PENDAHULUAN
Latar Belakang
Oleh karena itu penulis ingin mengetahui lebih luas lagi mengenai
postmodernisme berdasarkan pemikiran Lyotard, yang akan di bahas dan
dijelaskan dalam bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi
Jean Francois Lyotard lahir pada tahun 1924 di Versailes kota kecil di
sebelah selatan kota paris. Lyotard lahir dari pasangan Jean Pierre Lyotard dan
Madeleine. Awal karir Lyotard bermula ketika ia mulai belajar filsafat di
Sorbonne setelah perang dunia ke II dan mendapat gelar agra’gation de
philosophie pada tahun 1950an. Kemudian pada tahun 1950 – 1952 ia mengajar di
sekolah menegah di kota Konstantine, Aljazair Timur. Karirnya kemudian
dilanjutkan dengan menjadi seorang professor filsafat di universitas paris VII.
Jabatan tersebut ia pegang sampai usia pensiunnya di tahun 1989. Sebelum
memasuki usia pensiun, tepatnya pada tahun 1956 – 1966, Lyotard juga berprofesi
sebagai anggota dewan redaksi jurnal sosialis Sosialisme dan Berbarie
(Sosialisme dan keadaan barbar).
Di samping itu ia juga menjadi seorang anggota dewan redaksi surat kabar sosialis
Pouvoir Ouvier. Saat itu, Lyotard sangat menentang keras adanya kebijakan
pemerintah terkait dengan perang di Aljazair, dan ikut dalam gerakan yang terjadi
di perancis pada tahun 1968. Tahun 1950 – 1960 menjadi era di mana ia di kenal
sebagai seorang aktivis yang beraliran marxis yang terkemuka. Pada tahun 1971 ia
berhasil memperoleh gelar doktor sastra dengan disertasi yang berjudul discours,
figure (diskursus, figure) yang membahas tentang problem bahasa dengan
fenomenologi.
Beberapa karya yang telah dihasilkan oleh lyotard antara lain yaitu:
1. La phenomenology (1954)
Lyotard percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan
penalaran yang mentotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada adalah
pelbagai macam penalaran. Lyotard melihat bahwa filsafat sebagai pemaksaan
kebenaran. Ia melawan Marxisme karena Marxisme dipandang sebagai salah
satu “narasi besar”. Lalu Lyotard menyarankan untuk kembali ke “pragmatika
bahasa”ala Wittgenstein, yaitu mengakui saja bahwa kita memang hidup dalam
pelbagai permainan bahasa yang sulit saling berkomunikasi secara adil dan bebas.
Lyotard melihat masyarakat kita saat ini adalah masyarakat yang
individualistik, terfragmentasi. Ia merindukan masyarakat pramodern yang sangat
menekankan nilai penting narasi, yakni mitos, kekuatan gaib,
kebijaksanaan rakyat, dan bentuk bentuk penjelasan lain. Dia percaya bahwa
terjadi konflik antara narasi dan ilmu. Narasi menghilang dan tidak ada yang bisa
menggantikannya. Pendek kata, Lyotard berpendapat bahwa narasi besar itu
buruk, narasi kecil itu baik. Narasi akan menjadi buruk bila berubah menjadi
filsafat sejarah. Narasi besar diasosiasikan dengan program politik atau partai,
sementara narasi kecil diasosiasikan dengan kreativitas lokal.
Meskipun pada tahun 1950 dan 1960-an ia adalah aktivis politik dengan
pandangan-pandangan Marxis, pada tahun 1980-an Lyotard menjadi seorang
filosof postmodernisme non-Marxis. Oleh sebab itu, postmodernisme menjadi
sebuah keterlepasan mendasar dari pemikiran totaliter yang diwakili oleh
Marxisme. Tahun 1954 terbit buku pertama Lyotard yang berjudul La
Phenomenologi yang merupakan buku pengantar dalam memahami fenomenologi
Husserl. Dua belas tahun kemudian setelah terbit buku pertamanya tersebut
yakni tahun 1966, ia resmi menyatakan keluar dari Marxis karena ia merasa
kecewa dengan kegagalan gerakan Marxis untuk membangun masyarakat sosialis
yang adil sebagaimana digembar-gemborkan selama ini. Sebaliknya, Marxisme
berusaha menciptakan masyarakat yang homogen yang hanya dapat diwujudkan
dengan cara kekerasan dan pelanggaran hak-hak azasi manusia. Lyotard sangat
tidak setuju dengan keseragaman atau upaya menyeragamkan apalagi upaya
tersebut dicapai dengan jalan kekerasan. Baginya, salah satu karakteristik
masyarakat postmodern adalah indivualis dan kebebasan untuk berbeda dengan
yang lain. Istilah postmodern itu sendiri sebagai kritik terhadap filsafat modern ia
perkenalkan pertama kali di dalam bukunya yang terkenal “La ConditionPostmod
erne, Rapport sur le Savoir” terbit tahun 1979 dan diterjemahkan kedalam bahasa
Inggris dengan judul “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.”
Edisi bahasa Inggrisnya terbit pada tahun 1984 dan sejak itu ia
menjadilocus classicusuntuk diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang
filsafat. Dalam buku itu ia mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan
perubahan yang luar biasa pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada
masyarakat informasi.
Perkembangan dan perubahan tersebut telah menggiring masyarakat
tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern. Selama empat
puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin terkait
erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi dan sibernetik,
komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi,
dan bank data. Transformasi teknologi berpengaruh besar pada pengetahuan.
Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah merubah cara memperoleh,
klasifikasi, penciptaan dan ekspoitasi pengetahuan. Dan Lyotard percaya bahwa
sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi
besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki
apa yang disebut zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak
lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan
hanya akan diciptakan untuk dijual. Dalam buku tersebut, pemikiran Lyotard
umumnya berkisar tentang posisi pengetahuan di abad teknologi informasi ini,
khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui, yang disebutnya,
“narasi besar” (grand narrative), seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum
proletar dan sebagainya.
Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang
sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan,
kepercayaan tentang keunggulan Barat dan sebagainya, yaitu mereka pun kini
menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasi-
narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan
kesahihan ilmu itu sendiri. Dalam kerangka ini pula, aspek mendasar yang
dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya merupakan upaya tentang
kemustahilannnya membangun sebuah wacana universal nalar sebagaimana
diyakini oleh kaum modernis.
Bagi Lyotard dengan postmodernisme-nya menganggap bahwa untuk
mengaktifkan ilmu pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaan-
perbedaan, keputusan-keputusan, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru.
Ia tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat diwadahi oleh suatu badan
pemersatu yang berupa sistem stabil. Sebab menurutnya, ilmu pengetahuan itu
tumbuh sebagai sistem yang organik, dalam arti tidak homogen apalagi tertutup
pada eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan wacana. Dari
perspektif Lyotard ini, secara jelas kita dapat memahami bahwa postmodernisme
adalah usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap segala “Narasi
Besar” filsafat modern; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala
bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme,
Marxisme, atau apapun.
Secara demikian, Postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang
totaliter, juga mengimplikasikan dan menganjurkan kepekaan kita terhadap
perbedaan dan memperkuat toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur.
Postmodernisme dengan demikian lahir untuk menolak anggapan-anggapan
modernisme yang membawa keyakinan bahwa filsafat melalui rasio sebagai
sarananya mampu merumuskan hal-hal yang dapat berlaku secara universal.
Postmodernisme menolak cara pandang tunggal atau paradigma tunggal dan
sebaliknya menyatakan bahwa terdapat banyak paradigma atau perspektif dalam
melihat realitas dunia. Pandangan ilmu yang obyektif universal harus digantikan
oleh hermeneutika tentang realitas.
Memudarnya kepercayaaan kepada narasi besar disebabkan oleh proses
delegitimasi atau krisis legitimasi, dimana fungsi legitimasi narasi-narasi besa
rmendapatkan tantangan-tantangan berat. Sebagai contoh, delegitimasi adalah
apa yang dialami ilmu sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan
teknologi dan ekspansi kapitalisme. Dalam masyarakat pasca industri, ilmu
mengalami delegitimasi karena terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya
terhadap legitimasi yang diajukannya sendiri. Legitimasi ilmu pada narasi
spekulasi yang mengatakan bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi
pengetahuan di masacapitalist technosciencetidak bisa lagi dipenuhi.
Pengetahuan tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi profit
dimana kriteria yang berlaku bukan lagi benar-salah, melainkan kriteria
performatif yaitu, menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil
mungkin.
Pengetahuan ilmiah tidak merepresentasikan totalitas pengetahuan karena
pengetahuan ilmiah selalu bersaing dengan pengetahuan lain, yang disebut
Lyotard sebagai narasi. Pada masyarakat tradisional, narasi seperti ini
menjadi penting. Narasi menentukan kriteria kompetensi serta menjelaskan
bagaimana kriteria tersebut diterapkan. Perbedaan utama pengetahuan
ilmiah dan pengetahuan narasi adalah bahwa pengetahuan ilmiah mengandaikan
hanya ada satu permainan bahasa, yakni bahasa denotatif, sementara
permainan bahasa yang lain harus diabaikan. Sedangkan pengetahuan narasi
mengesahkan diri tanpa harus merujuk pada argumen dan bukti atau
tanpa harus menggunakan verifikasi dan falsifikasi. Karena itu, para
ilmuwan mempersoalkan validitas kebenaran pernyataan-pernyataan narasi
dan menyimpulkan bahwa pengetahuan narasi itu tidak tunduk pada argument
dan bukti. Baik pengetahuan ilmiah dan pengetahuan narasi adalah sama-sama
penting. Keduanya tersusun dari serangkaian pernyataan yang dilontarkan oleh
para pemain dalam kerangka peraturan yang dapat diterapkan secara umum.
Peraturan-peraturan itu bersifat khusus pada setiap jenis pengetahuan. Pernyataan
yang dianggap baik dalam suatu jenis pengetahuan tertentu pasti akan berbeda
dengan pernyataan yang dipandang baik dalam jenis pengetahuan yang lain.
Oleh sebab itulah, maka tidak mungkin menilai eksistensi dan validitas
pengetahuan non ilmiah atau narasi berdasarkan pengetahuan ilmiah ataupun
sebaliknya karena kriteria atau permainan bahasa yang digunakan tidak sama.
Perbedaan bahasa yang dimaksud adalah perbedaan kultur bukan sebagai
pembedaan yang satu lebih baik dari yang lain karena ilmu tidak menerima
sudut pandang. Jika ilmu menggunakan bahasa denotatif dan pembenarannya
dilakukan melalui verifikasi fakta internal, maka pengetahuan narasi
menggunakan bahasa metaphor.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tadi ada ungkapan bahwa lytard menolak kebenaran Tunggal. Kemudian ada juga
ungkapan bahwa dalam meruntuhkan grand narativ kita perlu melakukan
penelitian.
Tadi dikatakan membuat konsepp bahwa hitam atau putih itu jadi sama rata.?
Jadu derngan itu apakah bis akita membela argument ketika kita salah. (salah
dalam artian karena sudah ada patokan umum itu) apakah derida hanya mmebuka
ruang untuk kebebasan berpendapat secara lua saja.