketika pemerintah kemudian mengesahkan
Undang-undang Penanaman Modal. Melalui rentetan peraturan ini maka
Indonesia sudah disahkan untuk menetapkan dirinya dengan privatisasi demi
kelancaran liberalisasi ekonomi. Padahal perundangan ini umumnya tidak
melalui prosedur publik yang komprehensif. Proses perencanaan, persetujuan
DPR sampai pengesahan oleh pemerintah dilakukan secara sepihak dan dalam
kurun waktu yang relatirf singkat.
Apakah ini merugikan? Mari kita perhatikan, dengan menjual asset seperti di atas,
yang terjadi antara lain adalah, pertama, negara menurunkan nilai jual asset, yang
sebenarnya menurut standar ekonomi nilai jual tinggi seperti pada PT Telkom
misalnya AS$6 milyar. Namun oleh karena ada alasan legal untuk memenuhi
target pembayaran hutang dan mengurangi kemiskinan, asset menjadi turun
sebesar AS$2 milyar. Kedua, Negara harus mencarikan sektor lain yang
menggantikan posisi tenaga kerja yang dirasionalisasi (dipensiun/dianggurkan).
Ini dapat menimbulkan masalah. Karena di satu sisi pemerintah umumnya tidak
siap dengan merelokasi para angkatan kerja. Demikian pula pihak perusahaan
yang tidak mau menanggung beban keuangan ganda jika ikut merelokasi para
angkatan kerja. Ironisnya, umumnya pemerintah di Indonesia tidak pernah mampu

66
menyediakan lapangan kerja yang lebih baik dan lebih protektif dibanding
lapangan kerja di BUMN. Di samping itu pemerintah tidak berupaya untuk
membuat manajemen dan produksi BUMN menguntungkan. Kalaupun ada
keuntungan, maka keuntungan ini umumnya lebih banyak masuk ke kantong-
kantong pejabat BUMN, pemerintah maupun partai politik
Dengan perebutan dana dan pengaruh ini Indonesia sebenarnya telah kehilangan
hal lain dalam privatisasi yang lebih parah, yakni kerugian Indonesia yang berlipat
ganda yang berhubungan dengan masalah keamanan Negara. Indonesia, dengan
menjual PT Telkom berarti mengalihkan rahasia negara ke perusahaan/negara
pembeli. Mengapa? Karena PT Telkom adalah perusahaan telekomunikasi Negara
yang menghimpun seluruh saluran telekomunikasi yang pasti meliputi rahasia
telekomunikasi (percakapan, saduran, tapping, pembuatan saluran rahasia,
penguasaan akses radar/satelit, ruang telekomunikasi rahasia, dll.) milik negara di
seluruh wilayah Indonesia. Kita hanya akan meringis merasa sia-sia ketika
mengetahui pekerjaan kebanggaan kita dalam merancang dan melakukan advokasi
public UU Rahasia Negara misalnya justru ditertawakan para pemegang saham
PT Telkom ini karena semua akses telekomunikasi yang bersifat rahasia sudah
dikuasai mereka yang bukan orang Indonesia.
Kerugian lain? Tentu saja masih ada, Indonesia banyak kehilangan akses dan
potensi ekonomi di negeri sendiri. Gas Negara sudah dikuasai Jepang, juga lalu
lintas perdagangan dan harga minyak yang dikuasai Singapore dan korporasi-
korporasi internasional itu. Apalagi dengan akan disahkannya kesepakatan
perjanjian perdagangan bebas yang intinya memberlakukan pembebasan bea
masuk dan barang modal, dan kemudahan pembelian begitu banyak asset ekonomi
lainnya, yang dimulai dengan penandatanganan Economic Partnership Agreement
antara Indonesia dengan Jepang, diikuti Indonesia dengan India, dll. Semakin
pendek sudah usia Indonesia di tangan korporasi tanpa ada pembatasan-
pembatasan pengerukan yang disahkan dengan undang-undang.
 Gerakan anti privatisasi
Seperti telah dijelaskan di atas privatisasi BUMN selalu menimbulkan pro dan
kontra, karena ia menyangkut asset Negara dan kepentingan hajat hidup rakyat.
Dan gerakan anti privatisasi umumnya sejenis dengan gerakan anti

67
globalisasi/liberalisasi. Bagi kelompok penganut aliran Marxis aktifitas ilegal
TNC/Bank Dunia mengontrol ekonomi dunia, eksploitasi kelas pekerja,
menyebabkan memburuknya kondisi masyarakat. Reformasi sosial yang
munculpun masih dibawah tekanan kapital global. Meningkatnya kontradiksi
produksi modern menyebabkan efek perbedaan teknologi (mesin), pembagian
kerja pekerja, konsentrasi kapital, penguasaan tanah oleh sekelompok kecil
orang, overproduksi & krisis, runtuhnya kelas lama (petty bourgeois) &
pekerja, anarki produksi, melebarnya ketidaksamaan, menurunnya moral,
hubungan kekeluargaan dan nasionalitas.
Sedangkan bagi kelompok liberal mereka menganggap dunia sudah terlalu
komersil, sehingga negara tak mampu mengendalikan. Sehingga terjadi over
produksi yang menyebabkan pasar jenuh. Kondisi ini menyebabkan krisis. Dalam
kondisi ini pemerintah harus membuat keputusan dengan menaikkan suku bunga.
Dalam titik tertentu kenaikan suku bunga akan menyebabkan inflasi tinggi (tahun
ini di Amerika Serikat inflasi lebih oleh pengaruh harga pangan dan BBM dan
merosotnya perdagangan saham oleh anjloknya prime mortgage bisnis properti).
Neo klasik seperti Joseph Stiglitz dkk menyatakan bahwa manajemen negara
besar terlalu kemaruk/serakah (greedy). Sehingga yang terjadi adalah
ketimpangan antara Negara miskin yang resourceful yang lebih dikendalikan oleh
Negara maju. Oleh karena itu kurangi peran donor dan lembaga donor yang
seringkali memanipulasi kepentingan dengan berbagai ancaman, antara lain
terorisme dan pemanasan global, tidak lagi bergantung pada PDB (PDB naik,
masyarakat tetap miskin). Dengan demikian hanya negara yang siap dalam
teknologi, informasi, sumberdaya kelas dunia, pengalaman matang & good
governance akan berhasil.
Di Indonesia ada nuansa atau rasa kepemilikan, perlindungan dan rasa usaha
bersama berdasar suasana kekeluargaan yang menjadi bagian nafas dari cara kerja
BUMN di Indonesia. Dengan standar gaji dan dinamika kerja yang masih dibawah
standar perusahaan swasta besar lainnya di kelas yang sama, hampir setiap
karyawannya menyatakan kerelaannya untuk bekerja di BUMN. Bekerja di
BUMN adalah kebanggaan dan symbol kesetiaan warga Negara kepada asset
negaranya. Ironisnya, usaha seperti ini selalu diganggu oleh intervensi pejabat

68
pemerintah dan partai politik. Nilai-nilai dan budaya ini tidak berlaku bagi sebuah
perusahaan modern yang dinamis dan meminta penggandaan keuntungan yang
besar dalam waktu yang cepat dan kalau bisa masuk ke aras global. Perbedaan
besaran keuntungan sangat jelas terlihat dalam kedua usaha sekelas yang berbeda
nilai ini. Lembaga dunia manapun kemudian akan menilai kondisi BUMN seperti
ini tidak menguntungkan dan berpotensi hancur. Banyak indikasi yang
memperkuat pendapat ini. Dari ratusan BUMN banyak diantaranya yang tutup
atau dalam kondisi yang kembang kempis. Pabrik gula di PTP IX di Ceper Klaten,
atau Cepiring, di Kabupaten Kendal misalnya selalu terancam ditutup karena tidak
mampu lagi memberikan rendemen tebu yang menguntungkan disebabkan oleh
cara pengelolaan perkebunan yang seadanya dan mesin yang tua dengan kapasitas
yang semakin berkurang, sehingga harga jual pun jauh menurun. Upaya
pemerintah pun hampir tak ada. Pemerintah terkesan seperti membiarkan kondisi
ini secara perlahan dan pasti mengempis lalu mati.
Bank Dunia barangkali juga secara sengaja tidak mau membantu menciptakan
restrukturisasi BUMN semacam ini. Ini menyebabkan swasta membeli saham
pabrik ini dengan sangat murah.

Penutup
Gerakan ekonomi berhubungan dengan upaya dan nafsu manusia menguasai
perekonomian. Upaya penguasaan ini sering tak terbatas. Dalam system apapun
pergerakan ekonomi ini akan mencapai titik kulminasi keruntuhan dan
boomingnya sendiri yang bisa datang sewaktu-waktu dan dalam proses yang
singkat atau rumit sekaligus. Lihat bagan teori klasik Schumpeter di bawah ini.
Ia memperlihatkan bagaimana secara ringkas gerakan ekonomi berputar dan
mencapai skala tahapan kebutuhan atau kondisi ekonomi secara berangkai dari
situasi yang paling sukses sampai situasi krisis.
Privatisasi dimanapun di seluruh dunia selalu menimbulkan kontroversi. Ketika
ia dibeli raksasa-raksasa ekonomi, suasana dapat saja sekejap menjadi cerah dan
mengundang pesona. Namun demikian para pekerja yang semula menderita sesak
nafas di BUMN lama begitu dirumahkan oleh pemilik baru dapat menimbulkan
suasana kepedihan. Bagi yang dipekerjakan, sebagus apapun suasana baru itu,

69
belum tentu membuat pekerja yang lama akan menikmati. Suasana kerja yang
daya pacunya berbeda jauh dengan suasana lama semakin akan diperhitungkan
untung ruginya. Ini menimbulkan kelelahan tersendiri.
Suasana demikian menurut banyak media tidak terjadi jika yang memiliki asset
lebih banyak Negara seperti yang banyak terjadi di Negara-negara Amerika Latin
dan Cina. Walaupun banyak terjadi privatisasi namun pemerintah Cina masih
mempunyai kekuasaan untuk mengatur kiprah ekonomi BUMNnya, sehingga
rakyat dan negara malah diuntungkan. Demikian pula dengan Bolivia misalnya.
Presiden Evo Morales banyak melakukan perubahan untuk menguasai asset
negaranya dari upaya pencaplokan pemerintah dan MNC Amerika Serikat.
Strategi ekonominya dinamakan The Trade Treaty of the Peoples (TCP). Mari kita
simak TCP, lalu bandingkan dengan Indonesia.
Berlawanan dengan ideologi kapitalis, TCP memperdebatkan prinsip integrasi
perdagangan mengenai komplementaritas, kerjasama, solidaritas, resiprositas,
kesejahteraan and respek atas kedaulatan negara. Tujuannya meliputi aspek-aspek
yang tidak terdapat dalam integrasi perdagangan yang diajukan pihak Utara, yakni
mengenai pengurangan kemiskinan secara efektif, perlindungan pada komunitas
lokal dan lingkungan hidup. Bagi TCP investasi dan perdagangan adalah untuk
pembangunan bukan untuk memelaratkan. UKM, produsen lokal/kecil, industri
mikro, koperasi, perusahaan milik komunitas dengan fasilitas pasar/pertukaran
eksternal. TCP memahami investasi dan perdagangan tidak berakhir tapi untuk
pembangunan. Tujuannya tidak liberalisasi pasar secara total tapi untuk
kesejahteraan rakyat. Ia mempromosikan model integrasi perdagangan antara
rakyat dengan membatasi hak investor asing dan MNC, supaya pembangunan
nasional terjamin. TCP juga tidak menghambat pengunaan mekanisme yang
memajukan industrialisasi atau melarang proteksi pada area tertentu di pasar
internal yang menguntungkan masyarakat.
Di Indonesia pemerintah tidak mau bertindak seperti Evo Morales dkk di Amerika
Latin. Ketergantungan pada peran Bank Dunia, MNC/TNC dan Negara maju
sangat kuat. Dengan demikian pemerintah tidak mampu menciptakan suasana
kebebasan perpindahan modal dan teknologi yang diikuti oleh kebebasan pekerja.
Yang dilakukan adalah dominasi oleh penguasa dan pemberian wewenang pada

70
pengusaha atas pekerja. Pekerja benar-benar dimanfaatkan sebagai faktor
produksi yang diperlakukan semurah-murahnya. Ini ditambah dengan kecilnya
perhatian pemerintah atas kondisi upah dan perlindungan yang relative optimal,
apalagi dalam suasana kenaikan BBM dan bahan makanan sekarang, semakin
mengebiri pekerja untuk berproduksi secara optimal. Demikian pula, aparat
birokrasi dirasakan masih juga mengganggu kinerja perusahaan. Pekerja sangat
merasakan betapa perlakuan pemerintah sangat berbeda kepada pemilik modal
dan pekerjanya padahal keduanya mempunyai kelas yang relative sama dalam
berproduksi yang dengan demikian menguntungkan perusahaan.
Lebih mengenaskan lagi, dalam menjamin suasana kerja dan perlindungan
tidak ada langkah sekecil apapun yang diperlihatkan Bank Dunia kepada nasib
pekerja dan asset Indonesia selain social safety net yang sifatnya sedekah, spasial
dan ad hoc itu. Yang dikejar Bank Dunia hanyalah keuntungannya yang pasti akan
meningkatkan reputasinya di mata dunia terutama di mata pemerintahnya di
Amerika Serikat. Sudah saatnya asas undang undang mengenai perlakuan yang
sama (equal treatment) harus diubah untuk menghargai kedudukan rakyat dan
negara. Demikian pula pengelolaan dan pemilikan lahan harus oleh rakyat
Indonesia dengan fasilitas khusus kepemilikan dan pengelolaan tanah bagi rakyat
miskin Indonesia. Dalam hal tenaga kerja, kekuatan mereka dalam melakukan
pekerjaannya harus menurut standar internasional dengan hak/kewajiban yang
sama pula. Negara harus tetap sebagai pemilik tanah dengan asset yang dapat
diolah secara terbatas. Memang, rejim, dibantu oleh kaum akademis, yang kuat
selalu menang dan menjaga wibawa semata-mata demi kemenangan politiknya
bukan demi Negara dan kesejahteraan rakyat. Jika hanya mempertahankan
kebijakannya tanpa mempertahankan nasib Negara dan rakyat niscaya sebuah
pemerintahan atau rejim akan jatuh, karena di masa kini sudah sulit
mempertahankan dominasi tanpa memperhatikan nasib rakyat dan tanah air. Itulah
ironinya.

3.1 Tujuan Privatisasi


a. Pengalaman Internasional

Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa tujuan utama privatisasi


ada dua, yaitu: pertama, untuk mengurangi defisit fiskal dan atau menutupi

71
kewajiban-kewajiban (hutang-hutang) pemerintah yang jatuh tempo, dan kedua,
untuk mendorong kinerja ekonomi makro atau efisiensi makro. Tujuan pertama
umumnya diadopsi oleh negara-negara maju (industri) dan tujuan kedua
umumnya diadopsi oleh negara-negara berkembang utamanya dalam kerangka
tujuan jangka pendek
Negara-negara maju yang menggulirkan program privatisasi dengan tujuan
utama adalah efisiensi makroekonomi termasuk: Inggeris (1979, 1984, dan 1997);
Perancis (1986, 1988, dan 1997); dan Jepang (1980, 1987, dan 1988). State owned
enterprises, SOEs, yang mereka privatisasi umumnya dimulai dari sektor
telekomunikasi: British Telcom (Inggeris); French Telkom (Perancis); dan Nippon
Telegraph and Telephone, NTT, (Jepang). Sedangkan negara-negara berkembang
yang mengadopsi program privatisasi dengan tujuan utama untuk menutupi defisit
fiskal dan atau untuk menutupi kewajiban-kewajiban (hutang-hutang) pemerintah
yang jatuh tempo, termasuk: RRC (1999); Chile (Telefones de Chile) (1990);
Mexico (1982, 1992); Brazil (1998); Bolivia (1998); dan Afrika Selatan (1995).
Lihat, Megginson dan Netter (2001).

b. Privatisasi di Indonesia

Privatisasi di Indonesia pada prinsipnya tidak berbeda dengan hakekat dan


tujuan privatisasi secara internasional. Pengalaman-pengalaman banyak negara
berkembang yang terpaksa harus melakukan program privatisasi untuk tujuan
menutupi defisit fiskal dan kewajiban pemerintah yang jatuh tempo juga terjadi di
Indonesia dewasa ini. Walaupun demikian, Indonesia dalam perspektif jangka
panjangnya menetapkan bahwa tujuan privatisasi adalah untuk tujuan efisiensi
makroekonomi, yang sejalan dengan prinsip yang diadopsi dari negara maju
seperti Inggris, Perancis, dan Jepang, yang sudah dipaparkan terdahulu. Hakekat
dan tujuan Privatisasi di Indonesia tersebut dapat dilihat di berbagai dokumen
negara seperti pada UU APBN 2001, UU APBN 2002, dan Keppres No. 7 tahun
2002 tentang Kebijakan Privatisasi BUMN.

3.2 Berbagai Strategi Privatisasi


Privatisasi BUMN dapat dilaksanakan dengan memilih strategi yang
paling cocok, sesuai dengan tujuan privatisasi, jenis BUMN, kondisi BUMN,

72
serta situasi sosial politik dari suatu negara. Beberapa strategi yang dapat dipilih,
antara lain public offering, private sale, new private investment, sale of assets,
fragmentaion, managemen/ employee buy out, kontrak manajemen, kontrak/sewa
aset, atau likuidasi.

1. Public Offering

Pada strategi public offering, pemerintah menjual kepada publik semua


atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada publik melalui
pasar modal. Umumnya, pemerintah hanya menjual sebagian dari saham yang
dimiliki atas BUMN tersebut. Strategi ini akan menghasilkan suatu perusahaan
yang dimiliki bersama antara pemerintah dan swasta. Proporsi kepemilikan
pemerintah atas BUMN ini akan menurun.
Public offering ini cocok untuk memprivatisasi BUMN yang cukup besar,
memiliki potensi keuntungan yang memadai dalam waktu dekat dapat direalisasi.
BUMN harus bisa memberikan informasi lengkap tentang keuangan, manajemen,
dan informasi lainnya, yang diperlukan masyarakat sebagai calon investor. Public
offering ini akan dapat terealisasi apabila telah tersedia pasar modal, atau suatu
badan formal yang dibentuk dalam rangka menginformasikan, menarik, dan
menjaring publik. Di samping itu harus cukup tersedia likuiditas di pasar modal
tersebut. Metode public offering telah dipilih dalam rangka privatisasi beberapa
BUMN di Indonesia, antara lain PT. Semen Gresik, PT. Indosat, PT. Timah, PT.
Telkom, PT. Aneka Tambang, dan Bank BNI.

2. Private Sale
Pada strategi ini, pemerintah menjual semua atau sebagian saham yang
dimiliki atas BUMN tertentu kepada satu atau sekelompok investor tertentu.
Calon investor pada umumnya sudah diidentifikasi terlebih dulu, sehingga
pemerintah dapat memilih investor mana yang paling cocok untuk dijadikan
partner usahanya. Strategi private sale ini fleksibel, tidak harus melalui pasar
modal. Cocok untuk privatisasi BUMN yang memiliki kinerja rendah, yang belum
layak untuk melakukan public offering. BUMN ini memerlukan investor yang
memiliki usaha di bidang industri yang sama, memiliki posisi keuangan yang

73
kuat, dan memiliki kinerja dan teknologi yang baik. Strategi ini juga cocok untuk
negara-negara yang belum memiliki pasar modal, atau belum memiliki badan
formal yang mampu menjaring investor publik. Metode private sale telah dipakai
oleh Bangladesh untuk memprivatisasi lebih dari 30 pabrik tekstil yang dimiliki
oleh pemerintah.

3. New Private Investment


New private investment dapat ditempuh oleh pemerintah apabila
pemerintah atau BUMN menghadapi keterbatasan untuk mengembangkan usaha
BUMN tersebut. Dalam hal ini, pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki
atas BUMN, tetapi mengundang investor untuk menyertakan modal, sehingga
modal BUMN akan bertambah. Penambahan modal tersebut sepenuhnya masuk
ke BUMN, dan tidak ada dana yang diterima oleh pemerintah secara langsung.
Kebijakan ini akan menyebabkan proporsi kepemilikan saham pemerintah atas
BUMN tersebut menjadi berkurang.
New private investment cocok untuk mengembangkan BUMN, namun
BUMN mengalami kekurangan dana, misalnya dalam rangka meningkatkan
kapasitas produksi atau menyediakan infrastruktur dalam rangka peningkatan
produksi. Jadi, sasaran utamanya bukan untuk menjual BUMN. Metode ini telah
diimplementasikan oleh pemerintah Gambia untuk memprivatisasi Senegambia
Hotel, dan pemerintah Zambia untuk memprivatisasi Zambia Breweries

4. Sale of Assets
Pada strategi ini pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki atas saham
BUMN tertentu, tetapi menjual aset BUMN secara langsung kepada pihak swasta.
Alternatif lain, pemerintah tidak menjual aset BUMN secara langsung, tetapi
menggunakannya sebagai kontribusi pemerintah dalam pembentukan perusahaan
baru, bekerjasama dengan pihak swasta. Dalam memilih mitra usaha, tentunya
pemerintah akan memilih pihak-pihak yang telah dikenal sebelumnya.
Kebijakan penjualan aset ini lebih fleksibel dan lebih mudah dilaksanakan,
dibandingkan menjual perusahaan secara keseluruhan. Kebiajakan ini cocok untuk
dilaksanakan apabila menjual perusahaan secara keseluruhan merupakan target

74
yang sulit dicapai. Pemerintah dapat menjual seluruh aset yang dimiliki BUMN,
write off semua utang, dan melikuidasi BUMN tersebut.
Metode sale of assets ini dipakai oleh pemerintah Australia pada waktu
memprivatisasi Bellconen Mall, pemerintah Togo pada waktu memprivatisasi
Sodeto, serta pemerintah Gabon pada waktu memprivatisasi Societe de Bois Piza.

5. Fragmentation
Dalam strategi fragmentation, BUMN direorganisasi atau dipecah-pecah
menjadi beberapa perusahaan, atau dibuat suatu holding company dengan
beberapa anak perusahaan. Salah satu atau beberapa anak cabang kemudian dijual
kepada pihak swasta. Kebijakan ini akan menghasilkan beberapa pemilik baru atas
satu BUMN, sehingga diharapkan dapat menciptakan suasana bisnis yang lebih
kompetitif. Strategi ini cocok untuk menjual BUMN yang besar, dengan harga
yang mahal. Karena mahalnya, biasanya tidak banyak calon investor yan tertarik
untuk membeli. Dengan dipecah-pecah, harganya menjadi lebih murah, dan
alternatif untuk seorang investor menjadi lebih banyak. Ia dapat memilih bagian
mana yang paling menarik untuk dibeli.
Suatu BUMN yang besar dapat menjadi perusahaan monopoli. Dengan
dipecah-pecah, BUMN bisa menjadi beberapa perusahaan yang saling bersinergi,
dan dapat menimbulkan suatu persaingan yang sehat. Indonesia telah menerapkan
metode fragmentaion pada saat memprivatisasi PT. Krakatau Steel. Metode ini
juga telah dipakai oleh pemerintah Singapura pada saat memprivatisasi Port of
Singapore, dan pemerintah Malaysia pada saat memprivatisasi Port Kelong.
6. Management/Employee Buy Out
Pada strategi ini, Pemerintah mengalokasikan sejumlah saham untuk dibeli
oleh para manajer dan karyawan BUMN, atau koperasi karyawan BUMN. Strategi
ini cocok untuk transfer kepemilikan BUMN dari pemerintah kepada para manajer
dan karyawan BUMN. Dengan memiliki saham, para manajer dan karyawan
BUMN diharapkan akan bekerja lebih serius, sehingga kinerja BUMN akan
meningkat. Strategi ini juga cocok untuk BUMN yang akan diprivatisasi, namun
belum layak untuk melakukan publik offering karena kinerjanya yang kurang
baik. Daripada BUMN dilikuidasi, maka strategi ini merupakan alternatif yang

75
lebih baik. Strategi Managemen/employee buy out dipilih oleh pemerintah Iceland
untuk memprivatisasi Icelandair. Pemerintah Inggris juga menerapkan metode
yang sama untuk memprivatisasi National Bus Company dan British Ship Builder.

7. Kontrak manajemen
Dalam strategi kontrak manajemen, pemerintah mengundang perusahaan
swasta untuk "mengelola" BUMN selama periode tertentu, dengan memberikan
imbalan tertentu (dituangkan dalam kontrak kerjasama). Perusahaan tersebut harus
bergerak dibidang yang sama, memiliki pengalaman yang cukup, memiliki
teknologi dan sumber daya manusia yang lebih baik. Strategi kontrak manajemen
dimaksudkan untuk (1) meningkatkan kinerja BUMN, melalui peningkatan
efisiensi dan atau efektifitas penggunaan aset BUMN, (2) memperoleh
keuntungan yang optimal, (3) transfer manajemen, budaya kerja, skill, dan
teknologi. Tidak ada transfer kepemilikan dalam strategi ini. Privatisasi yang
dilakukan hanya bersifat privatisasi pengelolaan, bukan privatisasi kepemilikan.
Strategi kontrak manajemen dapat dipakai sebagai strategi antara sebelum
privatisasi kepemimpinan dilaksanakan. Kontrak manajemen merupakan strategi
yang baik apabila kondisi BUMN belum layak untuk dijual. Strategi ini dapat
dipakai untuk meningkatkan kinerja BUMN, baik untuk BUMN yang
memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, maupun BUMN yang akan
diprivatisasi kepemilikannya.
Pemerintah Malaysia menerapkan metode kontrak manajemen dalam
rangka privatisasi North Kelong Bypass dan Labuan Water Supply. Pemerintah
Srilanka menerapkan metode yang sama dalam rangka memprivatisasi Airlanka
dan Sugar Corporation. Sementara itu, pemerintah Fiji juga menerapkan metode
ini dalam rangka privatisasi Air Pacific.

8. Kontrak/sewa aset

Kontrak/sewa aset adalah strategi di mana pemerintah mengundang


perusahaan swasta untuk menyewa aset atau fasilitas yang dimiliki BUMN selama
periode tertentu. Pemerintah/BUMN dengan segera akan mendapatkan uang sewa
dari perusahaan penyewa, tanpa melihat apakah perusahaan tersebut memperoleh

76
keuntungan atau tidak. Perusahaan penyewa berkewajiban untuk memelihara aset
atau fasilitas yang disewanya. Aset atau fasilitas yang disewa bisa termasuk SDM
yang mengelola fasilitas atau aset tersebut. Strategi ini cocok untuk meningkatkan
return on assets (ROA), sehingga aset BUMN bisa dimanfaatkan secara optimal.
PT. Tambang Timah (Indonesia) telah menerapkan metode ini. Demikian
pula Port Kelang dan National Park Facilities dari Malaysia, serta Port of
Singapore dari Singapura. BUMN-BUMN tersebut telah menyewakan asset yang
dimiliki dalam rangka meningkatkan ROA.

9. Likuidasi
Likuidasi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan pemerintah
terhadap BUMN. Alternatif ini dapat dipilih apabila BUMN tersebut adalah
BUMN komersial, bukan BUMN public utilities atau memberikan public services,
tetapi dalam kenyataannya tidak pernah mendapatkan keuntungan dan selalu
menjadi beban negara.

10. Initial Public Offering (IPO)


Initial Public offering merupakan strategi privatisasi BUMN dengan cara
menjual sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada investor publik untuk
yang pertama kalinya. Artinya, saham BUMN tersebut belum pernah dijual
melalui pasar modal pada waktu sebelumnya. Metode IPO dapat menghasilkan
dana segar dalam jumlah yang besar bagi pemerintah, tanpa harus kehilangan
kendali atas BUMN tersebut. Investor publik pada umumnya membeli saham
untuk tujuan investasi, dengan persentase kepemilikan yang relatif kecil. Pada
umumnya mereka tidak bermaksud untuk ikut serta dalam kegiatan operasional
perusahaan. Dengan demikian IPO ini cocok untuk dipilih apabila nilai saham
yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar, BUMN memiliki kondisi
keuangan yang baik, memiliki kinerja manajemen yang baik, tersedia cukup
waktu untuk melaksanakan IPO, serta cukup tersedia likuiditas dana di pasar
modal.

11. Right Issue (RI)

77
Right Issue adalah strategi privatisasi BUMN dengan cara menjual
sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada publik, di mana BUMN tersebut
telah melakukan penjualan saham melalui pasar modal pada waktu sebelumnya.
Pada dasarnya metode Right Issue tidak jauh berbeda dengan metode Iniial Public
Offering. Metode Right Issue tidak menyebabkan pemerintah, apabila masih
menjadi pemegang saham mayoritas, kehilangan kendali atas BUMN yang
diprivatisasi.
Right issue cocok untuk dipilih apabila nilai saham yang akan diprivatisasi
jumlahnya cukup besar, BUMN pernah melakukan penawaran saham melalui
IPO, memiliki kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja manajemen yang
baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan IPO, serta tersedia likuiditas dana
di pasar modal.
12. Strategic Sale (SS)
Strategic Sale merupakan strategi privatisasi untuk menjual saham BUMN
yang dikuasai pemerintah kepada investor tunggal, atau sekelompok investor
tertentu. Beberapa metode yang termasuk dalam kelompok strategic sale, antara
lain strategi pivat sale, new pivate investment, managemen/employee buy out, dan
frangmentation. Pada dasarnya, strategic sale dimaksudkan untuk mendatangkan
dan melibatkan investor baru dalam pengelolaan BUMN. Disamping membawa
dana segar, diharapkan investor baru juga membawa sesuatu yang strategis untuk
meningkatkan kinerja BUMN, misalnya teknologi baru, budaya dan metode kerja
yang efektif dan efisien, perluasan penguasaan pasar, dsb. Dengan demikian,
pemilihan investor baru harus dilakukan dengan selektif, dikaitkan dengan
permasalahan BUMN yang diprivatisasi. Strategic sale merupakan pilihan yang
baik, apabila BUMN yang diprivatisasi memiliki kinerja yang kurang baik, atau
memiliki kondisi keuangan yang kurang sehat. Strategi ini dapat dilaksanakan
dalam tempo yang relatif lebih cepat, dengan biaya yang lebih kecil dibandingkan
strategi penjualan saham kepada publik, sehingga cocok untuk diimplementasikan
apabila waktu yang diperlukan untuk privatisasi sangat terbatas atau nilai saham
yang diprivatisasi kecil. Strategic sale juga merupakan pilihan yang baik apabila
likuiditas pasar modal kurang memadai.
13. Other Private Offering

78
Other private offering merupakan strategi privatisasi dengan target individual
investor atau sekelompok investor tertentu, melalui strategi selain yang disebutkan
dalam metode strategic sale. Beberapa metode yang dapat diterapkan dalam
strategi ini antara lain metode sale of assets, management conract, sewa asset, dan
likuidasi. Metode ini pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk menjual saham
BUMN yang dikuasai oleh pemerintah, melainkan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya BUMN yang dinilai masih di bawah standar.

79
BAB 8
DAMPAK HUTANG LUAR NEGERI TERHADAP
EKONOMI POLITIK INDONESIA
Oleh :
Reinhard Hutapea
* Staf Komisi II DPR & Dosen HI Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Pendahuluan
Salah satu beban politik ekonomi Indonesia adalah hutang luar negeri yang
terus membengkak. Hutang ini sudah begitu berat, mengingat pembayaran cicilan
danbunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar,
sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan
mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi cukup luas.
Tulisan-tulisan tentang hutang luar negeri sudah banyak yang ditulis para
kalangan, baik itu sebagai politisi, pengamat, dan atau khususnya kalangan
ilmuwan. Akan tetapi yang ditulis itu sudah tidak lagi relevan karena
perkembangan ekonomi politik yang begitu cepat. Penelitian terakhir yang penulis
ketahui adalah yang diseminarkan pada tahun 2004 di LIPI. Setelah itu belum ada
penelitian yang seksama. Inilah yang melatarbelakangi penulis meneliti masalah
hutang luar negeri ini, khususnya setelah beberapa negara lain mengusulkan akan
melakukan moratorium.
Landasan Teori
Untuk pembahasan tulisan ini akan mengikuti alur yang diterapkan oleh
Rudolph Strahm (1999). Dalam garis besarnya Strahm mengatakan sebab utama
Negara-negara dunia ketiga adalah politik Negara industri yang menjual produk
ekspornya dengan kredit yang diobral kenegara-negara dunia ketiga. Slogan
mereka adalah “beli sekarang bayar belakangan”. Pola ini dilakukan untuk
mengatasi krisis penjualan produk yang dihasilkan oleh industrinya. Politik ini
selanjutnya akan membawa keruntuhan sistem ekonomi dan kekacauan politik.
Adapun mengapa krisis hutang ini terus membengkak menurut Strahm,
karena tiga hal, Pertama, Nilai Import Negara-negara berkembang lebih besar dari
nilai eksportnya, sehingga praktis nilai import yang terus membengkak tersebut
harus dibiayai dengan kredit luar negeri. Kedua, Anggaran belanja Negara-negara
pengutang tersebutsangat besar karena laba yang sangat kecil, sebab laba yang

80
dapat ditarik kembali dan keharusan membayar lisensi pada perusahaan-
perusahaan MNCs yang membuka usahanya di negara-negara tersebut. Ketiga,
pelarian modal secara illegal oleh orang- orang kaya setempat.
Konteks tersebut selanjutnya akan menimbulkan defisit neraca
pembayaran yang harus ditutup oleh hutang luar negeri. Disisi lain bank-bank
asing berlomba memberikan kredit dan pinjaman kepada Negara-negara
berkembang yang pada akhirnya menyebabkan hutang membengkak karena
tagihan yang jatuh tempo dan bunga yang jumlahnya melampaui kredit baru yang
akan didapat.
Apabila Negara penerima hutang tidak mampu membayar hutangnya,
negara dan bank-bank pemberi kredit akan bertindak bersama-sama dan melapor
kepada IMF sebagai badan yang berwenang. Selanjutnya IMF akan hanya
memberikan kredit baru kepada negara penghutang untuk membayar hutang
berikut bunganya, bila negara tersebut bersedia menerima persyaratan-persyaratan
politis yang diajukan. Persyaratan ini dikenal dengan sebutan “kencangkan ikat
pinggang” yang lazimnya bermuara kepada kerusuhan sosial. Untuk mengatasi
kerusuhan ini digunakan aparat negara yakni militer. Kerangka seperti inilah yang
dipakai membahas permasalahan tulisan ini.

