Pemikiran Richard Rorty sedikit banyak sama dengan pemikiran Wittgenstein, yakni
memahami makna kata-kata dalam konteks relasional. Hanya bedanya, Rorty sebagai seorang
filsuf neopragmatis juga memahami bahasa bukanlah suatu representasionis, melainkan
nonrepresentasionis. Kepercayaan dan bahasa hanyalah alat untuk menuntun orang bertindak.
Kebenaran bukan apa yang secara teoretis benar, melainkan apakah itu berfungsi dalam
koherensinya dengan sistem kepercayaan yang menyeluruh. Tidak ada kosakata yang sifatnya
final. Akibat ketidaksamaan pandangan dan ketidakpastian kebenaran pandangan, titik
pandang itu bersifat relatif (lihat Best dan Kellner, 2001). Pengaruh Rorty pada
perkembangan teori postmodern dapat dilacak sebagian besar pada penolakannya pada
filsafat sistematik dan penerimaannya pada filsafat yang mendatangkan kemajuan (ediflying
philosophy), di mana tujuannya bukan untuk menemukan suatu jawaban, melainkan hanya
menjaga percakapan keilmuan terus berlangsung (Ritzer, 2010: 62-63).
Secara konseptual, sumbangan dari para filsuf dan teoretisi di atas terhadap
perkembangan teori sosial postmodern mungkin saja berbeda-beda. Namun demikian, benang
merahnya yaitu pada substansi pemikiran para tokoh di atas yang menekankan pada
pluralisme, relativitas, dan ketiadaaan kebenaran tunggal yang dominan, di mana itu semua
kemudian dikembangkan dan menjadi fondasi bagi perkembangan teori sosial postmodern
dalam menentang modernitas dan mengkritik kegagalan proyek modernitas.
Menurut Ritzer (2012: 1072), postmodern adalah suatu masa sejarah baru, produk
budaya baru, dan suatu jenis penteorian baru tentang dunia sosial yakni suatu cara berpikir
yang berbeda dengan teori sosial teoretisi postmodern, ada kepercayan modern. Pertama, di
kalangan teoritisi postmodern, da kepercayaan luas bahwa era modernitas sudah berakhir, dan
dan kita kita masuk masuk pada suatu epos baru, yaitu postmodernisme. Kedua, dalam
berbagai produk budaya, produk postmodern cenderung menggantikan produk modern
Ketiga, teori sosial modern dinilai cenderung menjadi absolut, rasional dan menerima
posibilitas penemuan kebenaran, sebaliknya teori post-modern cenderung menjadi relatifistik
dan terbuka kemungkinan irasionalitas.
Karena menyerang klaim-klaim teori sosial modern tentang pemetaan totalitas sosial,
mendeteksi kemajuan sosial, dan memfasilitasi perubahan sosial yang dipandang
menguntungkan, yang sebenarnya merupakan bentuk penindasan sosial, maka posmodernis
membangun kritik-kritik serta mempertegas posisinya. Pertama, menolak legitimasi
kekuasaan sistem terpusat yang menghancurkan individualitas dan memblokir kekuatan
kreativitas bahasa dan hasrat. Kedua, postmodernis menekankan fragmentasi budaya yang
pervasive, disintegrasi, menolak konsep yang dilahirkan oleh tatanan sosial yang koheren.
Ketiga, postmodernis menolak subjek yang rasional dan otonomi karena memiliki daya
merepresi spontanitas manusia, perbedaan, dan keinginan (lihat Antonio & Kellner, dalam
Dickens & Fontana, 1994: 127-152). Berbeda dengan teori sosial modern yang berusaha
mencari landasan rasional, ahistoris, dan universal untuk analisis dan kritiknya terhadap
masyarakat, para teoretisi sosial postmodern justru menolak fondasionalisme, dan cenderung
bersikap relativistik, tidak rasional dan nihilistikam mlnlistik (Ritzer,2012: 1073).
Secara garis besar, ada lima pergeseran fokus analisis dalam teori modern ke teori
postmodern, yaitu: Pertama, pergeseran fokus perhatian dari struktural ke kultural, yakni
kebudayaan, khususnya budaya pop yang biasanya dikaitkan dengan konsumsi dan reformasi
identitas. Kedua, dari Produksi massal ke konsumsi dan gaya hidup massal, komunikasi, dan
media massa. Ketiga, dari interaksi ke wacana, suatu pergeseran linguistik/simbolik yang
tercermin dalam lebih banyak perhatian yang dicurahkan kepada representasi, khususnya
dalam media dan wacana-wacana populer. Keempat, dari institusi ke aktor dan jaringan yang
fleksibel berdasarkan konsensus yang sifatnya temporer. Kelima, dari yang tipikal ke yang
beragam dan marginal, seperti kelompok minoritas jenis kelamin, etnis, religius, gaya hidup,
dan budaya mereka (Turner, 2012: 430).
Pauline Rosenau (1992; 6) menyebutkan beberapa karakteristik dari teorì postmodern,
antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan
kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Kedua, teoretisi postmodern cenderung menolak apa
yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, dan totalitas.
Ketiga, teoretisi postmodern cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern,
seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan,
kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan
pengalaman mistik. Keempat, teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang
meletakkan batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan,
fiksi dan teori, image, dan realitas. Kelima, teoretisi postmodern cenderung menolak gaya
diskursus akademik modern yang teliti dan bernalar, Keenam, teoretisi postmodern tidak
memfokuskan kajian pada inti (core) masyarakat modern, melainkan pada bagian tepi
(periphery).
Secara epistemologi, teori postmodern dikategorikan sebagai relativis karena menurut
penganut teori ini yang berperan sesungguhnya yaitu narasi kecil atau subjek (individual).
Tidak ada kebenaran tunggal, apalagi mutlak dalam paradigma ini. Kalau menurut paham
positivistik ada masalah objektivitas, pada masa postmodern objektivitas itu sendiri justru
dipertanyakan karena bisa saja itu berunsur subjektif narasi besar atau struktur besar yang
membentuk suatu wacana sehingga seakan-akan objektif. Postmodernisme adalah yaitu suatu
wacana yang dibangun oleh pluralitas ideologi, yang di dalamnya berbagai keyakinan dan
kepercayaan, hidup bersama-sama di dalam ruang dan waktu yang sama. Secara etika, teori
postmodern dikategorikan sebagai nihilis, sebab dalam teori ini tidak dikenal adanya
penilaian absolut, manusia hidup tanpa nilai dan makna. Adapun secara estetika, teori
postmodern dikategorikan sebagai trivial, artinya segala sesuatunya selalu diwarnai
dekonstruksi dan dianggap tidak mengandung pengertian/makna. Postmodernisme
merupakan suatu kondisi masyarakat yang tidak mempu-nyai format dan bentuk yang statis
dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang selama ini dipakai.
Postmodern yaitu metode analisis kritis yang mencoba membongkar mitos dan
anomali paradigma modernitas, membuka ironi, intertekstualitas, dan paradoks; mencoba
menemukan suatu teori masyarakat postmodern dan menggambarkannya dalam realitas sosial
yang ada dalam masyarakat kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, 1988). Secara
singkat dapat dikatakan bahwa teoretisi postmodern menawarkan intermediasi dan
determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis,
dan kompleksitas daripada simplifikasi (Rosenau, 1992: 8). Karakter yang sering disuarakan
postmodern antara lain pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan,
deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas,
dekomposisi, dedefinisi, demistifikasi, delegitimasi, serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
Di era postmodernisme, berbagai hal yang menandai masyarakat modern--seperti
rasionalisasi, komodifikasi, diferensiasi, dan individualisasi--mengalami akselerasi
peningkatan yang luar biasa, sehingga terjadilah hiperrasionalisasi, hiperkomodifikasi,
hiperdiferensiasi dan hiper-individualisasi. Hiperrasionalisasi terlihat ketika keputusan-
keputusan politik dan usaha yang serius dibuat dengan bantuan-bantuan penasihat personal
dan spiritual, yang semuanya didukung oleh informasi dan data yang akurat untuk melakukan
prediksi dan antisipasi. Hiperkomodifikasi ditandai oleh proses perluasan dari hubungan-
hubungan komoditas hingga jauh melampaui apa-apa yang secara tradisional membentuk
transaksi-transaksi pasar, sehingga membawa ranah-ranah yang sebelumnya tidak
terkomodifikasi--misalnya pengetahuan, citra, gaya, hubungan keluarga, pemujaan--ke orbit
hubungan-hubungan pasar. Sementara itu, hiperdiferensiasi muncul sebagai perkembangan
dari berbagai spesialisasi, gaya hidup dan pandangan-pandangan ke dalam fragmen-fragmen
yang kemudian terkombinasi lagi ke dalam satu mode yang tidak dapat diprediksi dan
pencangkokan, misal munculnya bidang
Sumber: Bryan Turner, Teori Sosial, dari Klasik Sampai Postmodern (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2012).
