Anda di halaman 1dari 8

TEORI POSMODERN MENGENAI PERUBAHAN SOSIAL

A. Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan akan dapat menjelaskan pemikiran-pemikiran
teoretikus posmodern dalam mengkaji masalah perubahan sosial di masayarakat. Ada tiga pemikiran yang
dibahas, yaitu: pemikiran Giddens, Foucault, dan Baudrillard.

B. Memahami Posmodern
Secara sekilas, konsep posmodern dirangkai dari konsep post dan modern; post dapat dimaknai sebagai era
sesudah, sehingga posmodern mengandung makna setelah modernitas atau setelah sekarang (O’Donnell, 2003;
Ritzer, 2003). Namun definisi posmodern tidak sesederhana itu. Konsep ini tidak terbatas pada dimensi
waktu (post –sesudah), namun meliputi juga dimensi sosial budaya yang menjadi objek pemikiran di era
posmodern ini. Ada beberapa istilah yang masih berkaitan dengan istilah posmodern, yaitu posmodernitas
dan posmodernisme. Menurut Kumar (Ritzer, 2003), istilah posmodernitas menunjuk pada suatu epos –
jangka waktu, zaman, atau masa– sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam
suatu pemahaman sejarah. Posmodernitas juga menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi
informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan
sarana publik, penghapusan negara bangsa, dan penggalian kembali berbagai inspirasi tradisi.
Posmodernisme menunjuk pada sebuah produk budaya (dalam seni, film, arsitektur, dan sebagainya) yang
terlihat berbeda dengan produk budaya modern. Posmodernisme menunjuk pada kritik-kritik filosofis
mengenai gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Jadi, definisi posmodern meliputi
suatu epos sejarah baru, produk budaya yang baru serta tipe teori baru yang menjelaskan dunia sosial.
Konsep posmodernisme mengacu pada beberapa hal. Pertama, tertuju pada keyakinan yang tersebar luas
bahwa era modern telah berakhir dan manusia akan memasuki periode baru, yaitu posmodernitas. Kedua,
konsep posmodernisme berkaitan dengan dunia budaya yang dapat dinyatakan bahwa produk posmodern
cenderung menggantikan produk modern. Ketiga, kemunculan teori posmodern yang memiliki perbedaan
dengan teori modern (teori yang menggambarkan realitas manusia modern) (Ritzer, 2003). Teori modern
dinilai lebih bersifat absolut, rasional, dan menerima posibilitas penemuan kebenaran, sedangkan teori
posmodern dianggap lebih bersifat relativistik dan terbuka kemungkinan irasionalitas.

C. Anthony Giddens: Konsekuensi Modernitas


Giddens tidak dimasukkan dalam pemikir posmodern dalam beberapa literatur teori sosiologi. Namun, dalam
pembahasan ini ia dimasukkan sebagai salah satu teoretikus posmodern karena telah mencurahkan banyak
pemikirannya pada masalah perkembangan dan sekaligus mengkritik modernisasi, globalisasi serta realitas
masyarakat posmodern. Ada banyak karyanya yang mengkritisi fenomena-fenomena tersebut, di antaranya:
Runaway World, Consequences of Modernization, Social Theory and Modern Sociology.
Sebagai awal pembahasan mengenai pandangan Giddens mengenai perubahan sosial, terlebih dahulu akan
diuraikan satu teorinya yang sangat terkenal, yaitu teori strukturasi karena gagasannya mengenai perubahan
sosial terkait erat dengan konsep ini. Giddens memulai pemikirannya dengan menganalisis dua pandangan
yang berbeda yang telah berkembang sebelumnya. Pandangan pertama lebih menekankan komponen
struktur sebagai sebuah mekanisme yang mampu mengubah perilaku individu. Pandangan ini dikembangkan
oleh kelompok fungsional-struktural: Comte, Durkheim, Parsons, dan Marx. Pandangan kedua adalah
sebaliknya, pandangan ini menekankan peran aktif individu dalam proses sosial yang mampu memengaruhi
kerja struktur sosial. Pandangan ini diusung oleh Weber. Menurut pandangan Giddens, pandangan pertama
lebih bersifat objektif, sedangkan pandangan kedua lebih bersifat subjektif. Objektivisme merupakan
kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan dan pengalaman
individu, sementara, subjektivisme merupakan sebuah pandangan yang memprioritaskan tindakan individu
atau pengalaman mereka di atas gejala keseluruhan (struktur).
Giddens memulai idenya dengan “mencari jalan tengah” dari dua pandangan yang cukup berlawanan ini
dengan menggunakan dua konsep utama, yaitu struktur dan agen. Oleh karena itu, ide ini sering disebut
sebagai teori strukturasi. Konsep struktur menurut Giddens menunjuk pada peraturan (rules) dan sumber
daya (resources); sementara peraturan menunjuk pada prosedur yang mengatur bagaimana agen (individu)
seharusnya bertindak. Agensi (atau aktor) menunjuk pada kapasitas atau kemampuan aktor untuk
melakukan tindakan. Struktur dalam konsepsi Giddens ini berbeda dengan pemaknaan struktur versi
Durkheim yang lebih bersifat mengekang individu. Struktur dalam pemaknaan Giddens lebih bersifat
memberdayakan dan masih memungkinkan terjadi praktik sosial. Objektivitas struktur tidak bersifat
eksternal melainkan melekat pada tindakan dan praktik sosial yang kita lakukan. Struktur bukanlah objek
yang bersifat meterial, melainkan sebuah skema yang muncul dalam praktik-praktik sosial.

Posisi teori Strukturasi

Modernitas
Pandangan Giddens mengenai modernitas terkait erat dengan teori strukturasinya. Individu bukanlah objek
dalam proses modernisasi, melainkan individu memainkan peran sangat penting dalam proses ini di samping
keberadaan institusi penting lain yang menopang modernitas. Giddens menggambarkan modernitas sebagai
sebuah lokomotif yang mengawal perubahan.
Giddens menganalogikan modernitas dengan sebuah lokomotif untuk menggambarkan bagaimana proses ini
berjalan dengan sangat cepat. Ia juga memiliki jalur sendiri yang tidak dapat dihalangi siapapun; siapapun
yang menghalangi modernitas, ia akan dilibas. Ide ini terkait erat dengan idenya mengenai strukturasi,
terutama dalam pembahasan mengenai waktu dan ruang. Lokomotif digambarkan sebagai sesuatu yang
bergerak sejalan dengan waktu dan ruang fisik. Namun, menurut Ritzer (2003), analogi modernitas sebagai
sebuah “lokomotif” kurang sesuai dengan idenya mengenai kekuasaan agen, kesan ini lebih mengedepankan
kekuasaan struktur yang mengendalikan agen.
Analisis Giddens mengenai modernitas menitikberatkan pada komponen nation-state (negara-bangsa).
Giddens menganalisisnya dalam empat dimensi institusional modernitas: pertama, kapitalisme yang
dikarakterisasikan secara familiar dengan produksi komoditas, kepemilikan kapital privat, upah buruh tanpa
kepemilikan dan sebuah sistem kelas yang berasal dari karakteristik ini. Kedua, industrialisme yang
melibatkan sumber-sumber tenaga mati dan mesin untuk memproduksi barang. Industrialisme tidak terbatas
pada tempat kerja, dan ia berpengaruh pada kesatuan pengaturan lain seperti: transportasi, komunikasi, dan
bahkan kehidupan domestik. Mesin dimaknai sebagai artefak yang mampu menyelesaikan berbagai tugas
dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan sebagai sarana operasinya. Ketiga, pengawasan yang
mengacu pada supervisi aktivitas populasi subjek pada bidang politik. Supervisi mungkin dilakukan secara
langsung (misalnya: melalui penjara, sekolah, dan tempat kerja yang terbuka), namun lebih khusus lagi
dilakukan secara tidak langsung dan didasarkan pada kontrol informasi. Keempat, kontrol terhadap sarana
kekerasan. Meskipun kekuasaan militer menjadi ciri khas kehidupan pramodern, namun dalam era modern,
pusat politik tidak pernah mendapat dukungan dalam jangka waktu yang panjang, dan biasanya akan gagal
mengontrol monopoli sarana kekerasan dalam wilayahnya sendiri. Keempat institusi modernitas ini
digambar sebagai berikut.

Dimensi institusional modernitas


Sumber: Giddens (2005).

Kapitalisme melibatkan pemisahan komponen ekonomi dan politik dengan melawan latar belakang kerja dan
pasar produk yang kompetitif. Pengawasan, pada gilirannya merupakan sesuatu yang fundamental bagi
semua jenis organisasi yang terkait dengan kemunculan modernitas, khususnya dalam konteks negara-
bangsa yang secara historis telah berkelindan dengan kapitalisme dalam hubungan timbal balik. Keberhasilan
monopoli atas sarana kekerasan pada negara-negara modern terletak pada penegakan hukum pidana baru, di
samping kontrol pengawasan terhadap “para penyimpang”.
Di sisi lain, ada hubungan tidak langsung antara militer dengan industrialisme, sebuah ekspresi utama
industrialisasi perang. Selain itu, ada pula kaitan antara indutrialisme dan kapitalisme. Industrialisme
menjadi titik pusat interaksi manusia dengan alam dan berbagai kondisi modernitas. Pada sektor industri di
seluruh dunia, manusia hidup dalam lingkungan yang diciptakan, sebuah lingkungan tindakan yang tentu saja
bersifat fisik, namun tidak lagi alamiah.
Garis lurus dalam gambar tersebut mengindikasikan hubungan lebih jauh yang dapat dianalisis. Pengawasan
terkait erat dengan perkembangan industrialisme, konsolidasi kekuasaan administratif di dalam perkebunan,
pabrik dan gudang. Perusahaan kapitalis memainkan peran utama untuk menjauhkan kehidupan sosial dari
institusi tradisional. Kapitalisme secara inheren sangat dinamis karena ada kaitan yang terjalin antara
perusahaan ekonomi yang kompetitif dengan proses komodifikasi yang digeneralisasi (Giddens, 2005).
Gidens kemudian menjelaskan tiga karakteristik modernitas. Pertama, pemisahan waktu dan ruang. Waktu
dalam masyarakat pramodern selalu dikaitkan dengan ruang, dan pengukuran waktu tidaklah tepat (belum
ada alat yang mengukur waktu secara tepat). Kedua, pemisahan. Ada dua tipe pemisahan dalam masyarakat
modern, yaitu: alat tukar simbolis (symbolic token) (uang) dan pemisahan sistem ahli (expert systems). Uang
memungkinkan pemisahan waktu dan ruang, kita dapat masuk dalam transaksi-transaksi dengan mereka
yang secara luas terpisah dari kita oleh waktu, ruang, dan uang. Sistem ahli merupakan sistem pencapaian
teknis atau keahlian profesional yang mengatur wilayah-wilayah luas atas lingkungan material dan sosial di
tempat kita hidup pada saat ini. Ketiga, refleksivitas. Refleksivitas dunia modern terdiri atas sejumlah fakta
bahwa berbagai praktik sosial secara konstan ditelaah dan direformasi dari sudut pandang informasi yang
masuk mengenai praktik yang mereka lakukan, sehingga secara konstitutif mampu mengubah karakter
mereka.

D. Michel Foucault: Kekuasaan dan Modernitas


Gagasan Foucault mengenai kekuasaan dan seksualitas membantu para analis sosial untuk mengurai
berbagai ketimpangan akibat relasi kekuasaan yang tidak seimbang yang terjadi pada kehidupan modern
(Gutting, 2005). Foucault menganalisis masalah seksualitas yang kemudian dikaitkan dalam relasi kekuasaan.
Dalam bukunya Histoire de la sexualité (The History of Sexuality –Sejarah Seksualitas) Foucault menjelaskan
mengenai seksualitas yang merupakan sebuah pemindahan pemahaman yang padat terhadap hubungan
kekuasaan.
Kekuasaan adalah salah satu konsep kunci pemikirannya (Middleton, 1998). Menurutnya, pengetahuan yang
kita percaya sebenarnya tidak bersifat objektif, akan tetapi, pengetahuan berada pada satu wilayah
wewenang tertentu dan menimbulkan kekuasaan yang terlembaga. Sistem pengetahuan berada dalam
hubungan timbal balik dengan sistem kekuasaan yang mampu menciptakan dan mempertahankan kebenaran,
sehingga kebenaran sebenarnya hanyalah produk praktik-praktik tertentu (baca: praktik kekuasaan)
(Foucault, 1990). Kekuasan dan pengetahuan itu dijustifkasi melalui berbagai lembaga resmi, misalnya:
agama, negara, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Analisis Foucault mengenai pengetahuan dan kekuasaan tersebut digunakan untuk menganalisis konsep
berikutnya, yaitu seksualitas. Pada abad ke-17, masalah seks merupakan sebuah masalah yang sangat
tertutup dan rahasia (privat). Hal ini disebabkan pandangan Victorian yang menabukan seks dan membatasi
seks hanya dalam rumah atau intitusi perkawinan keluarga (Middelton, 1998). Menurut Foucault (1990), hal
ini merupakan bentuk represifitas terhadap seksualitas. Ada upaya yang diyakini pada abad ke-17 untuk
menakhlukan seks pada tingkat bahasa, untuk menghilangkannya dari sesuatu yang dipahami masyarakat,
untuk menyingkirkan kata-kata yang membuat seks menjadi sangat nyata. Akibat doktrin Victorianisme,
muncul studi mengenai seksualitas yang lebih analitis, adanya pencatatan, klasifikasi dan spesifikasi dan
kuantifikasi kausal. Foucault menjelaskan bahwa “masyarakat akan bertanya pada diri mereka sendiri,
mengapa mereka bersikeras untuk mengakhiri kaidah-kaidah kebungkaman mengenai apa yang telah
menjadi gairah keasyikan kita”. Foucault menyimpulkan bahwa kekuasaan pada akhirnya sampai pada
pengaturan masalah seksualitas (Middleton, 1998; Gutting, 2005).
Foucault menjelaskan beberapa hubungan umum antara kekuasaan dan seks yang menimbulkan efek-efek
yang merugikan bagi seksualitas. Kekuasaan mendesak pada aturan-aturan untuk membatasi seksualitas
dengan contoh, menentukan tatanan tertentu bagi seks. Kekuasaan mencegah seks dan berusaha tidak
mengakui dirinya. Kekuasaan dapat menyensor, dengan demikian, ia juga dapat membungkam seks. Akhirnya
aparat kekuasaan beroperasi dalam cara yang sama pada semua tingkat dan tidak menggunakan dirinya
untuk menegaskan perbedaan-perbedaan pada seksualitas. Jadi, sekalipun secara tepat kekuasaan beroperasi
pada satu kondisi, namun tidak dapat dihindarkan aparat kekuasaan akan beroperasi secara kurang baik
pada kondisi yang lain.
Modernisasi dan globalisasi, dengan demikian, sebenarnya berada di bawah pengawasan kekuasaan
(Middleton, 1998). Di dalam proses tersebut ada yang dinamakan relasi kekuasaan (Piliang, 2006). Ada
bentuk-bentuk kekuasaan tertentu yang mengendalikan dunia dengan berbagai kompleksitasnya. Di balik
setiap proses perubahan sosial, sebenarnya ada berbagai relasi kekuasaan yang beroperasi, khususnya relasi
dominasi: dominasi waktu atas ruang di dalam pemampatan ruang dan waktu; dominasi meme atas gen di
dalam pemahaman mengenai perubahan sosial di dalam berbagai dimensinya, sebuah perubahan semantik
yang nampaknya sangat diperlukan.
Gagasan Foucault dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ini. Menurut Foucault, dalam masyarakat
modern, tidak hanya batas-batas mengenai apa yang boleh diperbincangkan, diperlihatkan, dipertontonkan
mengenai seks yang semakin meluas, namun yang lebih penting, wacana mengenai seks itu sendiri sekarang
diorganisasi oleh lembaga-lembaga yang lebih beraneka ragam dengan berbagai trik dan efek yang dihasilkan.
Berbagai hal mengenai seks –kegiatan, tindakan, sampai kejahatan seksual— ditulis, direkam, difoto, di-
shooting, dicetak, dibukukan, divideokan, difilmkan, didisketkan; apapun mengenai seks dipasarkan, dijual,
dan dikomodifikasi. Sebaliknya, apapun yang berada di luar seks, kini diseksualitaskan –berbagai kampanye
partai politik menjelang pemilu, menghadirkan banyak artis seksi, massa dihibur dengan goyangan erotis
artis-artis tersebut; pameran motor, mobil, laptop, televisi, kulkas, kompor, HP, rokok, obat, dilengkapi
dengan SPG yang berdandan sangat seksi (mengapa harus menggunakan perempuan?).
Berbagai teknologi dan ilmu pengetahuan dikembangkan untuk meningkatkan intensitas seksual, untuk
meningkatkan daya kerja tubuh, untuk memperindah penampilan, untuk memperbesar atau memperpanjang
bagian-bagian tubuh tertentu, untuk menemukan cara dan model-model baru mengenai seksualitas, untuk
menciptakan simulasi-simulasi seksual. Bahkan di era teknologi informasi sekarang, telah ditemukan teknik
seksualitas jarak jauh, yaitu kegiatan seksual melalui atau dengan jaringan komputer yang disebut teledildolik
(Piliang, 2006).
Jika dikatikan dengan kekuasaan, pada akhirnya seksualitas itu sendiri menjadi sebuah bentuk kekuasaan –
sebelumnya seksualitas terbelenggu oleh kekuasan, namun sekarang sungguh berbeda. Kesenangan
menyelinap dan menyebar ke segenap kekuasaan yang sebelumnya membatasinya, sehingga kekuasaan itu
sendiri membiarkan dirinya dirayu dan dikontrol oleh kesenangan. Kesenangan mempertontonkan tubuh,
kesenangan merayu, kesenangan seorang model di hadapan kameramen dan sebagainya.
Berbagai wacana mengenai pembangunan merupakan alat untuk mendominasi yang dilakukan negara maju
kepada negara Dunia Ketiga. Menurut Foucault, selama empat dekade terakhir diskursus pembangunan
menjadi strategi yang dominan dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah “keterbelakangan”
yang dirancang setelah Perang Dunia ke-2. Tetapi, dalam kenyataannya keterbelakangan masyarakat tersebut
diakibatkan kolonialisme yang berkepanjangan. Diskursus pembangunan tersebut tidak saja melanggengkan
dominasi dan eksploitasi di negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut justru juga menjadi
media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di negara Dunia Ketiga terhadap ideologi
kapitalis (Fakih, 2002).
Kemudian, dalam bukunya Surveiller et punir: naissance de la prison (Discipine and Punish: the Birth of The
Prison –Disiplin dan Hukuman: Kelahiran Penjara), Foucault juga menjelaskan sebuah dimensi perubahan
sosial mengenai perubahan mekanimse hukuman (sebagai bentuk pendisiplinan) pada masyarakat abad ke-
18 dan abad ke-19. Menurutnya, pada mayarakat pramodern, tubuh menjadi objek hukuman, yaitu melalui
mekanisme hukuman fisik yang sadis dan brutal. Mekanisme ini dilakukan untuk memberikan hukuman bagi
narapidana (Faocault, 1977). Hukuman fisik menjadi satu-satunya bentuk hukuman di masa itu, sehingga
tidak ada pilihan lain bagi narapidana selain mendapatkan siksaan yang mengerikan. Hukuman fisik itupun
dilakukan di depan publik dan menjadi ajang tontonan gratis yang mengerikan.
Menurut Foucault (1977), tubuh menjadi objek hukuman di masa itu. Hukuman tidak bersifat objektif, akan
tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan raja yang berkuasa saat itu, sehingga bentuk hukuman ini juga
dianggap tidak adil dan hanya menjadi sarana balas dendam penguasa. Kondisi terhukum yang sangat
mengerikan kemudian menimbulkan rasa simpati bagi masyarakat yang menonton prosesi tersebut. Banyak
masyarakat yang memprotes hukuman ini, sehingga sering kali terjadi kericuhan setelah selesainya proses
penghukuman terhadap si terhukum.
Perkembangan masyarakat menyebabkan bentuk hukuman fisik mulai ditinggalkan. Masyarakat modern
yang lebih rasional, teratur, dan terorganisasi mulai membuat mekanisme hukuman yang lebih beradab,
lembut, manusiawi, dan lebih adil. Untuk itu, penguasa menciptakan sebuah mekanisme penghukuman
melalui “pendisiplinan di penjara” sebagai upaya mendisiplinkan para narapidana. Melalui penjara,
narapidana akan selalu diawasi polisi penjara setiap saat, inilah ritual pendisiplinan: pengawasan (Foucault,
1977).
Menurut Foucault (1975), arsitektur penjara yang baik adalah arsitektur penjara yang diciptakan pertama
kali oleh Samuel Bentham pada tahun 1785 yang dinamakan “panopticon”. Arsitektur penjara ini kemudian
dipublikasikan oleh saudaranya, Jeremy Bentham, seorang filosof pada 1791. Panopticon berasal dari kata
“pan” (semua) dan “opticon” (menga-wasi). Panopticon merupakan sebuah bentuk sistem pengawasan
melalui pengamatan, pengumpulan informasi (dokumentasi), dan pemantauan setiap tindakan setiap orang
oleh atasan atau orang yang berkuasa di atas mereka, dan melindungi komunikasi dan informasi dan ide-ide
yang penting. Foucault menyebut prinsip mekanisme ini dengan istilah panopticism (panoptisisme) (Foucault,
1975).
Pada masyarakat modern sistem pengawasan “panopticon” dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sehinga
objek yang diawasi tidak menyadari bahwa dirinya sedang diawasi. Polisi dan tentara tidak perlu berpatroli
di sepanjang jalan, tapi mereka cukup memasang kamera pengawas (CCTV - Closed-Circuit Television) di
setiap sudut kota. Kamera ini akan bekerja selama 24 jam secara penuh, sehingga tidak ada satu pun gerakan
individu yang tidak terawasi kamera. CCTV adalah sistem pengawasan panopticon dalam masyarakat modern
(Hope, 2013). Kamera ini dipasang di setiap tempat, di tempat tersembunyi maupun di tempat yang terlihat
orang yang sedang berlalu lalang. Ini dilakukan agar setiap tindakan orang dapat terekam dengan baik.
Akibatnya, manusia modern menjadi tidak bebas bertindak karena selalu diawasi.

E. Jean Baudrillard: Masyarakat Konsumsi


Buku karya Baudrillard mengkritisi banyak realitas masyarakat modern, di antaranya La Société de
Consommation: Ses Mythes, Ses Structures (Masyarakat Konsumsi: Mitos dan Strukturnya) yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Consumer Society: Myths and Structures”.
Baudrillard (1998) mengawali diskusi mengenai masyarakat konsumsi dengan melihat gejala globalisasi yang
semakin marak terjadi di seluruh bagian dunia. Perkembangan globalisasi dikawal paham kapitalisme yang
memanfaatkan momen globalisasi untuk memperluas pangsa pasar mereka, sehingga banyak wilayah dunia
yang menjadi target ekspansi pasar kapitalisme.
Pada awalnya kapitalisme menawarkan banyak kemudahan dengan dalih “mempermudah masyarakat
memenuhi kebutuhan hidupnya”, kelompok kapitalislah yang kemudian memproduksi berbagai barang
kebutuhan tersebut hingga akhirnya masyarakat menganggapnya sebagai kebutuhan. Semua barang produksi
kapitalis selalu menawarkan berbagai kemudahan, mereka memanjakan individu, dan individu dicetak untuk
bergaya serba instan. Semua kebutuhan dikonsumsi individu guna meraih kebahagiaan, meraih kemapanan.
Pengetahuan dasar mengenai “kebutuhan” berhubungan erat dengan pengetahuan dasar mereka mengenai
kemapanan dalam dunia persamaan. Kebutuhan mengisyaratkan bahwa semua orang adalah sama di depan
nilai guna suatu objek dan barang, karena kebutuhan diindekskan pada nilai guna, sehingga di sini ada
hubungan nilai guna objektif atau hubungan fungsi natural yang di dalamnya tidak ada lagi kesenjangan
sosial maupun historis. Baudrillard (1998) menyatakan bahwa kemampuan konsumsi setiap individu adalah
berbeda. Setiap masyarakat mengalami diferensiasi, diskriminasi sosial, dan di setiap organisasi struktural
akan mendasarkan pada penggunaan dan distribusi harta kekayaan. Permasalahan selanjutnya adalah dalam
struktur masayarakat secara umum, kaum miskin diposisikan sebagai kelompok yang sama sekali tidak
memiliki hak istimewa dan diposisikan sebagai “orang yang tidak laku”, sementara kelompok kaya hidup
dalam “kelimpahruahan” kemampuan ekonomi yang jauh melebihi kelompok orang miskin. Bagi Baudrillard,
sistem kapitalisme justru semakin melanggengkan jumlah kemiskinan ini.
Ideologi “egaliter” melalui nilai guna suatu barang (terutama kebutuhan pokok), kemudian dilipatgandakan
dengan “penyusupan” nilai-nilai dan hierarkhi baru mengenai “nilai guna baru” yang sebelumnya tidak ada.
Setiap barang akan memiliki nilai tukar yaitu nilai ekonomis yang ada pada sebuah objek konsumsi, minimal
ia dapat ditukar dengan uang atau benda lain (barter). Ia juga mempunyai nilai tukar simbolis yaitu sebuah
nilai yang telah dibangun bersama dalam masyarakat untuk sebuah objek konsumsi dibandingkan dengan
objek lain.
Pemisahan dalam waktu bukanlah hal yang baru –orang kaya dapat memenuhi kebutuhannya dengan lebih
cepat daripada orang miskin, misalnya dalam urusan pembayaran, orang kaya dapat memanfaatkan bantuan
mesin ATM, kartu kredit untuk membayar listrik, memesan tiket, bahkan berbelanja. Keduanya juga
dibedakan dalam masalah transportasi, misal: orang kaya dapat menempuh perjalanan dengan lebih cepat
(dengan kereta kelas eksekutif misalnya, atau dengan memanfaatkan pesawat), sementara orang miskin
hanya mampu mengakses moda transportasi kelas ekonomi yang jauh lebih lambat sehingga waktu
tempuhnya lebih lama, dan masih banyak perbedaan yang lain. “Ruang” yang disediakan bagi orang miskin
dan orang kaya pun berbeda. Pemisahan tempat tinggal juga bukan hal yang baru lagi, dan tidak sebatas pada
perbedaan secara geografis (wilayah kota dan pinggiran), namun juga dalam kompleks-kompleks pemukiman
(di dalam dan di luar kompleks perumahan, pemukiman kumuh dan pemukiman elit), serta pembagian villa.
Alam angkasa, udara bersih, ketenangan merupakan akibat pencarian benda-benda yang langka dan
harganya yang sangat tinggi mampu membedakan kelompok tertentu dengan kelompok lainnya.
Praktik konsumsi ternyata tidak menyeragamkan badan sosial demi keuntungan budaya. Praktik konsumsi
menyebabkan kesenjangan. Konsumsi merupakan lembaga kelas yang menyediakan ruang bagi masyarakat
untuk menghadapi objek-objek bermakna ekonomis: belanja, pilihan kerja yang diatur oleh kemampuan
belanja, tingkat pendidikan, kedudukan garis, dan lain-lain. Semua orang tidak memiliki objek yang sama
karena tidak semua oranng memiliki kesempatan yang sama, namun secara mendalam terdapat diskriminasi
pada makna di saat hanya beberapa orang saja yang mampu mencapai logika otonom, rasional, unsur-unsur
lingkungan hidup.
Baudrillard menjelaskan alur kerja sistem produksi kapitalis dalam memproduksi sistem kebutuhan tersebut.
Pertama, tatanan produksi menghasilkan mesin atau kekuatan sistem teknik produktif yang secara radikal
berbeda dengan alat tradisional. Kedua, tatanan produksi menghasilkan modal atau kekuatan produktif yang
masuk akal, sistem investasi dan sirkulasi rasional yang secara mendasar berbeda dengan “kekayaan” dan
model perdagangan sebelumnya. Ketiga, tatanan produksi menghasilkan kekuatan tenaga kerja berupah,
kekuatan produktif yang abstrak dan tersistematisasi yang secara mendasar berbeda dengan pekerjaan nyata
dan dengan “pekerjaan” tradisional. Keempat, tatanan produksi melahirkan kebutuhan-kebutuhan; sistem
kebutuhan, permintaan atau kekuatan produktif sebagai kumpulan objek yang dirasionalkan, disatukan dan
diawasi serta melengkapi tiga hal lain dalam proses pengawasan total.
Bagi Baudrillard, dalam kegiatan konsumsi hubungan antara manusia dengan objek konsumsi, hubungan
manusia dengan dirinya sendiri dipalsukan, dikelabui, dimanipulasi. Manusia hanya melihat kebutuhan
bukanlah apa-apa yang diambil satu per satu berupa satu sistem kebutuhan atau lebih tepat bahwa
kebutuhan-kebutuhan sama sekali bukanlah bentuk yang lebih maju dari sistematisasi rasional dari kekuatan
produktif pada tingkat individu, ketika “konsumsi” menggantikan logika dan keperluan dengan produksi.
Rasionalitas konsumsi dalam sistem masyarakat konsumen telah jauh berubah, karena saat ini masyarakat
membeli barang bukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan (needs), namun lebih sebagai pemenuhan
hasrat (desire). Kebutuhan mungkin dapat dipenuhi dengan mengonsumsi objek, sebaliknya, hasrat justru
tidak akan pernah terpenuhi. Konsumsi melibatkan hasrat, oleh karena itu proses konsumsi bukan sekedar
proses ekonomi, melainkan melibatkan proses psikologis, aspek bawah sadar manusia yang dapat dikaji
melalui perspektif psikoanalisis.

Anda mungkin juga menyukai