Anda di halaman 1dari 19

Sabtu, 16 April 2016

MAKALAH
UTANG LUAR NEGERI DAN
PEREKONOMIAN NASIONAL

DISUSUN
OLEH :

KELOMPOK 8
YUSRIL
ZUKRIA
ALFIDA
YUSRAN

SMAN 1 TINAMBUNG

TAHUN PELAJARAN 2017/2018


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru


sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Utang Luar Negeri
dan Ekonomi Nasional”.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak bantuan


dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Guru
selaku guru pembimbing Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bimbingan
dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, dan rekan-
Siswa MTSn yang selalu berdoa dan memberikan motivasi kepada
penyusun.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan.


Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penyusun berharap
makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada para
pembaca pada umumnya dan pada penyusun pada khusunya

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul.....................................................................................................i

Kata pengantar ....................................................................................................ii

Daftar isi ..............................................................................................................iii

Bab I Pendahuluan ..............................................................................................1

A. Latar belakang .........................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................1

C. Tujuan .....................................................................................................2

Bab II Pembahasan .............................................................................................3

Bab III Penutup ...................................................................................................7

A. Kesimpulan .............................................................................................7

B. Saran .......................................................................................................7

Daftar Pustaka .....................................................................................................8


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang perekonomiannya masih bersifat
terbuka,artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Oleh karena itu perlu
adanya fondasi kokoh yang dapat membentengi suatu negara agar tidak sepenuhnya
dapat terpengaruh dari dunia luar, Seperti apa yang terjadi pada 10 tahun yang silam
Ketika negara Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya
bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia
dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat
kejatuhan ekonomi Thailand. Tetapi ternyata guncangan keuangan yang sangat hebat
dari negara Thailand ini berimbas kepada perekonomian Indonesia, kekacauan dalam
perekonomian ini menjadi awal dan salah satu faktor penyebab runtuhnya
perekonomian Indonesia termasuk terjebaknya Indonesia ke dalam dilema utang luar
negeri.
Salah satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus
membengkak, Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan
bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar
sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak
menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang
yang sedang membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik,
sosial dan budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia
sendiri tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun
terakhir,utang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi
pembangunan di Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama
untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB) yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun
utang luar negeri (foreign debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya
pembangunan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun
persoalan pembayaran cicilan dan bunga menjadi beban yang terus menerus harus
dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap
hari bahkan setiap tahunnya.
Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal
merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan
ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah
Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan
masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga
untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada
pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki
(tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana
untuk pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi. Investasi
ini tidak jarang berasal dari luar negeri maupun dari pemerintah dengan
mengandalkan hutang-hutang. Tulisan-tulisan mengenai hutang luar negeri sudah
banyak sebelumnya oleh para kalangan baik sebagai ekonom,pengamat atau
khususnya kalangan ilmuwan.Akan tetapi yang ditulis itu sudah tidak lagi relevan
karena perkembangan ekonomi yang begitu cepat baik dalam keadaan semakin
buruk maupun semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hal-hal
yang dikemukakan diatas, Penulis mencoba untuk membahas masalah pertumbuhan
ekonomi di Indonesia dalam hubungannya dengan utang luar negeri (foreign debt)
dengan mengangkat judul “ Pengaruh Utang Luar Negeri terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia ”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah pertumbuhan ekonomi indonesia sebelum mempunyai utang luar
negeri?
2.Bagaimanakah terjadinya utang luar negeri?
3.Bagaimanakah pengaruh utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi
indonesia?

1.3 TUJUAN PENULIS


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan, menambahkan wawasan
mengenai pengaruh utang luar negeri terhadap ekonomi indonesia bagi penulis dan
pembaca, sehingga lebih memahami pertumbuhan ekonomi dari sebelum
mempunyai utang sampai saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA


Indonesia adalah negara yang memiliki letak geografis yang sangat strategis,
karena berada di antara dua benua (Asia dan Eropa) serta dua samudra (Pasifik dan
Hindia), sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran perdagangan antar benua.
Perdagangan saat itu mengenal sebutan jalur sutra laut, yaitu jarur dari Tiongkok dan
Indonesia yang melalui Selat Malaka menuju ke India. Perdagangan laut antara
India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi,
demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (Kekaisaran
Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur
mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan
itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari
Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan
para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada
proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh
banyaknya kapal yang lewat di daerah mereka.
Sejarah Perekonomian Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4 masa,
yaitu:
1. Masa Sebelum Kemerdekaan
Daya tarik Indonesia akan sumber daya alam dan rempah-rempah membuat
bangsa-bangsa Eropa berbondong-bondong datang untuk menguasai Indonesia.
Sebelum merdeka setidaknya ada 4 negara yang pernah menjajah Indonesia,
diantaranya adalah Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang.
Pada masa penjajahan Portugis, perekonomian Indonesia tidak banyak
mengalami perubahan dikarenakan waktu Portugis menjajah tidaklah lama
disebabkan kekalahannya oleh Belanda untuk menguasai Indonesia, sehingga belum
banyak yang dapat diberlakukan kebijakan.
Dalam masa penjajahan Belanda selama 350 tahun Belanda melakukan berbagai
perubahan kebijakan dalam hal ekonomi, salah satunya dengan
dibentuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Belanda memberikan
wewenang untuk mengatur Hindia Belanda dengan tujuan menghindari persaingan
antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis
lain seperti EIC milik Inggris.
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang
antara lain meliputi :
a. Hak mencetak uang
b. Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
c. Hak menyatakan perang dan damai
d. Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
e. Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja

2. Masa Orde Lama


a) Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk
karena inflasi yang disebabkan oleh beredarnya lebih dari satu mata uang secara
tidak terkendali. Pada Oktober 1946 pemerintah RI mengeluarkan ORI (Oeang
Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Namun adanya blokade
ekonomi oleh Belanda dengan menutup pintu perdagangan luar negeri
mengakibatkan kekosongan kas negara.
Dalam menghadapi krisis ekonomi-keuangan, pemerintah menempuh berbagai
kegiatan, diantaranya :
 Pinjaman Nasional, menteri keuangan Ir. Soerachman dengan persetujuan Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengadakan pinjaman
nasional yang akan dikembalikan dalam jangka waktu 40 tahun.
 Hubungan dengan Amerika, Banking and Trade Coorporation (BTC) berhasil
mendatangkan Kapal Martin Behrman di pelabuhan Ciberon yang mengangkut
kebutuhan rakyat, namun semua muatan dirampas oleh angkatan laut Belanda.
 Konferensi Ekonomi, Konferensi yang membahas mengenai peningkatan hasil
produksi pangan, distribusi bahan makanan, sandang, serta status dan
administrasi perkebunan asing.
 Rencana Lima Tahunan (Kasimo Plan), memberikan anjuran memperbanyak
kebun bibit dan padi ungul, mencegah penyembelihan hewan-hewan yang
membantu dalam pertanian, menanami tanah terlantar di Sumatra, dan
mengadakan transmigrasi.
 Keikutsertaan Swasta dalam Pengembangan Ekonomi Nasional, mengaktifkan
dan mengajak partisipasi swasta dalam upaya menegakkan ekonomi pada awal
kemerdekaan.
 Nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Negara Indonesia,
 Sistem Ekonomi Gerakan Benteng (Benteng Group)
 Sistem Ekonomi Ali-Baba
b) Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Perekonomian diserahkan sepenuhnya pada pasar, padahal pengusaha
pribumi masih belum mampu bersaing dengan pengusaha non-pribumi. Pada
akhirnya hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasinya antara lain:
 Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang untuk mengurangi jumlah
uang yang beredar agar tingkat harga turun
 Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu menumbuhkan wiraswasta pribumi agar
bisa berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional
 Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-
Belanda.
c) Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme
(segalanya diatur pemerintah). Namun lagi-lagi sistem ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Akibatnya adalah :
 Devaluasi menurunkan nilai uang dan semua simpanan di bank diatas 25.000
dibekukan
 Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin
 Kegagalan dalam berbagai tindakan moneter
3. Masa Orde Baru
Pada awal orde baru, stabilitas ekonomi dan politik menjadi prioritas utama.
Program pemerintah berorintasi pada pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan
negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Setelah melihat pengalaman masa
lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah
bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki
keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi
demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salah satu teori Keynes tentang
campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang,
tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan,
pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita
dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan
dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara
periodik lima tahunan yang disebut Pelita.
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan
angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi
pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat
pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan
jumlah kelahiran lewat KB.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan
hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar
golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam,
serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan
konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial yang adil.
Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi
secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi
krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak
yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah
dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama
ekonomi.
4. Masa Orde Reformasi
Orde reformasi dimulai saat kepemimpinan presiden BJ.Habibie, namun
belum terjadi peningkatan ekonomi yang cukup signifikan dikarenakan masih
adanya persoalan-persoalan fundamental yang ditinggalkan pada masa orde baru.
Kebijakan yang menjadi perhatian adalah cara mengendalikan stabilitas politik.
Sampai pada masa kepemimipinan presiden Abdurrahman Wahit, Megawati
Soekarnoputri, hingga sekarang masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun masalah-masalah yang diwariskan dari masa orde baru masih belum
dapat diselesaikan secara sepenuhnya. Bisa dilihat dengan masih adanya KKN,
inflasi, pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, dan melemahnya nilai tukar rupiah yang
menjadi masalah polemik bagi perekonomian Indonesia.

