Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TEORI KLASIK MENGENAI PERUBAHAN SOSIAL

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan akan dapat menjelaskan pokok-
pokok pemikiran sosiolog klasik dan modern mengenai perubahan sosial, di antaranya Khaldun,
Comte, Durkheim, Spencer, Marx, Weber.

Ibnu Khaldun: Masyarakat Badui versus Masyarakat Kota


Khaldun dilahirkan di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H, atau tepatnya pada 27 Mei 1332 M.
Keluarga Bani Khaldun berasal dari daerah Hadramaut, sebuah daerah di selatan Jazirah Arab. Bani
Khaldun kemudian pindah ke Andalusia dan menetap di Sevilla pada permulaan penyebaran Islam
di sana pada sekitar abad ke-9 M. Khaldun meninggal dunia pada tahun 1406 M.
Khaldun (1969) membedakan dua jenis kelompok sosial yang keduanya memiliki karakter yang
cukup berbeda. Dua kategori kelompok sosial tersebut adalah pertama, “badawah”, yaitu
masyarakat yang tinggal di pedalaman, masyarakat primitif, atau tinggal di daerah gurun. Khaldun
sering menyebut kelompok ini dengan istilah masyarakat badui. Kedua, “hadharah”, yaitu
masyarakat yang identik dengan kehidupan kota, Khaldun menyebutnya masyarakat beradab atau
memiliki peradaban atau disebut juga masyarakat kota.
Kondisi fisik tempat mereka tinggal turut memengaruhi kehidupan beragama mereka. Masyarakat
badui yang hidup sederhana daripada orang-orang kota dan hidup dengan meninggalkan makanan
yang mewah, memiliki tingkat ketakwaan yang lebih baik daripada masyarakat kota. Masyarakat
badui juga lebih berani daripada penduduk kota karena penduduk kota malas dan suka yang
mudah-mudah serta larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Ikatan solidaritas sosial inilah yang
menyebabkan kelompok badui mampu mempertahankan diri.
Di tempat lain, masyarakat kota hidup dengan berbagai kemewahan, serba enak, yang
menyebabkan kehidupan mereka bersifat lebih individualis. Individualitas ini kemudian
berdampak pada lemahnya ikatan solidaritas mereka. Kelompok badui yang hidup serba terbatas,
sederhana, tidak banyak menikmati kemewahan dan kesenangan menyebabkan mereka terdorong
melakukan urbanisasi ke kota. Masyarakat kota yang memiliki solidaritas yang lemah sangat
mudah dikalahkan kelompok badui yang sangat kuat dan memiliki ikatan solidaritas yang tinggi.
Kehidupan kota yang menyenangkan tersebut pada akhirnya membawa kelompok badui tadi
melupakan pentingnya solidaritas sosial. Mereka juga menjadi masyarakat kota yang hidup serakah,
tamak, haus akan kesenangan, dan mementingkan diri sendiri. Kelompok badui yang tinggal di kota
inipun akhirnya mengalami nasib yang sama dengan masyarakat kota sebelumnya yang berhasil
mereka takhlukkan.
August Comte: Hukum Tiga Tahap
Isidore Auguste Marie Francois Xavier, atau dikenal dengan August Comte (untuk selanjutnya
disebut Comte) (1798-1857), adalah seorang ahli fisika dari Prancis yang dikenal sebagai “Bapak
Sosiologi”, karena ia-lah yang yang pertama kali menggunakan nama “sosiologi” untuk mengkaji
masalah sosial secara sistematis. Comte hidup pada masa Revolusi Prancis yang telah menimbulkan
perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Prancis. Comte melihat
bahwa masyarakat merupakan suatu keseluruhan organis yang terdiri atas bagian-bagian yang
saling berhubungan. Untuk itu, diperlukan suatu metode penelitian empiris yang dapat meyakinkan
bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu, Comte mengajukan tiga metode penelitian empiris yang juga digunakan oleh bidang-
bidang fisika dan biologi, yaitu: pengamatan, eksperimen, dan perbandingan. Comte kemudian
berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi tiga tahapan
yaitu: pertama, tahap teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia. Pada tahap
ini manusia memercayai bahwa semua fenomena diciptakan oleh zat adikodrati, ditandai dengan
kepercayaan manusia pada kekuatan jimat. Periode ini dibagi dalam tiga subperiode, yaitu fetisisme,
yaitu sebuah bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan
bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Manusia pada tahap ini
mulai memercayai kekuatan jimat. Politheisme, pada periode ini muncul anggapan bahwa ada
kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupan atau gejala alam. Pada tahap ini sudah muncul
kehidupan kota, pemilikan tanah menjadi institusi sosial, muncul sistem kasta, dan perang dianggap
sebagai satu-satunya cara menciptakan kehidupan politik yang kekal. Monotheisme, yaitu
kepercayaan pada dewa yang mulai digantikan dengan zat tunggal, dan puncaknya ditunjukkan
adanya Khatholisisme. Pada periode ini mulai ada modifikasi sifat teologi dan sifat kemiliteran
teologis; gereja Katholik dinilai gagal memberikan dasar yang kuat bagi kehidupan manusia; mulai
muncul emansipasi wanita dan tenaga kerja, ada pemisahan antara gereja dan negara (Lauer, 1982;
Johnson, 1994; Ritzer, 2000).
Kedua, tahap metafisika merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positivistik. Tahap
ini ditandai satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam
akal budi.
Ketiga, tahap positivistik. Pada tahap ini pikiran manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut yang asli,
yang menakdirkan alam semesta dan menjadi penyebab fenomena, akan tetapi pikiran manusia
mulai mencari hukum-hukum yang menentukan fenomena, yaitu menemukan rangkaian hubungan
yang tidak berubah dan memiliki kesamaan. Tahap ini ditandai adanya kepercayaan pada data
empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya
sementara dan tidak mutlak. Analisis rasional ini memungkinkan manusia merumuskan hukum-
hukum seragam (Laurer, 1982; Johnson, 1994).
Menurut Comte, ada tiga faktor yang dapat menyebabkan perubahan dalam kehidupan manusia,
yaitu: pertama, rasa bosan, usia, dan demografi.
Karl Marx: Menuju Masyarakat Komunis
Menurut Marx, setiap masyarakat ditandai oleh suatu infrastruktur dan superstruktur.
Infrastruktur dalam masyarakat berwujud struktur ekonomi. Superstruktur meliputi ideologi,
hukum, pemerintahan, keluarga dan agama (Johnson, 1994; Ritzer, 2000). Struktur ekonomi
merupakan landasan tempat membangun semua basis kekuatan lainnya, dengan demikian
perubahan cara produksi menyebabkan perubahan dalam seluruh hubungan sosial manusia. Proses
produksi yang dilakukan manusia dalam perkembangan masyarakat industri melibatkan dua kelas
yang saling bertentangan, yaitu kelas bourjuis dan proletar. Kelas bourjuis merupakan kelompok
pemilik modal, sedangkan kelas proletar merupakan kelompok pekerja yang bergantung pada kelas
bourjuis.
Adanya pertentangan kelas (kontradiksi) inilah yang kemudian menurut Marx dapat menciptakan
perubahan sosial. Hasil kontradiksi adalah revolusi. Lebih lanjut, perubahan sosial ini terjadi
karena adanya kesadaran kelas, yaitu kelas proletar akan posisinya dalam proses produksi yang
tidak menguntungkan. Perubahan sosial terjadi karena konflik kepentingan material atau hal yang
bersifat material. Oleh karena itu, perebutan materi adalah pemicu terjadinya perubahan sosial.
Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara karena perubahan sosial
berasal dari konflik kepentingan material tersebut.
Marx dalam bukunya “The German Ideology” menjelaskan beberapa tahap perubahan-perubahan
utama pada kondisi material dan cara-cara produksi di satu pihak dan hubungan-hubungan sosial
serta norma-norma pemilikan di lain pihak (Johnson, 1994). Tahap perubahan sosial ini lebih
bersifat linier.

