Anda di halaman 1dari 7

BAB 6 MODERNISASI DAN GLOBALISASI DUNIA

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mempelajari uraian dalam pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan akan dapat menjelaskan batas konsep
konsep proses terjadinya modernisasi. Mahasiswa juga diharapkan akan dapat menjelaskan definisi, proses, serta
dampak terjadinya globalisasi.

Modernisasi

Istilah modern sering kali “dilawankan” dengan istilah tradisional (Huntington, 1997). Arti kata modernisasi dengan
kata dasar “modern” berasal dari bahasa Latin “modernus” yang dibentuk dari kata modo dan ernus. Modo berarti
cara dan ernus menunjuk pada adanya periode waktu masa kini. Modernisasi berarti proses menuju masa kini atau
proses menuju masyarakat yang modern. Isu mengenai modernisasi mulai berkumandang sejak terjadinya Revolusi
Industri di Inggris dan Revolusi Politik di Prancis, revolusi ini menandai dimulainya era penggunaan berbagai bentuk
teknologi sebagai alat bantu aktivitas manusia pada masa itu, yang kemudian diyakini sebagai era lahirnya
kapitalisme.

Proses modernisasi mencakup proses yang sangat luas dan sifatnya adalah sangat relatif, bergantung pada dimensi
ruang dan waktu. Sistem budaya pramodern sebenarnya telah memiliki cara penghitungan waktu. Sistem kalender
misalnya, merupakan kekuatan kebudayaan yang dimiliki oleh banyak masyarakat agraris untuk menentukan masa
tanam dan masa panen. Waktu masih dikaitkan dengan dimensi ruang (dan tempat) sampai dengan keseragaman
pengukuran waktu oleh jam mekanis yang dicocokkan dengan keseragaman dalam organisasi sosial waktu.

Pada dasarnya, modernisasi mencakup suatu tranformasi sosial kehidupan bersama yang tradisional atau
pramodern, dalam arti teknologi dan organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri
negara-negara Barat yang stabil. Perwujudan aspek modernisasi adalah berkembangnya aspek-aspek kehidupan
modern, seperti mekanisasi, media massa yang teratur, urbanisasi, peningkatan pendapatan per kapita dan
sebagainya. Selain itu, juga mencakup perubahan struktural yang menyangkut lembaga-lembaga sosial, norma-
norma, stratifikasi sosial, hubungan sosial, dan sebagainya (Soekanto, 1999).

Comte (dalam Sztompka, 1994) menunjukkan beberapa ciri tatanan baru (modernitas) sebagai berikut: adanya
konsentrasi tenaga kerja di pusat urban (kota); pengorganisasian pekerjaan yang ditentukan berdasarkan
efektivitas dan keuntungan atau profit; penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi;
munculnya antagonisme terpendam atau nyata antara majikan (atau pemilik modal) dan buruh; berkembangnya
ketimpangan dan ketidakadilan sosial; serta sistem ekonomi berlandaskan usaha yang bebas dan kompetitif yang
terbuka.

Ciri-ciri kemodernan yang lain dikemukakan oleh Kumar (dalam Sztompka, 1994). Pertama, individualisme, yaitu di
era modern individu memegang peran yang sangat besar dalam sistem sosial. Peran individu tersebut telah
menggantikan peran komunitas atau kelompok sosial yang dominan. Kedua, diferensiasi, yaitu terjadinya
spesialisasi bidang kerja dan profesionalisme, sehingga akan memerlukan keragaman keterampilan, kecakapan,
dan latihan. Diferensiasi juga terjadi di bidang konsumsi, yaitu munculnya berbagai pilihan peluang hidup yang
mengejutkan yang dihadapi setiap konsumen potensial. Spesialisasi tersebut akan memperluas lingkup pilihan
dalam pendidikan, pekerjaan, dan gaya hidup. Ketiga, rasionalitas atau perhitungan, yaitu adanya ciri efisiensi dan
rasional dalam setiap aspek kehidupan. Keempat, ekonomisme yaitu adanya dominasi aktivitas ekonomi, tujuan
ekonomi, kriteria ekonomi, dan prestasi ekonomi. Kelima, perkembangan. Modernisasi cenderung memperluas
jaringan jangkauanya terutama ruangnya, dan inilah yang dinamakan globalisasi. Giddens menyatakan bahwa
modernitas adalah globalisasi, artinya cenderung meliputi kawasan geografis yang semakin luas dan akhirnya
meliputi kawasan seluruh dunia. Modernitas juga menjangkau aspek pribadi individu (keyakinan agama, perilaku
seksual, selera konsumsi, pola hiburan, dan lain-lain).