Meniru Pembangunan Negara Maju


Keinginan Negara-negara kaya, kuat dan besar untuk mempengaruhi
Negara- negara kecil, lemah dan miskin sudah berlangsung sejak lama. Pasca
Revolusi Industri di Inggris tahun 1800-an telah terbukti betapa negara-negara
besar yang kelebihanproduksinya melakukan politik perdagangan agar produk-
produk industrinya tersebut dapat dipasarkan kenegara-negara lain. Dalam
perjalanan sejarahnya, ternyata politik demikian menghasilkan imperialisme,
penjajahan dan kolonialisme.
Indonesia sejak kemerdekannya pada tahun 1945 sudah dibidik Amerika
Serikat agar masuk lingkaran kekuasaannya. Bagaimana cara Negara adikuasa ini
mempengaruhi Indonesia dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang paling
umum adalah denganmemberikan bantuan ekonomi. Berbagai fasilitas-fasilitas
yang menggiurkan ditawarkan para elit Washington. Akan tetapi Soekarno yang

81
sangat nasionalistik tidak tergiur dengan tawaran-tawaran tersebut. Soekarno
dengan lantang menolak tawaran-tawaran tersebut denganidiomnya yang terkenal
“go to hell with your aid”. Hingga akhir-akhir kekuasaannya,Soekarno terus
lantang menolak bantuan-bantuan asing. Soekarno sangat sadar ekses negatif dari
hutang luar negeri, ia berpendapat bahwa bantuan luar negeri, teknologi, mesin
dan lain-lain instrument yang canggih dari negara-negara kapitalis itu tidak salah.
Akan tetapi jangan sampai mengendalikan Indonesia. Indonesia boleh
memanfaatkan hal-hal tersebut, apabila sikap mental dan karakter Indonesia sudah
kuat, itu dalih mengapa Soekarno mendahulukanpembangunan karakter, politik,
bangsa dengan idiomnya“character and nation building”.
Dengan gempuran yang terus menerus dari kekuatan kapitalis, khususnya
Amerika Serikat bersama-sama orang Indonesia sendiri yang tidak sejalan dengan
Soekarno melakukan penggulingan terhadap Soekarno. Soekarno pun jatuh yang
akhirnya digantikan dengan Soeharto yang merubah dengan drastis kebijakan
ekonomi politik. Kebijakan ekonomi politik yang ditempuh Soeharto sungguh
bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya. Kalau Soekarno sangat anti
modal asing dan hutang luar negeri, Soeharto sebaliknya, membuka pintu lebar-
lebar untuk modal asing dan hutang luar negeri.
Di bawah rezim Soeharto disusun pola ekonomi politik “pembangunan
ekonomi”. Pembangunan ekonomi yang titik sentralnya adalah “pertumbuhan”.
(Growth, atau GNP/GDP). Ukuran keberhasilannya adalah “presentasi”, semakin
tinggi presentasinya semakin baik pertumbuhan ekonominya. PBB telah membuat
tolok ukur keberhasilan itu adalah 5% ke atas. Jika GNP/GDP-nya telah mencapai
5% dianggap telah berhasil. (Mulyarto. Tj, 1995).
Meskipun tidak dikatakan dengan jelas, sesungguhnya Indonesia telah
mengadopsi model pembangunan yang telah berlaku di negara-negara maju,
negara-negara yang sudah industrialized. Suatu model yang banyak ditentang
karena tidak menggambarkan atau memperjuangkan yang sesungguhnya.
Indonesia berharap, (bermimpi) suatu waktu akan menjadi negara yang
industrialized, yang kaya dan kuat seperti negara-negara maju lainnya.

Ketergantungan ekonomi Politik

82
Mahbub UI Haq menggambarkan pola pembangunan seperti itu sebagai
model pembangunan palsu (the catching up fallacy). Bagaimana mungkin
negara-negara berkembang dengan mengandalkan hutang akan menyamai
negara-negara kaya. Haq memberi illustrasi dengan angka pertumbuhan yang
palsu. Negara kaya tumbuh dengan 5% tidak akan bisa dikejar dengan negara
penghutang yang tumbuh kurang dari 5%. Negara penghutang tersebut akan terus
ketinggalan terhadap Negara pemberi kredit.
Pendapat seperti ini sesungguhnya sudah cukup membuktikan bahwa
negara-negara penghutang akan terus tergantung kepada negara-negara pemberi
hutang. Akan tetapi agar jelas dan kwantitatif akan dijabarkan dalam bentuk
angka-angka sebagaimana ditulis Siswono Yudohusodo. Siswono Yudohusodo
menyatakan bahwa hutang luar negeri RI di akhir pemerintahan Soekarno
berjumlah US $. 2.5 milyar di akhir pemerintahan Soeharto US$. 54 milyar di
akhir pemerintahan Habbibie US $. 74 milyar dan menjadi US $. 76 milyar di
akhir pemerintahan Megawati. Hutang ini belum terhitung hutang swasta yang
juga menjadi tanggungan pemerintah. Pada akhir tahun 2004 hutang luar negeri
Indonesia keseluruhan adalah US $. 136 milyar. Hutang swasta berarti 136-74 =
US $.62 milyar.
Hutang yang sehat adalah hutang yang semakin lama semakin kecil,
namun kasus Indonesia adalah sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena pola
pembangunan yang tidak sesuai. Selain itu adalah : (1). Faktor korupsi, (2). Salah
kelola, (3). Capital flight, (4). Bunga yang terlalu tinggi, dan (5). Maksud
terselubung dari kekuatan adidaya.
Menurut penelitian Prof Dr. Jeffrey Winters, Korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh elit-elit penguasa/birokrasi Indonesia bersama Bank Dunia
mencapai sepertiga (33,3%) dari total hutang. Korupsi ini terutama untuk proyek-
proyek yang di danai oleh Bank Dunia. Elit-elit dalam dua institusi tersebut
melakukan kongkalingkong, pat-pat gulipat atau persekongkolan terhadap proyek
yang akan dibangun. Sementara itu menurut ekonomi dari Klemens Johanes
Sitanggang (Suara Pembaruan, 21 Mei 2004) kegagalan pemerintah mengelola
hutang luar negeri disebabkan ketidakmampuan menghitung kelayakan proyek-
proyek berdasarkan parameter yang ditetapkan Organization for Economic Co

83
operation (OECD). Parameter tersebut adalah kelayakan ekonomi, teknik,
keuangan, sosial dan distribusi, institusi dan lingkungan. Faktor lain yang juga
membuat hutang luar negeri terus membengkak adalah faktor pelarian uang ke
luar negeri. Uang-uang tersebut banyak yang dilarikan kenegara-ke negara yang
dianggap aman dan juga ada yang dimasukan dalam perusahaan-perusahaan asing
yang dianggap bonafit. Untuk itu Sritua Arif berkomentar :
“Saya sungguh terkejut, tertegun dan terharu tatkala diperlihatkan hasil study
yang berkaitan dengan hutang luar negeri Indonesia. Seorang ekonom muda dari
Center For Policy and Implementation Studies (CPIS) menunjukan bahwa kasus
Argentina telah terjadi di Indonesia. Orang-orang yang menumpuk harta pribadi
di luar negeri melalui pelarian modal dari Indonesia telah meninggalkan
bebanhutang luar negeri bagi nusa dan bangsa. (Arif. S. 1999 : 114).
Karena hutang luar negeri Indonesia tidak semua berbentuk hibah/program
yang berbunga tinggi, seperti kredit ekspor dan pinjaman-pinjaman swasta lainnya
yang berbunga besar (8 sampai 12 persen) dan jangka waktu pembayaran yang
sangat dekat (8 sampai 10 tahun) membuat hutang luar negeri Indonesia terus
membengkak.
Di atas semua itu adalah hanya keinginan Negara-negara besar untuk
membangkrutkan Indonesia. Seorang eks agen CIA yang sudah pensiun menulis
buku yang isinya bagaimana penguasa Amerika Serikat memang sejak dulu sudah
melakukan rencana jahat untuk membangkrutkan Indonesia. (Peter Rosler Garcia,
Kompas 6 April 2005). Indonesia akhirnya tidak bisa lagi berbuat apa-apa, selain
hanya membayar cicilan dan bunga hutang dari hari ke hari bulan ke bulan dan
tahun ke tahun sampai waktu yang tidak dapat diprediksi. Yang mempunyai
implikasi-implikasi sebagaimana dituturkan oleh Stritua Arif di bawah ini :

Dalam situasi sekarang, kita harus terus meminjam dari luar negeri
untuk membiayai pembayaran kepada pihak luar negeri. Kita terus
membayar cicilan hutang luar negeri, bunga hutang luar negeri dan
keuntungan investasi asing yang ditransfer ke luar negeri. Dalam
situasi seperti ini, kita sebetulnya berada dalam suatu ekonomi tutup
lubang gali lubang. Sementara itu kalau kita lihat kemana penerimaan
bersih devisa yang kita terima (setelah memperhitungkan import
barang dan penerimaan jasa-jasa). Maka kita lihat bahwa secara pukul
rata hampir seluruhnya telah digunakan untuk pembayaran kepada
pihak-pihak asing. Dalam situasi seperti ini, kita sebetulnya sadar atau

84
tidak sadar bekerja untuk pihak asing. Penerimaan ekonomi luar negeri
Indonesia dapat dikatakan adalah dari asing untuk asing dan kita
adalah kuli pihak asing. Ini sungguh merupakan sesuatu yang
menyedihkan sebagai bangsa yang berdaulat dan politis merdeka.
(Arief S, 1987 :47)

Sritua Arif sebagaimana pakar-pakar lain telah menghitung bahwa hutang


luar negeri itu sesungguhnya bukan hutang untuk membantu Indonesia
menyelesaikan kemelut perekonomiannya, tetapi malah sebaliknya membawa
hutang yang diberikan tersebut kembali kepada mereka. Bukti-bukti lain yang
berbentuk angka-angka masih dapat diberikan, namun untuk penulisan ini untuk
sementara diangap cukup. Sisi selanjutnya adalah bahwa hutang luar negeri
tersebut membuat perekonomian nasional distortif.

Distorsi Perekonomian Nasional


Karena pemberian hutang itu mempunyai syarat-syarat tertentu, dampak
selanjutnya adalah terganggunya sistem perekonomian nasional. Para kreditor
telah membuat beberapa syarat yang dalam jangka panjang membuat
perekonomian nasional hancur. Syarat-syarat paling tidak karena dua hal : Faktor
bilateral dan faktor multilateral.
Dalam faktor bilateral adalah adanya permintaan-permintaan pemberi
hutang, seperti tenaga ahli, barang-barang/jasa, pendistribusian dan pemasangan
oleh mereka sendiri, yang menurut Stritua Arif adalah dari mereka untuk mereka
(lihat tabel di atas).
Khusus untuk hutang proyek hal ini sangat jelas. Barang-barang atau jasa
yang merekaberikan telah dimark up kali. Sedangkan faktor multilateral adalah
tekanan-tekanan yang dilakukan olehlembaga-lembaga yang mengatur dan
menyalurkan hutang tersebut, seperti IMF. Bank Dunia, WTO. Sebelum sampai
kepada pembahasan yang lebih seksama bagaimana faktor-faktor ini merusak
tatanan perekonomian nasional ada baiknya disimak kutipan di
bawah ini :
“Pembayaran cicilan hutang luar negeri, yang sebagian besar sekarang
sudah tidak lagi bersifat concessional, beserta bunga hutang luar negeri
ini telah mengambil begitu banyak komponen pengeluaran agregat riil
didalam negeri sehingga cukup menimbulkan dampak negative terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional. Dapatkah menerima proposisi bahwa

85
demi ketaatan membayar cicilan hutang luar negeri beserta bunganya,
kita harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi. (Arif S, 1987:48-49).

Sebagai ilustrasi betapa beratnya beban hutang luar negeri karena cicilan
dan bunganya cukup besar dilihat dalam angka-angka berikut :
Cicilan dan bunga hutang luar negeri 37%
Gaji dan Pensiun 11%
Subsidi BBM 16%
Subsidi otonomi daerah 8%
Subsidi pangan dan obat 15%
Lain-lain 13%
(sumber :Roem Topatimasang :1999:173)

Tidak begitu berbeda dengan perhitungan INFID (2001). Menurut


lembaga ini, pembayaran bunga atas hutang pada 2001 diperkirakan sekitar 35%
dari pengeluaranpemerintah pusat. Sebagai perbandingan, pengeluaran
pembangunan yang sangat dibutuhkan terhitung hanya sekitar17,5% dari
pengeluaran dalam negeri pemerintah, danlebih dari separuh dari jumlah ini
berasal dari proyek pembangunan yang didanai donor. Pengeluaran sosial juga
mengalami penurunan tajam, sekitar 40% secara riil di bawah pengeluaran tahun
1995/1996. Dengan kondisi keuangan seperti ini tidak mungkin akan berbuat apa-
apa.
Pendapatan dalam negeri habis hanya membayar cicilan dan bunga hutang
yang dariwaktu ke waktu terus bertambah. Sinyalemen ini dapat dianalogikan
dengan penghasilan seseorang pekerja yang gajinya 40% dipotong untuk
membayar cicilan dan bunga hutang dari para rentenir. Bagaimana mungkin sang
pekerja ini dapat mengembangkan dirinya.Ia akan hidup hanya dari gali hutang
tutup hutang. Sisi lain yang juga membuat hutang luar negeri semakin merusak
perekonomian nasional adalah masalah proyek-proyek yang didanai dengan
hutang tersebut. Banyakkalangan mempertanyakan efisiensi dari proyek-proyek
pemerintah yang dibiayai oleh hutang luar negeri, misalnya : proyek-proyek
tersebut harus disetujui terlebih dahulu oleh negara-negara pemberi hutang.
Dalam kebanyakan kasus, negara calon pemberi hutang mengharuskan
penggunaan komponen-komponen yang berasal dari negeranya.
Hal ini mengakibatkan kemencengan atau distorsi yang memungkinkan
terjadinya inefisiency proyek-proyek tersebut. Proyek-proyek pinjaman luar

86
negeri tersebut biasanya mengharuskan adanyakomponen rupiah yang berasal dari
angaran pemerintah. Akibat mekanisme seperti tersebut diatas, penentuan prioritas
proyek-proyek dan alokasi dana pemerintah sendiri ikut ditentukan berdasarkan
agenda negara pemberi hutang. Ironisnya lagi proyek-proyek ini banyak yang di
mark up bahkan fiktif.

Tampilnya kekuasaan Yang Otoriter


Krisis hutang luar negeri mulai terasa pada pertengahan 1980-an. Pada
tahun- tahun tersebut Indonesia telah mulai membayar cicilan-cicilan pokok yang
sudah jatuh tempo. Cicilan-cicilan ini terutama dari kredit-kredit yang bersifat
komersil dan pinjaman swasta yang jangka waktunya singkat dan bunganya
cukup besar. Di sisi lain pendapatan negara belum memadai untuk membayar
karena proyek-proyek yang diharapkan akan menghasilkan devisa jauh dari
harapan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, hutang itu 33% dikorup, ditambah
lagi dengan pengelolaan yang tidak professional plus pemaksaan proyek oleh
Negara-negara kreditur, sangat jelas tidak akan memperbaiki perekonomian
Indonesia. Dikelola dengan professional sekalipun, tanpa korupsi dan tanpa
intervensi negara kreditur belum tentu berhasil. Apalagi kalau dikorup, tidak
profesional dan diintervensi, sudah pasti ambruk. Pertengahan 1980-an, yakni
ketika Indonesia mulai memasuki fase Pelita IV adalah puncak keambrukan ini.
Pemerintah Soeharto, lewat teknokrat-teknokratnya telah gagal membawa
negarasebagai motor pembangunan ekonomi. Suatu hal yang sesungguhnya tidak
begitumengejutkan. Sejak awal sudah banyak yang memprediksi bahwa
pembangunanekonomi yang dibiayai hutang sangat riskan untuk gagal. Negara-
negara yang melakukanpembangunan ekonomi dengan focus pertumbuhan adalah
negara yang swastanya menjadi aktor utama pembangunan. Bukan negara,
Amerika serikat yag sukses melakukan pertumbuhan ekonomi adalah negara
yangbertumpu pada kekuatan swastanya. Negara hanya terbatas sebagai penjaga
keamanan, penegak hukum dan otoritas moneter. Singkatnya yang melaksanakan
pembangunan itu di negara-negara yang sukses adalah swastanya bukan negara.
Kebalikan dengan Indonesia. Setelah teknokrat-teknokrat Orde Baru melihat

87
kegagalan tersebut, mereka mulai sadar bahwa peran swasta harus diutamakan,
sebagaimana di negara-negara kapitalis.
Sejak ini dimulailah gebrakan. Inti gebrakannya adalah “liberalisasi”.
Pembangunan ekonomi akan diberikan pada swasta. Muncullah berbagai
kebijakan, seperti debirokratisasi, deregulasi, gebrakan Sumarlin dan lain-lain
gebrakan yang mencoba mendorong swasta menjadi motor ekonomi. Akan tetapi
hal yang dilupakan oleh para teknokrat-teknokrat ekonomi ini adalahfaktor-faktor
luar ekonom, seperti faktor politik, kelembagaan/institusi dan atau khususnya
faktor perilaku. Konsep ekonominya dibangun, namun tidak pada politik,institusi,
dan perilakunya. Suatu hal yang pasti akan berantakan. Seakan akan liberal tapi
tidak liberal. Seakan akan demokratis tapi tidak demokratis. Ekonominya liberal
tapidilaksanakannya tidak sesuai dengan pranata-pranata liberalisasi, yakni suatu
sistem politik yang demokratis dan keunggulan individu-individu yang
handal(individualisme).
Indonesia dalam sejarah politiknya bukanlah negara yang demokrasinya
seperti demokrasi di Amerika Serikat. Dalam konteks ilmu politik, system politik
Indonesia sering dikonotasikan sebagai politik yang otoriter, bukan yang
demokratis. Begitu pula sifat masyarakatnya bukanlah masyarakat yang
egalitarian, tetapi sebaliknya masihberorientasi vertikal, feodal, dan
kolektivsm/tidak individualism. Dengan gebrakan-gebrakan ekonomi pertengahan
1980-an tersebut para pengusaha-pengusaha swasta berlomba-lomba menghutang
ke luar negeri. Dengan tuntutan sekilas dengan pemerasan birokrat terhadap para
pengusaha-pengusaha yang meminjam hutang ke luar negeri ini berjalanlah
liberalisasi dengan keanehan-keanehannya. Meminjam Peter Evans yang terjadi
kemudian adalah apa yang disebutpersekongkolan segitiga, triple alliance, antar
negara, pengusaha nasional dan modal asing/MNCs.
Dalam persekutuan segitiga ini rakyat tidak mendapat tempat. Rakyat
hanya korban dari ulah ketiga aktor segitiga tersebut. Tugas negara adalah
menjaga harmonisasi
ketiga aktor dan menekan rakyat untuk tetap tunduk pada persekongkolan
segitiga. Rakyat yang melawan ditindas. Ditindas melalui aparat-aparat negara,

88
seperti polisi, tentara dan sipil-sipil yang mendongak pada persekongkolan
segitiga tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Sritua & Adi Sasono, 1987. Modal Asing, beban Hutang Luar Negeri dan
Ekonomi Indonesia, UIP, Jakarta.
Beltratti, Andrea, 1989, Empirical Estimates of the Capacity to Repay a Foreign
Debt: AVector Autogresive Methodology, The European Journal of
Development ResearchNo 2
Darity, William and Bobby Horn, 1988, The Loan Pusher: The Role of
Commercial Banks in the International Debt Crisis, Ballinger, New
Yersey.
Bogdanowich C & Bindert, 1993, Solving The Global Debt Crisis, Ballinger
Publishing Company
Eschborn, Norbert & Cahtrin Graber, 2005, Foreign Aid and the Issue of
Terorism,
Seminar, Parahiangan University, Bandung.
Garcia, Peter Rosler, 2005, ”Membayar Utang Merampas Masa Depan”, Kompas
6 April 2005 Jakarta.
Hallberg, Kristin, 1989, International Debt: Origins and Issues for the Future,
Ballinger, New Yersey.
Hadar, Ivan, 2005, ”CGI dan Hutang Kita”, Kompas 2005, Jakarta
Haq, Mahbub, UI 1995, Tirai Kemiskinan, Yayasan Obor Jakarta
Karyadi V. Kay, 2005, ”Timbunan Utang Yang Nan Berat”, Republika, 8 Juni
2005, Jakarta
Perkins, John, 2005, Confessions of an economic hit man, Berrett Kohler, New
York.
Siregar Muhtarudin, 1991, Pinjaman Luar Negeri dan Pinjaman Pembangunan
Indonesia, FE UI, Jakarta
Situmorang Yosef, 2005, ”Dampak Hutang Luar Negeri Terhadap Ekonomi
Politik Indonesia”, Skripsi ; Untag Jakarta
Topatimasang, Roem, 1999, Hutang itu Hutang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Tjokrowinoto, Mulyarto, 1999, Konsep Pembangunan Nasional, Liberty,
Yogyakarta.
Winter, Jeffrey, 2000, Dosa-Dosa Politik Orde Baru, Djambatan, Jakarta.

89
BAB 9
BLBI dan Tanggung Jawab Para Antek IMF
Oleh: Dr. Rizal Ramli

Penyaluran BLBI dilakukan karena krisis moneter dan finansial yang semakin
luas di Indonesia. Krisis yang berawal terjadi di Thailand pada 1997 itu menjalar
ke Indonesia dengan dampak jauh lebih besar daripada di negara asalnya.

Hal itu lantaran ada sejumlah kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia.
Antara lain banyaknya aliran hot money, sektor korporasi yang terlalu banyak
utang valuta,dan sektor perbankan yang keropos. Di samping itu, sejumlah
kebijakan keliru yang diambil Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan
(Depkeu) pada awal krisis justru memperparah dan memperdalam krisis menjadi
krisis ekonomi dan akhirnya krisis sosial politik.Salah satu kebijakan yang keliru
di antaranya Depkeu dan BI tidak mendevaluasi rupiah.

Padahal rupiah sudah overvaluasi sebesar 16% pada 1996. Akibatnya, Indonesia
menjadi lebih rentan terhadap serangan spekulator valuta pada 1997. Selain itu, BI
panik dan mengambil kebijakan moneter superketat pada akhir Agustus
1997.Tingkat suku bunga interbank pun, yang biasanya hanya 16%-17%,
melonjak 300% pada 22 Agustus 1997.Bank-bank mengalami kesulitan likuiditas
dan sangat rentan terhadap berbagai shock eksternal. Widjoyo Nitisastro dan
”Mafia Berkeley” mengundang IMF untuk terlibat dalam penanganan krisis di
Indonesia.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/blbi-dan-tanggung-jawab.

90
Keterlibatan IMF justru memperparah krisis, mendorong kebangkrutan dunia
usaha, menambah 40 juta pengangguran,dan membuat ekonomi Indonesia anjlok
dari rata-rata tumbuh 6% per tahun menjadi -12,8% pada 1998.Tanpa keterlibatan
IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang akan turun menjadi 1–0%,tetapi
tidak akan anjlok sampai -12,8%. Salah satu saran IMF yang menghancurkan
lembaga perbankan Indonesia adalah penutupan 16 bank pada November 1997
tanpa persiapan memadai.

Akibat penutupan tersebut, beredar rumor dan berlanjut dengan rush terhadap
hampir semua bank-bank di Indonesia. Nasabah berlomba-lomba memindahkan
dananya ke bankbank asing. Terjadi capital outflow sebesar USD8 miliar, dan
rupiah anjlok di atas Rp10.000 per dolar AS. Pada 4 Mei 1998, Pemerintah
Indonesia, atas saran IMF, menaikkan harga BBM untuk minyak tanah sebesar
25% dan bensin 71% di tengah suasana politik yang mulai memanas.

Pada 5 Mei 1998, terjadi demonstrasi dan bakar-bakaran menentang kenaikan


harga BBM di Makasar dan berlanjut ke Medan, Surabaya, Solo, dan berakhir
dengan malapetaka 12 Mei 1998 di Jakarta yang mengakibatkan ratusan luka-luka
berat dan meninggal. Ratusan pertokoan serta rumah dibakar dan dihancurkan.

Kerusuhan sosial ini sangat umum terjadi di negaranegara di mana IMF berperan.
Dalam literatur, kerusuhan ini dikenal dengan ”IMF Provoked Riots”. Kondisi
luar biasa tersebut diperparah oleh saran-saran IMF yang diikuti secara kata demi
kata (verbatim) oleh para menteri ekonomi yang tergabung dalam ”Mafia
Berkeley”: terjadi penyaluran BLBI besar-besaran dan cenderung sembrono.

Tiga Tahapan Kasus BLBI

Kasus BLBI memiliki tiga tahapan, yaitu tahap penyaluran (disbursement), tahap
penyerahan aset (settlements), dan tahap penjualan aset (fire sales).

Masing-masing tahap memiliki sejumlah masalah dalam pelaksanaannya— yang


berpotensi merugikan negara. Dari sisi penyaluran (disbursement), kelangkaan
likuiditas sebagai akibat dari kebijakan moneter yang superketat (overkilled

91
monetary policy) telah menyebabkan banyak bank kalah kliring atau rekening
gironya di BI bersaldo negatif. Penyimpangan dalam penyaluran BLBI dimulai
dengan diberikannya dispensasi oleh BI kepada bankbank untuk tetap mengikuti
kliring, meskipun rekening gironya di BI bersaldo negatif.

Padahal, hakikat kliring adalah sarana perhitungan warkat antarbank guna


memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral.Karena itu,
pemberian dispensasi untuk mengikuti kliring bagi bank yang telah kalah kliring
(rekening gironya di BI bersaldo negatif), secara tidak langsung merupakan
tindakan penyediaan dana dari BI kepada bank bersangkutan tanpa ikatan apa pun.

Pada 21 Agustus 1998, Pemerintah mengumumkan paket restrukturisasi


perbankan yang menyeluruh kepada semua bank. Kebijakan tersebut juga
membawa dampak meningkatnya BLBI untuk menutupi kewajiban pemerintah
kepada nasabah/ kreditur bank yang di-BBKU (bank beku kegiatan usaha).
Sampai 29 Januari 1999 BI dan pemerintah telah menyalurkan dana sebesar
Rp621,6 triliun untuk keperluan penyehatan perbankan nasional selama masa
krisis itu. Jumlah sebesar Rp621,6 triliun tersebut mencakup hampir separuh dari
nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 1998.

Dengan demikian, diukur sebagai rasio terhadap PDB, biaya rekapitalisasi


perbankan di Indonesia pada waktu itu adalah yang terbesar dalam sejarah dunia.
Dari sisi penyerahan aset (settlements), penyelesaian BLBI dilakukan dengan cara
penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).

Pada hakikatnya PKPS merupakan penyelesaian komersial di luar pengadilan (out


of court settlements) atas kewajiban pemegang saham pengendali bank
bermasalah. Hasil audit BPK menunjukkan bahwa estimasi komersial aset yang
diserahkan tidak setara dengan jaminan BLBI yang di-cessi-kan per 29 Januari
1999,yaitu Rp144,536 triliun. Nilai Pertanggungan Hak Jaminan (NPHJ) adalah
sebesar Rp129,418 triliun atau hanya 89,54% dari BLBI per tanggal 29 Januari
tersebut. Celakanya lagi, sebagian besar jaminan tersebut tidak mempunyai nilai
komersial.

92
Dari sisi tahap penjualan aset (fire sales), nilai aset para obligor BLBI tidak sesuai
dengan nilai kewajiban, maka yang terlebih dulu bertanggung jawab adalah para
advisor yang ditunjuk pemerintah. Mereka seharusnya melakukan valuasi
terhadap nilai aset yang diserahkan obligor.Tapi ternyata hal ini tidak mereka
lakukan. Fase ketiga yang sangat penting dalam menentukan nilai aset adalah
proses penjualan aset.Penurunan nilai aset terjadi karena sejumlah faktor berikut.

Pertama, aset para obligor yang diserahkan kepada BPPN dikelola para pejabat
BPPN yang tidak memiliki waktu dan pengalaman manajerial untuk mengelola
perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai puluhan triliun rupiah. Kedua,
penjualan aset terjadi pada masa krisis, ketika valuasi perusahaan sangat rendah
dan anjlok. Ketiga, penjualan aset dipercepat untuk menambal defisit APBN
karena tekanan dan kewajiban letter of intent (LoI) yang disusun IMF. Dalam
kaitan BLBI ini, menjadi sangat penting bagi Kejaksaan Agung memeriksa dan
menuntut pertanggungjawaban para mantan menteri ekonomi pada periode awal
krisis dan pejabatpejabat yang kini berkuasa. Mereka telah menjadi antek dan
pelaksana verbatim IMF untuk menghancurkan ekonomi Indonesia dan
mengakibatkan penyaluran BLBI ratusan triliun rupiah.(*)

93
BAB 10
AFTA DAN IMPLIKASINYA BAGI INDONESIA

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini saudara diharapkan dapat:

1. menyebutkan tujuan didirikannya kerjasama AFTA


2. menjelaskan dilema pemberlakuan AFTA
3. menjelaskan syarat-syarat produk yang akan diperdagangkan dalam
AFTA.
4. menjelaskan implikasi AFTA bagi Indonesia.
5. Merangkum persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia dengan
pemberlakuan AFTA.

2.1 Latar Belakang Terbentuknya AFTA


Declaration of Singapore 1992, yang disepakati pada KTT ASEAN IV 27-
28 Januari 1992 di Singapura, merupakan momen bersejarah bagi masa depan
kawasan Asia Tenggara. Karena kesepakatan ini merupakan sikap ASEAN
terhadap fenomena globalisasi pasca berakhirnya Perang Dingin. Kesepakatan ini
direalisasikan dalam bentuk kerjasama free trade yang dikenal dengan AFTA
(ASEAN Free Trade Area).
Kerjasama AFTA bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk
ASEAN di pasar dunia dan menciptakan pasar seluas-luasnya untuk menstimulus
peningkatan FDI (Foreign Direct Investment) di kawasan Asia Tenggara.
Kerjasama ini pada awalnya hanya beranggotakan enam negara yaitu Indonesia,
Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Tetapi pada
perkembangannya, AFTA memperluas keanggotaanya dengan masuknya anggota
baru yaitu Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), serta Kamboja (1999).
Sehingga jumlah keseluruhan anggota AFTA menjadi 10 negara.
Dengan perluasan keanggotaan ini diharapkan dapat mempercepat
terjadinya integrasi ekonomi di kawasan Asia tenggara menjadi suatu pasar

94
produksi tunggal dan menciptakan pasar regional bagi lebih dari 500 juta orang.
Sebab penghapusan tariff bea masuk di negara-negara anggota ASEAN dianggap
sebagai sebuah katalisator bagi efisiensi produk yang lebih besar dan kompetisi
jangka panjang, serta memberikan para konsumen kesempatan untuk memilih
barang-barang berkualitas.
Sebagai upaya untuk merealisasikan tujuan pemberlakuan AFTA, negara-
negara anggota telah menetapkan suatu regulasi yang dikenal dengan CEPT
(Common Effective Preferential Tariff). CEPT merupakan kerangka kesepahaman
mengenai kebijakan reduksi atas tarif dan non-tarif terhadap segala jenis barang
dagang, modal, dan produk-produk pertanian di intra-regional maupun inter-
regional sampai mencapai 0-5 %. Pada awalnya CEPT diberlakukan dalam jangka
waktu 15 tahun. Kemudian pertemuan AEM (ASEAN Economic Ministers), 22-
23 September 1994, yang diadakan di Chiangmai, Thailand, telah mengubah
keputusan tersebut menjadi 10 tahun atau 5 tahun lebih cepat dari jadwal pertama
yaitu 1 Januari 2003, yang kemudian dipercepat lagi menjadi 2002.
Akan tetapi pemberlakuan AFTA merupakan pilihan dilematis bagi
negara-negara anggota ASEAN. Di satu sisi, pemberlakuan AFTA dapat dianggap
sebagai kesepakatan yang tidak realistis. Karena pilihan untuk menjalankan
liberalisasi perdagangan antar negara-negara di tengah-tengah masih rendahnya
tingkat efisiensi produksi dan jumlah produk kompetitif masing-masing negara
justru dapat merugikan. Sedangkan di sisi lain, pemberlakuan AFTA dapat dilihat
sebagai upaya ASEAN untuk menyelamatkan perekonomian masing-masing
negara anggota. Karena fenomena globalisasi yang menciptakan regionalisasi dan
liberalisasi di berbagai sektor berdampak langsung terhadap sistem perekonomian
dunia.
Selain itu, dalam kenyataannya pemberlakuan AFTA juga masih menemui
berbagai kendala yang menghambat terciptanya interdependensi menguntungkan
antar negara-negara anggota. Sehingga perdagangan intra ASEAN dianggap tidak
banyak mengalami kemajuan, begitu pula investasi antar negara ASEAN. Hal ini
dapat dilihat dari lemahnya upaya negara-negara anggota untuk memanfaatkan
mekanisme yang telah ditetapkan untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan intra ASEAN. Kendala itu juga disebabkan oleh kekurangselarasan

95
antara pilar masyarakat ekonomi ASEAN yang mencita-citakan sebuah pasar
tunggal dengan masyarakat keamanan ASEAN yang masih mengedepankan
prinsip non-interference.
Oleh karena itu, pemberlakuan AFTA sebagai kerjasama ekonomi ASEAN
masih mendapat kritik dan perhatian dari negara-negara anggota yang berupaya
untuk melakukan perbaikan penting dalam proses integrasi ekonomi ASEAN.
Lebih dari itu, negara-negara anggota juga berharap agar AFTA dapat memediasi
pertumbuhan perekonomian dan memperkuat kohesivitas antar negara-negara
anggota ASEAN. Karena perbedaan dan perselisihan kepentingan antar negara-
negara anggota akan berkurang seiring meningkatnya interdependensi dan
hubungan mutualisme sebagai dampak dari kerjasama liberalisasi perdagangan
kawasan.
2.2 Tujuan Dibentuknya AFTA
Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara
ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk
menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Oleh
karena itu, penerapan AFTA guna meningkatkan perdagangan antar anggota
memiliki beberapa persyaratan produk yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Produk yang bersangkutan harus sudah masuk dalam inclusion list (IL)
dari negara eksportir maupun importir.
b. Produk tersebut harus mempunyai program penurunan tarif yang disetujui
oleh dewan AFTA (AFTA Council).
c. Produk tersebut harus memenuhi persyaratan kandungan lokal 40%. Suatu
produk dianggap berasal dari negara anggota ASEAN apabila paling
sedikit 40% dari kandungan bahan didalamnya berasal dari negara anggota
ASEAN.
2.3 Skema CEPT-AFTA
Pada pelaksanaan perdagangan bebas khususnya di Asia Tenggara yang
tergabung dalam AFTA proses perdagangan tersebut tersistem pada skema CEPT-
AFTA. Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program
tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati
bersama oleh negara-negara ASEAN. Dalam skema CEPT-AFTA barang –

96
barang yang termasuk dalam tariff scheme adalah semua produk manufaktur,
termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta produk-produk yang
tidak termasuk dalam definisi produk pertanian. (Produk-produk pertanian
sensitive dan highly sensitive dikecualikan dari skema CEPT).
Dalam skema CEPT, pembatasan kwantitatif dihapuskan segera setelah
suatu produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan non-tarif
dihapuskan dalam jangka waktu 5 tahun setelah suatu produk menikmati konsensi
CEPT.