Gambar 2.5 Tahap perubahan sosial linier versi Marx


Tahap ini sekaligus menjelaskan tahap-tahap perubahan sosial versi Marx, yaitu pertama, dimulai
dengan adanya masyarakat primitif. Komunitas masyarakat primitif merupakan suatu komunitas
yang mengakui milik pribadi sebagai milik komunitas dan pembagian kerja yang sangat sedikit.
Kedua, struktur sosial komunal purba. Struktur komunitas ini lebih besar daripada komunitas
primitif, ada pembagian kerja yang semakin tinggi, dan pemilikan pribadi sudah mulai diakui.
Ketiga, sistem feodal, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dalam pembagian kerja dan pola-
pola kepemilikan kekayaan pribadi yang lebih ketat. Keempat, tahap bourjuis, berupa perombakan
kehidupan komunal di bawah pengaruh ideologi-ideologi individualis dan berkurangnya
hubungan-hubungan yang manusiawi menjadi hubungan-hubungan pemilikan. Kelima,
perkembangan kapitalis. Pada tahap ini kelas buruh proletar memiliki hubungan dengan kelompok
majikan (bourjuis) semata-mata sebagai seorang penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya
digunakan untuk menghasilkan produk-produk yang akan dijual dalam sistem pasar yang bersifat
impersonal. Keenam, tahap komunis, merupakan tahap ketika pemilikan pribadi akan lenyap dan
individu dapat berinteraksi dalam hubungan-hubungan komunal, tidak selalu berupa hubungan
yang bersifat ekonomis. Aspek pembagian kerja yang menekan dan merendahkan martabat
manusia akan diganti dengan suatu sistem yang memungkinkan individu mengembangkan diri
dalam suatu bagian kerja yang sempit (Johnson, 1994).
Herbert Spencer: Menuju Masyarakat Heterogen
Pemikiran Spencer (1820-1903) diawali suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sebuah
organisme. Artinya ada kesamaan antara masyarakat dengan organisme biologis, sehingga ada
kesamaan dalam cara melihat masyarakat dengan cara melihat organisme biologis. Pandangan ini
sama dengan dasar pemikiran Comte. Masyarakat sebagai organisme biologis menurut Spencer
dimaknai sebagai sesuatu yang selalu tumbuh dan berkembang, melalui proses evolusi.
Tekanan Spencer dalam menjelaskan kaitan masyarakat dan organisme biologis nampak dalam
uraiannya mengenai lembaga sosial, yang memiliki fungsi untuk menopang, mendistribusikan serta
mengatur kerja masyarakat. Fungsi menopang dilakukan oleh lembaga pemerintahan, menurut
Spencer fungsi ini diibaratkan sebagai fungsi untuk memberikan makanan dalam tubuh. Fungsi
distribusi masyarakat dapat dijumpai dalam masyarakat yang kompleks yang dilakukan lembaga
ekonomi. Lembaga ekonomi berfungsi untuk mendistribusikan berbagai kebutuhan anggota
masyarakat, termasuk di dalamnya adalah infrastruktur pendukungnya seperti jalan raya yang
menghubungkan bagian masyarakat yang satu dengan yang lain. Selanjutnya adalah sistem
pengaturan dan pertahanan (sistem imun) yang dilakukan oleh syaraf. Sistem ini dalam masyarakat
diperankan oleh polisi dan tentara yang bertugas untuk mengatur serta mengamankan anggota
masyarakat dari gangguan (musuh) yang datang dari dalam maupun dari luar.
Pandangan Spencer mengenai perkembangan masyarakat, memusatkan perhatian pada
pertambahan jumlah (kuantitas) dan kualitas hubungan antarbagian dalam sistem. Spencer
menjelaskan bahwa hukum perkembangan organisme tersebut berlaku secara umum. Setiap
perkembangan akan menyangkut evolusi diri dari yang sederhana menjadi sesuatu yang kompleks
(Sztompka, 1994; Soekanto, 1989). Spencer menggambarkan perkembangan masyarakat dari tipe
masyarakat yang homogen menuju tipe masyarakat yang heterogen. Perubahan ini dianalogikan
dengan tipe masyarakat primitif (yang homogen) dan modern (heterogen).
Émile Durkheim: Pembagian Kerja dan Solidaritas Sosial
Pemikiran Durkheim (1855-1917) mengenai perubahan sosial memiliki kesamaan dengan
pemikiran Khaldun dan Comte. Keduanya memusatkan pada aspek solidaritas sosial serta proses
evolusi sosial sebagaimana dijelaskan Comte.
Pemikiran Durkheim didasari pada gejala sosial yang terjadi pada masa Revolusi Industri di Inggris,
ia mengamati perubahan sosial dari masyarakat primitif (tradisional) menuju masyarakat industri.
Aspek yang menjadi perhatian Durkheim adalah pada pembagian kerja dalam kedua tipe
masyarakat tersebut. Menurutnya, pembagian kerja pada masyarakat primitif (masyarakat
tradisional) masih sangat sedikit, sedangkan pada masyarakat industri, pembagian kerjanya sangat
kompleks. Faktor utama yang menyebabkan perubahan bentuk pembagian kerja tersebut menurut
Durkheim adalah pertambahan jumlah penduduk (hal ini sama dengan pemikiran Comte).
Menurutnya, pembagian kerja dalam masyarakat berhubungan langsung dengan kepadatan moral
atau dinamika suatu masyarakat. Kepadatan moral merupakan tingkat kepadatan interaksi
antaranggota masyarakat. Pertambahan jumlah penduduk meningkatkan kepadatan moral yang
kemudian diikuti semakin rapatnya hubungan di antara anggota masyarakat. Begitu pula dengan
hubungan antarkelompok, berbagai bentuk interaksi sosial baru bermunculan. Hal ini akan
meningkatkan kerja sama dan munculnya gagasan-gagasan baru dalam masyarakat terkait dengan
peningkatan pembagian kerja (Lauer, 1982; Cuff, et. al., 1990; Johnson, 1994; Samuel, 2010).
Durkheim mengamati bahwa peningkatan sistem pembagian kerja tersebut berimplikasi pada
perubahan tipe solidaritas sosialnya. Ia menjelaskan dua tipe solidaritas sosial yang dikaitkan
dengan tingkat pembagian kerja dalam masyarakat. Pada masyarakat dengan sistem pembagian
kerja yang rendah akan menghasilkan tipe solidaritas mekanik, sedangkan pada masyarakat dengan
pembagian kerja yang komplekas akan menghasilkan tipe solidaritas organik (Lauer, 1982; Cuff, et.
al., 1990; Johnson, 1994; Samuel, 2010). Secara singkat, solidaritas mekanik terbentuk karena
adanya saling kesamaan antaranggota masyarakat, sedangkan solidaritas organik lebih terbentuk
karena adanya perbedaan antaranggota masyarakat (bandingkan dengan pendapat Tönnies).
Adanya perbedaan tersebut menyebabkan setiap anggota masyarakat saling bergantung satu sama
lain. Seorang guru akan membutuhkan dokter ketika sakit, seorang petani membutuhkan seorang
pedagang untuk memasarkan hasil pertaniannya. Mereka bersatu karena adanya perbedaan.
Kedua tipe solidaritas sosial ini memiliki beberapa ciri sebagaimana dijelaskan Durkheim. Pertama,
anggota masyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah (solidaritas mekanik), masih
terikat satu sama lain atas dasar kesamaan emosional dan kepercayaan, serta adanya komitmen
moral. Perbedaan adalah sesuatu yang harus dihindari. Pada masyarakat dengan tingkat pembagian
kerja yang tinggi (solidaritas organik), sangat memungkinkan terjadi perbedaan, dan masyarakat
disatukan oleh saling ketergantungan fungsional. Kedua, solidaritas organik didasarkan pada
kesadaran kolektif yang kuat, anggota masyarakat diharapkan mampu mempertahankan kesamaan,
sedangkan pada solidaritas organik, otonomi individu sangat dihargai mengingat setiap individu
menjalankan fungsi yang berbeda-beda. Ketiga, dari segi kontrol sosial, dalam solidaritas mekanik,
nilai, dan norma bersifat umum dan abstrak, hukum yang berlaku lebih bersifat represif. Hukuman
diberlakukan hanya semata-mata agar pelanggar hukum jera dan mendapat hukuman yang
sebanding dengan pelanggarannya. Pada solidaritas organik, hukum lebih bersifat restitutif,
maksudnya hukum diberlakukan hanya semata-mata untuk mengembalikan masyarakat pada
kondisi semula. Hukuman diberikan oleh individu yang memang diberi tugas untuk melakukan
kontrol sosial (misalnya polisi) (Johnson, 1994; Sztompka, 1994; Samuel, 2010).