Para sosiolog sering kali mendeskripsikan proses perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern ini
dengan terminologi “diferensiasi” atau “spesialisasi kerja” (Giddens, 2005). Istilah ini telah digunakan Parsons untuk
menggambarkan karakteristik masyarakat gesselschaft (versi Tönnies), bahwa masyarakat modern dicirikan
dengan munculnya diferensiasi struktural, sementara Durkheim lebih menyebutnya sebagai sistem pembagian kerja
yang ada dalam masyarakat modern (solidaritas organik). Menurut Giddens (2005) istilah diferensiasi dan
spesialisasi fungsional tidak sesuai untuk menjelaskan fenomena pengumpulan ruang dan waktu oleh sistem sosial.
Proses yang dimunculkan menurut Giddens, merupakan sebuah pemisahan, konsep ini dianggap lebih mampu
menjelaskan peralihan ruang dan waktu yang sedang bergeser yang secara elementer penting bagi perubahan
sosial pada umumnya dan bagi sifat modernitas pada khususnya.

Modernisasi telah memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan sosial. Tumin (Lauer, 1982) memberikan
beberapa perubahan sistem stratifikasi sosial akibat modernisasi. Pembagian kerja menjadi semakin rumit.
Modernisasi menyaratkan berbagai keterampilan yang lebih spesifik. Hal ini dikarenakan semakin kompleksnya jenis
pekerjaan yang harus dikerjakan individu terutama dalam proses produksi. Selain itu, tidak semua individu memiliki
kemampuan untuk mengerjakan satu bagian dalam proses produksi. Semua jenis pekerjaan memerlukan keahlian
khusus yang harus dipelajari.

Status seseorang ditentukan berdasarkan prestasi. Keberadaan seorang individu dalam masyarakat modern akan
dihargai sesuai dengan prestasi atau hasil karya yang telah dihasilkannya. Paham feodalisme akan terhapus seiring
berkembangnya pandangan yang menjunjung tinggi arti sebuah prestasi. Dengan kata lain, seorang individu tidak
lagi dihargai karena usianya, namun karena karya atau prestasi yang telah dicapainya. Adanya prestasi ini kemudian
dikenal istilah penghargaan (sertifikat) dalam masyarakat modern sebagai simbol penghargaan atas prestasi
seseorang. Hal serupa tidak ditemukan dalam sistem masyarakat tradisional.

Ada alat yang memadai yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan. Masyarakat modern melakukan
evaluasi yang bertujuan untuk menghasilkan karya atau kinerja yang lebih baik. Untuk melakukan evaluasi tersebut,
masyarakat modern mengembangkan berbagai bentuk serta model evaluasi termasuk instrumen untuk
mengevaluasi kinerja seseorang serta kinerja seorang pemimpin. Baik buruknya kinerja seseorang akan dapat
diketahui dari hasil evaluasi tersebut. Hal ini tidak dijumpai dalam masyarakat tradisional yang belum mengenal
sistem evaluasi atas kinerja seseorang.

Pada masyarakat modern telah terjadi sebuah pergeseran dalam peluang hidup di berbagai strata sosial.
Masyarakat modern mengalami proses diferensiasi dalam kelas sosial. Banyak alternatif yang dapat digunakan
anggota masyarakat untuk memasuki kelas-kelas sosial tertentu, dengan kata lain, satu kelas sosial dapat terdiri
atas beberapa status di dalamnya. Misalnya, kelas menengah, di dalamnya akan terdiri atas berbagai status yang
terdiferensiasi: kelompok pegawai, pengusaha kelas menengah, karyawan perusahaan swasta, dan sebagainya.
Hal ini sering disebut sebagai munculnya kelas sosial baru dalam masyarakat modern. Peluang hidup dari setiap
kelas sosial semakin terbuka lebar.

Masyarakat modern mengalami pergeseran dalam distribusi gengsi sosial. Gengsi sosial atau prestise dapat
diwujudkan dalam berbagai cara pada masyarakat modern. Gengsi sosial tidak hanya diwujudkan dalam berbagai
simbol fisik, misalnya cara berpakaian, atau melalui berbagai atribut yang melekat pada seseorang, namun
penunjukkan status individu dapat dilihat dalam simbol-simbol nonfisik, misalnya pemilihan tempat makan, tempat
belanja, tempat rekreasi, merk baju yang dikenakan, bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi, serta penguasaan
teknologi, dapat menunjukkan status seseoranng.

Selanjutnya, Lauer (1982) memberikan beberapa fenomena yang merupakan imbas modernisasi, yaitu: terdapat
kecenderungan peningkatan peran status sosial perempuan; perempuan remaja mendapatkan status baru; dan
perempuan tua kehilangan status tingginya. Posisi perempuan mendapat “tempat” dalam masyarakat modern
seiring dengan gerakan emansipasi perempuan yang memosisikan perempuan dalam derajat yang sama dengan
laki-laki. Bersamaan dengan hal tersebut, keberadaan perempuan remaja kemudian mulai diakui. Mereka tidak lagi
diposisikan sebagai individu yang dimarginalkan, tetapi mereka diposisikan menjadi bagian yang sangat penting.
Misalnya dalam dunia kerja, lebih banyak membutuhkan perempuan dalam usia-usia produktif (dalam arti produktif
dalam bekerja) daripada usia nonproduktif.

Pada aspek pemerintahan, kepentingan dan loyalitas kedaerahan hingga taraf tertentu digantikan oleh kepentingan
dan loyalitas nasional. Adanya demokratisasi proses politik yang semakin besar. Kekuasaan politik cenderung
terdistribusi semakin luas di kalangan berbagai lapisan masyarakat di negara modern. Namun, azas demokratisasi
ini berbeda di setiap negara. Demokrasi dalam sektor politik dapat diukur dengan jumlah persaingan politik,
partisipasi anggota masyarakat dalam kegiatan politik, serta kesamaan perwakilan. Selain itu, tempat
berlangsungnya kegiatan politik nasional lebih banyak terjadi di kawasan urban, terutama di kota besar, sementara
di daerah pedesaan jarang terjadi kegiatan politik.

Adanya kecenderungan perubahan ke arah overurbanisasi. Kondisi ini kemudian menciptakan sumber aktivitas
perilaku menyimpang, interaksi antarkelompok lebih banyak ditandai oleh konflik dibandingkan integrasi. Intensitas
terjadinya perilaku menyimpang dan tindakan kriminal lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan yang padat
penduduk dan sangat heterogen. Ada banyak hal yang mendasari hal tersebut, misalnya faktor desakan ekonomi
yang memicu terjadinya pencurian, perampokan, atau dapat pula dilatarbelakangi kompleksitas permasalahan yang
dihadapi manusia modern.

Pada bidang pendidikan, secara kuantitatif terjadi pertumbuhan organisasi pendidikan dan pendaftaran di sekolah.
Di beberapa negara terjadi perluasan kawasan pendidikan yang berarti juga perluasan kesempatan bagi anggota
masyarakat untuk menikmati fasilitas pendidikan. Namun, perluasan sarana pendidikan ini kadang-kadang
berkaitan dengan upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan status mereka melalui pemilikan sarana
pendidikan secara pribadi. Secara kualitatif, kurikulum dimodernisasi, sebagian besar pendidikan lebih bersifat
teknis dan lebih sekuler. Proses pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja, mengingat
masyarakat modern dicirikan dengan adanya pembagian kerja yang sangat rumit, sehingga setiap individu perlu
memiliki keterampilan kerja secara khusus.

Pada institusi keluarga, terjadi pergeseran di kawasan urban, meningkatkan ketegangan hubungan antara anggota
keluarga besar, terjadinya pemindahan sebagian besar fungsi keluarga kepada unit sosial lain. Ada beberapa peran
lembaga keluarga yang tergantikan melalui unit sosial atau lembaga lain, misalnya peran pendidikan yang dialihkan
pada lembaga sekolah, sosialisasi nilai dalam keluarga relatif berkurang, tergantikan peran media massa, televisi
maupun internet (uraian lengkap baca Bab VIII).

Modernisasi dan Rasionalitas


Weber sangat mengedepankan aspek rasionalitas dalam menjelaskan perkembangan manusia modern. Munculnya
kapitalisme menjadi simbol modernisasi sebagai akibat rasio manusia yang semakin berkembang. Tidak hanya itu,
bagi Weber, masyarakat modern sangat mengedepankan mekanisme birokrasi dalam mengatur tata tingkah laku
manusia, birokrasi dalam masyarakat modern adalah sebuah kesatuan. Konsepsi birokrasi adalah sistem kerja yang
memberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan. Birokrasi berasal dari dua konsep kata, yaitu bureau dan cracy.
Beareau bermakna kantor yang menjadi alat dari manusia dalam hal ini adalah seperangkat peran yang
menghasilkan basis kekuasaan dengan berlandaskan pada aturan-aturan yang baku. Cracy merupakan sebuah
bentuk kekuatan yang kemudian menghasilkan kewibawaan. Birokrasi bagi Weber merupakan hasil dari rasionalitas
masyarakat Barat yang dicerminkan ke dalam aplikasi lembaga kerja manusia yang mengurus segala keperluan
teknis untuk memudahkan pelayanan kepada publik atau konsumen.

Birokrasi bagi sebagian besar orang mungkin merupakan sebuah proses yang menghambat aktivitas mereka,
dengan birokrasi akan banyak waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu masalah atau urusan. Namun,
memang itulah birokrasi. Weber menjelaskan mengenai peran penting birokrasi dalam dunia modern, yaitu:
pertama, adanya perkembangan ekonomi uang. Weber menyatakan bahwa bila para pejabat digaji dengan produksi
atau komoditas daripada dengan uang, maka struktur birokrasi secara bertahap akan mengalami perubahan.
Kedua, tugas-tugas administrasi di negara modern secara kuantitatif dan kualitatif semakin meningkat. Hal ini
memerlukan persyaratan teknis untuk mengelola negara yang besar dan rumit dengan segala kebutuhan sosial,
politik, dan ekonomi. Ketiga, birokratisasi muncul dengan alasan efisiensi teknis. Birokrasi dipandang sebagai sistem
terbaik di antara sistem-sistem administrasi lainnya (Laurer, 1982).

Mekanisme kerja birokrasi dalam masyarakat modern sangat berbeda dengan mekanisme pembagian kerja dalam
masyarakat feodal (tradisional). Menurut Weber, dalam masyarakat modern kekuasaan didasarkan pada
kemampuan seseorang, bukan didasarkan atas faktor usia, atau keluarga yang diturunkan secara turun-temurun
seperti dalam masyarakat feodal atau tradisional. Pada akhirnya, masyarakat modern akan sangat menghargai
seseorang dari prestasinya, bukan dari keluarganya (keturunan). Lebih lanjut Weber menjelaskan beberapa
karakteristik masyarakat modern. Pertama, sekulerisasi, yaitu merosotnya arti penting keyakinan terhadap agama,
kekuatan gaib, nilai, dan norma, dan dapat digantikan dengan gagasan serta aturan yang disahkan oleh argumen
dan pertimbangan yang bersifat duniawi. Kedua, adanya peran sentral ilmu yang membuka jalan untuk memperoleh
pengetahuan yang benar dan selanjutnya dimanfaatkan dalam bentuk teknologi atau kegiatan produktif. Ketiga,
demokratisasi pendidikan yang mampu menjangkau lapisan penduduk yang semakin luas dan tingkat pendidikan
yang semakin tinggi. Dan keempat, munculnya kultur massa, yaitu produk estetika, kesusastraan, dan artistik
berubah menjadi komoditi yang tersebar di pasar dan menarik selera semua lapisan sosial (Sztompka, 1994).

Kritik terhadap Modernisasi


Gejolak masyarakat modern dalam perkembangannya ternyata menuai berbagai kritik. Kritik ini lebih disebabkan
bahwa modernisasi dinilai membawa banyak ekses negatif bagi manusia itu sendiri. Beberapa hal yang menjadi ciri
manusia modern sebenarnya justru menjadi kelemahan modernisasi itu sendiri yang kemudian membawa manusia
modern pada kehancuran. Bila kita menengok pendapat Marx, bahwa perkembangan modernisasi justru semakin
memperlebar jurang ketidaksetaraan antarmanusia itu sendiri, kemudian, modernisasi justru dianggap berpotensi
untuk menjauhkan manusia dari manusia yang lain, maka modernisasi perlu dikaji ulang. Marx menyebutkan bahwa
modernisasi telah menyebabkan adanya alienasi (keterasingan) dalam diri manusia. Manusia menjadi jauh dari
realitas kehidupannya karena aktifitas keseharian mereka. Modernisasi menyebabkan manusia semakin jauh
dengan manusia lainnya, mereka terpisahkan oleh teknologi. Alienasi menyebabkan hilangnya dorongan manusia
untuk bergaul (motif egoisme, atomisme), kehilangan kreatifitas (motif monoton, kerutinan) dan kehilangan kontrol
terhadap tindakan (motif pasifisme), kehilangan otonomi (motif pemujaan komoditi yang merasuki semua orang)
dan singkatnya, modernisasi telah menghancurkan “potensi kemanusiaan” (Sztompka, 1994).

Globalisasi: Efek Modernisasi

Globalisasi diartikan sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal, masyarakat di seluruh dunia menjadi saling
tergantung di semua aspek kehidupan, politik, ekonomi dan budaya (Robertson dalam Sztompka, 1994; Hallak,
1998). Ohmae (1990) menyebutnya sebagai “the bordeless world”, dunia tanpa batas. Masyarakat kini telah
menunjukkan kenyataan yang sama sekali berbeda. Di bidang politik, terdapat kesatuan supernasional dengan
berbagai cakupan blok politik dan militer, koalisi kekuasaan dominan, organisasi kesatuan regional, organisasi
berskala internasional. Di bidang ekonomi terlihat peningkatan peran koordinasi dan integrasi supernasional,
perjanjian kerja sama ekonomi regional dan dunia, pembagian kerja dunia, peningkatan peran kerja sama
multinasional, dan sebagainya.

Kita dapat menyaksikan berjalannya globalisasi di setiap tempat. Dari Bank Dunia dan PBB hingga Greenpeace dan
Disneyworld, dari marathon internasional dan konser global hingga wisata umum dan internet, kita dapat
menjumpai orang-orang bergerak dalam jaringan tanpa dibatasi oleh ruang komunitas. Manusia membentuk
jaringan ke seluruh dunia, dan membuat wilayah lokal menjadi global, dan wilayah global menjadi lokal (Plummer,
2010). Melalui globalisasi, seolah-olah, dunia berada dalam genggaman kita.

Masyarakat di dunia, terlihat kemajuan keseragaman dari aspek budaya. Media massa, terutama televisi, mengubah
dunia menjadi sebuah desa global (global village). Informasi dan gambar peristiwa yang terjadi di tempat yang
sangat jauh dapat ditonton jutaan orang pada waktu bersamaan. Menurut Giddens (2005), globalisasi berkaitan
dengan tesis bahwa kita semua sekarang hidup dalam satu dunia. Mengenai hal tersebut, terdapat dua pandangan
mengenai globalisasi. Yang pertama adalah kaum skeptis yang menganggap bahwa semua hal yang dibicarakan
mengenai globalisasi adalah omong kosong. Apapun manfaat, cobaan, dan kesengsaraan yang ditimbulkannya,
ekonomi global tidak begitu berbeda dengan yang pernah ada pada periode sebelumnya. Menurut kelompok ini,
banyak negara hanya memperoleh sedikit pendapatannya dari hasil perdagangan luar negeri. Berbagai transaksi
ekonomi lebih banyak berlangsung di tingkat regional daripada lingkup internasional.

Kelompok kedua adalah kelompok radikal. Kaum radikal berpendapat bahwa globalisasi bukan hanya sangat riil,
melainkan konsekuensinya juga dapat dirasakan di manapun. Banyak bangsa kehilangan sebagian kedaulatannya,
dan para politisi juga kehilangan sebagian besar kemampuannya untuk memengaruhi dunia. Era negara-bangsa
(nation-state) berakhir. Bangsa-bangsa –menurut Kenichi— telah menjadi sekedar rekaan. Menurut Giddens,
globalisasi bukan hanya “baru”, melainkan juga revolusioner. Globalisasi terutama banyak dipengaruhi
perkembangan sistem komunikasi yang baru dimulai akhir 1960-an. Globalisasi tidak sekedar soal apa yang terjadi
“di luar sana”, terpisah, dan jauh dari orang per orang. Namun globalisasi juga memengaruhi aspek-aspek
kehidupan yang intim dan pribadi.

Globalisasi melibatkan empat kekuatan besar. Ohmae (1990) menyebutnya dengan istilah 4i, yaitu: investment
(investasi modal), perkembangan industri, information technology, dan individual consumers. Keempat aktor ini
turut meramaikan jalannya globalisasi di berbagai dunia. Perluasan modal dari negara maju ke negara berkembang,
telah mempercepat perkembangan Dunia Ketiga sehingga penyeragaman dunia terjadi semakin cepat. Keempat
aspek ini akan memengaruhi kebijakan ekonomi di setiap negara. Setiap produk dari berbagai negara bebas keluar
masuk di setiap negara, akibatnya penduduk dunia dibentuk untuk menjadi individu yang konsumtif akibat ekspansi
pasar yang sangat besar dan luas.