yang multidisipliner, gaya hidup sinkretik, multimedia, dan lain-lain. Sedangkan munculnya
hiper-individualisasi, mengakibatkan terjadinya pergeseran budaya (nilai normatif) di mana
setiap orang diharapkan menunjukkan kemampuan untuk menilai dan memili, membentuk
kehidupan mereka secara sadar dan bertujuan.
Di era postmodern, perubahan yang terjadi di masyarakat, khususnya di bidang
informasi dan pengetahuan, bukan hanya menyebabkan rang dan waktu menjadi nisbi,
melainkan juga menyebabkan batas-batas realitas sosial menjadi kabur, relatif, dan bahkan
terjadi nihilistik. Berbagai proses yang menyusun modernitas: commodification, diferensiasi,
organisasi dan rasionalisasi mengalami intensifikasi dan makin masuk ke dalam pusaran
modernitas, sehingga efeknya menghasilkan akibat yang sangat mengacaukan, yang pada
akhirnya mendekomposisi modernitas itu sendiri (Ritzer & Smart, 2011: 637). Era
postmodernitas, yang dimulai di pertengahan abad ke- 20, khususnia setelah Perang Dunia Il,
terutama ketika budaya konsumen pop dan revolusi informasi media menyebabkan makin
mengslobalnya penyebaran ide dan hubungan pasar (Turner, 2012: 440), menyebabkan relasi
sosial yang berkembang di masyarakat mengalami perubahan yang dahsyat, menjadi lebih
pluralistik, dan sekaligus kehilangan maknanya.
Memudarnya batas ruang dan waktu, serta kehadiran realitas sosial yang makin sulit
dibedakan mana yang asli dan mana yang hanya rekaan, disadari tidak lagi mungkin
dijelaskan dengan teori-teori sosial modern. Para teoretisi postmodern seperti Jean-Francois
Lyotard, Fredrich Jameson, Jean Baudrillard, dan Stephen Crook yaitu jawaban yang dinilai
lebih menjanjikan untuk menjelaskan perkembangan baru di era postmodernitas dan post-
industrial. Meski banyak berutang budi pada konsep dan pemikiran Daniel Bell, tetapi dalam
perdebatan dan perkembangan teori postmodern, Bell sering kali diabaikan dan tidak disebut-
sebut sebagai teoretisi postmodern. Padahal, seperti diakui Turner, pandangan Bell tentang
sentralitas pengetahuan dan informasi bagi pasca-industrialisme sebetulnya merupakan unsur
penting bagi landasan filsafat dan teori sosial postmodern (Turner, 2000: 5).
Jean-Francois Lyotard adalah seorang filsuf asal Perancis yang disebut-sebut sebagai
pelopor pemikiran filsafati postmodern. Lyotard dilahirkan tahun 1924 di Versailles, suatu
kota kecil di sebelah selatan Paris. Lyotard belajar filsafat dan sastra di Universitas Sorbonne.
Lyotard merupakan salah satu tokoh terpenting dalam perkembangan filsafat postmodern
yang pemikirannya banyak dipengaruhi Edmund Husserl, Frued, Friedrich Nietzsche,
Wittgenstein, Hegel, dan Karl Marx-meski dengan kadar yang berbeda-beda, dan bahkan
pada satu titik tertentu Lyotard meninggalkan cara berpikir para pendahulunya itu, terutama
Marx. la disebut Lechte (2001) sebagai filsuf postmodernitas non-Marxist, yang melepaskan
diri dari Marxisme dan kemudian lebih tertarik mengembangkan pemikiran ekonomi energi
libido dari Sigmund Freud, terutama di tahap awal perkembangan pemikirannya. Dalam salah
satu bukunya Economie Libidinale (1974), Lyotard menyatakan bahwa yang menjadi
landasan politik di era masyarakat postmodern bukanlah ekonomi-politik, melainkan
ekonomi libidinal (Lechte, 2001: 372).
Secara garis besar perkembangan pemikiran Lyotard dapat dibagi ke dalam empat
tahapan (lihat Best & Kellner, 1991: 146-180). Tahap pertama, ketika Lyotard mash terlibat
intens dalam gerakan politik kiri di Perancis, dan muncul sebagai filsuf yang berpikiran
Marxis. Tahap kedua, ketika Lyotard mulai meninggalkan Marx dan Frued, dan lebih banyak
mengembangkan pemikiran Nietzsche yang mementingkan keinginan dan nafsu. Seperti
Nietzsche, pada tahap ini Lyotard mengritik filsafat Kristen yang terlalu menekankan kasih,
yang justru melahirkan perbudakan dan kelembekan yang mengakibatkan hilangnya potensi
kemanusiaan. Dalam pandangan Lyotard, keinginan manusia (human desire) merupakan
salah satu kata kunci untuk memahami manusia. Tahap ketiga, masa ketika Lyotard banyak
memperoleh pengaruh dari Wittgenstein, terutama teori tentang permainan bahasa. Pada
tahap ini terjadi pergeseran pemikiran Lyotard, karena a justru mengritik Marxisme, dan
menyatakan bahwa Marxisme merupakan produk historis yang notabene yaitu produk
pemikiran Pencerahan. Tahap keempat, masa ketika Lyotard mulai meninggalkan Nietzsche.
Lyotard di tahap in tidak lagi berbicara tentang tubuh, keinginan, dan intensitas bahasa, tetapi
ia mulai menggeser fokus perhatiannya ke pokok bahasa dan filsafat. Dalam bukunya
Differend (1988), Lyotard mengembangkan filsafat frasa yang menekankan arti penting
metafisika subjek. Pemain atau subjek, menurut Lyotard disituasikan ole frasa. Dalam tahap
ini, Lyotard banyak dipengaruhi pemikiran Wittgenstein dan menekankan art penting
perbedaan (difference), memberi kesempatan kepada diskursus minoritas, dan menonjolkan
pluralitas penalaran- bukan kesatuan penalaran.
Lyotard, dalam filsafat postmodern yang digagas menyerang mitos yang melegitimasi
zaman modern (narasi besar), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan
bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan
pengetahuan yang secara universal valid untuk seluruh umat manusia (Sarup, 2008: 205).
Pertanyaan kunci yang hendak dijawab Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition
yaitu: Apakah pengandaian yang mendasari politik pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam
masyarakat informatika atau masyarakat postmodernitas dewasa ini mash dapat dianggap
adekuat?
Dalam filsafat postmodern, sebagaimana ditulis Lyotard dalam buku hasil pesanan
dewan universitas dari pemerintah Kanada itu, ia meyakini bahwa tidak ada yang namanya
penalaran yang mentotalisasi, karena yang ada sesungguhnya yaitu berbagai ragam penalaran
yang sifatnya tidak universal. Postmodernisme, dalam ranah pengetahuan (knowledge),
dimengerti ole Lyotard sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi (metanarrative) atau
narasi besar (grand narrative). Pengetahuan yang dilahirkan oleh filsafat postmodern ditandai
dengan runtuhnya kebenaran yang dilahirkan oleh sains, gugurnya rasionalitas dan
objektivitas yang diperoleh manusia melalui metodologi yang tertata dan metodis. Menurut
Lyotard, sebagai filsuf yang di Amerika sempat menjadi profesor bahasa dan sastra Perancis
serta filsafat ini, mengatakan bahwa beberapa ciri utama kebudayaan yang menandai
postmodern yaitu lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnva narasi-narasi besar
modernisme, munculnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi. Bagi Lyotard (1984),
dengan demikian postmodern yaitu pembebasan dari kekangan kemurnian rasionalitas dari
wacana induk modernitas yang bersifat totaliter. Pengetahuan merupakan narasi teror Barat,
sejauh yang dituju yaitu membungkam cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai satu-
satunya penjelasan yang benar dan absah. Pengetahuan yang dominan dan menawarkan diri
sebagai janji kebenaran yang sifatnya mutlak, dalam pandangan Lyotard malah justru harus
digugat, karena memiliki kecenderungan menenggelamkan atau menyembunyikan kebenaran
yang sifatnya beraneka ragam atau plural.
