Lyotard percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan
penalaran yang mentotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada adalah
pelbagai macam penalaran. Lyotard melihat bahwa filsafat sebagai pemaksaan
kebenaran. Ia melawan Marxisme karena Marxisme dipandang sebagai salah
satu narasi besar. Lalu Lyotard menyarankan untuk kembali ke pragmatika
bahasa ala Wittgenstein, yaitu mengakui saja bahwa kita memang hidup dalam
pelbagai permainan-bahasa yang sulit saling berkomunikasi secara adil dan
bebas.
Lyotard melihat masyarakat kita saat ini adalah masyarakat yang
individualistik, terfragmentasi. Ia merindukan masyarakat pramodern yang
sangat menekankan nilai penting narasi, yakni mitos, kekuatan gaib,
kebijaksanaan rakyat, dan bentuk-bentuk penjelasan lain. Dia percaya bahwa
terjadi konflik antara narasi dan ilmu. Narasi menghilang dan tidak ada yang bisa
menggantikannya. Pendek kata, Lyotard berpendapat bahwa narasi besar itu
buruk, narasi kecil itu baik. Narasi akan menjadi buruk bila berubah menjadi
filsafat sejarah. Narasi besar diasosiasikan dengan program politik atau partai,
sementara narasi kecil diasosiasikan dengan kreativitas lokal.
Jean Francois Lyotard dalam pemikiran filosofisnya banyak dipengaruhi
oleh Karl Marx, Nietzsche, Immanuel Kant, Sigmund Freud. Pengaruh Karl Marx
nampak sekali dari pandangannya yang tidak menyukai kesadaran universal.
Sedangkan Nietzsche mempengaruhi pemikiran Lyotard dalam hal bahwa tidak
ada perspektif yang dominan dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada teori yang
obyektif universal. Sementara itu yang diambil dari Immanuel Kant adalah
konsep Kant yang membedakan antara domain teoritis (ilmiah), praktis (etis),
dan estetis dimana masing-masing memiliki otonomi, aturan dan kriteria
sendiri. Pengaruh Sigmund Freud berada dibalik pemahaman Lyotard tentang
politik hasrat.
Riwayat Hidup
Jean Francois Lyotard lahir di Versailles, Perancis pada tahun 1924 dan
meninggal dunia di Paris pada tahun 1998. Setelah lulus dari Universitas
Sorbonne pada tahun 1950, Lyotard menjadi guru SMU di Constantine, Aljazair.
Ia kemudian bersimpati dan terlibat dengan gerakan kemerdekaan Aljazair dan
akhirnya kembali ke Paris pada tahun 1959 untuk menjadi asisten dosen di
almamaternya, Universitas Sorbonne. Pada tahun 1960-an ia mengajar di
Naterre, tetapi senantiasa bersama kaum terpelajar lainnya seperti Sartre,
Deleuze, Foucault, Lacan terlibat dan aktif dalam gerakan anti perang. Tahun
1970 1972, ia mengajar di Institute Polytechnique de Philosophie Vincennes,
dan dilanjutkan di Universaitaire de Paris VIII St. Denis pada tahun 1972 1987.
Lyotard meraih gelar doktor sastra pada tahun 1971 dengan desertasi
yang berjudul,Discours, figure yang membahas tentang problematika bahasa
dengan membandingkan antara pendekatan strukturalisme dan fenomenologi.
Dengan cara ini, ia berharap dapat melampaui aliran strukturalisme dan
memposisikannya sebagai salah seorang tokoh poststrukturalisme dan
postmodernisme Perancis terkemuka.
Karir akademik
Lyotard meraih gelar Profesor Emeritus pada tahun 1987 ketika ia masih
aktif mengajar di Universitas Paris VIII, Vincennes. Selama dua dekade
berikutnya, ia memberi kuliah di luar Perancis, khususnya sebagai Profesor
bidang Teori Kritis diUniversity of California, Irvine dan sebagai dosen tamu di
universitas-universitas di seluruh dunia termasuk Johns Hopkins, Berkeley, Yale
dan University
of
California,
San
Diego di
AS, Universit
de
dan
anggota
dewan
direktur
dari Collge
International
de
Pemikiran-pemikirannya
Runtuhnya Narasi Besar (Grand Narratives)
Meskipun pada tahun 1950 dan 1960-an ia adalah aktivis politik dengan
pandangan-pandangan Marxis, pada tahun 1980-an Lyotard menjadi seorang
filosof postmodernisme non-Marxis. Oleh sebab itu, postmodernisme menjadi
sebuah keterlepasan mendasar dari pemikiran totaliter yang diwakili oleh
Marxisme. Sebelum terbitnya buku yang merupakan karyanya yang terpenting
dalam bidang filsafat berjudulThe Differend : Phrases in Dispute, Lyotard sudah
menunjukkan arah perubahan filosofis ini. Tahun 1954 terbit buku pertama
Lyotard yang berjudul La Phenomenologie yang merupakan buku pengantar
dalam memahami fenomenologi Husserl. Meskipun ia pengikut kelompok Marxis
akan tetapi ia selalu kritis dan menolak interpretasi dogmatis terhadap pemikiran
Marx seperti yang dilakukan Stalinisme, Trotskyisme, dan Maoisme.
Dua belas tahun kemudian setelah terbit buku pertamanya tersebut
yakni tahun 1966, ia resmi menyatakan keluar dari Marxis karena ia merasa
kecewa dengan kegagalan gerakan Marxis untuk membangun masyarakat sosialis
apa yang disebut zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak
lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan
hanya akan diciptakan untuk dijual.
Dalam buku tersebut, pemikiran Lyotard umumnya berkisar tentang
posisi pengetahuan di abad teknologi informasi ini, khususnya tentang cara ilmu
dilegitimasikan melalui, yang disebutnya, narasi besar (grand narrative),
seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dan sebagainya.
Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang sama
dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan,
kepercayaan tentang keunggulan Barat dan sebagainya, yaitu mereka pun kini
menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasinarasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan
kesahihan ilmu itu sendiri. Dalam kerangka ini pula, aspek mendasar yang
dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya merupakan upaya tentang
kemustahilannnya membangun sebuah wacana universal nalar sebagaimana
diyakini oleh kaum modernis.
Bagi Lyotard dengan postmodernisme-nya menganggap bahwa untuk
mengaktifkan ilmu pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaanperbedaan, keputusan-keputusan, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru.
Ia tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat diwadahi oleh suatu badan
pemersatu yang berupa sistem stabil. Sebab menurutnya, ilmu pengetahuan itu
tumbuh sebagai sistem yang organik, dalam arti tidak homogen apalagi tertutup
pada eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan wacana. Dari
perspektif Lyotard ini, secara jelas kita dapat memahami bahwa postmodernisme
adalah usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap segala Narasi
Besar filsafat modern; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala
bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme,
Marxisme, atau apapun.
dan
penolakan
terhadap
fundasi
epistemologinya
di
masa capitalist
technosciencetidak
bisa
lagi
dipenuhi.
Permainan Bahasa
Sejak beberapa dekade yang lalu beredar istilah Linguistic Turn.
Meskipun istilah ini kini memang telah memudar, tapi esensinya masih berbunyi:
bahasa adalah tema sentral filsafat abad 20. Kini banyak tema pokok tradisional
filsafat memang berlabuh dalam persoalan bahasa. Tentu saja sejak zaman
Yunani, bahasa sudah selalu berperan penting dalam filsafat. Namun, selama itu,
bahasa itu sendiri tidak pernah sungguh-sungguh dipersoalkan sebagai tema
utama. Baru pada awal abad 20, sejak G. E. Moore dan Bertrand Russell yang
memuncak pada Wittgenstein, bahasa menjadi tema kajian utama, bahkan
hingga kini (abad 21). Tradisi analitik ini mencoba menunjukkan bahwa banyak
persoalan dasar filsafat tradisional hanyalah semu: hanya perkara logika dan
bahasa belaka. Sejak itu, mulai ada kecenderungan kuat untuk memperkarakan
hakekat filsafat itu sendiri dari sudut bahasa. Dengan kata lain, terjadi
kesibukan menuju ke arah filsafat tentang filsafat: Metafilsafat.
Paling tidak, menurut Lyotard, ada tiga jenis permainan bahasa yang
lazim dimainkan, yaitu:
1. The denotative game
Fokus permainan bahasa ini adalah pada apa yang benar atau salah. Ini adalah
suatu permainan ilmiah yang sederhana, dimana fakta-fakta sajalah yang
diperhitungkan.
Perhatikan bahwa makna denotatif adalah sederhana dan dengan satu
makna, sedangkan arti konotatif rumit, mendalam dan individual.
2. The prescriptive game
Fokus permainan bahasa ini adalah pada baik dan buruk, adil dan tidak adil. Ini
berarti penggunaan nilai-nilai, yang lebih sosial daripada fakta-fakta denotatif.
3. The technical game
Mana fokusnya adalah pada apa yang efisien atau tidak efisien. Ini lebih
faktual, meskipun nilai dapat dimasukkan.
Permainan bahasa ilmu adalah permainan bahasa denotatif. Aturan
main permainan bahasa denotatif adalah sebuah pernyataan harus disertai bukti
dari pihak yang mengajukan pernyataan untuk meyakinkan pihak kedua sebagai
pihak yang wajib memberikan persetujuan atau penolakan berdasarkan bukti
yang diajukan oleh pihak pertama. Ilmu adalah permainan bahasa yang
didalamnya terkandung aturan-aturan normatif (misalnya, pembuat proposisi
tidak boleh membuat proposisi tanpa menyediakan bukti yang memperkuat
proposisinya, pihak kedua tidak bisa memberikan bukti melainkan persetujuan
atau penolakannya). Ilmu dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tidak bisa
memberlakukan aturan mainnya secara universal hingga berhak menilai mana
pengetahuan absah dan mana yang tidak. Lyotard yakin bahwa kita memasuki
fase dimana logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah mati digantikan
oleh pluralitas logika atau paralogi.
Oleh sebab itu, ilmu menurut Lyotard adalah sebuah permainan bahasa
yang mengikuti aturan-aturan sebagai berikut :
1. Yang bersifat ilmiah adalah pernyataan-pernyataan denotatif(deskriptif).
2. Pernyataan ilmiah berbeda dengan pernyataan yang menekankan ikatanikatan sosial (terkait dengan asal usul).
3. Kompetensi
hanya
diperlukan
pada
pengirim
pesan
ilmiah,
bukan
penerimanya.
4. Pernyataan ilmiah hanya ada dalam sekumpulan pernyataan yang diuji oleh
argumen dan bukti.
5. Dalam kaitannya dengan butir 4 diatas, permainan bahasa ilmiah memerlukan
suatu pengetahuan tentang situasi pengetahuan ilmiah yang sedang
berlangsung. Untuk bisa dilegitimasikan, ilmu tidak memerlukan suatu narasi,
karena aturan-aturan ilmu itu bersifat imanen dalam permainannya.
ini
justeru
memperkuat
keyakinannya
akan
sesuatu
yang
Kesimpulan
Dari paparan singkat diatas, jelaslah bagi kita bahwa postmodernisme
terutama dalam pemikiran Jean Francois Lyotard ditandai dengan hilangnya
kepercayaan terhadap grand narratives (narasi besar) dan lahirnya banyak mini
narratives (narasi kecil). Menurutnya, sebuah teori yang berlaku dan sesuai pada
suatu tempat dan masa tertentu tidak dapat digeneralisasikan untuk tempat dan
masa yang lain.
Disamping itu, postmodernisme menurut Lyotard juga mencoba
menghadirkan realitas yang majemuk dan memberikan banyak alternatif.
Warisan budaya modern yang dikhotomistik hitam putih telah melahirkan
kekakuan berfikir yang pada gilirannya membuat orang terjebak dalam jurang
esensialisme universalisme. Cara berfikir seperti itu adalah bentuk lain dari
totalitarianisme, suatu paham yang menurut Lyotard sudah tidak cocok dan
relevan lagi dengan era teknologi informasi.
Lyotard menolak kebenaran yang obyektif universal karena menurutnya
klaim kebenaran itu terbentuk dari wacana (bahasa), kita tidak bisa menafsirkan
realita yang bebas dari bahasa. Semua kebenaran pemikiran berkaitan erat
dengan faktor sosial-budaya atau dengan permainan bahasa tertentu.
Daftar Pustaka
Best, Steven dan Douglas Kellner. Postmodern Theory : critical Interrogations.
New York : The Guilford Press, 1991
Donny Gahral Adian. Percik Pemikiran Kontemporer : Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra, 2006.
Emilia Steuerman. The Bounds of Reason : Habermas, Lyotard and Melanie Klein
on Rationality. London : Routledge, 2000
Ignatius Bambang Sugiharto. Arah dan Kecenderungan Filsafat Barat Masa Kini:
Sebuah Sketsa. <http://filsafat-eka-wenats.blogspot.com/2008/10/arahdan-kecenderungan-filsafat-barat.html>.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer : Dari
Postmodernitas. Yogyakarta : Kanisius, 2001
Strukturalisme
sampai