Anda di halaman 1dari 18

Teori postmodern atau postmodernism (Felluga, 2007) merupakan sebuah gerakan intelektual

yang lahir sebagai respon terhadap beberapa tema yang dikemukakan oleh kaum modern atau
modernis yang diartikulasikan pertama kali selama masa Pencerahan. Era postmodernisme
sendiri hanya dibatasi pada akhir abad 20. Beberapa ahli terkadang menyebutkan bahwa era
postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II berakhir karena adanya kekecewaan
eksistensial akibat terjadinya Holocaust.

ads

Selain itu, kelahiran postmodernisme ditempatkan di tahun 1960an ketika modernism tidak lagi
produktif. Postmodernisme tidak mewujudkan dirinya sendiri hanya terbatas pada filsafat seperti
ontologi, epistemologi, dan aksiologi atau teoretis melainkan postmodernisme adalah sebuah
konsep yang jauh lebih komprehensif yang melingkupi seni, asitektur, dan kritik.

Para ahli teori sepakat bahwa terdapat dua pengertian postmodernisme yaitu pertama,
postmodernisme sebagai reaksi terhadap estetika modernisme pada paruh pertama abad 20 dalam
arsitektur, seni, dan sastra. Dan kedua, postmodernisme sebagai reaksi terhadap tradisi
modernitas yang telah berlangsung lama selama Abad Pertengahan. Makna kedua seringkali
disebut juga dengan postmodernity atau postmodernitas karena mengacu pada banyaknya aspek
historis dan sosial postmodernisme.

Makna kedua juga terkait dengan poststrukturalisme yang menyindir penolakan terhadap budaya
Pencerahan yang borjuis dan elitis. Tanpa adanya perbedaan ini, maka postmodernisme
mungkin tidak memiliki hierarki sentral atau prinsip pengorganisasian yang jelas, yang
mewujudkan kompleksitas, kontradiksi, ambiguitas, keragaman, dan keterkaitan yang ekstrem.
Namun, ciri umumnya biasanya dianggap meliputi penolakan terhadap narasi besar, penolakan
terhadap kebenaran absolut dan universal, ketidakberadaan signified, disorientasi, penggunaan
parodi, simulasi tanpa yang asli, akhir kapitalisme, dan globalisasi. Terkait dengan signified, kita
dapat memahami lebih lanjut dalam semiotika komunikasi, teori semiotika Ferdinand De
Saussure, teori semiotika Charles Sander Peirce, dan teori semiotika Roland Barthes.

Terdapat beberapa tokoh yang dikaitkan dengan postmodernisme, diantaranya adalah Jean-
Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Linda Hutcheon, Frederic Jameson
dan lain-lain.

Pengertian
Kata postmodern berasal dari kata depan “post” (Latin klasik) dan kata akhiran “modern”
(Perancis, moderene). Secara etimologis, postmodern merujuk pada sebuah kehidupan setelah
modernisme. Secara filsafat, istilah postmodern merujuk pada dua hal yaitu ketidakpercayaan
tentang metanaratif dan akhir sejarah.

Postmodernisme sendiri memiliki banyak sekali interpretasi yang berbeda-beda, dan masing-
masing menawarkan sudut pandangnya. Untuk memahami apa itu postmodernisme, berikut
adalah beberapa pengertian postmodernisme yang diungkapkan oleh para ahli :
1. Steven Best dan Douglas Kellner menyatakan bahwa postmodernisme menggambarkan
berbagai gerakan dan artifak dalam bidang budaya yang dapat dibedakan dari berbagai
gerakan, teks, dan praktek kaum modernis.
2. Timotheus Vermeulen menyatakan bahwa istilah postmodernisme telah digunakan
selama bertahun-tahun untuk merujuk pada berbagai macam hal yaitu periodesasi sejarah,
pandangan hidup, teori filsafat, kondisi sosiologis, berakhirnya sejarah, program
emansipasi yang terkait berbagai teori feminisme menurut para ahli dan komunikasi
gender, kritik budaya, relativisme moral, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Vermeulen
menjelaskan bahwa isilah postmodernisme kerapkali menggambarkan berkurangnya
sebuah pengaruh, sebuah fenomena, kritik karya seni, atau juga mengaitkannya dengan
postcolonialism.
3. Lucaites dan Condit (1999), postmodern dipandang sebagai bagian dari kondisi historis
yang lebih luas yang berfungsi sebagai respon terhadap konsep modern, dan memiliki
hubungan dalam filsafat, seni, arsitektur, komunikasi, dan bidang lainnya.
Postmodernisme melibatkan navigasi sebuah dunia dimana struktur buaya dipecah karena
kurangnya legitimasi. Formula yang berlaku secara universal atau undang-undang
penutup yang dirancang untuk tujuan mendeskripsikan dan mengendalikan dunia adalah
penggunaan minimal. Istilah postmodern pertama kali digunakan dalam bidang arsitektur
dan kritik seni kurang lebih selama dua dekade (1950an-1960an). Istilah postmodern
kemudian masuk ke dalam ranah ilmu sosial pada sekitar tahun 1970an dimana serangan
awal berada pada rasionalitas dan positivisme.
4. Matthew Flisfeder (2017) menyatakan bahwa postmodernisme adalah sebuah teori
budaya yang membandingkan beberapa elemen, yaitu suatu pendekatan budaya dan
sejarah melalui sebuah kritik metanaratif seperti Marxisme dan psikoanalisis;
menekankan pada representasi budaya dalam media maupun lintas media; perhatian pada
media baru yang menggambarkan beberapa komplikasi dari pengalaman kita tentang
realitas; menantang subyektivitas konsep-konsep tradisional dan identitas khususnya
yang terkait dengan identitas manusia dan sifat manusia; dan menekankan pluralisme
dalam ras, gender, jenis kelamin, dan kelas sosial.
5. Melford Spiro (1996) mendefinisikan postmodernisme sebagai kritik kaum postmodern
tentang sains yang terdiri dari argumen yang saling terakit satu sama lain, yaitu
epistemologis dan ideologis yang didasarkan pada subyektivitas. Subyektivitas obyek
manusia menurut argument epistemologis tidak bisa menjadi sains dan bagaimanapun
juga subyektivitas subyek manusia menghalangi kemungkinan sains menemukan
kebenaran obyektif. Kedua, obyektivitas adalah ilusi, sains sesuai dengan argumen
ideologis menumbangkan kelompok tertindas, wanita, etnis, dan bangsa dunia ketiga.
6. Dictionary of Mass Communication mendefinisikan postmodernisme sebagai sebuah
teori, paradigma atau perspektif (tergantung sudut pandang pengamat) yang menegaskan
bahwa modernisme (dengan penekanan pada rasionalitas ilmiah, empiris, realisme,
kebenaran obyektif, dan kemajuan) bersifat hegemonis, sedang dalam kemunduran, dan
digantikan oleh konsepsi relativistis dunia, satu dimana kebenaran dan pengetahuan
bersifat subyektif dan relatif, dan realitas dibangun daripada diberikan oleh media massa
dan simbol-simbol.
7. Dictionary of Media mendefinisikan postmodernisme sebagai gerakan dalam filsafat dan
seni menolak naratif tradisional dan struktur estetika.
8. Oxford English Dictionary mendefinisikan postmodernisme sebagai setelah, atau
sesuatu yang datang setelah modern.

Headline

17 Alasan Perlunya Psikologi Dalam Komunikasi

11:17:00 pm

Tuesday 27th, February 2018 /

10 October,2017

 Home
 Dasar Komunikasi
 Jenis-jenis Komunikasi
 Teori Komunikasi
 Manajemen Komunikasi

Sponsors Link

Home » Teori Komunikasi » Teori Postmodern – Pengertian – Kritik

Teori Postmodern – Pengertian – Kritik


Sponsors Link

Teori postmodern atau postmodernism (Felluga, 2007) merupakan sebuah gerakan intelektual
yang lahir sebagai respon terhadap beberapa tema yang dikemukakan oleh kaum modern atau
modernis yang diartikulasikan pertama kali selama masa Pencerahan. Era postmodernisme
sendiri hanya dibatasi pada akhir abad 20. Beberapa ahli terkadang menyebutkan bahwa era
postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II berakhir karena adanya kekecewaan
eksistensial akibat terjadinya Holocaust.

ads

Selain itu, kelahiran postmodernisme ditempatkan di tahun 1960an ketika modernism tidak lagi
produktif. Postmodernisme tidak mewujudkan dirinya sendiri hanya terbatas pada filsafat seperti
ontologi, epistemologi, dan aksiologi atau teoretis melainkan postmodernisme adalah sebuah
konsep yang jauh lebih komprehensif yang melingkupi seni, asitektur, dan kritik.
Para ahli teori sepakat bahwa terdapat dua pengertian postmodernisme yaitu pertama,
postmodernisme sebagai reaksi terhadap estetika modernisme pada paruh pertama abad 20 dalam
arsitektur, seni, dan sastra. Dan kedua, postmodernisme sebagai reaksi terhadap tradisi
modernitas yang telah berlangsung lama selama Abad Pertengahan. Makna kedua seringkali
disebut juga dengan postmodernity atau postmodernitas karena mengacu pada banyaknya aspek
historis dan sosial postmodernisme.

Makna kedua juga terkait dengan poststrukturalisme yang menyindir penolakan terhadap budaya
Pencerahan yang borjuis dan elitis. Tanpa adanya perbedaan ini, maka postmodernisme
mungkin tidak memiliki hierarki sentral atau prinsip pengorganisasian yang jelas, yang
mewujudkan kompleksitas, kontradiksi, ambiguitas, keragaman, dan keterkaitan yang ekstrem.
Namun, ciri umumnya biasanya dianggap meliputi penolakan terhadap narasi besar, penolakan
terhadap kebenaran absolut dan universal, ketidakberadaan signified, disorientasi, penggunaan
parodi, simulasi tanpa yang asli, akhir kapitalisme, dan globalisasi. Terkait dengan signified, kita
dapat memahami lebih lanjut dalam semiotika komunikasi, teori semiotika Ferdinand De
Saussure, teori semiotika Charles Sander Peirce, dan teori semiotika Roland Barthes.

Terdapat beberapa tokoh yang dikaitkan dengan postmodernisme, diantaranya adalah Jean-
Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Linda Hutcheon, Frederic Jameson
dan lain-lain.

Pengertian
Kata postmodern berasal dari kata depan “post” (Latin klasik) dan kata akhiran “modern”
(Perancis, moderene). Secara etimologis, postmodern merujuk pada sebuah kehidupan setelah
modernisme. Secara filsafat, istilah postmodern merujuk pada dua hal yaitu ketidakpercayaan
tentang metanaratif dan akhir sejarah.

Postmodernisme sendiri memiliki banyak sekali interpretasi yang berbeda-beda, dan masing-
masing menawarkan sudut pandangnya. Untuk memahami apa itu postmodernisme, berikut
adalah beberapa pengertian postmodernisme yang diungkapkan oleh para ahli :

1. Steven Best dan Douglas Kellner menyatakan bahwa postmodernisme menggambarkan


berbagai gerakan dan artifak dalam bidang budaya yang dapat dibedakan dari berbagai gerakan,
teks, dan praktek kaum modernis.
2. Timotheus Vermeulen menyatakan bahwa istilah postmodernisme telah digunakan selama
bertahun-tahun untuk merujuk pada berbagai macam hal yaitu periodesasi sejarah, pandangan
hidup, teori filsafat, kondisi sosiologis, berakhirnya sejarah, program emansipasi yang terkait
berbagai teori feminisme menurut para ahli dan komunikasi gender, kritik budaya, relativisme
moral, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Vermeulen menjelaskan bahwa isilah postmodernisme
kerapkali menggambarkan berkurangnya sebuah pengaruh, sebuah fenomena, kritik karya seni,
atau juga mengaitkannya dengan postcolonialism.
3. Lucaites dan Condit (1999), postmodern dipandang sebagai bagian dari kondisi historis yang
lebih luas yang berfungsi sebagai respon terhadap konsep modern, dan memiliki hubungan
dalam filsafat, seni, arsitektur, komunikasi, dan bidang lainnya. Postmodernisme melibatkan
navigasi sebuah dunia dimana struktur buaya dipecah karena kurangnya legitimasi. Formula
yang berlaku secara universal atau undang-undang penutup yang dirancang untuk tujuan
mendeskripsikan dan mengendalikan dunia adalah penggunaan minimal. Istilah postmodern
pertama kali digunakan dalam bidang arsitektur dan kritik seni kurang lebih selama dua dekade
(1950an-1960an). Istilah postmodern kemudian masuk ke dalam ranah ilmu sosial pada sekitar
tahun 1970an dimana serangan awal berada pada rasionalitas dan positivisme.
4. Matthew Flisfeder (2017) menyatakan bahwa postmodernisme adalah sebuah teori budaya
yang membandingkan beberapa elemen, yaitu suatu pendekatan budaya dan sejarah melalui
sebuah kritik metanaratif seperti Marxisme dan psikoanalisis; menekankan pada representasi
budaya dalam media maupun lintas media; perhatian pada media baru yang menggambarkan
beberapa komplikasi dari pengalaman kita tentang realitas; menantang subyektivitas konsep-
konsep tradisional dan identitas khususnya yang terkait dengan identitas manusia dan sifat
manusia; dan menekankan pluralisme dalam ras, gender, jenis kelamin, dan kelas sosial.
5. Melford Spiro (1996) mendefinisikan postmodernisme sebagai kritik kaum postmodern tentang
sains yang terdiri dari argumen yang saling terakit satu sama lain, yaitu epistemologis dan
ideologis yang didasarkan pada subyektivitas. Subyektivitas obyek manusia menurut argument
epistemologis tidak bisa menjadi sains dan bagaimanapun juga subyektivitas subyek manusia
menghalangi kemungkinan sains menemukan kebenaran obyektif. Kedua, obyektivitas adalah
ilusi, sains sesuai dengan argumen ideologis menumbangkan kelompok tertindas, wanita, etnis,
dan bangsa dunia ketiga.
6. Dictionary of Mass Communication mendefinisikan postmodernisme sebagai sebuah teori,
paradigma atau perspektif (tergantung sudut pandang pengamat) yang menegaskan bahwa
modernisme (dengan penekanan pada rasionalitas ilmiah, empiris, realisme, kebenaran
obyektif, dan kemajuan) bersifat hegemonis, sedang dalam kemunduran, dan digantikan oleh
konsepsi relativistis dunia, satu dimana kebenaran dan pengetahuan bersifat subyektif dan
relatif, dan realitas dibangun daripada diberikan oleh media massa dan simbol-simbol.
7. Dictionary of Media mendefinisikan postmodernisme sebagai gerakan dalam filsafat dan seni
menolak naratif tradisional dan struktur estetika.
8. Oxford English Dictionary mendefinisikan postmodernisme sebagai setelah, atau sesuatu yang
datang setelah modern.

Sponsors Link

A. Sejarah Singkat Istilah Postmodernisme


Istilah postmodern pertama kali digunakan pada kisaran tahun 1870an oleh John Watkins
Chapman, seorang pelukis berkebangsaan Inggris, guna merujuk pada lukisan postmodern yakni
gaya melukis yang jauh lebih megah daripada lukisan impresionis Perancis. Kemudian pada
tahun 1917, istilah postmodern muncul dalam sebuah buku berjudul Die Krisis der Eropaischen
Kultur karya Rudolf Pannwitz untuk menggambarkan nihilisme dan jatuhnya nilai-nilai budaya
Eropa kontemporer. Selanjutnya, pada tahun 1934, Frederico de Onis menggunakan kata
postmodernisme sebagai reaksi melawan puisi kaum modernis.

Tahun 1939, sejarawan Inggris yang bernama Arnold Toynbee mengadopsi istilah
postmodernisme dengan arti yang sama sekali berbeda yaitu akhir dari tatanan borjuis Barat dan
modern dalam periode dua atau tiga abad terakhir. Kemudian pada tahun 1945, sejarawan seni
Australia yang bernama Bernard Smith mengemukakan istilah postmodernisme untuk memberi
kesan adanya gerakan realisme sosial dalam melukis yang melampaui abstraksi. Selanjutnya,
pada tahun 1950 di Amerika, Charles Olson menggunakan istilah postmodern dalam puisi. Dan
baru pada tahun 1960an dan 1970an istilah ini lebih dipopulerkan oleh para teoretikus seperti
Leslie Fielder dan Ihab Hasan.

B. Makna Postmodernisme
Sebagaimana telah disebut sebelumnya bahwa postmodernisme memiliki dua makna
yaitu pertama, postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme estetis pada paruh pertama
abad 20 dalam arsitektur, seni, dan sastra. Dan kedua, postmodernisme sebagai reaksi terhadap
tradisi modernitas yang telah berlangsung lama selama Abad Pertengahan.

 Postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme estetis

Postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme estetis muncul segera setelah Perang Dunia
II dan masih mengusung sebagian fitur estetika modernisme abad 20. Sebagian ahli berpendapat
bahwa postmodernisme pada dasarnya adalah kelanjutan dari modernisme dan bukan merupakan
gerakan yang terpisah. Namun, terdapat perbedaan mendasar yang harus dipahami yaitu bahwa
modernisme estetis menghadirkan fragmentasi atau sesuatu yang harus dikeluhkan. Sementara
postmodernisme menghadirkan perayaan atau sesuatu yang harus dirayakan.

ads

Postmdernisme dalam hal ini banyak dibahas oleh para ahli teori seperti Leslie Fielder dan Ihab Hasan di
tahun 1960an dan 1970an. Ihab Hasan secara bertahap memperluas pembahasannya dengan kritik
umum tentang budaya Barat. Ahli lainnya seperti Baudrillard, Jameson, dan Hutcheson kemudian
bergabung dalam diskusi tentang postmodernisme dalam makna yang pertama dan makna lainnya.

 Postmodernisme sebagai reaksi terhadap tradisi modernitas

Hingga tahun 1970an, diskusi tentang postmodernisme pada umumnya terbatas pada pengertian
awal postmodernisme yaitu postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernism estetika. Pada
tahun 1980, Jurgen Habermas melalui ceramahnya yang bertajuk Modernity : An Unfinished
Project telah membantu membawa perubahan dalam diskusi postmodernisme dalam pengertian
awal (yaitu postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernism estetika) terhadap
postmodernisme dalam pengertian kedua (yaitu postmodernisme sebagai reaksi terhadap tradisi
modernitas atau postmodernitas).

Perdebatan terkait modernitas dan postmodernitas sudah dimulai dengan keterlibatan beberapa
kritikus seperti Martin Heidegger, Jean-Francois Lyotard, Michel Foucault, Richard Rorty,
dan Jacques Derrida yang mendukung postmodernitas. Michel Foucault, seperti kita tahu
adalah salah seorang ahli analisis wacana yang mempengaruhi beberapa ahli analisis wacana
kritis seperti Teun A. van Dijk, Norman Fairclough, dan Ruth Wodak. Para postmodernis
tersebut berpendapat bahwa tradisi modernitas era Pencerahan sedang berada dalam krisis
karena munculnya masalah seperti keterasingan dan eksploitasi dalam tradisi modernitas. Ketika
Habermas mencoba untuk membela modernitas sebagai proyek yang belum selesai, seharusnya
kita tidak meninggalkannya melainkan mendorong orang-orang yang medukung postmodernitas
untuk bereaksi. Sejak saat itu, titik berat postmodernitas sebagai aspek postmoderisme yang lebih
penting terus mengalami pembahasan di berbagai literatur.

Habermas menjadi sasaran kritik setelah Jean-Francois Lyotard menerbitkan The Postmodern
Condition yang dipublikasikan pada tahun 1984. Lyotard mendeklarasikan berakhirnya era
Pencerahan dan menolak tradisi narasi besar atau metanaratif yaitu sebuah teori universal
totalistik yang menjanjikan untuk menjelaskan semua masalah dengan satu rangkaian gagasan.

C. Kaitan Antara Dua Makna Postmodernisme

Jika menilik pada dua makna postmodernisme yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat
dikatakan bahwa kedua makna tersebut merupakan bentuk reaksi terhadap dua aspek modernism
yang berbeda. Namun sejatinya, kedua makna tersebut bersifat koheren dan tidak terpisah
meskipun keduanya menggambarkan dua bentuk reaksi yang berbeda terhadap dua faset
modernism.

Dilihat dari segi waktu, kedua makna postmodernisme tersebut dimulai setelah berkecamuknya
Perang Dunia II. Keduanya sepakat dalam berbagai hal dan berinteraksi. Salah satu contoh
interaksi adalah referensi yang dibuat oleh Foucault dan Derrida untuk eksperimen yang
dilakukan oleh artis Belgia bernama Rene Magritte dengan signification. Atas saran Magritte,
mereka memberikan pemahaman aspiratif bahwa betapapun realistisnya seniman dapat
menggambarkan suatu item. Verisimilitude adalah tetap merupakan sebuah strategis artistik
yaitu hanya representasi dari suatu benda dan bukan benda itu sendiri. Interaksi diantara kedua
makna postmodernisme tersebut menghasilkan sebuah konvergensi dari keduanya.

Kini, beberapa karakteristik umum postmodernisme secara keseluruhan mengikuti beberapa poin
dalam istilah yang lebih populer, yaitu :

 Tidak ada kebenaran absolut.


 Tidak ada standar etis absolut karenanya penyebab feminisme dan homoseksual juga harus
dipahami.
 Tidak ada agama absolut. Hal ini mengandung arti mempromosikan inklusivisme religius yang
biasanya bersandar pada agama Era Baru.
 Globalisasi dalam artian tidak ada bangsa yang absolut. Batas-batas nasional tidak menghalangi
komunikasi antar manusia.
 Pro-lingkungan dalam artian masyarakat Barat disalahkan karena adanya kerusakan lingkungan.

Kritik terhadap Postmodernisme


Postmodernisme telah menarik para intelektual untuk memberikan kritiknya. Jika
diklasifikasikan, maka terdapat 4 (empat) kritik terhadap postmodern yaitu :

1. Kritik yang diberikan berdasarkan sudut pandang orang yang menolak konsep modernism.
2. Kritik yang diberikan oleh mereka yang menjunjung tinggi modernism yang juga percaya
postmodernisme kurang memiliki karakteristik penting dari proyek modern.
3. Kritik dalam masyarakat postmodern yang mencari perbaikan atau perubahan berdasarkan
pemahaman mereka tentang postmodernisme.
4. Kritik yang diberikan oleh mereka yang percaya bahwa postmodernisme hanyalah sebuah
proses yang lewat dan bukan merupakan pertumbuhan dalam organisasi sosial.

Postmodernisme dan Komunikasi

Sejak kedatangannya di tahun 1960an, postmodernisme telah membentuk kembali komunikasi


manusia. Menurut Sandra Braman (2003), komunikasi postmodern digunakan untuk
menggambarkan bentuk komunikasi, pesan, gaya, panduan, serta teknologi dan macam-macam
media komunikasi yang digunakan dalam dunia postmodernis. Hal ini tentunya dapat kita
pahami lebih jauh melalui perjalanan sejarah perkembangan teknologi komunikasi, sejarah
perkembangan alat komunikasi, dan sejarah perkembangan teknologi informasi.

Headline

8 Contoh Penerapan Komunikasi dalam Lingkungan Keluarga

11:17:32 pm

Tuesday 27th, February 2018 /

10 October,2017

 Home
 Dasar Komunikasi
 Jenis-jenis Komunikasi
 Teori Komunikasi
 Manajemen Komunikasi

Sponsors Link

Home » Teori Komunikasi » Teori Postmodern – Pengertian – Kritik

Teori Postmodern – Pengertian – Kritik


Sponsors Link

Teori postmodern atau postmodernism (Felluga, 2007) merupakan sebuah gerakan intelektual
yang lahir sebagai respon terhadap beberapa tema yang dikemukakan oleh kaum modern atau
modernis yang diartikulasikan pertama kali selama masa Pencerahan. Era postmodernisme
sendiri hanya dibatasi pada akhir abad 20. Beberapa ahli terkadang menyebutkan bahwa era
postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II berakhir karena adanya kekecewaan
eksistensial akibat terjadinya Holocaust.

ads

Selain itu, kelahiran postmodernisme ditempatkan di tahun 1960an ketika modernism tidak lagi
produktif. Postmodernisme tidak mewujudkan dirinya sendiri hanya terbatas pada filsafat seperti
ontologi, epistemologi, dan aksiologi atau teoretis melainkan postmodernisme adalah sebuah
konsep yang jauh lebih komprehensif yang melingkupi seni, asitektur, dan kritik.

Para ahli teori sepakat bahwa terdapat dua pengertian postmodernisme yaitu pertama,
postmodernisme sebagai reaksi terhadap estetika modernisme pada paruh pertama abad 20 dalam
arsitektur, seni, dan sastra. Dan kedua, postmodernisme sebagai reaksi terhadap tradisi
modernitas yang telah berlangsung lama selama Abad Pertengahan. Makna kedua seringkali
disebut juga dengan postmodernity atau postmodernitas karena mengacu pada banyaknya aspek
historis dan sosial postmodernisme.

Makna kedua juga terkait dengan poststrukturalisme yang menyindir penolakan terhadap budaya
Pencerahan yang borjuis dan elitis. Tanpa adanya perbedaan ini, maka postmodernisme
mungkin tidak memiliki hierarki sentral atau prinsip pengorganisasian yang jelas, yang
mewujudkan kompleksitas, kontradiksi, ambiguitas, keragaman, dan keterkaitan yang ekstrem.
Namun, ciri umumnya biasanya dianggap meliputi penolakan terhadap narasi besar, penolakan
terhadap kebenaran absolut dan universal, ketidakberadaan signified, disorientasi, penggunaan
parodi, simulasi tanpa yang asli, akhir kapitalisme, dan globalisasi. Terkait dengan signified, kita
dapat memahami lebih lanjut dalam semiotika komunikasi, teori semiotika Ferdinand De
Saussure, teori semiotika Charles Sander Peirce, dan teori semiotika Roland Barthes.

Terdapat beberapa tokoh yang dikaitkan dengan postmodernisme, diantaranya adalah Jean-
Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Linda Hutcheon, Frederic Jameson
dan lain-lain.

Pengertian
Kata postmodern berasal dari kata depan “post” (Latin klasik) dan kata akhiran “modern”
(Perancis, moderene). Secara etimologis, postmodern merujuk pada sebuah kehidupan setelah
modernisme. Secara filsafat, istilah postmodern merujuk pada dua hal yaitu ketidakpercayaan
tentang metanaratif dan akhir sejarah.

Postmodernisme sendiri memiliki banyak sekali interpretasi yang berbeda-beda, dan masing-
masing menawarkan sudut pandangnya. Untuk memahami apa itu postmodernisme, berikut
adalah beberapa pengertian postmodernisme yang diungkapkan oleh para ahli :

1. Steven Best dan Douglas Kellner menyatakan bahwa postmodernisme menggambarkan


berbagai gerakan dan artifak dalam bidang budaya yang dapat dibedakan dari berbagai gerakan,
teks, dan praktek kaum modernis.
2. Timotheus Vermeulen menyatakan bahwa istilah postmodernisme telah digunakan selama
bertahun-tahun untuk merujuk pada berbagai macam hal yaitu periodesasi sejarah, pandangan
hidup, teori filsafat, kondisi sosiologis, berakhirnya sejarah, program emansipasi yang terkait
berbagai teori feminisme menurut para ahli dan komunikasi gender, kritik budaya, relativisme
moral, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Vermeulen menjelaskan bahwa isilah postmodernisme
kerapkali menggambarkan berkurangnya sebuah pengaruh, sebuah fenomena, kritik karya seni,
atau juga mengaitkannya dengan postcolonialism.
3. Lucaites dan Condit (1999), postmodern dipandang sebagai bagian dari kondisi historis yang
lebih luas yang berfungsi sebagai respon terhadap konsep modern, dan memiliki hubungan
dalam filsafat, seni, arsitektur, komunikasi, dan bidang lainnya. Postmodernisme melibatkan
navigasi sebuah dunia dimana struktur buaya dipecah karena kurangnya legitimasi. Formula
yang berlaku secara universal atau undang-undang penutup yang dirancang untuk tujuan
mendeskripsikan dan mengendalikan dunia adalah penggunaan minimal. Istilah postmodern
pertama kali digunakan dalam bidang arsitektur dan kritik seni kurang lebih selama dua dekade
(1950an-1960an). Istilah postmodern kemudian masuk ke dalam ranah ilmu sosial pada sekitar
tahun 1970an dimana serangan awal berada pada rasionalitas dan positivisme.
4. Matthew Flisfeder (2017) menyatakan bahwa postmodernisme adalah sebuah teori budaya
yang membandingkan beberapa elemen, yaitu suatu pendekatan budaya dan sejarah melalui
sebuah kritik metanaratif seperti Marxisme dan psikoanalisis; menekankan pada representasi
budaya dalam media maupun lintas media; perhatian pada media baru yang menggambarkan
beberapa komplikasi dari pengalaman kita tentang realitas; menantang subyektivitas konsep-
konsep tradisional dan identitas khususnya yang terkait dengan identitas manusia dan sifat
manusia; dan menekankan pluralisme dalam ras, gender, jenis kelamin, dan kelas sosial.
5. Melford Spiro (1996) mendefinisikan postmodernisme sebagai kritik kaum postmodern tentang
sains yang terdiri dari argumen yang saling terakit satu sama lain, yaitu epistemologis dan
ideologis yang didasarkan pada subyektivitas. Subyektivitas obyek manusia menurut argument
epistemologis tidak bisa menjadi sains dan bagaimanapun juga subyektivitas subyek manusia
menghalangi kemungkinan sains menemukan kebenaran obyektif. Kedua, obyektivitas adalah
ilusi, sains sesuai dengan argumen ideologis menumbangkan kelompok tertindas, wanita, etnis,
dan bangsa dunia ketiga.
6. Dictionary of Mass Communication mendefinisikan postmodernisme sebagai sebuah teori,
paradigma atau perspektif (tergantung sudut pandang pengamat) yang menegaskan bahwa
modernisme (dengan penekanan pada rasionalitas ilmiah, empiris, realisme, kebenaran
obyektif, dan kemajuan) bersifat hegemonis, sedang dalam kemunduran, dan digantikan oleh
konsepsi relativistis dunia, satu dimana kebenaran dan pengetahuan bersifat subyektif dan
relatif, dan realitas dibangun daripada diberikan oleh media massa dan simbol-simbol.
7. Dictionary of Media mendefinisikan postmodernisme sebagai gerakan dalam filsafat dan seni
menolak naratif tradisional dan struktur estetika.
8. Oxford English Dictionary mendefinisikan postmodernisme sebagai setelah, atau sesuatu yang
datang setelah modern.

Sponsors Link

A. Sejarah Singkat Istilah Postmodernisme


Istilah postmodern pertama kali digunakan pada kisaran tahun 1870an oleh John Watkins
Chapman, seorang pelukis berkebangsaan Inggris, guna merujuk pada lukisan postmodern yakni
gaya melukis yang jauh lebih megah daripada lukisan impresionis Perancis. Kemudian pada
tahun 1917, istilah postmodern muncul dalam sebuah buku berjudul Die Krisis der Eropaischen
Kultur karya Rudolf Pannwitz untuk menggambarkan nihilisme dan jatuhnya nilai-nilai budaya
Eropa kontemporer. Selanjutnya, pada tahun 1934, Frederico de Onis menggunakan kata
postmodernisme sebagai reaksi melawan puisi kaum modernis.

Tahun 1939, sejarawan Inggris yang bernama Arnold Toynbee mengadopsi istilah
postmodernisme dengan arti yang sama sekali berbeda yaitu akhir dari tatanan borjuis Barat dan
modern dalam periode dua atau tiga abad terakhir. Kemudian pada tahun 1945, sejarawan seni
Australia yang bernama Bernard Smith mengemukakan istilah postmodernisme untuk memberi
kesan adanya gerakan realisme sosial dalam melukis yang melampaui abstraksi. Selanjutnya,
pada tahun 1950 di Amerika, Charles Olson menggunakan istilah postmodern dalam puisi. Dan
baru pada tahun 1960an dan 1970an istilah ini lebih dipopulerkan oleh para teoretikus seperti
Leslie Fielder dan Ihab Hasan.

B. Makna Postmodernisme
Sebagaimana telah disebut sebelumnya bahwa postmodernisme memiliki dua makna
yaitu pertama, postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme estetis pada paruh pertama
abad 20 dalam arsitektur, seni, dan sastra. Dan kedua, postmodernisme sebagai reaksi terhadap
tradisi modernitas yang telah berlangsung lama selama Abad Pertengahan.

 Postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme estetis

Postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme estetis muncul segera setelah Perang Dunia
II dan masih mengusung sebagian fitur estetika modernisme abad 20. Sebagian ahli berpendapat
bahwa postmodernisme pada dasarnya adalah kelanjutan dari modernisme dan bukan merupakan
gerakan yang terpisah. Namun, terdapat perbedaan mendasar yang harus dipahami yaitu bahwa
modernisme estetis menghadirkan fragmentasi atau sesuatu yang harus dikeluhkan. Sementara
postmodernisme menghadirkan perayaan atau sesuatu yang harus dirayakan.

ads

Postmdernisme dalam hal ini banyak dibahas oleh para ahli teori seperti Leslie Fielder dan Ihab Hasan di
tahun 1960an dan 1970an. Ihab Hasan secara bertahap memperluas pembahasannya dengan kritik
umum tentang budaya Barat. Ahli lainnya seperti Baudrillard, Jameson, dan Hutcheson kemudian
bergabung dalam diskusi tentang postmodernisme dalam makna yang pertama dan makna lainnya.

 Postmodernisme sebagai reaksi terhadap tradisi modernitas

Hingga tahun 1970an, diskusi tentang postmodernisme pada umumnya terbatas pada pengertian
awal postmodernisme yaitu postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernism estetika. Pada
tahun 1980, Jurgen Habermas melalui ceramahnya yang bertajuk Modernity : An Unfinished
Project telah membantu membawa perubahan dalam diskusi postmodernisme dalam pengertian
awal (yaitu postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernism estetika) terhadap
postmodernisme dalam pengertian kedua (yaitu postmodernisme sebagai reaksi terhadap tradisi
modernitas atau postmodernitas).

Perdebatan terkait modernitas dan postmodernitas sudah dimulai dengan keterlibatan beberapa
kritikus seperti Martin Heidegger, Jean-Francois Lyotard, Michel Foucault, Richard Rorty,
dan Jacques Derrida yang mendukung postmodernitas. Michel Foucault, seperti kita tahu
adalah salah seorang ahli analisis wacana yang mempengaruhi beberapa ahli analisis wacana
kritis seperti Teun A. van Dijk, Norman Fairclough, dan Ruth Wodak. Para postmodernis
tersebut berpendapat bahwa tradisi modernitas era Pencerahan sedang berada dalam krisis
karena munculnya masalah seperti keterasingan dan eksploitasi dalam tradisi modernitas. Ketika
Habermas mencoba untuk membela modernitas sebagai proyek yang belum selesai, seharusnya
kita tidak meninggalkannya melainkan mendorong orang-orang yang medukung postmodernitas
untuk bereaksi. Sejak saat itu, titik berat postmodernitas sebagai aspek postmoderisme yang lebih
penting terus mengalami pembahasan di berbagai literatur.

Habermas menjadi sasaran kritik setelah Jean-Francois Lyotard menerbitkan The Postmodern
Condition yang dipublikasikan pada tahun 1984. Lyotard mendeklarasikan berakhirnya era
Pencerahan dan menolak tradisi narasi besar atau metanaratif yaitu sebuah teori universal
totalistik yang menjanjikan untuk menjelaskan semua masalah dengan satu rangkaian gagasan.

C. Kaitan Antara Dua Makna Postmodernisme

Jika menilik pada dua makna postmodernisme yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat
dikatakan bahwa kedua makna tersebut merupakan bentuk reaksi terhadap dua aspek modernism
yang berbeda. Namun sejatinya, kedua makna tersebut bersifat koheren dan tidak terpisah
meskipun keduanya menggambarkan dua bentuk reaksi yang berbeda terhadap dua faset
modernism.

Dilihat dari segi waktu, kedua makna postmodernisme tersebut dimulai setelah berkecamuknya
Perang Dunia II. Keduanya sepakat dalam berbagai hal dan berinteraksi. Salah satu contoh
interaksi adalah referensi yang dibuat oleh Foucault dan Derrida untuk eksperimen yang
dilakukan oleh artis Belgia bernama Rene Magritte dengan signification. Atas saran Magritte,
mereka memberikan pemahaman aspiratif bahwa betapapun realistisnya seniman dapat
menggambarkan suatu item. Verisimilitude adalah tetap merupakan sebuah strategis artistik
yaitu hanya representasi dari suatu benda dan bukan benda itu sendiri. Interaksi diantara kedua
makna postmodernisme tersebut menghasilkan sebuah konvergensi dari keduanya.

Kini, beberapa karakteristik umum postmodernisme secara keseluruhan mengikuti beberapa poin
dalam istilah yang lebih populer, yaitu :

 Tidak ada kebenaran absolut.


 Tidak ada standar etis absolut karenanya penyebab feminisme dan homoseksual juga harus
dipahami.
 Tidak ada agama absolut. Hal ini mengandung arti mempromosikan inklusivisme religius yang
biasanya bersandar pada agama Era Baru.
 Globalisasi dalam artian tidak ada bangsa yang absolut. Batas-batas nasional tidak menghalangi
komunikasi antar manusia.
 Pro-lingkungan dalam artian masyarakat Barat disalahkan karena adanya kerusakan lingkungan.

Kritik terhadap Postmodernisme


Postmodernisme telah menarik para intelektual untuk memberikan kritiknya. Jika
diklasifikasikan, maka terdapat 4 (empat) kritik terhadap postmodern yaitu :

1. Kritik yang diberikan berdasarkan sudut pandang orang yang menolak konsep modernism.
2. Kritik yang diberikan oleh mereka yang menjunjung tinggi modernism yang juga percaya
postmodernisme kurang memiliki karakteristik penting dari proyek modern.
3. Kritik dalam masyarakat postmodern yang mencari perbaikan atau perubahan berdasarkan
pemahaman mereka tentang postmodernisme.
4. Kritik yang diberikan oleh mereka yang percaya bahwa postmodernisme hanyalah sebuah
proses yang lewat dan bukan merupakan pertumbuhan dalam organisasi sosial.

Postmodernisme dan Komunikasi

Sejak kedatangannya di tahun 1960an, postmodernisme telah membentuk kembali komunikasi


manusia. Menurut Sandra Braman (2003), komunikasi postmodern digunakan untuk
menggambarkan bentuk komunikasi, pesan, gaya, panduan, serta teknologi dan macam-macam
media komunikasi yang digunakan dalam dunia postmodernis. Hal ini tentunya dapat kita
pahami lebih jauh melalui perjalanan sejarah perkembangan teknologi komunikasi, sejarah
perkembangan alat komunikasi, dan sejarah perkembangan teknologi informasi.

Sponsors Link

Komunikasi postmodern bersifat non tradisional sehingga disebut juga sebagai masyarakat
informasi. Asal muasal komunikasi postmodern terkait dengan perkembangan teori komunikasi. Jika
berbicara tentang perkembangan teori komunikasi maka tidak akan terlepas dari sejarah perkembangan
ilmu komunikasi sendiri. Sebagai teori, komunikasi mempelajari proses teknis informasi dan proses
komunikasi manusia misalnya terkait dengan proses komunikasi efektif (contohnya adalah proses
komunikasi interpersonal). Proses komunikasi manusia berlangsung melalui tahap-tahap komunikasi dan
didukung oleh berbagai unsur komunikasi atau komponen-komponen komunikasi atau elemen-elemen
komunikasi. Ketiadaan salah satu unsur komunikasi dapat menyebabkan tidak tercapainya komunikasi
yang efektif. Proses komunikasi efektif juga ditunjang oleh faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi
dan hambatan-hambatan komunikasi.

Adapun beberapa teori komunikasi yang telah kita pahami diantaranya adalah teori komunikasi
intrapersonal, teori komunikasi interpersonal, teori komunikasi massa termasuk didalamnya
teori efek media massa, teori komunikasi kelompok menurut para ahli, dan teori komunikasi
organisasi menurut para ahli.
Manfaat Mempelajari Teori Postmodern

Mempelajari teori postmodern dapat memberikan berbagai manfaat, diantaranya adalah kita
dapat memahami pengertian postmodernisme melalui perjalanan sejarah perkembangan istilah
postmodernisme dan kritik yang diberikan oleh para ahli. Selain itu, kita juga dapat memahami
secara singkat kaitan postmodernisme dengan komunikasi.

Demikianlah ulasan singkat tentang teori postmodern yang meliputi pengertian serta kritik yang
disampaikan oleh para ahli. Semoga dapat memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan kita
tentang teori postmodern dan kaitannya dengan ilmu komunikasi.

Sgfdgjb

Kehidupan masyarakat dengan segenap realitas sosial yang menyertainya begitu dinamis dan
sporadis. Masyarakat tidak pernah berada dalam suatu kondisi yang stagnan dari waktu ke
waktu, begitu pula dengan realitas sosial yang terus mengalami modifikasi akibat berbagai
produk budaya yang muncul sebagai reaksi dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan yang mampu melampaui realita itu sendiri. Era modernisme yang beberapa
tahun terakhir lalu sempat menjadi standar dari basis setiap kehidupan masyarakat yang maju
dan rasional pada akhirnya justru memunculkan suatu kondisi masyarakat yang sporadis yang
penuh dengan manipulasi tanda yang dicirikan dengan ketidakstabilan makna akan segala
sesuatu.

Ketidaksabilan makna dan tanda yang ditampilkan melalui bahasa lewat media massa yang terus
berkembang seiring dengan kemajuan teknologi menyebabkan segala sesuatu menjadi tidak
seimbang dan tidak bisa dipercaya karena bahasa tidak lagi bersifat deskriptif kualitatif
melainkan cenderung melebih-lebihkan untuk memantapkan image tertentu dari sebuah produk
barang dan jasa. Sehingga pada akhirnya produk barang dan jasa menjadi objek yang sarat akan
tanda dan makna.

Kondisi ini pada satu titik menyebabkan masyarakat postmodern begitu identik dengan
masyarakat konsumsi karena iklan-iklan di media massa secara terus menerus mengkontruksi
bagaimana segala sesuatu di dalam kehidupan harus berjalan sehingga dapat dikatakan ideal,
maka berbagai produk yang ditawarkan melalui iklan pada dasarnya tidaklah ditawarkan untuk
memenuhi kebutuhan yang esensial bagi individu sebagai seorang manusia melainkan dimuati
berbagai simbol yang menawarkan janji-janji terpenuhinya imajinasi gaya hidup yang ideal
menurut versi masyarakat postmodern.

Mendefinisikan pengertian masyarakat postmodern ke dalam sebuah definisi operasional


bukanlah perkara yang mudah mengingat istilah postmodern itu sendiri mewakili suatu kondisi
yang sporadis dari kehidupan sosial yang sifatnya begitu kompleks dan abstrak. Istilah
postmodern itu sendiri sangat membingungkan dan bahkan pada satu titik begitu meragukan, ia
bisa jadi merupakan sebuah situasi, suatu kondisi, teori, aliran filsafat atau tak lebih dari sekedar
cara pandang dan cara berpikir terhadap berbagai realitas sosial melalui ribuan kritikan dan
hujatan terhadap kondisi masyarakat modern tanpa mampu memberikan jalan keluar terhadap
situasi sporadis yang menjerat individu dalam keterasingan akibat ketidakstabilan sistem
penanda yang ditampilkan dalam media bahasa.

Untuk memberikan kejelasan berkaitan dengan ambiguitas besar tentang apa yang sebenarnya
dimaksud dengan istilah postmodern, terlebih dahulu perlu dibedakan apa itu teori sosial
postmodernitas, postmodernisme, dan postmodern. Istilah postmodernitas merujuk pada suatu
jangka waktu, zaman, masa dan kondisi sosial politik yang biasanya terlihat mengiringi era
modern dalam suatu pemahaman historis. Postmodernisme merujuk pada produk kultural dalam
seni, film, arsitektur, dan sebagainya yang terlihat berbeda dari produk kultural modern.
Sedangkan teori sosial postmodern merujuk pada bentuk teori sosial yang berbeda dari teori
sosial modern.

Sehingga istilah postmodern secara keseluruhan meliputi suatu epos historis baru, produk
kultural baru, dan tipe teoritisasi baru mengenai dunia sosial pada masyarakat saat ini. Dalam hal
ini, postmodernisme sebagai sebuah wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas
sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi
diatur oleh prinsip produksi barang melainkan dikendalikan oleh produksi dan reproduksi
informasi yang menyebabkan segala sesuatu berada dalam kondisi yang tidak stabil dan sulit
dibedakan antara yang riil dan yang tidak riil sedangkan postmodernisme adalah wacana
pemikiran baru sebagai antitesis dari modernisme yang menawarkan janji-janji berupa
keteraturan, rasionalitas, efisiensi, kepastian, dan demokrasi.

Rasionalitas sebagai elemen utama yang menandai kehidupan sosial di era modern pada akhirnya
justru menjadi sangat dominan dan membuat manusia modern terhegemoni oleh rasionalitasnya
sendiri sehingga individu kehilangan kemampuannya untuk berpikir kritis dan negatif tentang
masyarakat, akibatnya individu semakin tidak sadar bahwa mereka berada dalam kondisi
teralienasi. Pada akhirnya narasi besar sebagai proyek modernisme gagal memenuhi janji-
janjinya karena rasionalitas yang mendorong kemajuan teknologi justru menjadikan teknologi
memanipulasi berbagai gagasan, ide, dan lain sebagainya yang dikomunikasikan dalam ruang
sosial melalui media bahasa. Bahasa yang tidak stabil membuat membuat gagasan, ide, dan
segala sesuatu menjadi tidak stabil sehingga segala sesuatu menjadi tidak bisa dipercaya.

Lebih lanjut, masyarakat postmodern juga dapat diartikan sebagai sebuah masyarakat konsumen
dimana masyarakat kapitalis telah mengalami pergeseran perhatian dari produksi ke konsumsi.
Dalam hal ini, para kapitalis semata-mata menitikberatkan kontrol atas produksi dan konsumsi
secara umum terutama atas aksi-aksi konsumen sehingga masyarakat terus menerus didorong
untuk mengkonsumsi segala sesuatu secara lebih banyak dengan variasi yang lebih besar.

Dalam bidang konsumsi, hal ini menitikberatkan pada pemasaran dan iklan, dimana iklan
menjadi pembentuk struktur sosial yang memaksa masyarakat untuk melakukan konsumsi
melalui manipulasi tanda yang dikomunikasikan lewat bahasa melalui berbagai media massa.
Dalam hal ini, iklan-iklan di media massa secara terus menerus mengkontruksi bagaimana segala
sesuatu di dalam kehidupan harus berjalan sehingga dapat dikatakan ideal, maka berbagai produk
yang ditawarkan melalui iklan pada dasarnya tidaklah ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan
yang esensial bagi individu sebagai seorang manusia melainkan dimuati berbagai simbol yang
menawarkan janji-janji terpenuhinya imajinasi gaya hidup yang ideal apabila individu
mengkonsumsi dan memiliki kehidupan sebagaimana yang dikontruksi oleh iklan di dalam
media massa tersebut.

Pada titik ini individu akan melakukan berbagai upaya agar ia dapat memiliki kehidupan ideal
yang semu tersebut, apabila individu tidak dapat memiliki kehidupan sebagaimana yang
diidealkan oleh sistem yang ada tersebut individu akan merasa gelisah dan terasing dari
lingkungannya, padahal mereka yang berlomba-lomba untuk memiliki kehidupan yang
diidealkan oleh sistem itulah yang sebenarnya terasing dari dirinya sendiri karena ia tidak lagi
memiliki kebebasan untuk menentukan segala sesuatu yang diinginkannya, disukainya, atau
dibencinya.

Salah satu fenomena sosiologis yang sangat menarik untuk dikaji dengan sudut pandang teori
sosiologi postmodern adalah masyarakat konsumen. Baudrillard memandang objek konsumsi
sebagai sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi atau dengan kata lain, kebutuhan dan
konsumsi merupakan perluasan kekuatan produktif yang diorganisir, sehingga Baudrillard
memandang sistem objek konsumen dan sistem komunikasi pada dasar periklanan sebagai
pembentukan sebuah kode signifikasi yang mengontrol objek dan individu di tengah
masyarakat.

Objek menjadi tanda yang nilainya ditentukan oleh sebuah aturan kode. Objek dalam masalah
konsumsi ini adalah bagian dari sistem tanda dimana setiap orang mampu membaca dan
mengkomunikasikannya. Sehingga ketika individu di dalam masyarakat postmodern
mengkonsumsi objek, maka inidvidu yang bersangkutan pada dasarnya mengkonsumsi tanda dan
dalam prosesnya inidvidu tersebut mendefinisikan dirinya melalui objek yang dikonsumsinya.
Oleh sebab itu, melalui objek setiap individu dan setiap kelompok menemukan tempat masing-
masing pada tatanan masyarakat dan semuanya berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan
garis pribadi sehingga masyarakat menjadi terstratifikasi dan setiap orang berada pada tempatnya
masing-masing di dalam tatanan sosial.

Dalam artian yang lebih luas, masyarakat merupakan apa yang mereka konsumsi dan berbeda
dari masyarakat lain berdasarkan atas objek yang dikonsumsinya. Apa yang mereka konsumsi
tidaklah menitikberatkan pada banyaknya objek melainkan tanda, sehingga konsumsi menjadi
sistem aksi manipulasi tanda karena untuk menjadi sebuah objek konsumsi, objek haruslah
menjadi tanda. Masyarakat postmodern mengkonsumsi objek tertentu yang menandakan bahwa
ia adalah sama dengan masyarakat yang mengkonsumsi objek tersebut dan berbeda dari siapa
yang mengkonsumsi objek lain.

Inilah kode yang mengontrol apa yang dikonsumsi dan apa yang tidak dikonsumsi oleh
masyarakat. Ironisnnya, bagi sebagian besar individu di dalam masyarakat postmodern, dunia
konsumsi seakan terlihat sebagai sebuah kebebasan karena bagaimanapun ketika kita memiliki
uang kita seolah-olah bebas untuk membeli apapun yang kita inginkan, namun pada
kenyataannya kita hanya bebas mengkonsumsi sebagian kecil dari objek dan tanda yang berbeda.
Parahnya, dalam konsumsi kita seringkali merasa unik tapi pada kenyataannya kita sangat
menyerupai orang lain dan juga kelompok sosial kita serta anggota dari kelompok lain yang
mengkonsumsi sesuatu yang persis sama dengan apa yang kita konsumsi. Sehingga kita tidaklah
sebebas apa yang kita pikirkan.

Di dalam dunia yang dikontrol oleh kode, persoalan-persoalan konsumsi memiliki sesuatu yang
berkenaan dengan kepuasan atas apa yang umumnya dikenal sebagai kebutuhan. Ide kebutuhan
ini muncul dari pembagian objek dan subjek palsu dimana subjek butuh objek dan objek adalah
apa yang dibutuhkan oleh subjek. Dalam arti lain, kita tidaklah mengkonsumsi atau membeli apa
yang kita butuhkan, tetapi membeli dan mengkonsumsi apa yang kode sampaikan kepada kita
tentang apa yang seharusnya dibeli. Lebih jauh, kebutuhan kita ditentukan oleh kode pada kita
tentang apa yang dibutuhkan sehingga konsumsi menjadi tidak ada kaitannya dengan realitas
melainkan konsumsi berkaitan dengan kepemilikan yang sistematis dan tidak terbatas pada tanda
objek konsumsi, karena tanda objek dan kode ketika ia berperan tidaklah “nyata”.

Dari sudut pandang ini, kita membeli pakaian dengan merk dan model tertentu bukan hanya
karena kita membutuhkan pakaian, melainkan kita lebih memperoldeh apa yang pakaian tersebut
tandakan mengenai kita. Misalnya, kita adalah bagian dari kelas sosial atas, individu yang
kekinian, fashionable,dan lain sebagainya. Dalam masyarakat konsumen yang dikontrol oleh
kode, hubungan manusia ditranformasikan dalam hubungan dengan objek, terutama konsumsi
objek.

Namun yang menjadi masalah adalah objek-objek tersebut tidak lagi memiliki makna karena
makna kebanyakan objek berasal dari perbedaan hubungannya dengan dan atau objek lain,
kumpulan atau jaringan objek ini memiliki makna dan logika sendiri. Objek adalah tanda dan
konsumsi tanda-tanda objek ini dilakukan dengan menggunakan bahasa yang kita pahami.
Berbagai komoditas dibeli sebagai gaya dan ekspresi tanda, prestise, kekuasaan, dan lain
sebagainya. Di tambah lagi, kita berusaha mebenarkan diri kita dengan beberapa perbedaan diri
kita dengan diri orang lain berdasarkan atas tanda dari objek yang kita konsumsi.

Apa yang kita perlukan di era postmodern ini bukanlah objek tertentu tetapi lebih kepada sebuah
upaya untuk menjadi berbeda dengan dengan orang lain dan melalui perbedaan itu kita memiliki
status sosial dan makna sosial. Masyarakat konsumsi di era postmodern ini bukanlah mencari
kenikmatan untuk memperoleh dan menggunakan objek ynag kita cari, tetapi lebih kepada
perbedaan. Hal ini juga menggiring pada suatu pemahaman bahwa kebutuhan tidak dapat
dipuaskan karena sepanjang hidupnya karena setiap individu di dalam masyarakat konsumsi ini
terus membedakan dirinya dengan orang lain yang menempati posisi lain di dalam masyarakat.

Dengan jalan itu, nafsu mengkonsumsi terus menerus dipupuk dan ditawarkan tanpa pernah ada
jeda. Maka, mengkonsumsi bukan lagi menjadi suatu kebutuhan, melainkan telah melampaui
hal-hal yang bersifat fisik-material. Mengkonsumsi telah menjadi gaya hidup, status sosial, dan
bahkan hidup itu sendiri. Padahal kepuasan manusia tidak pernah ada batasnya, tidak pernah ada
kepuasan yang final, sehingga ketika kepuasan mengkonsumsi telah memudar atau berkurang,
maka akan tumbuh kembali keinginan untuk memperoleh kepuasan yang baru.

Bahasa di dalam industri periklanan pada masyrakat konsumen dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga ia tidak bersifat deskriptif kualitatif, namun cenderung melebih-lebihkan untuk
memantapkan image tertentu dari sebuah produk barang dan jasa. Lewat cara ini, berbagai ragam
paket komersial terus menerus hadir dan ditawarkan setiap saat, dalam segala formula, lewat
beragam media, tanpa mampu dihindari. Berbagai kebutuhan palsu yang menawarkan kepuasan
dalam bentuk imajinasi yang menyenangkan banyak dibebankan kepada individu, berbagai
kebutuhan yang termasuk ke dalam kebutuhan palsu adalah kebutuhan untuk bisa rileks, untuk
bersenang-senang, untuk berperilaku dan mengkonsumsi sesuatu sesuai dengan iklan-iklan yang
ada, serta untuk mencintai dan membenci apa yang dicintai dan dibenci orang lain.

Semua ini tidak timbul dari lubuk hati dan keinginan individu secara personal melainkan hanya
sekedar melihat orang lain tanpa menghiraukan fakta bahwa sebenarnya individu dipaksa untuk
mengkonsumsi dan berperilaku sesuai dengan apa yang telah ditawarkan dan diatur oleh sistem
yang ada. Dalam hal ini, iklan-iklan di media massa secara terus menerus mengkontruksi
bagaimana segala sesuatu di dalam kehidupan harus berjalan sehingga dapat dikatakan ideal.
Maka berbagai produk yang ditawarkan melalui iklan pada dasarnya tidaklah ditawarkan untuk
memenuhi kebutuhan yang esensial bagi individu sebagai seorang manusia melainkan dimuati
berbagai simbol yang menawarkan janji-janji terpenuhinya imajinasi gaya hidup yang ideal
menurut versi masyarakat postmodern.

Anda mungkin juga menyukai