2.2 PROSES TERJADINYA UTANG LUAR NEGERI


A. Pengertian Utang Luar Negeri
Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari
total utangsuatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut.
Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan.
Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara
lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

B. Asal Mula Utang Indonesia


Sebagai sebuah negara yang terpuruk di bawah himpitan utang luar negeri
sebesar 78 milyar dollar AS, dengan beban angsuran pokok dan bunga utang (dalam
dan luar negeri) mencapai sepertiga APBN, Indonesia tentu patut dicatat sebagai
sebuah negara Dunia Ketiga yang terperosok ke dalam kolonialisme utang.
Sehubungan dengan itu, catatan perjalanan utang luar negeri Indonesia sebagaimana
berikut menarik untuk dicermati.
Masalah utang luar negeri bukanlah masalah baru bagi Indonesia. walaupun
masalah ini baru terasa menjadi masalah serius sejak terjadinya transfer negatif
bersih (net negatif transfer) pada tahun anggaran 1984/1985, masalah utang luar
negeri sudah hadir di Indonesia sejak tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan.
Sebagaimana diketahui, kemerdekaan Indonesia baru diakui oleh masyarakat
internasional ada Desember 1949. Walau pun demikian, berbagai persiapan untuk
memperoleh utang luar negeri telah berlangsung sejak 1947. Bahkan, pada tingkat
wacana, perbincangan mengenai arti penting utang luar negeri bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat telah berlangsung sejak November 1945.
Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila segera setelah
pengakuan kedaulatan, utang luar negeri segera hadir dalam catatan keuangan
pemerintah. Walau pun demikian, tidak berarti kehadirannya sama sekali bebas dari
kontroversi. Sebagai negara bekas jajahan, para Bapak Pendiri Bangsa memiliki
komitmen untuk mengembangkan sebuah ekonomi nasional yang berbeda dari
ekonomi kolonial. Sebagaimana didefinisikan Soekarno, yang dimaksud dengan
ekonomi kolonial adalah sebuah perekonomian yang memiliki tiga ciri sebagai
berikut : merupakan sumber bahan baku bagi negara-negara industri, merupakan
pasar bagi barang-barang hasil industri mereka, dan merupakan tempat berinvestasi
bagi modal negara-negara industri tersebut (Weinstein, 1976:213)
Komitmen untuk membangun ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi
kolonial itu antara lain terungkap pada kuatnya hasrat para Bapak Pendiri Bangsa
untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam penguasaan faktor-faktor produksi di
tanah air. Sebab itu, jika dilihat dari sudut utang luar negeri, sikap para Bapak
Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di satu sisi mereka memandang utang luar
negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat
proses peningkatan kesejahteraan rakyat. Tetapi, disisi lain, mewaspadai penggunaan
utang luar negeri sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia, mereka
cenderung menetapkan syarat yang cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.
Sikap waspada para Bapak Pendiri Bangsa terhadap bahaya utang luar negeri
itu antara lain terungkap pada syarat pembuatan utang luar negeri sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Hatta berikut : Pertama, negara pemberi pinjaman
tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri negara yang meminjam. Kedua,
suku bunganya tidak boleh lebih dari 3-3, 5 persen setahun. Ketiga, jangka waktu
utang luar negeri harus cukup lama. Untuk keperluan industri berkisar 10-20 tahun.
Sedangkan untuk pembangunan infrastruktur, harus lebih lama dari itu (Hatta, 1970,
dalam Swasono dan Ridjal, 1992-201).
Sikap waspada Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri itu ternyata tidak
mengada-ada. Setidak-tidaknya terdapat tiga peristiwa penting yang membuktikan
bahwa utang luar negeri memang cenderung dipakai oleh negara-negara pemberi
pinjaman sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia. peristiwa pertama
terjadi tahun 1950. Menyusul kesediannya untuk memberikan pinjaman sebesar US$
100 juta, pemerintah Amerika kemudian menekan Indonesia untuk mengakui
keberadaan pemerintah Bao Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segara
dipenuhi oleh Indonesia, pemberian pinjaman itu akhirnya ditunda pencairannya oleh
Amerika (Weinstein. 1976: 210)
Peristiwa kedua terjadi tahun 1952. Setelah menyatakan komitmennya untuk
memberikan pinjaman, Amerika kemudian mengajukan tuntutan kepada PBB untuk
mengembargo pengiriman bahan-bahan mentah strategis seperti karet, ke Cina.
Sebagai negara produsen karet dan anggota PBB, permintaan itu terpaksa dipenuhi
Indonesia.
Peristiwa yang paling dramatis terjadi tahun 1964. Menyusul keterlibatan
Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia menanggapi hal
itu dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Inggris. Mengetahui hal itu,
pemerintah Amerika tidak bisa menahan diri. Setelah sebelumnya mencoba menekan
Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjaman dengan pelaksanaan program
stabilitasi IMF, Amerika kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya
dengan tuntutan agar Indonesia segera mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
Campur tangan Amerika tersebut, di tengah-tengah maraknya demontrasi
menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di tanah air, ditanggapi Soekarno
dengan mengecam utang luar negeri dan Amerika. Ungkapan “go to hell with your
aid” yang terkenal itu adalah bagian dari ungkapan kemarahan Soekarno kepada
Amerika. Puncaknya, tahun 1965, Soekarno memutuskan untuk menasionalisasikan
beberapa perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia.
Perlawanannya yang sangat keras itu ternyata harus dibayar mahal oleh
Soekarno. Menyusul memuncaknya krisis ekonomi-politik nasional pada
pertengahan 1960-an, yaitu yang ditandai oleh terjadinya peristiwa pembunuhan
terhadap 6 jenderal pada 30 September 1965, tepat tanggal 11 Maret 1966 Soekarno
secara sistematis mendapat tekanan untuk menyerahkan kekuasaannya kepada
Soeharto. Sebagaimana diketahui, selain menandai beakhirnya era Soekarno,
peristiwa dramatis itu sekaligus menandai naiknya Soeharto sebagai penguasa baru
di Indonesia.

C. Hasrat berhutang dan debt trap


Berhutang bukan permasalahan baru bagi Indonesia. Sejak merdeka kebiasaan
membiayai “pembangunan” dengan dana yang berasal dari hutang baik dalam
maupun luar negeri masih dipelihara oleh para teknokrat yang mengelola
perekonomian negara ini.
Hasrat besar dibalik berhutang tersebut semakin terpelihara apik di Indonesia
karena lembaga-lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia, Asian Developement Bank
mengamini-nya. Bahkan secara khusus negara-negara yang ingin memberikan
hutang kepada Indonesia tergabung dalam sebuah lembaga seperti IGII, CGI, Paris
Club, London club dll.
Akibatnya sudah dapat dipastikan, “kecanduan” berhutang menyebabkan
ketergantungan yang sangat parah kepada negara-negara pendonor. Meminjam
gambaran Kwik Kian Gie dalam menjelaskan kondisi ketergantungan Indonesia,
beliau menyatakan bahwa begitu parahnya ketergantungan Indonesia kepada hutang
luar negeri saat ini, sehingga kita tidak dapat melepaskan diri lagi dari kenyataan
bahwa yang memerintah Indoesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Kita
sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri. Kondisi
ini sudah merupakan lingkaran setan karena terjerumusnya pemerintah kita ke dalam
lubang yang disebut jebakan utang (debt trap).
Berikut adalah beberapa fakta yang menguatkan jebakan tersebut.
Pertama, Pada saat Indonesia meminta bantuan kepada IMF untuk menghadapi
krisis pada 1997, lembaga tersebut memaksakan kehendaknya untuk mengintervensi
semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam letter of intent (LoI)
terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam
berbagai bidang seperti perbankan, desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan
moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN serta jaring pengaman sosial.
Dengan kata lain, keuangan negara sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan
melalui ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya
dikendalikan oleh negara pemberi hutang dan lembaga keuangan internasional.
Kedua, tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi
kepentingan perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor bukanlah isapan
jempol belaka. Hal tersebut juga diakui oleh pemerintah AS. Selama kurun tahun
1980-an hingga awal 1990-an saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian
struktural di lebih dari 70 negara berkembang yang mengalami krisis finansial.
Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar 40.000 kontrak kepada
perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke perusahaan-perusahaan dari
negara-negara maju.
Jadi sangat jelas bahwa negara-negara pendonor sangat berkepentingan untuk
memberikan negara-negara berkembang untuk berhutang. Departemen Keuangan
AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga
multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu
dari kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek-proyek yang
dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada pinjaman multilateral. Pinjaman bilateral
seperti dari Jepang pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat yang menyangkut
penggunaan komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana
untuk pelaksanaan proyek harus berasal dari Jepang. Melalui modus tersebut,
Pemerintah Jepang selain bisa me-recycle ekses dana yang ada di dalam negerinya,
juga sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam negerinya yang lesu lewat
pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana hutang ini.
Dari pinjaman yang digelontorkan tersebut, dana yang mengalir kembali ke
Jepang dan negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang
yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang.
Dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara debitor justru mensubbsidi
negara-negara kaya yang menjadi kreditornya.
Ketiga, hutang dianggap sebagai biang dari kerusakan lingkungan yang terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang khususnya negara kreditor

