Anda di halaman 1dari 13

Kepemimpinan

Sri Sultan Hamengkubuwono IX



Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kepemimpinan
Yang Dibina oleh Sarwono, Drs, MS












Nama : Moh. Sahawi
NIM : 125030500111008
Jurusan : Administrasi Pemeriintahan (C)


ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
Kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Latar Belakang
Indonesia mempunyai banyak tokoh pemimpin yang bisa dibilang telah sukses
membawa bangsa ini menjadi teladan untuk negara lain. Namun banyaknya
permasalahan yang dihadapi para pemimpin negeri ini terutama karena terkait KKN
atau tindakan tidak terpuji membuat sebagian masyarakat tidak percaya terhadap
pemimpinnya. Para pemimpin negeri ini telah jauh meninggalkan esensi pemimpin
sebagai seorang teladan. Akibatnya negeri ini dilanda krisis kepemimpinan. Figur
seorang pemimpin sebagai idola yang bisa membuat masyarakat sejahtera, makmur, dan
damai kembali didengung-dengungkan.
Berbeda dengan kepemimpinan di masa lalu tepatnya ketika Sultan Hamengku
Buwono IX yang menjadi figur kharismatik yang mempunyai kedisiplinan dan
kesederhanaan dalam menjalani hidup. Sikapnya yang negarawan jujur dan bersikap
bijaksana. Berkat karakter dan sikap politisnya yang lebih berpihak pada kepentingan
bangsa dan negara ketimbang kepentingan pribadi dan kelompok (ahmad, 2013). Tidak
salah apabila banyak masyarakat yang menjadikannya teladan serta sebagai raja yang
dicintai rakyatnya. Sultan HB IX dikenal sebagai pemimpin yang anti Belanda
meskipun pernah menempuh studi di Belanda tapi dia mengaku menjadi orang jawa
yang memegang teguh prinsip hidup orang jawa yang diwariskan oleh leluhurnya.
Karakter Sri Sultan HB IX yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi yaitu
saat harus membayar gaji dengan uangnya sendiri pada seluruh pegawai republik yang
tidak mendapatkan gaji. Sikap Sri Sultan HB IX juga dibuktikan saat menyerahkan cek
sebesar 6 juta gulden pada Soekarno-Hatta sebagai modal awal Republik Indonesia.
Sebagai negarawan yang harus menyelamatkan negaranya, dia merelakan Yogyakarta
sebagai Ibukota Indonesia saat peristiwa Agresi Militer Belnda I di Jakarta. Puncaknya
saat dia menggagas penyelamatan D.I Yogyakarta dari Agresi Militer Belanda II
melalui Serangan Oemum (SO) yang dilaksanakan oleh Letnan Kolonel Soeharto pada
1 Maret 1949.
Karakter Sri Sultan HB IX yang jujur dibuktikan saat dia tidak bersedia
dicalonkan sebagai wakil presiden untuk periode 1978-1983 karena adanya gejala-
gejala KKN dikalangan pejabat pusat yang mulai tampak pada tahun 1978. Sikap tegas
dan arif yang mencerminkan ajaran jawa yang berbunyi, Aja cedhak kebo gupak !
yang berati Jangan mendekati kerbau yang kotor oleh lumpur (kotoran) ! .
Keberhasilan Sultan HB IX tidak terlepas dari falsafah hidup dan falsafah
kepemimpinan jawa yang diterapkannya dalam memimpin rakyatnya. Jadi dengan kata
lain, bahwa kepemimpinan Sri Sultan HB IX membawa kesejahteraan pada budaya dan
rakyatnya. Tidak seperti pemimpin sekarang ini yang menjadi benalu yang makmur
diatas penderitaan rakyat. Besarnya kecintaan terhadap rakyat diwujukan dengan konsep
kepemimpinan Tahta untuk Rakyat yaang artinya menjadi seorang pemimpin harus
bisa memberikan kesejahteraan untuk rakyatnya.
