Pemikiran Weber yang menjelaskan mengenai proses perubahan sosial dalam masyarakat
berkaitan erat dengan perkembangan rasionalitas manusia. Weber menyebutkan empat tipe
rasionalitas yang mewarnai perkembangan manusia. Empat tipe tersebut adalah: pertama,
traditional rationality (rasionalitas tradisional). Rasionalitas ini bertujuannya untuk
memperjuangkan nilai yang berasal dari tradisi kehidupan masyarakat. Rasionalitas ini kadang kala
disebut sebagai tindakan irasional. Kedua, affective rationality (rasionalitas afektif). Rasionalitas ini
merupakan tipe rasionalitas yang bermuara dalam hubungan emosi atau perasaan yang sangat
mendalam, sehingga ada hubungan khusus yang tidak dapat diterangkan di luar lingkaran tersebut.
Ketiga, value oriented rationality (rasionalitas yang berorientasi pada nilai). Rasionalitas ini
merupakan suatu rasionalitas masyarakat yang melihat nilai sebagai potensi atau tujuan hidup,
meskipun tujuan itu tidak nyata dalam kehidupan keseharian. Keempat, instrumental rationality
(rasionalitas instrumental). Rasionalitas ini sering disebut juga dengan “tindakan” dan “alat”. Pada
tipe rasionalitas ini, manusia tidak hanya menentukan tujuan yang ingin dicapai, namun ia secara
rasional telah mampu menentukan alat (instrumen) yang akan digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut. Rasionalitas ini merupakan tipe rasionalitas yang tertinggi menurut Weber (Cuff, et. al.,
1990; Johnson, 1994 Ritzer, 2000). Hubungan keempat tipe rasionalitas tersebut dapat digambar
sebagai berikut:
Weber (1992) memberikan perhatian pada perkembangan kapitalisme di Jerman. Menurutnya,
perkembangan kapitalisme merupakan sebuah wujud perkembangan rasionalitas manusia.
Rasionalitas ini dimotori semangat untuk maju yang didasari doktrin agama (Protestan). Baginya,
kapitalisme merupakan sebuah tipe masyarakat ideal yang telah mampu menggunakan
rasionalitasnya. Etika Protestan, menurut Weber merupakan motor penggerak perkembangan
kapitalisme di Barat ini. Etika Protestan mengajarkan pada para pemeluknya bahwa untuk dapat
mencapai kesuksesan di dunia, manusia harus memiliki semangat, bekerja keras serta harus hidup
hemat. “Bekerja” dalam pandangan ini dianggap sebagai sebuah tugas suci.
Talcott Parsons: AGIL
Menurut Parsons (Laurer, 1982) studi mengenai perubahan sosial harus dimulai dengan studi
mengenai struktur sosial terlebih dahulu. Struktur sosial dapat didefinisikan sebagai tatanan atau
susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang dapat tersusun
secara vertikal maupun horizontal atau dapat juga didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu
masyarakat terorganisasi dalam hubungan-hubungan yang dapat diprediksi melalui pola perilaku
berulang antarindividu dan antarkelompok dalam masyarakat tersebut. Secara lebih spesifik,
pandangan Parsons mengacu pada dinamika yang terjadi dalam sistem sosial sebagai bagian dalam
struktur sosial.
Menurut Parsons agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik, setidaknya harus ada empat fungsi
yang harus terintegrasi. Keempat fungsi tersebut (sering disebut AGIL) wajib dimiliki oleh semua
sistem agar tetap bertahan (survive). Hubungan keempat fungsi tersebut menurut Parsons dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pertama, adaptation. Pada fungsi ini, sistem harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi
situasi eksternal yang kompleks, dan sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
serta dapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya. Fungsi ini merupakan fungsi
organisme atau sistem organis tingkah laku. Kedua, goal attainment. Fungsi ini sangat penting, yaitu
sistem harus memiliki, mendefinisikan, dan mencapai tujuan utamanya. Fungsi ini merupakan
fungsi kepribadian. Ketiga, integration. Sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga
hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Selain itu, sistem harus dapat mengatur dan
mengelola ketiga fungsi (AGI); fungsi integrasi merupakan fungsi sistem sosial. Keempat, latent
pattern maintenance. Sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah sistem harus
memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural. Fungsi ini merupakan
fungsi kultural (budaya) (Parsons, 1951; Cuff, et. al., 1990; Poloma, 2007).
Gagasan Parsons yang berkaitan dengan studi perubahan sosial dapat dianalogikan dengan
pemikiran Tönnies mengenai konsep gemeinscaft dan gessellscaft. Berkaitan dengan studi ini,
Parsons menjelaskan dua kategori tindakan individu dalam sistem sosial. Parsons menyebutnya
dengan the pattern variables, yang meliputi lima kategori. Apabila kelima variabel tersebut
disilangkan dengan konsep gemeinscaft dan gesellscaft versi Tönnies, maka hubungan konsep
Tönnies dan Parsons tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: