Anda di halaman 1dari 4

2.

10 TEORI PERTUMBUHAN NEO-KLASIK


Teori pertumbuhan Neo Klasik berkembang sejak tahun 1950-an. Teori ini berkembang
berdasarkan analisis-analisis pertumbuhan ekonomi menurut pandangan ekonomi klasik. Ahli
ekonomi yang menjadi peintis dalam mengembangkan teori pertumbuhan tersebut adalah Robert
Solow dan Trevor Swan, yang kemudian diikuti oleh beberapa ahli lainnya yaitu Edmund Phelps,
Harry Johnson dan J.E. Meade.

a. Premise dan Asumsi Dasar


Teori neo-klasik dikembangkan atas premise dasar, atara lain: (a) persaingan sempurna
(perfect competition), (b) perilaku ekonomi rasional, dan (c) tidak ada eksternalitas dalam
perekonimian. Adapun asumsi-asumsi pokok yang digunakan adalah sebagai berikut. Pertama,
untuk menentukan pendapatan perkapita masyarakat suatu negara menggunakan dua faktor
produksi, yaitu kapital dan tenaga kerja. Kedua, fungsi produksi bersifat constant return to scale
(CRS). Artinya apabila semua faktor produksi dilibatkan secara proporsional, maka output akan
meingkat dengan proporsi yang sama. Ketiga, peningkatan suatu faktor produksi mematuhi
hukum diminishing returns to scale. Ini berarti peningkatan output yang didapat karena tambahan
1 unit faktor produksi terakhir tidak sebesar peningkatan output dari tambahan 1 unit faktor
sebelumnya, ceteris paribus. Keempat, pertumbuhan penduduk bersifat eksogen, konstan, dan
tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti komposisi faktor produksi, pendapatan
masyarakat, dan altruism. Kelima, tingkat tabungan meruakan bagian tetap dari pendapatan
nasional.
Dengan premise dan asumsi dasar tersebut, maka selama investasi (gross investment) lebih
besar dari depresiasi dan pertumbuhan penduduk, maka investasi akan mendorong pertumbuhan
melaluiproses yang disebut sebagai capital deepening, CapitalHabor ratio terus meningkat
sampai pada suatu keseimbangan dimana tambahan kapital per kapita hanya cukup untuk
membekali tambahan tenaga kerja dengan mesin baru dan untuk menutup depresiasi mesin
produksi. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai seaty state tingkat kapital. karena tidak ada
tambahan kapital baru di dalam perekonomian, pendapatan per kapita juga konstan. Implisit,
konsumsi per kapita juga konstan.

