Anda di halaman 1dari 16

NAMA NIM

: NEVI DIANTI : 104284226

PEND. SEJARAH 2010 / A

TUGAS SEJARAH PEMIKIRAN MODERN ANOTASI BIBLIOGRAFI JEAN FRANCOIS LYOTARD

A. BIOGRAFI Biografi dalam buku Postmodernitas karangan Sumakul dijelaskan bahwa Jean Francois Lyotard lahir pada tahun 1924 di Versailles, Paris. Jean Pierre Lyotard adalah ayahnya dan ibunya bernama Madeleine. Ia menikah dengan Andree May pada tahun 1948. Setelah berakhir Perang Dunia ke II, ia belajar filsafat di Sorbonne dan mendapat gelar agregation de philosophie tahun 1950. Tahun 1950-1952 ia mengajar di sekolah menengah di kota Constantine di Aljazair Timur. Kemudian ia menjadi profesor filsafat di Universitas Paris VIII (Saint-Denis). Jabatan ini dipegangnya sampai usia pensiunnya tahun 1989. Dari tahun 1956-1966, Lyotard menjadi anggota dewan redaksi jurnal sosialis Socialisme au Berbarie (Sosialisme atau Keadaan Barbar) istilah yang diambilnya dari Marx yang mengandaikan perlunya pilihan antara sosialisme atau keadaan barbar. Ia juga menjabat sebagai anggota dewan redaksi surat kabar sosialis Pouvoir Ouvier. Lyotard menentang secara keras kebijakan pemerintah Prancis saat terjadinya Perang di Aljazair, dan ikut dalam gerakan yang terjadi di Prancis tahun 1968. Dari tahun 1950-1960 ia dikenal sebagai seorang aktivis yang beraliran Marxis, akan tetapi sejak tahun 1980-an ia dikenal sebagai pemikir posmodernisme non-Marxis yang terkemuka. Tahun 1954 terbit buku pertamanya yang berjudul La Phenomenalogie, sebuah pengantar untuk memahami fenomenologi Husserl. Meskipun ia masuk kelompok Marxis, akan tetapi kelompoknya selalu kritis dan menolak interprestasi dogmatis terhadap pemikiran Marx seperti yang dilakukan Stalinisme, Trotkyisme dan maoisme. Karena perbedaan pandangan dengan teman-temannya, ia meninggalkan Socialisme ou Barbarie dan mendirikan majalah marxis baru berjudul Puovoir Ouvrier (Kuasa Kaum Buruh) Ia resmi keluar dari lingkungan marxis tahun 1966, karena kekecewaannya terhadap kegagalan gerakan marxis untuk membangun masyarakat sosialis yang adil sebagaimana didengungdengungkan selama ini. Tahun1971 ia berhasil memperoleh gelar doktor sastra dengan disertasi yang berjudul Discours, figure (Diskursus, Figure) yang membahas tentang problem

bahasa dengan fenomenologi. Dengan cara ini ia berharap dapat melampaui aliran strukturalisme dan memposisikannya sebagai salah seorang tokoh posstrukturalisme dan posmodernisme Prancis terkemuka. Pada awal tahun 1970 Lyotard mulai mengajar di Universitas Paris VIII, Vincennes sampai 1987 ketika ia memasuki masa pensiun sebagai Professor atau Emeritus. Selama dua dekade yang berikutnya ia memberi kuliah di luar Prancis khususnya sebagai Professor dari Critical Theory di Universitas California, Irvine dan sebagai dosen/profesor keliling pada berbagai Universitas di seluruh dunia termasuk Yohanes Hopkins, Berkeley, Yale dan San Diego States, the Universit de Montral di Canada dan the University of Sao Paulo di Brazil. Ia bersama dengan Derrida ikut berperan sebagai pendiri dan anggota Collge International de Philosophie, Paris dan untuk beberapa tahun memimpin lembaga tinggi filsafat itu. Ia menghabiskan waktunya antara Paris dan Atlanta, di mana ia mengajar pada Emory University sebagai suatu Woodruff Professor. Lyotard berulang-kali menegaskan tentang pemikiran Postmodern di dalam eseiesei yang terkumpul dalam bahasa Inggris sebagai The Postmodern Explained to Children, Toward the Postmodern, dan Postmodern Fables. Pada Tahun 1998, selagi bersiap-siap menghadapi suatu konferensi conference on Postmodernism and Media Theory, ia meninggal dengan tak diduga-duga karena leukemia yang telah mengedepan dengan cepat. Ia dikuburkan di Le Pre Lachaise Cemetery di Paris. Lyotard merupakan pemikir yang termasyhur, khususnya setelah menulis buku The Postmodern Condotion: A Report On Knowledge, diterjemahkan Geoff Bennington and Brian Massumi (Manchester: Manchester University Press, 1984). Lyotard menyebutnya sebagai gambaran umum dari pemikiran posmodern. Lyotard hendak menggambarkan perubahan status pengetahuan dalam masyarakat yang paling maju: masyarakat yang memasuki era pasca industri atau bisa di sebut era kapitalisme lanjut. Ia menggunakan istilah postmodern untuk menggambarkan kondisi tersebut. Lyotard mengkaitkan perubahan status pengetahuan dengan krisis narasi-narasi. Dalam The Differend: Phrase in Dispute (Manchester: Manchester University Press, 1986), Lyotard hendak memberikan landasan filosofis tenang keadilan pada sensitivitas kita pada perbedaan. Lyotard mengemukakan tenang rezimentasi frase yang salah satunya dilakukan lewat diskursus. Rezimentasi frase, sebagaimana permainan bahasa, memiliki aturan main sendiri dan mewakili komunitas anggotanya masing-masing. Oleh karena itu menurut Lyotard, sebenarnya tidak ada semesta bahasa yang universal (tunggal). Karya Lyotard The Inhuman: Reflections on Time (Cambridge, Politu Press, 1988), menyatakan bahwa umat manusia berada dalam cengkraman kebutuhan untuk meninggalkan

system matahari dalam jangka 4 milyar tahun. Suatu ungkapan kecemasan yang menekankan kesan kegentingan, menggoncang kesadaran kita dan memicu perdebatan. Kecemasan yang ia ramalkan adalah bahwa pada akhirnya mesin (computer) yang canggih akan deprogram untuk menggantikan manusia dengan tujuan memperpanjang kehidupan, hingga melampaui saat habisnya energi matahari. Kita hidup dalam semesta yang terbatas umur. Kira-kira 4 hingga 6 milyar tahun lagi, matahari yang menjadi sumber kehidupan kita akan habis terbakardan kehidupan di bumi akan berkakhir. Gambaran situasi yang sungguh dramatis, dan sekaligus tragis, kendati sangat sedikit di antara kita yang cemas (atau mungkin terganggu) oleh ramalan masa depan tersebut, mengingat rentang rata -rata umur kita di dunia yang rata-rata kurang dari 100 tahun (bandingkan dengan 4 hingga 6 milyar tahun). Ia memikirkan, secara filosofis dengan begitu serius dan reflektif, dampak apa yang diakibatkan oleh habisnya energi matahari yang memang sudah teramalkan terhadap kondisi kemanusiaan dewasa ini. Dalam The Postmodern Explained to Children: Correpondence 1982-1985 (Sidney, Power Publications, 1992), ia membahas pemikiran postmodern dalam bidang estetika dan kaitan dengan seni awant-garde. Dalam buku ini Lyotard memulai pembahasan dengan menunjukkan keruntuhan bentuk-bentuk social yang sering diasosiasikan dengan medornitas. Keruntuhan bentuk-bentuk social itu antara lain; semakin tak terbatasnya antara seni dan kehidupan sehari-sehari, ambruknya pembedaan hierarkis antara budaya popular dan elit, runtuhnya orisinalits dan pandangan pencipta seni sebagai orang yang memiliki kecerdasan, terjadinya pergeseran pencipta seni sebagai orang yang memiliki kecerdasan, terjadinya pergeseran dari isi ke gaya, realitas ke cipta, fragmentasi waktu jadi rangkaian era kini yang abadi.

B. PEMIKIRAN JEAN FRANCOIS LYOTARD

1. Judul Buku Pengarang Penerbit Kota Tahun Terbit

: Posmodernisme: Memaknai Masyarakat Plural Abad ke- 21 : Henny William Booth Sumakul : Libri : Jakarta : 2012

Pada awalnya Lyotard disebut sebagai seorang Marxisme. Tetapi, kemudian ia mulai mengembangkan kritik terhadap Marx, Freud, dan mengembangkan pemikiran Frederich Nietzsche, khususnya lebenphilosophie. Dalam pemikiran ini

dikedepankan pentingnya keinginan atau nafsu. Konteks pemikiran Nietzsche sendiri lebih menekankan kasih, yang pada akhirnya menghasilkan perbudakan dan kelembekan yang mengakibatkan hilangnya potensi kemanusiaan, khususnya the will to power. Semangat yang ada dalam keinginan manusia inilah yang kemudian diambil oleh Lyotard dalam sistem pemikiran tahap ini. Kemudian, tulisannyadipengaruhi oleh Wittgenstein tentang teori permainan bahasa. Di sinia ia mengemukakan bahwa teori Marx termasuk produk grand narratives zaman pencerahan. Dalam tulisannya tentang lessons in Paganism terjadi pergeseran dalam pemikiran Lyotard ketika ia menenankan polemik melawan Marxisme, termasuk Hegel dan Marx. Ia mengatakan bahwa aliran filsafat Marxisme yang pernah diikutinya juga adalah produk historis, terutama produk pemikiran Pencerahan. Justru ia mengatakan bahwa semua diskursus sifatnya naratif dan karena itu tugas pemikir adalah membuat analisis terhadap naratif itu sendiri. Teori itu sendiri menyembunyikan naratif, karena itu tidak sah sepanjang masa. Dalam tulisannnya Just Gaming, Lyotard menjelaskan bahwa keadilan adalah permainan yang diatur oleh peraturan dan pemberlakuan otonomi peraturan dalam permainan bahasa (teori, etika, estetika, dan sebagainya) yang berbeda-beda. Bagi Lyotard, keadilan hanya berlaku lokal, beraneka, bersifat sementara, dan tunduk pada pertandingan serta transformasi. Jadi, keadilan hanya ada dan bergerak dalam mempertimbangkan suatu konteks dan sifatnya taktis. Lyotard mengedapankan politik postmodern dengan unsur-unsurnya: multiplisitas, pluralitas, dan marginalitas. Bai Lyotard, tujuan berfilsafaft dalam tahap ini adalah mengganggu, meresahkan, dan menyepelekan diskursus utama serta mengklaim bahwa teori yang benar adalah

melakukan penyadaran akan adanya mikropolitik, lokal, sementara, dan marginal, serta bahwa semua aspek ini berlaku dalam permaianna bahasa tunggal dan universal. Secara jelas, Lyotard mengedepankan pluralisme radikal dalam filsafat

posmodernnya. Dalam bukunya Postmodern Condition, yang akan dijelaskan lebih jauh dalam bagian berikut, Lyotard menjelaskan melalui subjudulnya tentang pengetahuan postmodern. Dalam isinnya dijelaskan mengenai epistimologi postmodern daripada analisis postmodern yang berhubungan dengan masyarakat atau kebudayaan. Konsisten dengan pemahaman ini, Lyotard menguatkan, dalam kondisi postmodern, masyarakat lebih memilih disensus daripada konsensus, heterogenitas daripada homogenitas. Bagi Lyotard, epistimologi postmodern adalah melawan universalisasi dan homogenisasi roh pencerahan. Ia mengajarkan heterogenitas, pluralitas, dan inovasi konstan, konstruksi pragmatis peraturan lokal dan perspektif untuk mikropolitik. Dalam Differend, yang merupakan tahap akhir dari pemikiran Lyotard, ia tidak lagi menjelaskan tubuh, keinginan, dan intensitas atas bahasa seperti ketika ia banyak dipengaruhi oleh Nietzsche, tetapi ia menggesernya ke pokok bahasa dan filsafat. Dalam buku ini, Lyotard juga mengembangkan sebuah filsafat yang disebut filsafat frasa. Lyotard melihat pentingnya metafisika subjek. Pemain atau subjek disituasikan oleh frasa. Dalam Differend, Lyotard lebih menonjolkan tentang perbedaan (difference), memberi kesempatan pada diskursus minoritas dan melarang tindakan kekerasan atau penekanan terhadap mereka. Seseorang tidak boleh menghakimi kelompok minoritas dengan menggunakan rumusan-rumusan universal tetapi mendengar mereka dari perbedaan yang mereka mau ungkapkan. Jadi, hal yang ditonjolkan adalah pluralitas penalaran, bukan kesatuan penalaran. Dalam pembukuan Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Lyotard mengatakan: objek penelitian kondisi postmodern adalah kondisi pengetahuan dari masyarakat yang paling maju. Jadi, buku ini menjelaskan pergeseran pengetahuan dan dampaknya secara sosial politik dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat yang saangat maju. Ia melanjutkan bahwa tulisannya tentang postmodernitas didekati dari sosiologi ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu, khususnya epistemologi masyarakat masa kini. Lyotard mengatakan bahwa budaya kita nampak dalam transformasi sejak akhir abad ke-19 ketika telah terjadi perubahan aturan permainan dalam ilmu pengetahuan, dan kesenian.

Seperti lumrahnya bagi golongan postmodernis, demikian juga Lyotard, ketika berbicara tentang postmodernitas, menghubungkan pokok pembahasan tentang postmodernitas dengan modernitas. Modernitas menunjuk pada ilmu pengetahuan yang melegitimasi dirinya dengan peraturan permainan yang mengacu pada metadiskursus, sementara peraturan permainan didekati secara eksplisit dari grand narratives seperti dialektika hermeneutika makna, emansipasi subjek rasional, pekerjaan atau kemakmuran. Dari definisi modernitas ini, Lyotard kemudian mendefinisikan budaya postmodern sebagai dorongan untuk mengganti peraturan permainan (rule of game) yang menjadi pijakan modernisme seperti yang

dioperaisonalisasikan dalam ilmu pengetahuan, kesusastraan, dan kesenian. Konsep kunci yang ia gunakan adalah pragmatika dalam masyarakat kontemporer. Dalam ilmu, menurut pemahaman modernisme, melekat kebenaran yang bergantung pada konsensus Pencerahan. Konsensus ini menunjuk pada grand narratives atau metanarratives. Bagi Lyotard, postmodernisme menolak dasar Pencerahan dan konsekuensi adalah yang melegitimasi dasar modernisme. metanaratif, Jadi, suatu

postmodernisme

ketidakpercayaan

terhadap

ketidakpercayaan terhadap produk kemajuan (progresivisme yang digemborgemborkan oleh Pencerahan) dalam ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud Lyotard adalah pengetahuan yang tidak terpisahkan dengan teknologi informasi. Pengetahuna tidak lagi terpisah dari informasi internasional dan ini telah merembet ke segala bidang, termasuk bisnis, politik, budaya, dan sebagainya. Masyrakat di era sekarang ini menimbulkan pergeseran paradigma dari kerangka berdasarkan pengukuran intelektual ke kerangka berdasarkan pengukuran ekonomis.

2. Judul Buku Pengarang Penerbit Kota Tahun Terbit

: Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme : Ali Maksum : Ar Ruzz Media : Yogjakarta : 2010

Aliran fenomenologi memiliki pengaruh yang kuat pada karya-karya Lyotard. Ia menerima dan mengembangkan ide fenomenologis bahwa Cogito Cartesian, Aku yang reflektif adalah subjek khas yang terwujud dalam sebuah situasi yang

temporal. Pengetahuan dan kebenaran bersifat manusiawi dan diperoleh dari dunia pengalaman hidup yang tidak pernah dipahami sebelumnya. Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana identifikasi pengetahuan bersama representasi, karakteristik masyarakat modern, mereduksi ragam dari tindakan yang kita tampilkan dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa kemudian menjadi serangkaian pernyataan yang dapat diperlakukan sebagai benda, sebagai komoditas dalam masyarakat kapitalis. Bagi Lyotard, pengetahuan rasional tidak bisa lagi dijadikan sebagai dasar bagi kritik, juga tidak memiliki emansipasi sebagaimana dijanjikan oleh para pemikir abad pertengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat, sejauh yang dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai satu-satunya penjelasan yang benar dan absah. Pemikiran Lyotard menjelaskan tentang posisi pengetahuan, khususnya tentang ccara ilmu dilegitimasikan melalui, yang disebutnya narasi besar seperti keblabasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar, dan sebagainya. Narasi-narasi besar itu, menurutnya, kini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, dan kepercayaan terhadap keunggulan Barat, yang kini menjadi sulit untuk dipercaya. Engan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme permainan bahasa pun merajalela. Ini baginya tidak jadi soal, sebab di sisi lain hal ini menunjukkan kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme, yang memang perlu. Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidypan terus-menerus. Kenyataannya,

postmodernisme menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoretis yang berbedabeda: ilmu pengetahuan posymodern bukanlah semata-mata menjadi lat penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan.

3. Judul Buku Pengarang Penerbit Kota Tahun Terbit

: Posmodernisme : Kevin oDonnel : Kanisius : Yogyakarta : 2009

Postmodernisme bersikap skeptis bila berbicara mengenai metanarasi-riwayat besar, cerita hebat tentang kehidupan, alam semesta, dan segala sesuatu. Metanarasi adalah riwayat yang menjangkau jauh di luar batas pengetahuan dan rasio. Jean Francois Lyotard berpendapat bahwa zaman metanarasi sudah berlalu. sekarang kita harus merangkul sejumlah keprihatinan kecil dan lokal, serta berhenti

menghubungkannya dengan sistem kreasi manusia. Lyotard membawa perdebatan tentang metanarasi ke arah baru, ketika ia mengatakan bahwa masa depan dan pengetahuan kita sama sekali tidak dapat diprediksikan. Bangkitnya teknologi informasi dapat mengembangkan segala bentuk superkemungkinan dan manusia dapat meninggalkan semua badannya di belakang, karena menggunakan mesin. Ia dipenuhi dengan ketakutan tentang hal ini dan mengingatkan kita akan makin meningkatnya hal-hal yang tidak manusiawi ketika teknologi tumbuh dan berkembang. Dalam dongeng modern Lyotard, ia bermain dengan ide bahwa generasi masa depan mungkin mengembangkan tahap kehidupan mental yang sedemikian terpisah dari materi sehingga mereka dapat lolos dari entropi alam semesta (runtuhnya atau terbakarnya secara total semua materi dan energi). Metanarasi ditolak karen atidak mungkin dan tidak sempurna. Metanarasi juga cenderung menggunakan teror dan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan.

4. Judul Jurnal Penulis Alamat website

: Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois Lyotard : Ummi Rodliyah : http://pemasaran.wikispaces.com/file/view/tugas+f.pdf.tgl

diakses pada tanggal 14 Desember 2013


Menurut Jean Francois Lyotard, bahwa awalan post pada Postmodern, merupakan elaborasi keyakinan modern, sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan tradisi modern dengan cara memunculkan cara-cara kehidupan dan pemikiran yang baru sama sekali. Pemutusan

dengan masa lalu (jaman modern) menurutnya merupakan jalan untuk melupakan dan merepresi masa lalu. Jadi semacam prosedur psikoanalitik dari anamnesis atau analisis yang memungkinkan para pasien untuk mengelaborasi persoalan-persoalan sekarang dengan secara bebas mengasosiasikan detil-detil melalui berbagai situasi masa lalu yang memungkinkan mereka untuk mengungkapkan makna-makna tersembunyi dalam kehidupan dan perilaku mereka. Kalau ilmu pengetahuan modern berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari mitos-mitos yang digunakan masyarakat primitif menjelaskan fenomena alam, dan modernitas adalah proyek intelektual yang mencari kesatuan berdasarkan fondasi sebagai jalan menuju kemajuan (progress). Mitos politik ini menganggap sain modern sebagai alat untuk kebebasan dan humanisasi. Sementara dalam pandangan Postmodernism bahwa sain tidak mampu

menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan. Sementara metanarasi itu berfungsi sebagai mitos baru bagi masyarakat modern. Bagi Postmodernis ide rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi historis, konstruksi sosial budaya dan bukan sesuatu yang sifatnya alami (kodrat) dan universal. Karena itu mereka tidak dapat diseragamkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial historis serta budaya lokal. Keaneka ragaman pemikiran menurut Lyotard hanya dapat dicapai dengan melakukan penolakan terhadap kesatuan (unity), dengan mencari disensus (ketidaksepakatan) secara radikal. Habermas menyebut kondisi kebudayaan baru itusebagai situasi ketidakteraturan baru (die neue Unubersichtlichkeit) sambil mengajukan rasio komunikatif sebagai alternatif. Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karena ia memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannnya terhadap konsep Narasi Besar serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity). Bagi Lyotard penolakan posmodern terhapad narasi agung sebagai salah satu ciri utama dari postmodern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan diri dari Grand-Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi) . Baginya Ilmu Pengetahuan pramodern dan modern mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada cerita-cerita besar (Grand-Naratives) yang menjadi kerangka untuk menjelaskan berbagai permasalahan penelitian dalam skala mikro bahkan terpencil sekalipun. Cerita Besar itu menjadi kerangka penelitian ilmiah dan sekaligus sebagai justifikasi keilmiahan. Grand- Naratives (Metanarasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektifias ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain diluar narasi besar dianggap sebagai narasi nonilmiyah. Sebagaimana di jelaskan sebelumnya bahwa sains modern berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari penjalasan pra ilmiah seperti kepercayaan dan mitos-mitos yang dipakai masyarakat primitif. Namun dalam pandangan kaum postmodernis termasuk Lyotard bahwa sains ternyata tidak mampu

menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan. Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua narasi besar telah muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan, yaitu : kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan dapat membawa umat manusia pada kemajuan ( progress). Namun era modern telah membuktikan banyak hal yang tidak rasional dan bertentangan dengan narasi besar itu seperti perang dua II, pembunuhan sekitar 6 (enam) juta yahudi oleh Nazi Jerman, hal ini menurut Lyotard merupakan bukti dari kegagalan proyek modernitas. Ambruknya ideologi marxisme-komunisme dan ceraiberainya Unisoviet, runtuhnya tembok Berlin, terjadi sepuluh tahun setelah penolakan Lyotard terhadap Narasi itu. Penolakan terhadap metanarasi/grandnarasi berarti menolak penjelasan yang sifatnya unifersal/global tentang realitas, tentang tingkah laku dan sebagainya. Lyotard juga menyatakan bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, unifersal, atau transendental (esensialis), melainkan bersifat spesifik, terkait dengan ruang-waktu (historis). Bagi pemkir postmodern ilmu pengetahuan memiliki sifat prespektifal, posisional dan tidak mungkin ada satu prespektif yang dapat menjangkau karakter dunia secara objektif-universal. Memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi disebabkan oleh proses delegitimasi atau krisis legitimasi, di mana fungsi legitimasi narasi-narasi besar mendapatkan tantangan berat. Contoh delegitimasi adalah apa yang dialami oleh sains sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan teknologi dan ekspansi kapitalisme. Dalam masyarakat pascaindustri, sains mengalami delegitimasi karena terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya terhadap legitimasi yang diajukannya sendiri. Legitimasi sains pada narasi spekulasi yang mengatakan bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi pengetahuan di masa capitalist technoscience tidak bisa lagi dipenuhi. Pengetahuan sains tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi profit di mana kriterium yang berlaku bukan lagi benar/salah, melainkan kriterium performatif: maximum output with a minimum input (menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin). Sains adalah permainan bahasa yang di dalamnya terkandung aturan-aturan normatif (misalnya pembuat proposisi tidak boleh membuat proposisi tanpa menyediakan bukti yang memperkuat proposisinya, pihak kedua tidak bisa memberikan bukti melainkan hanya memberi persetujuan atau penolakannya). Sains dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tidak bisa memberlakukan aturan mainnya secara universal hingga berhak menilai mana pengetahuan absah dan mana yang tidak. Lyotard yakin bahwa kita memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah mati digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi. Ketika kita ingin menjelaskan tentang manusia maka kita memiliki berbagai bidang ilmu, berbagai paradigma, dan prespektif, ini menunjukkan heterogenitas, fenomena, pluralitas perspekstif yang menghasilkan polivokalitas., lokalitas pengetahuan (keanekaragaman wacana). Perspektivisme tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari Nietzche digunakan Lyotard untuk menolak

pandangan ilmu pengetahuan yang universal dan total. Menurutnya tidak ada perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal. Manusia tidak memiliki akses untuk melihat dunia sebagaimana nyatanya, anggapan dan keinginan untuk mencapai itu adalah sia-sia. Kebutuhan dan keinginan untuk menemukan kebenaran ilmu pengetahuan, sesungguhnya hanyalah sekedar istilah yang mengacu pada wacana (discourse) yang berhasil dan bermanfaat. Ini berlaku bagi semua pengetahuan dan logika yang selalu bersifat profesional dan perspektif. Pada situasi postmodern ini ilmu pengetahuan dan filsafat bertujuan bukan lagi untuk penemuan kebenaran (apalagi kebenaran tunggal) akan tetapi lebih pada tujuan performatif dan nilai-nilai pragmatis. Dalam pandangan Lyotard relativisme dan kebenaran absolut sama-sama memiliki kelemahan. Kelemahan pandangan kebenaran absolut-universal adalah karena pada kenyataannya ilmuwan memiliki keterbatasan ketika menghadapi (meneliti) realitas. Apalagi kebenara teori juga bersifat tentatif atau propabilitas, sehingga pandangan bahwa teori bersifat benar secara absolut-universal tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain perspektivisme mengarahkan kita pada relativisme ilmiah, tetapi relativisme ilmiah ini tidak identik dengan penolokan akan kebenaran, akan tetapi mengakui kebenaran ilmu yang relatif, yaitu kebenaran sesuai dengan perspektif/paradigma yang digunakan. Bisa jadi perspektif tertentu dianggap lebih memilki kesempurnaan dibanding perspektif yang lain karena lebih akurat, lebih mendekati kebenaran dan lebih berguna.

5. Judul Jurnal Penulis Alamatwebsite:

: Postmodernisme Versus Modernisme : Agustinus Ryadi

http://www.academia.edu/2342432/POSTMODERNISME_VERSUS_MODERNISM E. agustinus ryadi jurnal ilmiah Studia Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004. Diakses pada tanggal 14 September 2013.

Istilah postmodernisme muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada 1960-an dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an. Salah satunya, Jean-Franois Lyotard, dalam bukunya, The Postmodern Condition:A Report on Knowledge, menyerang mitos yang melegitimasi jaman modern (narasi besar), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal sahih untuk seluruh umat manusia. Lyotard percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang

gagasan penalaran yang mentotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada adalah berbagai macam penalaran. Lyotard mengatakan: Saya akan menggunakan istilah modern untuk menunjukkan ilmu yang melegitimasikan dirinya sendiri dengan mengaitkan diri pada suatu metawacana dengan menunjuk pada narasi besar seperti Dialektika Roh,Hermeneutikamakna, Emansipasi subjek rasional. Dari perspektif ini postmodernisme diartikan sebagai ketidak-percayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apapun. Postmodernisme ini, sambil menolak pemikiran yang totaliter, juga menghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap kenyataan yang tak terukur. Prinsipnya bukanlah homologi para ahli, melainkan paralogi para pencipta. Dengan demikian Lyotard membawa istilah postmodernisme kedalam ruang lingkup diskusi filsafat yang lebih luas. Dan sejak itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, Fondasionalisme maupun atas modernisme pada umumnya, diidentikkan dengan kritikpostmodern. Oleh sebab itu, arti istilah postmodernisme di bidang filsafat memang lebih ambigu lagi; ia menjadi sekedar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain bisa sangat berbeda. Para pemikir posmodern tidak percaya pada metanarasi; mereka sangat mencurigai Hegel, Marx, dan bentuk-bentuk filsafat universal. Bagi Lyotard, kondisi di mana narasi besar modernitas dialektika Roh (Hegel),hermeneutik makna (historisisme Dilthey), emansipasi kaum buruh (Marx),pembebasan dari penyakit (Freud) atau perwujudan kesejahteraan (teoriteori modernisasi) kehilangan kredibilitas. Ia percaya tidak seorangpun dapat memahami yang sedang terjadi di dalam masyarakat secara keseluruhan. Ia menekankan bahwa Marxisme memiliki ambisi totalisasi dan menolak klaim Marxisme yang menyediakan penjelasan pada semua aspek pengalaman sosial. Ia mendefinisikan narasi sebagai narasi besar yang merupakan legitimasinya sebagai narasi modern. Narasi besar adalah narasi utama narasi penguasaan, narasi tentang manusia yang mencari tujuan (telos) hidupnya dengan menaklukkan alam. Narasi induk Marxis hanyalah salah satu versi narasi penguasaan modern. Kebangkitan post]modernitas menunjuk pada krisis dalam fungsi legitimasi narasi, yaitu kemampuannya untuk mendesakkan konsensus. Lyotard melihat bahwa filsafat sebagai pemaksaan kebenaran. Ia melawan Marxisme karena Marxisme dipandang sebagai salah satu narasi besar. Lalu Lyotard menyarankan untuk kembali ke pragmatika bahasa ala Wittgenstein, yaitu mengakui saja bahwa kita memang

hidup dalam pelbagai permainan-bahasa yang sulit saling berkomunikasi secara adil dan bebas. Lyotard menafsirkan bahasa Wittgenstein sebagai berikut: bahasa memang bukan suatu gejala tunggal, melainkan merupakan gejala yangs ejarah maupun karakter dasarnya bersifat lokal dan spesifik. Kita tidak dapat menghakimi suatu permainan bahasa dengan ukuran bahasa lain. Kita hanya bisa melakukan menatap dengan kagum keragaman spesies wacana itu. Lyotard menekankan pentingnya aspek retorik dan kompetitif dalam setiap permainan-bahasa. Interaksi antar permainan-bahasa itu lantas memang ditandai kecenderungan untuk saling menaklukkan. Tiapung kapan bisa dilihat sebagai tindakan politis untuk mendominasi permainan-bahasa lain. Bicara berarti berkelahi atau berjuang dalam pergulatan agonistik lalu lintas permainan-bahasa. Lalu Lyotard mengusulkan semacam strategi mikropolitik, yaitu strategi mengaktifkan paralogy. Prinsip dasar yang berlaku adalah kebutuhan untuk menggerogoti kesepakatan-kesepakatan yang telah mapan dalam rangka setiap kali memberi kembali peluang bagi karakter-karakter lokal tiap wacana, argumentasi dan legitimasi untuk dihargai. Bentuk intelektual dari situasiini adalah terbentuknya keragaman narasi-narasi kecil dan metaargumen yang saling mencari peluang untuk tampil kokoh dan diakui dalam percaturan bahasa. Lyotard melihat masyarakat kita saat ini adalah masyarakat yang individualistik, terfragmentasi. Ia merindukan masyarakat pramodern yang sangat menekankan nilai penting narasi, yakni mitos, kekuatan gaib. Dia percaya bahwa terjadi konflik antara narasi dan ilmu. Narasi menghilang dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Pendek kata, Lyotard berpendapat bahwa narasi besar itu buruk, narasi kecil itu baik. Narasi akan menjadi buruk bila berubah menjadi filsafat sejarah. Narasi besar diasosiasikan dengan program politik atau partai, sementara narasi kecil diasosiasikan dengan kreativitas lokal. Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition melukiskan beberapa karakter pokok dalam postmodern. Dia menyebutkan bahwa dalam post-modern terdapat kesangsian dalam menghadapi metanarasi, berakhirnya era pemikiran besar tentang manusia dan sejarah, akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan berhubungan dengan krisis metafisika. Dan Richard Rorty melukiskan kondisi eksistensial dari manusia postmodern sebagaimanusia ironis. Lanjutnya, manusia ironis adalah orang yang tidak mempunyai kepastian, metanarasi telah berakhir, orang menggunakan pluralitas bercerita serta tafsiran terhadap kenyataan. Akhirnya orang yang mempunyai karakter yang sungguh-sungguh relatif dan historis.

C. KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN LYOTARD

Jean Francois Lyotard merupakan salah satu tokoh pemikir aliran postmodernisme. Ia menentang adanya konsep Grand Narratives (Narasi-narasi Besar). Para tokoh

postmodernisme mengatakan bahwa modernisme telah berakhir. Perubahan dan pergeseran zaman ini telah ditunjukkan antara lain oleh peristiwa sejarah pembunuhan etnis di Auschwitz dan munculnya budaya pop. Bukti sejarah lain adalah hancurnya tembok Berlin serta reunifikasi Jerman Barat dan Timur, berakhirnya Perang Dingin, perubahan sosial, ekonomi, dan politik di negara-negara komunis dan eks-Uni Soviet, serta kritik tajam golongan yang prihatin terhadap lingkungan akibat eksploitasi atas alam dan sebagainya. Oleh karena itu, tokoh postmodernisme bersikeras menyatakan Postmodernitas adalah bentuk kehidupan, suatu bentuk refleksi atas dan jawaban terhadap akumulasi tanda-tanda yang tidak mempercayai lagi modernitas karena keterbatasan-keterbatasannya.

Postmodernitas adalah gaya hidup yang meragukan ketidakpastian, kekecewaan yang diakibatkan oleh modernitas, rentetan risiko yang harus dibayar mahal akibat keuntungan yang terkontrol dari modernitas.1 Penolakan terhadap grand narratives atau metanarasi berarti menolak penjelasan yang sifatnya universal atau global tentang realitas, tentang tingkah laku dan sebagainya.2 Lyotard juga berpendapat bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, universal, atau transedental (esensialis), melainkan bersifat spesifik, terkait dengan ruang dan waktu (historis). Lyotard menolak pandangan ilmu pengetahuan yang universal dan total. Menurutnya tidak ada perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal. Lyotard mengidentifikasi pergeseran dari budaya modern ke budaya postmodern seperti ditunjukkan oleh perkembangan yang sangat cepat di bidang telekomunikasi. Lyotard mengatakan bahwa budaya postmodern mendorong alternasi peraturan permainan dalam ilmu pengetahuan modern, sastra dan seni.3 Pada situasi postmodern ini, ilmu pengetahuan dan filsafat bukan lagi untuk penemuan kebenaran (apalagi kebenaran tunggal) akan tetapi lebih pada tujuan performatif dan nilai-nilai pragmatis. Lyotard juga berpendapat bahwa postmodernisme ini menawarkan intermediasi dari determinaasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity).

Henny William Booth Sumakul, Postmodernitas: Memaknai masyarakat Plural Abad ke-21, (Jakarta, Libri: 2012) hal. 67. 2 Ummi rodliyah, Postmodernisme Dalam Pandangan Jean francois Lyotard, diakses melalui website http://pemasaran.wikispaces.com/file/view/tugas+f.pdf.tgl pada tanggal 14 Desember 2013, hal 10. 3 Henny William Booth Sumakul, hal. 66.

Jika dilihat dari sisi epistimologis, skala berpikir yang disodorkan oleh Lyotard tentang postmodernis sangatlah dangkal. Banyak paradoksi yang didapat dau teori tersebut, jika dipaksakan pada tatanan praksis akan terjadi apa yang disebut dengan nihilisme, kekososngan. Kosong dari prinsip, ideologi, argumentasi rasional, logika sehat, pemahaman teks, konse beragama, dsb. Menurut keyakinan postmodernisme, tidak ada satu hal pun yang bersifat universal dan permanen. Sedang di sisi lain, doktrin mereka, manusia sellau dituntut untuk selalu mengadakan pergolakan. Kemudian, bagaiman mungkin manusia akan sellau mengadakan pergolakan, sementara tidak ada tolak ukur yang jelas dalam penentuan kebenaran akan pergolakan?. Bagaimana mungkin manusia sellau mengkritisi segala argumentasi yang muncul, sedang tidak ada tolak ukur dalam kebenaran berpikir?. Bagaimana mungkin manusia bisa beragama, sedangkan konsep beragama harus dibarengi dengan keimanan, sementara menurut postmodernis tidak ada keimanan dan keyakinan universal dan permanen? Serta masih banyak lagi persoalan yang bisa dimunculkan dari asasasas dasar postmodernisme. Salah satu pertanyaan prinsip yang bisa dilontarballikkan kepada para pendukung aliran ini adalah: adakah asas-asas postmodernisme sendiripun bersifat universal atau permanen? Tentunya berdasar pada pondasi pemikiran mereka jawabnnya negatif. Hal ini berarti postmodernisme tidak memiliki asas-asas yang jelas (universal dan permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya?. Jika jawaban mereka positif, jelas sekali, hal itu bertentangan dengan statemen mereka sendiri. Sebagaimana postmodernisme selalu menekankan untuk mengingkari bahkan menenetang hal-hal yang bersifat universal dan permanen. Maka atas dasar postmodernisme pula seseorang dapat menggunggat keuniversalan dan kepermanenan asas-asasnya yang telah mereka sepakati. Jadi, atas dasar dikarenakan postmodernisme seorang individu dapat menolak postmodernisme, hal itu dikarenakan postmodernisme tidak meyakini adanya prinsip logika yang jelas dalam menentukan tolak ukur kebenaran berpikir dan relativitas kebenaran. Ini merupakan salah satu bukti dari sekian banyak kerancuan berpikir dalma konsep postmodernisme. Budaya dangkal postmodern sebagai salah satu pengakuan terhadap keterbatasan ilmuwan dalam menemukan esensi realitas (kebenaran objektif universal). Pandangan esensialisme yang didukung oleh paradigma positivisme dianggap tidak realistik dan tidak mampu menjelaskan fenomena sosial budaya yang begitu beraneka ragam (heterogen). Sehingga pemikiran dan konsep-konsep tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sosial-budaya.

Sumber Rujukan:

Sumakul, H.W. B. 2012. Posmodernisme: Memaknai Masyarakat Plural Abad keJakarta: Libri.

21.

Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. ODonnel, Kevin. 2009. Posmodernisme. Yogyakarta: Kanisius. Ummi Rodliyah. Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois Lyotard. Diakses melalu website http://pemasaran.wikispaces.com/file/view/tugas+f.pdf.tgl pada tanggal 14 Desember 2013 Agustinus Ryadi. Postmodernisme Versus Modernisme. Diakses melalui website http://www.academia.edu/2342432/POSTMODERNISME_VERSUS_MODERNISM E. agustinus ryadi jurnal ilmiah Studia Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004. pada tanggal 14 September 2013.

Anda mungkin juga menyukai