2.3 DAMPAK UTANG LUAR NEGERI


Pertama, dampak langsung dari utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik.
Kedua, dampak yang paling hakiki dari utang tersebut yaitu hilangnya kemandirian
akibat keterbelengguan atas keleluasaan arah pembangunan negeri, oleh si pemberi
pinjaman. Dapat dilihat pula dengan adanya indikator-indikator baku yang
ditetapkan oleh Negera-negara donor, seperti arah pembangunan yang ditentukan.
Baik motifnya politis maupun motif ekonomi itu sendiri.
Pada akhirnya arah pembangunan kita memang penuh kompromi dan disetir,
membuat Indonesia makin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang
dibuat negara Donor. Hal ini sangat beralasan karena mereka sendiri harus menjaga,
mengawasi dan memastikan bahwa pengembalian dari pinjaman tersebut plus
keuntungan atas pinjaman, mampu dikembalikan. Alih-alih untuk memfokuskan
pada kesejahteraan rakyat, pada akhirnya adalah konsep tersebut asal jalan pada
periode kepemimpinannya, juga makin membuat rakyat terjepit karena
mengembalikan pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara yang harusnya
untuk dikembalikan kepada rakyat yaitu kekayaan negara hasil bumi dan Pajak.
Selain memberikan dampak seperti yang diatas, utang luar negeri memiliki
berbagai dampak baik positif dan negatif yaitu:
a. Dampak positif
Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia
dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, yang
diakibatkan oleh pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang
cukup besar. Dengan adanya utang luar negeri membantu pembangunan negara
Indonesia, dengan menggunakan tambahan dana dari negara lain. Laju pertumbuhan
ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
b. Dampak Negatif
Dalam jangka panjang utang luar negeri dapat menimbulkan berbagai macam
persoalan ekonomi negara Indonesia, salah satunya dapat menyebabkan nilai tukar
rupiah jatuh(Inflasi). Utang luar negeri dapat memberatkan posisi APBN RI, karena
utang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta dengan bunganya. Negara akan
dicap sebagai negara miskin dan tukang utang, karena tidak mampu untuk mengatasi
perekonomian negara sendiri, (hingga membutuhkan campur tangan dari pihak lain).
Selain itu, hutang luar negeri bisa memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Membantu dan mempermudah negara untuk melakukan kegiatan ekonomi.
2. Sebagai penurunan biaya bunga APBN
3. Sebagai sumber investasi swasta
4. Sebagai pembiayaan Foreign Direct Investment (FDI) dan kedalaman pasar
modal
5. Berguna untuk menunjang pembangunan nasional yang dimiliki oleh suatu
negara
Menurut aliran neoklasik, utang luar negeri merupakan suatu hal yang positif.
Hal ini dikarenakan utang luar negeri dapat menambah cadangan devisa dan mengisi
kekurangan modal pembangunan ekonomi suatu negara. Dampak positif ini akan
diperoleh selama utang luar negeri dikelola dengan baik dan benar.
Setiap negara memiliki perencanaan pembangunan yang berbeda-beda, tetapi
memiliki kapasitas fiskal yang terbatas. Untuk membiayai pembangunan, pemerintah
memiliki apa yang dikenal sebagai government spending. Jika selisih pengeluaran
pemerintah dengan tingkat penerimaan pajak bernilai defisit, maka alternatifnya
adalah dengan memanfaatkan pendanaan yang berasal dari luar negeri.
2.4 Solusi Terhadap Hutang Luar Negeri Indonesia
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi hutang luar negeri:
1. Meningkatkan daya beli masyarakat, yakni melalui pemberdayaan ekonomi
pedesaan dan pemberian modal usaha kecil seluasnya.
2. Meningkatkan pajak secara progresif terhadap barang mewah dan impor.
3. Konsep pembangunan yang berkesinambungan, berlanjut dan mengarah pada
satu titik maksimalisasi kekuatan ekonomi nasional, melepaskan secara
bertahap ketergantungan utang luar negeri.
4. Menggalakan kebanggaan akan produksi dalam negeri, meningkatkan
kemauan dan kemampuan ekspor produk unggulan dan membina jiwa
kewirausahaan masyarakat. Negeri Indonesia ini sebenarnya kaya akan
Sumber daya alam unggulan sehingga bila kita manfaatkan secara maksimal
maka akan memberikan devisa negara,
5. Mengembangkan sumber daya manusia berkualitas dan menempatkan
kesejateraan yang berkeadilan dan merata

Penghapusan Utang

Dengan latar belakang seperti itu, tentu tidak berlebihan pula bila salah satu tindakan yang
perlu dipertimbangkan untuk memerdekakan Indonesia dan kolonialisme utang adalah dengan
memperjuangkan penghapusan utang. Tanpa penghapusan utang, Indonesia tidak hanya akan sulit
membebaskan diri dari himpitan beban utang, tetapi cenderung akan semakin jauh terperosok ke
dalam kolonialisme utang.

