Anda di halaman 1dari 15

POSTMODERNISME DALAM PANDANGAN JEAN FRANCOIS LYOTARD

Oleh : M. Chairul Basrun Umanailo


https://www.academia.edu search people : chairul basrun
e-mail: chairulbasrun@gmail.com
blog: chairulbasrun.blogspot.com
hp: 085243025000

Postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Di satu


pihak istilah ini telah memikat minat masyarakat luas. Ini menunjukkan bahwa ia
memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan
sosio-kultural mendasar yang kini sedang kita alami. Di lain pihak istilah ini
dianggap sebagai mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar
refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan sosial yang kini sedang
berlangsung.
Jean Francois Lyotard adalah seorang filosof poststrukturalisme namun
ia kemudian lebih dikenal sebagai salah satu pemikir penting aliran filsafat
postmodernisme yang terkenal dengan gagasannya tentang penolakan Grand
Narrative (narasi besar), yaitu suatu cerita besar yang mempunyai fungsi
legitimasi karena bersifat menyatukan, universal, dan total. Penolakan narasi
besar, menurut Lyotard, berarti penolakan terhadap penyatuan, universalitas
dan totalitas. Dan dalam pandangannya, inilah salah satu ciri pembeda yang
paling menonjol antara filsafat postmodernisme dengan filsafat modernisme.
Istilah postmodernisme muncul pertama kali di kalangan seniman dan
kritikus di New York pada 1960-an dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa
pada 1970-an. Salah satunya, Jean-Franois Lyotard, dalam bukunya, The
Postmodern Condition:A Report on Knowledge, menyerang mitos yang
melegitimasi jaman modern (narasi besar), pembebasan progresif humanitas
melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk
proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal
sahih untuk seluruh umat manusia.

Lyotard percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan
penalaran yang mentotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada adalah
pelbagai macam penalaran. Lyotard melihat bahwa filsafat sebagai pemaksaan
kebenaran. Ia melawan Marxisme karena Marxisme dipandang sebagai salah
satu narasi besar. Lalu Lyotard menyarankan untuk kembali ke pragmatika
bahasa ala Wittgenstein, yaitu mengakui saja bahwa kita memang hidup dalam
pelbagai permainan-bahasa yang sulit saling berkomunikasi secara adil dan
bebas.
Lyotard melihat masyarakat kita saat ini adalah masyarakat yang
individualistik, terfragmentasi. Ia merindukan masyarakat pramodern yang
sangat menekankan nilai penting narasi, yakni mitos, kekuatan gaib,
kebijaksanaan rakyat, dan bentuk-bentuk penjelasan lain. Dia percaya bahwa
terjadi konflik antara narasi dan ilmu. Narasi menghilang dan tidak ada yang bisa
menggantikannya. Pendek kata, Lyotard berpendapat bahwa narasi besar itu
buruk, narasi kecil itu baik. Narasi akan menjadi buruk bila berubah menjadi
filsafat sejarah. Narasi besar diasosiasikan dengan program politik atau partai,
sementara narasi kecil diasosiasikan dengan kreativitas lokal.
Jean Francois Lyotard dalam pemikiran filosofisnya banyak dipengaruhi
oleh Karl Marx, Nietzsche, Immanuel Kant, Sigmund Freud. Pengaruh Karl Marx
nampak sekali dari pandangannya yang tidak menyukai kesadaran universal.
Sedangkan Nietzsche mempengaruhi pemikiran Lyotard dalam hal bahwa tidak
ada perspektif yang dominan dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada teori yang
obyektif universal. Sementara itu yang diambil dari Immanuel Kant adalah
konsep Kant yang membedakan antara domain teoritis (ilmiah), praktis (etis),
dan estetis dimana masing-masing memiliki otonomi, aturan dan kriteria
sendiri. Pengaruh Sigmund Freud berada dibalik pemahaman Lyotard tentang
politik hasrat.

Riwayat Hidup

Jean Francois Lyotard lahir di Versailles, Perancis pada tahun 1924 dan
meninggal dunia di Paris pada tahun 1998. Setelah lulus dari Universitas
Sorbonne pada tahun 1950, Lyotard menjadi guru SMU di Constantine, Aljazair.
Ia kemudian bersimpati dan terlibat dengan gerakan kemerdekaan Aljazair dan
akhirnya kembali ke Paris pada tahun 1959 untuk menjadi asisten dosen di
almamaternya, Universitas Sorbonne. Pada tahun 1960-an ia mengajar di
Naterre, tetapi senantiasa bersama kaum terpelajar lainnya seperti Sartre,
Deleuze, Foucault, Lacan terlibat dan aktif dalam gerakan anti perang. Tahun
1970 1972, ia mengajar di Institute Polytechnique de Philosophie Vincennes,
dan dilanjutkan di Universaitaire de Paris VIII St. Denis pada tahun 1972 1987.
Lyotard meraih gelar doktor sastra pada tahun 1971 dengan desertasi
yang berjudul,Discours, figure yang membahas tentang problematika bahasa
dengan membandingkan antara pendekatan strukturalisme dan fenomenologi.
Dengan cara ini, ia berharap dapat melampaui aliran strukturalisme dan
memposisikannya sebagai salah seorang tokoh poststrukturalisme dan
postmodernisme Perancis terkemuka.

Karir akademik
Lyotard meraih gelar Profesor Emeritus pada tahun 1987 ketika ia masih
aktif mengajar di Universitas Paris VIII, Vincennes. Selama dua dekade
berikutnya, ia memberi kuliah di luar Perancis, khususnya sebagai Profesor
bidang Teori Kritis diUniversity of California, Irvine dan sebagai dosen tamu di
universitas-universitas di seluruh dunia termasuk Johns Hopkins, Berkeley, Yale
dan University

of

California,

San

Diego di

AS, Universit

de

Montral di Quebec Kanada, dan Universitas So Paulo di Brazil. Ia juga seorang


pendiri

dan

anggota

dewan

direktur

dari Collge

International

de

Philosophie, Paris. Sebelum kematiannya, ia membagi waktunya antara Paris dan


Atlanta, di mana ia mengajar di Universitas Emory sebagai Profesor Woodruff
Filsafat dan Perancis.

Sepanjang karir akademiknya, Lyotard telah menghasilkan beberapa


karya penting yang mendongkrak popularitasnya di dunia akademik terutama
dalam bidang filsafat. Beberapa karyanya tersebut adalah :
1. La Phenomenologie (1954)
2. Discours, Figure (1971)
3. De`rive a`partire de Marx et Freud (1973)
4. Libidinal Economy (1973)
5. La Condition Postmoderne, Rapport sur le Savoir (1979)
6. Just Gaming (1979)
7. The Different : Phrases ini Dispute (1983)
8. The Inhuman : Reflections on Time (1988)
9. The Lyotard Reader (1989)
10. The Postmodern Explained to Children

Pemikiran-pemikirannya
Runtuhnya Narasi Besar (Grand Narratives)
Meskipun pada tahun 1950 dan 1960-an ia adalah aktivis politik dengan
pandangan-pandangan Marxis, pada tahun 1980-an Lyotard menjadi seorang
filosof postmodernisme non-Marxis. Oleh sebab itu, postmodernisme menjadi
sebuah keterlepasan mendasar dari pemikiran totaliter yang diwakili oleh
Marxisme. Sebelum terbitnya buku yang merupakan karyanya yang terpenting
dalam bidang filsafat berjudulThe Differend : Phrases in Dispute, Lyotard sudah
menunjukkan arah perubahan filosofis ini. Tahun 1954 terbit buku pertama
Lyotard yang berjudul La Phenomenologie yang merupakan buku pengantar
dalam memahami fenomenologi Husserl. Meskipun ia pengikut kelompok Marxis
akan tetapi ia selalu kritis dan menolak interpretasi dogmatis terhadap pemikiran
Marx seperti yang dilakukan Stalinisme, Trotskyisme, dan Maoisme.
Dua belas tahun kemudian setelah terbit buku pertamanya tersebut
yakni tahun 1966, ia resmi menyatakan keluar dari Marxis karena ia merasa
kecewa dengan kegagalan gerakan Marxis untuk membangun masyarakat sosialis

yang adil sebagaimana digembar-gemborkan selama ini. Sebaliknya, Marxisme


berusaha menciptakan masyarakat yang homogen yang hanya dapat diwujudkan
dengan cara kekerasan dan pelanggaran hak-hak azasi manusia. Lyotard sangat
tidak setuju dengan keseragaman atau upaya menyeragamkan apalagi upaya
tersebut dicapai dengan jalan kekerasan. Baginya, salah satu karakteristik
masyarakat postmodern adalah indivualis dan kebebasan untuk berbeda dengan
yang lain.
Istilah postmodern itu sendiri sebagai kritik terhadap filsafat modern ia
perkenalkan pertama kali di dalam bukunya yang terkenal La Condition
Postmoderne, Rapport sur le Savoir terbit tahun 1979 dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan judul The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge.Edisi bahasa Inggrisnya terbit pada tahun 1984 dan sejak itu ia
menjadi locus classicus untuk diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang
filsafat. Buku ini sebetulnya merupakan sebuah laporan yang diminta oleh dewan
ahli Universitas Quebec tentang masyarakat yang telah mencapai kemajuan
dalam bidang pengetahuan dan teknologi akhir abad ke-20. Ia diminta untuk
menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi informasi
terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-20 tersebut. Dalam buku itu, ia
mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan yang luar biasa
pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat informasi.
Perkembangan dan perubahan tersebut telah menggiring masyarakat
tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern. Selama empat
puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin terkait
erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi dan sibernetik,
komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi,
dan bank data. Transformasi teknologi berpengaruh besar pada pengetahuan.
Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah merubah cara memperoleh,
klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi pengetahuan. Dan Lyotard percaya bahwa
sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi
besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki

apa yang disebut zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak
lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan
hanya akan diciptakan untuk dijual.
Dalam buku tersebut, pemikiran Lyotard umumnya berkisar tentang
posisi pengetahuan di abad teknologi informasi ini, khususnya tentang cara ilmu
dilegitimasikan melalui, yang disebutnya, narasi besar (grand narrative),
seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dan sebagainya.
Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang sama
dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan,
kepercayaan tentang keunggulan Barat dan sebagainya, yaitu mereka pun kini
menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasinarasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan
kesahihan ilmu itu sendiri. Dalam kerangka ini pula, aspek mendasar yang
dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya merupakan upaya tentang
kemustahilannnya membangun sebuah wacana universal nalar sebagaimana
diyakini oleh kaum modernis.
Bagi Lyotard dengan postmodernisme-nya menganggap bahwa untuk
mengaktifkan ilmu pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaanperbedaan, keputusan-keputusan, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru.
Ia tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat diwadahi oleh suatu badan
pemersatu yang berupa sistem stabil. Sebab menurutnya, ilmu pengetahuan itu
tumbuh sebagai sistem yang organik, dalam arti tidak homogen apalagi tertutup
pada eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan wacana. Dari
perspektif Lyotard ini, secara jelas kita dapat memahami bahwa postmodernisme
adalah usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap segala Narasi
Besar filsafat modern; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala
bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme,
Marxisme, atau apapun.

Secara demikian, Postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang


totaliter, juga mengimplikasikan dan menganjurkan kepekaan kita terhadap
perbedaan dan memperkuat toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur.
Postmodernisme dengan demikian lahir untuk menolak anggapan-anggapan
modernisme yang membawa keyakinan bahwa filsafat melalui rasio sebagai
sarananya mampu merumuskan hal-hal yang dapat berlaku secara universal.
Postmodernisme menolak cara pandang tunggal atau paradigma tunggal dan
sebaliknya menyatakan bahwa terdapat banyak paradigma atau perspektif dalam
melihat realitas dunia. Pandangan ilmu yang obyektif universal harus digantikan
oleh hermeneutika tentang realitas.
Menurut Webster sebagaimana dikutip oleh Akhyar Yusuf dalam
laporan penelitiannya mengatakan bahwa ada beberapa elemen kunci pemikiran
postmodern sebagai suatu gerakan intelektual dan sebagai fenomena sosial yang
membedakannya dengan modern, diantaranya adalah :
1. Penolakan terhadap pemikiran modernis, nilai-nilai dan praktek-prakteknya.
2. Penolakan terhadap klaim-klaim penelitian tentang klaim kebenaran obyektif
universal

dan

penolakan

terhadap

fundasi

epistemologinya

(antifundasionalisme), lalu yang ada dan diterima hanya versi-versi dari


kebenaran.
3. Penolakan tentang autentisitas dari penelitian, karena semuanya dianggap
tidak otentik, semuanya lebih bersifat konstruktif.
4. Penolakan terhadap masalah/pertanyaan tentang identifikasi makna karena
ada suatu ketidakterbatasan makna (infinity of meaning).
5. Penghargaan pada perbedaan: interpretasi, nilai-nilai, dan gaya (the
celebration of diffferences, of interpretations, of values, and of style).
6. Suatu penekanan pada kenikmatan, pada pengalaman sebagai hal utama
untuk dianalisa, pada juoissance and the sublime (luhur).
7. Suatu kesukaan (delight) pada superficial, penampakan, perbedaan, parodi,
ironi, dan pastis (pastiche).

8. Pengakuan/penghargaan pada kreativitas dan imajinasi daripada keteraturan


dengan defies (muslihat) penjelasan determinisme tingkah-laku.
Memudarnya kepercayaaan kepada narasi besar disebabkan oleh proses
delegitimasi atau krisis legitimasi, dimana fungsi legitimasi narasi-narasi besar
mendapatkan tantangan-tantangan berat. Sebagai contoh, delegitimasi adalah
apa yang dialami ilmu sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan
teknologi dan ekspansi kapitalisme. Dalam masyarakat pasca industri, ilmu
mengalami delegitimasi karena terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya
terhadap legitimasi yang diajukannya sendiri. Legitimasi ilmu pada narasi
spekulasi yang mengatakan bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi
pengetahuan

di

masa capitalist

technosciencetidak

bisa

lagi

dipenuhi.

Pengetahuan tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi profit


dimana kriteria yang berlaku bukan lagi benar-salah, melainkan kriteria
performatif yaitu, menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil
mungkin.

Pengetahuan Narasi dan Pengetahuan Ilmiah


Pengetahuan ilmiah tidak merepresentasikan totalitas pengetahuan
karena pengetahuan ilmiah selalu bersaing dengan pengetahuan lain, atau
menurut Lyotard disebut sebagai narasi. Pada masyarakat tradisional, narasi
seperti ini menjadi penting. Narasi menentukan kriteria kompetensi serta
menjelaskan bagaimana kriteria tersebut diterapkan.
Perbedaan utama pengetahuan ilmiah dan pengetahuan narasi adalah
bahwa pengetahuan ilmiah mengandaikan hanya ada satu permainan bahasa,
yakni bahasa denotatif, sementara permainan bahasa yang lain harus diabaikan.
Sedangkan pengetahuan narasi mengesahkan diri tanpa harus merujuk pada
argumen dan bukti atau tanpa harus menggunakan verifikasi dan falsifikasi.
Karena itu, para ilmuwan mempersoalkan validitas kebenaran pernyataanpernyataan narasi dan menyimpulkan bahwa pengetahuan narasi itu tidak
tunduk pada argumen dan bukti.

Baik pengetahuan ilmiah dan pengetahuan narasi adalah sama-sama


penting. Keduanya tersusun dari serangkaian pernyataan yang dilontarkan oleh
para pemain dalam kerangka peraturan yang dapat diterapkan secara umum.
Peraturan-peraturan itu bersifat khusus pada setiap jenis pengetahuan.
Pernyataan yang dianggap baik dalam suatu jenis pengetahuan tertentu pasti
akan berbeda dengan pernyataan yang dipandang baik dalam jenis pengetahuan
yang lain. Oleh sebab itulah, maka tidak mungkin menilai eksistensi dan validitas
pengetahuan non ilmiah atau narasi berdasarkan pengetahuan ilmiah ataupun
sebaliknya karena kriteria atau permainan bahasa yang digunakan tidak sama.
Perbedaan bahasa yang dimaksud adalah perbedaan kultur bukan
sebagai pembedaan yang satu lebih baik dari yang lain karena ilmu tidak
menerima sudut pandang. Jika ilmu menggunakan bahasa denotatif dan
pembenarannya dilakukan melalui verifikasi fakta internal, maka pengetahuan
narasi menggunakan bahasa metafor.

Permainan Bahasa
Sejak beberapa dekade yang lalu beredar istilah Linguistic Turn.
Meskipun istilah ini kini memang telah memudar, tapi esensinya masih berbunyi:
bahasa adalah tema sentral filsafat abad 20. Kini banyak tema pokok tradisional
filsafat memang berlabuh dalam persoalan bahasa. Tentu saja sejak zaman
Yunani, bahasa sudah selalu berperan penting dalam filsafat. Namun, selama itu,
bahasa itu sendiri tidak pernah sungguh-sungguh dipersoalkan sebagai tema
utama. Baru pada awal abad 20, sejak G. E. Moore dan Bertrand Russell yang
memuncak pada Wittgenstein, bahasa menjadi tema kajian utama, bahkan
hingga kini (abad 21). Tradisi analitik ini mencoba menunjukkan bahwa banyak
persoalan dasar filsafat tradisional hanyalah semu: hanya perkara logika dan
bahasa belaka. Sejak itu, mulai ada kecenderungan kuat untuk memperkarakan
hakekat filsafat itu sendiri dari sudut bahasa. Dengan kata lain, terjadi
kesibukan menuju ke arah filsafat tentang filsafat: Metafilsafat.

Perspektif yang terakhir itu memunculkan issue baru seperti: apakah


bahasa pengetahuan itu memang harus satu dan universal, katakanlah bahasa
ideal seperti yang umum dicita-citakan filsafat modern, ataukah dibiarkan saja
dalam berbagai Language games sesuai dengan bentuk-bentuk kehidupan yang
memang beragam, sebutlah bahasa natural. Kebenaran dan penalaran dilihat
erat berkaitan dengan bahasa.
Dalam zaman kontemporer dimana kerumitan dianggap semakin
meningkat maka semakin jauhlah kemungkinan adanya penjelasan tunggal atau
ganda tentang pengetahuan atau ilmu. Sebelumnya, keyakinan terhadap suatu
narasi (misalnya, doktrin-doktrin agama) bisa memecahkan kesulitan ini. Sejak
perang dunia ke-2, seperti yang sudah diantisipasi oleh Weber, teknik dan
teknologi telah mengalami pergeseran penekanan dari tujuan tindakan ke
caranya. Dengan menafikan baik itu bentuk unifikasi naratif sebagai yang bersifat
spekulatif maupun yang berbentuk emansipatoris, legitimasi terhadap
pengetahuan tidak bisa bersandar pada satu narasi besar sehingga ilmu itu
sekarang paling baik dipahami dalam pengertian teori permainan bahasa
menurut Wittgenstein. Permainan bahasa menunjukkan bahwa tidak ada satu
konsep atau penjelasan ilmiah atau teori yang dapat menangkap realitas dalam
totalitasnya secara memadai. Oleh karena itu, permainan bahasa tidak dapat
diharapkan untuk dapat menjelaskan realitas apa adanya karena ia adalah salah
satu permainan diantara keragaman permainan bahasa lainnya.
Lyotard meyakini bahwa tidak ada kesatuan dan inti sari bahasa.
Baginya bahasa adalah agonistic yakni suatu ruang atau tempat perselisihan
dan konflik yang tidak pernah bisa diselesaikan. Perbedaan-perbedaan yang ada
tidak dapat dibandingkan. Tidak ada permainan lain, bahasa lain, dan prase lain
yang dapat mendamaikan perbedaan-perbedaan tersebut. Ide tentang keadilan
bagi Lyotard berasal dari kesadaran bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak
bisa dan seyogyianya tidak diselesaikan karena perbedaan-perbedaan tersebut
secara fundamental tidak bisa didamaikan.

Paling tidak, menurut Lyotard, ada tiga jenis permainan bahasa yang
lazim dimainkan, yaitu:
1. The denotative game
Fokus permainan bahasa ini adalah pada apa yang benar atau salah. Ini adalah
suatu permainan ilmiah yang sederhana, dimana fakta-fakta sajalah yang
diperhitungkan.
Perhatikan bahwa makna denotatif adalah sederhana dan dengan satu
makna, sedangkan arti konotatif rumit, mendalam dan individual.
2. The prescriptive game
Fokus permainan bahasa ini adalah pada baik dan buruk, adil dan tidak adil. Ini
berarti penggunaan nilai-nilai, yang lebih sosial daripada fakta-fakta denotatif.
3. The technical game
Mana fokusnya adalah pada apa yang efisien atau tidak efisien. Ini lebih
faktual, meskipun nilai dapat dimasukkan.
Permainan bahasa ilmu adalah permainan bahasa denotatif. Aturan
main permainan bahasa denotatif adalah sebuah pernyataan harus disertai bukti
dari pihak yang mengajukan pernyataan untuk meyakinkan pihak kedua sebagai
pihak yang wajib memberikan persetujuan atau penolakan berdasarkan bukti
yang diajukan oleh pihak pertama. Ilmu adalah permainan bahasa yang
didalamnya terkandung aturan-aturan normatif (misalnya, pembuat proposisi
tidak boleh membuat proposisi tanpa menyediakan bukti yang memperkuat
proposisinya, pihak kedua tidak bisa memberikan bukti melainkan persetujuan
atau penolakannya). Ilmu dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tidak bisa
memberlakukan aturan mainnya secara universal hingga berhak menilai mana
pengetahuan absah dan mana yang tidak. Lyotard yakin bahwa kita memasuki
fase dimana logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah mati digantikan
oleh pluralitas logika atau paralogi.
Oleh sebab itu, ilmu menurut Lyotard adalah sebuah permainan bahasa
yang mengikuti aturan-aturan sebagai berikut :
1. Yang bersifat ilmiah adalah pernyataan-pernyataan denotatif(deskriptif).

2. Pernyataan ilmiah berbeda dengan pernyataan yang menekankan ikatanikatan sosial (terkait dengan asal usul).
3. Kompetensi

hanya

diperlukan

pada

pengirim

pesan

ilmiah,

bukan

penerimanya.
4. Pernyataan ilmiah hanya ada dalam sekumpulan pernyataan yang diuji oleh
argumen dan bukti.
5. Dalam kaitannya dengan butir 4 diatas, permainan bahasa ilmiah memerlukan
suatu pengetahuan tentang situasi pengetahuan ilmiah yang sedang
berlangsung. Untuk bisa dilegitimasikan, ilmu tidak memerlukan suatu narasi,
karena aturan-aturan ilmu itu bersifat imanen dalam permainannya.

Seni dan Estetika


Dalam hal pengetahuan tentang seni, Lyotard secara tegas dan
gamblang menolak pandangan Hegel tentang kesejarahan seni (the history of
art). Baginya, seni bukanlah barang sejarah atau the thing of the past namun
sebaliknya.
Lyotard secara radikal menolak adanya makna di setiap karya seni ketika
diciptakan dan dibangun. Ia juga menolak gagasan yang menunggangi wujud dan
perwujudan seni karena menurutnya seni memiliki kapasitas energetik. Seni
sebagaimana halnya filsafat bagi Lyotard tidak ada kaitannya dengan
permasalahan makna, identitas, dan kebenaran. Energi seni adalah dorongan
yang tidak dikendalikan oleh nalar maupun kesadaran. Lyotard memandang seni
sebagai pencarian yang menentang kemungkinan stabilitas melalui suatu
representasi. Titik berangkatnya adalah kondisi yang berubah, misalnya saat ini
dari modern ke postmodern.
Seni dalam ranah pemikiran filsafat Lyotard bukanlah dilihat sebagai
representasi bermakna, namun sebagai daya yang menampakkan diri.
Pemahaman seni bagi Lyotard sangatlah unik, khususnya dalam kaitannya
dengan keindahan atau yang indah. Dalam peradaban Barat, seni adalah
bagian perjuangan untuk membebaskan dari proses dominasi wacana yang

melulu didasarkan pada kaidah-kaidah techno-science, kaidah-kaidah yang


cenderung mencari keabsahan formulasi-formulasinya dari dirinya sendiri.
Dengan kecenderungan ini, pengetahuan menjadi mandek atau tidak produktif.
Dalam pandangan Lyotard, postmodernisme bukanlah semacam
langgam atau cara berpikir, namun lebih mengacu pada suatu sistem
keterbukaan yang memungkinkan seni membuka keragaman yang tidak
deterministik, keragaman yang terkandung dalam suatu kehidupan organik yang
memiliki kaidah dan stabilitasnya sendiri tanpa dikendalikan oleh subyek yang
berpikir.
Seni di abad informasi sekarang ini berada pada suatu proses
transformasi yang diharapkan oleh Lyotard menuju pada rekanan-bebas (Freud).
Dengan kondisi inilah, hegemoni techno-science hanya tampak sebagai kriteria
kinerjatik saja, dan tidak cenderung dan menjadi benar-benar hegemonik.
Lyotard menerima gagasan sublim Immanuel Kant tentang estetika.
Gagasan

ini

justeru

memperkuat

keyakinannya

akan

sesuatu

yang

takterjawantahkan pada ungkapan seni. Keyakinan ini pula yang membawa


Lyotard pada keadaan bahwa tidak pernah ada yang diluar atau yang lain.
Perbedaan antara modern dan postmodern bagi Lyotard hanya ada pada
pengakuan padayang takterjawantahkan dan tampilan. Estetika modern dan
estetika postmodern masing-masing sama dalam memiliki daya ledak avantgarde namun yang pertama tidak berhasil dalam tampilan. Sebab utamanya
adalah adanya kecendrungan naratif untuk membuat sistem satu bahasa melalui
legitimasi ilmiah.
Estetika dalam seni dan berkesenian tidak dapat diikat dalam satu
sistem bahasa. Selain mengandung kapasitas yang takternalarkan dan
terwujudkan, seni juga memiliki daya ledak yang mampu membuat peristiwa.
Karena itu, seni hendaknya, menurut Lyotard, tidak menyesuaikan diri dengan
keadaan. Seni seharusnya mengikuti daya energiknya untuk mencapai keluhuran
(sublim).

Kesimpulan
Dari paparan singkat diatas, jelaslah bagi kita bahwa postmodernisme
terutama dalam pemikiran Jean Francois Lyotard ditandai dengan hilangnya
kepercayaan terhadap grand narratives (narasi besar) dan lahirnya banyak mini
narratives (narasi kecil). Menurutnya, sebuah teori yang berlaku dan sesuai pada
suatu tempat dan masa tertentu tidak dapat digeneralisasikan untuk tempat dan
masa yang lain.
Disamping itu, postmodernisme menurut Lyotard juga mencoba
menghadirkan realitas yang majemuk dan memberikan banyak alternatif.
Warisan budaya modern yang dikhotomistik hitam putih telah melahirkan
kekakuan berfikir yang pada gilirannya membuat orang terjebak dalam jurang
esensialisme universalisme. Cara berfikir seperti itu adalah bentuk lain dari
totalitarianisme, suatu paham yang menurut Lyotard sudah tidak cocok dan
relevan lagi dengan era teknologi informasi.
Lyotard menolak kebenaran yang obyektif universal karena menurutnya
klaim kebenaran itu terbentuk dari wacana (bahasa), kita tidak bisa menafsirkan
realita yang bebas dari bahasa. Semua kebenaran pemikiran berkaitan erat
dengan faktor sosial-budaya atau dengan permainan bahasa tertentu.

Daftar Pustaka
Best, Steven dan Douglas Kellner. Postmodern Theory : critical Interrogations.
New York : The Guilford Press, 1991
Donny Gahral Adian. Percik Pemikiran Kontemporer : Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra, 2006.
Emilia Steuerman. The Bounds of Reason : Habermas, Lyotard and Melanie Klein
on Rationality. London : Routledge, 2000
Ignatius Bambang Sugiharto. Arah dan Kecenderungan Filsafat Barat Masa Kini:
Sebuah Sketsa. <http://filsafat-eka-wenats.blogspot.com/2008/10/arahdan-kecenderungan-filsafat-barat.html>.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer : Dari
Postmodernitas. Yogyakarta : Kanisius, 2001

Strukturalisme

sampai

Lyotard, Jean Francois. The Postmodern Condition : a Report on Knowledge.


Manchester, 1984.
POSTMODERNISME VERSUS MODERNISME Agustinus Ryadi STFT Widya Sasana,
Malang
Wiryomartono, Bagoes P. Pijar-pijar Penyingkap Rasa : Sebuah Wacana Seni dan
Keindahan dari Plato sampai Derrida. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2001. Hal. 83
Yusuf, Akhyar. Matinya narasi besar, berkembangnya narasi kecil dan
permainan kebenaran dalam perspektif posmodernisme: Laporan
penelitian.
Pusat Pengembangan Penelitian Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, 2003. Hal. 14
<http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-Franois_Lyotard>
<http://changingminds.org/explanations/behaviors/games/wittgenstein_game.h
tm#>
<http://www.radea.web.id/2008/08/07/postmodernisme-dan-pengaruhnyaterhadap-filsafat/>

Anda mungkin juga menyukai