2.4 Penerapan AFTA


4.4.1 Penerapan AFTA Secara Bertahap
1. Perdagangan bebas ASEAN (AFTA = ASEAN Free Trade Area) disetujui pada
KTT-ASEAN di Singapura tahun 1992, dengan tujuan untuk meningkatkan
perdagangan intra-ASEAN dan pendayagunaan bersama semua sumber daya
dari dan oleh negara-negara ASEAN. Pada waktu disetujuinya AFTA tersebut,
target implementasi penuhnya adalah pada 1 Januari 2008, dengan cakupannya
adalah produk industri.
2. Sejak tahun 1993, dimulailah program penurunan tarif masing-masing negara
ASEAN-6, melalui penyampaian Legal Enactment yang dikeluarkan setiap
tanggal 1 Januari. Di Indonesia Legal Enactment tersebut berbentuk SK
Menteri Keuangan tentang CEPT-AFTA (Common Effective Preferential
Tariff for AFTA).
3. Pada tahun 1994, sidang Menteri Ekonomi ASEAN memutuskan untuk
mempercepat implementasi penuh AFTA menjadi 1 Januari 2003, dengan
cakupannya termasuk produk hasil pertanian.
4. Pada tahun 1998, KTT-ASEAN di Hanoi mempercepat implementasi penuh
AFTA menjadi 1 Januari 2002, dengan fleksibilitas. Fleksibilitas disini berarti
bahwa beberapa produk yang dirasakan masih belum siap, dapat ditunda
pelaksanaannya sampai 1 Januari 2003.
5. KTT-ASEAN tahun 1998 tersebut juga menyepakati target-target penurunan
tariff sebagai berikut :
a. Tahun 2000 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak

97
85% dari seluruh jumlah pos tarif yang dimasukkan dalam Inclusion
List (IL).
b. Tahun 2001 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak
90% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL.
c. Tahun 2002 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak
100% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL, dengan
fleksibilitas.
d. Tahun 2003 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak
100% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL, tanpa
fleksibilitas.
Negara-negara ASEAN telah memasukkan semua produknya kedalam
Inclusion List, kecuali produk-produk yang dikatagorikan sebagai General
Exception (GE), Highly Sensitive List (HSL) dan Sensitive List (SL).
Produk yang dikatagorikan dalam General Exception adalah produk-
produk yang secara permanen tidak perlu dimasukkan kedalam CEPT-AFTA,
karena alasan keamanan nasional, keselamatan, atau kesehatan bagi manusia,
binatang dan tumbuhan, serta untuk melestarikan obyek-obyek arkeologi dan
budaya. Indonesia mengkatagorikan produk-produk dalam kelompok senjata dan
amunisi, minuman beralkohol, dan sebagainya sebanyak 68 pos tarif sebagai
General Exception.
Sedangkan produk-produk beras dan gula Indonesia yang dikatagorikan
dalam Highly Sensitive List, masih dapat menerapkan tarif MFN sampai tahun
2010, kemudian mulai dari tahun 2010 sampai waktu yang tidak terbatas dapat
menerapkan tarif maksimum 20%. Jumlah pos tarif masing-masing negara dalam
paket CEPT-AFTA tercantum pada lampiran 1 dan 2.
4.4.2 Penerapan AFTA Secara Penuh
AFTA diberlakukan secara penuh untuk negara ASEAN-6 sejak 1 Januari
2002 dengan fleksibilitas (terhadap produk-produk tertentu tarifnya masih
diperkenankan lebih dari 0-5%). Target tersebut diterapkan untuk negara ASEAN-
6 sedangkan untuk negara baru sbb : Vietnam (2006); Laos dan Myanmar (2008);
dan Cambodia (2010). AFTA 2002 tidak mencakup pula adanya kebebasan keluar
masuk sektor jasa (misalnya arus perpindahan tenaga) di negara-negara ASEAN.

98
CEPT-AFTA hanya mencakup pembebasan arus perdagangan barang. Sedangkan
liberalisasi sektor jasa di atur sendiri dengan kesepakatan yang di sebut ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS), dimana liberalisasinya ditargetkan
tercapai pada tahun 2020. Perkembangan terakhir AFTA Dalam KTT Informal
ASEAN III para kepala negara menyetujui usulan dari Singapura untuk
menghapuskan semua bea masuk pada tahun 2010 untuk negara-negara ASEAN-6
dan tahun 2015 untuk negara-negara baru ASEAN. Selanjutnya dalam KTT
ASEAN-Cina tahun 2001, telah di sepakati pembentukan ASEAN-Cina Free
Trade Area dalam waktu 10 tahun.
2.5 Implikasi AFTA bagi Indonesia

Pertama-tama, tingkat persaingan barang dan jasa dari Indonesia tentu


akan bertambah pesaingnya dari sesama anggota ASEAN. Dari sisi produsen,
tentu ini suatu tantangan berat setelah belum lama ini kita juga kebanjiran produk
dari Cina yang begitu murah hingga hal tersebut menjadikan alasan bagi
perusahaan kelas dunia Sony untuk hengkang dari Indonesia. Di samping itu, data
menunjukkan juga bahwa komoditas yang dihasilkan negara-negara ASEAN
relatif homogen atau sama.
Tetapi apakah ini akan meruntuhkan semua aktivitas industri dan
perdagangan Indonesia? Jawabannya, meskipun ada sebagian industri dan
aktivitas perdagangan yang terancam gulung tikar, tidak akan semuanya runtuh.
Sebab, pertama, perdagangan antarnegara anggota ASEAN menurut data tahun
2002 hanya 23,69% total perdagangan luar negeri seluruh anggota ASEAN.
Pangsa perdagangan antaranggota AFTA ini paling kecil bila
dibandingkan dengan kawasan perdagangan bebas lain, misalnya kawasan
perdagangan bebas: Eropa Barat (67,7%), Amerika Utara (39,79%), dan Eropa
Timur (26,56%).
Artinya, negara-negara anggota ASEAN justru lebih banyak berdagang
dengan negara nonanggota. Khusus untuk Indonesia, pangsa ekspor Indonesia ke
sesama negara anggota ASEAN pada tahun 2000 juga hanya 2,5% semua ekspor
Indonesia dan impor Indonesia dari sesama anggota ASEAN juga hanya sekitar
1,8% pada tahun yang sama.
Alasan kedua, mengapa pelaksanaan AFTA tidak berarti kiamat bagi

99
industri dan perdagangan dunia juga karena bagaimanapun ada barang dan jasa
yang dihasilkan Indonesia yang kompetitif jika dibandingkan dengan produk
serupa dari sesama negara anggota ASEAN.
Alasan berikutnya, dalam pelaksanaan AFTA nanti ada ketentuan produk-
produk yang masuk kategori sangat sensitif (highly sensitive) ditunda pelaksanaan
pembebasan bea masuknya.
Produk yang masuk kategori ini adalah produk yang bea masuknya akan
mengganggu dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat luas.
Di negara-negara anggota AFTA, produk yang masuk dalam kategori
sangat sensitif ini adalah produk hasil pertanian. Produk highly sensitive ini telah
disetujui penundaan pembebasan bea masuk untuk Indonesia, Brunei, Malaysia,
Filipina, Singapura, dan Thailand sampai tahun 2013, Laos, dan Myanmar sampai
2015 dan Kamboja sampai tahun 2017.
Implikasi berikut dari pelaksanaan AFTA adalah bahwa kita harus
memanfaatkan AFTA sebagai kancah "latihan perang" untuk menghadapi kancah
peperangan yang lebih luas, yakni kawasan perdagangan bebas dengan skala lebih
luas -di sini Indonesia menjadi anggotanya yaitu APEC (dilaksanakan tahun 2010)
dan WTO (dilaksanakan tahun 2020). Logikanya, kalau kita sudah "berlatih
perang" di dalam AFTA, hikmahnya kita akan terlatih menghadapi persaingan di
APEC dan WTO.
Implikasi positif lain adalah adanya sinergi yang saling menguntungkan
bila antarnegara ASEAN memakai bahan baku dari sesama anggota sehingga
produk yang dihasilkan negara anggota akan kompetitif dibandingkan dengan
negara-negara nonanggota.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh semua pihak (negara dan dunia usaha)
melihat implikasi-implikasi AFTA 2003 yang telah dipaparkan di depan?
Pertama, pemerintah harus mengurangi ekses negatif pasar bebas ASEAN
(AFTA). Seperti telah dikemukakan di depan, meskipun tidak semua aktivitas
perekonomian Indonesia akan runtuh dengan dilaksanakan AFTA, tak dapat
dihindari tetap ada korban yang akan jatuh.
Menyesali keputusan masa lalu ketika kita tanpa pertimbangan ekonomis
yang matang masuk AFTA, tak akan ada gunanya. Lagi pula, kecenderungan blok

100
perdagangan bebas sudah terjadi di seantero dunia. Maka, menarik diri dari AFTA
hanya akan membuat kita seperti Dinosaurus yang hidup pada zaman modern
(artinya salah zaman) seperti film Jurassic Park.
Langkah yang paling tepat sesuai dengan saran para ekonom klasik seperti
Adam Smith adalah tugas pemerintah membuat jaring pengaman agar korban
yang jatuh akibat pasar bebas itu tak sampai mati.
Kedua, pelaksanaan AFTA menuntut peningkatan efisiensi baik dari sisi
pemerintah maupun swasta. Dari sisi pemerintah, harus dilakukan betul-betul
pemotongan birokrasi yang menyebabkan biaya tinggi selama ini. Tentu saja tak
dapat diingkari, biaya tinggi dari pihak pemerintah itu juga karena tingkah oknum
anggota legislatif yang berkolaborasi dengan eksekutif atau bahkan menuntut
berbagai hal ke eksekutif yang ujung-ujungnya duit. Maka, legislatif pun
sebenarnya harus dikoreksi.
Swasta tentu saja harus belajar juga menjadi efisien. Karena itu, fungsi
divisi riset dan pengembangan harus dimaksimalkan dalam rangka mencari celah
produksi dan pemasaran yang lebih efisien. Swasta juga seharusnya menggunakan
AFTA ini sebagai kancah untuk belajar secara sungguh-sungguh untuk
menghadapi kancah perdagangan bebas yang lebih luas (APEC dan WTO).
Pembentukan AFTA diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat negara- negara anggota ASEAN. Secara teori, suatu sistem
perdagangan bebas akan membuat suatu negara berkonsentrasi membuat produk
yang dapat mereka kerjakan lebih efisien dibandingkan dengan negara lain.
Contoh ekstremnya, Indonesia dapat membuat produk sepatu lebih efisien
dibandingkan dengan Malaysia, sedangkan Malaysia dapat membuat televisi lebih
efisien daripada Indonesia. Maka, output kedua negara akan lebih tinggi apabila
Indonesia membuat sepatu saja (dan mengimpor televisi dari Malaysia) dan
Malaysia membuat televisi saja (dan mengimpor sepatu dari Indonesia),
dibandingkan dengan apabila kedua negara tersebut membuat televisi dan sepatu
secara bersamaan.
Persoalan yang dihadapi oleh Indonesia

Dalam menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu Negara anggota


ASEAN masih memiliki beberapa kendala yang menunjukan ketidaksiapan kita

101
dalam menghadapi AFTA, diantaranya adalah; dari segi penegakan hukum, sudah
diketahui bahwa sektor itu termasuk buruk di Indonesia. Jika tak ada kepastian
hukum, maka iklim usaha tidak akan berkembang baik, yang mana hal tersebut
akan menyebabkan biaya ekonomi tinggi yang berpengaruh terhadap daya saing
produk dalam pasar internasional.
Faktor lain yang amat penting adalah lembaga-lembaga yang seharusnya
ikut memperlancar perdagangan dan dunia usaha ternyata malah sering
diindikasikan KKN. Akibat masih meluasnya KKN dan berbagai pungutan yang
dilakukan unsur pemerintah di semua lapisan, harga produk yang dilempar ke
pasar akan terpengaruhi. Otonomi daerah yang diharapkan akan meningkatkan
akuntabilitas pejabat publik dan mendorong ekonomi lokal ternyata dipakai untuk
menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dari dunia usaha tanpa menghiraukan
implikasinya. Otonomi malah menampilkan sisi buruknya yang bisa
mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar dunia.
Persoalan lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan
Indonesia sangat luas, baik berupa lautan maupun daratan, yang sangat sulit
diawasi. Akibatnya, terjadi banjir barang selundupan yang melemahkan daya
saing industri nasional. Miliaran dolar amblas setiap tahun akibat
ketidakmampuan menjaga perbatasan dengan baik. Menurut taksiran kemampuan
TNI-AL, sekitar 40 persen dari seharusnya digunakan untuk mengamankan lautan
akibat kekuarangan dana dan sarana yang lain. Kendala utama bagi masyarakat
Indonesia adalah mengubah pola pikir, baik di kalangan pejabat, politisi,
pengusaha, maupun tenaga kerja. Mengubah pola pikir ini sangat penting bagi
keberhasilan kita memasuki AFTA.
Namun, selain menghadapi berbagai persoalan, AFTA jelas juga
membawa sejumlah keuntungan. Pertama, barang-barang yang semula diproduksi
dengan biaya tinggi akan bisa diperoleh konsumen dengan harga lebih murah.
Kedua, sebagai kawasan yang terintegrasi secara bersama-sama, kawasan ASEAN
akan lebih menarik sebagai lahan investasi. Indonesia dengan sumber daya alam
dan manusia yang berlimpah mempunyai keunggulan komparatif. Namun,
peningkatan SDM merupakan keharusan. Ternyata, kemampuan SDM kita sangat
payah dibandingkan Filipina atau Thailand.

102
Berdasarkan peraturan Pemerintah Nomer 63 tahun 1999, pihak asing
dimungkinkan untuk mempunyai saham hampir 99 persen. Jadi jika ingin
menambah sahamnya, sedangkan partner lokalnya tidak mampu, maka saham
partner lokal menjadi terdivestasi.

2.6 Dampak AFTA

AFTA telah dapat meningkatkan volume perdagangan antar negara


ASEAN secara signifikan. Eksport Thailand ke ASEAN, misalnya, mengalami
pertumbuhan sebesar 86,1% dari tahun 2000 ke tahun 2005. Sementara itu,
eksport Malaysia ke negara-negara ASEAN lainnya telah mengalami kenaikan
sebesar 40,8% dalam kurun waktu yang sama.

Adanya AFTA telah memberikan kemudahan kepada negara-negara


ASEAN untuk memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN
dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN. Untuk pasar Indonesia,
kemampuan negara-negara ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar kita bahkan
masih lebih baik dari China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar ekspor
negara ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kenaikan pangsa pasar China di Indonesia.
Pada tahun 2001 pangsa pasar ekspor negara-negara ASEAN di Indonesia
mencapai 17,6 persen. Implementasi AFTA telah meningkatkan ekspor negara-
negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya, pangsa pasar ASEAN di Indonesia
meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa pasar negara-negara
ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen.
Berbeda dengan anggapan kita selama ini bahwa ternyata daya penetrasi
produk-produk China di Indonesia tidak setinggi daya penetrasi produk-produk
negara ASEAN. Pada tahun 2001 China menguasai sekitar 6,0 persen dari total
impor Indonesia. Pada tahun 2005 baru mencapai 10,1 persen, masih jauh lebih
rendah dari pangsa pasar negara-negara ASEAN.
Jadi, saat ini produk-produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar
Indonesia dibandingkan dengan produk-produk dari China. Sebaliknya, berbeda
dengan negara-negara ASEAN yang lain, tampaknya belum terlalu diperhatikan

103
potensi pasar ASEAN, dan lebih menarik dengan pasar-pasar tradisional, seperti
Jepang dan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari pangsa pasar ekspor kita ke
negara-negara ASEAN yang tidak mengalami kenaikan yang terlalu signifikan
sejak AFTA dijalankan.
Turunnya tarif impor antarnegara ASEAN membuat kegiatan ekspor-
impor antarnegara ASEAN menjadi relatif lebih murah dari sebelumnya.
Tentunya negara yang dipilih sebagai negara basis suatu produk adalah yang
dianggap dapat membuat produk tersebut dengan lebih efisien (spesialisasi).
Negara-negara di kawasan ini tentunya berebut untuk dapat menjadi pusat
produksi untuk melayani pasar ASEAN karena semakin banyak perusahaan yang
memilih negara tersebut untuk dijadikan pusat produksi, akan semakin banyak
lapangan kerja yang tersedia. Sayangnya, Indonesia tampaknya masih tertinggal
dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan pusat produksi.

Kesiapan Indonesia

Infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai belum


siap menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau pasar bebas ASEAN
mulai 2015. “Kita semua tahu bagaimana kualitas SDM dan infrastruktur kita,
padahal pasar bebas ASEAN itu tidak lama lagi,” kata pengamat politik ekonomi
internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia mengatakan pada dasarnya
FTA (Free Trade Area) sangat potensial untuk memperluas jejaring pasar
sekaligus menambah insentif, karena tidak adanya lagi pembatasan kuota produk.
Namun, bagi Indonesia bukan melulu keuntungan, sebab FTA juga bisa
menjadi ancaman bila pemerintah RI tidak mempersiapkan SDM dan infrastruktur
dalam negeri. Dampak terburuk justru mengancam masyarakat lapisan paling
bawah, seperti petani gurem dan pedagang kecil. Saat ini Indonesia setidaknya
berada di peringkat keenam di ASEAN di luar negara-negara yang baru
bergabung (Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar).
Selain SDM, infrastruktur di tanah air juga belum mendukung untuk
menghadapi AFTA. Indonesia harus bisa menjadi pengelola atau tidak melulu
menjadi broker atau mediator dalam perdagangan bebas. Agenda terdekat
menjelang era pasar bebas, Indonesia harus bisa membenahi dan menyelesaikan

104
kepemimpinan nasional, mewujudkan “good corporate governance“, dan
membenahi birokrasi sekaligus memberantas korupsi. Selain itu, DPR juga harus
sejalan dengan pemerintah dalam masa-masa krisis dan membenahi jajaran
TNI/POLRI.
Yang harus dilakukan Indonesia agar dapat dengan baik menghadapi
AFTA dan dapat bersaing dengan Negara-negara lain di dalamnya adalah :
1. Pemantapan Organisasi Pelaksanaa AFTA
2. Promosi dan Penetrasi Pasar
3. Peningkatan Efisiensi Produksi Dalam Negeri
4. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
5. Perlindungan Terhadap Industri Kecil
6. Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pertanian

2.7 PENUTUP

AFTA adalah bentuk dari Free Trade Area di kawasan Asia Tenggara
merupakan kerjasama regional dalam bidang ekonomi mempunyai tujuan untuk
meningkatkan volume perdagangan di antara negara anggota melalui penurunan
tarif beberapa komoditas tertentu, termasuk di dalamnya beberapa komoditas
pertanian, dengan tarif mendekati 0-5 persen. Inti AFTA adalah CEPT (Common
Effective Preferential Tariff), yakni barang-barang yang diproduksi di antara
negara ASEAN yang memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40 % kandungan
lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %.
Sampai saat ini, CEPT masih merupakan hal yang sulit untuk dijalankan
oleh Negara-negara di ASEAN, hanya Singapura saja yang sudah dapat
mengurangi hambatan tarifnya sebesar 0 %, sedangakan Negara-negara ASEAN
lainnya masih berusaha untuk mencoba mengurangi hambatan tarifnya.
Indonesia sebagai Negara yang menyetujui AFTA, sebentar lagi akan
masuk ke dalam era perdagangan bebas, sehingga bangsa ini akan bersaing
dengan bangsa-bangsa ASEAN lainnya. Dengan kondisi bangsa Indonesia dan
perekonomian Indonesia saat ini, Indonesia dapat dikatakan masih belum siap
dalam menghadapi persaingan global. Sumber daya manusia Indonesia dengan
masih banyaknya masyarakat dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang minim

105
membuat Indonesia diprediksikan akan kalah dalam persaingan. Situasi politik
dan hukum di Indonesia yang amat sangat tidak pasti juga menambah jumlah nilai
minus Indonesia dalam menghadapi AFTA.

106
BAB 11
DILEMA KENAIKAN HARGA BBM
Kompas, Desember 27, 2004
Kebijakan ekonomi dan biaya politik
Teguh Yudo Wicaksono
Researcher, Department of Economics

Mengambil kebijakan populis, dalam jangka pendek menguntungkan


secara politik. Namun di saat bersamaan kebijakan itu akan mengurangi kekuatan
politik maupun sumber daya ekonomi yang lebih besar di masa datang. Kira-kira
pesan itu yang ingin di sampaikan Dani Rodrik, ekonom kenamaan Universitas
Harvard, dalam artikelnya Understanding Economic Policy Reform (1996). Studi
Rodrik berawal dari penelitiannya mengenai jatuh bangunnya perekonomian
Amerika Latin namun disaat bersamaan negara-negara Asia Timur terlihat
bangkit.
Rodrik menampik tuduhan yang selama ini mengatakan, ekonomi pasar
maupun integrasi ekonomi domestik ke luar sebagai penyebab ketidakstabilan
perekonomian Amerika Latin. Menurutnya, kegagalan ekonomi Amerika Latin
disebabkan negara tidak mampu mengatur dan mendisiplinkan kepentingan dari
lingkar kelompok kepentingan yang ada di sekitarnya. Negara memberi konsesi
politik kepada sekelompok masyarakat melalui kebijakan populis dan protektif.
Tetapi kebijakan ini umumnya tidak berlangsung lama dan ketika pemerintahan
mulai goyah kekuasaannya, justru kelompok yang dulu diuntungkan yang
terdepan berusaha menggantikan rezim.
Pengamatan dan prediksi Rodrik itu kita alami saat kejatuhan Soeharto dan
rezimnya. Soeharto di akhir 1990an menyetujui langkah keterbukaan ekonomi di
satu sisi namun di saat bersamaan ia mengambil kebijakan protektif terhadap
sejumlah kelompok kepentingan, terutama kelompok perkotaan, mulai dari
kebijakan industri strategis, kebijakan mobil nasional, tata niaga cengkeh melalui
BPPC, dan kebijakan tata niaga lain yang amat bias-urban. Kebijakan populis
maupun protektif ini tidak lain merupakan konsesi politik untuk kelompok
kepentingan perkotaan.

107
Aneka kebijakan itu menelan biaya besar dan ketika kekuasaan Soeharto
goyah, kelompok kepentingan perkotaan-lah yang paling depan menjatuhkan
rezim. Hal ini kembali membuktikan hipotesa Rodrik yang menunjukkan, saat
sumber daya ekonomi negara mulai habis karena krisis dan konsesi politik
berkurang, kelompok yang dulu paling diuntungkan akan terkena imbas krisis
paling besar. Mereka lalu mengorganisasikan diri dan bergerak untuk
menjatuhkan rezim.
Dalam literatur ekonomi-politik mengenai reformasi, ada hipotesis yang
sering dijadikan generalisasi yaitu keyakinan, kebijakan reformasi akan selalu
hadir sebagai respon terhadap krisis. Pengalaman Indonesia pada periode krisis
1998 membuktikan keyakinan ini, dimana saat itu kebijakan ekonomi pemerintah
yang protektif mulai berkurang drastis. Implementasi kebijakan ekonomi yang
reformis ini dapat dilakukan karena biaya politik yang harus dikeluarkan lebih
rendah ketimbang bila diimplementasikan pada saat perekonomian stabil.
Namun, akan muncul kelompok kepentingan yang berusaha menghentikan laju
reformasi karena khawatir hilangnya rente ekonomi yang sudah diperoleh. Ini
membantah tuduhan yang mengatakan, kebijakan reformis selalu dibuntuti
kepentingan segelintir orang. Apa yang terjadi justru sebaliknya, kelompok yang
menghalangi laju reformasi sebetulnya memiliki kepentingan atas rente-ekonomi.
Kasus ini juga dialami negara Amerika Latin dan transisi di Rusia.
Subsidi BBM dan biaya politik
Selain itu, kebijakan reformasi ekonomi akan lebih mudah bila “pihak
yang kalah" terkompensasi secara tepat. Kasus subsidi BBM merupakan ilustrasi
yang cukup tepat. Tarik ulur kebijakan subsidi BBM menunjukkan hadirnya
sejumlah kelompok kepentingan. Pihak yang paling berkepentingan terhadap
subsidi BBM tidak lain masyarakat kaya dan kelompok perkotaan. Dari data
konsumsi energi pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2003 diketahui,
masyarakat kota ternyata pengonsumsi terbesar energi di Indonesia. Masyarakat
kota mengonsumsi bahan bakar bensin hingga mencapai 71 persen dari total
konsumsi bensin rumah tangga di Indonesia dan gas sebesar 83 persen. Sementara
itu konsumsi bensin oleh 20 persen orang terkaya di Indonesia sebesar 56 persen

108
dan konsumsi gas sebesar 66 persen. Dari sudut konsumsi saja terlihat adanya
ketidakadilan dalam distribusi subsidi BBM.
Ketidakadilan itu masih berlanjut. Dari data yang sama ditemukan, rata-
rata pengeluaran kelompok terkaya untuk rokok ternyata lebih tinggi ketimbang
rata-rata pengeluaran untuk BBM. Artinya, mereka amat menikmati subsidi BBM
dan kebijakan subsidi BBM yang populis amat bias pada kaum urban.
Sebagai salah satu bentuk shock eksternal pada perekonomian, fluktuasi
harga minyak dunia tentu akan terasa di kalangan masyarakat bawah dan miskin.
Meski demikian, tiap jenis BBM memiliki pengaruh berbeda pada masyarakat
miskin. Dalam simulasi yang saya lakukan pada data konsumsi energi di Susenas
2003 ditemukan, kenaikan harga minyak tanah berdampak buruk bagi masyarakat
miskin. Tetapi kenaikan harga bensin dan gas secara signifikan tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap kemiskinan, karena kedua bahan bakar ini tidak
banyak digunakan masyarakat miskin. Dampak kenaikan harga bensin akan terasa
melalui kenaikan harga barang-barang, terutama kebutuhan pokok.
Pengurangan subsidi BBM sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan secara
berlebihan karena di saat bersamaan pemerintah memiliki sumber daya ekonomi
guna mengompensasi pihak yang terbebani. Mencabut subsidi BBM terkesan
menjadi kebijakan yang pahit karena pemerintah harus mengeluarkan sejumlah
biaya politik. Tetapi dengan adanya kompensasi yang tepat, pemerintah dapat
meminimalisir biaya politik itu.
Di lain pihak kompensasi itu memberi manfaat besar secara ekonomi dan
menjadi sumber kekuatan politik di masa datang. Misalnya kompensasi itu
dialokasikan pada pendidikan dan kesehatan yang akan meningkatkan kapasitas
SDM, terutama kelompok miskin dan menengah. Peningkatan SDM ini akan
menguatkan representasi politik mereka dan menjadi pemilih potensial-sumber
kekuatan politik, di masa datang.
Ketika pemerintah berniat mengurangi subsidi BBM, masyarakat sudah
memperkirakan kenaikan harga-harga. Akibatnya subsidi BBM belum dikurangi,
harga-harga sudah merangkak naik. Ketidakmampuan pemerintah mengelola
ekspektasi semacam ini dapat berdampak buruk bagi masyarakat miskin. Selain
itu pemerintah harus mampu mengomunikasikan dan konsisten mengenai

109
kebijakan yang akan diambil. Dengan cara sosialisasi demikian, kebijakan
reformasi ekonomi akan lebih mudah dilakukan.
Dalam kenyataannya selama ini, kenaikan harga BBM jenis apa bukan
hanya minyak-tanah -- selalu menjadi penyulut kenaikan harga bahan-bahan
pokok lainnya. Bahkan, baru sekedar 'berita desas-desus' saja (bahwa akan ada
keputusan pemerintah menaikkan harga BBM), sudah cukup untuk menyulut
lonjakan harga-harga bahan pokok, ongkos angkutan umum, rekening-rekening
air minum, listrik, dan telepon, biaya-biaya sekolah dan jajan anak-anak, harga
obat-obatan generik dan biaya-biaya perawatan kesehatan dasar, dan seterusnya.
Spekulasi harga menjadi suatu gejala umum menyertai setiap kejadian kenaikan
harga BBM. Kalangan industri dan pabrikan besar pun selalu menjadikan
kenaikan harga BBM sebagai 'alasan pembenar' untuk ikut menaikkan harga
barang-barang jualan mereka. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM akan
semakin memberatkan beban biaya hidup sehari-hari puluhan juta rakyat negeri
ini.
Maka, bukan hal ajaib kalau peristiwa kenaikan harga BBM selalu
menyulut terjadinya aksi unjuk-rasa massa memprotesnya. Tak ada satu pun saat
ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM yang sepi dari aksi protes
massa. Beberapa dari aksi tersebut bahkan membesar menjadi gerakan menuntut
perubahan kekuasaan dan sistem politik nasional, bukan lagi sekedar menolak
kenaikan harga BBM saja. Gelombang terbesar aksi unjuk-rasa rakyat dan
mahasiswa yang terakhir pada tahun 1998 -- yang akhirnya menjungkalkan rezim
Orde Baru dan Presiden Soeharto -- bermula dan berjalan seiring dengan aksi-aksi
menentang kebijakan pemerintah mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM.
Beberapa rangkaian gerakan protes massa sejak tahun 1980-an juga bermula dan
berjalan seiring dengan aksi menolak kenaikan harga BBM.
Singkatnya, masalah harga BBM bukan hanya telah menjadi salah satu
faktor determinan utama dalam perekonomian nasional, tetapi juga telah menjadi
salah satu 'isu politik praktis' yang sangat peka di Indonesia. Bukan hanya
organisasi-organisasi rakyat dan gerakan mahasiswa yang selalu menjadikannya
sebagai 'isu penyulut' aksi-aksi protes mereka, bahkan partai-partai politik beserta
organisasi-organisasi massanya pun selalu juga memanfaatkannya sebagai 'bahan

110
kampanye'. Dilematis, memang! Pada satu sisi, BBM masih merupakan salah satu
komoditi penghasil devisa negara terbesar. Antara tahun 1991-2001, pendapatan
dari sektor minyak dan gas-bumi masih menyumbang antara 35 sampai 41%
pendapatan dalam negeri. Sementara itu, di sisi lain, BBM juga menjadi salah satu
sumber pemborosan besar anggaran belanja negara. Masalahnya adalah karena
pemerintah harus mensubsidi harga BBM, agar tetap terjangkau oleh daya-beli
mayoritas rakyat awam. Pada tahun anggaran 2001-2002 saja, misalnya, jumlah
subsidi BBM mencapai Rp 61,8 trilyun, sebagian besarnya adalah untuk
mensubsidi minyak-tanah dan solar, dua jenis BBM yang paling berkaitan
langsung dengan hajat hidup sehari-hari dan kebutuhan pokok penduduk kelas
menengah ke bawah.
Padahal, rumah-tangga kelas menengah ke bawah adalah masih
merupakan mayoritas penduduk Indonesia, sekitar 80% dari total penduduk negeri
ini, atau sekitar hampir 200 juta jiwa. Ini jelas bukan jumlah yang pantas dianggap
enteng. Separuh saja dari jumlah itu merasa terancam kehidupannya oleh
penghapusan subsidi (yang mengakibatkan kenaikan harga BBM), dapat
dibayangkan kemungkinan terjadinya suatu gelombang aksi protes massa yang
tidak kecil. Bukan hanya dalam ukuran jumlah, tetapi juga dalam cakupan dan
sebaran wilayahnya, karena sebagian terbesar penduduk kelas menengah ke
bawah itu bermukim di semua daerah di Indonesia, baik di wilayah perkotaan
maupun pedesaan. Daya pengaruh (magnitude) politiknya pasti akan sangat besar.
Dan, itulah terutama jenis risiko yang tak sudi ditanggung akibatnya oleh siapa
pun pemerintah yang berkuasa di negeri ini. Menghapuskan subsidi (yang dengan
sendirinya mengakibatkan kenaikan harga) BBM, jelas sekali merupakan tindakan
politik yang 'tidak populer', yang mengancam kelanggengan kekuasaan rezim
yang sedang memerintah: terancam kehilangan dukungan puluhan juta suara
pemilih! Belum lagi jika memperhitungkan biaya-biaya sosial yang diakibatkan
sebagai dampak lanjutannya: kerusuhan, kekacauan, dan seterusnya.
Bahkan lembaga-lembaga internasional yang sangat kuat dan berpengaruh
pun sempat gagal 'memaksa' pemerintah Indonesia menempuh kebijakan politik
tidak populer semacam itu, paling tidak secara sekaligus. Atas nama imperatif
pasar bebas, dan demi memulihkan diri dari krisis ekonomi kawasan -- yang

111
terjadi sejak 1997 dan menjadikan Indonesia masih tetap sebagai negara yang
paling parah menderita sampai saat ini -- Dana Moneter Internasional (IMF), sejak
tahun 2000, telah mendesak pemerintah Indonesia menghapuskan semua subsidi
BBM. Mereka menggunakan kekuasaan sebagai salah satu donor dan penjamin
kredit terbesar bagi pemerintah Indonesia selama ini. Dengan jumlah utang luar
negeri luar biasa besar -- saat itu mencapai jumlah US$ 60 milyar atau sekitar Rp
500 trilyun -- pemerintah Indonesia jelas sulit menolak desakan tersebut. Satu-
satunya alasan mengelak yang paling masuk akal adalah 'kalkulasi risiko politik'
tadi, dengan segenap dampak 'beban biaya sosial'nya yang, memang, jauh lebih
sulit diduga dan lebih rumit ditanggulangi.
Akhirnya, IMF bersedia kompromi, 'mengizinkan' dilanjutkannya subsidi
BBM, tetapi dengan beberapa persyaratan ketat. Antara lain, pembatasan subsidi
terutama hanya pada jenis BBM yang benar-benar langsung terkait dengan hajat
hidup sehari-hari rakyat lapis-bawah, yakni minyak-tanah dan solar. Namun,
secara sistematis dan terencana harus mulai dilakukan penghapusan subsidi secara
bertahap, sampai akhirnya semua subsidi tersebut benar-benar dapat ditiadakan,
paling tidak sampai tahun 2004 atau 2006.
Pemerintah Indonesia menerima persyaratan itu. Strategi penghapusan
bertahap itu sekaligus memberi waktu bagi pemerintah untuk memperbaiki
perekonomian nasional secara menyeluruh. Dengan anggapan bahwa akan dicapai
beberapa kemajuan berarti dalam upaya pemulihan perekonomian nasional sampai
akhir tahun 2006, maka masalah dilematis subsidi BBM itu nantinya tidak akan
menjadi masalah politik yang terlalu peka lagi seperti saat ini.
Dengan kata lain, pemerintah nampaknya ingin keluar dari dilema ini lebih
secara 'psikis'. Pengurangan subsidi secara bertahap per sekian rupiah per tahun
(artinya, kenaikan harga BBM secara bertahap pula sekian rupiah saja per tahun),
tidak akan dirasakan terlalu berat oleh rakyat. Lama kelamaan, rakyat pun akan
terbiasa dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Sehingga, ketika
saatnya nanti benar-benar dihapuskan, reaksi balik yang akan terjadi tidak akan
terlalu parah dibandingkan jika dihentikan sekaligus saat ini, saat ketika secara
psikologis memang rakyat Indonesia juga belum sepenuhnya pulih dari

112
goncangan krisis ekonomi sejak tahun 1997, dan transisi sistem politik nasional
sejak tahun 1998.
Tetapi, sesungguhnya itu bukanlah jalan keluar yang tuntas. Bahkan jika
semua anggapan dasarnya terbukti -- bahwa terjadi banyak kemajuan berarti
dalam upaya pemulihan ekonomi nasional dan, karena itu, juga dalam taraf
kesejahteraan rakyat umumnya, sehingga mereka mampu membeli BBM pada
tingkat harga seberapa pun tanpa subsidi lagi -- sama sekali belum menyentuh
masalah inti yang sebenarnya: ketergantungan mutlak pada BBM itu sendiri!
(dalam hal ini adalah minyak-bumi).
Penghapusan subsidi BBM hanya memecahkan salah satu bagian kecil saja
dalam keseluruhan sistem perekonomian dan politik nasional, yakni beban berat
pada anggaran belanja negara. Masih banyak masalah lainnya lagi yang selama ini
bersifat sebati (inherent) dengan pemakaian BBM konvensional -- terutama
minyak-bumi dan batubara, dua bahan bakar fosil (fossil fuel) yang tak dapat
diperbaharui (non renewable) -- tersebut, sama sekali belum dan tak akan
terpecahkan semata-mata dengan pendekatan ekonomi moneter. Masalah-masalah
itu terentang mulai dari persoalan-persoalan ekologis sampai persoalan-persoalan
politik-ekonomi yang lebih mendasar.
Gagasan untuk menghentikan pemakaian dan ketergantungan pada BBM
konvensional, sebenarnya bukanlah gagasan baru sama sekali. Sejak Rudolf
Diesel pertama kali memperkenalkan motor-bakar ciptaannya yang digerakkan
dengan bahan bakar minyak-nabati (minyak-kacang dan minyak-ganja), pada
tahun 1910, gagasan itu sebenarnya sudah mulai menemukan wujud nyata
penerapannya. Entah bagaimana, prakarsa Diesel 'ditelikung' di tengah jalan,
sehingga mesin-mesin diesel yang kita kenal sekarang justru dijalankan dengan
BBM konvesional PetroDiesel atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan
'solar'. Banyak pelanjut gagasan Diesel sekarang mulai berprasangka: jangan-
jangan kematian sang perintis pada tahun 1913, yang misterius hingga kini --
terjatuh dari atas feri dan tenggelam di Selat Inggris -- adalah tindakan
persekongkolan jahat para juragan kartel minyak yang merasa terancam oleh
gagasan dan penemuannya.

113
Tetapi, gagasan tak dapat dibunuh dan tak akan pernah mati. Rangkaian
riset kemudian membuktikan kebenaran anggapan-anggapan dasar di balik
gagasan Diesel. Sekelompok ilmuwan terkemuka pimpinan Dennis Meadows dan
Lester Brown yang tergabung dalam Kelompok Roma, pada tahun 1980,
memperingatkan bahwa jika tak dihentikan atau diubah arahnya, kecenderungan
itu akan mengarah pada 'batas-batas pertumbuhan' (limits to growth). Meskipun
pandangan Malthusian mereka itu sempat memancing debat dan kontroversi,
namun banyak di antara anggapan dasarnya memang dan semakin terbukti secara
empirik, terutama yang menyangkut ketersediaan sumberdaya alam yang tak
dapat diperbaharui, termasuk sumberdaya energi konvensional, yakni bahan bakar
fosil sebagai BBM utama dan terbesar dunia -- terhitung sejak penemuan dan
produksi sumur minyak-bumi pertama secara modern di Pennsylvania, Amerika
Serikat, pada tahun 1859, dan sejak Revolusi Industri di Inggris pada masa yang
sama.
Dua laporan mutakhir dari Congressional Research Services (CRS), pada
tahun 1985 dan 2003, kepada Komisi Energi di Kongres AS, menyebutkan bahwa
jika tingkat pemakaiannya masih terus seperti sekarang -- artinya tanpa
peningkatan dalam efisiensi produksi, penemuan cadangan baru, dan peralihan ke
sumber-sumber energi alternatif inkonvensional -- maka cadangan sumber energi
atau bahan bakar fosil sedunia, khususnya minyak-bumi, diperkirakan hanya akan
cukup untuk sekitar 30-50 tahun saja lagi.
Tetapi, ancaman kelangkaan cadangan minyak-bumi ternyata bukan satu-
satunya masalah, bahkan bukan lagi merupakan yang terpenting. Jauh lebih
penting adalah justru dampak pemakaiannya. Kajian-kajian ekologi modern yang
mulai dirintis oleh Ernst Haeckel pada tahun 1866, berkembang pesat ke kajian-
kajian lingkungan hidup (environmental studies) dan, sejak tahun 1896, para
ilmuwan sebenarnya sudah memperingatkan bahwa pembakaran bahan bakar fosil
sangat mungkin mengubah susunan dan kandungan gas-gas yang berada di lapisan
atas permukaan (atmosfir) bumi, dan bahwa hal itu kemungkinan akan
meningkatkan suhu rata-rata di seluruh dunia.
Peringatan dini itu mulai terbukti pada tahun 1957, ketika sekelompok
peneliti, yang tergabung dalam Program Tahun Geofisika Internasional,

114
menemukan adanya peningkatan kandungan gas-gas karbon dioksida (CO2) di
puncak Gunung Api Mauna Loa di Kepulauan Hawaii. Data satelit yang lebih
akurat semakin menguatkan bukti tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Setelah
diolah sebagai suatu data urut-waktu (time series) sejak awal abad-20,
diketahuilah bahwa sepuluh tahun terpanas sepanjang abad yang baru saja lewat
itu adalah sesudah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi sesudah tahun 1990,
di mana tahun 1998 adalah yang terpanas sepanjang sejarah bumi.
Apakah Anda dapat membayangkan hal ini dalam kaitannya dengan
peristiwa El-Nino, kemarau panjang, serta kebakaran hutan terbesar dan terburuk
dalam sejarah -- yang terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi -- pada tahun
tersebut? Maka, sejak tahun 1980-an, isu tentang pemanasan bumi (global
warming) yang terjadi sebagai gejala dampak rumah-kaca (greenhouse effect) pun
semakin memanas pula. Sama seperti peringatan Kelompok Roma sebelumnya,
debat dan kontroversi juga mengiringi kemunculan isu ini. Tetapi, rangkaian riset
ilmiah selanjutnya semakin memberi bukti-bukti tak terbantah. Pada tahun 1995,
suatu panel para pakar terkemuka dunia yang diorganisir oleh Program
Lingkungan Hidup PBB (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO),
yang tergabung dalam Panel Pakar Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC),
menyatakan adanya kenaikan suhu permukaan bumi antara 1 sampai 3,5oC sampai
tahun 2100. Pada tahun yang sama, Badan Meteorologi Inggris dan Universitas
East Anglia melaporkan suhu permukaan bumi telah mencapai 14,84oC, angka
tertinggi yang pernah ada sejak pencatatan suhu permukaan bumi mulai dilakukan
pada tahun 1856. Lalu, pada tahun 1998, Lembaga Atmosfir & Kesamuderaan
Nasional (NOAA) dan Badan Angkasa Luar & Aeronatika Nasional (NASA)
Amerika Serikat melaporkan angka yang tak jauh beda: suhu permukaan bumi
sudah mencapai 14,46oC, atau 0,66oC lebih panas dari rata-rata suhu permukaan
bumi selama ini. Perhimpunan Geofisika Amerika (AGU) yang beranggotakan
35.000 orang pakar di seluruh dunia, menyebut data pantauan NOAA dan NASA
tersebut, setelah dibandingkan dengan semua data urut-waktu yang telah
terkumpul sejak beberapa tahun sebelumnya, sebagai "...suatu kumpulan data
yang absah untuk memperoleh perhatian publik secara serius."

115
Lalu, bukan hanya para pakar ilmu bumi dan lingkungan hidup yang
gerah. Para pakar ilmu sosial pun mulai ikut bicara. Politik-ekonomi menjadi
sudut-pandang utama mereka. Masalah ketidakadilan dalam pembagian sumber-
daya dunia, termasuk sumber-sumber energi, menjadi salah satu tema utama
analisisnya. Data tahun 1995 memperlihatkan bahwa total konsumsi energi oleh
5,7 milyar penduduk dunia adalah 362,24 kuadrilyun BTU (British Thermal Unit).
Dan, saksikanlah ketidakadilan ini: penduduk Amerika Utara (Amerika Serikat
dan Kanada) dan seluruh Eropa (Barat dan Timur) yang hanya 20,1% dari total
penduduk dunia, mengkonsumsi 59,1% energi dunia tersebut; sementara
penduduk seluruh Afrika dan Amerika Latin yang 21,4% dari total penduduk
dunia, hanya mengkonsumsi 10,3% nya saja. Padahal, Jepang sendirian yang
hanya berpenduduk 2,2% penduduk dunia, mengkonsumsi 5,9% energi dunia;
atau negara-negara kaya Timur Tengah yang penduduknya hanya 3,7% penduduk
dunia, mengkonsumsi 4,6% energi dunia. Bandingkan dengan gabungan seluruh
negara-negara Asia Timur, Selatan, Tenggara, Oceania dan Australia yang
berpenduduk 53,6% penduduk dunia, hanya mengkonsumsi 20,7% energi dunia!
Singkatnya, pola pembagian dan konsumsi energi dunia masih tetap mengikuti
polarisasi lama ketidakadilan global: antara negara-negara kaya lawan negara-
negara miskin, antara negara-negara industri maju dengan negara-negara baru dan
sedang berkembang, antara Utara dengan Selatan, antara bekas penjajah dengan
bekas anak jajahannya!
Semua itu berkaitan erat dengan pola pemilikan modal dan alat-alat
produksi untuk menghasilkan, mengatur, dan menggunakan sumber-sumber
energi utama dunia. Produksi dan cadangan minyak terbesar dunia masih di
negara-negara kaya minyak Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, Iraq, Iran,
Kuwait, Emirat Arab, Libya, Oman dan Qatar (seluruhnya mencapai sekitar 501
milyar barel). Baru kemudian menyusul beberapa negara industri maju seperti
Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Norwegia, dan Kanada (seluruhnya mencapai
sekitar 101 milyar barel). Dalam daftar pemilik cadangan besar minyak dunia itu,
tercatat hanya 4 negara yang masih tergolong negara berkembang yang memiliki
produksi dan cadangan minyak cukup besar, di atas 10 milyar barel, yakni
Venezuela (65,4), Meksiko (28,3), Cina (25,8), dan Nigeria (18,6). Adapun

116
Indonesia, terhitung tidak terlalu besar (hanya 6,2 milyar barel), sedikit di bawah
Aljazair (8,6), dan hampir sama dengan India (6,0), Angola (5,6), Malaysia (4,5),
dan Brazil (4,0).
Namun, angka-angka ini dapat menyesatkan jika kita tidak memperhatikan
kenyataan, bahwa keseluruhan sistem industri dan perdagangan minyak dunia
sebenarnya tetap saja masih dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan raksasa
dari negara industri maju, seperti Exxon, Mobil Oil, Shell, British Petroleum,
Total, Caltex, dan lain-lain. Mereka juga hampir sepenuhnya masih menguasai
mutlak teknologi canggih industri energi dunia.
Walhasil, para penentang penambangan dan penggunaan bahan bakar
fosil, khususnya minyak-bumi, semakin memiliki alasan kuat untuk mendesakkan
tuntutan mereka: selain demi mencegah keberlanjutan kerusakan lingkungan
hidup dan ekosistem bumi, juga demi menentang sistem perekonomian dan politik
pembagian kekayaan dunia yang sungguh tak adil itu!

117
Bab 12
ANALISIS KONDISI EKONOMI POLITIK INDONESIA
TAHUN 1945 - 2007

Oleh Edy Prayitno

Negara Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini
(Oktober 2007) masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga
dimaksudkan sebagai sebutan untuk kelompok negara – negara yang terbelakang.
Istilah ini mulai populer sejak tahun 1960-an sebagai hasil rumusan dalam
berbagai pertemuan Politik Internasional seperti Konferensi Bandung (1955) dan
Konferensi Belgrado (1961). Dunia pada saat itu dilihat dari pola kemajuannya
yang ditandai dengan klasifikasi tiga kelompok negara yaitu : Dunia Pertama
(Dunia Bebas atau Blok Antlantik meliputi Eropa Non Komunis dan Amerika
Utara), Dunia Kedua (meliputi negara – negara Eropa Timur dan Blok Uni
Sovyet), dan Dunia Ketiga (meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin). Dunia
Pertama dan Kedua bersama – sama berpenduduk 30% dari jumlah penduduk
seluruh dunia (15 milyard, 2001) dan menghuni 40% daratan dunia seluruhnya
(total luas bumi 510.074.600 km2, daratan 148.940.540 km2 atau 30% dan lautan
361.134.060 km2 atau 70%). Selebihnya 60% adalah sejumlah besar negara
merdeka yang pada umumnya baru melepaskan diri dari penjajahan (tercatat
dalam atlas tahun 1991 jumlah negara dunia 206 negara). Ada beberapa nama
tambahan yang diberikan kepada negara – negara yang termasuk Dunia Ketiga
(the third world) antara lain, negara terbelakang (backward countries), negara
yang belum maju termasuk Indonesia saat ini (under developed countries), negara
selatan, dan nama negara – negara miskin (un-developing countries). Umumnya
nama yang diberikan memiliki tiga ciri umum yaitu 3K, Kemiskinan, Kebodohan
dan Keterbelakangan yang diukur dari indikator GNP per kapita, pendapatan
bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per kapita, pendapatan bersih per
kapita, jumlah pemakaian energi per kepala, tingkat melek huruf, tingkat kematian
bayi dan ukuran – ukuran sosial lainnya.

118
Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak
konflik politiknya daripada agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara
kaum borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok – kelompok
nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah dengan ditandai
tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih
mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.
Indonesia sejak tahun 1967, dibawah pemerintahan militer (Soeharto, 1965
- 1998), menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow dalam melakukan
pembangunan ekonominya. Dalam teori ini, ada lima tahap pertumbuhan ekonomi
yaitu, tahap pertama ‘Masyarakat Tradisional’ (The Traditional Society), tahap
kedua ‘Pra Kondisi untuk Tinggal Landas’ (The Preconditions for Take-off), tahap
ketiga ‘Tinggal Landas’ (The Take-off), tahap keempat ‘Menuju Kedewasaan’
(The Drive to Maturity) dan tahap kelima ‘Konsumsi Massa Tinggi’ (The Age of
High Mass-Consumption). Pembangunan di Indonesia dilaksanakan secara
berkala untuk waktu lima tahunan yang dikenal dengan PELITA (Pembangunan
Lima Tahunan). PELITA I (1 April 1969 – 31 Maret 1974) memprioritaskan
sektor pertanian dan industri, PELITA II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan dititikberatkan pada sektor
pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan
baku. PELITA III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) memprioritaskan pembangunan
ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan
dengan meningkatkan sektor industri yang mengolah bahan baku menjadi barang
jadi dalam rangka menyeimbangkan struktur ekonomi Indonesia. PELITA IV (1
April 1984 – 31 Maret 1989) memperioritaskan pembangunan ekonomi dengan
titikberat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan
meningkatkan sektor industri yang menghasilkan mesin – mesin industri berat dan
ringan, pembangunan bidang politik, sosbud, pertahanan dan keamanan seimbang
dengan pembangunan ekonomi. PELITA V (1 April 1989 – 31 Maret 1999)
memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian
untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian
serta industri yang menghasilkan barang ekspor, menyerap tenaga kerja,
pegolahan hasil pertanian dan menghasilkan mesin – mesin industri,

119
meningkatkan pembangunan bidang politik, sosial budaya dan pertahanan
keamanan. Namun pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami Krisis
Moneter yang membuat Soeharto lengser (runtuhnya rezim Orde Baru). Indonesia
belum sempat tinggal landas malah kemudian meninggalkan landasannya
hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan mudah hancur.
Periode Orde Reformasi (1998 – 2007/sekarang) berjalan tak jelas
arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke Orde
Reformasi yang  ditandai dengan silih bergantinya Presiden Republik Indonesia
dalam waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999),
Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23
Juli 2001 – 20 Oktober 2004), semuanya belum menunjukkan pembangunan
ekonomi yang berarti. Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok
sebagai akibat kebijakan Rezim yang lalu (Orde Baru) yang membuat
pijakan/pondasi ekonominya sangat rapuh dan mudah hancur tersebut, disambut
dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde
Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini. Dalam
masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba
menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal biayanya.
Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan pesta
demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode 2004 -
2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di berbagai
daerah di wilayah nusantara ini.
Wal hasil, proses pembangunan di Indonesia sudah dilakukan selama 62
tahun, namun masih banyak rakyatnya yang miskin, kebodohan masih banyak
ditemui terutama di wilayah pedesaan, pengangguran dimana – mana, nilai rupiah
terhadap dolar terpuruk, dan sebagainya. Sebenarnya apa yang salah dalam proses
pembangunan di Indonesia? Mengapa semua itu terjadi? Pertanyaan ini menarik
untuk dikaji dan dianalisis. Dan dengan maksud itulah tulisan ini dibuat.
 

120
Good Governance adalah cara mengatur pemerintahan yang
memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan
dan administrasinya bertanggung jawab pada publik (Meier, 1991:299-300). Dan
dalam pemerintahan seperti ini mekanisme pasar merupakan pertimbangan utama 
dalam proses pembuatan keputusan mengenai alokasi sumber daya. Dua tipe ideal
ekonomi yang diletakkan dalam 2 kutub berlawanan, yakni:
1. Kutub “Laissez-Faire, cenderung penciptaan “good governance”;
2. Kutub Dirigisme / Hegemoni, negara intervensi penuh dalam ekonomi.
Dalam kutub LAISSEZ-FAIRE, negara membiarkan mekanisme dan
lembaga-lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dikendalikan
oleh swasta. Dan dalam Dirigisme / hegemoni, negara mengendalikan sepenuhnya
mekanisme dan lembaga-lembaga  itu. Dua kutub “laissez-faire” – “hegemoni“
adalah gambaran yang ideal .
Tidak ada negara yang sepenuhnya bersifat “laissez-faire” ataupun
“hegemoni”. Artinya tidak ada negara yang sepenuhnya berlepas tangan,
sebaliknya juga tidak ada yang mampu sepenuhnya mengendalikan segala segi
kegiatan ekonomi masyarakatnya. Semua negara bersifat campuran. Contoh kasus
dalam konteks  ini, “Debirokratisasi” berarti proses menjauhi kutub “hegemoni”
dan mendekati kutub “laissez-faire”. Secara lebih spesifik kita bisa menunjukkan
sifat peran negara itu dengan melihat bekerjanya mekanisme dan lembaga
pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dalam negara itu. Lebih jelas lihat
tabel di bawah ini.
Tabel 1. Dimensi – dimensi Sistem Ekonomi
Kutub
NO. Pertanyaan
Laisser-Faire Dirigisme
Siapa pembuatan keputusan
Desentralisasi Sentralisasi
1. investasi, produksi, dan
(individu) (negara)
distribusi?
Bagaimana transaksi
informasi alokasi Proses
2. Pasar
sumberdaya dan koord. administrasi
keputusan dilakukan?
Siapa berhak memiliki
faktor produksi dan Pemilikan
3. Pemilikan Pribadi
menentukan kolektif
penggunaannya?

121
Bgmn mekanisme
4. memotivasi individu & Insentif Ekonomi Komando
prshn?
Bagaimana sifat interaksi 
5. Kompetitif Non-kompetitif
aktor-2  ekonomi?
Bagaimana interaksi
6. ekonomi domestik dengan Internasionalis Nasionalis
sistem internasional?

Dalam rangka menganalisis kondisi ekonomi politik di Indonesia,


kondisinya dibagi dalam 3 periode yaitu periode Orde Lama (1945 – 1966),
periode Orde Baru (1966 – 1998), dan periode Reformasi (1998 – 2007). Analisis
per periode sebagai berikut :
Periode Orde Lama (1945 – 1966), Pandangan strukturalis tentang
pembangunan berlaku dari tahun 1940-an hingga awal tahun 1960-an.
Pandangan ini berasumsi negara – negara sedang berkembang ditandai oleh
kelompok budaya, sosial dan kelembagaan yang menghambat atau mencegah
perubahan, sumber daya cenderung mandek (persediaan barang dan jasa tidak
elastis). Pandangan ini juga mementingkan kuantitas manajemen
dibandingkan harga. Umumnya mengalami kegagalan, kadang – kadang target
tercapai namun sering pelaksanaannya buruk dan prestasi yang kurang baik.
Bank Dunia memberikan pinjaman pertamanya kepada negara di luar Eropa
pada tahun 1948. Saat itu banyak negara yang sedang berkembang sudah
sibuk dalam beberapa bentuk perencanaan ekonomi terpusat. Pada tahun
1950-an, gelombang antusiasme mencapai puncaknya dalam rangka
perencanaan yang komprehensif. Sedangkan yang terjadi di Indonesia tanggal
17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Pemimpin yang ada saat itu terdiri dari kaum elit yang berpendidikan Barat
dan orang – orang militer yang dilatih Jepang. Secara ekonomi, Belanda masih
menguasai perusahaan – perusahaan di sektor perkebunan dan menguasai
perdagangan internasional {Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949}. Periode
1945 – 1949 adalah periode Indonesia berjuang untuk status negara merdeka
dan diakui oleh dunia yang ditandai dengan pengakuan Belanda di KMB
dengan syarat perusahaan Belanda di Indonesia tidak dinasionalisasikan. Di
sisi lain, Cina menguasai perdagangan dalam negeri dan mayoritas orang

122
Indonesia pribumi masih tetap menjadi petani, hanya sedikit elit politik (kaum
elit terpelajar dan militer) yang menguasai negara. Elit politik itu berperan
sebagai birokrat negara tanpa basis ekonomi, tak ada pengusaha pribumi yang
berarti dan tak ada borjuasi yang berperan dalam ekonomi. Demokrasi
Parlementer (1949 – 1959), menghasilkan kebijakan “Politik Benteng” yang
bertujuan menciptakan pengusaha pribumi. Akumulasi modal pengusaha
pribumi terjadi melalui jalur politik benteng dan jalur perusahaan –
perusahaan negara, namun masih relatif kecil dibandingkan akumulasi modal
pengusaha asing dan Cina. Demokrasi Liberal (1957 - 1959), menghasilkan
gejolak politik yang cukup serius yaitu Sumatera Barat dan Sulawesi Utara
melakukan perlawanan bersenjata sebagai reaksi dominasi Jawa dan
ketimpangan ekonomi antara daerah dan pusat, akibatnya Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia dibubarkan. Pada masa ini, politisi kelas menengah ke atas
menguasai ekonomi politik Indonesia sedangkan rakyat Indonesia belum
berubah, masih miskin. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), Dekrit
Presiden 1959 (yang mendapat dukungan dari militer dan PKI) adalah upaya
Soekarno menggeser dominasi politisi kelas menengah ke atas dan sekaligus
upaya mengembalikan kekuasaan Presiden yang selama ini dipegang Perdana
Menteri dan DPR. Pada masa ini, Soekarno menguasai penuh birokrasi
negara. Pada tahun 1957, perusahaan – perusahaan Belanda
dinasionalisasikan, setelah tahun 1959, proses nasionalisasi perusahaan asing
makin meluas. Pada tahun 1963, perusahaan – perusahaan Inggris juga
diambil alih, milik Amerika Serikat juga diambil alih di tahun 1965. Semua
perusahaan tersebut dikelola oleh perwira – perwira militer namun bisnis
masih dikuasai pengusaha Cina. Konflik antara PKI dan Militer mencapai
klimaksnya pada 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan kemenangan Militer
dimana Soeharto sebagai simbolnya. Kondisi ekonomi sangat parah dengan
ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan
masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966. Jadi periode Orde Lama
yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya, sentralisasi, komando
dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub
“Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.

123
Periode Orde Baru (1966 – 1998), pemerintah didukung kuat Militer dan
kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politk kelas
menengah ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga
mengalir melalui bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga
industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal
1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde
Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Stabilitas politik dilakukan kaum
militer dengan membuat “Golongan Karya” (Golkar) yang tidak berkoalisi
dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol bergabung hingga hanya
ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk
sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non
pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara
banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina
terus berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha
pribumi berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan
dengan petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat
rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang
hanya dinikmati segelintir orang saja.  Dampak negatif kondisi ekonomi
Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :
 Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja
negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga
turunnya harga minyak mengakibatkan menurunnya pendapatan negara.
 Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri
Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan
penjadualan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada, terutama yang
menggunakan valuta asing. Mengusahakan peningkatan ekspor komoditi non
migas dan terakhir meminta peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara

124
– negara maju. Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah
hutang dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat. Ironisnya, di tahun
1986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar hutang lama
ditambah bunganya.
Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market
failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya
merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama
disebabkan oleh “market failure”.
Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga
non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika pasar.
Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan penerimaan
devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan pembangunan
Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural adjustment” dimana
ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :
Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan
dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan
menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah melakukan
berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong atau menghapus
berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan uang ketat) demi
mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang realistik (terutama
melalui devaluasi September 1986).
Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan
efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat
pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif
maupun non tarif. Kebijakan “Paknov 1988” yang menghapus monopoli impor
untuk beberapa produk baja dan bahan baku penting lain, telah mendorong
mekanisme pasar berfungsi efektif pada saat itu.
Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan
tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi fiskal,
meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial dan
menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan melonggarkan
pembatasan. Kebijakan “Pakdes I/1987” yang menggalakkan penarikan pajak

125
sehingga menghidupkan kembali pasar modal, “Pakto 27/1988” yang
menyebabkan menjamurnya bank – bank swasta, “Pakdes II/1988” yang
menderegulasikan bisnis asuransi dan berbagai jasa finansial. “Pakem 1986” dan
“Pakjun 3/1991” yang mengurangi hambatan perdagangan internasional dan
memberi insentif yang sangat menarik pada investor asing dan terakhir “Pakjul
1993” yang bertujuan mempermudah perijinan investasi.
Kebijakan menciptakan lingkungan legal dan institusional yang bisa
mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik
dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan,
aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai program yang
memungkinkan lingkungan seperti itu. Pemberlakuan Undang – Undang Hak
Cipta dan Hak Milik Intelektual juga merupakan bagian dari berbagai paket di
atas (Pangestu, 1989:3-8, dan 1992:196-197; Nelson, 1990:3-5).
Reformasi besar – besaran dalam mekanisme kerja administrasi negara
Indonesia seperti yang disebutkan di atas, menimbulkan dampak positif terhadap
pertumbuhan sektor industri ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya.
Dalam ekonomi mikro terjadi penurunan hambatan masuk ke pasar (entry barrier),
pelonggaran kendala terhadap kegiatan sektor bisnis dan swastanisasi terbatas
yaitu perpindahan pemilikan BUMN dari pemerintah ke swasta. (Nasution,
1991:14-17)
Dampaknya cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti investasi
asing terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan sistem pajak,
produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga meningkat. Namun
hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah
hutang komersial swasta) dan debt-service rationya sudah melewati 30%. Hutang
inilah sebagai salah satu faktor penyebab Rezim Orde Baru runtuh akibat krisis
moneter (penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dari 2.000-an
menjadi 10.000-an per 1 US$). Rezim Orde Baru membangun ekonomi hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi
tanpa memperhatikan pondasi ekonomi. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi,  tidak disiapkan untuk
mendukung proses industrialisasi. Barang – barang impor (berasal dari luar

126
negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri
sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut.
Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke
seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta
pengusaha – pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang menikmati
hasil pembangunan. Jadi periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto lebih kuat
peran pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya nepotisme/non
kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan kepemilikan kolektif bisa
disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati
kutub “Dirigisme/hegemoni”.
 Periode Orde Reformasi (1998 – 2007)
Tahun 1998 adalah tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di
Indonesia sebagai akibat krisis moneter di ASIA yang dampaknya sangat terasa di
Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp.
10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah
terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai dengan
500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang Negara
Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar,
membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk
rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan
hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat
untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat
hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah
hutang komersial swasta).
Pembangunan ekonomi periode Orde Reformasi (1998 – 2004) berjalan
tak jelas arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke
Orde Reformasi yang  ditandai dengan silih bergantinya Presiden RI dalam waktu
relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Abdurrahman
Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23 Juli 2001 – 20
Oktober 2004). Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok, disambut
dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde
Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini. Dalam

127
masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba
menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal biayanya.
Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan pesta
demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode 2004 -
2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di berbagai
daerah di wilayah nusantara ini.
Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua
tahun masa pemerintahan SBY. Sedikit demi sedikit dana subsidi MIGAS ditarik
oleh pemerintah mulai dari Bensin, Solar kemudian Minyak Tanah yang selama
ini membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang
pada mekanisme pasar. Interaksi ekonomi domestiknya berwawasan internasional
dan mengikuti sistem ekonomi internasional. Secara ekonomi memang
menunjukkan kondisi membaik, namun rakyat Indonesia masih banyak yang
miskin, pengangguran belum bisa diatasi pemerintah, nilai rupiah masih sekitar
9.000-an per 1 US$, kemampuan daya beli masyarakat Indonesia masih rendah,
korupsi masih tinggi tercatat Indonesia termasuk dalam peringkat kelima negara
terkorup di dunia (TEMPO, 20 Oktober 2004), dan sebagainya.
Secara politis, kondisi Indonesia memasuki periode Orde Reformasi
semakin membaik. Demokrasi bisa berjalan baik, seluruh rakyat Indonesia
mendapatkan haknya untuk memilih dan dipilih dengan bebas tanpa tekanan dari
siapapun serta dijamin keamanannya di masa reformasi ini. Partai politik tumbuh
subur, tercatat sebanyak 42 partai politik peserta pemilu tahun 2004, yang
kemudian bertambah lagi dari tahun ke tahun. Setiap warga negara bebas
berbicara dan menyampaikan pendapatnya baik melalui media massa maupun aksi
– aksi demonstrasi dengan dibingkai aturan hukum yang berlaku. Semua itu tidak
didapat di rezim Orde Baru. Proses otonomi daerah (desentralisasi kekuasaan)
sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, sudah dilaksanakan dengan proses pemilihan kepala daerah
melalui PILKADA, praktek nepotisme sedikit demi sedikit berkurang sehingga
aktor ekonominya berusaha secara kompetitif. Jadi periode Orde Reformasi lebih

128
kuat transaksi informasi alokasi sumber daya diserahkan pada pasar, aktor
ekonominya kompetitif (berusaha menghapuskan nepotisme), desentralisasi,
internasionalis, melalui insentif ekonomi dan kepemilikan individu dijamin,
sehingga bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “ Dirigisme/
hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.
 
KESIMPULAN
Dari hasil analisis di BAB II., dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
Periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya,
sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti
prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub
“Dirigisme/hegemoni”.
Periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto lebih kuat peran
pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya nepotisme/non kompetitif,
sentralisasi, nasionalismenya, komando dan kepemilikan kolektif bisa
disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati
kutub “Dirigisme/hegemoni”.
Periode Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber
daya diserahkan pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha
menghapuskan nepotisme), desentralisasi, internasionalis, melalui insentif
ekonomi dan kepemilikan individu dijamin bisa disimpulkan berarti prosesnya
menjauhi kutub “ Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.
Pemerintahan Soekarno bermaksud untuk membangun Indonesia secara
mandiri namun tidak didukung kualitas SDM yang tangguh. Jadi seharusnya
investasi yang dilakukan Orde Lama lebih banyak investasi SDM dan investasi
pada sarana / prasarana penunjang ekonomi. Soekarno termasuk agak terburu –
buru menasionalisasikan perusahaan – perusahaan asing tanpa disertai kesiapan
sarana dan prasarana penunjang aktifitas ekonomi baik di dalam negeri yang
dikuasai Cina maupun di luar negeri yang dikuasai Belanda, Inggris dan Amerika.
Pandangannya untuk mandiri dalam membangun sudah baik namun proses
pembangunan yang mandiri tersebut tidak berjalan dengan baik.

129
Pemerintahan Soeharto yang berjalan lebih dari tiga puluh tahun membuat
Negara Indonesia semakin miskin. Soeharto hanya membangun ekonomi di
tingkat permukaan saja tidak sampai di tingkat akar. Soeharto hanya
mementingkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan hasil
pembangunan dan mengendalikan inflasi tanpa memperhatikan kemampuan daya
beli rakyat Indonesia. Soeharto bisa dibilang tidak membangun meskipun dikenal
sebagai ”Bapak Pembangunan” karena proses pembangunan yang terjadi lebih
banyak dibantu dari harga minyak bumi yang tinggi. Migas merupakan salah satu
sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja negara. Di akhir masa
jabatannya, Soeharto hanya membuat hutang Indonesia semakin besar. Negara
Indonesia semakin miskin sehingga masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga
namun Soeharto dan kroni – kroninya semakin kaya dan makmur.
Di masa reformasi inilah harapan bergantung, meskipun masih banyak
kekurangan demi kekurangan terjadi, namun proses demokrasi sudah berjalan
dengan baik. Yang masih menjadi penghambat proses reformasi adalah sisa – sisa
kekuatan Orde Baru yang masih memiliki pengaruh baik dalam proses politik
maupun dalam bidang ekonomi. Mereka hanya berubah bajunya saja namun
gerakan maupun pemikiran – pemikirannya masih sama baik dari kaum borjuis,
militer maupun dari kalangan birokrasinya. Salah satu solusi agar proses
reformasi di Indonesia berjalan dengan baik adalah mengurangi peran sisa – sisa
kekuatan Orde Baru baik di bidang ekonomi maupun politik dengan tidak
mengabaikan hak – hak politik mereka. Hal ini bisa terjadi jika Presiden Indonesia
atau para Kepala Daerah adalah seorang ”reformis sungguhan” bukan ”reformis
gadungan”. Semua pimpinan sekarang dipilih melalui proses demokrasi, artinya
alam demokrasi telah dibuka lebar – lebar sehingga pemegang kekuasaan adalah
rakyat Indonesia. Mendidik rakyat Indonesia menjadi rakyat yang cerdas
berpolitik dan menguasai perekonomian adalah bagian solusi agar proses
reformasi berjalan di relnya.

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan, Studi tentang Indonesia dan
Korea Selatan. Indonesia: Yayasan Padi dan Kapas.

130
Effendi Siregar, Amir. 1991. Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Yogyakarta: PT.
TIARA WACANA YOGYA.
 Mas’oed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan.
Rachbini, Didik J. 2004. Ekonomi Politik, Kebijakan dan Strategi Pembangunan.
 Suryono, Agus. 2006. Ekonomi Politik Pembangunan Dalam Perspektif Teori
Ilmu Sosial.. Jawa Timur: Universitas Negeri Malang.
 
TEMPO Interaktif, Rabu, 20 Oktober 2004 | 19:00 WIB. Negara Terkorup
Kelima. Jakarta.

131
BAB 13
PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh : Muhammad Husni Thamrin

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini saudara diharapkan dapat:
1. menjelaskan pengertian korupsi versi Transparency International dan
Menko Wasbang tanggal 15 Juni 1999.
2. mengidentifikasi praktek-praktek korupsi.
3. menjelaskan latar belakang diterapkannya politik Benteng dan mengapa
politik ini malah melahirkan praktek KKN.
4. merangkum secara garis besar praktek korupsi pada masa VOC, Tanam
Paksa, Orde Lama dan Orde Baru.

Pengantar
Rezim Orde Baru Soeharto, dan diteruskan oleh Habibie, telah
meninggalkan banyak persoalan pelik bagi rezim Gus Dur-Megawati. Persoalan-
persoalan tersebut bukan hanya persoalan krisis ekonomi, disintegrasi, kerusuhan
(persoalan SARA), hak asasi manusia (HAM), ataupun utang luar negeri yang
semakin menumpuk, namun juga persoalan pemberantasan dan pembersihan
KKN yang merupakan “dosa warisan” Orde Baru.
Soeharto dipercaya meninggalkan banyak persoalan KKN, yang juga
melibatkan diri dan keluarganya. Bahkan isu KKN merupakan salah satu isu yang
diusung oleh para mahasiswa, saat melancarkan aksi reformasi yang
menggulingkan Soeharto.
Namun yang menjadi persoalan kini adalah lambannya proses
penyelesaian persoalan KKN tersebut. Bahkan terkesan Kejaksaan Agung ogah-
ogahan dalam menuntaskan kasus-kasus KKN yang melibatkan Soeharto dan para
kroninya. Kasus-kasus besar yang masuk ke Kejaksaan Agung, seperti kasus
KKN Soeharto dan Keluarganya, kasus Bank Bali, Kasus Andi Ghalib, kasus
Texmaco, kasus BLBI, kasus Goro, dan sebagainya, belum ada yang tuntas
digarap oleh Kejaksaan Agung.
Ada satu pertanyaan yang agaknya layak untuk dilontarkan; apa susahnya
menyeret seorang mantan presiden yang bernama Soeharto, yang dipercaya oleh

132
banyak orang sebagai dalang utama korupsi di masa Orde Baru? Lagi-lagi
jawabannya akan terbentur pada azas hukum dan praduga tak bersalah. Akan
tetapi patutkah kita menyandarkan penegakan keadilan pada sistem hukum yang
dijalankan oleh aparat hukum yang masih merupakan bagian dari masa lalu?
Jangan-jangan benar apa yang pernah diucapkan oleh mantan wakil presiden M.
Hatta, bahwa korupsi di Indonesia sudah begitu berurat berakar dan telah menjadi
suatu budaya yang amat susah untuk dihilangkan.
Jika demikian logikanya maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh
adalah perombakan total terhadap sistem politik dan ekonomi yang ada. Karena
toh upaya pemberantasan korupsi yang pernah dilakukan sejak masa VOC, Hindia
Belanda, ataupun Orde Baru, dengan meningkatkan gaji para pegawai negeri,
telah gagal. Persoalan korupsi agaknya sudah harus dilihat dalam kerangka sistem.
Korupsi merupakan hasil atau ekses yang timbul dari suatu sistem ekonomi dan
politik yang dijalankan oleh mesin pemerintahan modern.
Definisi Korupsi
Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan
Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan
pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham
pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional.
Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal.
Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara
kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan
jabatannya. Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di
negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada
permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan
pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat
sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya
oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai
penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri
mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan
diperuntukkan bagi rakyat.

133
Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang
ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradisional
raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara
raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja
menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau
kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Perbuatan
tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada di tangan raja
bukan berasal dari rakyat dan rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja
memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan
pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting,
sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan
uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.
Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah
ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern
dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat
negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefinisikan sebagai suatu tindak
penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani
kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi
praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah
masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah
untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang
konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif.
Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras
pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai
sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang
resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak
korupsi.
Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh
pemerintah Indonesia baru-baru ini. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh

134
Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal
15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme
antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan
istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai
pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/
BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat
terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:
1 Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama
pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
2 Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari
ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara
eksklusif.
3 Penetapan harga penjualan atau ruislag.

Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi


sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu
kulminasi dari proses yang sistematik dari parktek-praktek kolusi yang terjadi
diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik
dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat
pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik
untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara
elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya
sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.

Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi


antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan
umum dengan perkembangan dan intervensi kepentingan pasar. Di satu sisi,
dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan
demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum.
Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepentingan terhadap
birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi
modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol
pasar dan jalur distribusi. Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para
pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah

135
yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara
kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari
korupsi.

Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan


ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh
keuntungan untuk membiayai kepentingan-kepentingan politik yang akan mereka
raih.

Lantas bagaimana korupsi itu dipraktekkan? Menurut Onghokham ada dua


dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas,
dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai
uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara
misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan
bantuan luar negeri.

Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan
menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat
atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap
menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai
contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk
(KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan
pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh
kendaraan bisnis, dan lain sebagainya. Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang
Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat
terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam
soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-
pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu
gerbang tol.

Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia


Di tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie) diplesetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, runtuh lantaran
korupsi. Catatan sejarah memang menunjukkan bahwa pada paruh kedua abad 18

136
VOC digerogoti oleh korupsi yang akut. Pada tanggal 12 Desember 1642
Gubernur Jendral Antonio Van Diemen bahkan menyurati Heeren XVII tentang
parahnya korupsi yang terjadi di tubuh VOC. Berbagai upaya untuk memberantas
korupsi di dalam tubuh asosiasi dagang ini tak berhasil. Sehingga tak jarang
dikatakan bahwa korupsi saat itu sudah menjadi suatu kenyataan hidup.

Pasal utama penyebab korupsi ini adalah kecilnya gaji yang diterima oleh
para pegawai VOC. Sementara gaji pegawai rendahan VOC, yang hanya berkisar
antara 16 gulden hingga 24 gulden per bulan, tak sesuai dengan gaya hidup di
Batavia pada saat itu. Para pegawai setingkat juru tulis rata-rata menerima gaji 24
Gulden setiap bulan, sementara seorang Gubernur Jendral menerima 600 hingga
700 Gulden setiap bulan. Para pejabat VOC, mulai dari Gubernur Jendral hingga
juru tulis, banyak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan
dalam banyak kasus ditemukan jabatan-jabatan khusus yang berhubungan dengan
perdagangan diperjualbelikan dan diberikan kepada orang yang memberikan
penawaran tertinggi.

Sudah barang tentu sebagai sebuah perusahaan dagang VOC melarang


para pegawainya terlibat dalam perdagangan. Akan tetapi dengan alasan gaji yang
kecil, pada saat itu tidaklah heran jika dijumpai para pejabat VOC yang
melakukan kerjasama dagang dengan para pedagang Portugis, India, atau
Perancis. Bahkan praktek tersebut mungkin dikerjakan sebagai prioritas
ketimbang kerja untuk VOC sendiri. Tak jarang merea memanfaatkan kapal VOC
untuk mengangkut barang yang bukan diperuntukkan bagi VOC sendiri. Dalam
sebuah laporan yang diterbitkan di London pada tahun 1743, “A Description of
Holland, or the Present State of the United Provinces,” dilaporkan banyak
kapal VOC yang karam akibat kelebihan muatan.

Persoalan korupsi ini tidak berarti tuntas tatkala VOC digantikan oleh
pemerintahan Hindia Belanda. Sistem birokrasi Hindia Belanda yang mengenal
dua sistem, Bestuurs Beambten (BB) dan Pangreh Praja, memicu tindakan korupsi
dalam bentuk yang lain.

Pada masa Tanam Paksa, 1830-1870, penduduk pribumi diwajibkan untuk

137
menanam beberapa jenis tanaman yang laku di pasar-pasar Eropa. Menurut
peraturan petani diharuskan untuk menanami 1/3 bagian dari tanahnya bagi
tanaman wajib tersebut. Umumnya tanaman tersebut berusia tahunan seperti kopi,
teh, atau nila. Berdasarkan peraturan harus mengubah 1/3 bagian dari sawah-
sawah produktif mereka guna tanaman tersebut dan meluangkan 1/3 waktu
mereka untuk mengawasi tanaman tersebut.

Akan tetapi dalam prakteknya kepala desa, demang, wedana, atau bupati
yang bertanggung jawab atas tanam paksa tersebut justru memaksa para petani
untuk menanami 2/3 bagian dari tanahnya untuk tanaman wajib. Keuntungan yang
didapat sudah barang tentu masuk dalam kantung pribadi para pejabat tersebut.
Sementara itu residen-resinden dan pengawas (controluer) Hindia Belanda
mendiamkan saja praktek tersebut karena mendapat bagian yang tidak sedikit.
Taklah heran bila pada masa Tanam Paksa wabah penyakit dan kelaparan melanda
penduduk pedesaan, terutama di Pulau Jawa, karena di dalam prakteknya mereka
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengawasi tanaman tahunan yang
diwajibkan dan tak memiliki waktu lagi untuk sawah-sawah mereka. Belum lagi
1/3 bagian yang dapat mereka tanami untuk padi, tak mencukupi kebutuhan
keluarga mereka dalam setahun.

Situasi tersebut tidak berubah banyak meskipun sistem Tanam Paksa


dihapuskan pada tahun 1870 dan diganti oleh sistem perekonomian liberal,
dimana perusahaan-perusahaan swasta diizinkan untuk membuka perkebunan-
perkebunan dalam skala besar. Perubahan ini juga menandai diterapkannya sistem
kerja upahan.

Modal asing semakin deras masuk ke Hindia Belanda, yang bukannya


memberikan kebaikan, tetapi justru semakin memperburuk kondisi kehidupan
masyarakat. Para pemilik modal, selain bisa memiliki tanah, juga dapat menyewa
dari penduduk setempat atau pemerintah. Sawah-sawah desa yang bersifat
komunal mulai banyak disewakan para kepala desa dimana mereka mendapat
premi tertentu, sementara peduduknya menjadi kuli secara massal. Petani telah
menjadi budak di lahannya sendiri.

138
Meskipun industri Gula semakin berkembang, kehidupan kaum buruh dan
tani yang menggerakkan produksi tebu dan pabrik gula kian lama kian terpuruk.
Kehidupan kaum buruh dan petani yang buruk itu tak ada satupun mendapat
pembelaan dari aparat birokrasi pemerintah, yang seharusnya memeberikan
perlindungan. Para kepala desa sudah sepenuhnya menjadi alat perusahaan
perkebunan tebu dengan berbagai suap yang mereka terima. Pemberontakan-
pemberontakan kecil petani tebu mulai muncul, dengan membakar area
perkebunan tebu.

Di sisi yang lain persoalan klasik yang ada pada masa-masa sebelumnya
tetap dijumpai. Gaji yang diterima oleh para pangreh praja, terutama pangreh
praja rendahan seperti wedana, camat-camat dan mantri, tetaplah kecil.
Keuntungan besar yang didapat pemerintah Hindia Belanda dari sewa-menyewa
lahan perkebunan dan pajak yang mereka peroleh dari pengusaha-pengusaha
perkebunan tak digunakan untuk mensejahterakan aparat birokrasi pada level
menengah ke bawah. Sementara sebagai bagian dari pemerintahan Hindia Belanda
dan sistem birokrasi tradisional, para pangreh praja ini harus memelihara gaya
hidup sebagai priyayi. Diduga mereka menerima segala macam upeti dari rakyat
untuk membiayai hidup mereka. Para patih dan bupati, meskipun gaji yang
mereka terima lebih tinggi, juga banyak menerima upeti yang tidak resmi dari
rakyat. Selain itu mereka pun masih memelihara kewajiban kerja bakti bagi para
kawula yang berada dibawah kekuasaan mereka. Kewajiban-kewajiban tidak
resmi ini baru dihapuskan sama sekali oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1890. Peristiwa antara Bupati Lebak dan Multatuli mungkin salah satu contoh
yang menarik tentang penindasan dan tindak korupsi yang dilakukan oleh pangreh
praja Hindia Belanda.

Dengan diperluasnya pemungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan


hasilnya, pejabat pribumi setingkat kepala desa dan pembantunya memanfaatkan
kesempatan dari peluang baru tersebut untuk mengambil keuntungan yang besar.
Di Jawa, Bekel (petugas pemungut pajak) menaikkan 20 kali lipat apa yang
mereka bayar kepada atasan mereka.

Dalam catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya


139
sebagai masa merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang
memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan
manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon.
Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala
tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan diambil
bijinya sebagai alat penerangan. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau
pakaian pada saat itu. Namun kesulitan tersebut “agak tertolong” jika ada yang
mau berkolaborasi dengan pemerintah pendudukan Jepang. Jika ada yang mau
menjadi corong kampanye Jepang, salah satunya adalah kampanye gerakan tiga
A, maka kesulitan untuk mendapat pakaian atau bahan makanan sedikit teratasi.

Selepas revolusi kemerdekaan tahun 1945-1949, negara Indonesia yang


baru lahir lebih banyak disibukkan dengan persoalan penataan sistem politik.
Persoalan ekonomi menjadi nomor dua. Melalui kesepakatan yang diperoleh pada
Perjanjian Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 secara resmi kemerdekaan
Indonesia diakui oleh Belanda, kendati sebagian besar sektor perekonomian masih
dikuasai oleh Belanda.

Pada tahun 1951 desakan untuk melakukan nasionalisasi terhadap


perusahaan-perusahaan Belanda, dan perusahaan Barat lainnya, semakin kuat.
Akhirnya di tahun 1958 ini pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 86/1958
tentang kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi
di Indonesia, terutama pada sektor perkebunan, minyak dan gas bumi, serta
pertambangan. Undang-undang tersebut berlaku surut hingga Desember 1957, dan
pada prakteknya bukan hanya diterapkan pada perusahaan-perusahaan Belanda
saja, namun juga pada perusahaan-perusahaan Barat lainnya.

Sebelum adanya undang-undang nasionalisasi tersebut, dengan alasan


untuk memberikan proteksi kepada pengusaha-pengusaha pribumi, pemerintah
Indonesia menerapkan suatu kebijakan yang diberi nama Politik Benteng.
Berdasarkan kebijakan ini pengusaha-pengusaha pribumi diberikan bantuan kredit
dan fasilitas, salah satunya adalah lisensi untuk mengimpor barang. Laba yang
diperoleh oleh para pengusaha pribumi tersebut, dari penjualan barang impor di
dalam negeri, diharapkan dapat menjadi modal untuk melakukan ekspansi usaha.

140
Namun pada akhirnya Politik Benteng ini tidak melahirkan pengusaha
pribumi yang tangguh. Yang muncul justru praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme
(KKN). Pengusaha-pengusaha yang mendapatkan lisensi tersebut hanyalah
pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan
politik yang dominan. Pengusaha-pengusaha pribumi “dadakan” tersebut sama
sekali tidak memiliki bekal kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka
hanya “menyewakan” lisensi yang mereka punyai tersebut kepada pengusaha-
pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan Cina.
Praktek kongkalingkong ini lah yang melahirkan istilah Ali-Baba. Si Ali yang
memiliki lisensi dan di Baba yang memiliki uang untuk modal kerja lisensi
tersebut.

Upaya untuk melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, dan


Barat lainnya, justru melahirkan persoalan baru. Sebelum UU tersebut
diberlakukan pada tahun 1958, pihak militer, terutama Angkatan Darat (AD),
telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Pada tanggal 13 Desember 1957 Mayor Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat
itu) mengeluarkan larangan pengambilalihan perusahaan Belanda tanpa
sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-perusahaan yang diambil
alih tersebut dibawah pengawasan militer.

Dapat dikatakan hingga tahun 1958 perusahaan-perusahaan yang diambil


alih tersebut berada sepenuhnya dibawah pengawasan militer. Merekalah yang
pada akhirnya memiliki wewenang untuk memberikan hak pengelolaan kepada
pihak lain. Praktek ini lagi-lagi menimbulkan bentuk KKN baru dan praktek Ali-
Baba, karena pengusaha-pengusaha swasta yang mendapatkan hak pengelolaan
tersebut adalah pengusaha-pengusaha yang telah lama dekat dengan pihak militer.

Demokrasi terpimpin yang kemudian dijalankan oleh Soekarno pun gagal


untuk mengatasi disintegrasi administrasi kenegaraan. Perekonomian tetap
tergantung pada birokrasi partai-partai politik dan militer. Aparat negara tak
bekerja dengan baik dan korupsi semakin merajalela. Jaringan komunikasi dan
transportasi tak berjalan dengan baik, dan upaya pemerintah untuk mendapat
pemasukan dari pajak tak berhasil.

141
Akan tetapi unsur militer, terutama angkatan darat, mampu untuk bertahan
dan menghidupi diri mereka sendiri melalui sumber-sumber perekonomian yang
mereka kuasai. Namun banyak pula sumber perekonomian tersebut menjadi
sarang praktek kolusi dan korupsi serta menguntungkan beberapa gelintir petinggi
militer. Hal ini banyak melahirkan ketidakpuasan di kalangan militer, terutama
kelompok perwira muda yang lebih berorientasi nasional.
Gerakan 30 September 1965 yang sering didengungkan oleh rezim
Soeharto sebagai upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI) sebenarnya lebih merupakan suatu gerakan pembersihan yang coba
dilakukan oleh kelompok perwira muda terhadap beberapa petinggi militer, yang
mereka cap lebih dekat dengan Barat dan banyak melakukan penyimpangan.

Rezim Orde Baru yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965
percaya bahwa persoalan-persoalan yang muncul di masa Orde Lama dapat
diselesaikan dengan melakukan “pembangunan” terutama di sektor ekonomi. Oleh
karenanya Soeharto mulai melirik dan mengundang kembali investasi asing, yang
tidak menyukai Orde Lama. Oleh karenanya pertumbuhan ekonomilah yang
menjadi target utama rezim Orde Baru. Persoalan kebocoran atau korupsi menjadi
persoalan nomor dua. Bagi rezim Orde Baru yang terpenting adalah kemajuan dan
pertumbuhan ekonomi serta tetap melakukan kontrol terhadap kekuasaan politik,
sehingga mereka dapat menjalankan program pembangunan tersebut.

Pemerintahan Orde Baru dimasa Soeharto diwarnai oleh tiga fenomena


yang menarik. Pertama, adalah kerjasama antara pimpinan militer dengan
bisnisman keturunan Cina. Kedua, adalah kompetisi antara pengusaha pribumi
dengan pengusaha keturunan Cina. Ketiga, adalah pengaruh perusahaan-
perusahaan negara yang dikontrol oleh militer melawan tehnokrat yang
mendukung liberalisasi dan intervensi Barat.

Dalam upaya mereka untuk menumbuhkan “kesejahteraan,” para penguasa


militer banyak bekerjasama dengan pengusaha keturunan Cina (yang dikenal
dengan sebutan Cukong), salah satunya adalah Liem Sioe Liong, pengusaha yang
sudah memiliki hubungan dengan Soeharto sejak ia menjadi Panglima Divisi
Diponegoro. Beberapa jendral juga memiliki perusahaan pribadi yang pada

142
umumnya menjadi “topeng” dari perusahaan yang didukung oleh pengusaha-
pengusaha keturunan Cina.

Perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan birokrasi administrasi menjadi


tergantung pada persetujuan yang didapat dari petinggi tentara. Militer memegang
peran yang penting dalam urusan pemberian lisensi kontrak, keputusan tentang
proyek, dan sebagainya.

Kekuatan absolut militer di masa awal Orde Baru berkuasa didukung oleh
sumber perekonomian yang mereka peroleh dari naiknya harga minyak dan
perusahaan-perusahaan milik negara, serta kerjasama mereka dengan pelaku
bisnis keturunan Cina. Meskipun pada tahun 1966 Indonesia telah membuka diri
seluas mungkin bagi penanaman modal asing, namun hasil minyak yang
melimpah pada awal 1970-an membuat Orde Baru memiliki modal yang cukup
untuk membiayai pembangunan dan program-program politiknya.

Akan tetapi kekuasaan absolut ini meminta konsekuensi kontrol politik


yang ketat dari negara, termasuk pelarangan aktivitas partai politik hingga tingkat
pedesaan dan kontrol terhadap partai politik. Pada sisi lain Golkar memainkan
peran yang efektif dengan mengalokasikan sumber-sumber yang dimiliki oleh
pemerintah kepada kelompok strategis perkotaan (seperti pegawai negeri dan
kelas menengah profesional) dan para pemilik tanah di pedesaan. Subsidi tersebut
diperoleh dari pendapatan minyak bumi yang meningkat pada awal tahun 1970-
an. Kebijakan ekonomi semacam itu sudah barang tentu didukung oleh
pemerintah (yang memang berkepentingan), tehnokrat, dan organisasi keuangan
internasional seperti Bank Dunia, IMF, atau ADB, serta bantuan-bantuan asing
bilateral yang berasal dari Jepang, Eropa Barat, dan Amerika Serikat.

Dapat dikatakan Pertamina adalah mesin utama pendukung kekuasaan


Soeharto dan Orde Baru. Namun Pertamina juga menjadi sarang korupsi,
patronase, dan penyedotan sumber dana yang membuat Pertamina ambruk pada
tahun 1975-1976. Dibawah pimpinan Ibnu Sutowo operasi Pertamina tertutup
bagi publik dan laporan tahunan keuangan Pertamina tidak pernah diumumkan.

Kepentingan Soeharto dan tentara sangat besar terhadap Pertamina .


143
Seperti apa yang dikatakan oleh Richard Robison bahwa Pertamina menjadi
semacam saluran dimana pemerintah memperoleh pendapatan untuk membiayai
ongkos-ongkos politiknya. Dipertengahan tahun 1970an setengah dari pendapatan
negara berasal dari Pertamina. Pendapatan ini meningkat pada permulaan 1980-an
menjadi 2/3.

Tatkala Pertamina bangkrut pada tahun 1975-1976, ditemukan utang tidak


kurang dari USD 10 milliar. Dalam persidangan yang dilakukan terhadap asisten
pribadi Ibnu Sutowo, ditemukan bahwa ia adalah bagian dari jaringan keuangan
yang besar yang meliputi Ibnu Sutowo, Liem Sioe Liong, Ibu Tien, Soeharto, dan
keluarganya.

Keruntuhan Pertamina juga membuat Soeharto harus berkompromi


terhadap tehnokrat yang mendukung Barat dan lembaga keuangan internasional
yang selama ini mengkritik Pertamina sebagai pusat keuangan Orde Baru.

Pada bulan Januari 1970 beberapa organisasi mahasiswa Indonesia turun


ke jalan-jalan untuk memprotes korupsi yang terjadi di dalam tubuh
pemerintahan. Presiden Soeharto pada saat itu segera mengumumkan
pembentukan Komisi IV, dimana mantan wakil presiden M. Hatta ditunjuk
sebagai penasehat presiden untuk tersebut. Di dalam pidato tahunan di Hari
Kemerdekaan presiden meninjau rekomendasi yang diberikan oleh Komisi dan
dengan tegas menyatakan bahwa “tidak ada keragu-raguan lagi. Saya sendiri akan
memimpin perjuangan melawan korupsi.”

Akan tetapi, meskipun mendapat jaminan untuk diberantas oleh Soeharto


sendiri, toh praktek korupsi tetap berlangsung dan semakin parah. Pada saat itu
mantan wakil presiden M. Hatta sempat berujar bahwa praktek korupsi sudah
menjadi budaya masyarakat dan susah untuk dihilangkan. Praktek korupsi, kolusi
dan nepotisme bukan hanya terjadi di kalangan pejabat militer dan aparat birokrasi
Orde Baru, namun juga telah menjalar pada keluarga Soeharto sendiri.
Dipertengahan tahun 1970-an dikenal istilah “Madame Ten Percent.” Istilah ini
muncul karena setiap ijin investasi baru harus mendapat restu dari istri Soeharto,
Ny. Tien Soeharto, yang biasanya meminta imbalan saham 10-15%. Ny. Tien

144
Soeharto pula yang pada saat itu memiliki ide untuk membangun proyek mercu
suar Taman Mini Indonesia Indah, dengan memakai dana negara dan
menempatkannya sebagai asset keluarga Soeharto.

Meskipun dalam sistem politik yang diterapkan oleh Indonesia mengenal


lembaga kontrol pemerintahan, seperti DPR, BPK, ataupun Kejaksaan Agung dan
Badan Penertiban Aparatur Negara, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut tidak
berfungsi sebagai mana mestinya. Perangkat hukum yang dibuat untuk melakukan
pemberantasan korupsi, UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, tidak berfungsi seperti yang diharapkan.

Di tahun 1990 Jendral M. Yusuf sebagai Ketua BPK telah menyerahkan


hasil pemeriksaan tahunan yang dilakukan BPK atas APBN 1988/1989 kepada
ketua DPR. Dalam acara tersebut M. Yusuf mengatakan bahwa lembaga yang
dipimpinnya menemukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam pemakaian dana-dana pembangunan. Diantaranya ditemukan
penyertaan modal pemerintah dalam BUMN yang tidak jelas statusnya.
Dilaporkan pula penemuan penanganan kredit macet yang tidak didasarkan atas
ketentuanketentuan yang berlaku. Berbagai proyek pemerintah di daerah yang
tidak efektif dan efisien juga ditemukan. Juga ditemukan instansi-instansi yang
melakukan pengeluaran yang tidak pada tempatnya, misalnya melakukan
pembelian barang untuk waktu lama. Sayangnya laporan BPK ini tidak disiarkan
seluruh isinya dari tahun ke tahun untuk diketahui masyarakat.

Praktek korupsi ini terus tumbuh subur selama Orde Baru. Ditemukannya
sumber penghasil devisa yang baru pada awal tahun 1980-an dari sektor
kehutanan, menjadi ajag penjarahan baru bagi Soeharto dan kroni-kroninya.
Setelah runtuhnya masa kejayaan “Oil Boom,” pada akhir tahun 1970-an, maka
hutanlah yang menjadi primadona pensuplai kocek keuangan Orde Baru. Diawal
tahun 1980-an kita mengenal istilah “Green Gold” atau emas hijau. Hasil hutan
yang dieksport oleh Indonesia menjadi penghasil devisa nomor dua setelah
minyak dan gas bumi.

Berdasarkan catatan yang dilakukan oleh peneliti asal Amerika Serikat,

145
David W. Brown, hingga akhir tahun 1995, luas HPH yang ada di Indonesia
berjumlah 62 juta hektar. David W. Brown yang melakukan penelitian tentang
hutan tropis di Indonesia juga mencatat bahwa ada lima perusahaan besar
pemegang konsesi HPH, yaitu Barito Pasific, Djajanti, Alas Kusuma, Kayu Lapis
Indonesia (KLI), dan Bob Hasan group. Kelima pengelola HPH tersebut
mengontrol area seluas 18 juta hektare. Luas tersebut berarti merupakan 30 persen
dari luas seluruh HPH yang ada yang dikelola oleh sekitar 585 perusahaan
pemegang konsesi hutan.

Berdasarkan laporan penelitian tersebut, ternyata di antara lima perusahaan


HPH swasta terbesar, dua diantaranya menyerahkan sebagian saham dan
pengelolaan pada keluarga Soeharto. Kedua perusahaan tersebut adalah Kelompok
Barito Pasific dan Kelompok Bob Hasan. Dengan praktek semacam itu diduga
kedua kelompok besar ini telah menyumbang miliaran dollar ke dalam kocek
keluarga Soeharto.

Salah satu contoh kedekatan Soeharto dengan pengusaha-pengusaha


swasta tersebut dapat dicontohkan oleh kasus Prajogo Pangestu. Hubungan antara
Barito Pasific dengan mantan presiden Soeharto dimulai pada tahun 1980-an, saat
Barito membeli hak atas 35 konsesi kayu yang dimiliki oleh perusahaan lain. Hal
ini dapat terjadi karena campur tangan Soeharto. Barito Pasific bahkan
mendapatkan kemudahan pinjaman dari tiga bank milik pemerintah, yaitu Bank
Bumi Daya, Bapindo, dan Bank Dagang Negara. Pada tahun 1991 Barito Pasific
mendapat subsidi dari perusahaan hutan milik negara, Inhutani II, sebesar US$ 45
juta dan pinjaman dari Bank Bumi Daya sebesar US$ 550 juta.

Berdasarkan laporan joint committee antara Bank Indonesia dengan


Menteri Keuangan pada tahun 1994, Barito Pasific adalah perusahaan swasta yang
memiliki utang terbesar di bank-bank pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut
jumlah utang Barito Pasific kepada bank pemerintah adalah Rp 3,8 trilliun.
Rangking ini turun pada tahun 1999 ke posisi nomor tiga di belakang dua anak
laki-laki Soeharto. Namun David Brown percaya bahwa berdasarkan data yang
ada di Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA), Barito Pasific adalah
konglomerat keenam yang memiliki utang besar pada bank-bank milik negara.
146
Selain mendapat kemudahan pinjaman dari bank-bank milik negara,
konsesi-konsesi yang dimiliki oleh Barito memang telah memberikan peghasilan
yang melimpah bagi Parjogo Pangestu. Dari penghasilan tersebut Prajogo mampu
menghidupkan dan membesarkan bisnisnya, serta membiayai hubungan-
hubungannya dengan Soeharo.

Pada tahun 1991 Barito telah mengeluarkan uang sebesar US$ 220 juta
untuk mem-bail out Bank Duta. Bank Ini merupakan milik Nusamba, yang
merupakan sebuah holding dengan 80 persen saham dimiliki oleh tiga yayasan
terbesar mantan Presiden Soeharto. Konglomerat yang lain Salim Group, yang
juga merupakan pemegang konsesi hutan terbesar ke enambelas, ikut membantu
Barito Pasific mem-bail out Bank Duta.

Barito Pasific juga memberikan dukungan, melalui Barito Pasific Delta


Mustika, saat Soeharto memerintahkannya untuk mem-bail out Astra, yang saat
itu terkena ancaman bangkrut akibat kegagalan proyek bank pedesaan antara Bank
Summa dengan Nahdlatul Ulama.

Keuntungan yang diperoleh Barito Pasific dari konsesi kayu juga


dipergunakan untuk membangun kerjasama bisnis dengan dua orang anak
Soeharto. Pabrik pulp milik Barito Pasific, PT. Tanjung Enim Lestari, yang
bernilai sekitar US$ 1.1 milliar, telah memberikan sekitar 15% saham kepada
anak perempuan Soeharto, yang juga mantan Menteri Sosial, Siti Hardijanti
Rukmana., alias Mbak Tutut. Mbak Tutut juga memiliki saham sekitar 35% pada
PT. Musi Hutan Persada, yang mengelola perkebunan penghasil kayu untuk
diolah sebagai pulp. Tutut serta Prajogo Pangestu juga memiliki perkebunan gula
yang sangat luas di Sulawesi.

Keterlibatan Barito dalam bisnis dan politik pun terbukti dalam pemilihan
umum 1999. Sebuah laporan yang dimuat di dalam majalah Far Eastern Economic
Review menyebutkan bahwa dari sekitar Rp 350 milliar yang dihabiskan oleh
Golkar pada Pemilu bulan Juni 1999, sebesar Rp 80milliar merupakan kontribusi
pemilik Barito, Prajogo Pangestu. Selain itu Prajogo juga diduga telah melakukan
transfer ke rekening milik mantan Jaksa Agung Andi Ghalib.

147
Penutup
Pada akhirnya praktek KKN tersebut jualah yang membawa Soeharto
turun dari tahtanya pada tahun 1998. Gerakan mahasiswa, yang menyuarakan
reformasi, sejak tahun 1997 merupakan akumulasi dari kekecewaan terhadap
kinerja rezim Orde Baru. Krisis ekonomi yang muncul pada tahun 1997
merupakan wujud dari kebijakan-kebijakan ekonomi Orde Baru yang sarat dengan
KKN serta ketergantungannya pada modal asing dan utang.

148
BAB 14
KAPITALISME, INDUSTRIALISASI DAN PEMBANGUNAN
DI AMERIKA LATIN: PENINJAUAN KEMBALI
PARADIGMA KETERGANTUNGAN
Oleh : Ron Ayres dan David Clark

1. Pendahuluan
Akar Teori Ketergantungan kembali pada Marx dan Lenin tetapi
pengertiannya bahwa ada kontradiksi mendasar antara pembangunan kapitalis di
pusat dan industrialisasi serta pembangunan di pinggiran (periphery) pertama kali
diuraikan secara rinci oleh Paul Baran (1957) dan kemudian diuraikan/dielaborasi
dengan Aliran Ketergantungan (Dependency School) (lihat Palma, 1978, 1994;
Larrain, 1989; Brewer, 1990; Clark, 1996).
Versi paling terkenal dan ekstrem tentang ‘teori ketergantungan’
(dependency theory) dikemukakan oleh Andre Gunder Frank pada akhir 1960an.
Frank (1967) mencoba menunjukkan bahwa pembangunan kapitalis di pinggiran,
dan Amerika Latin (LAC) khususnya, tidak mungkin Frank berpendapat bahwa
masukknya LAC ke dalam sistem kapitalis dunia (sejak era kolonial)
menimbulkan hubungan metropolis-satelit, atau struktur kekuasaan, hal tersebut
memungkinkan pendahulunya berkembang dengan mengambil alih surplus
ekonomi dari generasi berikutnya. Proses ini sulit dihindarkan untuk menuntun
pada ‘pembangunan dari negara-negara sedang berkembang’ di daerah pinggiran.
Selanjutnya, satu-satunya jalan bagi LACs dan negara-negara lain yang
ekonominya tergantung dapat melepaskan diri dengan sistem kapitalis yang ada,
Pendeknya, Frank menganjurkan tidak ada yang kurang dari revolusi untuk
pembangunan.
Ketika tesis Frank mengalami kelemahan karena sejumlah kelemahan
teoritis, beberapa sosialis mengambil isu tentang validitas empirisnya. Tokoh
paling terkemuka yaitu Bill Warren (1973; 1980). Menulis pada akhir 1970,
Warren berpendapat bahwa pada tingkat pertumbuhan statistik, bersamaan dengan
industrialisasi, telah berlangsung di LAC, bersama-sama dengan negara-negara

149
Dunia Ketiga. Untuk mendukung pendirian ini, Warren (1980) menghadirkan tiga
perangkat data. Pertama, ia menunjukkan bahwa pertumbuhan manufaktur lebih
cepat di Dunia Ketiga dibanding dengan Dunia Pertama (Negara Maju) antara
tahun 1950 dan 1970. Kedua, ia menegaskan bahwa pada waktu yang sama andil
(share) manufaktur, dalam kaitannya dengan GDP dan dalam kaitan
ketenagakerjaan, meningkat untuk beberapa negara yang kurang berkembang
(LDCs). Akhirnya, Warren memberikan bukti untuk menunjukkan bahwa
banyaknya pertumbuhan industri ini secara keseluruhan tidaklah berorientasi
kepada elit-elit yang kaya raya (seperti beberapa kritik yang telah disampaikan).
Tetapi kenyataannya, pasar konsumen yang sangat bervariasi tidak hanya
mencapai ‘ke dalam kelompok berpendapatan rendah’, tetapi terus meluas.
Pengamatan empiris Warren konsisten dengan Faham Marxis Klasik tetapi
mereka juga cocok dengan pandangan yang lebih orthodok tentang
konseptualisasi pembangunan ekonomi dan perubahan struktural. Kuznets (1973),
Chenery et al. (1986), Syrquin (1988) dan Clark (yang akan datang) semuanya
memberi ringkasan yang sangat berguna tentang fakta yang disesuaikan dari
pembangunan struktural. Jelasnya, transformasi secara khusus memiliki bentuk :
1. Pertumbuhan ekonomi, yakni., peningkatan GNP dan GNP per kapita.
2. Tingginya angka fisik dan akumulasi modal manusia.
3. Industrialisasi.
4. Transformasi manufaktur yang ditandai dengan perpindahan dari industri
ringan menuju industri berat.
5. Transformasi perdagangan internasional yang mencakup peningkatan import
dan eksport, peningkatan spesialisasi, dan sebuah pergerakan menuju ekspor
produk industri.
6. Tingginya angka transfer teknologi, diikuti dengan R&D dan perluasan
kapabilitas teknologi asli serta bergerak menuju produksi teknologi tinggi.
7. Peningkatan yang cepat dan berkesinambungan dalam produktifitas.
Adalah penting sekali menekankan bahwa kenyataan yang disesuaikan di
atas diturunkan dari, dan dikonfirmasikan dengan, kisaran luas rangkaian waktu
dan studi silang negara-negara pada tahap pembangunan yang berbeda (tingkat
pendapatan per kapita). Studi ini menambah momentum kasus Warren.

150
Atas dasar bukti tersebut Warren layak menyimpulkan bahwa
pembangunan kapitalis autonomous berlangsung di Dunia Ketiga. Gagasan
stagnasi dan pemahaman ketidakmungkinan tersebut telah runtuh. Warren
(1973:4) berargumentasi bahwa struktur ketergantungan lama telah melemahkan
dan kelemahan ini menjadi penghalang bagi pembangunan Dunia Ketiga, hal ini
adalah internal bukan eksternal.
Tetapi, temuan dan kesimpulan ini, berlawanan dengan lingkaran Marxis.
Pada mulanya, kritik Warren mengambil permasalahan dengan metodologinya
dan teknik statistiknya. Tetapi pada akhir 1970 kritik ini semakin sulit
menghilangkan statistiknya pada dasar-dasar ini (Cf. Corbridge, 1986; Clark,
1995). Hal ini memaksa kritiknya untuk merubah taktik. Beberapa penulis Neo-
Marxis mencoba menggambarkan Warren sebagai ‘Neo Liberal, sebagian yang
lain mempertanyakan struktur dan hakekat pertumbuhan serta industrialisasi di
Dunia Ketiga. Tenteram disarankan bahwa tiap pertumbuhan industri yang
berlangsung di Dunia Ketiga hanya mengaitkan teknologi yang intensif tenaga
kerja yang sangat primitif, sederhana (ef. Corbridge, 1986). Kedua,
diargumentasikan bahwa industrialisasi seharusnya tidak bergantung pada
kekuatan sosial dan ekonomi luar/eksternal (Sutcliffe, 1972). Ketiga, kebijakan
penyamaan pertumbuhan serta industrialisasi dan pembangunan telah tertantang
(yaitu, Emmanuel, 1974). Dalam makalah klasik, Seers (1972) berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk pembangunan seluruhnya kecuali
pertumbuhan itu diikuti dengan pengurangan dalam kemiskinan absolut,
ketidaksamaan pendapatan dan pengangguran.
Makalah ini mempertimbangkan perubahan struktur dan hakekat
pembangunan industri di Dunia Ketiga, dan khususnya di Amerika Latin, selama
tahun 1980. Juga mempertimbangan tidak hanya pembukaan kembali perdebatan
antara Warren dan Aliran Ketergantungan (Dependency School), tetapi memiliki
keuntungan dapat mempertimbangkannya kepada munculnya bukti baru. Kami
memulai dengan menggunakan kembali metodologi statistik Warren sebelum
mempertimbangkan validitas empiris dari beberapa keberatan Neo-Marxis
(diringkas di atas) ditunjukkan pada pendekatannya.

151
Umumnya, dengan beberapa perkecualian, angka pertumbuhan dan
keberhasilan yang mengesankan bagi Dunia Ketiga, setelah masa perang, tidak
terulang lagi pada tahun 1980-an. Kenyataannya pengalaman 30 tahun yang lalu
menunjukkan perbedaan besar dalam periphery dan mengimplikasikan bahwa
Warren terlalu keras menekankan kasusnya. Paridgma ketergantungan
(Dependency) terus menerus tidak lebih baik terutama untuk alasan yang sama.
Akhirnya, perlu menuju ke luar pengertian dominasi eksternal dan menganalisa
pembangunan melalui sintesa struktur internal dan eksternal, mekanisme dan
proses.

2. Pertumbuhan Ekonomi
Sebelumnya perlu mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi meskipun
kenyataannya bahwa baik Frank maupun Warren akhirnya menolak pertumbuhan
ekonomi sebagai wakil bagi pembangunan. Ahli ekonomi umumnya telah dipaksa
menarik diri pada GNP per kapita sebagai suatu ukuran pembangunan, meskipun
hanya batasannya, karena masalahnya berhubungan dengan pengukuran dan
pendefinisian pembangunan.
Atas dasar Tabel 1, tidaklah sulit untuk berargumen bahwa Warren
(tulisan pada tahun 1970) terlalu optimistis. Antara tahun 1965 dan 1973 angka
pertumbuhannya sangat mengesankan khususnya di LAC dan di negara yang
ekonominya berat. Tetapi dari tahun 1973 ekonomi dunia mulai berputar dari
sebuah perhentian dan pada tahun 1991 akan ada kontraksi. Ini merupakan
refleksi besar keadaan kemiskinan secara komparatif Dunia Ketiga. Umumnya,
dari tahun 1970, dan khususnya pada tahun 1980, rata-rata angka pertumbuhan
GNP per kapita setiap tahun di Dunia Ketiga, tertinggal pertumbuhannya
dibanding yang dicapai oleh Dunia Pertama. Pendeknya, situasi ini berbalik.
Lagi pula, kritik tidak dapat menyalahkan penurunan angka pertumbuhan
per kapita Dunia Ketiga secara keseluruhan pada pertumbuhan penduduk yang
cepat atau berkelebihan. Membandingkan dekade 1970-1980 dan 1980-1990
menyatakan bahwa rata-rata angka pertumbuhan setiap tahun penduduk menurun
di semua daerah, dikutip dalam Tabel 1, dan menurut proyeksi Bank Dunia,
kecenderungan ini akan terus berlanjut (Bank Dunia, 1993: 288-289). Karena itu,

152
jika angka pertumbuhan penduduk tetap konstan, maka penurunan angka
pertumbuhan per kapita di Dunia Ketiga akan lebih menyolok. Di Amerika Latin
rata-rata angka pertumbuhan setiap tahun tidak hanya lamban, tetapi menjadi
negatif kurang selama periode pertama yang diperpanjang pada abad ini, selama
tahun 1980. Angka pertumbuhan yang ‘cepat’ dan ‘tidak terpresendenkan’ pada
abad 20 di Amerika Latin, disoroti oleh Warren (1980: 191) telah berhenti.
Kinerja pendapatan ekonomi menengah, sebagai suatu keseluruhan juga sangat
jelek pada tahun 1980-an dan penurunan berikutnya pada awal 1990-an. Tetapi
ekonomi yang berpendapatan menengah sebagai suatu kelompok tidak melunasi
hutang berat LDC. Ini sesuai dengan pandangan bahwa negara-negara terbelakang
dan ketergantungan dikaitkan dengan hutang acing (lihat bagian 7.3).

Tabel 1: Rata-rata Angka Pertumbuhan GNP Per Kapita Setiap Tahun (%)
1965- 1973- 1980-
1973 1980 1990 1989 1990 *1991
Pendapatan Ekonomi Rendah 2.5 2.6 4.0 2.9 2.9 2.1
Pendapatan Ekonomi Menengah † † 0.5 0.7 -1.0 -3.4
Hutang Berat 5.2 3.4 -0.8 -0.6 -1.0 -3.4
LAC 4.6 2.2 -0.4 -1.1 -1.4 1.7
OECD 3.8 2.1 2.3 2.7 .6 0.1
WORLD 2.8 1.3 1.2 1.6 0.5 -0.1
*
Proyeksi
† data tidak ada
Sumber: Bank Dunia (1993), Tabel A.2

Sebaliknya, Tabel 1 mengimplementasikan LDC yang termiskin telah


mengatur untuk melawan kecenderungan ini dengan mencapai angka
pertumbuhan 4% yang mengesankan antara tahun 1980 dan 1990. Tetapi, statistik
ini, menyesatkan. Sekilas pada data yang disajikan oleh Bank Dunia (1993:238)
menunjukkan bahwa lebih separo pendapatan ekonomi rendah diderita karma
angka pertumbuhan GNP per kapita kurang di antara tahun 1980 dan 1991.
Selanjutnya, dengan mengeluarkan China dan India (dengan angka pertumbuhan
7.8% dan 3.2% secara berturut-turut) mengurangi angka pertumbuhan pendapatan
ekonomi yang rendah sampai 1% selama periode itu. Tentu saja, ketika rata-rata
angka pertumbuhan setiap tahun 1% masih tinggi pada sisa performansi Dunia

153
Ketiga, ini kurang sekali dibanding pertumbuhan yang dicapai oleh bangsa-bangsa
OECD. Hal ini menyarankan gap antara Utara dan Selatan sedang meluas.
Tabel 2 (halaman berikutnya) memfokuskan pada phenomena ini dengan
merangking LAC dan sembilan belas pendapatan ekonomi tinggi, dalam istilah
GNP per kapita, selama tahun 1965-1977 dan 1980-1991. Selama dekade pertama
(1965-1977), tidak ada kemacetan menyolok antara angka pertumbuhan LAC
dengan mereka yang berpendapatan tinggi. Lebih sepertiga dari LDC (termasuk
Hongkong dan Singapura) menyebabkan angka tersebut ke dalam separoh puncak
tabel tersebut. Kenyataannya, empat negara di luar enam, tertinggi LDC. Juga,
lebih seperempat negara di setengah bagian bawah dari tabel tersebut adalah
pendapatan ekonomi tinggi. Warren (1980: 199) berargumen bahwa jenis bukti ini
menunjukkan ‘pembangunan yang tak merata’ dan ‘meneruskan polarisasi’,
bukan ‘stagnasi ekonomi’ dan ‘polarisasi yang sedang tumbuh’.
Tetapi, lagi, keadaan ini berbalik pada tahun 1980. Antara tahun 1980 dan
1991 Tabel 2 menggambarkan tidak hanya stagnasi ekonomi dan bahkan mungkin
kurang berkembang dalam sebagian besar LAC, tetapi hampir seluruhnya terjadi
polarisasi yang sempurna. Yang dikeluarkan hanya dua LAC (Peru dan Chili),
semua negara dalam separuh atas tabel tersebut adalah berpendapatan tinggi.
Dengan mengeluarkan NEtherland dan Swiss, separo bawah dari table tersebut
secara keseluruhannya didominasi oleh LAC.

154
Tabel 2: Pertumbuhan (GNP Per Kapita), LAC dan 19 Negara Tertinggi
Dalam Pendapatan Ekonominya

1965-75 1980-91
Peru 9.9 Hongkong 5.6
Jepang 7.7 Singapura 5.3
Singapura 7.5 Jepang 3.6
Hongkong 6.5 Spanyol 2.8
Spanyol 5.2 Inggris 2.6
Brazil 4.9 Finlandia 2.5
Austria 4.2 Peru 2.4
Finland 4.2 Norwegia 2.3
Perancis 4.2 Itali 2.2
Belgia 4.0 Jerman 2.2
Norwegia 3.9 Denmark 2.2
Itali 3.7 Austria 2.1
Belanda 3.7 Kanada 2.0
Kanada 3.6 Belgia 2.0
Panama 3.5 Perancis 1.8
Jerman 3.3 Amerika Serikat 1.7
Costa Rica 3.2 Swedia 1.7
Denmark 3.1 Australia 1.6
Equador 3.1 Chili 1.6
       
Australia 2.9 Belanda 1.6
Swedia 2.9 Swiss 1.6
Guatemala 2.8 Kolombia 1.2
Meksiko 2.8 Costa Rica 0.7
Argentina 2.7 Brazil 0.5
Kolombia 2.7 Rep. Dominika -0.2
Venezuela 2.7 El Savador -0.3
Inggris 2.5 Uruguay -0.4
Paraguay 2.4 Meksiko -0.5
Amerika Serikat 2.4 Honduras -0.6
Bolivia 2.3 Ekuador -0.6
Rep. Dominika 2.1 Paraguay -0.8
Swiss 2.1 Venezuela -1.3
Nikaragua 1.9 Argentina -1.5
El Savador 1.8 Guatemala -1.8
Honduras 1.5 Panama -1.8
Chili 1.0 Bolivia -2.0
Uruguay 0.8 Haiti -2.4
Haiti 0.1 Nikaragua -4.4
Sumber: Bank Dunia (1979, 1993), Tabel l

155
Pada tahun 1980 juga terlihat polarisasi pertumbuhan antara bangsa-
bangsa Amerika Latin. Misalnya, membandingkan angka pertumbuhan Peru
(2.4%), Chilli (1.6%), dan Kolombia (1.2%), dengan pertumbuhan Nikaragua
(-4.4%), Haiti (-2.4%) dan Bolivia (-2.0%). Dengan demikian, ada polarisasi
pertumbuhan baik tingkat dunia dan regional pada tahun 1980. Selanjutnya, juga
ada bukti polarisasi pada tingkat nasional (lihat bagian 6 di bawah), dan ini
bukannya tidak beralasan untuk menduga bahwa untuk kemiskinan Amerika Latin
tahun 1980 adalah dekade yang sangat berat.

3. Industrialisasi
Mengikuti metodologi Warren, kita ingin mengevaluasi bukti tentang
industrialisasi, dan khususnya manufaktur, pada tahun ini. Tabel 3 memberi
pertumbuhan tahunan nilai tambah manufaktur (MVA) oleh daerah dan dalam 22
LAC antara 1970 dan 1992. Statistik selama dekade 1970-80 mengkonfirmasikan
anggapan Warren bahwa industrialisasi berlangsung di dunia sedang berkembang,
sekalipun pengalaman negara itu sendiri sangat berbeda. Lagipula, pertumbuhan
MVA lebih tinggi dalam semua daerah-daerah berkembang, termasuk Amerika
Latin, dibanding dengan daerah-daerah dunia pertama (maju).
Akhir periode 1980 adalah sangat berbeda dari dekade sebelumnya dan
pola pertumbuhan industri lebih beragam. Pada tingkat dunia angka rata-rata
pertumbuhan MVA pada tahun 1980 turun sampai 2.0% dibanding dengan 3.1
pada tahun 1970 dan hanya Jepang dan anak benua India mencatat kinerja yang
baik. Namun demikian, tiga daerah berkembang, dan juga Eropa Timur dan
sebelumnya USSR, melebihi pertumbuhan global MVA dan tidak dilakukan
kelompok sebelumnya Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang. Sebaliknya
industrialisasi di Daerah Tropik Afrika hampir sampai pada tingkat kemacetan
dan di Amerika Latin, meskipun beberapa negara melebihi rata-rata global, ada
pertumbuhan negatif secara menyeluruh.
Pada akhir tahun 1980 dan awal dekade ini ada perbedaan titik waktu pada
pole pertumbuhan dunia pada negara yang telah berkembang dan sedang
berkembang. Tingkat pertumbuhan global dari MVA menjadi negatif (-1.7%)
pada periode 1990-92 tetapi ketika negara-negara yang telah berkembang dalam

156
resesi, dengan penurunan produksi industri, daerah-daerah yang sedang
berkembang mencapai pertumbuhan positif dari MVA. Pada tingkat regional
LAC, Daerah Tropik Afrika dan Afrika Utara dan Asia Barat mengalami angka
pertumbuhan lebih tinggi MVA dibanding pada. tahun 1980 dan pertumbuhan di
daerah lain yang sedang berkembang tetap positif. Perbaikan pada LAC sekarang
tercermin dalam data negara dengan 18 dari 22 negara mencatat pertumbuhan
MVA yang positif, perkecualian paling menyolok adalah Brazil yang terus
berjuang di bawah beban penyesuaian struktural dan reformasi ekonomi.

Tabel 3: Pertumbuhan MVA, dengan Daerah dan dalam 22 LAC, 1970-1992


Rata-rata Angka Pertumbuhan Setiap Tahun (%)

  1970-80 1980-90 1990-92


Amerika Utara 2.8 1.3 *
Jepang 3.3 3.6 -0.9
Eropa Barat 1.9 1.2 -1.5
Eropa Timur & Bekas USSR 5.6 2.7 -16.2
LAC 6.4 -1.1 2.2
Afrika Tropis 6.2 1.1 1.9
Afrika Utara & Asia Barat 5.9 4.3 4.7
India 3.4 6.1 3.3
Asia Timur & Tenggara 11.5 8.8 6.2
China * * 9.7
Total 3.1 2.0 -1.7
       
Brazil 11.8 -2.7 -2.9
Meksiko 6.5 2.3 3.0
Argentina 1.8 -4.7 10.0
Venezuela 12.4 1.3 5.8
Chili 0.1 6.3 11.2
Kolombia 6.9 3.9 1.1
Peru 5.0 -3.7 -0.1
Kuba 0.2 2.2 -6.1
Uruguay 0.5 1.5 4.2
Nikaragua -1.2 0.5 0.5
Rep. Dominika 4.8 1.9 2.9
Costa Rica 5.1 2.6 4.7
Bolivia 7.1 -2.6 4.2
Ekuador 9.5 -1.3 9.2
Guatemala 5.7 1.9 2.4
Jamaika -1.9 5.5 1.9
Paraguay 7.4 2.6 5.6
El Savador 2.5 -2.7 5.0
157
Panama 5.2 -0.4 7.4
Trinidad & Tobago 2.0 -6.3 10.7
Honduras 5.5 4.0 3.1
Barbados 0.2 -0.2 -4.8
       
*. Data tidak tersedia, Catatan: Daerah dan Negara berdasarkan andil total MVA seperti @
1990.
Sumber: UNIDO (1993), Tabal II.2 & II.6

Seluruh data sedikit memberi sedikit bukti dalam mendukung


ketidakmungkinan tesis ini. Kenyataannya semua daerah sedang berkembang
didunia telah memperluas produksi industri selama periode 1970-92. Bahkan
dalam dekade ‘kerugian’ tahun 1980 ketika pertumbuhan industri dunia mulai
bimbang, semua daerah sedang berkembang yang berjauhan dari LAC dapat
‘menjaga pertumbuhan positif MVA. Lagipula, lagi dengan perkecualian LAC,
semua daerah sedang berkembang mencapai tingkat rata-rata pertumbuhan
penghasilan yang lebih cepat antara tahun 1970 dan 1992 dibanding Jepang yang
merupakan negara paling berhasil dari negara yang telah berkembang. Tabel 3
menunjukkan pertumbuhan negara sendiri mencatat perbedaan yang layak tetapi
pengamatan kasual menunjukkan bahwa hanya Barbados didalam LAC
mengakhiri masa dengan tingkat produksi industri yang rendah dibanding tahun
1970 dan perkecualian ini memberi dukungan sedikit bagi kemungkinan tesis
tersebut. Dalam beberapa kasus Warren tidak menyangkal bahwa ‘industrialisasi
yang berkesinambungan telah menjadi universal’ juga tidak menyangkal bahwa
industrialisasi Dunia Ketiga konsisten dengan periode stagnasi sementara,
“declaration” atau penurunan’ (Warren, 1980: 243).
Tetapi, di sana nampak ada sebagian kebenaran dalam tuduhan bahwa
pertumbuhan pendapatan kurang mengesankan jika dipandang berdasarkan per
kapita (Corbridge, 1986). Setelah pertumbuhan pendapatan per kapita yang besar
di LAC berjumlah 33.4% selama tahun 1970 ada penurunan substansial dari 17%
pada tahun 1980 (UN, 1993a:91). Bahkan tetap dengan ‘kriteria tuntutan ekstrem
ini’ dan mengambil kasus pelaksanaan terjelek daerah yang sedang berkembang,
industrialisasi telah berlangsung. Penghasilan per kapita meneruskan
kecenderungan peningkatannya pada akhir tahun 1980 dan, yang lebih penting,

158
menegaskan adanya industrialisasi yang positif secara keseluruhan antara tahun
1970 dan 1991.

4. Andil Manufaktur
Ada perbedaan pandangan pada pengevaluasian industrialisasi. Warren
(1980: 244) menegaskan bahwa jika penghasilan adalah penting untuk
menghilangkan kemiskinan sebagaimana Frank menyatakan maka proporsi GDP
yang dihitung dengan penghasilan adalah indikator komparatif yang sangat
bermanfaat. Seluruh LAC andil penghasilannya meningkat selama tahun 1970
tetapi kemudian turun selama tahun 1980 sampai pada 24.1% pada tahun 1991
dibandingkan dengan 25.9% pada tahun 1970 (UN, 1993; 90). Lagipula, pola
siklus umum perubahan dalam andil penghasilan diulangi pada tingkat negara
meskipun perputaran titik siklus tidak selalu sinkron. Sebaliknya pada gambaran
pertumbuhan bagi MVA yang sebelumnya menganggap andil penghasilan
nampak pada titik deindustrialisasi dalam LAC sejak 1970.
Pada inspeksi yang lebih dekat, bukti terhadap andil penghasilan dalam
GDP mungkin menyesatkan pada dua hitungan. Pertama, kita akan
mempertimbangkan persentase tenaga kerja yang dipekerjakan dalam industri
manufaktur. Bagi Warren hal ini menjemput kontribusi dari mereka yang
‘berpartisipasi dalam ketenagakerjaan dengan produktifitas tinggi’ itu dan
sesungguhnya ini adalah hal yang tepat dari pembangunan yang produktif’
(Warren, 1980: 246). Sayangnya data tentang ketenagakerjaan dalam manufaktur
tidak lengkap tetapi menggunakan gambaran bagi industri sebagai wakil dari
perusahaan produksi untuk memberi gambaran yang berbeda. Dengan mengambil
rata-rata 20 LAC ada peningkatan proporsi yang digunakan dalam sektor industri
dari 21.6% pada tahun 1965 menjadi 26.7% pada tahun 1989-91. Jauh dari Peru
tidak ada perkecualian atas kecenderungan ini dari antara LAC menengah sampai
LAC besar. Statistik ini nampak menunjukkan kemajuan dan dukungan terhadap
posisi Warren.
Sebaliknya, ketika kita mempertimbangkan tingkat mutlak
ketenagakerjaan, buktinya jauh dari yang mengesankan. Seluruh ketenagakerjaan
manufaktur di dalam Amerika Latin turun secara tajam pada awal 1980 dan masih

159
belum diperbaiki sampai tahun 1980 setingkat dengan 1992. Pengalaman negara
secara individual berbeda dan ketenagakerjaan perusahaan telah diperbaiki
sebanyak 11 dari 21 LAC pada tahun 1992. Tetapi, ini lebih rendah dalam sisa
yang mencakup tiga ekonomi terbesar Brazil, Argentina dan Mexico (UNIDO,
1993, Tabel II.21). Statistik ini menunjukkan bahwa industrialisasi adalah proses
multidemensi yang perlu diinterpretasikan dengan kehati-hatian yang besar. Kita
kembali pada sekarang ini.
Alasan kedua untuk mempertanyakan signifikansi penurunan dalam andil
penghasilan dalam GDP di Amerika Latin adalah bahwa ini harus dipandang
dalam kontek perubahan global produksi yang jauh dari manufaktur. Akibatnya
perbedaan dalam andil penghasilan antara LAC dan pendapatan ekonomi tinggi,
beberapa yang mengalami deindustrialisasi yang cepat pada tahun 1980, sekarang
telah berbalik. Rata-rata andil dalam pendapatan ekonomi tinggi tahun 1991
adalah 22.6% dan dalam beberapa perusahaan LAC sekarang membuat kontribusi
pada GDP yang lebih tinggi dibanding dengan sejumlah ekonomi yang telah
berkembang. Australia, New Zealand, Irlandia, Denmark dan Norwegia memiliki
andil penghasilan 20% atau kurang namun pendapatan per kapita mereka tetap di
atas pendapatan per kapita Brazil, Argentina, Mexico dan Uruguay sekalipun
manufaktur membuat kontribusi yang lebih besar dalam kelompok berikutnya.
Selanjutnya kita menyimpulkan dari hal ini bahwa bukan andil manufaktur
maupun bukan tingkat industrialisasi per se cukup untuk menentukan baik
pertumbuhan maupun pembangunan. Pengamatan ini tidak mengejutkan karena
tidak ada jalan universal untuk pembangunan. Negara kecil yang sedang
berkembang secara khusus mengembangkan pelayanan (tourisme) daripada
industrialisasi. Lagipula, bagi negara yang sedang berkembang besar model
unilinier dari transformasi struktural menunjukkan bahwa pada tahap
pembanguanan yang lebih tinggi ada perpindahan dari industri menuju aktifitas
tertier atau pelayanan dan produk-produk berteknologi tinggi. Beberapa negara
sedang berkembang mungkin telah mencapai andil yang sama dari aktifitas
perusahaan yang sama karena imbangan pendapatan mereka tinggi tetapi tidak
perlu menutup gap dalam pengertian pembangunan atau posisi relatif mereka
sepanjang kurva pembelajaran. Negara yang sudah maju dalam waktu yang tepat

160
telah bergeser pada pelayanan yang lebih canggih atau teknologi produksi baru
dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa perbandingan yang
dibuat oleh Warren atas dasar pertumbuhan atau andil industri tidaklah sangat
berarti. Ini perlu menganalisa struktur manufaktur tetapi sebelum menganalisa kita
terlebih dahulu dengan jelas mempertimbangkan pola dan kedalaman konsumsi.

5. Pola Konsumsi
Industrialisasi kapitalis di periphery secara historis sering dihalangi oleh
pasar domestik terbatas bagi konsumen dasar dan produser barang. Argumen
Warren, yang ia dukung dengan bukti empiris, yaitu daya tahan konsumen pasar
‘mencapai yang terbaik di dalam kelompok pendapatan yang lebih rendah’.
Namun pada tahun 1980, seperti yang dinyatakan (secara tidak langsung) oleh apa
yang terjadi dalam kemiskinan, ketidakadilan dan pengangguran, difusi dari
barang-barang ini memperlamban dan bahkan berjalan menuju sebaliknya.
Kejadian kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan, dengan pasti rata-
ratanya meningkat di LAC selama tahun 1980 (Psacharopoulos et al., 1995).
Tahun 1980-an juga melihat peningkatan pengangguran dari 6.0% pada tahun
1979 sampai 8.2% pada tahun 1984 (UNECLAC, 1989: 23), sebelum kembali
pada sekitar 5.5% pada akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 (UN, 1994a; 94
Tetapi kendatipun demikian dalam ketenagakerjaan ada penurunan dalam upah
nyata pada tahun 1970 di sebagian besar LAC seperti data statistik yang ada.
Lagipula, meskipun ‘penyerbarluasan perbaikan’ pada awal tahun 1990, rata-rata
upah nyata pada tahun 1992 masih di bawah tingkat mereka pada tahun 1980
karena penurunan gaji pada tahun 1980-an (UN, 1993b:78).
Kecenderungan ini turun drastis pada tekanan konsumsi. Pada rata-rata
perkapita konsumsi swasta jatuh pada angka equivalen sampai -1.6% per tahun
selama dekade 1980-1990 sebelum pementasan perbaikan dalam perbaikan pada
awal tahun 1990 (ibid:46). Data tersebut mengkonfirmasikan tingkat
ketidakadilan dan polarisasi di dalam LAC selama tahun 1980 tetapi selama
jangka waktu yang lebih lama baik Frank maupun Warren dapat dikritik karena
generalisasinya yang berlebihan. Frank karena terlalu menekankan pada
ketidakmungkinan dan Warren karena terlalu optimis terhadap distribusi

161
perolehannya dari pembangunan. Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang
digambarkan data ini menarik perhatian pada akarnya dalam struktur kelas
internal dan aliansi dan keseimbangan kekuasaan antara kelompok sosial yang
berbeda. Tetapi tekanannya pada konsumsi juga memperjelas realisasi masalah
(realisasi surplus) dan kesulitan kesinambungan proses industrialisasi dalam
negara-negara periphery.
Ini akan membantu meringkas penemuan kita sejauh ini. Statistik kita,
sebaliknya bagi Warren sebelum kita, tidak memberi bukti tegas pada validitas
atau sebaliknya dari tesis industrialisasi. Sebaliknya, ciri utamanya adalah berbeda
dan industrialisasi tak seimbang dan meneruskan tingkat ketidakadilan yang tinggi
dan angka pertumbuhan per kapita yang negatif dalam banyak Dunia Ketiga
setelah tahun 1980 dan ini memerlukan pertimbangan selanjutnya.

6. Struktur Manufaktur
Kenyataan yang dimodelkan dari pembangunan ekonomi (bagian 1)
menunjukkan bahwa pada tahap yang lebih tinggi transformasi struktural
perubahan dari industri ringan ke industri berat secara khusus berhubungan
dengan tingkat ketrampilan yang lebih tinggi, akumulasi modal, ekonomi Skala
dan pemanfaatan serta penggunaan teknologi yang lebih maju.
Tabel 4 menyajikan angka indek pekerjaan di sektor manufaktur ringan
dan berat Amerika Latin antara tahun 1979 dan 1990. Tabel 4 juga menyajikan
angka indek serupa bagi ekonomi pasar yang dikembangkan (DME) untuk tujuan
perbandingan. Jika semua ini menjadi perbandingan yang simpatik sejak bagian
manufaktur dari hampir seluruh negara berkembang telah menurun sejak akhir
tahun 1960 dalam proses deindustrialisasi.
Tabel 4: Angka Indek Pekerjaan Manufaktur (1980=100)

1979 1981 1983 1985 1987 1989 1990 Rata-rata


pertumbuhan
tahunan
LAC:
Ringan 98 98 94 101 102 107 109 1.0
Berat 98 96 85 90 90 92 93 -0.5
Total 98 97 90 96 97 101 102 0.4

DME:

162
Ringan 102 96 92 90 91 92 93 -0.8
Berat 101 98 92 92 90 91 92 -0.8
Total 101 97 92 91 91 92 92 -0.8

DMEs = Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, Israel, Jepang dan Afrika Selatan

Catatan: Di luar Eropa Timur dan Bekas USSR


Sumber : UN (1992). Vol I, tabel B

Ketenagakerjaan sektor manufaktur dalam LAC meningkat secara


marginal (0.4% rata-rata angka pertumbuhan) antara tahun 1979 dan 1990 setelah
jatuh secara tajam pada awal tahun 1980 tetapi ekspansinya dikonsentrasikan
dalam manufaktur ringan. Kritik Warren nampak memiliki penegasan ketika tidak
ada tanda perpindahan ke arah industri besar yang diduga mengikuti
industrialisasi. Lagipula, manufaktur berat melahirkan pukulan berat pada resesi
awal tahun 1980 di LAC dan, tidak seperti manufaktur ringan, gagal memperbaiki
tingkatannya pada tahun 1980 bahkan pada awal dekade. Sebaliknya resesi tahun
1980 tidak mempengaruhi industri ringan maupun berat secara tidak proporsional
pada DME.
Tabel 5 (halaman berikut) menyajikan penurunan pertumbuhan MVA
untuk 28 industri untuk LAC dan dunia antara tahun 1970 dan 1992. Dekade
tahun 1970-80 memberi dukungan kuat bagi posisi Warren dengan 12 dari 15
sektor manufaktur berat dalam LAC yang mencatat angka pertumbuhan MVA di
atas rata-rata tetapi pada tahun 1980 baik manufaktur ringan maupun berat
menderita kontraksi berat. Sebaliknya pada tahun 1990 jauh lebih nampak
menunjukkan bahwa LAC bangkit dari masa penurunan dalam periode 1990-1992
dengan ekonomi dunia dalam resesi yang berat, 10 dari 15 sektor manufaktur
berat dalam LAC yang sedang tumbuh lebih cepat dibanding sektor manufaktur
sebagai keseluruhan. Lagipula, sejumlah sektor manufaktur berat yang diatur
menunjukkan ekspansi sepanjang periode itu, di antara mereka adalah manufaktur
Besi dan Baja, Industri Kimia dan Barang-barang Profesional dan Ilmiah.

Tabel 5: Pertumbuhan MVA untuk 28 industri LAC dan Dunia, 1970-92


Kode INDUSTRI LAC DUNIA
ISIC   70-80 80-90 90-92 70-80 80-90 90-92
 
L311 Pangan 5.2 -0.6 + 3.2 2.1 -1.7

163
L313 Minuman 5.8 0.3 3.2 2.2 1.3 0.1
L314 Tembakau 2.9 0.8 -0.3 1.5 4.1 0.9
L321 Tekstil 3.7 -2.9 2.0 1.4 + -3.1
L322 Kain 5.5 -3.6 -2.2 2.4 0.3 -3.4
L323 Kulit dan bulu 2.6 -2.3 1.4 1.7 0.5 -3.7
L324 Alas kaki 3.4 -2.6 -3.6 1.8 -1.1 -6.6
L331 Kayu dan Batu 6.9 -5.9 1.3 2.7 -0.5 -3.6
L322 Perabot rumah tangga 7.5 -4.6 -0.3 4.1 1.0 0.7
L341 Kertas 7.5 + 2.6 2.7 2.3 +
L342 Percetakan dan penerbitan 4.9 -0.5 1.7 3.2 3.7 -1.7
L351 Industri Kimia 8.5 1.2 4.4 2.6 3.2 -0.3
L352 Kimia lain 6.3 1.0 1.5 2.5 4.3 1.1
L353 Penyulingan petrolium 7.4 0.5 8.5 6.3 -0.8 3.4
L354 Aneka ragam petrol dan produk batubara 15.5 -2.4 2.1 4.5 1.6 -4.1
L355 Produk karet 4.7 -0.1 2.1 2.0 1.7 -2.4
L356 Produk plastik 10.1 -1.4 1.9 6.3 5.0 1.5
L361 Barang tembikar, Cina 1.9 1.8 2.9 3.9 0.7 -4.4
L362 Kaca 6.7 -1.5 3.4 2.3 1.6 -1.8
L369 Produk mineral lain 7.2 -4.9 3.2 3.4 1.0 -2.5
L371 Besi dan baja 8.1 0.7 1.6 1.8 -1.0 -3.1
L372 Logam non besi belirang 4.0 1.6 3.9 2.6 0.5 -2.5
L381 Produk logam 6.8 -2.9 3.8 2.5 1.4 -1.4
L382 Mesin non elektrik 12.0 -4.2 -4.5 4.0 2.4 -5.1
L383 Mesin elektrik 7.3 -0.6 2.0 3.6 3.0 -0.1
L384 Peralatan transport 6.9 -2.0 2.6 3.4 2.6 -1.6
L385 Barang profesi dan ilmiah 14.0 2.8 6.1 4.6 3.6 -2.8
L390 Pabrik lain 5.5 0.6 3.9 3.4 2.2 -4.4
               
TOTAL   6.4 -1.1 2.2 3.1 2.0 -1.7
+ tidak ada
Sumber: UNIDO (1993), Tabel II.2 & II.16

Tabel 6: Bagian Kapasitas Potensi Teknologi Industri Maju di Brazil dan


UK, 1988-90

Industri Total nilai tambah saham


Brazil UK
Bei & Baja 7.5 3.6
Logam Non Besi Belirang 2.4 1.3
Produk Logam 4.3 5.4
Mesin Non Listrik 9.3 11.8
Mesin Listrik 8.2 9.7
Peralatan Transport 6.2 10.6
Perlengkapan Ilmiah 0.9 1.4
Total PATC sebagai saham 43.8 38.8
dalam tambahan nilai total
Sumber: UNIDO (1992B), Tabel 2.4

164
Menarik dalam kontek ini untuk membandingkan struktur sektor
manufaktur di Brazil dan UK dan ini dilakukan dalam Tabel 6. Seperti Brazil
seringkali dimasukkan diantara kelompok ‘generasi kedua’ NIC ini seharusnya
menjadi ujian yang baik bagi apa yang telah dicapai dan juga titik jalan bagi LAC
lain. Dalarn istilah saham dalam nilai total yang ditambahkan di dalam berbagai
cabang manufaktur di sana nampak menjadi lebih mirip dibanding perbedaan
antara dua negara.
Namun demikian, beberapa aktifitas manufaktur lebih penting dibanding
aktifitas lain dalam mendorong dan memobilisasi ekspansi output dalam transisi
kepada tahap pembangunan yang lebih tinggi (Hirschman, 1958). Hubungan yang
lebih kuat adalah dengan cabang-cabang itu industri berat yang mensuplai input
esensial atau input modal kepada sisa manufaktur. Lagipula, ada beberapa indikasi
bahwa ketidakmampuan beberapa LDC untuk mewujudkan barang menengah
mereka dan industri barang-barang modal adalah faktor kausal dalam kegagalan
industrialisasi subtitusi impor.
Dalam pengamatan ringan ini industri menengah dan industri barang-
barang modal nampak menjadi penting secara khusus dalam menentukan
‘kapasitas teknologi maju yang potensial’ (PATC) dari sebuah negara. Brazil
memiliki sektor industri PATC yang banyak dan tidak jauh dibelakang Inggris.
Namun demikian kesimpulan ini bisa menyesatkan “bila Klasifikasi
Industri Standard Internasional (ISIC) tiga digit memberi pengelompokan industri
luas yang bisa menyembunyikan potensi riil bagi otonomi pembangunan industri.
Jika kelompok industri PATC diklasifikasikan pada tingkat enam digit ada hampir
200 sub kelompok (UN, 1992, Vol. III). Keberadaan gap dalam data untuk LAC
berarti hasilnya telah diperlakukan dengan hati-hati tetapi kesulitan ini tidak
menahan temuan-temuan yang signifikan dan dapat diringkas sebagai berikut.
Brazil dan Mexico memiliki sektof manufaktur paling maju dan dua
negara ini sering hanya LAC yang disebutkan dalam beberapa sub-sektor pada
tingkat enam digit. LAC lain ketinggalan jauh di belakang Brazil dan Mexico dan
ini nampak bahwa hampir seluruh manufaktur di dalam LAC menggunakan
teknologi dasar, melibatkan asembling dan memerlukan ketrampilan yang

165
diperlukan secara mudah. Secara signifikan, mesin, mesin elektrik, peralatan
transport dan barang profesional dan ilmiah adalah di antara hampir seluruh sektor
yang kurang berkembang.
Umumnya, Brazil dan Mexico dikecualikan dalam beberapa hal,
penemuan ini menunjukkan bahwa industri PATC dalam LAC kurang
berkembang, manufaktur adalah jenis yang lebih mendasar dan ada
ketergantungan modal dan teknologi dari luar. Bukti tersebut nampak miring jauh
dari Warren dan terhadap mereka yang curiga dengan kesimpulannya.

7. Sifat Industrialisasi
Dihubungkan secara erat dengan kontroversi tentang struktur manufaktur
merupakan perdebatan tentang sifat industrialisasi. Menganalisa ini berlubang-
lubang dengan kesulitan konseptual yang menghubungkan kembali kepada konsep
ketergantungan. Bagi Sutcliffe (1972) jika pembangunan adalah untuk
melangsungkan industrialisasi yang harus menjadi independen ini harus tidak
diturunkan dari industrialisasi di pusat. Sutcliffe meringkas empat kriteria bagi
pembebasan industrialisasi: i) produksi seharusnya mendasar bagi pasar domestik;
ii) di sana seharusnya ada struktur industri yang berbeda-beda; iii) industri harus
didanai dan dikendalikan secara domestik, dan iv) teknologi seharusnya
diciptakan secara asli.
Ada masalah dengan konsep kemerdekaan. Titik yang mana transisi antara
industrialisasi yang bergantung dan bebas terjadi tidak jelas. Sutcliffe tidak
memperhatikan areal abu-abu yang mencirikan dunia nyata. Akibatnya, ini sulit
menyangkal (atau membuktikan) argumennya. Ini menyebabkannya posisi yang
aman untuk mengadopsi dalam suatu era ketika teori-teori tentang kurang
berkembangnya kapitalis memerlukan bukti empiris. Tetapi, ketika sulit menarik
kesimpulan perusahaan karena kurangnya batasan yang jelas antara konsep-
konsep, hal ini memungkinkan menunjukkan baik atau tidak Industrialisasi
Amerika Latin menjadi lebih atau kurang bergantung sifatnya. Kita juga perlu
memperhatikan banyak perhatian kepada hubungan antara negara kurang
berkembang dan internalnya (sosial dan politik) serta struktur eksternal di negara-
negara berkembang.

166
7.1. Dominansi Pasar Domestik
Pertama, menurut Sutcliffe, industri harus tidak bergantung atas pasar
asing. Pasar domestik harus mendominasi dan hanya ada peran kecil untuk
ekspor. Jauh dari kesulitan memberi perbedaan empiris antara kondisi ‘dominasi’
dan ‘kecil’ ini merupakan problematik pada dua hitungan lain. Pertama, ini
bergantung dengan ukuran kedalam pasar domestik. Kedua, jika konsepnya
diukur dengan bagian ekspor ini perlu dikualifikasi lebih lanjut. Pengalaman NIC
menyatakan bahwa andil ekspor yang ‘tinggi’ per se tidak menyalahkan suatu
negara untuk bergantung. Lagipula, negara kecil harus mengekspor jika
pertumbuhannya tidak dibatasi dengan gap nilai tukar asing (Ayres, 1997: 1-2).
Untuk menilai kontradiksi posisi ini kita perlu mengetahui banyak tentang
komposisi komoditas, tujuan mereka dan kondisi pasar. Kita mempertimbangkan
kondisi ini sebagai berikut.

7.1a. Ukuran Pasar Domestik


Teori perusahaan menyatakan bahwa ukuran pasar mungkin penting dalam
industri di mana ada skala ekonomi yang signifikan. Namun demikian, William
dan Laumas (1984) menegaskan bahwa ekonomi skala adalah relatif tidak penting
dalam beberapa cabang manufaktur termasuk motor modil, mesin diesel,
komputer, generator, peralatan mesin, perbaikan petrolium, barang karet, sepatu,
dan pengalengan ikan. Tetapi, hampir seluruh negara Amerika Latin relatif kecil
dengan penduduknya di bawah 20 juts dan bahkan dalam ekonomi yang lebih
besar pendapatan per kapita rendah dan distribusi yang tidak sama dari
pendapatan membatasi pasar efektif bagi beberapa baring-barang yang dihasilkan.
Tentu saja dalam istilah konsumsi barang yang tahan lama, buktinya nampak
menunjukkan kedangkalan pasar secara komparatif bagi elit kelas menengah.
Hal tersebut relevan untuk mengamati bahwa negara kecil yang telah
berkembang seperti Belanda, Belgia dan Denmark dan juga NIC Asia Tenggara
telah mengatasi pasar domestik terbatas mereka, dan berhubungan masalah

167
realisasi, melalui perdagangan asing. Beberapa LDC di bawah tekanan dari IMF
untuk mengikuti contoh NIC dan mengorientasikan pertumbuhan terhadap ekspor.
Akibatnya hal ini dipertimbangkan dalam bagian berikutnya di mana kita menilai
dinamika orientasi ekspor pada tahun sekarang ini.

7.1b. Dinamika Orientasi Ekspor


Bank Dunia (1987: 83)) mengklasifikasikan empat puluh situ ekonomi
negara sedang berkembang, termasuk 14 LAC, dengan orientasi perdagangan
selama periode 1963-73 dan 1973-85. Dalam periode sebelumnya empat LAC
(Brazil, Kolombia, Costa Rica dan Guatemala) diklasifikasikan sebagai ‘tujuan
orientasi keluar secara moderat’ dan sisanya ‘secara moderat’ maupun ‘secara
kuat ‘orientasi ke dalam’. Dalam periode berikutnya hanya tiga LAC (Brazil,
Chili dan Uruguay) diklasifikasikan berorientasi keluar secara moderat dan
sebelas lainnya berorientasi ke dalam.
Karena itu nampak, menurut Studi Bank Dunia, bahwa LAC, jika ada,
menjadi pandangan lebih ke dalam secara marginal antara 1963 dan 1985 dan oleh
kriteria Sutcliffe, ketergantungan telah berkurang. Namun sudah ada pengertian
perubahan dalam awal tahun 1980 dan setelah kegagalan Mexico pada tahun 1982
ada gerakan cepat menuju liberalisasi perdagangan dan privatisasi. IMF memiliki
peran penting dalam transformasi ini tetapi pembukaan baru tidak diyakini pada
negara debitur (penghutang). Pada tahun 1992 (UNCTAD, 1993:114) LAC
memiliki tarif proteksi yang lebih rendah dibanding dengan negara sedang
berkembang. Dinilai dengan kriteria pertama Sutcliffe ini memberi peningkatan
perhatian.
Tetapi, bukti empiris atas ketergantungan dan performansi ekonomi tidak
mendukung Sutcliffe. Studi Bank Dunia (1987) menunjukkan bahwa hubungan
antara strategi perdagangan dan performansi ekonomi makro tidak seluruhnya
jelas. Namun, pada keseimbangannya, Bank Dunia menyimpulkan bahwa
performansi ekonomi yang berorientasi keluar telah menjadi superior bagi
ekonomi yang berorientasi ke dalam (ibid:85). Kesimpulan ini diperkuat oleh
kalkulasi kita. Dari sampel 19 LAC ada korelasi positif yang lemah antara
pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan GDP selama periode 1965-1985. Sekalipun

168
data negara yang disaggregated menyatakan bahwa ada perkecualian bagi
kecenderungan ini, dan korelasi tidak menampakkan sebab, buktinya pada
keseimbangan pada Sutcliffe.
Ini juga relevan bahwa LAC sebagai keseluruhan telah meningkatkan
bagian ekspor dalam GDP dari 16.1%o pada tahun 1971-1980 sampai 21.7% pada
tahun 1991 (UN, 1993b, Tabel III-3). Selanjutnya, sekalipun produk utama ekspor
masih merupakan days dorong yang penting bagi pertumbuhan ekspor berasal dari
manufaktur-manufaktur (UNIDO, 1993:48). Pada waktu yang same ekspor telah
menjadi lebih beragam. Pada tahun 1970 sepuluh produk utama dilaporkan untuk
59.4% ekspor dan ini secara mendasar telah berubah pada tahun 1980 (58.4%)
tetapi pada 1992 telah jatuh sampai 36.4% (UN, 1994b, Tabel 71). Mexico adalah
hanya satu-satunya LAC yang besar yang ekspornya lebih terkonsentrasi,
terutama karena minyak, tetapi sekalipun di sini diversifikasi telah meningkat
sejak awal tahun 1980.
Meskipun pertumbuhan cepat perdagangan dunia di bidang manufaktur
dalam dua dekade terakhir (Bank Dunia, 1994:1- 186-191) LAC telah
memperlihatkan bagiannya pada peningkatan total dunia dari 0.8%’p’-ada tahun
1970 sampai 1.5% pada tahun 1980 dan 1.7% pada tahun 1989 (UNIDO, 1993;
48, 51, 54). Amerika Latin, terutama Brazil dan Mexico, juga menaikkan bagian
ekspornya dalam pasar dunia dalam industri teknologi tinggi di mana R&D adalah
penting. Pada tahun 1989 ekspor teknologi tinggi dapat memberi separo dari total
expor manufaktur di Brazil dan Mexico. Tetapi, hampir seluruh perolehan ini
dalam ekspor manufaktur dihasilkan pada tahun 1970 dan perbedaan antara dua
dekade bahkan lebih ditegaskan dalam industri teknologi tinggi (ibid).
Bukti tersebut pada arah perdagangan menunjukkan bahwa perdagangan
antar regional (LAC) tetap relatif kecil. Ada peningkatan kecil dalam bagian
ekspor intra-regional dari 13.3% pada tahun 1970 sampai 16.4% pada tahun 1980
dan kemudian setelah turun pada tahun 1980 ada ekspansi yang layak pada tahun
1990 untuk andilnya mencapai 19.2% pada tahun 1992 (UN, 1994a: 154). Impor
intra-regional mengikuti pola serupa naik dari 13.2% pada tahun 1970 sampai
14.7% pada tahun 1980 dan 15.0% pada tahun 1992 (ibid, Tabel 9 4). Sebaliknya
bagian perdagangan dengan ekonomi pasar industri adalah besar dan telah tumbuh

169
sejak awal 1980. Pada tahun 1980 negara-negara, industri memberi 65.3% dari
pada ekspor LAC dan 60.3% impornya tetapi sahamnya telah naik sampai 73.4
dan 75.8% secara berturut-turut pada tahun 1991.
Jelaslah dari komentar terdahulu bahwa hubungan antara perdagangan dan
pernbangunan adalah komplek dan buktinya tidak mudah diinterpretasikan.
perdagangan asing telah diliberalisasikan, LAC memberi saham yang lebih tinggi
pada perdagangan dunia, saham ekspornya dalam GDP telah meningkat dan ada
pertumbuhan saham perdagangan dengan negara-negara industri. Faktor-faktor ini
semua nampak berada pada titik untuk meningkatkan orientasi ekspor (tumbuhnya
ketergantungan), dan pembangunan digerakkan oleh dinamika sentral, Sebaliknya
ekspor telah menjadi beragam dan ada beberapa indikasi bahwa ekspor teknologi
tinggi telah tumbuh. Lagipula, disana ada sebagian bukti bahwa orientasi ekspor
berhubungan secara positif dengan pertumbuhan ekonomi. Bukti ini tidak
mendukung Sutcliffe.

7.2. Struktur Industri


Pandangan kedua Sutcliffe adalah bahwa sektor industri seharusnya juga
diseimbangkan. Dengan perkecualian Brazil dan Mexico, kita sudah mewujudkan
bahwa sektor manufaktur di LAC dinyatakan menuju dasar industri, teknologi
rendah, tidak terampil atau semi terampil dan kesempatan untuk berubah nampak
terbatas (Kaplinsky, 1984). Dan keadaan ini mengikuti bahwa hubungan
domestik, termasuk produksi barang modal, mungkin terbatas. Implikasinya
adalah bahwa LAC sebenarnya telah mulai melakukan ekspansi kapabilitas
teknologi aslinya atau bergerak menuju produksi teknologi tinggi dan mungkin
tetap bergantung pada transfer teknologi asing karena mass depan yang bisa
diramalkan.

7.3. Keuangan dan Kontrol Industri


Untuk memahami secara penuh apa yang akan terjadi pada masa ini kita
perlu mengetahui apa yang mendorong pertumbuhan ekspor dan bagaimana resep
yang digunakan. Dalam kontek ini penting untuk mempertimbangkan pengaruh-
pengaruh investasi asing langsung (FDI), hutang eksternal dan istilah

170
perdagangan. Ini membawa kita pada pandangan Sutcliffe ketiga. Industri harus
didanai, dan yang lebih penting dikendalikan, secara domestik. Jika keuangannya
adalah bersifat eksternal maka kontrol nasional bisa hilang.
Perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) mendasarkan keputusan
investasi mereka pada penilaian keuntungan global. Bagi penerima FDI Bering
membawa dengan paket yang mana muncul menjadi bermanfaat. Tetapi, bagi
Sutcliffe, potensi perolehan dari FDI dalam kaitan modal baru, penciptaan
pekerjaan, transfer teknologi dan aspek-aspek teknis lain serta akses kepada pasar
global perlu dihentikan terhadap hilangnya kontrol, ketergantungan pada luar
R&D dan repatriasi keuntungan yang bisa mengalir dari aktifitas MNC.
Bukti FDI menunjukkan bahwa MNC yang dianggap kurang dari 5% dari
pembentukan modal yang ditetapkan dalam LAC bagi hampir sepanjang tahun
1980 (UNIDO, 1989). Lagipula, pengiriman untuk pembayaran keuntungan jatuh
dari 10.6% dari penghasilan ekspor pada tahun 1970 sampai 4% pada tahun 1980
dan 3.5% pada tahun 1991 (UN, 1994a). Namun demikian, sebagaimana Jenkins
(1987) telah menekankan, kenyataan bahwa keuntungan pengiriman adalah positif
tidak dalam arti itu sendiri yang FDI yang dikontribusikan kepada negara yang
kurang berkembang. Lagipula, gambaran ini mengecilkan pengaruh nyata FDI
bila hampir seluruh ini mengalirkan ke dalam industri manufaktur kunci.
Brazil adalah khas, dengan FDI menghitung 2.4% terbentuknya modal
antara tahun 1986 dan 1989 (UNDP, 1993:55) tetapi lebih 30% dari investasi
manufakturnya (UNIDO, 1992a:72). Pemilikan asing terhalang dalam
penggunaan rakyat dan industri dasar dalam hampir seluruh LAC sampai akhir
dekade terakhir dan dalam sektor lain pemegang saham asing umumnya dibatasi
dengan partisipasi minoritas dengan pembebasan yang dinilai dalam pengertian
kepentingan nasional. Di Brazil, sebagai contoh, perusahaan-perusahaan asing
dikonsentrasikan dalam pemrosesan industri (farmasi, teknik listrik, kimia,
plastik, pecah belah dan barang modal industri) dan produksi kendaraan bermotor
adalah hampir seluruhnya dalam tangan perusahaan asing (OECD,
1988:58,62,63). Di Mexico, perusahaan asing adalah dominan dalam hampir
sektor yang dinamik(kendaraan bermotor, farmasi, komputer, elektro dan produk
makanan). Lagipula, ketika subsidi Perusahaan Brasilia dan Mexico menghasilkan

171
pasar domestik maupun ekspor, ada bukti bahwa mereka memiliki pengaruh besar
di sektor ekspor yang memberi 40 dan 35% ekspor secara berturut-turut pada
tahun 1980. Perusahaan yang dimiliki secara domestik dalam perbandingan
seringkali menemui kesulitan untuk bersaing atau bahkan menjalankan sektor
yang mengarah pada manufaktur karena ketergantungan mereka terhadap
teknologi yang diimpor dan pertumbuhan proteksionsime dalam ekonomi pasar
yang telah berkembang.
Tetapi dominasi pertumbuhan manufaktur multinasional memperjelas
kontradiksi di negara pinggiran. Pemilikan perusahaan asing di Brazil dan Mexico
sebagai contoh memiliki kecenderungan impor yang lebih tinggi dibanding
dengan pemilikan perusahaan secara lokal dan ekspor industri sebelumnya
memiliki isi sumber yang tinggi dan nilai tambah manufaktur yang rendah
(OECD, 1988:71). Susunan ini diarahkan oleh kebutuhan akan perusahaan MNC
untuk tetap kompetitif dalam pasar, tetapi dia juga mengindikasikan bahwa
kelemahan dasar ekonomi di Brazil dan Mexico membatasi hubungan dengan
industri domestik. Hal ini menjelaskan mengapa upaya-upaya pemerintah LAC
untuk mengadakan tingkat isi domestik minimum yang umumnya telah gagal.
LAC adalah menarik MNC karena LAC memiliki biaya upah yang rendah
(ibid:59), angkatan kerja yang disiplin dan memberi akses istimewa kepada pasar
Amerika Serikat. Namun demikian, dasar ekonomi domestik tetap lemah dan
6batnya perusahaan milik asing lebih memungkinkan menjadi daerah kantong
pembangunan, assembling komponen yang diimpor, dengan hubungan lokal yang
terbatas atau transfer teknologi. Tetapi distorsi industrialisasi ini memberi
peningkatan kepada kontradiksi karena pembangunan teknologi mikro elektronik
yang menyebabkannya menguntungkan menghilangkan beberapa operasi majelis
buruh Yang intensif dari LDC dan meletakkan kembali mereka dalam negara-
negara yang lebih maju dari saat mereka datang.
Meskipun total FDI telah tetap relatif kecil dalam LAC ini hanya satu
bentuk arus modal internasional. Dengan inflow yang jauh lebih besar dari modal
di dalam suatu daerah pada tahun 1970 adalah bentuk pinjaman dari pasar uang
internasional. Keadaan sekitar arus kredit besar ini telah didokumentasikan
sebagai krisis hutang yang terjadi. Tetapi ada dua pandangan penting untuk

172
pembahasan ini. Pertama, alasan untuk pertumbuhan hutang Dunia Ketiga pada
tahun 1970 adalah hanya bagian eksternal (harga minyak naik dan aktifitasnya
dari bank internasional). Juga ada alasan internal yang penting mengapa pinjaman
naik, mencerminkan pemusatan ekonomi dan kekuatan politik di dalam Negara
tertentu dan diarahkan oleh kelompok yang dominan yang mencari kelas mereka
dan kepentingan individu. Kedua, dalam istilah beban arus modal asing,
pelayanan hutang adalah hanya beban repatriasi keuntungan. Sementara beban
pembayaran keuntungan menurun dari bunga pembayaran pada tahun 1970 secara
tajam. Pada tahun 1970 mereka memberi 7.3% pendapatan ekspor tetapi pada
tahun 1980 ini telah naik sampai 24.9% dan bahkan pada tahun 1991 ini masih
21.6% (UN, 1993a: 160; UN, 1994b:488-491). Pada permukaan itu nampak
merupakan bentuk baru dari ketergantungan, sistem baru nilai transfer dari
periphery. Tetapi penting untuk menekankan bahwa ini adalah saling
mempengaruhi antara tekanan internal dan eksternal yang mana pada akar
masalahnya. Apa yang tidak kontroversial adalah merupakan basil, dekade
kerugian yang menyebabkan ekonomi LAC menurun secara tajam dan
menyebabkan penderitaan manusia yang besar.
Dengan kaitan penurunan perdagangan dari awal (tahun 1980 (UN,
1994a:510) beberapa LAC perlu meningkatkan volume ekspor secara substansial
(dan pemotongan impor) agar mencapai surplus perdagangan yang diinginkan.
Dalam perjalanan pendek ini memiliki pengaruh yang menghancurkan pada
tingkat aktifitas domestik. Surplus perdagangan tidak dapat dimanfaatkan untuk
konsumsi domestik atau investasi tetapi harus digunakan untuk melayani hutang
eksternal dan, tingkat yang lebih kecil, pembayaran keuntungan. Dalam kontek ini
di sans nampak menjadi beberapa validitas dalam posisi Neo-Marxis bahwa krisis
hutang internsional tidak hanya menyebabkan negara debitur yang lebih
bergantung pada perdagangannya tetapi juga disebabkan oleh tingkat eksploitasi
yang dinaikkan dari para pekerja dalam periphery dan kesengsaraan yang lebih
besar bagi masyarakat dari penduduk marginal.
Baik atau tidak pada tahun 1980 penyimpangan, ‘siklus periode stagnasi’
(Warren, 1980:243), sekarang ini nampak bahwa krisis hutang telah menyusut dan
sekarang poin bukti terhadap perbaikan dalam LAC dan negara sedang

173
berkembang lainnya pada tahun 1990. GNP per kapita, ekspor dan produksi
industri telah meringkas peningkatan kecondongan mereka. Arus modal juga
terlalu berbalik dalam awal tahun 1990. Namun apakah kecenderungan sekarang
terhadap orientasi ekspor baik atau tidak, yang mana pusat argumen Sutcliffe
tentang ketergantungan, akan bergantung secara besar kepada kemampuan LAC
(dan daerah sedang berkembang lainnya) (a) untuk memasukkan penduduk
marginal ke dalam produksi kapitalis, dan (b) membuat transisi dari upah buruh
yang murah kepada nilai tambah produksi yang tinggi. Ini pada gilirannya akan
bergantung tidak hanya pada kapasitas LAC untuk menemukan pasar ekspor
tetapi juga kepada kemampuan mereka untuk mengivestasikan ke dalam modal
manusia dan fisik yang tepat. Masalah sebelumnya pada beberapa tingkat di luar
Langan mereka tetapi masalah berikutnya juga terbukti sulit. Pra kondisi adalah
meningkatnya investasi rasio GDP dari tingkat sekarang dari 16% sampai 20%
plus tingkat yang istimewa selama tahun 1970 (UN, 1993a: 75) dan merupakan
kunci istimewa dari keberhasilan NIC. Ada sedikit bukti untuk menunjukkan ini
terjadi pada momen tertentu tetapi poin pentingnya adalah bahwa alasan untuk ini
tidak selurulmya ekstrnal.
7.4. Peran Teknologi
Peran ini membawa kita kepada kondisi akhir Sutcliffe bagi industrialisasi
yang independen. Teknologi seharusnya diciptakan secara murni. Seperti
ditegaskan sebelumnya Brazil dan Mexico adalah LAC yang industrinya paling
maju. Namun studi sumber teknologi sekarang dalam delapan NIC oleh Lall
(1992) menyatakan bahwa kapabilitas teknologi Brazil dan Mexico tertinggal di
belakang beberapa NIC yang lebih berhasil di Asia Tenggara yang melakukan
saham GDP yang lebih besar kepada investasi kasar, pendidikan, pelatihan
penelitian pada ilmuan dan R&D. Dalam istilah kategori Freeman (1982) pada
pembangunan teknologi, negara-negara LAC adalah pada tahap ‘bergantung’ atau
‘bersifat meniru’.
Ada sedikit bukti adanya perbaikan yang signifikan dalam posisi relatif
LAC dan ini tercermin dalam tingkat produktifitas, Meskipun pergerakan naik
dalam produktifitas buruh pada tahun 1980, LAC tidak menyesuaikan perbaikan
yang berlangsung di Daerah Asia Timur dan Asia Tenggara (UNIDO, 1993: 54).

174
Selanjutnya, rata-rata produktifitas tenaga kerja di daerah LAC kira-kira 30% dari
tingkat Amerika Utara dan istilah relatif posisi yang pada dasarnya telah berubah
sejak tahun 1970. Sisa 70% menggambarkan gap teknologi antara dua daerah.
Gap tersebut menutup secara marginal antara tahun 1970 dan 1980 tetapi
kemudian tumbuh sampai tahun 1980 sehingga gap tersebut agak lebih besar pada
tahun 1990 dibanding pada tahun 1970 (UNIDO, 1992a:70-71).
Bukti menunjukkan bahwa penutupan gap teknologi, yang merupakan
sentral pembangunan industri, tidak mudah bagi pendatang baru. Negara-negara
LAC, seperti negara yang sedang berkembang lain, menghadapi tantangan. ganda
(kontrsdiksi). Pertama, ada pertumbuhan proteksionisme global dalam kaitannya
dengan teknologi maju. Negara-negara LAC telah menemukan gap tersebut sulit
memperoleh akses kepada teknologi asing karena hampir seluruh transfer adalah
perusahaan intra (Simon dan Kau, 1992: 136-137) dan pengetahuan semakin
mengikat paten-paten yang mana dikendalikan oleh perusahaan, multinasional
(Dore, 1983:105). LAC secara tradisional mendasarkan pada tenaga kerja yang
murah dan akses kepada pasar internalnya untuk menarik investasi asing tetapi ini
tidak perlu membawa akses kepada teknologi. Selanjutnya, melekatnya kontrol
melalui pengetahuan teknologi menciptakan halangan untuk masuk ke dalam
industri teknologi tinggi dan karena menunjukkan transformasi maju dari struktur
industri domestik.
Kedua, LAC mulai dari posisi yang relatif rendah pada kurva
pembelajaran. Investasi dalam modal manusia dan fisik yang mengalami stagnasi
pada tahun 1980 dan tanpa akumulasi modal ini akan ‘tidak mungkin untuk
mengasimilasi beberapa teknologi terbaru atau menaikkan melalui apa yang Lall
(1992) gambarkan sebagai tiga tahap pembelajaran. Ini tantangan besar kerja
terhadap LAC sejak ini semakin jelas bahwa negara-negara yang sudah memiliki
beberapa teknologi akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk menarik
teknc1.)g; baru. Isu sentral apakah LAC dapat menjembatani gap teknologi dan
perbedaan di dalam produksi teknologi tinggi tetapi ini meragukan jika dapat
Qakukan melalaui strategi pengembangan kapitalis nasional yang sempit. Ini sulit
membayangkan Dunia Ketiga yang memperoleh teknologi tanpa FDI dan kaitan

175
ini Sutcliffe dapat dikritik karena terlalu menekankan pentingnya industrialisasi
bebas.

8. Ringkasan dan Kesimpulan


Studi kita menyatakan bahwa jauh dari tahun 1980 ada bukti statistik
untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan kapitalis dan industrialisasi telah terjadi
selama jangka waktu yang lebih lama di LAC dan Dunia Ketiga umumnya.
Dengan standard Warren kemudian, pembangunan telah terjadi. Dengan tanda
yang sama tesis ketidakmungkinan harus ditolak. Tetapi Frank dan aliran
ketergantungan definisi Warren tentang pembangunan adalah terlalu sempit. Ini
menolak pencapaian kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, bahwa
yang mungkin diteriakkan sebagai pembangunan oleh Warren, dapat, secara
paradok, dihilangkan oleh Frank maupun seluruh penulis neo Marxis. Dari sini
dialognya tuli (Gulalp, 1086:139).
Melihat ke belakang statistiknya mengkonfirmasikan beberapa reservasi
neo-Marxis tentang industrialisasi dalam LAC. Bentuk industrialisasi,
ketergantungan teknologi yang diimpor dan posisi bargaining yang lemah dari
LAC dalam hubungannya dengan pemilik teknologi nampak p44a kesulitan yang
dihadapi oleh daerah-daerah yang terbelakang. Lagipula, setiap pertumbuhan
ekonomi dan/atau industrialisasi yang telah terjadi umumnya telah diikuti oleh
peningkatan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan yang ekstrim selama
dekade terakhir (pembangunan jauh di luar ekonomi dan jika seseorang
menyinggung brutalitas, tekanan, kekerasan dan ketidaksepakatan yang
mencirikan banyak politik LAC dalam 30 tahun terakhir, kasusnya melawan
Warren berkembang. Ini jauh di luar skop makalah ini untuk mempertimbangkan
beberapa struktur non ekonomi dari pembangunan (sosial/politik/lembaga) tetapi
ini merupakan central perdebatan yang lebih luas).
Kesimpulan ini sesuai dengan mereka yang berpendapat bahwa
industrialisasi dan pembangunan dalam periphery dibatasi oleh sejumlah
kontradiksi internal/eksternal. Krisis hutang dalam LAC dan di tempat lain dalam
periphery disebabkan peningkatan besar dalam pelayanan hutang yang membawa
pembangunan kepada akhir yang mendadak pada tahun 1980. Investasi langsung

176
acing dalam LAC, ditarik oleh regim buruh yang represif dan upah gaji yang
rendah, mengkontribusi kepada pertumbuhan eksp6r telah menghasilkan daerah
kantong pembangunan dengan beberapa hubungan domestik, yakni, pembangunan
yang menyimpang. Lagipula, perusahaan nasional telah dibatasi oleh
pertumbuhan proteksionisme dalam ekonomi pasar yang telah berkembang.
Upaya-upaya untuk mengembangkan dengan menghasilkan ekonomi
domestik (strategi industrialisasi subtitusi import) telah melemah karena perluasan
penting pasar tidak berlangsung. Struktur sosial dan kelas internal, konsentrasi
kekuatan ekonomi dan marginalisasi massa penduduk yang tetap di luar ‘tiang’
modern (periphery internal) telah membatasi pertumbuhan hubungan kapitalis.
Perbedaan mekanisme mendominasi pembangunan kapitalis selama waktu
dan tempat dan pada tingkat pergerakan di dalam aturan kapitalis. Namun
demikian, kontradiksi berhubungan dengan industrialisasi akhir menunjukkan
bahwa keberhasilan NIC akan tidak terulang lagi dengan mudah di tempat lain
dalam periphery. Jelaslah bahwa perubahan radikal sekarang terhadap liberalisasi
pasar dan privatisasi dalam beberapa negara Dunia Ketiga sebagai solusi bagi
ketidakberkembangnya penuh dengan kesulitan (Ayres, 1995b; 1996).
Industrialisasi dalam, periphery terancam oleh pembangunan dalam mikro
elektronik yang memungkinkan mengembalikan aktifitas intensif buruh kepada
ekonomi negara pusat. Lebih lanjut, pelayanan dan keuangan sedang tumbuh pada
pengeluaran industri dan sektor-sektor baru utama didominasi oleh perusahaan
multinasional dari negara-negara metropolitan. Tetapi makalah ini telah
mengungkap bahwa pembangunan atau kurang berkembangnya suatu negara tidak
dapat dipahami hanya dalam istilah ketergantungan eksternal atau otonomi
nasional. Seperti Cardoso dan Faletto (1978), Larrain (1989), Palma (1994) dan
lainnya menekankan kita perlu mempelajari bentuk khusus pembangunan kapitalis
kesimbangan kekuasaan, perjuangan dan aliansi antara kelas-kelas dan tingkat
akumulasi dalam situasi konkrit. Ini melalui sintesis struktur internal dan eksternal
dan mekanisme yang akan kita pahami khususnya bentuk pembangunan.
Pertimbangan ini menyoroti ketidakmemadaian metodologi kaum empiris
yang mencoba membuat generalisasi teoritis yang universal dari aturan statistik.
Hal yang terpenting masalah ini, seperti kaum realis yang kritis telah menyatakan,

177
bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami proses ekonomi dan sosial dari
phenomena yang bisa diamati (Lawon, 1994). Peran yang tepat ilmu pengetahuan
adalah tidak menutup struktur yang mendasari, kekuatan, mekanisme dan tendensi
yang menentukan permukaan phenomena yang bisa diamati. Studi kita telah
menjelaskan cara bagi tugas ini.

178
BAB 15
PERILAKU PETANI: KAJIAN EKONOMI POLITIK
Oleh: Budi Eko Soetjipto

Norman T. Uphaff & Warren F. Ilchman mengatakan bahwa ekonomi-


politik adalah suatu integrated social science of public purpose. Dikatakan bersifat
politik karena membahas segi otoritas dan kompetisi otoritas dalam masyarakat.
Tapi juga dapat dikatakan bersifat ekonomi karena menggarap masalah alokasi
dan pertukaran sumber-sumber yang langka, termasuk di dalamnya sumber-
sumber sosial dan politik (Rahardjo, M.Dawam, 1985: 38; Wahab, Solikhin
Abdul, 1999:3). Lebih lanjut, Rahardjo menambahkan bahwa kekhususan bidang
ini adalah mengarahkan perhatiannya pada orang-orang dan bangsa-bangsa non
industri dan mereka yang dimiskinkan oleh suatu proses serta memperhatikan
upaya-upaya umum untuk memperbaiki nasib mereka (1985:38). Selain itu,
ekonomi politik dapat pula dipandang sebagai studi atau analitis kritis mengenai
aspek atau dimensi ekonomis dari setiap kebijakan publik. Sejumlah pertanyaan
khas yang bermuatan politik yang diajukan adalah who gains, who losses, and
how (Staniland dalam Wahab, Solikhin Abdul, 1999). Sependapat dengan
pendapat Rahardjo di atas, maka artikel ini memberikan fokus perhatian pada
petani yang hidupnya menderita karena kebijakan pemerintah di bidang pertanian
yang merugikan serta usaha-usaha yang dilakukan para petani dalam melawan
kebijakan yang merugikan tersebut.
Gambaran tentang petani di Cina tahun 1931, nasib kaum petani di Burma
Hulu, Tonkin, Annam di Indocina, Jawa Timur dan Jawa Tengah pada awal abad
keduapuluh yang dicirikan dengan adanya lahan-lahan pertanian yang sempit,
cara-cara tradisional, perilaku cuaca dan pajak berupa uang tunai, tenaga kerja dan
hasil tanaman yang dipungut negara, telah mendatangkan hantu kelaparan dan
kekurangan di setiap desa-desa di wilayah tersebut (Scott, 1985). Dengan
demikian, masalah petani masih selalu menarik perhatian untuk dikaji. Hal ini
bukan hanya karena negara-negara Asia Tenggara dan beberapa negara di Afrika
merupakan negara agraris, yang penduduknya sebagian besar menggantungkan

179
hidupnya pada sektor pertanian, tetapi juga karena adanya perbedaan pandangan
peran ekonomi dan politik petani seperti perlawanannya terhadap kebijakan
pemerintah yang merugikan kehidupannya. Telaah tentang perilaku ekonomi
politik petani, kiranya tidak dapat dilepaskan dari dua kutup deterministik antara
pandangan James Scott dan Samuel Popkins.

Pandangan James Scott Tentang Perilaku Ekonomi Politik Petani


Berdasarkan penelitiannya tentang petani di Vietnam, James Scott
menyatakan bahwa petani tradisional di Asia Tenggara selalu mendasarkan segala
tindakannya berdasarkan prinsip-prinsip moral (Scott,1985). Keputusan-
keputusan penting dalam kegiatan ekonomi maupun sosial didasarkan pada moral
subsistensi. Gambaran mengenai apa yang dimaksud dengan moral subsistensi itu
dapat dilukiskan sebagai orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai
kelehernya, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk
menenggelamkannya (Tawny dalam Scott, 1985). Dengan kondisi yang demikian
itu maka sekali saja panen gagal, sudah dapat dibayangkan akan segera diikuti
oleh kekurangan pangan dalam keluarga petani. Oleh karena itu petani tidak akan
melakukan tindakan yang penuh resiko dengan berusaha untuk mengejar
keuntungan sebesar-besarnya. Mereka lebih memilih prinsip safety first atau
dahulukan selamat (Scott, 1985:7). Prinsip safety first inilah yang melatar-
belakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan
masyarakat agraris pra-kapitalis. Cara-cara bertani dengan memilih bibit yang
tidak sejenis adalah salah satu contoh upaya untuk mendahulukan selamat
daripada mengejar keuntungan. Selain itu juga adanya tanah komunal yang secara
periodik dibagi-bagikan kembali dan menolong kerabat tetangga yang sedang
dalam kesulitan, serta banyak bersedekah dan sebagainya. Semua pengaturan itu
didasarkan pada suatu persepsi bahwa semua orang berhak atas nafkah hidup dari
sumber-sumber kekayaan yang berada di dalam masyarakat. Tujuan pokok dari
berbagai pengaturan sosial ekonomi itu adalah agar tetap terjaminnya ekonomi
subsisten.
Dengan mengutip pendapat Behrinan, James Scott (1985) menyatakan
“pada petani-petani yang hidup dekat batas subsistensi, rasa enggan mengambil

180
resiko itu bisa sangat kuat, oleh karena suatu hasil diatas nilai-nilai yang
diharapkan mungkin dapat mengimbangi hukuman berat akibat hasil di bawah
nilai-nilai yang diharapkan”. Dengan mengingat etos petani seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka tidaklah tepat beberapa pandangan ekonomi klasik
atau neo klasik. Hal itu disebabkan karena asumsi-asumsi dari teori-teori tersebut
didasarkan atas tindakan rasional hukum penawaran dan permintaan yang tidak
relevan dikembangkan dalam sistem masyarakat tradisional. Kegiatan ekonomi
mereka berjalan atas, dasar prinsip.prinsip tradisional yang mereka miliki.
Menurut aliran Ekonomi Moral, petani dengan kegiatannya menjaga
kebutuhan pokok yang mengakibatkan mereka sangat kuatir terhadap inovasi dan
resiko. Kegiatan, sikap “dahulukan selamat”, ini menyebabkan mereka lebih
menyukai, misalnya sistem perpajakan progresif daripada sistem flat. Ini berkaitan
dengan kemungkinan masa baik dan buruk dalam pendapatan mereka. Perhatian
akan kebutuhan pokok ini tercermin dalam nilai-nilai dan hubungan sosial yang
ada di desa-desa, serta sikap terhadap keterlibatan dengan dunia luar. Dalam
bentuk primitifnya, desa adalah “korporasi” dalam arti adanya penerimaan dalam
tingkat tertentu saling ketergantungan dan kewajiban antar anggota dan dalam
memberlakukan kewajiban komunal untuk mencukupi seluruh desa dengan
kebutuhan pokok. Desa memiliki ekonomi moral karena aturan desa
menghasilkan keluaran-keluaran moral. Secara khusus aturan ini memberlakukan
kewajiban untuk melindungi kebutuhan pokok anggota komunitas yang lebih
miskin dan kurang beruntung. Mereka juga mengalokasikan pemerataan tanggung
jawab dan melalui proses pembuatan keputusan konsensus, melindungi komunitas
terhadap keburukan kesenjangan. Dengan demikian desa tidak hanya merupakan
kumpulan para penghasil pertanian. Ia merupakan “sebuah unit ritual dan
kultural” yang mempunyai rasa identitas yang kuat dan aturan moral yang
menyeluruh.
Pandangan ekonomi moral terhadap revolusi petani juga konsisten dengan
penekanannya pada konservatisme. Petani melakukan pemberontakan untuk
mencegah pertumbuhan pengaruh kapitalisme, guna mempertahankan integritas
sosial dan moral komunitas mereka terhadap pengaruh yang membahayakan dari
individualisme dan ketamakan, serta mengembalikan lembaga-lembaga dan

181
hubungan masyarakat prakapitalis. Petani akan melakukan pemberontakan jika
kekuatan luar membawa ancaman nyata kepada kebutuhan pokok petani, atau jika
kemampuan petani untuk tetap hidup dan kemampuan struktur masyarakat untuk
bertahan ada dalam bahaya yang nyata (Staniland, 1985).

Pandangan Popkin Tentang Perilaku Ekonomi Politik Petani Di Vietnam.


Salah satu karya ekonomi politik baru pada masyarakat Dunia Ketiga yang
terkenal adalah studi yang oleh Samuel Popkin yang berjudul: Rational Peasant:
The Political Economy of Rural Society in Vietnam yang diterbitkan tahun 1979.
Dalam karya ini Popkin mempertanyakan asumsi, analisa dan kesimpulan sebuah
kelompok ilmuwan yang ia sebut sebagai aliran “ekonomi moral”. Menurut
Popkin, aliran ekonomi moral telah melakukan kesalahan baik dalam
penggambaran masyarakat petani pra kolonial maupun dalam analisisnya
mengenai respon petani terhadap kapitalisme.
Lebih lanjut menurut Popkin (1979) yang melakukan penelitian di
Vietnam, para petani bersikap sangat rasional dalam melakukan aktivitas
pertaniannya. Petani tradisional di Asia Tenggara melakukan tindakan-tindakan
ekonommya atas dasar prinsip-prinsip rasional. Mereka akan melakukan tindakan
apabila hasilnya dinilai akan memberikan manfaat secara individu maupun secara
sosial. Oleh karena itu tindakan kolektif sangat ditentukan oleh integrasi
kepentingan-kepentingan ekonomi secara individu. Adanya kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan dari kegiatan ekonomi dalam lembaga pasar mendorong
petani tradisional memanfaatkan kesempatan tersebut.
Selain itu, Lembaga-lembaga tradisional pedesaan menurut Popkin
dianggapnya tidak efektif dalam menjamin kebutuhan subsistensi mereka.
Tindakan kolektif untuk kebutuhan bersama masih didasarkan atas pertimbangan
individu dan kepentingan untuk dapat memkmati hasil dari kerja kolektif tersebut.
Di dalam masyarakat tradisional eksternalitas produksi dan biaya informasi
nampak sedemikian tinggi sehingga pemanfaatan pranata-pranata non pasar
dinilai memberikan keuntungan lebih besar. Gotong royong misalnya merupakan
tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan tidak atas dasar kontrak formal

182
karena kerja gotong royong tersebut dinilai efisien karena upah tenaga kerja
menjadi lebih rendah (Rachbini, 1990).
Menurut Popkin sikap rasionalitas petani itu juga nampak dalam
motivasinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan bukan kelompok. Petani
tradisional lebih menggantungkan hidupnya pada keluarga atau kelompok kecil
untuk menegaskan jaminan subsistensi mereka. Bukannya bersandar pada
kelompok masyarakat seluruh desa yang dinilainya tidak efektif. Disebut
demikian karena setiap orang didalam komunitas tersebut pada dasarnya menuntut
keuntungan dari tindakan kolektif dengan cara melalui partisipasi sekecil
mungkin. Popkins juga mengemukakan bahwa para petani kaya di desa juga
senantiasa berusaha melakukan tindakan yang bersifat eksploitatif dengan
memanfaatkan kedudukan istimewanya dalam kekuasan politik maupun status
sosial. Pola hubungan patron-klien yang mentradisi memberikan peluang lebih
besar lagi bagi petani kaya untuk bergabung dan secara bersama-sama
mengeksploitasi lembaga-lembaga pedesaan untuk kepentingan mereka sendiri.
Agar taraf hidup petani dapat meningkat, Popkin juga sangat menganjurkan
adanya perdagangan bebas. Petani harus terlibat dalam kegiatan pasar. Monopoli,
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta banyak menimbulkan
ketimpangan. Anjuran itu adalah wajar karena Popkin merupakan ahli ekonomi
neo klasik dan Laize Faire yang sangat mendukung kekuatan pasar bebas untuk
menggerakkan pertumbuhan ekonomi (Marsudi, 1998).
Lebih lanjut, Popkin mempertegas bahwa kolonialisme dan kapitalisme
sesungguhnya tidak sedestruktif yang digambarkan oleh aliran ekonomi moral,
terutama karena yang bisa dirusak lebih sedikit daripada yang mereka percayai,
gambaran yang realistis dari masyarakat desa prakapitalis justru mengungkap
adanya individualisme yang lebih besar dan dukungan komunal yang jauh lebih
sedikit daripada yang dikemukakan oleh ilmuwan ekonomi moral.
Popkin menyarankan adanya reevaluasi sejarah masyarakat petani
Vietnam sejak masa penjajahan Perancis sampai tahun 1945. Kerangka
berfikirnya adalah pandangan ekonomi politik perilaku petani yang memfokuskan
pada pembuatan keputusan individual sebagai pengganti penekanan budaya dan
nilai. Premis Popkin adalah bahwa sesungguhnya petani adalah seorang pemecah

183
masalah yang rasional yang mempunyai keinginan mengejar kepentingannya
sendiri dan kebutuhan untuk melakukan tawar-menawar dengan pihak lain guna
mencapai hasil yang saling dapat diterima.
Revolusi dan bentuk protes petani lainnya tidak ditujukan untuk
mengembalikan lembaga-lembaga pra-kapitalis, tetapi lebih ditujukan pada upaya
untuk “menjinakkan” kapitalisme dan menghancurkan kebiasaan dan pelaksanaan
praktek-praktek feodal yang dianggap oleh para penduduk desa eksploitatif dan
menghambat. Pergerakan revolusioner sebenarnya diilhami oleh perasaan bahwa
kemajuan itu dapat dicapai, oleh keinginan untuk meningkatkan standard
kehidupan, dan bukannya oleh ketakutan atau nostalgia ingin kembali ke dalam
lingkungan desa “corporate” yang penuh pengayom (Mas’oed, Mohtar).

Pandangan Bates Tentang Pasar dan Negara di Afrika Tropis


Sebuah usaha yang lebih berhasil untuk mengaitkan rasionalitas petani
dengan politik dilakukan oleh Robert Bates dalam studinya mengenai kegagalan
kebijakan pertanian di Afrika Pasca kolonial. Argumen umumnya adalah bahwa
krisis produksi pangan di Afrika diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang
meskipun menguntungkan bagi kepentingan politik jangka pendek penguasa,
tetapi mengurangi keuntungan para penghasil tanaman pangan dan tanaman
ekspor yang merupakan tumpuan sebagaian besar negara Afrika.
Untuk memperkuat basis kekuasaannya, ada beberapa cara yang
digunakan oleh para politisi Tanzania (Staniland, 1985 dalam Mas’oed, Mohtar).
Pertama, para politisi memilih kebijakan untuk mengamankan serta melindungi
tujuan-tujuan sosial untuk memperkuat kekuasaan. Mereka menggunakan pasar
sebagai “instrumen kontrol politik”. Intervensi yang mereka lakukan biasanya
membawa kepada situasi kelangkaan (scarcity) barang-barang tertentu yang
selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber patronase politik dan korupsi-
yaitu “policy-generated rents”. Kedua, petani kecil tidak diberi tempat untuk
berpartisipasi dalam arena politik. Ketiga, intervensi pasar oleh pemerintah,
pembentukan patronase, dan ancaman penggunaan kekerasan telah membatasi,
membentuk, dan benar-benar memberi urutan rasional bagi pilihan yang tersedia
bagi petani.

184
Dalam beberapa hal, asumsi dan metodologi yang dikembangkan oleh
Bates hampir menyerupai Popkin, meskipun keduanya lebih impisit dari Popkin.
Bates juga meragukan penjelasan ekonomi moral. Sebagai contoh, dia menantang
pandangan Goran Hyden bahwa penurunan produksi makanan di Tanzania pada
tahun 1970-an merefleksikan penolakan kapitalisme oleh petani. Dia lebih suka
berpendapat bahwa penurunan produksi dikarenakan adanya pemangkasan
penjualan oleh produsen terhadap agen pemasaran pemerintah (state marketing
agencies) (Staniland, 1985). Berkaitan dengan hal ini, kami berspekulasi bahwa,
yang dilakukan pemerintah Tanzania tampaknya sejalan dengan pemikiran Schiff
& Valdes (1993) yang menyatakan bahwa, “Another way of generating revenue is
through a marketing board which pays farmers a low price for their products and
exports them at a higher price” (Cara lain untuk memperoleh penerimaan adalah
melalui sebuah badan/ lembaga, pemasaran yang mans badan ini membeli produk
pertanian dari para petani dengan harga yang rendah dan mengekspornya dengan
harga, yang lebih tinggi). Penerimaan inilah yang dikemudian oleh pemerintah
Tanzania dipergunakan untuk memperkuat basis kekuasaannya dan bukannya
untuk meningkatkan kemakmuran petani. Karena merasa dirugikan, maka, para
petani disana menggunakan pasar sebagai sarana untuk melawan kebijakan
pemerintah yang merugikan dirinya. Cara-cara itu antara lain: tidak bercocok
tanam tanaman yang tidak menguntungkan, mencari outlet yang lebih baik untuk
hasil-hasil pertaniannya, termasuk di negara tetangganya, atau mereka tidak
bercocok-tanam dan pindah ke kota (Staniland, 1985:57).
Selanjutnya Bates juga sependapat dengan pandangan Popkin tentang
perlunya mempelajari rasionalitas tindakan individu.

Pengalaman di Thailand.
Malee Prukpongsawalee dan Pasuk Phongpaichit dalam Thandee
Damrong, (1988), memberikan wacana yang cukup komprehensif tentang
pembangunan pertanian di Thailand. Dia menyatakan, walaupun Thailand
dianggap sebagai negeri pertanian yang subur makmur, dengan komoditi-
komoditi pertanian sebagai ekspor pentingnya, namun sebagian besar dari apa
yang dihasilkan petani setempat disedot dan dijual kepada tengkulak-tengkulak

185
setempat untuk dikonsumsi di kota dan di luar negeri, sehingga sedikit saja yang
tersisa bagi keluarga-keluarga petani miskin. Hasil pertanian yang tidak dijual di
pasar sering tidak cukup untuk makan satu keluarga sampai musim panen
berikutnya. Anggota-anggota keluarga miskin itu terpaksa merantau, terutama ke
daerah-daerah perkotaan, untuk mencari pekerjaan musiman guna menambah
penghasilan mereka yang tidak mencukupi. Manifestasi tingkat kemiskinan itu
dapat dilihat dalam meluasnya pengangguran, tenaga kerja anak-anak, pelacuran,
dan dalam perjuangan kaum miskin di pedesaan untuk sekedar menyambung
hidup.
Thailand dapat digolongkan sebagai sebuah negara kapitalis periferal
dalam ekonomi kapitalis dunia modern, terutama karena kenyataan bahwa
Thailand sebagian besar menghasilkan barang-barang primer untuk diekspor, dan
penduduknya sebagian besar hidup pada tingkat subsistensi. Pola kelas-kelas
sosial di Thailand adalah kompleks, karena kelas yang berkuasa terdiri dari empat
golongan, yaitu: tingkat atas kaum militer-birokrat, kaum borjuis pribumi, borjuis
metropolitan, dan aristokrasi tuan tanah. Kelas ini memegang kekuasaan sosio-
ekonomi dan politik yang tegar atas negara. Evolusi kelas berkuasa modern itu
berlangsung sangat sejalan dengan perkembangan sejarah negeri itu. Thailand
dipengaruhi oleh negara-negara adikuasa Barat terutama melalui penetrasi
kapitalisme ke dalam negeri dalam periode monarkhi di abad ke-19. Periode
setelah perjanjian Bowring dalam tahun 1855, ketika monopoli raja dalam
perdagangan luar negeri diakhiri dan pedagang-pedagang asing dapat melakukan
transaksi bisnis langsung dengan para tengkulak dan produsen setempat, yang
mana hal ini merupakan suatu periode yang sangat penting dalam sejarah
Thailand.
Thailand beralih ke suatu bentuk pemerintahan parlementer dalam tahun
1932, dan selama tiga dasa warsa berikutnya negara itu secara berselang-seling
diperintah oleh pemerintahan militer dan pemerintahan demokratis. Dalam
periode ini keempat golongan itu semakin kuat dan berpengaruh, dan akhirnya
mendominasi kelas buruh industri dan kaum petani pedesaan baik secara
ekonomis maupun politis. Akan tetapi kemudian muncul sebuah kelompok
oposisi, yaitu golongan populis-nasional, yang memihak kelas-kelas bawahan dan

186
menganut suatu ideologi politik yang berbeda. Pendukung kelompok oposisi ini
terdiri dari wartawan-wartawan radikal, mahasiswa-mahasiswa, politisi dan
beberapa kelompok penyelamat. Pertarungan di antara mayoritas yang berkuasa
dan kaum oposisi minoritas menjadi titik pusat konflik dalam kaitannya dengan
pembangunan nasional dan pedesaan Thailand dalam periode kontemporer.
Sesudah Perang Dunia II, Thailand berubah menjadi sebuah negara
kapitalis periferal yang tidak mandiri. Keberhasilan yang marjinal yang telah
dialami oleh kelas bawahan dalam periode itu mendorong kelas berkuasa untuk
mempercepat pelaksanaan program-program pembangunan pedesaan pada awal
dasawarsa enampuluhan. Walaupun pemerintah menyatakan bahwa program-
program pembangunan pedesaan itu dimaksudkan untuk memperbaiki taraf hidup
golongan miskin di pedesaan, pertimbangan utama tindakan pemerintah itu adalah
upaya untuk melancarkan program-program kontra–pemberontakan di pedalaman
dan dalam waktu yang bersamaan menarik perekonomian subsistensi pedesaan ke
dalam modus produksi kapitalis. Untuk mencapai tujuan itu, Thailand
mengizinkan suatu otonomi relatif sampai tingkat tertentu dalam upayanya
merumuskan kebijakan-kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung
mendukung kepentingan kelas bawahan. Sesuai dengan hal itu maka
pembangunan pedesaan memperoleh perhatian yang lebih besar dari kelas
penguasa, dan pemerintah menginvestasikan sumber daya dan dana yang sangat
besar di daerah-daerah pedesaan untuk sektor pertanian.

Pengalaman di Indonesia
Jika ditarik ke Indonesia, pemikiran-pemikiran teoritis di atas masing-
masing ada penganutnya. Pemikiran-pemikiran James C. Scott sesuai dengan
pandangan Boeke maupun Geertz dengan teorinya mengenai dualisme ekonomi
(Boeke, 1978).
Boeke melihat petani tradisional di Indonesia tidak mempunyai
rasionalitas ekonomi. Rasionalitas mereka lebih didasarkan pada kepentingan
sosial yang lebih dominan dan paling menonjol diantara sekian banyak
kepentingan. Pengakuan sosial dan hubungan kekerabatan yang sangat erat
mengalahkan hubungan-hubungan lainnya yang bersifat rasional. Karena

187
kepentingan sosial mendominasi alam pikiran petani maka kebutuhan akan
kebanggaaan sosial juga dinilai lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan
ekonomi. Oleh karena itu motif moral dan tindakan sosial menjadi dasar yang
paling tepat untuk mengarahkan keputusan-keputusan yang mereka ambil.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah ekonomi dianggap merupakan
persoalan sekunder. Boeke juga mengatakan bahwa dalam menghadapi penetrasi
kapitalis yang telah merupakan lembaga-lembaga tradisionalnya, para petani
bersikap pasrah. Sampai pada tahap ini ia berbeda dengan pandangan Scott karena
menurutnya adanya penetrasi kapitalis Barat telah membangkitkan resistensi
petani tradisional. Menurut Boeke perbaikan produksi di dalam sistem pertanian
Indonesia, khususnya di Jawa, melalui perbaikan budidaya, benih unggul,
pemakaian pupuk dan peptisida, akan berjalan sangat lambat (Rachbini, 1990: 80).
Dari uraian diatas, dapat dilihat beberapa persamaan pandangan antara
Scott dengan Bolke. Pertama, mereka berpendapat sama bahwa prinsip
rasionalitas tidak berlaku dalam masyarakat petani tradisional. Mereka melihat
bahwa tingkat subsistensi merupakan aspek utama dalam kehidupan dalam
kehidupan petani tradisional. Kedua, mereka juga mempunyai pikiran yang sama
bahwa penetrasi kapitalisme telah merusak organisasi kemasyarakatan yang
kohesif berdasarkan interaksi sosial dan prinsip-prinsip ekonomi moral. Keduanya
juga menyerang ekonomi pasar yang dianggapnya justru menciptakan krisis di
lingkungan masyarakat petani tradisional (Marsudi, 1998).
Senada dengan pandangan Scott diatas adalah pikiran Geertz dalam
memandang perilaku petani. Marsudi (1998) selanjutnya menegaskan bahwa
dengan mengintrodusir konsep involusi pertanian Geertz berusaha menjelaskan
perilaku petani Indonesia dalam mempertahankam hidupnya. Konsep involusi itu
diadopsi Gertz dari Alexander Golden Weiser, seorang ahli Antropologi Amerika,
yang telah melukiskan pola-pola kebudayaan yang sesudah mencapai bentuk yang
nampaknya telah pasti tidak berhasil menstabilisasinya atau mengubahnya
menjadi suatu pola baru tetapi terus berkembang ke dalam sehingga menjadi
semakin rumit (Geertz, 1976: 88). Dengan meminjam konsep involusi pertanian
Alexander Golden Weiser diatas, Geertz berusaha mengaplikasikannya untuk
menjelaskan proses-proses yang terjadi pada masyarakat tani Indonesia (Jawa).

188
Dengan menggunakan konsep involusi itu arah pemikiran Geertz sebanarnya telah
terarah dengan jelas bahwa konsep involusi itu sendiri telah mengimplikasikan
adanya pengekangan perkembangan atau setidaknya membatasi. Begitu suatu pola
terbentuk, maka suatu perubahan akan terhalang oleh keuletan pola itu sendiri.
Petani hanya berkotak-katik dalam polanya yang telah mapan dan tidak ada
perubahan yang mendasar. Mereka berkembang di dalam sehingga menciptakan
suatu sistem yang semakin rumit, pengaturan kerja gotong rotong semakin
kompleks semuanya itu sebenamya memiliki tujuan untuk menyediakan
kesempatan bagi setiap orang dalam suatu sistem. Proses-proses ini dijelaskan.
dengan baik oleh Geertz. Dengan menggunakan konsep shared poverty (Geertz:
1976).
Dengan konsep shared poverty itu Geertz akan menjelaskan reaksi dari
masyarakat petani dalam menghadapi ledakan penduduk dan proses kapitalisasi.
Dalam memecahkan masalah tersebut, petani bukannya merobah pola
pertaniannya menjadi pertanian rasional yang berorientasi eksport atau
menggunakan teknologi yang efisien untuk mempertinggi pendapatannya. Tidak
pula mereka merubah onentasinya menuju industrialisasi guna menampung tenaga
kerja tetapi mereka tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan
ekonomi yang tinggi dengan cara membagi-bagikan rejeki yang ada sehingga
semakin lama semakin sedikit yang diterima oleh anggota masyarakat. Proses
uang demikian itu dianggap oleh Geertz sebagai proses yang menyebabkan
terjadinya kemiskinan bersama (Geertz: 1976).
Apa yang dikemukakan oleh Gertz diatas sesuai dengan konsep Scott
tentang “mendahulukan selamat” pada petani Birma untuk mempertahankan
ekonomi subsistensinya. Dengan demikian ada kesamaan di antara keduanya
dalam memandang petani yaitu mereka tidak bersikap rasional. Berdasarkan
kerangka pikirannya pertanian di Indonesia Geertz pesimis dengan perkembangan
pertanian di Indonesia. Menurutnya perbaikan macam apapun tidak mungkin
berhasil dilakukan. Pertumbuhan pertanian di Jawa cenderung tumbuh sejalan
dengan pertambahan penduduk yang kemudian menyebabkan stagnasi sektor
pertanian dan mandeknya output tenaga kerja (Rachbini, 1990: 80). Di sisi lain
pemikiran-pemikiran Popkin mengenai petani rasional (rational peasants) juga

189
dianut peneliti-peneliti yang mengkaji petani Indonesia. Peneliti-peneliti setelah
Geertz, terutama penelitian-penelitian yang dilakukan pada tahun 1970-an, pada
umumnya membantah pandangan-pandangan Geertz atau setidak-tidaknya mereka
memberikan kritik terhadap konsepsinya itu. Di dalam menjelaskan dinamika
hidup petani, Geertz dianggap telah mengabaikan kreatifitas petani dalam
menanggapi gejolak jamannya. Dalam mengatasi masalah semakin menyempitnya
lahan, petani juga mengembangkan usaha-usaha di luar pertanian, misalnya
dengan membuat kerajinan atau home industry serta mereka sebenarnya tidak
alergi pasar. Yang disebut akhir ini dibuktikan oleh penelitian Robert Van Niel
yang menyatakan pada masa tanam paksa. Petani Jawa turut pula terintegrasi
dalam sistem ekonomi pasar (Van Niel dan Anne Booth (ed), 1985: 135).
Penelitian-penelitian William Colliers, Benyamin White dan Kano juga
mengkritik konsep, Geertz mengenai involusi pertanian (Rachbini, 1990:80).
Diantaranya ada yang menanggapi bahwa yang tedadi sebenarnya bukanlah
involusi tetapi proses-proses evolusi. Pola pertanian masyarakat bukannya
berhenti dan polanya tidak berubah tetapi sebenarnya ada perkembangan dan
perubahan hanya saja semua itu berjalan lambat. Konsep evolusi itu implikasinya
memberikan peluang adanya perubahan di dalam pertanian, sedangkan dalam
involusi adanya perubahan sudah tertutup sama sekali. Dalam hal penggunaan
teknologi, petani sebenarnya tidak enggan menggunakannya, hanya saja modal
yang mereka miliki memang sangat terbatas. Menurut penelitian Aminuddin
Kasdi (dalam Marsudi, 1998), penggunaan teknologi pertanian sebenarnya tidak
ditolak tetapi fasilitas itu memang lebih banyak dipergunakan oleh petani kaya.
Setelah menelaah pemikiran-pemikiran diatas, kami sependapat dengan Marsudi
(1998) bahwa etos kerja petani Indonesia masih memiliki ciri-ciri dualistik. Di
satu sisi petani tradisional masih berperilaku seperti yang digambarkan Scott,
Boeke dan Geertz, di sisi lain ada petani modern yang berpikiran rasional seperti
yang digambarkan Popkin. Walaupun demikian kami tidak sependapat dengan
Boike yang mengatakan bahwa dualisme ekonomi itu bersifat permanen sehingga
tidak memberikan tempat bagi adanya perubahan. Kami juga kurang sependapat
dengan pemikiran Geertz mengenai involusi yang menginsyaratkan tidak mungkin
adanya perkembangan karena petani hanya melakukan ke dalam. Menurut kami,

190
apa yang terjadi pada masyarakat tani itu merupakan salah satu tahap saja dari
perkembangan peradaban masyarakat tam Indonesia. Suatu tahap yang secara
alami harus mereka lalui untuk menuju kemajuan yang rasional. Sepanjang
pemikiran masyarakat masih bersifat mistis, kiranya sulit untuk melakukan usaha-
usaha pertanian yang rasional.
Bahwa mereka sekarang ini masih mengutamakan kehidupan komunal dan
moral, hal itu tidak dapat dipungkiri akan tetapi dengan adanya gesekan yang
terus menerus dengan dunia yang rasional tentu akan mampu merubah pola-pikir
petani tersebut. Adanya keberhasilan revolusi hijau (green revolution) melalui
program BIMAS, INMAS, INSUS dan SUPRA INSUS menunjukkan bahwa
petani dapat bersifat rasional. Oleh karena itu program tersebut diteruskan.
Masyarakat petani di daerah tadah hujan kini telah menyadari perlunya
penggunaan teknologi dalam pengolahan lahannya. Oleh karena itu dengan
kesadarannya sendiri mereka menggunakan pompa air atau diesel penyedot air
untuk mengairi lahan pertaniannya. Hanya saja untuk penggunaan traktor,
masyarakat masih cukup selektif. Petani-petani kecil menganggap pemilikan
traktor tidak efektif. Pola-pola tradisional seperti sambatan masih dianggap
menghemat biaya. Bagi petani kaya dan pemilik lahan yang luas, pemilikan
traktor baru dianggap lebih menguntungkan. Dengan demikian adalah tidak benar
jika petani tidak bersikap rasional dalam menjalankan produksi pertaniannya.
Berkenan dengan pasar, sebenarnya para petani cukup responsif. Namun
masalahnya adalah bagi petani yang hidup subsistennya agak sulit maka mereka
memang agak sulit untuk diajak mempelopori penanaman baru yang belum
dikuasainya. Hal ini bukannya berarti bahwa mereka tidak mau merubah pola
produksinya untuk mengikuti permintaaan pasar. Jika mereka telah menguasai
teknik produksi dan memiliki pengalaman, maka mereka akan segera melakukan
pertanian yang dibutuhkan pasar tersebut. Usaha-usaha perintisan pertanian yang
berorientasi pasar pada umumnya dimulai oleh petani kaya. Bagi petani gurem
walaupun dapat bersikap rasional tetapi konsep dahulukan selamat masih tetap
dipegang kuat (Kasdi dalam Marsudi, 1998). Contoh-contoh respon petani
terhadap pasar pada umumnya nampak pada petani sayur dan buah. Jika harga
cabe meningkat tajam, maka petani akan mengalihkan produksinya untuk

191
menanam cabe. Walaupun demikan kebanyakan petani tetap miskin karena diluar
kemampuan petani ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi usaha tani misalnya
kebijakan politik yang tidak (kurang) berpihak pada petani, monopoli atau tingkah
laku para spekulan yang memainkan harga pasar produk-produk pertaman.

Penutup
Dari pembahasan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan terhadap
perilaku ekonomi politik petani sebagai berikut:
1. Menurut James C. Scott, petani tradisional di Asia Tenggara selalu
mendasarkan tindakannya pada prinsi-prinsip moral. Mereka lebih memilih
prinsip “safety first”. Sedangkan menurut Popkin, para petani di Asia
Tenggara bersikap sangat rasional dalam melakaan aktivitas pertaniannya.
2. Karena merasa dirugikan, maka para petani di Tanzania menggunakan pasar
sebagai sarana untuk melawan kebijakan pemerintah yang merugikan dirinya.
Cara-cara itu antara lain: tidak bercocok tanam tanaman yang tidak
menguntungkan, mencari outlet yang lebih baik untuk hasil-hasil
pertaniannya, termasuk di negara tetangganya, atau mereka tidak bercocok-
tanam dan pindah ke kola.
3. Perkembangan pertanian di Thailand terjadi setelah periode yang cukup lama
diper uangkan oleh kaum bawahan dengan dibantu oleh kaum oposan,
sehingga akhirnya penguasa juga mempeduangkan nasib para petani dengan
menginvestasikan sebagian dananya pada sektor pertanian.
4. Apa yang terjadi pada petani di Indonesia bukanlah dualisme permanen seperti
apa yang dikemukakan oleh Boeke dan bukan pula, involusi seperti yang
digambarkan oleh Geertz. Yang dialami petani Indonesia itu merupakan suatu
proses perkembangan peradaban petani yang sifatnya dinamis sesuai dengan
perkembangan pola pikirnya.

REFERENSI

Boeke, 1978. Dualisme Ekonomi. Jakarta: Bhatara K.A

Booth. Anne (ed) 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Jakarta: LP3ES.

192
Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di
Indonesia. Jakarta: Bhatara K.A.

M. Schiff and A. Valdes. The Political Economy of Agricultural Pricing Policy: A


Synthesis of The Economic in Developing Countries. Journal of
Contemporary Asia, Vol 24 No 4, 1994.

Marsudi. 1998. “Etos Kerja Petani Indonesia: Suatu Tinjauan Teoritis”.


Pendidikan Nilai: Kajian Teori, Praktik dan Pengajarannya. Tahun 1,
Nomor 1, Mei.

Mas’oed, Mohtar. Ekonomi-Politik Pembangunan (Bahan Kuliah)

Popkins, Samuel, 1979. The Rational Peasants, The Political Economy of


Rural Society in Vietnam. Barkeley University of California Press.

Rachbini, Didik J. 1990. “Petani Pertanian Subsisten dan Kelembagaan


Tradisional”. Prisma. No. 2 Tahun XIX.

Rahardjo, Dawam. M. 1985. Esei-Esei Ekonomi Politik. Jakarta: LP3ES.

Scott, James C. 1985. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES.

Staniland, Martin. What Is Political Economy? A Study of Social Theory and


Under Development, New Heaven and London: Yale University Press.

Thandee, Damrong. 1988. “Birokrasi-Birokrasi Pembangunan Muangthai dan


Pembangunan Pedesaan” dalam Kriss Tersembunyi Dalam
Pembangunan: Birokrasi-Birokrasi Dalam Pembangunan (Arief
Budiman & Ph. Quarles van Ufford (eds). Jakarta: PT. Gramedia.

Wahab, Solichin Abdul, DR., MA. 1999. Ekonomi Politik Pembangunan:


Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah Krisis Moneter,
Malang: PT. Danar Wijaya, Brawijaya University Press.

193

Anda mungkin juga menyukai