Ferdinand Tönnies : Gemeinschaft dan Gesellschaft
Ferdinand Tönnies (untuk selanjutnya disebut Tönnies) (1855-1936), adalah seorang sosiolog dari
Jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman.
Karya Tönnies yang paling terkenal adalah Gemeinschaft und Gesellschaft (tahun 1887). Karyanya
yang lain adalah Einführung in die Soziologie (An Introduction to Sociology).
Tönnies memiliki teori yang sangat penting, ia mampu membedakan konsep masyarakat tradisional
dan masyarakat modern. Dua konsep tersebut dalam konsep Tönnies dinamakan gemeinschaft dan
gesellschaft. Gemeinschaft diasosiasikan dengan konsep kelompok atau asosiasi, sedangkan konsep
gesellschaft diartikan sebagai masyarakat. Menurut Tönnies, gemeinschaft merupakan situasi yang
berorientasi pada nilai, aspiratif, memiliki peran dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang
mendominasi kekuatan sosial. Gemeinschaft lahir dari dalam individu; keinginan untuk
berhubungan didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Kesamaan individu dalam
hal ini merupakan faktor penguat hubungan sosial, yang kemudian diperkuat dengan hubungan
emosional serta interaksi antarindividu. Gesellschaft merupakan sebuah konsep yang menunjuk
pada hubungan anggota masyarakat yang memiliki ikatan yang lemah, kadangkala antarindiviu
tidak saling mengenal; nilai, norma, dan sikap menjadi kurang berperan dengan baik (Sztompka,
1994; Johnson, 1994a; Poloma, 2007).
Tönnies memaparkan gemeinschaft adalah wessenwill yaitu bentuk-bentuk kehendak, dalam arti
positif maupun negatif, yang berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan,
yang berlaku di dalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan naluriah. Jadi, wessenwill
merupakan kodrat manusia yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Gesselschaft disebut
dengan konsep kurwille yang merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasarkan pada akal
manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan
alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya; atau dapat pula berupa pertimbangan dan
pertolongan (Sztompka, 1994; Johnson, 1994a; Poloma, 2007).
Tönnies membedakan gemeinschaft menjadi tiga jenis. Pertama, gemeinschaft of blood, yaitu
gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Kedua, gemeinschaft of
place (locality), yaitu gemeinschaft yang didasarkan pada tempat tinggal yang saling berdekatan
Ketiga, gemeinschaft of mind, yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideologi atau pikiran
yang sama, misalnya individu yang tergabung dalam satu negara, partai politik, atau satu keyakinan
(agama)
Bagi Tönnies faktor-faktor yang memengaruhi perubahan masyarakat hampir sama dengan prinsip
teori evolusi lain, begitu juga dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Di antara penyebab
terjadi perubahan itu adalah adanya kecenderungan berpikir secara rasional, adanya perubahan
orientasi hidup, pandangan mengenai suatu aturan dan sistem organisasi.

Max Weber: Perkembangan Rasionalitas Manusia

Pemikiran Weber yang menjelaskan mengenai proses perubahan sosial dalam masyarakat
berkaitan erat dengan perkembangan rasionalitas manusia. Weber menyebutkan empat tipe
rasionalitas yang mewarnai perkembangan manusia. Empat tipe tersebut adalah: pertama,
traditional rationality (rasionalitas tradisional). Rasionalitas ini bertujuannya untuk
memperjuangkan nilai yang berasal dari tradisi kehidupan masyarakat. Rasionalitas ini kadang kala
disebut sebagai tindakan irasional. Kedua, affective rationality (rasionalitas afektif). Rasionalitas ini
merupakan tipe rasionalitas yang bermuara dalam hubungan emosi atau perasaan yang sangat
mendalam, sehingga ada hubungan khusus yang tidak dapat diterangkan di luar lingkaran tersebut.
Ketiga, value oriented rationality (rasionalitas yang berorientasi pada nilai). Rasionalitas ini
merupakan suatu rasionalitas masyarakat yang melihat nilai sebagai potensi atau tujuan hidup,
meskipun tujuan itu tidak nyata dalam kehidupan keseharian. Keempat, instrumental rationality
(rasionalitas instrumental). Rasionalitas ini sering disebut juga dengan “tindakan” dan “alat”. Pada
tipe rasionalitas ini, manusia tidak hanya menentukan tujuan yang ingin dicapai, namun ia secara
rasional telah mampu menentukan alat (instrumen) yang akan digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut. Rasionalitas ini merupakan tipe rasionalitas yang tertinggi menurut Weber (Cuff, et. al.,
1990; Johnson, 1994 Ritzer, 2000). Hubungan keempat tipe rasionalitas tersebut dapat digambar
sebagai berikut:
Weber (1992) memberikan perhatian pada perkembangan kapitalisme di Jerman. Menurutnya,
perkembangan kapitalisme merupakan sebuah wujud perkembangan rasionalitas manusia.
Rasionalitas ini dimotori semangat untuk maju yang didasari doktrin agama (Protestan). Baginya,
kapitalisme merupakan sebuah tipe masyarakat ideal yang telah mampu menggunakan
rasionalitasnya. Etika Protestan, menurut Weber merupakan motor penggerak perkembangan
kapitalisme di Barat ini. Etika Protestan mengajarkan pada para pemeluknya bahwa untuk dapat
mencapai kesuksesan di dunia, manusia harus memiliki semangat, bekerja keras serta harus hidup
hemat. “Bekerja” dalam pandangan ini dianggap sebagai sebuah tugas suci.
Talcott Parsons: AGIL
Menurut Parsons (Laurer, 1982) studi mengenai perubahan sosial harus dimulai dengan studi
mengenai struktur sosial terlebih dahulu. Struktur sosial dapat didefinisikan sebagai tatanan atau
susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang dapat tersusun
secara vertikal maupun horizontal atau dapat juga didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu
masyarakat terorganisasi dalam hubungan-hubungan yang dapat diprediksi melalui pola perilaku
berulang antarindividu dan antarkelompok dalam masyarakat tersebut. Secara lebih spesifik,
pandangan Parsons mengacu pada dinamika yang terjadi dalam sistem sosial sebagai bagian dalam
struktur sosial.
Menurut Parsons agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik, setidaknya harus ada empat fungsi
yang harus terintegrasi. Keempat fungsi tersebut (sering disebut AGIL) wajib dimiliki oleh semua
sistem agar tetap bertahan (survive). Hubungan keempat fungsi tersebut menurut Parsons dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pertama, adaptation. Pada fungsi ini, sistem harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi
situasi eksternal yang kompleks, dan sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
serta dapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya. Fungsi ini merupakan fungsi
organisme atau sistem organis tingkah laku. Kedua, goal attainment. Fungsi ini sangat penting, yaitu
sistem harus memiliki, mendefinisikan, dan mencapai tujuan utamanya. Fungsi ini merupakan
fungsi kepribadian. Ketiga, integration. Sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga
hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Selain itu, sistem harus dapat mengatur dan
mengelola ketiga fungsi (AGI); fungsi integrasi merupakan fungsi sistem sosial. Keempat, latent
pattern maintenance. Sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah sistem harus
memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural. Fungsi ini merupakan
fungsi kultural (budaya) (Parsons, 1951; Cuff, et. al., 1990; Poloma, 2007).