b. Cara Pandang terhadap Teknologi


Selanjutnya Solow (1956-1957) memasukkan faktor technological progress dalam model
neo-klasik setelah ditemukannya ada unsur lain di samping kapital dan tenaga kerja yang
memberi sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Faktor ini sering disebut
sebagai Solow Residual.
Ada beberapa ciri mengenai cara pandang teori neo-klasik terhadap teknologi. Pertama,
teknologi bersifat eksogen yang datang demikian saja dalam proses produksi. Kedua, teknologi
bersifat pure public goods yang mempunyai karakteristik sebagai non-rival goods dan sekaligus
non-excludable goods. Sebagai non-rival goods, teknologi bisa didapatkan tanpa harus bersaing
satu sama lain. sedangkan sebagai non-excudable goods, manfaat teknologi tidak dapat di khusus
kan hanya untuk sekelompok pengguna saja, atau dalam skala yang lebih luas hanya unuk suatu
negara saja.setiap negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan teknolgi
dengan biaya rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. ketiga, karena sifatnya yang pure
public goods maka teknologi tidak mendapat kompensasi (imbalan) dalam proses produksi.
dengan tidga statement diatas maka keseimbangan steady state dalam jangka panjang tetap
tercipta.
c. Peranan Pemerintah
Peranan pemerintah dalam teri neo-klasik kurang berarti. salah sat peran yang dapat
dijalankan oleh pemerintah adalah menciptakan iklim menabung agar tersedia tabungan pada
tingkat yang tinggi. Tetapi tabungan yang lebih tinggi ini hanya memberi level effect bukan grow
effect pada pendapatan per kapita suatu negara.
Dengan mengembangkan teori neo-klasik ke perekonomian terbuka, peranan pemerintah
makin berkurang. pemilik kapital di negara yang relatif berlebih dalam modal akan melihat bahwa
rate of return kapital dari negara-negara berkembang lebih tinggi. Dengan asumsi bahwa kapital
dapat bergerak secara bebas melintasi negara, kapital akan berpindah dari negara maju ke negara
berkembang sampai rasio antara investasi terhadap PDB sama pada setiap negara. dengan
teknologi yang bersifat pure public goods, maka dalam jangka panjang pendapatan perkapita
negara-negara di dunia akan konvergen. atau paling tidak perbedaan pendapatan per kaita antara
negara-negara paling maju dan berkembang akan makin mengecil. Ini implikasi pokok dari
pandangan neo-klasik mengenai pertumbuhan jangka panjang negara-negara di dunia.
Pengembangan teori neo-klasik selanjutnya mencoba menjelaskan terjadinya residual
dalam pertumbuhan. salah satu pengembangan yang agak berbeda dari teori learining (Arrow,
1962). Teori learning memasukan unsur externality yang terkandung dalam peningkatan kapital
pada proses produksi. menurut teori ini peningkatan kapital akan menngkatkan stocl of public
knowledge sehingga meskipun proses produksi dalam skala perusahaan bersifat Constant Return
to Scale (CRS), namun dalam skala industri bersifat Increase Return to Scale (IRS). Peningkatan
produktivitas dimungkinkan dengan adanya stock of knowledge (seperti pengalaman pekerja
dalam proses produksi sebelumnya) dan tambahan kapital yang masuk dalam proses produksi.
namun seperti halnya dalam teori neo-klasik, teknologi tidak mendapatkan kompensasi dalam
proses produksi. Dalam jangka panjang learning akan mencapai batas maksimal l sehingga tidak
adalagi dorongan bagi peningkatan produktivitas secara berarti (Young, 1993).
Menjelang akhir tahun 1960-an, pengembangan model neo-klasik menyurut karena tidak
didukung oleh studi empiris yang memadai. yang juga menarik bahwa bersamaan dengan itu,
teori ekonomi pembangunan juga menyusut. Selain cara pandang terhadap teknologi, teori neo-
klasik idak memberi perhatian yang mendalam tentang peranan kualitas SDM dan kegiatan R & D
dalam pertumbuhan jangka panjang.
2.11 TEORI PERTUMBUHAN BARU (ENDOGENEOUS)
Teori pertumbuhan endogen muncul sebagai reaksi kekurang mampuan teori ekonomi neo-
klasik dalam membuktikan adanya tendensi konvergen, yaitu kecenderungan dimana semua negara di
dunia akan memiliki pendapatan perkapita yang sama Konvergensi menuntut bahwa negara industri
maju akan tumbuh lebih lambat dari negara-negara miskin. Pemahaman ini adalah respon dari
perkembangan teknologi, seperti kita lihat sekarang banyak penemuan teknologi modern yang mampu
meningkatkan produksi. Sedangkan teori Neo-Klasik solow tidak dapat menjelaskan dengan baik
tentang perkembangan teknologi. Teori pertumbuhan endogen ini berbeda dengan teori pertumbuhan
solow yang menganggap keseimbangan jangka panjang dari capital-labor ratio akan menghasilkan
pertumbuhan mendekati zero growth (konvergen).
Model pertumbuhan ini berasumsi proses pertmbuhan berasal dari tingkat perusahaan atau
industri. Setiap industri berproduksi dengan skala hasil yang konstan, sesuai dengan asumsi
persaingan sempurna. Romer berasumsi bahwa cadangan modal dapat mempengaruhi output di
tingkat industri sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan skala hasil di tingkat perekonomian
secara keseluruhan. Cadangan modal yang dimiliki setiap perusahaan termasuk pengetahuan yang
dimilikinya juga. Pengetahuan yang terdapat dalam cadangan modal setiap perusahaan adalah sebuah
public goods.
Model ini menerapkan “learning by doing” sebagai “learning by investing”. Jadi model
endogenisasi romer adalah cara untuk memahami model harrod dorman yaitu pertumbuhan
bergantung pada investasi.
Kritik terhadap teori pertumbuhan baru

Teori pertumbuhan baru ini masih bergantung dengan asumsi neo-klasik yang sering tidak
sesuai dengan perekonomian yang ada pada negara berkembang sehingga hal ini menjadi
kelemahannya tersendiri. Teori baru ini hanya menekankan pada faktor penentu tingkat pertumbuhan
jangka panjang sehingga dampaknya pada pertumbuhan jangka pendek dan menengah terabaikan.
Pertumbuhan ekonomi negara berkembang terhambat karena berbagai masalah seperti infrastruktur
yang jelek, struktur kelembagaan yang tidak memadai, juga pasar modal dan barang yang tidak
sempurna. Teori pertumbuhan endogen mengabaikan faktor-faktor berpengaruh ini, sehingga
penerapannya dalam studi pembangunan ekonomi menjadi terbatas, terutama ketika melibatkan
perbandingan antar negara. Contohnya, di negara-negara berpendapatan rendah yang terjadi
kelangkaan modal membuat penggunaan kapasitas pabrik juga rendah, dan teori ini gagal
menjelaskannya.