Dalam (Achmad, 2013) buku Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan
Hamengkubuwono IX gubahan H. Heru Wahyukismoyo menyebutkan bahwa prinsip
sufistik yang menjadi pegangan dia adalah Sumarah mawi pasrah - Suwung pamrih
tebih ajrih - Langgeng tan ana susah lan bungah Anteng meneng sugeng jeneng.
Selain prinsip sufistik, dia juga memiliki falsafah kepemimpinan yang bersumber dari
ajaran para leluhurnya yaitu antara lain tanpa pamrih, andhap asor, hamemayu
hayuning bawana, hamengku, hamangku, hamengkoni, pramana, dan Jalma limpat tan
kena kinira.
Riwayat Hidup
Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Yogyakarta, 12 April 1912. Anak
kesembilan dari Sultan Hamengkubuwono VIII dan tercatat pernah 5 kali menikah. Istri
pertamanya adalah BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama pada tahun 1940.
Kemudian RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/Ray Adipati
Anum, putri R.W. Purwowinoto pada tahun 1943. Ketiga, Raden Gledegan
Ranasaputra/KRA Astungkara, putri Raden Lurah Ranasaputra dan Sujira Sutiyati Ymi
Salatun di tahun 1948. Keempat, KRA Ciptamurti, dan yang terakhir Norma
Musa/KRA Nindakirana, putri Handaru Widarna di tahun 1976. Dari pernikahan itu,
Hamengkubuwono IX dikaruniai 15 putra dan 7 putri.
Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, Gubernur terlama yang menjabat di
Indonesia (1945-1988) dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama (1940-1988) ini
menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University Medical Center,
Amerika. Jenazahnya lalu dibawa kembali ke tanah air dan dikebumikan di kawasan
pemakaman para Sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Jabatan-jabatan Sri Sultan Sri Sultan HB IX
Di bawah pimpinan Hamengkubuwono IX inilah Yogyakarta banyak mengalami
perubahan. Ia sangat berani dan dengan tegas menentang kaum penjajah. Ia
bersemangat memperjuangkan nasib rakyat Yogyakarta agar segera meraih otonomi
sendiri. 4 tahun waktunya dihabiskan untuk bernegosiasi dengan Dr Lucien Adam
selaku Diplomat Senior Belanda. Kemudian, di masa penjajahan Jepang, ia berada
paling depan dalam menolak pengiriman romusha yang mengadakan proyek lokal
saluran irigasi Selokan Mataram. Hamengkubuwono IX yang jengah terhadap
intimidasi haus akan kemerdekaan. Ia lantas mendorong pemerintah RI agar bisa
merdeka dan memberi status Istimewa bagi Yogyakarta. Perjuangannya bersama Paku
Alam IX menjadi penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik
Indonesia pun terwujud.
Ia diangkat menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pertama oleh
Presiden Soekarno tepat di Hari Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Jabatan itu
diembannya hingga akhir hayat, yang dibantu Paku Alam VII selaku Pejabat Gubernur.
Mulai 2 Oktober 1946 sampai 27 Juni 1947, Hamengkubuwono IX dipercaya untuk
menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet Sjahrir III. Ia diangkat lagi dalam
Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II pada 3 Juli 1947 - 11 November 1947, yang
dilanjutkan hingga 28 Januari 1948.
Di masa ini, Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I yang
dilaksanakan pada 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947, Hamengkubuwono IX
mengajak Presiden untuk memimpin Indonesia dari Yogyakarta. Jabatan di
Kementerian terus dipercayakan kepadanya. Dari Menteri Pertahanan/Koordinator
Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
dan Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950).
Setelah itu dalam Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951), ia diangkat
menjadi Wakil Perdana Menteri Indonesia menggantikan Abdul Hakim.
Konsentrasi Hamengkubuwono IX tidak hanya pada kesejahteraan dan ekonomi
rakyat. Di bidang pendidikan, Sultan yang pernah mencicipi bangku Frobel School
(setara TK) asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul, Eerste Europese Lagere School
(1925), Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan
Bandung (1931), serta Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang
Indonesia) kemudian ekonomi ini juga sangat menaruh perhatian.
