POSTMODERN: POSTMODERN
Disusun oleh:
1. Dimas Wahyu Pratama Putra (2303060184)
2. Muhamad Rayhan Prananda (2303060179)
3. Muhammad Faiz Ramadhan (2303060224)
4. Ade Apandi (2303060023)
5. Raihan Muhammad Rameli (2303060134)
6. Rafa Maula Aksan Sabili (2303060149)
7. Muhamad Zaki M. H. (2303060064)
8. Muhammad Adrian Himawan (2303060209)
A. LATAR BELAKANG
Teori postmodern adalah sebuah gerakan intelektual yang muncul sebagai kritik
terhadap beberapa tema yang dikemukakan oleh kaum modern atau modernis, seperti
kebenaran absolut, narasi besar, rasionalisme, dan universalisme. Teori postmodern
juga menolak adanya fondasi atau signifikansi yang tetap dalam makna, pengetahuan,
dan budaya. Teori postmodern lebih menghargai keragaman, pluralisme, ambiguitas,
dan perbedaan.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah postmodern mulai banyak digunakan orang dari berbagai kalangan pada
dekade 1970-an. Istilah postmodern tercatat pertama kali, menurut Ritzer , pada 1870-
an. Konsep ini muncul pertama kali dalam sebuah judul buku pada 1926 dan
dimunculkan kembali pada 1930-an dan 1940-an. Pada 1960-an, Susan Sontag
menulis Against Interpretation, yang merupakan literatur postmodern awal. Dalam
karyanya ini, ia berpendapat bahwa memahami interpretasi merupakan tindakan yang
melumpuhkan dan penindasan. Ia menekankan pentingnya sensasi langsung, dan
bukannya memahami makna dari interpretasi-interpretasi.
Karakteristik pengetahuan yang lekat dengan kepentingan kekuasaan ini akan sangat
terlihat dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang diajukan. Dari gagasan yang
dilontarkan Foucault tersebut merefleksikan bahwa ia memiliki karakter sebagai
pemikir yang anti-kemutlakan, anti-kemapanan, anti-keseragaman dan anti-finalis.
Pemikiran postmodernisme lain yang muncul pada dekade 1970-an datang dari
filsuf Prancis lain, Jean François Lyotard, yang juga membangun kritikan terhadap
grand narrative. Baginya grand narrative layaknya mitos atau dongeng yang
menceritakan dan menjelaskan sejumlah besar peristiwa. Secara implisit, dari grand
narrative terselip adanya kekuasaan atas pikiran pembacanya. Apa yang hadir dari
grand narrative seolah-olah menjadi kebenaran mutlak atau dogma.
Teori yang paling baru dalam sosiologi saat ini adalah postmodernisme.
Postmodernisme, seperti halnya teori kritik, cenderung bertentangan dengan ilmu
pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh Lyotard dan Rorty. Ada banyak
teoretikus yang dapat digolongkan sebagai postmodernis, yang masing-masing
memiliki versi pandangan yang berbeda, baik dalam hal ontologi dan epistemologi
maupun aksiologi. Mengingat begitu banyak tokoh yang dapat dikategorikan sebagai
postmodernis, sebuah usaha untuk membuat sistematika akan banyak menolong untuk
memetakan teori yang satu ini. Ritzer dan Goodman (2008) dalam kaitan ini
mengklasifikasikan teoretikus postmodern menjadi 3 kategori.
Pertama, kelompok yang menganggap bahwa telah terjadi kehancuran radikal dan
masyarakat modern telah digantikan oleh masyarakat postmodern Jean Baudrillard,
Gilles Deleuze, dan Felix Gauttari.
Kedua, kelompok yang menganggap bahwa meskipun telah terjadi perubahan,
postmodern tumbuh sebagai lanjutan dari modernisme pemikiran Marxisme seperti
Frederich Jameson, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, dan feminis postmodern sperti
Nancy Fraser dan Linda Nicholson.
Ketiga, kelompok yang melihat bahwa antara modernisme dan postmodernisme
hanyalah sebagai epos. Keduanya terlibat dalam hubungan jangka panjang yang terus
berlanjut, dengan postmodernisme yang terus menunjukkan keterbatasan modernisme
Barry Smart. Pertanyaan yang muncul di benak kita barangkali adalah mengapa teori
postmodern ini muncul dan mendapat sambutan begitu meriah di seluruh belahan
dunia, faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi tumbuhnya teori ini dan apa
bedanya dengan teori-teori yang ada sebelumnya Paling tidak, secara garis besar
terdapat dua hal yang mendorong lahirnya teori postmodern, yakni kondisi sosio-
ekonomi-politik masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan yang mengawal
kemajuan-kemajuan selama era modernisasi.