Sehubungan dengan itu, konsep utang najis (odious debt) sebagaimana diperkenalkan
Alexander Nahum Sack berikut menarik untuk disimak. Menurut Sack (sebagaimana dikutip dalam
Adams, 1991), “if a despotic incurs a debt not for the needs or in the interest of the State, but to
strengthen its despotic regime, to repress the population that’s fights againts it, etc., this debt is odious
for the population of all the State This debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a
personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power.
Konsep utang najis yang diperkenalkan Sack pada tahun 1927 itu dibangunnya berdasarkan preseden
sengketa utang-piutang antar negara yang pernah terjadi sebelumnya. Negara pertama yang
menerapkan konsep utang najis itu adalah Amerika, yaitu ketika negara tersebut mendukung
perjuangan kemerdekaan rakyat Cuba dari penjajahan pemerintah Spanyol pada tahun 1898.
Menyusul beralihnya penguasaan Cuba dari Spanyol ke Amerika, pemerintah Spanyol segera
mendeklarasikan bergesernya tanggunggjawab untuk melunasi utang luar negeri Cuba yang dibuat di
masa pemerintahannya itu kepada Amerika.

Tetapi Amerika secara tegas menoiak penggeseran tanggungjawab untuk melunasi “utang-
utang Cuba” tersebut. Dalam jawabannya kepada pemerintah Spanyol, Amerika antara lain
mengatakan, “They are debts created by the government of Spain, for its own purposes and through
its own agents, in whose creation Cuban had no voice.” Sebab itu, menurut Amerika, utang-utang
tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai utang penduduk Cuba, (dengan demikian) juga tidak
bersifat mengikat bagi pemerintah Cuba berikutnya.
Berdasarkan konsep utang najis sebagaimana dikemukakan Sack itu, dapat disaksikan bahwa setiap
pemerintahan Indonesia pasca Soeharto memiliki peluang untuk memerdekakan Indonesia dari
neokolonialisme utang. Artinya, upaya pengurangan beban utang luar negeri Indonesia tidak hanya
perlu dilakukan karena jumlahnya yang terlanjur sangat besar, tetapi terutama karena terdapatnya
unsur utang najis dalam jumlah keseluruhan utang itu.

Dua alasan yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk meminta penghapusan utang
dengan menggunakan konsep utang najis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, buruknya
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan utang luar negeri dalam era Soeharto. Sudah menjadi
rahasia umum, pemerintahan Soeharto adalah sebuah pemerintahan korup. Kecenderungan untuk
berlaku korup itu bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Dalam perkiraan Bank Dunia, volume
korupsi proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri di Indonesia rata-rata mencapai sekitar
30 persen (World Bank, 1997).

Kedua, para kreditor wajib bertanggungjawab atas kelalaian mereka dalam memberikan
utang. Hal ini terutama karena cukup kuatnya dugaan keterlibatan para kreditor pada berbagai skandal
korupsi proyek-proyek utang itu. Sebagaimana diketahui, sekitar 80 persen utang luar negeri
Indonesia diterima dalam bentuk fasilitas berbelanja secara kredit. Dalam rangka mengegolkan
proyek-proyek tersebut, para pengusaha negara-negara kreditor tidak segan-segan menyuap para
pejabat Indonesia. Selanjutnya, tanpa mempertimbangkan manfaat sebuah proyek bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat Indonesia, para kreditor begitu saja menyetujui pembiayaan proyek-proyek
tersebut dengan mengucurkan utang luar negeri.

Beberapa negara yang telah melakukan penghapusan utang adalah Brazil, Mexico,
Argentina, Pakistan, dan Nigeria. Masing-masing negara tentu mengemukakan alasan yang barbeda-
beda ketika mengajukan tuntutan penghapusan utang mereka. Tetapi kata kuncinya terletak pada
adanya kemauan politik masing-masing pemerintah untuk tidak menggeser beban utang kepada
rakyatnya masing-masing. Menggeser beban utang kepada rakyat banyak tidak hanya dapat dimaknai
sebagai proses sistematis untuk menggeser dampak korupsi, tetapi dapat pula dimaknai sebagai proses
sistematis untuk menyerahkan tenggorokkan rakyat kepada para penguasa dan pengusaha
mancanegara.

Dilihat dari sudut Indonesia, kendala utama yang dihadapi negeri ini dalam menuntut
penghapusan utang terletak pada sangat dominannya pengaruh para ekonom neoliberal dalam
penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Bagi para pemuja IMF tersebut, penderitaan rakyat di bawah
himpitan beban utang cenderung tidak memiliki makna apa-apa. Sebab itu, alih-alih memperjuangkan
penghapusan utang, mereka lebih suka menambah beban utang dengan membuat utang baru.
Anehnya, setiap rezim yang berkuasa di Indonesia, tampak seperti tidak memiliki pilihan lain selain
bekerjasama dengan kaki tangan para kreditor tersebut. Jangan-jangan selama 60 tahun ini
kolonialisme memang hanya berganti gaya, tetapi secara substansial masih terus berlanjut di
Indonesia
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Utang pemerintah pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah berperan
sebagai faktor, yang mengganggu APBN. Bahkan faktor gangguan yang berasal dari
utang luar negeri tersebut sudah menampakkan signal negatif pada pertengahan
1980-an ketika terjadi transfer negatif. Utang pokok dan bunga yang dibayar kepada
negara donor dan kreditor ketika itu sudah lebih besar dari utang yang diterima oleh
pemerintah.
Hubungan utang dengan ekonomi rakyat terlihat pada dimensi APBN sekarang
ini, yang sulit dijelaskan sebagai bentuk anggaran suatu pemerintahan yang normal.
APBN dengan beban utang yang berat, baik utang luar negeri maupun utang dalam
negeri, merupakan simbol ketidakwajaran dari instrumen kebijakan ekonomi negara
ini. Dalam keadaan seperti ini, maka ekonomi masyarakat sangat terganggu.

3.2 SARAN

Penggunaan utang luar negeri sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan


selama digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Jika berhasil,
output perekonomian akan meningkat dan economic growth akan naik. Naiknya
angka pertumbuhan merupakan salah satu faktor (selain stok cadangan devisa dan
pengembangan alokasi APBN) yang menjadi pertimbangan dalam pemberian
peringkat utang oleh lembaga-lembaga internasional pemeringkat kredit dunia
seperti Fitch danStandard & Poor. Jika suatu negara dikategorikan
sebagai investment grade, tentu ini akan berdampak baik bagi perekonomian
domestik. Status investment grade ini akan menekan biaya penerbitan obligasi
negara yang diterbitkan pemerintah dan swasta domestik karena dianggap memiliki
risiko gagal bayar yang rendah. Akibatnya, banyak investor asing akan tertarik untuk
menanamkan modalnya di dalam negeri. Terjadilah capital inflow. Ruang untuk
melakukan ekspansi dalam perekonomian pun semakin lebar.
DAFTAR PUSTAKA

http://syahnova.blogspot.com/2014/05/dampak-hutang-luar-negeri-di-indonesia.html
http://pudttha.blogspot.com/2015/02/analisis-pengaruh-utang-luar-negeri.html
http://dunia-ips-ku.blogspot.com/2013/03/sejarah-ekonomi-di-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai