Anda di halaman 1dari 25

Bab 1

Pendahuluan

A. Latar belakang

Postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Di satu pihak istilah ini telah memikat
minat masyarakat luas. Ini menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk
mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural mendasar yang kini sedang kita
alami. Dilain pihak istilah ini dianggap sebagai mode intelektual yang dangkal dan kosong atau
sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan sosial yang kini sedang
berlangsung (Ryadi, 2004).

Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan


dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme,
dan lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak berbicara tentang “postmodernisme”,
melainkan tentang “pemikiran pascamodern”. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas
mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”. Sesuai
dengan gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa yang
sebenarnya dimaksud.

Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun benar juga, ada
sesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat
modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada
kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan
unsur “posmo”- nya.

Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah
kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat
ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Adalah jasa istilah
“postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual untuk
melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru mencolok ketidaksanaannya.

Untuk menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas postmodernisme
secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Setidaknya ada empat unsur atau elemen
yang akan dibahas lebih rinci dalam pembahasan nanti. Yang pertama adalah mengenai pengertian,
sejarah lahirnya postmodernisme. Yang kedua adalah mengenai asas asas pemikiran
postmodernisme, yang ketiga modernisme versus postmodernisme, yang keempat tantangan dan
peluang postmodernisme serta membahas mengenai implikasi Postmodernisme dalam pendidikan.
A. Pengertian Postmodernisme

Post-Modern-Isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang
berkembang setelah (post), modern. Postmodernisme dibedakan dengan
postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir.
Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk
teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang
berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa
serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat
sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh
rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme. Para Ahli postmodernisme masih
belum sepakat mengenai pengertian diatas dengan alasan bahwa pengertian diatas
akan mengaburkan arti dari kata Modernisme itu sendiri. Istilah Postmodernisme
telah ada sejak tahun 1930 Yang lebih sering dianggap sebagai pencetus istilah
tersebut adalah Arnold Toynbee. Awal kebangkitan aliran postmodernisme
ini diawali dengan dihancurkannya perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis, oleh para
penghuninya yang dianggap sebagai lambang arsitektur modern pada sore hari
tanggal 15 Juli 1972. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek
postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa penghancuran ini menandai
kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.

Kinayati (2008) menjelaskan beberapa pengertian dari postmodernisme, sebagai berikut:

a. Postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tak berhasil mengangkat
martabat manusia modern (Liotard).

b. Postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas dengan alasan tidak mungkin kita dapat
masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernisme (Jameson).

c. Postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna
begitu saja bagai ditiup angin.(Bauman)

d. Postmodernisme merupakan suatu pemberontakan pada janji modernisme yang menjanjikan


keadilan dan kemakmuran manusia yang dinilai gagal memenuhi janjinya(Eddy Peter P).

e. Postmodernisme adalah suatu aliran pemikiran dan menjadi semacam paradigma baru yang
merupakan antitesis dari modernisme, yang dinilai telah gagal dan tidak lagi relevan dengan
perkembangan zaman. Modernisme yang ditandai oleh kepercayaan penuh pada keunggulan sains,
teknologi, dan pola hidup sekuler, ternyata tidak cukup kukuh untuk menopang era industrialisasi
yang dikampanyekan dapat membawa kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat (Maysa Syifa
Aljauza).

B. Sejarah Kelahiran Postmodernisme


Ryadi (2004) Istilah “postmodernisme” muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New
York pada 1960-an dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an. Salah satunya, Jean-
François Lyotard, dalam bukunya, The Postmodern Condition:A Report on Knowledge, menyerang
mitos yang melegitimasi jaman modern (“narasi besar”), pembebasan progresif humanitas melalui
ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan
mengembangkan pengetahuan yang secara universal sahih untuk seluruh umat manusia. Lyotard
percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan penalaran yang mentotalisasi karena
penalaran itu tidak ada, yang ada adalah pelbagai macam penalaran.

Kinayati (2008) menjelaskan bahwa Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul
3:32 sore.ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-igoe di St. Louis dianggap sebagai
lambang arsitektur moderen. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran moderenisme, yang
menggunakan teknologi untuk menciptakan kesejahteraan manusia. Tetapi, para penghuninya
menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk
merenovasi bangunan tersebut. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dolar, pemerintah
menyerah. Pada sore hari dibulan Juli 1972, bangunan itu diledakan dengan dinamit. Peristiwa
peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.

c. Asas Asas Pemikiran Postmodernisme

Kinayati (2008) menjelaskan beberapa asas pemikiran postmodrnisme, sebagai berikut:

1. Penafikan atas keuniversalan suatu pemikiran (totalisme)

2. Penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara terus
menerus, sebagai ganti dari yang permanen yang amat mereka tentang.

3. Pengingkaran atas semua jenis idiologi. Konsep berfilsafat dalam era Postmodernisme adalah
hasil penggabungan dari berbagai jenis pondasi pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung dan
terjebak pada satu bentuk pondasi pemikiran filsafat tertentu.

4. Postmodernisme tidak memiliki asas-asas yang jelas (universal dan permanen). Bagaimana
mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasanya? Jika
jawaban mereka positif, jelas sekali, hal itu bertentangan dengan pernyataan mereka sendiri;
sebagimana postmodernisme selalu menekankan untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal
yang bersifat universal dan permanen.

Hanif (2011) menjelaskan bahwa Posmodernisme munncul sebagai kritik terhadap modernism.
Mazhab Frankfurt yang dimotori oleh Max Horkheimer, Adorno, dan Jurgen Habermas melakukan
kritik terhadap modernisme secara komprehensif dari aspek epistemologi, ontologi dan aksiologi.
Sasaran kritik mereka adalah: Pertama, pendewasaan terhadap rasio. Modernisme yang muncul
pada abad ke 18 sangat mendewakan otoritas akal sebagai kekuatan tunggal yang dapat
membimbing menuju kebahagiaan hidup. Kedua, Kebenaran tunggal yang bersumber dari
rasionalitas universal. Dengan rasio manusia bisa memperoleh pengetahuan yang tertinggi. Ketiga,
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah prestasi utama modernisme sehingga bisa membawa
kemajuan umat manusia. Ilmu pengetahuan dibangun dengan metode penelitian empiris yang
tunduk pada hukum sebab akibat. Keempat, antroposentrisme, yaitu manusia memiliki otoritas
utama dalam peradaban, tidak lagi menghiraukan nilai diluar dirinya.

D. Implikasi Postmodernisme dalam Pendidikan

Kehadiran post-modernisme dalam konstelasi pemikiran manusia telah membuat warna baru yang
menarik untuk dikaji. Tidak saja karena kehadirannya cukup menyentakkan dunia akademik,
melainkan juga ia turut membawa pesan-pesan kritis yang melakukan pembacaan ulang atas
berbagai tradisi yang selama ini diyakini kebenarannya.

Kritik mendasar postmodern terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema


penting seperti paralogy atau pluralisme, deferensiasi atau desentralisasi, dekonstruksi atau kritik
dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya
memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang diselenggarakan
oleh negara ataupun masyarakat.

Hidayat (2006) menjelaskan bahwa letak keterpengaruhan posmodernisme terhadap pendidiakan


mutakhir. Dimana pendidikan tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi
pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan
demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan
proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru.
Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama sekolah,
melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakatentah itu melalui pendidikan alternatif maupun
melalui pendidikan luasekolah. Postmodernisme yang menggunakan tema pluralitas, heterogenitas
serta deferensiasi sebagai tema utama adalah bukti betapapendidikan harus disebarkan melalui
berbagai kerja-kerja yang tidakharus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan
betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan
transfer of value (transformasi nilai) serta transfer ofknowledge (transformasi pengetahuan).

Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada
bidangbidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern
mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, dimulai dari dominasi iptek dengan
penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya, telah mendatangkan persoalan yang cukup
berat menimpa masyarakat modern. Pengangkatan harkat dan martabat kemanusiaan tidak hanya
dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar
spiritual. Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan (nasional) pengembangan
kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampaun dasar yaitu kognitif, efektif serta
psikomotorik.

Realitas yang demikian tampak nyata dalam dekonstruksi atas model pendidikan kontemporer yang
selama ini digunakan untuk memajukan masyarakat. Kritik-kritik yang digulirkan oleh
postmodernisme juga merambah pada dunia pendidikan. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari
keinginan untuk melakukan erbagai bentuk revisi atas sistem pendidikan yang selama dijalankan.
Misalnya melalui revisi UUSPN Nomor 2/1989 menjadi UUSPN Nomor 20/2003 diharapkan
pengembangan pendidikan nasional mengarah pada accepbilitas dan partisipasi aktif masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah. Prinsip ini menunjukkan adanya progress kearah yang
lebih demokratis, sebab ada peralihan penentuan kebijakan pendidikan di sekolah, dari soal
pendanaan sampai kurikulum, oleh pusat kepada daerah dan sekolah.

Hermenutika: Refleksi Kritis atas Dunia

Tiga komponen kritis hermenitika

Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada
khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani
kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah
satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa)
tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut
selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan
alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam
teks-teks dan bahasa yang dipelajari.

Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga
disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam
menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya.

Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus
melalui pengkajian secara mendalam. Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud
menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu
terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan
untuk menafsir bahasa.

Memang sebuah intrepretasi akan sarat dengan muatan tafsir, sengaja atau tidak sengaja, yang
menjadi persoalan dengan tafsir bahasa adalah pencarian hakekat kata-kata yang tersurat dan
tersirat. Karena hakekatnya adalah mencari kebenaran, dimensi filosofis tafsir sangat
dibutuhkan. Namun, karena hakekat filsafat itu sendiri adalah keseluruhan interpretasi dan
tafsir, antara filsafat dan hermeneutik tidak terlalu jauh dipersoalkan.

Dalam bidang hermeneutik ini hingga sekarang terdapat dua pendekatan yang bersumber dari
dua aliran yang berbeda. Pertama apa yang kita kenal aliran hermeneutik yang bersumber
pada linguistik.

Tradisi ini dipelopori oleh karya revolusioner Ferdinand de Sausure yang dipengaruhi oleh
kajian-kajian formal sarjana Rusia dan Cekoslowakia, dan memiliki gaung yang simpatik
dalam karya Noam Comsky. Pendekatan ini biasanya tidak disebut sebagai ”hermeneutik”,
melainkan ”strukturalisme”. Pendekatan kedua berakar dari tradisi Hegel dan Marx,
Fenomenologi, dan kajian linguistik sebagaimana yang dipakai pendekatan pertama.

Dua aliran di atas ini banyak diamati oleh para pakar filsafat-hermeneutik sebagai kajian
memungkinkan terbukannya metode-metode baru dalam menafsirkan bidang-bidang yang
kini terus bermunculan dalam bentuk spesialisasi ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, jika
pembaca ingin menaruh kajian hermeneutik yang baru, buku ini layak disebut sebagai
kecenderungan membuka metode penafsiran baru tersebut. Lain dengan kedua metode di
atas, buku yang ditulis oleh Roy J. Howard ini berhasil melebarkan teori hermeneutik sebagai
bagian dari filsafat gaya baru.

Ada tiga hal yang ditemukan oleh pemikir postmodernis ini. Pertama adalah ”hermeneutik
analitis”. Penambahan kata ”analitis” dalam ”hermeneutik” di sini dimaksudkan agar
hermeneutika bukan hanya menafsir teks-teks dalam batas kategori pemaknaan filosofis-
historis seperti yang biasa dilakukan para pemikir linguistik. Howard di sini menambahkan
bahwa pendekatan logika intersubjektif, atau lebih dikenal dengan istilah logika intensi atau
juga memakai pendekatan silogisme praktis dan peran eksplorasinya (hal 60).

Kedua, penulis memperkenalkan istilah ”hermeneutika psikososial”. Teori ini berangkat dari
penolakan atas kecenderungan hermeneutika mono—metodelogi baik dari positivisme
maupun Marxisme Klasik yang sering menyajikan spekluasi Marxisme yang telah
berkembang dan cukup mengabungkan beberapa prinsip metodelogi dari pemahaman simbol
karya Freud (hal 12) dengan melakukan eksplorasi atas filsafat kritis mazhab Frankfrut
(Jurgen Habermas), Howard mencoba memberikan satu premis-premis dasar bagaimana
memahami bahasa dalam konteks psikososial masyarakat modern. Dan, ketiga, Howard
menyuguhkan satu teori baru hasil pengembangan teori Gadamer. Teori Gadamer yang
sebelumnya kritis dalam mengkritik filsafat hermeneutik perspektif humaniora dengan jalan
ontologisnya dipilih Howard sebagai pijakan dalam menganalisis bahasa. Dalam bagian ini,
pembaca akan disuguhkan bagaimana sebenarnya teori permainan bahasa Gadamer yang
sebenarnya cukup kritis untuk menelaah kondisi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia.

Dalam konteks pelebaran metodelogi inilah, perkembangan selanjutnya hermeneutik ternyata


sangat dibutuhkan para pemikir bukan hanya dalam bidang sastra dan bahasa semata,
melainkan juga melebar pada studi bidang lain, misalnya humaniora, sains, sejarah, agama
(kitab suci), dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena hampir semua bidang keilmuan tersebut
dapat dipastikan berhubungan dengan teks-teks bahasa. Buku ini tidak mengklaim diri
sebagai laporan studi yang mendalam dan tidak pula menampilkan semua bentuk paparan
hermeneutika mutakhir. Namun dengan perhatian terhadap tiga komponen hermeneutik
tersebut, buku ini layak disebut sebagai satu penelaahan baru atas pemetaan metodelogi
hermeneutik model postmodernisme yang kini sedang berkembang.

Dalam bidang filsafat istilah “postmodern” diperkenalkan oleh Jean Franccis Lyotard dalam
bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge , yang terbit pada tahun 1984.
Sejak saat itu “postmodern” menjadi bahan menarik untuk diskusi-diskusi tentang
postmodernisme di bidang filsafat kini. Selajutnya, istilah “postmodern” itu menunjuk pada
“segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada
umumnya”. Menurut Bambang, segala pemikiran yang berupa kritik imanen atas pola
berpikir modern bisa saja disebut postmodern. Dalam hal ini kritik imanen dapat dipahami
sebagai kritik yang tetap mempertahankan ide-ide modernisme tertentu dan mencoba
mengatasi segala konsekuensi buruk dari modernisme itu (hlm. 32).
Sementara itu, meminjam pengertian Gadamer, Hermeneutika dapat dimengerti sebagai
refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia dan bentuk-bentuk ungkapan pemahaman.
Jika bahasa adalah cara berada yang khas manusia di dunia ini (Heidegger dan Gadamer),
maka segala bentuk permainan bahasa yang memungkinkan manusia memahami dunia dan
dirinya sendiri merupakan objek utama hermeneutika (hlm. 38)

Mencermati persoalan-persoalan pokok postmodern, yaitu isu berakhirnya filsafat, pluralisme


dalam rasionalitas dan permainan bahasa, kematian epistemologi, ternyata persoalan-
persoalan itu akhirnya, lewat berbagai cara menunjuk pada persoalan bahasa. Lebih lanjut,
bahwa akar persoalannya terletak dalam keterbatasan penggunaan fungsi deskriptif bahasa.
Bahwa pada umumnya persoalan tentang batas bahasa pada dasarnya berakar dalam terlalu
dominannya paradigma “deskripsi” dalam bahasa.

Dari sudut pandang hermeneutik, bahasa atau lebih tepat “die Sprachlichkeit” dilihat sebagai
pusat gravitasi. Gadamer mengatakan, “Ada (being) yang bisa dimengerti adalah bahasa”.
Secara ekstrem, bahasa adalah apa yang biasa kita sebut “pikiran”. Sebab tak ada cara lain
untuk berpikir tentang kenyataan selain lewat bahasa. Bahasa lebih dari sekedar teks,
struktur, dan makna. Ia juga pengalaman yang dihayati, cara kita sebagai manusia memahami
“kenyataan” atau cara kenyataan itu hadir dan bermakna bagi kita, cara kenyataan
menyingkapkan diri kepada kita (hlm. 99)

Melalui bahasa kita mentranformasikan dunia dan dunia mentranformasikan kita. Dalam
konteks tranformatif inilah kita melihat peran sentral “metafor” dalam proses penyusunan
segala bentuk pengetahuan kita.

“Metafor”, dalam pengertian sempit dapat kita temukan dalam pemikiran Aristoteles
terutama dalam karyanya Poetika. bahwa metafor terdapat dalam pemberian nama yang
sebetulnya milik sesuatu yang lain, transendensi dari genus ke spesies, atau berdasarkan
analogi. Sedangkan dalam perspektif antropologis filosofis, metafor bukan sekadar bentuk
semantik tertentu, melainkan merupakan “karakter fundamental hubungan linguistik manusia
dengan dunia”. Metafor pada akhirnya adalah cara berada manusia, cara dasar kita bergaul
dengan realitas.

b. d

C. HERMENEUTIKA DAN
PERKEMBANGANNYA
January 24, 2016 · by mardety mardinsyah · in Hermeneutika

Hermeneutika atau hermeneutics (bahasa Inggeris), berasal dari kata Yunani kuno hermeneutikos,
bentuk kata kerjanya adalah hermeneuin yang artinya menafsirkan. Bentuk kata bendanya adalah ”
hermeneia” artinya penafsiran. Istilah ini dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah
literatur peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang didalamnya terdapat
risalah terkenal Peri hermeneias atau De interpretatione (Tentang penafsiran). Hermeneutika juga
muncul dalam tulisan-tulisan Plato, dan pada karya-karya para penulis kuno, seperti Xenophon,
Plutarch, Europides, Epicuros, Lucretius,dan Longinus.

Secara mitologis kata hermeneutika didekatkan dengan nama dewa Yunani yaitu Hermes. Dalam
mitologi Yunani, Hermes bertugas menyampaikan pesan dan menafsirkan pesan dewa kepada
manusia. Dalam tradisi yang berbahasa Latin, Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius. Menurut
Quraish Shihab dengan mengutip pendapat para ulama seperti, Sulaiman Ibn Hasaan Ibn Juljul
dalam Thabaqat al-athahibba dan Seyyed Hossein Nasher dalam Knowlegde and the
Sacre mengatakan bahwa Hermes adalah nabi Idris. Idris atau Hermes adalah orang yang terpilih
untuk menjelaskan pesan-pesan Tuhan pada manusia. Nabi Idris dalam Alquran dikenal sebagai
orang pertama yang mengetahui cara menulis dan memiliki kemampuan teknologi (sina’ah),
kedokteran, astrologi, sihir dan lain-lain. Dikalangan Yahudi dalam mitologi Mesir kuno, Hermes
dikenal sebagai dewa Toth yang tidak lain adalah Nabi Musa.
Untuk menyampaikan pesan, Hermes harus membiasakan diri dengan bahasa dewa dan bahasa
manusia dimana pesan itu disebarkan. Dalam konteks komunikasi dapat dikatakan bahwa Hermes
membawa pesan dari Tuhan sebagai sender, disampaikan kepada manusia (receiver) dan Hermes
berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang bisa dimengerti. Dari
nama Hermes ini lahir istilah hermeneutika. Dengan kata hermeneutika yang diambil dari peran
Hermes, maka penjelasan yang dilakukan Hermes mencakup tiga hal,
yaitu pertama, mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran melalui kata-kata dalam rangka
menyampaikan pada sasaran yang dituju. Kedua, Penjelasan rasional menyangkut hal-hal yang masih
samar agar maksudnya dapat dipahami dengan jelas. Ketiga, menterjemahkan ke dalam bahasa yang
dipahami oleh sasaran.

Uraian mitologis yang mengasosiasikan hermeneutika dengan Hermes menggambarkan betapa


pentingnya penafsiran dalam memahami makna sebuah teks. Sejak awal terlihat bahwa hermeneutika
berurusan dengan tugas menerangkan kata-kata dan teks yang tidak dipahami oleh masyarakat.
Sebagai juru bicara Tuhan, Hermes berusaha merangkai kata-kata dan makna yang berasal dari
Tuhan agar pas dan mudah dipahami oleh manusia. Dalam hal ini, persoalan yang dihadapi Hermes
adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada manusia. Kelompok manusia memiliki
bahasanya sendiri-sendiri. Problem kesenjangan bahasa, kultur dan penafsiran sebuah teks
merupakan inti persoalan dalam kajian hermeneutika.

Hermeneutika pada awalnya merupakan sub-disiplin dari teologi dan merupakan upaya
mengeluarkan maksud teks dan kitab suci (exegese). Dalam perkembangan selanjutnya hermeneutika
digunakan tidak hanya sebagai metode menafsirkan kitab suci, tapi berkembang sebagai metode
penafsiran teks dalam arti yang luas, seperti, tanda, simbol, karya seni dan lainnya. Akhyar Yusuf
Lubis membedakan hermeneutika dalam enam bentuk, yaitu (1) Teori eksegesis Bible (2) Metode
filologi secara umum (3) Ilmu pemahaman linguistik (4) Fondasi metodologis Geisteswissenschaften
(5) Fenomenologi eksistensial (6) sistem interpretasi yang digunakan untuk meraih makna dibalik
simbol-simbol dan mitos. Masing-masing bentuk hermeneutika di atas mempresentasikan sudut
pandang mana hermeneutika mau dilihat. Tiap bentuk hermeneutika melahirkan suatu pandangan
yang berbeda tapi melegitimasikan kisi-kisi tindakan interpretasi, khususnya interpretasi teks.

Richard E. Palmer membedakan antara exsegese dan hermeneutika. Exsegese adalah komentar-
komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika adalah metodologi yang digunakan untuk ber-
exsegese. Jika exegese merupakan komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak
berurusan dengan pelbagai aturan, metode dan teori penafsiran. Menurut Palmer, sejak awal
hermeneutika mengarah kepada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip penafsiran tekstual. Ada
tiga komponen dalam proses tersebut, yaitu mengungkapkan, menjelaskan dan menterjemahkan.
Dengan demikian, hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran atau interpretasi teks.

Pemikiran awal mengenai hermeneutika sebagai metode penafsiran berasal dari Wilhelm Dilthey
(1833- 1911) filsuf Jerman yang menggagas pemisahan metode ilmu-ilmu alam dengan metode ilmu-
ilmu sosial dan humaniora. Kemudian gagasan ini diperkuat oleh Windelband, tokoh hermenutika
terkenal (1894) dengan membedakan ilmu-ilmu nomotetis dengan ilmu-ilmu idiografis. Ilmu
nomotetis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari hukum-hukum alam, sedangkan ilmu
idiografis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menemukan keunikan (kekhasan) suatu
peristiwa atau fenomena. Bila ilmu nomotetis terdapat pada naturwissenscaften, seperti yang terdapat
dalam kecendrungan pada ilmu kuantitatif, ilmu idiografis terdapat pada giesteswissenschaften,
dimana suatu peristiwa tidak pernah terjadi dengan sebab dan akibat yang persis sama. Dasar
pembedaan ini bersifat ontologis. Namun oleh kaum positivisme, ilmu idiografis dianggap tidak
ilmiah, karena tidak bisa diverifikasi dan tidak bersifat universal sebagai ciri ilmiah yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, metode hermeneutika untuk giesteswissenschaften, ditolak. Dikemudian
hari, barulah hermeneutika dengan sengaja direfleksikan secara filosofis menjadi metode penafsiran
dalam giesteswissenschaften seperti yang dilakukan oleh Frederich Daniel Ernst Schleirmacher dan
Wilhelm Dilthey. Kedua tokoh ini menjadikan hermeneutika sebagai metode yang terhormat dalam
filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.

Daniel Ernst Schleimacher (1768-1834) tokoh pertama yang memberikan tonggak yang kukuh bagi
hermeneutika dengan membangun hermeneutika sebagai suatu teori. Dia mengemukakan dua
dimensi penafsiran grammatical interpretation (interpretasi gramatika) dan psychological
interpretation (interpretasi psikologi). Menurut Schleimacher seperti yang dikutip Thompson, dengan
menggunakan unsur kupasan bahasa dan psikologis, seseorang mampu membuat kejelasan asumsi-
asumsi yang sesuai dengan originalitas ekspresi yang diproduksi yang kemudian bisa memahami sang
penutur secara baik. Kerja Schleimacher merupakan langkah bagi Dilthey untuk menemukan metode
bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Sebagai sebuah kajian filsafat dan menjadi sebuah metode dalam berfilsafat, hermeneutika
didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda walaupun pada dasarnya metode ini ingin menjelaskan
bagaimana cara membaca, memahami dan menghadapi teks, khususnya teks yang tertulis pada saat
yang berbeda dan dalam konteks kehidupan yang berbeda. Schleirmacher, mendefinisikan
hermeneutika sebagai seni memahami dan menguasai . Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika
sebagai teori interpretasi (pengoperasian atau aktivitas pemahaman) yang berhubungan dengan
interpretasi teks atau mengubah suatu ketidaktahuan menjadi mengerti. Menurut Gadamer, bahasa
satu-satunya entitas yang bisa dipahami, oleh karena itu untuk masuk kesuatu teks kita harus masuk
kedalam bahasa.

Josef Bleicher membagi hermeneutika atas tiga aliran yaitu : Hermeneutika teoritis, Hermeneutika
filosofis dan Hermeneutika kritis. Hermeneutika teoritis memfokuskan perhatian pada masalah teori
umum penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia dan ilmu sosial dan
menempatkan hermeneutika dalam ruang epistemologi, yakni hermeneutika di tempatkannya sebagai
metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain. Aliran ini mengharapkan pemikiran orang lain (the
mind of other) dapat dipahami seobjektif mungkin, maka hermeneutika diupayakan akan
menemukan fondasi yang dibutuhkan bagi penelitian ilmiah. Tokoh pendukung hermeneutika teoritis
ini antara lain Schleiermacher dan Dilthey.

Hermeneutika teoritis mendapat kritik dari hermeneutika filosofis. Hermeneutika filosofis tidak
bertujuan untuk mencari makna objektif seperti hermeneutika teoritis, tetapi menggunakan metode
hermeneutika sebagai cara eksplikasi dan diskripsi fenomena Dasein dalam temporalitas dan
historikalitas. Hermeneutika filosofis bertujuan tidak menemukan makna melalui dialog antara
subjek-objek dan objek yang ditafsirkan tidak mencari makna objektif, tetapi bagaimana penafsir
menghasilkan penafsiran baru yang secara praktis relevan dan memperluas wawasan. Tokoh
terkemuka dari aliran hermenutika filosofis adalah Martin Heidegger (1889-1976) yang berpengaruh
besar terhadap perkembangan hermeneutika pada era postmosdern. Dia memulai proyeknya dengan
suatu penelitian ontologis hermeneutika dan menolak pemahaman terhadap dunia keilmuan dimana
subjek-objek harus objektif, sehingga melahirkan pemahaman yang kaku dan bersifat hitam putih.
Karena itu, Heidegger memfokuskan pembahasan pada fondasi ontologis hermeneutika.

Pemikiran Heidegger dilanjutkan oleh muridnya Hans Georg Gadamer (1900-2002) yang
menegaskan bahwa penafsiran adalah proses produksi makna, tidak merupakan reproduksi makna.
Gadamer mengemukakan hubungan antara prior text (pra pemahaman) dengan otoritas tradisi.
Menurut Gadamer upaya objektivistik akan sia-sia dalam penafsiran sebuah teks, karena antara teks
dan penafsir terbentang jurang tradisi yang tidak mungkin disatukan. Penafsir dan teks menurut
Gadamer senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Dalam memandang realitas,
penafsir tidak bisa melepaskan diri dari tradisi, sehingga penafsiran bukanlah aktivitas subjek sebagai
diri yang menyendiri, terpisah dari sejarah, melainkan berangkat dari tradisi dimana ia ada
didalamnya, yang dipahami bukan struktur psikologis orang lain, tetapi adalah objek yang punya
makna yang tertanam dalam suatu tradisi yang dimilikinya. Pendekatan terhadap teks harus
dilakukan melalui prior text dan realitas historis kekinian dan selanjutnya penafsir memunculkan
produksi makna dari teks itu dan kesemuanya bersifat subjektif dan dilakukan dengan proses dialogis
antara cakrawala teks dengan penafsir yang dikenal dengan the fusion of horizons.
Hermeneutika filosofis mendapat tantangan dari pemikir kritik ideologi seperti yang dikemukan oleh
Jurgen Habermas dan Karl Otto Apel. Mereka mengembangkan suatu metode penafsiran hermeneutis
yang berbingkai Teori Kritis yang disebut dengan hermeneutika kritis. Jika dalam hermeneutika
filosofis yang menjadi problem hermeneutis pada akhirnya adalah bahasa dan permainan bahasa,
maka hermeneutika kritis justru menempatkan faktor-faktor ekstra-linguistik sebagai masalah yang
harus dipecahkan oleh hermeneutika. Hermeneutika teoritis dan filosofis mengabaikan hal-hal diluar
bahasa, seperti kerja dan dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks pemikiran
dan perbuatan.

Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodern hermeneutika mulai berperan sebagai
salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika
tidak lagi terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tapi juga
mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi
dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya. Hadirnya pemikiran postmoderen
membawa hermeneutika ke dalam diskursus yang bernuansa dekonstruksi yang dikemukakan oleh
Jacques Derrida (1930-2004) seorang filsuf berkebangsaan Aljazair. Dekontruksi yang disebut juga
sebagai hermeneutika radikal telah menjadi konsep penting dan banyak digunakan dalam penelitian
sosial budaya kontemporer.

D. dekonstruksi

Jacques Derrida dikenal sebagai pendasar teori dekonstruksi yang menjadi wacana
postmodern. Sebagai pendasar teori, tentunya ada sejumlah ide menyertai perjalanan refleksi
intelektualnya, sampai pada akhirnya ia menggagas konsep dekonstruksi. Oleh karena itu, ada
beberapa hal pokok yang penulis sajikan untuk memahami konsep dekonstruksi Derrida.
Pertama-tama adalah dengan memahami belakang konsep lahirnya dekonstruksinya.
Kemudian, penulis akan menjelaskan beberapa butir pemikiran yang menyertai
konsep dekonstruksi antara lain adalah différance dan metafor serta peranan imajinasi di
dalamnya. Setelah menjelaskan makna imajinasi di dalam dekonstruksi, terakhir penulis coba
mengangkat sebuah tendensi postmodernisme untuk melahirkan filsafat imajinasi sebagai
jawaban atau realitas yang selalu ambigu.
1. Konteks Historis Lahirnya Teori Dekonstruksi.
Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai
tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga
Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia
tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure
di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia
meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.
Derrida bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik
rasionalisme Barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat,
seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat, bermain-main,
alusif dan literer. Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa filsafat
bukan lagi suatu representasi kebenaran. Bahasa lisan adalah instabil yang tidak
memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda berdasarkan konteks. Baginya, segala
sesuatu adalah teks dan kenyataan filosofis adalah kenyataan tekstual.
Pemikiran Dekonstruksi Derrida yang memberikan warna bagi dunia
postmodernisme, merupakan jawaban atas situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian
yang sangat menekankan metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada,” metafisika selalu
menjadi tema yang utama dan tetap. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa
metafisika yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.
Dalam karya-karya awalnya, Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologi Husserl.
Di sini Husserl melanjutkan tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai
kehadiran pada dirinya. Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger
di mana ada juga beberapa yang dibantahnya. Tetapi Derrida sempat tenggelam dalam
pemikiran Heidegger, bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan
bahasalah yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu terbatas oleh bahasa yang
berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’ maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat
menimbulkan masalah-masalah tentang cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka,
dengan mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan
teorinya yang sama sekali bertolak belakang.
2. Teori Dekonstroksi Sebagai Kecenderungan Baru Dalam Membaca Teks Filosofis.
Derrida yang juga diakui sebagai salah satu tokoh dalam paham “postmodern”,
memiliki tradisi medan gagasan yang dikenal dengan “dekonstruksi”. Dekonstruksi
merupakan manifestasi dari metode ironi atas wacana maupun teks sebagai wujud dari
“Grand Narration”, yang menentukan kelemahan dalam teks yang diteliti dengan fraktur
yang terlihat seperti suatu kesatuan. Terlihat, karena teks pada titik tertentu gagal untuk
menarik kesimpulan sendiri dari dasar-dasar pikiran yang dibangun dan ditampilkan.
Tradisi gagasan ini juga merupakan reaksi kritis yang turut mengawal penolakan
terhadap logosentrisme dengan atribut kebenaran tunggal (cara berpikir oposisi biner)
melekat padanya. Nalar dekonstruksi yang ditawarkan Derrida termaktub dalam dua langkah
penalaran. Pada langkah yang pertama, dekonstruksi; membalikkan keadaan, dan membuat
sisi tertindas menjadi satu dominasi. Namun, tidak berhenti sampai tahap itu, kita tidak akan
puas hanya dengan membalik hierarki antara dua sisi yang bertentangan, maupun mengubah
salah satu sisi dengan dominasi yang menukik ke bawah dan sebaliknya. Pada langkah yang
kedua dalam dekonstruksi, kita melemahkan perbedaan antara kedua sisi yang bertentangan
sebagaimana kita juga menggantikan seluruh oposisi yang mendukung gagasan lain.
Pada langkah yang pertama, melibatkan penghancuran/pembongkaran
gambar/tampilan yang sebelumnya mendominasi, mendukung apa yang tersembunyi, dan
yang didominasi. Pada langkah yang kedua, melibatkan penghancuran/pembongkaran kedua
kutub, tetapi pada saat yang sama juga berlangsung perpindahan pada mereka, dan
kesemuanya itu kemudian membangun suatu yang baru dan lebih luas.
Tradisi dekonstruksi Derrida selalu berupaya melakukan pembalikan (kontinuitas)
terhadap oposisi biner. Pergantian posisi antara yang menjadi pusat dan prinsip dengan yang
bukan prinsip dan berada di luar lengkungan pusat, meletakkan ketelanjangan tetapi
tersembunyi, pengungkapan makna-makna yang tersembunyi ke permukaan, merupakan
salah satu tujuan dari tradisi gagasan dekonstruksi Derrida.
Bagi Derrida, filsafat harus dilihat pertama-tama sebagai tulisan. Maksudnya, sebagai
tulisan filsafat tidak merupakan ungkapan transparan pemikiran secara langsung. Dengan itu,
filsafat yang dilihat sebagai tulisan selalu bersifat tekstual. Dekonstruksi Derrida hadir
sebagai modus baru dalam membaca teks-teks filosofis, yang adalah cara untuk melacak
struktur dan strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu. Secara praktis, dekonstruksi
adalah sebuah strategi filsafat, untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi apa
yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki.
Interpretasi yang demikian itu menunjukkan ambisi filsafat pada umumnya untuk
melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan dan ingin agar bahasa yang digunakan itu
manjadi sarana transparan yang menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat
ekstralinguistik. Cara yang biasa ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim
sebagai eviden dan menata logika sedemikian hingga tampil utuh, koheren dan tidak
ambigu. Namun bagi Derrida, semua ambisi dan upaya semacam itu tidak akan pernah
mungkin berhasil. Dalam setiap tulisannya dan mungkin dalam setiap karyanya, Derrida
selalu meluncurkan proyek dekonstruksi.
Ia sepertinya sangat menyadari akan realitas yang semakin ambigu sehingga hampir
tidak pernah setuju dengan pandangan berbagai filsuf. Ia terkesan ingin melihatnya dalam
suatu pandangan yang baru. Ia menolak struktur-struktur yang telah dibentuk oleh tradisi
rasionalisme Barat. Ia juga terkesan tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan sesuatu yang
final. Ia menolak adanya pemikiran yang berujung pada akhir yang pasti atau absolut. Ia
memberikan wacana yang luas yang terus mengalir dan menjadi bagi manusia tanpa harus
terikat dengan narasi yang ada sebelumnya.
Dalam dekonstruksinya Derrida menyatakan bahwa makna tidak pernah hadir
sepenuhnya, tetapi selalu tertunda. Untuk menjelaskan hal ini, Derrida menciptakan kata
Prancis yaitu differance. Besamaan dengan munculnya konsep differance, perjalanan
mendekonstruksi metafisika kehadirannya sampai pada satu titik problematik dalam filsafat
Barat tentang metafor serta relasinya dengan kebenaran. Kekuatan metafor bagi Derrida
terletak pada kemampuannya dalam menunda kebenaran yang menjadi sentral sejarah
metafisika. Lalu, jika kita bertanya dari manakah munculnya metafor? Di sinilah kita mulai
dapat menyadari peranan imajinasi dalam menghadirkan metafor itu. Imajinasi adalah
kekuatan yang memungkinkan tanda-tanda itu bebas memainkan perannya melampaui logika.
Dalam hal ini, Derrida memahami imajinasi sebagai efek dari differance itu sendiri, yang
muncul akibat tegangan antara pembatasan perspektif dan keterbukaan, juga antara kejelasan
makna dan ambiguitas.
3. Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi.
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi
berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung,
terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna
literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut,
yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk
catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati
setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang
ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang
diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada
teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa
atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di
tempat yang berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu
dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati.
Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu
maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk
mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri
terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Penjelasan ini berisiko membuat
kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui
meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang
jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi
mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”
Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan
upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak
bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif,
yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-
unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis,
argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang
biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi
penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan
dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah
berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu
disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan
sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang
pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari
kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana
transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam
istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan
dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki
oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan
secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan
di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah
istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional
lama. Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari
pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan
terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali
tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan
atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
4. Differance dan Metafor Dalam Teori Dekonstruksi Derrida.
a. Différance
Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang
membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan untuk
mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya. Différance itu memiliki
perbedaan dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différermengandung
arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan
menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) .
Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana makna ditirunkan dari
penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda (postponed).
Karena itu, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak
tertangkap dengan kehadiran.
Dekonstruksi Derrida bermula dari huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana
Derrida memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa ambigunya
sebuah kata yang tampak tunggal dan sederhana. Adanya pemikiran
tentang différancemerupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan
kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai
kehadiran. Maka différance sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam
suasana atau kerangka metafisis.
Istilah Différance, dapat dibeakan dalam empat arti yaitu:
pertama, différancemenunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses
penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah gerak
yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep.
Ketiga, différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya
setiap makna dalam setiap struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan
berlangsungnya perbedaan antara
Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan
jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan
tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance sebagai suatu makna
transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida,
tak ada identitas terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain
dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya.
Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.
b. Metafor
Sejarah metaphor menurut Derrida pertama-tama mengandaikan
adanya arkhetransendental yang menjadi basis pengetahuan dan asal-usul bahasa. Konsep
metafor pertama kali dirumuskan secara gamblang oleh Aristoteles
dalam Poetica. Aristoteles menyatakan bahwa metafor terdiri atas
pemberian (epiphora) nama (onomatos) atau sesuatu yang sebetulnya milik sesuatu yang lain.
Menurut Aristoteles, sumber arkhe pertama dari metafor adalah alam. Alam
memberikan dirinya dalam bentuk metafor. Manusia meniru pergerakan alam dan
menciptakan sebuah sistem bahasa yang puitis untuk mendramatisasi kekagumannya pada
alam. Dengan kata lain metaphor lahir dari hasrat mimetik untuk meniru sesuatu yang ideal
dan tak terbahasakan.
Dalam artikelnya, The Retrait of Metaphor, Derrida mengembangkan gagasan
metafor yang dibangun Heidegger. Ada pun metafor yang oleh Heidegger ditampilkan
dengan mendekonstruksi metafisika, adalah reaksi terhadap genealogi Nietzsche yang
mengutamakan metafor dengan cara melacak akar metaforis pernyataan-pernyatan filosofis.
Dengan dekonstruksi metafisika dan kritiknya atas konsep metaphor yang dibangun
Nietzsche itu sebetulnya Heidegger bermaksud untuk mengubah sikap dasar kita dalam
memandang bahasa secara umum. Baginya, hubungan yang otentik dengan bahasa, bukanlah
hubungan di mana bahasa kita anggap sebagai objek atau sarana belaka dan kita gunakan
berdasaran suatu sistem predikasi dan penekanan baku yang ketat dan pasti. Menurut Derrida,
bahasa pertama-tama adalah suatu kenyatan terberi yang menyingkapkan sebuah dunia bagi
kita sedemikian hingga dunia yang kita pahami selalu berkait erat dengan bahasa itu sendiri.
Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang yang kita pahami di luar bahasa.
Derrida kemudian mengubah haluan konsep ini. Bila Heidegger menyerang
metafisika dalam pembendaan antara taraf inderawi dan non inderawi, maka Derrida
menyerang metafisika dalam pembedaan arti katanya. Bagi Derrida, baik antara ‘bunyi kata’
dan dan artinya, maupun antararti dan antarbunyi kata itu sendiri, pembedaan yang terjadi
hanyalah permainan yang bisa dibuat sewenang-wenang.
Akibatnya, arti literal dan arti metaforis tidaklah jelas untuk diketahui.Dekonstruksi
memiliki sendi tak tergoyangkan ketika dia menyatakan kemustahilan pereduksian metaphor
karena difference telah ‘mengerjai’ makna ‘literal’ yang baku. Segala pernyataan bisa bersifat
metaforis bisa juga literal tergantung pada bagaimana kita membedakannya. Dengan kata
lain, pembedaan antara yang literal dan yang metaforis sebetulnya tidak ada artinya lagi,
sehingga dekonstruksi menemukan bahwa tidak ada yang dinamakan makna literal itu.
5. Pluralitas Makna Menurut Teori Dekonstruksi Derrida.
Menurut Marvin Harris (1992:153-154) postmodernisme merupakan gerakan
intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan
pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradigma
penelitian yang lebih istimewa. Bagi Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara
ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam
pandangan post modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandal kan
pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.
Salah satu karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah
fenomena budaya. Mereka cenderung meman dang budaya itu bermakna banyak (plural).
Budaya menyuguhkan makna yang bersifat poliinterpretable, sehingga boleh dimaknai
sekehendak hati. Dari sini, realitas budaya dipandang sangat proble matis dan menampilkan
makna plural. Pendek kata, postmodernisme seirama dengan kajian pascastrukturalisme. Dia
menolak ide struktur sebagai penopang makna yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123)
menyatakan pascastrukturalisme “mengimani” bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah
final.
Paham postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam pemaknaan
budaya. Makna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna yang
lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang kurang diperhatikan,
kurang disinggung, kemungkinan justru memiliki makna yang besar. Jadi, postmodernisme
lebih menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan. Hal ini tidak berarti
bahwa postmodernisme hanya ingin menang sendiri, hanya kecewa dengan paradigma
penelitian sebelumnya, dan atau hanya tergelincir pada eforia, melain kan memiliki dasar-
dasar yang kuat dan logis dalam pemaknaan.
Jika kaum modernis selalu mengandalkan “rahasia makna” budaya dalam sebuah
struktur atau teks, postmodernisme tidak demi kian. Kaum postmodernisme justru
menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan unconsciousness di balik fenomena
budaya. Hubungan statis antara prosisi dengan realitas tidak ada baginya, yang ada adalah
penanda yang mengambang terus-menerus dan sukar ditemukan hubungannya. Kodrat
pemaknaan tidak stabil secara esen sial. Karena penanda mengambang terus, postmodernisme
berusaha mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut, mendekonstruksi realitas, dan
berusaha memaknai fenomena budaya berdasarkan pluralitas makna.
Prinsip pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya. Tentunya,
postmodemisme lalu menolak makna universalitas budaya. Makna budaya tidak harus
menjadi milik sekian banyak orang. Biasa saja fenomena budaya hanya bermakna bagi
segelintir orang dan individual. Hal ini dapat dipahami melalui pemikiran Derrida. Meskipun
dia lebih banyak menyorot pada konteks budaya sebagai teks, khususnya bidang teks
sastra, namun tetap menyiratkan pandang an yang luar biasa bagi pengkaji budaya.
Menurutnya, teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan sebuah “rajutan”, artinya
makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks.
Bagi Derrida, pencarian makna teks budaya bukan secara logosentrisme, seperti
paham strukturalis. Paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme,
yangmendewakan kata. Budaya, pada mulanya adalah “kata“. Kendati penafsiran tak akan
lepas dari kata, namun makna budaya lebih dari sebuah kata. Makna budaya justru tertenun
dalam seluruh teks budaya dan tak berdiri sendiri. Makna teks akan berubah dan berkembang
terns. Jika demikian, tidak ada yang mampu menjamin kebenaran makna. Kalau demikian,
makna budaya bukan milik suatu zaman, melainkan terus berjalan seiring perkembangan
budaya itu sendiri. Makna budaya juga bersifat longgar, bukan univocity absolut, melainkan
multiplicity of meaning. Dalam kaitan ini Derrida mengenalkan istilah equivocity (berdalih)
untuk mengontrol ambiguity. la lebih mendekonstruksi pemikiran “objektif’ ke “subyektif’,
yang umum ke individual.
Pemaknaan dalam pandangan pencetus dekonstruksi, Derrida, makna bukan sekedar
arti kata, bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak orang, bukan pula arbriter,
melainkan tergantung bagai mana orang mengartikannya. Yang terpenting bagi Derrida, yang
kemudian dilanjutkan oleh Kristeva, Barthes, dan lain-lain pengalaman empirik sensual
manusia difilter oleh ide-idenya yang dalam. Berarti bahasa (teks budaya) itu berada pada
dataran proyeksi dari pemfilterannya atas pengalaman empirik tersebut. Makna akan terkait
denga kreativitas manusia dalam berbahasa.

E. strukturalisme

Filsafat Struktural Dari Sejarah, Tokoh,


Pengertian Dan Ciri-Ciri Strukturalisme
Crayon Makassar Juni 20, 2016

Kali ini penulis akan share tulisan tentang Filsafat Struktural atau Strukturalisme, tulisan ini
sebenarnya merupakan salah satu tugas yang diberikan oleh Pak Abdullah (salah satu Dosen saya
di Fakultas Ushuluddin dan filsafat). Jadi mungkin tulisannya sedikit formal. Mungkin ini bisa
dijadikan sebagai pengantar tentang filsafat struktural.

Sejarah Singkat Filsafat Strukturalisme


Dalam sosiologi, antropologi dan linguistik, strukturalisme adalah metodologi yang unsur budaya
manusia harus dipahami dalam hal hubungan mereka dengan yang lebih besar, sistem secara
menyeluruh atau umum disebut struktur. Ia bekerja untuk mengungkap struktur yang mendasari
semua hal yang manusia lakukan, pikirkan, rasakan, dan merasa. Atau, seperti yang dirangkum
oleh filsuf Simon Blackburn, strukturalisme adalah "keyakinan bahwa fenomena kehidupan
manusia yang tidak dimengerti kecuali melalui keterkaitan mereka. Hubungan ini merupakan
struktur, dan belakang variasi lokal dalam fenomena yang muncul di permukaan ada hukum
konstan dari budaya abstrak".

Strukturalisme di Eropa dikembangkan di awal tahun 1900-an, di bidang linguistik struktural dari
Ferdinand de Saussure berikutnya Praha, sekolah Moskow dan Copenhagen linguistik. Pada akhir
1950-an dan awal 60-an, ketika linguistik struktural menghadapi tantangan serius dari orang-
orang seperti Noam Chomsky dan dengan demikian memudar di pentingnya, array sarjana di
humaniora meminjam konsep Saussure untuk digunakan dalam bidang masing-masing studi.
Antropolog Prancis Claude Levi-Strauss dikatakan sebagai ilmuwan pertama, memicu minat yang
luas dalam hal Strukturalisme.

Model strukturalis penalaran telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk antropologi,
sosiologi, psikologi, kritik sastra, ekonomi dan arsitektur. Pemikir yang paling menonjol terkait
dengan strukturalisme termasuk Levi-Strauss, ahli linguistik Roman Jakobson, dan psikoanalis
Jacques Lacan. Sebagai gerakan intelektual, strukturalisme awalnya dianggap menjadi pewaris
eksistensialisme. Namun, pada 1960-an, banyak dari prinsip dasar strukturalisme diserang dari
gelombang baru intelektual terutama dari Perancis seperti filsuf dan sejarawan Michel Foucault,
filsuf dan komentator sosial Jacques Derrida, filsuf Marxis Louis Althusser, dan kritikus sastra
Roland Barthes. Meskipun unsur pekerjaan mereka selalu berhubungan dengan strukturalisme
dan diinformasikan oleh itu, teori ini umumnya disebut sebagai post-strukturalis. Pada 1970-an,
strukturalisme dikritik karena kekakuan dan ahistorisme. Meskipun demikian, banyak pendukung
strukturalisme, seperti Lacan, terus menegaskan pengaruh pada filsafat kontinental dan banyak
asumsi dasar dari beberapa kritikus strukturalis bahwa pasca-strukturalis adalah kelanjutan dari
strukturalisme.

Masa perkembangan filsafat Strukturalisme


Tahun 1966 digambarkan oleh Francois Dosse dalam bukunya Histoire du Structuralisme sebagai
tahun memancarnya strukturalisme di Eropa, khususnya di Prancis.Perkembangan strukturalisme
pada tahun 1967-1978 digambarkan sebagai masa penyebaran gagasan strukturalisme dan
penerangan tentang konsep strukturalisme serta perannya dalam ilmu pengetahuan

Pengertian Filsafat Strukturalisme


Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad ke-20
mendapat reaksi dari aliran Strukturalisme. Jika eksistensialisme menekankan pada peranan
individu, maka strukturalisme juga melihat manusia “terkungkung” dalam berbagai struktur
dalam kehidupannya. Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya
dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.

a. Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu
kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinandde
Saussure.

b. Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam
sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah,
kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur kekerabatan dan
struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar
yang menggerakkan tindakan manusia.

Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan
kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap. Strukturalisme juga adalah sebuah
pembedaan secara tajam mengenai masyarakat dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga
1970, khususnya terjadi di Perancis. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism;
latin struere (membangung), structura berarti bentuk bangunan. Trend metodologis yang
menyetapkan riset sebagai tugas menyingkapkan struktur objek-objek ini dikembangkan olerh
para ahli humaniora. Struktualisme berkembang pada abad 20, muncul sebagai reaksi terhadap
evolusionisme positivis dengan menggunakan metode-metode riset struktural yang dihasilkan
oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu lain.

Para sturukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam


berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat Fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat
manusia dari sudut pandang yang subjektif.

TUJUAN DAN CIRI-CIRI FILSAFAT


STRUKTURALISME
Tujuan Strukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan
beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak). Ciri-ciri itu dapat
dilihat strukturnya:
1. Bahwa yang tidak beraturan hanya dipermukaan, namun sesungguhnya di balik itu terdapat
sebuah mekanisme generatif yang kurang lebih konstan.
2. Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terpola dan terorganisasi, terdapat
blok-blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan yang dipermukaan
3. Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang sebenarnya dalam
penelitian mereka
4. Pendekatan dengan memakai sifat bahasa, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang bersesuaian
untuk menyampaikan pesan. Seperti bahasa yang selalu terdapat unsur-unsur mikro untuk
menandainya, salah satunya adalah bunyi atau cara pengucapan.
5. Strukturalisme dianggap melampaui humanisme, karena cenderung mengurangi, mengabaikan
bahkan menegasi peran subjek.

Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui
penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan.
Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode,
model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas.

Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap
terlalu individualistis dan kurang ilmiah. Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice
Meleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia. Pounty
menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa kita adalah
objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda-beda dan unik dalam
ruang dan waktu.

Tokoh tokoh Filsafat Struktural Dan Pemikirannya


Ferdinand de Saussure
Strukturalisme sebagai metode berpikir dalam memahami realitas dimulai oleh Ferdinand de
Saussure (1857-1913 M), seorang ahli Linguistik yang mempelajari bahasa dari sudut pandang
strukturnya.
Menurut Ferdinand de Saussure Strukturalisme memiliki dua pengertian, yaitu:

 Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu
kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip Linguistik.
 Strukturalisme adalah aliran filsafat yang hendak memahami manusia, sejarah dan
kebudayaan serta hubungan kebudayaan dengan alam dengan memakai metode struktural.
Strukturalisme menyelidiki pola-pola dasar yang tetap dalam berbgai realitas.
Claude Levi-Strauss
Claude Levi-Strauss, lahir 28 November 1908 – meninggal 30 Oktober 2009 pada umur 100
tahun) adalah antropolog dan etnolog Prancis, dan disebut sebagai "bapak antropologi modern".

Dia berpendapat bahwa "pikiran primitif" memiliki struktur yang sama dengan pikiran yang
"beradab" dan bahwa ciri-ciri manusia itu sama saja di mana-mana. Pengamatannya ini
berpuncak pada bukunya yang terkenal, Tristes Tropiques, yang menempatkan dia sebagai tokoh
utama dalam aliran pemikiran strukturalis, tempat di mana gagasan-gagasannya menjangkau
berbagai bidang, termasuk humaniora, sosiologi dan filsafat. Strukuralisme didefinisikan sebagai
"pencarian pola-pola pikiran tersembunyi di dalam segala bentuk kegiatan manusia".

Dia telah menerima kehormatan dari berbagai universitas di seluruh dunia dan memimpin
Antropologi Sosial di Collège de France (1959–1982). Dia terpilih sebagai anggota Akademi
Prancis atau Académie Française pada 1973.

pemikirannya terkenal dengan Strukturalisme dan Antropologi budaya. Dalam buknya yang
berjudul “Struktur-struktur elementer kekerabatan” ia menganalisa dan menjelaskan sistem-
sistem kekerabatan primitif dengan memakai metode strukturalis. Menurutnya, kekerabatan dapat
dianggap sebagai semacam bahasa, karena aturan-aturan yang dimiliki klen-klen primitif di
bidang kekerabatan dan perkawinan memang merupakan suatu sistem yang terdiri atas relasi-
relasi dan posisi-oposisi, seperti suami-istri, anak-bapak, kakak-adik, dan lain-lain.

Selain Ferdinand de Saussure, berikut adalah beberapa tokoh dalam aliran strukturalismedan
pemikirannya :

 Jscues Lacan (1901-1981) lahir di Paris dan meraih gelar doktor dalam bidang kedokteran
pada tahun 1932. Selain kedokteran, ia juga seorang psikiater. Maka dari itu, pemikirannya
disebut Strukturalisme dan Psikoanalisa karena ia ingin membuat psikoanalisa menjadi
suatu antropologi otentik dengan mengambi ilmu bahasa sebagai pedoman. Bahasa adalah
suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang mempunyai prioritas
terhadap subyek yang berbicara, dan manusia tidak merancang sistem itu, tetapi ia takhluk
padanya yang memungkinkan ia berbicara. Hal yang sama berlaku juga untuk
ketidaksadaran. Ketidaksadaran merupakan suatu struktur, tetapi manusia sendiri tidak
menguasai struktur ini. Ketidaksadaran adalah semacam logos yang mendahului manusia
perseorangan. Usahanya adalah menjelaskan ketidaksadaran manusia dalam cahaya
penemuan-penemuan linguistik tentang bahasa. Lacan selalu membahas percakapan
psikoanalitis yaitu percakapan antara seorang psikoanalis dengan analisanya atau pasiennya.
Dalam percakapan itu, ketidaksadaran tampak sebagai bahasa. Dalam percakapan
psikoanalitis subyek tidak berbicara, tetapi subyek dibicarakan. Atau bukan saya yang
berbicara, ada yang bicara dalam diri saya.

 Roland Barthes (1915-1950) lahir di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne dan Paris. Pada
umur 64 tahun, ia meninggal tertabrak mobil di jalanan paris. Pemikirannya tentang
Strukturalisme dan Kritik Sastra. Setelah ia membaca buku karangan Saussur yang berjudul
kursus Tentang Linguistik Umum, ia mulai menyadari kemungkinan-kemungkinan untuk
menerapkan semiologi atas bidang-bidang yang lain. Menurutnya semiologi termasuk
linguistik tapi bukan sebaliknya. Barthes melukiskan prinsip-prinsip linguistik dan
relevaninya dengan bidang lain. Dari sudut pandang strukturalistis, ia memberikan suatu
interpretasi baru tentang Jean Racine, seorang dramawan besar dari sastra Prancis abad ke-
17. Pendekatan baru tentang sastra yang diusahakan Barthes diberi nama “Kritik Sastra yang
Baru”. Interpretasi ini diserang tajam oleh Raymond Picard, profesor Universitas Surbonne,
yang membela pandangan tradisional tenang Racine.

 Louis Althusser (1918-1990) seorang tokoh filsuf dari golongan marxisme. Pemikirannya
adalah tentang persamaan Stukturalisme dan Marxisme.

 Michel Foucault (1962-1984). Pemikirannya disebut Strukturalisme dan Epistemologi.


Epistemologi disini adalah refleksi filosofis tentang kodrat dan sejarah ilmu pengetahuan.
Menutnya pada tiap-tiap zaman mempunyai pengandai-andaian tertentu, prinsip-prinsip
tertentu, cara-cara pendekatan tertentu. Deangan kata lain tiap zaman mempunyai apriori
historis tertentu

Filsafat Struktural Ferdianand de Saussure


Munculnya paham baru kian terlihat yakni sekitar pada zaman kontemporer yakni diawal abad
kedua puluh. Dimana pada abad tersebut orang berpikir lebih mengarah pada abad kedua puluh
tersebut. Salah satu paham baru yang muncul tersebut yakni Strulturalisme yang dicetuskan oleh
tokoh bernama Ferdinand de Saussure.

Akar dasar dari pemikiran ini sendiri dari Ferdianand de Saussure yakni meletakkan dasar
linguistik dan tata bahasa. Meski De Saussure jarang mempublikasikan karyanya, namun dari
karyanya mengenai ilmu linguistik itulah ia memberikan konstribusi terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan dan juga filsafat di masa kehidupan manusia saat ini atas ilmu linguistiknya. Ia
pun akhirnya terkenal menjadi bapak linguistik (Hasan, 2012:56).
Latar belakang kehidupan Ferdinand de Saussure yakni ia adalah seorang yang berkebangsaan
Swiss yang lahir di Jenewa pada tanggal 26 November 1857 dan meninggal pada umur 55 tahun
bertepatan pada tanggal yakni 22 Februari 1913. Ketika ia meninggal, ia memiliki dua orang
murid yang pernah ia ajar di Jenewa yang nantinya dari kedua murid itulah karya tulisan dari de
Saussure dapat tersebar dan dipelajari khalayak umum.

Pada awal abad ke-20 sebagai reaksi terhadap evolusionisme positivis dengan menggunakan
metode-metode riset struktural yang dihasilkan oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu alam
lainnya. Sedangkan ciri khas strukturalisme yang begitu signifikan yakni adanya pemusatan pada
deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instriknya yang
tidak terikat oleh wktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut
melalui pendidikan.

Berawal dari seperangkat fakta yang diamati pada permulaannya, strukturalisme menyingkapi
dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hierarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur
pada setiap tingkat), dan lebih lanjut menciptakan suatu model teoritis dari objek tersebut.

Pengertian dari istilah Strukturalisme sendiri adalah cara filsafat yang mendasari semua
pemikiran abad modern ini, sedangkan linguistik itu sendiri merupakan salah satu ilmu yang
paling sistematis dalam bidang humaniora. Akar strukturalisme adalah filsafat bahasa Saussure
yang pada umumnya karyanya diabaikan sampai tahun lima puluhan hingga enam puluhan, ia
menangkap makna pengamatan terhadap struktur bahasa, dari pada logika jalan.

. Pada tahun 1960-an strukturalisme telah menjadi model dikota Paris. Secara sederhana
strukturalisme adalah pandangan bahwa setiap wacana, baik wacana filsafat maupun lainnya
adalah sekedar sebuah struktur didalam bahasa tidak lebih. Teks tidak memberikan sesuatu yang
lain kecuali teks itu sendiri, tidak ada lainnya dibalik bahasa.

Ferdinand de Saussure (1857-1913) telah meletakkan dasar linguistik modern. Dia adalah orang
Swiss yang untuk beberapa waktu mengajar di Paris dan akhirnya menjadi professor di Jenewa.
Selama hidupnya ia mempublikasikan sedikit karangannya. Buku yang mengakibatkan namanya
menjadi tersohor di bidang linguistik ditebitkan oleh dua orang muridnya yang bernama Charles
Bally and Albert Sechehaye. Penerbitan buku itu sendiri yakni tiga tahun setelah kematiannya.
Buku karya de Saussure yang diterbitkan itu diberi judul Cours de linguistique general pada tahun
1916 dan berisikan mengenai kursus tentang linguistic umum.
Beberapa prinsip dasar yang digunakan oleh tokoh-tokoh strukturalisme berasal dari teori
linguistik yang diuraiakan dalam buku tersebut. Tentu itulah hal yang kian menjadikan pemikiran
de Saussure sendiri semakin bernilai dan berguna. Struktur dalam bahasa, istilah struktur
berkaitan dengan bahasa sebagai sistem. Pendekatan struktural tentang bahasa mengandung arti
pendekatan yang menganggap bahasa sebagai sistem dengan ciri-ciri tertentu, pemakaian kata
“struktur” dalam strukturalisme disertai oleh seluruh konteks yang telah diuraikan yaitu
significant-signifie, parole-langue, sinkroni diakroni.

Pertama, secara singkatnya Signifiant merupakan penandaan yang ditandakan. Penanda adalah
bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Significant adalah aspek material dari bahsa,
yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.

Sedangkan signifie (yang ditandakan) adalah gambaran mental, fikiran atau konsep. Signifie
adalah aspek mental dari bahasa. Tanda dan bahasa selalu mempunyai segi yaitu significant dan
signifie. Itulah mengapa Significant dan Signifie harus disandingkan menjadi satu agar suatu hal
dapat dikenali tanda. Karena suatu signifie itu sendiri tidak mungkin disampaikan atau ditangkap
lepas dari significant. Yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan demikian merupakan suatu
faktor linguistic.

Kedua, yakni bahwasannya mengenai bahasa individual dan bahasa bersama. Tanda awal dari
adanya gejala bahasa secara umum disebut dengan istilah yang bernama langage. Dalam langage
itu sendiri masih terbagi lagi menjadi dua pembahasan yakni dibedakan antara parole dan langue.
Parole dimaksudkan sebagai pemakaian bahasa yang individual yang artinya dipakai oleh
perseorangan (satu orang saja).

Meski parole tidak dipelajari dalam ilmu linguistik, namun dalam Linguistik menyelidiki unsur
lain dari langage yaitu langue. Langue dimaksudkan sebagai bahasa yang pemakaiannya milik
bersama dari suatu golongan bahasa tertentu. Sehingga akibatnya yaitu, langue melebihi semua
individu yang berbicara dengan bahasa itu.
Karya yang terkenal dari de Saussure yang berjudul Course in general Linguistic, sebenarnya
tersusun dari catatan kuliah serta catatan murid-muridnya mungkin bisa dilihat sebagai bagian
dari pemenuhan keyakinan de Saussure bahwa bahasa itu sendiri harus ditinjau ulang agar
linguistik memiliki landasan yang mantap.
Seperti yang ditunjukkan dalam buku karya berjudul Course, dalam sejarah linguistik, pendekatan
Saussure pada umumnya dianggap menentang dua pandangan kontemporer yang berpengaruh
tentang bahasa. Yang pertama adalah yang diusulkan pada tahun 1660 oleh Lancelot dan
Gramaire de port-royal, Kedua yakni karya dari Arnaud, dimana bahasa dilihat sebagai cerminan
pikiran dan didasarkan atas logika universal saja.
Tepat menurut waktu dan menelusuri waktu, bahasa dapat dipelajari menurut dua sudut sinkron
dan diskroni, sinkroni berarti “bertepatan menurut waktu” dan diakron “menelusuri waktu”.
Diskroni adalah peninjauan historis, sedangkan singkroni menunjukkan pandangan yang lepas
dari perspektif historis, sedangkan Sinkron adalah peninjauan ahistoris (keluar dari subjek
historis).

Diantara faktor-faktor yang memajukan perkembangan strukturalisme di dalam beberapa ilmu


ialah diciptakannya semiotic, ide-ide Ferdinand de Saussure dalam linguistic, ide-ide Levi Strauss
dalam etnologi, dan L.S. Vygtsky dan piaget dalam psikologi, serta tampilnaya metalogika dan
metamatika.
Bila diterapkan pada ilmu-ilmu individual, metode-metode struktural mengakibatkan akibat-
akibat positif : misalnya dalam linguistic pendekatan ini membantu membuat suatu deskripsi
tentang bahasa yang tidak tertulis, membuat sandi prasati dalam bahasa, dll. Gagasan
strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner
tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu
alam.

Anda mungkin juga menyukai