Keterbelakangan sebagai akibat kegagalan koordinasi

Kegagalan koordinasi merupakan kondisi lembaga tidak mampu untuk mengatur prilaku
(pilihannya) untuk memberikan hasil (ekuilibrium) sehingga membuat semua lembaga tersebut berada
dalam kondisi yang lebih buruk. Misalnya, perusahaan tidak dapat memasuki pasar di sebuah daerah
jika para pekerjanya tidak mempunyai keterampilan tersebut. Masalah ini membuat tingkat
pendapatan rata-rata yang rendah atau pada tingkat pertumbuhan yang rendah, atau juga dengan
penduduk yang berada dalam kondisi sangat miskin.

Contoh kasus kegagalan koordinasi :


a. Sejumlah investor potensial gagal mengembangkan efek pendapatan dari upah yang
mereka bayarkan
b. Muncul interaksi dari berbagai perilaku yang sedikit terdistorsi.
c. Timbul distorsi yang sangat besar, sampai pada kegagalan proses industrialisasi
secara langsung.

Untuk mengatasi keterbelakangan ini pemerintah berperan penting , pemerintah harus


menjadi perantara para pekerja yang menginginkan keterampilannya bisa dimanfaatkan oleh
perusahaan dan perusahaan menginginkan peralatan yang dapat digunakan para pekerja untuk
berkarya.

Ekuilibria Jamak

Ketika suatu investasi gabungan yang menguntungkan tidak dapat dilakukan karena tidak ada
koordinasi, ekuilibria jamak dapat tercapai, dimana ada individu-individu yang sama bisa mencapai
sumber daya dan teknologi yang sama tetapi bisa berakhir dalam situasi yang berbeda. Negara-negara
terbelakang bisa saja mengalami kondisi tersebut. Ada banyak penyebab yang membuat ekuilibria
jamak tidak tercapai, misalnya ada tekanan politik dari berbagai pihak yang merasa akan dirugikan
apabila terjadi moderenisasi dinegara mereka sehingga membutuhkan transfer teknologi dari negara
lain. Akan tetapi transfer teknologi dari negara lain juga memberikan efek pada perusahaan lain.

Model Dorongan Besar

Paul Rosenstein-Rodan pelopor model dorongan besar (big push) yang merupakan model
kegagalan koordinasi yang menunjukan bagaimana kegagalan peasar menimnulkan kebutuhan akan
perekonomian yang terencana dan usaha-usaha agar proses pembangunan ekonomi yang panjang
dapat berjalan atau di percepat. Masalah kegagalan koordinasi ini akan menghambat keberhasilan
industrialisasi dan menjadi kendala bagi dorongan pembangunan.
Ada 4 kondisi yang memerlukan dorongan besar :

1. Efek intertemporal. Investasi harus dimulai dari sekarang untuk meningkatkan


produksi yang lebih efisien di masa depan agar ekuilibria jamak tercapai.
Investasi yang dilakukan itu sendiri harus menguntungkan agar permintaan yang
diharapkan cukup tinggi pada periode kedua.

2. Efek urbanisasi. Urbanisasi diperlukan untuk mendorong terjadinya


industrialisasi. Misalnya, diperkotaan terdapat banyak industri manufaktur yang
memberikan skala hasil yang meningkat berarti penduduk perkotaan itu sendiri
mengkonsumsi barang-barang manufaktur. Sedangkan di pedesaan hanya terdapat
industri rumahan.

3. Efek infrastruktur. Jika sebuah daerah infrastruktur nya sudah memadai akan
memudahkanperusahaan melakukan investasi dan biaya yang harus mereka
keluarkan juga berkurang. Akan tetapi apabila masalh koordinasi masih ada
proses industrialisasi yang efisien juga akan sulit terjadi.

4. Efek pelatihan. Para pengusaha perlu menambah investasi dalam fasilitas


pelatihan untuk meningkatkan kinerja pekerja mereka. Akan tetapi para pekerja
mereka lebih memilih diberikan insentif gaji yang tinggi oleh perusahaan lainnya
dari pada ikut pelatihan dari perusahaan. Selain itu permintaan para pekerja
terhadap pelatihan pun sedikit

Anda mungkin juga menyukai