Ia juga disebut-sebut sebagai salah satu founding father Universitas Gadjah
Mada sejak mulai pendirian Balai Perguruan Tinggi UGM pada 17 Februari 1946
sampai pendirian UGM pada 19 Desember 1949, hingga berubah menjadi Universitiet
Negeri Gadjah Mada sampai menjadi Universitas Gadjah Mada di tahun 1954. Atas
usahanya, ia dipilih menjadi Ketua Dewan Kurator UGM tahun 1951.
Di bidang olahraga, mantan Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956), mantan
delegasi Indonesia di PBB urusan pariwisata (1963 dan 1968) ini dipercaya menjadi
Ketua Federasi ASEAN GAMES (1958) dan Ketua Umum Komite Olahraga Nasional
Indonesia (KONI) pada 1968.
Pengalaman dan kecerdasannya juga dimanfaatkan secara penuh di bidang
ekonomi ketika kembali di Kementerian menjadi Menteri/Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan pada 5 Juli 1959 dan Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 pada Maret
1966. Jabatan itu kemudian berganti nama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Ia diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI pertama masa
jabatan 25 Juli 1966 - 17 Oktober 1967, yang kemudian digantikan oleg Ali Wardhana.
Hamengkubuwono IX yang juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia dan
pernah menjabat sebagai ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968), dipilih
untuk mendampingi Presiden Soeharto sebagai Wakil Presiden RI ke-2 menggantikan
Mohammad Hatta pada 24 Maret 1973 - 23 Maret 1978. Jabatan itu dilanjutkan Adam
Malik di periode berikutnya.
Contoh Sikap Keteladanan Sultan HB IX dalam Memimpin
Sangat peduli terhadap Pendidikan
Sultan HB IX merupakan raja yang sangat terpelajar, ia sedang menjalani
pendidikan doctoral ketika secara mendadak ayahnya memanggil pulang seluruh
putranya dari negeri Belanda karena gejolak perang dunia I telah membuat Eropa
dikuasai oleh Nazi. Meskipun dengan perasaan kecewa karena ia sebenarnya telah
menyiapkan thesis doktoralnya, namun beliau dapat memaklumi kekhawatiran ayahnya
dan berharap suatu saat dapat kembali untuk melanjutkan studinya.
Namun manusia boleh merencanakan namun kenyataan berkata lain, setelah
menginjakkan kaki di tanah air Dorodjatun mendapati dirinya telah ditunjuk sebagai
putra mahkota. Dan ternyata tidak lama berselang ayahnya meninggal karena telah lama
menderita sakit diabetes yang parah. Maka meski merasa belum siap, ia harus
menggantikan kedudukan ayahnya dan itu berarti tidak ada waktu lagi untuk
meneruskan pendidikannya.
Karena telah menerima pendidikan tinggi di Negara barat, ia merasa
pendidikan sangat diperlukan bagi generasi penerus pada masa perjuangan. Maka ketika
beliau telah menjadi raja dan republik ini masih sangat hijau, ia turut memprakarsai
didirikannya lembaga pendidikan universitas tertua di negeri ini yaitu Universitas
Gadjah Mada. Universitas ini merupakan penggabungan beberapa lembaga pendidikan
di wilayah Yogyakarta, Klaten dan sekitarnya.
Karena masih awal maka Universitas ini belum memiliki kampus tetap, namun
demi keberlangsungan proses pembelajaran di perguruan tinggi ini, Sultan rela
meminjamkan pagelaran kraton dan beberapa lingkungan kraton lainnya seperti nDalem
Mangkubumen untuk dijadikan tempat belajar. Kraton yang masih disakralkan itu telah
berubah menjadi tempat yang ramai untuk mahasiswa dengan segala
kelakuannya.Konon pagelaran kraton waktu itu jadi terlihat jorok karena kotor dan bau
pesing dimana-mana, namun Sultan HB IX tidak mempersoalkan hal tersebut asal
proses belajar tetap berlangsung.
Demi kemajuan Universitas Gadjah Mada, kemudian Sultan dengan sukarela
menghibahkan tanah milik kraton di daerah Bulaksumur untuk dijadikan kampus
permanen Universitas Gadjah Mada.
Rela mengorbankan harta demi Negara
Pada masa awal republik ini berdiri dimana perjuangan mempertahankan
kemerdekaan membutuhkan dana yang tidak sedikit, Negara ini belum dapat
menghasilkan apapun. Bahkan untuk membayar perangkat Negara pun tidak
sanggup.Mulai dari Presiden hingga pejabat lainnya cukup menderita karena uang gaji
tidak ada, sedangkan keluarga tetap harus makan. Ini sangat menguji kesetiaan pejabat
Negara, apakah ia tetap setia pada republik tapi menderita atau berbalik memihak
Belanda dan dapat hidup berkecukupan.
Melihat kesulitan orang disekitarnya, Sultan tidak tinggal diam. Ia merogoh
kantongnya sendiri dan menyumbangkan uang perak gulden Belanda kepada para
pejabat Negara. Hal ini berlangsung selama beberapa bulan, dan Sultan tidak pernah tau
berapa uang yang telah ia sumbangkan. Konon menurut Bung Hatta, jika dihitung uang
tersebut berjumlah tak kurang dari lima juta gulden.
Tidak haus kekuasaan
Sejak awal Sultan HB IX menjadi raja beliau selalu mengutamakan
kepentingan rakyatnya. Segala sesuatu ia lakukan demi kesejahteraan rakyatnya bukan
dirinya sendiri. Seperti ketika pertama kali kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan, ia
merasa yakin akan masa depan republik ini akan menyejahterakan seluruh rakyatnya.
Maka Sultan pun tanpa ragu-ragu menggabungkan diri pada Negara Indonesia dengan
adanya maklumat 5 September 1945. Meskipun hal ini sebenarnya mengurangi
kekuasaan terhadap Yogyakarta, tapi Sultan yakin akan keputusannya ini.
Sifatnya yang tidak haus kekuasaan ini benar-benar diuji ketika perang
mempertahankan kemerdekaan.Ketika republik diujung tanduk dan terpaksa bertahan di
Yogyakarta, Sultan didatangi oleh Belanda dengan maksud mempengaruhi
Sultan.Mereka menawarkan untuk menghidupkan kembali kerajaan Mataram dengan
memberikan kekuasaan seluruh wilayah Jawa kepada Sultan dengan syarat harus tunduk
pada Belanda, namun dengan tegas Sultan menolaknya dan mengusir Belanda dari
keraton.
Sampai masa pembangunan pun Sultan tidak berubah, pada saat beliau menjadi
wakil presiden Indonesia yang kedua (karena setelah Bung Hatta belum ada lagi yang
menduduki posisi wakil presiden) dan merasa telah cukup masanya, beliau memilih
mundur dari posisi tersebut.Meski sebenarnya masih banyak yang mendukung beliau
untuk memegang posisi tersebut, tetapi karena telah bulat tekadnya untuk kembali
mengabdi di Yogyakarta maka tidak ada yang bisa merubah keputusannya.
Toleransi Beragama Sangat Tinggi
Dalam adat Kasultanan Yogyakarta, seorang Sultan merupakan sekaligus
pemuka agama, dalam gelarnyapun disebut sebagai Abdurrachman Sayidin
Panatagama. Tetapi meski demikian beliau sangat menghormati agama yang lain dan
tetap memberikan kesempatan untuk berkembang. Contoh nyata sikap Sultan tersebut
adalah dengan mengijinkan adanya penginjilan di wilayah kekuasaannya. Beliau sangat
mendukung terselenggaranya proses tersebut, dengan mengijinkan diadakannya
Konggres Ekaristi I di Yogyakarta sekaligus memberikan ijin untuk penggunaan stadion
Kridosono untuk dijadikan tempat penyelenggaraan. kesuksesan penyelenggaraan
Konggres ini memegang peranan penting dalam perkembangan Gereja di wilayah
Yogyakarta.
Untuk mendukung tumbuh kembangnya Gereja, maka Sultan HB IX dengan
sukarela memberikan tanah Kraton dan dihibahkan untuk pembangunan gereja. Salah
satu gereja yang tanahnya hasil hibah dari kraton adalah gereja Santo Antonius
Kotabaru, sebuah gereja yang berada di tengah kota Yogyakarta. Gereja Kotabaru
sekarang sudah berkembang pesat dengan umat yang datang dari segala penjuru
Yogyakarta tidak hanya dari lingkungan sekitar saja.
Toleransi antar umat di negeri ini dewasa ini sangat memprihatinkan, terlalu
banyak kelompok-kelompok fanatik yang menutup peluang adanya perkembangan dari
agama yang lain. Situasi ini sangat memprihatinkan karena negara kita sangat majemuk
dari suku, agama dan ras jika sikap fanatisme yang berlebihan ini terus dipupuk maka
akan sangat mudah terjadi perselisihan.
Peduli terhadap Budaya
Keraton Yogyakarta merupakan merupakan salah satu lambang budaya Jawa
yang sangat kaya.Berbagai adat yang telah turun temurun dilaksanakan sejak awal
kerajaan Mataram tetap langgeng. Hal ini tak lepas dari peran Sultan HB IX, ia adalah
putra raja Jawa yang lahir dalam istana yang menjadi pusat budaya Jawa, walaupun
sempat menempuh pendidikan barat namun hal itu malah memberikan pandangan yang
luas.
Budaya Jawa di bawah pimpinan Sultan HB IX tidaklah stagnan tetapi justru
semakin berkembang.Akulturasi budaya juga dilakukan oleh Sultan agar budaya Jawa
dapat lebih berkembang lagi.Salah satu bukti dari adanya akulturasi budaya ini salah
satu wujudnya adalah diciptakannya wayang golek menak oleh Sultan HB IX
sendiri.wayang golek menak merupakan perpaduan antara wayang golek yang
merupakan budaya Sunda dengan tari klasik gaya Yogyakarta.
Inspirasi awal dari wayang golek menak adalah ketika Sultan suatu saat
melihat pertunjukan wayang golek dan beliau sangat terkesan akan gerakan dari wayang
tersebut. Maka ia memiliki gagasan untuk membuat wayang orang dengan gerak dasar
dari wayang golek. Sesaat setelah memperoleh ide, maka Sultan mengumpulkan para
pakar tari gaya Yogyakarta dan mengamanatkan untuk dibuat sebuah gerak tari baru
yang masih berpangkal pada gerak tari klasik gaya Yogyakarta.
Para pakar tari tersebut kemudian mempresentasikan hasil ciptaannya dan
akhirnya terbentuklah sebuah gerak dasar wayang golek menak yang sangat artistik dan
dinamis. Merupakan perpaduan dari gerak wayang golek dengan tari klasik gaya
Yogyakarta dan di dalamnya disisipkan pula gerak bela diri yang diambil dari Sumatra
Barat. Adapun cerita yang diambil oleh wayang golek menak ini berasal dari serat
Menak.Inti cerita di dalamnya merupakan sebuah usaha penyebaran agama Islam ke
seluruh penjuru dunia.
Akulturasi budaya sangat kental dalam karya ciptaan Sultan HB IX ini, selain
menggabungkan budaya Sunda, Jawa dan Sumatra, juga memasukkan budaya Arab dan
Cina yang berupa bentuk pakaian yang digunakan. Misalnya untuk tokoh putri Cina
menggunakan pakaian dan dengan hiasan uang-uangan logam khas dari negeri Cina.
Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan merupakan suatu cara yang digunakan oleh pemimpin
untuk mempengaruhi, mengatur, mengurus bawahan atau rakyatnya. Salah satu gaya
kepemimpinan yang diterapkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yaitu kepemimpinan
horizontal. Gaya kepemimpinan ini melepaskan batas antara pemimpin dan rakyat
dalam interaksinya. Bentuk kongkrit hubungan ini tertuang didalam filosofi-filosofi
mahsyur seperti Tahta Untuk Rakyat dan Hamemayu Hayuning Bawana. Kunci dari
gaya kepemimpinan horizontal dengan cara membangun simpati dan hubungan
sederajat dalam berkomunikasi. Agaknya gaya kepemimpinan horizontal Sri Sultan
Hamengkubuwono IX ini menjadi gaya kepemimpinan yang dikehendaki oleh rakyat
yogyakarta saat itu.