Adapun era modernisasi yang dimaksud adalah era sejak masa pencerahan yang
kemudian diikuti oleh revolusi industri hingga masa sebelum era globalisasi saat ini.
Faktor pertama secara umum berkaitan dengan kegagalan modernisasi dalam
mengangkat harkat dan martabat serta kesejahteraan masyarakat dunia sebagaimana
janji-janji sebelumnya yang dilontarkan pada masa pencerahan dulu.
Kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, radikalisasi politik massa, dan rezim politik
totalitarian di berbagai penjuru dunia adalah beberapa fenomena untuk menyebut
bukti kegagalan tersebut. Faktor kedua menunjuk pada perkembangan ilmu
pengetahuan yang cenderung mengedepankan absolutisme kebenaran tunggal dengan
menegasikan aspek-aspek manusiawi dalam metode penelitiannya. Dengan latar
belakang seperti itu, teori postmodern berusaha mengeksplorasi sisi-sisi negatif
masyarakat modern.
Menurut Jameson sebagaimana dikutip Denzin, (2005) teori postmodern diarahkan
kepada masyarakat visual beserta representasinya, logika kultural, dan persoalan-
persoalan personal baru seperti AIDS, tuna wisma, kecanduan obat, kekerasan, serta
persoalan-persoalan publik yang terjadi saat ini. Pada tingkat yang lebih abstrak,
logika kultural masyarakat kapitalisme akhir menjadi pusat perhatian teori ini.
Postmodernisme lebih dari sekadar serangkaian formasi ekonomi.
Masyarakat postmodern merupakan suatu produksi sinematik dan dramaturgikal
melalui industri film, televisi, video, dan sebagainya yang merepresentasikan
kenyataan pengalaman hidup aktual. Tiga implikasi mengikuti pandangan dramaturgi
terhadap kehidupan kontemporer. Pertama, realitas adalah suatu panggung produksi
sosial. Kedua, kenyataan saat ini dinilai dari panggungnya, pasangan sinematik-video.
Ketiga, metafora masyarakat dramarturgikal atau dunia adalah panggung sandiwara
saat ini telah menjadi realitas interaksional. Aspek teatrikal dari metafora
dramaturgikal tidak hanya merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari, melainkan
mereka menggantikannya. Seni bukan hanya cermin kehidupan, ia menstruktur dan
mereproduksinya. Masyarakat postmodern adalah suatu masyarakat dramaturgik
sebagaimana dikatakan Goffman. Di samping perubahan utama dalam pandangan
dunia yang direpresentasikan dalam teori postmodern, beberapa aspek budaya
modernitas, khususnya teknologi dan bentuk lain budaya material, secara nyata sangat
relevan dalam dunia kontemporer.
Menurut Johnson (2008), kelanjutan kemajuan dalam area ini seperti transportasi,
komunikasi, produksi, dan sistem informasi, serta teknologi komputer adalah bagian
penting dari lingkungan material yang mempunyai pengaruh besar terhadap
pandangan dunia dan munculnya gaya hidup baru pada era postmodern.
Uraian di atas menunjukkan bahwa teori postmodern merupakan teori yang sangat
kompleks karena variasi pemikiran dari para eksponennya. Di antara variasi
pemikiran tersebut terdapat beberapa kesamaan atau titik temunya. Salah satu
kesamaan pemikiran postmodern adalah dalam hal pijakan teoretisnya point of
departure, yakni bahwa postmodernisme lahir karena kegagalan modernisme dalam
berbagai hal. Postmodernisme merupakan suatu gerakan menuju zaman pascaindustri.
Sebagai konsekuensinya, teori postmodern menentang berbagai asumsi yang
mendasari modernisme, terutama ilmu pengetahuan yang berkembang pada zaman
itu.
Teori postmodern dalam hal ini menentang kebenaran tunggal sebagaimana
dijanjikan oleh teori-teori besar grand theory dengan menyatakan bahwa grand
theoryatau dalam istilah Baudrillard disebut metanarasitelah menemui ajalnya.
D. KRITIK/ TANGGAPAN
Ritzer (2009: 408–424) mengidentifikasi kritik-kritik terhadap teori postmodern sebagai
berikut.
1. Kebanyakan kritisisme atas teori sosial postmodern menentang kegagalannya untuk
bertindak sesuai dengan standar sains postmodern, standar-standar yang dijauhi oleh
postmodernis.
2. Antimodernisme teoretikus sosial postmodern memunculkan banyak persoalan lain
bagi mereka, termasuk kecenderungan atas ketiadaan konseptualisasi yang jelas.
3. Meskipun kecenderungan mereka mengkritisi narasi besar dan totalisasi, teoretikus
sosial postmodern seringkali menawarkan variasi-variasi narasi dan totalisasi mereka
sendiri.
4. Dalam analisis mereka, teori sosial postmodern seringkali menawarkan kritik
masyarakat modern, tetapi kritik tersebut diragukan validitasnya karena mereka biasanya
tidak memiliki dasar normatif untuk membuat penilaian.
5. Terobsesi dengan perkembangan (postmodern) kontemporer, seseorang seringkali
mempertanyakan teori sosial postmodern mengenai masa lalu.
6. Penolakannya atas subjek dan subjektivitas, postmodern seringkali tidak memiliki teori
agensi.
7. Teoretikus sosial postmodern sangat baik sekali mengkritisi masyarakat, tetapi mereka
tidak memiliki sama sekali visi apa yang semestinya dilakukan masyarakat.
8. Teori sosial postmodern pesimisme yang sangat kelam.
9. Beberapa teoretikus sosial postmodern memiliki kecenderungan yang mengganggu
untuk melakukan proses materialisasi, setidak-tidaknya beberapa fenomena sosial.
10. Ada diskuntinuitas besar yang terdapat pada kajian teori sosial postmodern, dan ini
menyebabkan persoalan-persoalan tidak terselesaikan dan ambigu.
11. Di samping bergulat dengan hal-hal yang mereka anggap sebagai persoalan-persoalan
sosial utama, teoretikus sosial postmodern akhirnya cenderung melupakan persoalan
kunci saat ini.
12. Barangkali teoretikus sosial postmodern berusaha menyatukan perspektif postmodern
dengan perspektif lain, yaitu perspektif yang lebih tradisional. Namun, mereka seringkali
gagal memuaskan pendukungnya dalam beberapa kemampuan teori.
13. Di samping beberapa bentuk kasus kajian mereka tidak dapat dibedakan dengan
bentuk kajian modernis, bentuk kajian mereka juga menimbulkan persoalan bagi
teoretikus sosial postmodern.
14. Di samping seseorang bisa menjumpai para pengikut di antara mereka, para feminis
secara khusus sering mengkritisi teori sosial postmodern.
postmodern lain datang dari tokoh-tokoh cultural studies seperti Hall, Hebdige, dan
Grossberg. Hall (Kellner, 1990: 278) secara khusus mengkritik karya Baudrillad, The
Silent of Majority, sebagai teori postmodern yang mengonsepsikan massa sebagai pasif,
pesimis, dan politik sinisme dan nihilisme. Dick Hebdige menyebut teori-teori yang
dilontarkan Baudrillard penuh racun, tidak ada masa depan dan meningkatkan klenik
(ilmu sihir), dan irasionalitas. Sementara itu Grossberg (Kellner, 2005: 403) mengkritik
Baudrillard sebagai versi postmodernisme dan cultural studiesyang ekstrem. Dari
sejumlah artikel Baudrillard terlihat elitisme, sangat pesimistik dan nihilisme serta
terdapat “defisit politis” dibandingkan dengan teori postmodern lain yang lebih positif.
Teori Postmodernis selain itu dituduh memperlakukan “ilmu pengetahuan sebagai
metafora” dan memainkan sebuah peran intellectual hooky yang secara nyata didukung
filsafat. Menurut Gross dan Levitt (Stahl et al., 2002: 163), kebanyakan postmodernis
berpendapat bahwa “realitas” adalah chimerical atau hal yang paling dapat diakses
pengetahuan manusia, dan bahwa kesadaran manusia adalah suatu penjara permainan
bahasa yang dikodifikasi. Jadi, seolah ada kepercayaan bahwa menguasai kata-kata, yang
melebihi terminologi dalam kamus, berarti menguasai dunia.
kebebasan bukanlah suatu fakta ahistoris sebagai subjek esensial manusia, melainkan
secara konstan disaring dari strategi kekuasaan kompleks di mana subjek diinterpelasi
sebagai tidak sama, karena orang pada dasarnya saling bergantung secara mutual.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat, kebebasan itu tidak pernah dapat dicapai pada
tingkat yang “sama” di antara manusia.
Giddens (Jones, 2009: 253–254) menyatakan bahwa teori postmodern adalah suatu
teori sosial yang salah arah dalam tiga hal: (1) teori tersebut telah mengabaikan realitas
institusional kehidupan pada abad 21; (2) adalah keliru memandang individu manusia
tidak berdaya (tidak memiliki kekuasaan) ketika berhadapan dengan pengaruh-pengaruh
wacana; (3) tidak memberikan kontribusi yang berguna bagi pembangunan dunia yang
lebih aman dan lebih baik karena ia menolak bahwa manusia memiliki kapasitas
pengetahuan bagaimana segala sesuatu sesungguhnya ada. Dengan demikian, menurut
Giddens, postmodernisme tidak memadai sebagai suatu teori sosiologi.
Keberadaan teori poststrukturalisme sering dianggap sebagai “antiteori” atau
“antimetode”. Namun, kemunculannya mendapatkan tanggapan serius dari sebagian
ilmuwan, terutama dari mereka yang masih memegang kuat tradisi positivisme dan para
“modernis”. Keberatan utamanya terletak pada konsep-konsep inti yang dikembangkan
pendukung poststrukturalisme dan postmodern seperti: dekonstruksi, difference,
arkeologi, genealogi kekuasaan, metanarasi, dan sebagainya, yang dianggapnya sebagai
“metode” dan “pendekatan” yang cenderung relativistik atau bahkan nihilistik terhadap
diskusus dan hanya merupakan intellectual gimmick (tipu muslihat intelektual) (Al-
Fayyadl, 2009).
E. PROSPEK/ PENGEMBANGAN
Teori postmodern merupakan teori yang boleh dikatakan paling fenomenal saat ini.
Teori ini lahir dan selanjutnya memengaruhi banyak disiplin ilmu. Kehadiran teori ini
telah mengusik kemapanan teori-teori yang berkembang selama ini, khususnya teori-
teori yang mendewakan kebenaran pada grand theory atau dalam istilah Lyotard,
metanarrative. Dalam sosiologi, teori postmodern menjadi ancaman serius bagi teori-
teori besar yang selama ini telah menjadi tradisi pemikiran, seperti teori-teori
Durkheim, Marx, Weber, Simmel, dan lain-lain. Sosiologi konvensional berhubungan
dengan tradisi pencerahan dan modernitas, sedangkan teori postmodern menolak ide-
ide pencerahan dan modernitas itu sendiri. Oleh karena itu, dalam sosiologi muncul
berbagai persoalan dan ketegangan.
Menurut Ryan 2006, paling tidak ada dua persoalan berkaitan dengan evaluasi kritis
sosiologi klasik. Teori sering gagal membedakan antara postmodernitas sebagai a state
of society sebagai contoh, seperti diilustrasikan antara lain dengan fleksibilitas dalam
pekerjaan, dominasi industri jasa, pertumbuhan teknologi informasi, meningkatnya
konsumerisme, dan penurunan secara umum ekonomi post-Fordisme dan
postmodernisme sebagai a type of theory yang menggunakan analisis tekstual, ironi,
bentuk esai, dan aporisme.
Teori postmodern di Eropa masih berpengaruh dalam analisis sosiologis tentang
budaya dan identitas, dan juga dalam ekspansi metodologi baru yang
mempertanyakan tradisi positivisme dan behaviorisme. Metode survei dan analisis
kuantitatif mulai ditinggalkan. Di sisi lain, tumbuh minat pada metode kualitatif,
etnografi, riset biografis, oral history, dan analisis wacana. Meningkat pula
penggunaan komunikasi elektronik sebagai suatu metode penemuan riset.
Dalam teori sosial, kemunculan teori-teori baru seperti konstruksionisme,
postmodernisme, poststrukturalisme, dan queer theory segera digantikan oleh teori
globalisasi dan kesadaran, di mana teori-teori baru itu menaruh perhatian pada aspek-
aspek negatif globalisasi seperti perang versi baru, terorisme, perbudakan, dan
kriminal. Dampak globalisasi, perdebatan baru akan muncul dalam sosiologi sekitar
pertanyaan kosmopolitanisme dan sosiologi global. Teori postmodern menyerang teori
sosiologi terutama mengenai dasar sains, fondasi, kecenderungan totalitas, esensi, dan
kepicikannya.
Dengan kelemahan-kelemahan itu postmodernisme dipahami oleh pengikut-
pengikutnya sebagai alternatif sosiologi modern Ritzer, 2009. Sekalipun mendapat
kritikan, ada semangat pembaruan bagi kemungkinan bersinarnya kembali grand
narrative dalam teori sosiologi umum. Dalam karyanya yang terkenal The Return of
Grand Theory, Jrgen Habermas dengan penuh semangat mengusung kembali
konsepsi-konsepsi dasar masa pencerahan dan menyatakan pentingnya upaya untuk
menyempurnakan proyek modernisme yang tidak terselesaikan.
Semangat ini, meskipun demikian, tidak menular ke sejumlah ahli lain, bahkan di
antara ahli yang keberatan dengan klaim-klaim postmodernisme itu sendiri. Sebagai
contoh, Frederick Crews 1986 yang mengeluh bahwa teorisasi dalam ilmu sosial
secara virtual lari dari dirinya sendiri dan menjadi theoreticism. Menurut Crew teori
dalam sosiologi telah menggali liang kuburnya sendiri, memisahkan dari tujuan
aslinya dan terlepas dari bukti dan temuan empirik Cuff, (2006).
Habermas menggunakan pendekatan berbasis komunikasi untuk menjelaskan
berbagai isu. Dalam The Philosophical Discourse of Modernity 1985 diterjemahkan
pada 1987 dan The New Conservatism 1985 1989, dia mempertahankan prinsip-
prinsip pencerahan terhadap postmodernisme dan konservatisme. Dalam Moral
Consciousness dan Communicative Action 1983 1990 dan Justification and
Application 1991 1993, dia menggunakan teori pragmatis universal untuk domain
etika. Diskursus etika memperlakukan klaim normatif seperti klaim-klaim kebenaran
manusia menyadari memiliki suatu makna kognitif. Diskursus etika mengasumsikan
bahwa basis norma-norma memerlukan suatu dialog, seperti penilaian moral tidak
dapat disimpulkan dengan mudah oleh individu yang terisolasi sebagaimana
pendekatan formal, juga tidak secara sederhana merefleksikan kode-kode sosial
sebagaimana dalam perspektif komunitarian. Dalam Between Facts and Norms 1992
1996, Habermas mengambil posisi bahwa isu legal dan politik tidak harus berada di
tangan ahli.
Nampaknya, kritik dari teori postmodern terhadap teori feminisme mendorong
revolusi di tubuh teori feminisme, baik dari dimensi ontologi, epistemologi, maupun
aksiologinya. Bagi Haraway (Rogers, 2001: 291), persoalan feminis postmodernisme
atau postmodernis feminisme berada di seputar “politik dan epistemologi”, yakni
antara lain berupa bagaimana memosisikan dan mensituasikan pengetahuan secara
parsial (bukan secara universal) dan juga kondisi-kondisi apa yang digunakan sebagai
klaim-klaim pengetahuan rasional. Teori Feminisme berkaitan dengan “politik dan
ilmu pengetahuan interpretasi, penerjemahan, asumsi, dan—secara khusus—
pemahaman” Haraway yang mengadopsi ironi, baik tentang strategi retorik maupun
metode politis.
Karya-karya teoretikus postmodern menstimulasi pertanyaan-pertanyaan baru
tentang perubahan sosial dan asal-usul feminisme dan sosiologi itu sendiri. Selain itu,
teori postmodern mendorong pendekatan yang lebih refleksif dalam teori feminisme.
Berkaitan dengan postmodernisme, teoretikus feminis berpendapat sebagai berikut.
1. Menolak anggapan kaum modernis tentang penindasan dan pengecualian
perempuan dalam teori sosial.
2. Mengatasi beberapa isu yang diperdebatkan dalam teori feminis kontemporer,
seperti asal-usul perbedaan seksual.
3. Memberi kontribusi perdebatan postmodernisme dalam ilmu sosial dan
humaniora secara lebih umum dengan mengintegrasikan suatu kesadaran
seksual ke dalam perkembangan teori (suatu hal yang kurang diperhitungkan
postmodern).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Teori postmodern adalah sebuah gerakan intelektual yang menolak beberapa asumsi
dan klaim kaum modernis, seperti kebenaran absolut, meta-naratif, rasionalisme, dan
universalisme. Teori postmodern juga menekankan keragaman, relatifitas, ambiguitas,
dan kompleksitas dalam berbagai bidang budaya, seni, filsafat, dan sosiologi.
Beberapa tokoh yang terkait dengan teori postmodern adalah Lyotard, Baudrillard,
Derrida, Hutcheon, dan Jameson. Teori postmodern memiliki banyak interpretasi dan
implikasi yang berbeda-beda, tergantung pada sudut pandang dan konteksnya. Teori
postmodern juga sering dikritik karena dianggap nihilis, skeptis, dan tidak konsisten.
Modernisme dan postmodernisme adalah dua gerakan budaya yang berkembang
pada abad ke-20 dan mempengaruhi berbagai bidang seni, sastra, dan kreatif. Secara
umum, modernisme menekankan pada nilai-nilai modern, individualisme,
eksperimen, dan penolakan terhadap tradisi. Postmodernisme, di sisi lain,
menekankan pada keragaman budaya, relativisme, ironi, dan skeptisisme terhadap
narasi besar.