Grobalisasi. Grobalisasi merupakan sebuah pandangan yang sangat modern yang menekankan kemampuan yang
semakin meningkat di seluruh dunia dari organisasi-organisasi dan negara-negara modern yang sebagian bersifat
kapitalistik untuk meningkatkan kekuasaan mereka dan menjangkau dunia. Grobalisasi merupakan bagian khusus
dari globalisasi. Ada dua teori yang menjelaskan mengenai gejala ini. Pertama, teori Marxian yang mengarahkan
pandangannya bahwa satu dari kekuatan-kekuatan pendorong utama di belakang grobalisasi adalah kebutuhan
perusahaan untuk memperlihatkan kemampuannya memperoleh keuntungan yang semakin meningkat melalui
imperialisme yang semakin lama semakin menjauh dari jangkauan. Kekuatan pendorong lainnya adalah kebutuhan
bagi perusahaan-perusahaan dan negara-negara dan institusi-institusi lain (media dan pendidikan) yang menopang
mereka untuk mendukung upaya-upaya mempertinggi kemampuan memperoleh keuntungan dengan cara
meningkatkan hegemoni budaya mereka di seluruh dunia. Menurut teori ini, kebutuhan bagi (terutama) perusahaan
Amerika untuk menunjukkan keuntungan-keuntungan yang semakin bertambah dan menunjukkan kebutuhan
pendukung dari Amerika Serikat dan institusi-institusi Amerika untuk mendesakkan hegemoni budaya yang semakin
meningkat, menjadi inti grobalisasi.

Kedua, teori Weberian yang menekankan ketersediaan yang semakin bertambah dari struktur-struktur yang
dirasionalisasi dan kontrol mereka yang semakin meningkat atas orang-orang di seluruh dunia, khususnya dalam
bidang konsumsi. Teori Weberian membiasakan kita pada penyebaran “global” dari struktur-struktur rasional ini
yang memiliki sebuah kecenderungan untuk mereplikasi diri mereka ke seluruh dunia dan negara-negara yang tidak
memilikinya, umumnya ingin sekali mendapatkan mereka. Grobalisasi dapat dianalisis secara budaya, ekonomi,
politik atau institusional. Dalam aspek budaya, grobalisasi dapat dilihat sebagai sebuah eskpansi transnasional dari
kode-kode dan kebiasaan-kebiasaan umum (homogenitas).

Glokalisasi. Apabila sebelumnya kita telah mengenai konsep penyeragaman (homogenisasi) unsur-unsur budaya,
maka istilah glokalisasi merupakan lawan kata homogenisasi tersebut. Atau, dengan kata lain, glokalisasi menunjuk
pada proses heterogenisasi. Sinonim lain glokalisasi adalah creolization atau kreolisasi. Istilah creole pada umumnya
mengarah pada orang-orang dari ras campuran, namun istilah ini telah diperluas pada ide “kreolisasi bahasa”, yang
melibatkan sebuah kombinasi bahasa-bahasa yang sebelumnya tidak dapat dipahami satu sama lain. Proses ini
dapat kita pahami ketika produk masyarakat lokal kemudian diadopsi (dinikmati) oleh masyarakat luar namun
dengan bentuk “yang lain”. Bentuk “lain” tersebut pada dasarnya menunjukkan adanya heterogenisasi produk
budaya lokal yang dikonsumsi masyarakat dunia secara global di tempat lain.

Gambar 6.6 Glokalisasi: tempe dalam kemasan yang diproduksi di Jepang

Kapitalisme. Kapitalisme merupakan sebuah kekuatan besar yang muncul beriringan dengan globalisasi.
Perusahaan-perusahaan kapitalis yang sangat kuat akan selalu berupaya untuk memperluas ekspansi pasar, bila
tidak, perusahaan-perusahaan lambat laun akan mengalami gulung tikar. Ekspansi pasar perusahaan besar tentu
saja akan memasuki negara-negara lain yang dianggap cukup potensial sebagai tempat untuk mengembangkan
modal. Gejala inilah yang membawa implikasi paling besar akibat globalisasi. Perusahaan-perusahaan asing akan
digiring untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kemungkinan-kemungkinan untuk memperoleh keuntungan
pada wilayah-wilayah yang lebih terpencil dan relatif kurang berkembang. Bisnis-bisnis yang memiliki ambisi
memperluas jaringanya ke pasar global, mereka akan selalu tertarik dengan grobalisasi dan memberikan kontribusi
pada glokalisasi.

Kapitalisme berhubungan dengan grobalisasi ekonomi, khususnya dalam wilayah konsumsi. Dalam aspek ini,
perusahaan-perusahaan kapitalis yang menghasilkan produk mayoritas yang sangat banyak, namun bukan
berbentuk tempat, bukan benda, bukan orang, dan bukan pelayanan dengan penawaran ke seluruh dunia.
Kapitalisme juga merambah ke sektor lain, politik. Paham demokrasi yang sengaja ditularkan negara kapitalis
Amerika merupakan media pendukung agar paham kapitalisnya dapat “ikut serta”. Paham demokrasi diposisikan
sebagai dewa penyelamat bagi kondisi politik negara lemah.

Sistem kapitalisme menunjukkan potensi ekspansi yang sangat besar dan kuat. Dinamika internal untuk bergerak
sendiri dan kemampuan menjaga agar suplai barang (dan jasa) tetap melimpah menyebabkan sistem kapitalisme
sangat menarik bagi segmen terbesar penduduk. Sistem inipun kemudian mengendalikan kekuasaan politik dan
militer sehingga memungkinkan mereka meluaskan kekuasaanya. Pembangunan sarana transportasi, teknologi
militer dan, komunikasi turut mempercepat perkembangan sistem kapitalis ke seluruh dunia. Akibatnya, terciptalah
strata dan ketimpangan masyarakat dunia. Masyarakat dunia terbagi menjadi tiga kelompok besar, Dunia Ketiga,
Dunia Kedua dan Dunia Pertama (lihat teori sistem dunia –Bab 5) (Sztompka, 1994).

McDonaldisasi. McDonaldisasi merupakan sebuah proses dengan apa prinsip-prinsip dari restoran cepat saji yang
semakin lama semakin mendominasi banyak sektor pada masyarakat Amerika dan sejumlah besar masyarakat
lainnya di seluruh dunia. Ada beberapa prinsip kerja yang menjadi model McDonaldisasi ini, yaitu McDonaldisasi
menjanjikan efisiensi, kemampuan memperhitungkan, kemampuan memprediksi dan mengontrol, terutama melalui
penggantian teknologi manusia dengan mesin, seperti halnya irasionalitas dan rasionalitas yang nampaknya tidak
dielakkan menyertai proses ini. McDonaldisasi tidak terbatas pada industri cepat saji dan tidak juga di Amerika
Serikat saja, McDonaldisasi merupakan proses perubahan global yang sangat luas dan jauh jangkauannya. Hasil
karya paham McDonaldisasi bahkan telah diterapkan dengan baik pada industri pendidikan, politik, agama, serta
peradilan kriminal. McDonaldisasi tidak hanya menjanjikan banyak keuntungan khusus, namun juga mereproduksi
dirinya sendiri lebih muda dibandingkan model-model konsumsi lainnya, keberhasilan McDonaldisasi di Amerika
Serikat memberikan kesan kuat bahwa McDonaldisasi akan terus membuat invansi-invansi ke pasar global dengan
tidak hanya melalui usaha-usaha dari perusahaan yang ada, namun juga melalui penyebaran paradigma.

Amerikanisasi. Amerikanisasi dapat didefinisikan sebagai proses pengembangbiakan ide-ide, kebiasaan, pola-pola
sosial, industri, dan modal Amerika ke seluruh dunia. Amerikanisasi merupakan proses kuat yang tidak terarah yang
berasal dari Amerika Serikat yang cenderung meliputi proses-proses bersaing (misalnya: Japanization) seperti
halnya tenaga dari kekuatan–kekuatan lokal (dan glokal) yang mungkin melawan, memodifikasi atau mengubah
model-model Amerika Serikat menjadi bentuk-bentuk campuran.

Globalisasi Budaya dan Identitas Nasional


Unifikasi dan homogenisasi budaya pada skala global ditampilkan melalui media massa, terutama televisi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, “imperialisme media” semakin lama semakin kuat mengubah dunia menjadi
“desa global”, ketika lingkup pengalaman kultural dan produknya pada dasarnya adalah sama. Melihat kenyataan
ini, Hanners (Sztompka, 1994) mencetuskan sebuah teori yang dikenal dengan teori ecumene culture. Menurutnya,
ecumene merupakan kawasan interaksi, interpretasi, dan pertukaran budaya yang berlangsung secara terus
menerus.

Hanners kemudian menggambarkan empat kemungkinan yang akan terjadi sehubungan adanya penyatuan budaya
di masa mendatang. Pertama, homogenisasi global. Budaya Barat akan mendominasi di seluruh dunia. Seluruh
dunia akan menjadi jiplakan gaya hidup, pola konsumsi, nilai, dan norma serta gagasan dan keyakinan masyarakat
barat. Pada kondisi ini, keunikan budaya lokal (pribumi) akan lenyap karena dominasi budaya Barat. Kedua,
kejenuhan yang merupakan versi khusus dari proses homogenisasi global. Tekanannya adalah pada dimensi waktu.
Perlahan-lahan, masyarakat pinggiran akan menyerap pola budaya Barat, yang semakin menjenuhkan mereka.
Dalam jangka panjang, setelah melewati beberapa generasi, maka, bentuk, makna, dan penghayatan budaya lokal
akan lenyap di kalangan masyarakat pinggiran. Ketiga, kerusakan budaya pribumi dan kerusakan budaya Barat
yang diterima. Bentrokan antara budaya pribumi dan budaya Barat, semakin merusak nilai budaya Barat yang
diterima. Kerusakan ini akan terjadi melalui beberapa mekanisme. Mekanisme pertama adalah budaya penerima
akan menyaring produk budaya Barat yang canggih dan hanya menerima yang bernilai murahan. Penyebabnya
adalah masyarakat pribumi kurang siap untuk menerima budaya Barat yang canggih dan selera mereka masih
rendah. Di pihak penyalur, ada kecenderungan dumping, artinya menjual kelebihan produk kultural bermutu paling
buruk ke daerah pinggiran. Mekanisme kedua adalah adanya penyalahgunaan nilai budaya yang diterima, yang
disesuaikan dengan cara hidup lokal yang sudah mapan. Keempat, kedewasaan, yaitu penerimaan budaya Barat
melalui dialog dan pertukaran yang lebih seimbang daripada penerimaan sepihak. Masyarakat pribumi menerima
unsur Barat secara selektif, memperkayanya dengan nilai lokal tertentu, dalam menerima gagasan Barat,
masyarakat pinggiran memberikan interpretasi lokal. Akibatnya akan terjadi peleburan atau amalgamasi antara
unsur budaya yang datang dan yang menerima. Budaya global berperan merangsang dan menantang
perkembangan nilai budaya lokal, sehingga akan terjadi proses spesifikasi budaya lokal. Unsur lokal dan unsur
impor dipertahankan dan perannya ditingkatkan oleh pengaruh budaya Barat. Agen penghubung dalam proses ini
adalah para wiraswastawan budaya lokal. Hasil akhir proses tersebut adalah percampuran budaya. Budaya di
seluruh dunia sebenarnya memperlihatkan asal-usul campuran, hasil sintesis yang sudah kehilangan keasliannya.
Proses ini terjadi karena terjalinnya hubungan sejak lama antara inti dan pinggiran.

Perkembangan globalisasi pada akhirnya akan membawa empat wacana besar, yaitu adanya delokalisasi dan
lokalisasi, inovasi dan teknologi informasi, kebangkitan korporasi multinasional, serta privatisasi dan pembentukan
pasar bebas (Lie, 2004). Pertama, delokalisasi dan lokalisasi. Transfomasi budaya lokal dalam segala aspek sebagai
interaksi dengan budaya asing dan adopsi unsur-unsur budaya asing menjadi bagian budaya lokal. Proses ini
nantinya akan menyebabkan –apa yang disebut Hanners dengan teori ecumene culture— terjadinya penyebaran
budaya secara sepihak. Kedua, perkembangan inovasi dan teknologi informasi. Wujudnya dapat dilihat dengan
semakin cepatnya perkembangan tekonologi informasi yang hampir dirasakan di semua negara. Hal inilah yang
sebenarnya berkontribusi pada cepatnya arus penyebaran budaya (terutama budaya Barat) dalam setiap aspek
kehidupan manusia di dunia. Ketiga, kebangkitan korporasi multinasional. Korporasi-korporasi tingkat dunia akan
berkembang di seluruh dunia. Proses ini nantinya akan semakin mempermudah masuknya gejala kapitalisme di
seluruh dunia, dan akan mematikan korporasi-korporasi lokal di beberapa negara. Dampak lebih jauh adalah
matinya sektor ekonomi lokal dan menyebabkan negara Dunia Ketiga mengalami ketergantungan pada negara
maju. Dan keempat, privatisasi dan pembentukan pasar bebas. Peran negara dalam masalah pelayanan publik
mulai berkurang, semua diserahkan pada mekanisme pasar, sementara campur tangan pemerintah hanya sebatas
pada regulasi saja. Hal secara langsung membuka pintu sangat lebar bagi masuknya kapitalisme global.

Anda mungkin juga menyukai