Karakteristik Kepemimpinan
Pada saat memimpin Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerapkan
karakteristik kepemimpinan profetik. Artinya karakteristik kepemimpinan tersebut tidak
dijatuhkan pada salah satu tokoh yang selanjutnya akan melanjutkan estafet
kepemimpinannya, melainkan sifat-sifat kepemimpinan profetik Sri Sultan Hamengku
Buwono IX ini dapat dijadikan panutan dan contoh oleh pemimpin selanjutnya. Salah
satu ciri utama seorang pemimpin yang memiliki jiwa profetik bisa dilihat dari sebuah
kondisi apabila seorang pemimpin menjadikan kepentingan publik (umum) sebagai
tujuan utamanya di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Bisa dikatakan sebagai pemimpin profetik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
sebagai sosok yang dinilai telah mampu melaksanakan kepemimpinan profetik tersebut.
Ada delapan sikap yang menunjukkan pemimpin memiliki karakteristik profetik yaitu:
a. Menjunjung Tinggi Kebaikan dan Kebenaran
b. Pembawaannya Tenang Dalam Segala Situasi
c. Peduli Terhadap Generasi Muda
d. Melayani dan Mengayomi
e. Tanggung Jawab
f. Memiliki Sifat Kedermawaan atau Tidak Dimiliki Sendiri
g. Tidak Pamer atau Tidak Sombong
h. Membaur
Selain memiliki karakter kepemimpinan profetik, Sri Sultan HB IX juga
memiliki karakter kepemimpinan Sufistik dan falsafah kepemimpinan Jawa. Prisnsip
sufistik Sri Sultan HB IX memiliki 4 makna subtansial yang harus dijalankan oleh
seorang raja atau pemimpin. Adapun penjabaran tentang 4 makna substansial dari
prinsip sufistik tersebut adalah sebagai berikut (Achmad, 2013):
a. Hendaklah seorang pemimpin lebih berani mengatakan bahwa yang benar adalah
benar dan yang salah adalah salah
b. Seharusnyalah seorang pemimpin mampu merengkuh siapa saja, sekalipun orang
itu memusuhinya
c. Seorang pemimpin tidak boleh melanggar aturan adat dan peraturan negara
d. Seharusnya seorang pemimpin sanggup melaksanakan tugas dan tanggung jawab
yang disampirkan dipundaknya sebagai amanah
Falsafah kepemimpina jawa Sri Sultan HB IX merupakan falsafah-falsafah
kepemimpinan yang bersumber dari ajaran leluhur orang jawa. Falsafah kepemimpinan
yang diterapkan oleh Sri Sultan HB IX dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab
sebagai seorang pemimpin (raja) yaitu :
a. Tanpa pamrih
b. Andhap Asor
c. Hamemayu hayuning bawana
d. Hamengku, hamangku, hamengkoni
e. Pramana
f. Jalma limpat tan kena kinira
Tipe kepemimpinan Sri Sultan HB IX
a. Tipe Kepemimpinan Kharismatis
Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan
pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai
pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya.
Kepemimpinan kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power)
dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia
Yang Maha Kuasa. Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian,
dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik
memancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar.
Sebagai raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB IX tentu
mendapat amanah sebagai pemimpin tradisional sekaligus pemimpin formal yang
keduanya ditunaikannya sepenuh jiwa dan raga demi bangsa dan negara. Sultan HB
IX merupakan pemimpin kharismatik dan bersahaja dalam menunaikan tugas sebagai
pemimpin. Yang terangkum di buku yang berjudul Tahta Untuk Rakyat.
Di mata dan benak rakyat Yogyakarta, Ngarso Dalem Sultan HB IX dipandang
pemimpin besar. Seorang raja kharismatik dan bersahaja yang menunaikan dengan
cukup prima dan sempurna tahta untuk rakyat. Tahta untuk rakyat berarti segala
kewenangan dan kekuasaan raja semata-mata diabdikan demi keselamatan,
kesejahteraan, kemakmuran dan ketentraman rakyat.
b. Tipe Kepemimpinan Populistis
Kepemimpinan populis berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang
tradisonal, tidak mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang luar negeri.
Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan kembali sikap nasionalisme.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah seorang nasionalis sejati.
Nasionalismenya tidak diragukan lagi. Meski beliau adalah raja dan bangsawan
berpengaruh di Jawa, beliau memilih menjadi seorang nasionalis sejati. Ketika
Republik ini diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, beliau dengan tegas
mengatakan mendukung berdirinya NKRI. Padahal, kedaulatannya sebagai Raja
Kesultanan Yogyakarta sangat kuat di mata rakyatnya. Pada saat yang bersamaan,
banyak raja-raja di nusantara meragukan dan belum mengakui kelahiran NKRI, Sri
Sultan Hamengku Buwono menyatakan secara tegas bahwa wilayahnya menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Tipe Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan
bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan
pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada
diri sendiri) dan kerjasama yang baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak
terletak pada pemimpinnya akan tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap
warga kelompok. Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu,
mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para
spesialis dengan bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap
anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.
Sebagai raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB IX tentu
mendapat amanah sebagai pemimpin tradisional sekaligus pemimpin formal yang
keduanya ditunaikannya sepenuh jiwa dan raga demi bangsa dan negara. Beliau pun
menunjukkan bahwa kedudukan seorang raja bukan lagi gung binathara, melainkan
demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap memiliki budi bawa
leksana.
Jika kita mendengar kata raja, tentulah identik dengan suatu feodalisme yang
sangat kental. Namun Sultan HB IX yang merupakan raja Yogyakarta yang ternyata
tidaklah demikian, ia adalah seorang raja yang sangat demokratis. Sejak pertama
akan diangkat menjadi raja, ia telah menunjukkan sikap yang demokratis. Meskipun
pada saat kembali dari Belanda, ayahnya telah menunjuk Dorodjatun menjadi putra
mahkota, tetapi ketika Sultan HB VIII telah benar-benar mangkat ia mengumpulkan
seluruh kerabat kraton. Kepada mereka Dorodjatun bertanya siapa yang bersedia
diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya.Ternyata semua kerabat mendukung
Dorodjatun untuk menggantikan HB VIII menjadi raja. Hal ini menunjukkan bahwa
beliau mau mendengarkan pendapat orang lain meskipun sebenarnya ia telah
ditunjuk menjadi putra mahkota.
Ketika sudah diangkat menjadi raja, beberapa perubahan beliau lakukan. Adat
yang sekiranya sudah tidak relevan lagi ia tinggalkan, namun yang masih memiliki
nilai tinggi tetap dipertahankan. Sikap demokratis Sultan HB IX ditunjukkan secara
nyata dengan mengubah sistem pengangkatan perangkat desa dengan cara pemilihan
bukan penunjukan.
Kebijakan yang benar-benar membuat rakyatnya sangat yakin bahwa rajanya
ini akan banyak membawa perubahan adalah dengan menurunkan pajak yang harus
dibayarkan sehingga rakyat jadi merasa lebih ringan bebannya. Selain itu Sultan juga
menerapkan sistem subsidi silang, dengan memberlakukan pajak pada desa yang
lebih produktif lebih tinggi dari pajak desa yang kurang produktif dan kelebihan
pajak tersebut digunakan untuk memberi subsidi pada desa yang membutuhkan
Referensi
Achmad, Sri Wintala. 2013. Falsafah kepemimpinan Jawa soeharto, Sri Sultan HB
IX & Jokowi. Yogyakarta : Araska
http://belajarpsikologi.com/tipe-tipe-kepemimpinan/
http://sosok.kompasiana.com/2013/06/15/negeri-ini-merindukan-pemimpin-seperti-
hb-ix-565348.html

Anda mungkin juga menyukai