Gagasan Parsons yang berkaitan dengan studi perubahan sosial dapat dianalogikan dengan
pemikiran Tönnies mengenai konsep gemeinscaft dan gessellscaft. Berkaitan dengan studi ini,
Parsons menjelaskan dua kategori tindakan individu dalam sistem sosial. Parsons menyebutnya
dengan the pattern variables, yang meliputi lima kategori. Apabila kelima variabel tersebut
disilangkan dengan konsep gemeinscaft dan gesellscaft versi Tönnies, maka hubungan konsep
Tönnies dan Parsons tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.14 Perubahan tipe tindakan individu dalam sistem sosial


Pertama, affective dan affective neutrality (afektif dan netralitas afektif). Individu dalam sebuah
hubungan sosial dapat bertindak atas dasar pemenuhan kebutuhan afeksi atau kebutuhan
emosional atau bertindak tanpa unsur afeksi. Tindakan yang didasarkan pada faktor afeksi
misalnya adalah hubungan antaranggota keluarga, sedangkan hubungan yang bukan didasarkan
pada faktor afeksi misalnya adalah hubungan antara penjual dan pembeli, atasan dan bawahan,
petugas teller bank dengan nasabah, dan sebagainya.
Kedua, self-orientation dan collective-orientation. Pada tindakan individu yang bersifat self-
orientation, individu bertindak hanya untuk kebutuhan pribadi. Pada collective-orientation, individu
bertindak atas dasar kebutuhan atau kepentingan kelompok. Pada saat ujian misalnya, seorang
mahasiswa akan bertindak hanya untuk tujuan pribadi (self-orientation), dia tidak akan pernah
memikirkan bagaimana kondisi kawan-kawannya pada saat ujian berlangsung. Dia tidak
memedulikan apakah teman sebangkunya dapat mengerjakan soal dengan baik atau tidak. Namun,
ketika diminta menjadi wakil kelas dalam sebuah perlombaan bulu tangkis, maka tindakan dia akan
diorientasikan pada kepentingan kelompoknya, dia membawa nama baik kelasnya. Dia bertanding
untuk kepentingan kelompoknya.
Ketiga, universalism dan particularism. Hubungan yang bersifat universalism, perilaku individu
saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan pada semua orang, sedangkan pada
hubunngan yang bersifat particularism, perilaku individu didasarkan pada ukuran-ukuran tertentu.
Seorang anak ketika di sekolah, akan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah. Peraturan
di sekolah tidak memandang asal muasal siswa tersebut, semua siswa diperlakukan sama
(universalism). Namun ketika di rumah, karena anak tersebut adalah anak ragil (anak terakhir), ia
mendapat perlakuan istimewa dari orang tuanya, dia selalu dimanja dan diperhatikan
(particularism).
Keempat, quality dan performance. Variabel quality mengacu pada konsep ascribed status, yaitu
status yang didasarkan atas kelahiran. Contohnya adalah seseorang yang kaya hanya mau
berhubungan dengan sesama orang kaya. Variabel performance menunjuk pada perilaku individu
yang didasarkan atas prestasi yang telah diraih (achieved status). Contohnya adalah terbentuknya
kelompok persahabatan yang didasarkan atas rasa suka atau tidak suka pada anggota kelompok
tersebut.
Kelima, specifity dan diffusness. Pada hubungan yang specifity, individu berhubungan dalam situasi
yang terbatas, sedangkan pada hubungan yang bersifat diffusness, setiap individu dapat terlibat
dalam proses interaksi. Seorang guru di suatu wilayah, ketika di sekolah, ia akan diposisikan
sebagai seorang guru, yang bertugas mendidikan dan mengajar murid-muridnya. Ketika dia berada
di rumuah, status dia sebagai guru mungkin akan disandingkan dengan perannya sebagai seorang
ketua RT, ketua RW, ketua karang taruna, atau bahkan imam masjid. Masyarakat memberikan
jabatan tersebut karena status dia sebagai seorang “guru” yang memiliki kemampuan lebih. Peran
dia di lingkungan tempat tinggalnya mengalami kekaburan (Parsons, 1951; Poloma, 2007).

Anda mungkin juga menyukai