Dalam pandangan filsafat postmodern, pengertian masyarakat sebagai sebentuk
kesatuan (unicity)--seperti dalam identitas nasional-dianggap sudah mulai kehilangan
kredibilitasnya. Masyarakat sebagai satu kesatuan--baik yang ditafsirkan sebagai satu
keseluruhan organik (Durkheim), atau sebagai satu sistem fungsional (Parsons), atau yang
secara mendasar merupakan satu kesatuan yang tersusun dari dua kekuatan yang saling
bertentangan (Marx) tidak lagi bisa dipercaya dan hanya merupakan metanarasi yang tidak
lagi meyakinkan. Secara lebih perinci, ciri dari pemikiran filsafat postmodern Lyotard antara
lain punahnya metanaratif, pembubaran bahasa naratif, mengedepankan valensi pragmatisme,
mengesampingkan antropologi Newtonlan (strukturalisme atau teori sistem), dan mengganti
serta mendasarkan pada pragmatisme partikel bahasa sekaligus mempromosikan
heterogenitas unsur, institusi yang berada dalam kolase atau dalam determinisme lokal (lihat
Lyotard, 1984; Best dan Kellner, 1991, Bertens, 1995: 3-33).
Selama ini (dalam abad modern) ilmu pengetahuan ilmiah atau sains, sebagai salah
satu wacana (discourse), memang telah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jenis
pengetahuan yang valid. Namun sains tak dapat melegitimasi klaim tersebut, oleh karena
ternyata aturan main sains bersifat inheren serta ditentukan oleh konsensus para ahli
(lmuwan) dalam lingkungan sains itu sendiri. Sains kemudian melegitimasi dirinya dengan
merujuk pada suatu metawacana (meta-discourse); secara konkret sains melegitimasi dirinya
dengan bantuan beberapa narasi besar seperti dialektika roh, hermeneutika makna,
emansipasi subjek yang rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat manusia (Lyotard,
1984:xxiii). Dalam pandangan Lyotard, postmodern menolak dasar pencerahan dan
konsekuensi yang melegitimasi dasar modernisme. Postmodern yaitu ketidakpercayaan
terhadap metanaratif, suatu ketidakpercayaan terhadap produk kemajuan (progresivisme)
dalam ilmu pengetahuan. Lyotard menggunakan istilah modern untuk menunjukkan sains apa
pun yang melegitimasi dirinya sendiri dengan referensi pada suatu metawacana yang
membuat suatu keputusan eksplisit pada beberapa narasi agung.
Menurut Lyotard, metanaratif beroperasi melalui inklusi dan eksklusi, sebagai
kekuatan yang menghomogenisasi wacana dan suara liyan (the other) atas nama prinsip dan
tujuan universal. Bagi Lyotard, postmodernisme merupakan sinyal kolapsnya seluruh
metanaratif universalis dengan privilese mereka untuk menyampaikan 'kebenaran'. Di sisi
lain, postmodernisme juga merupakan kesaksian atas meningkatnya suara pluralitas dari
pinggiran dan penegasan tentang perbedaan, keragaman kultural, serta klaim heterogenitas
atas homogenitas. Berbeda dengan modernisme yang secara epistemologis mengedepankan
pada objektivitas pengalaman dan bukti-bukti yang teramati serta terukur, flsafat postmodern
lebih mengedepankan subjektivitas dan cenderung antirealisme (Haryanto, 2012: 319).
Dalam konteks ini, pemikiran filsafat yang dikembangkan Lyotard sedikit banyak sama
dengan Jacques Derrida yang pada 1968 pernah mengusulkan istilah difference dan
menyatakan bahwa perbedaan merupakan prototipe dari hal-hal yang tetap berada di luar
lingkup pemikiran metafisis Barat (Lechte, 2001: 171). Melalui gagasannya yang terkenal,
dekonstruksi, Derrida juga menggugat narasi besar sebagaimana dilakukan Lyotard, karena
dengan melakukan dekonstruksi akan dapat dilakukan refleksi terhadap wacana maupun teks-
teks yang dianggap sebagai narasi besar (grand narration). Seperti Lyotard, Derrida juga
mengkritik filsafat Barat yang dinilainya terlalu logosentris, atau lebih mengutamakan bahasa
lisan atas tulisan.
Fokus utama Lyotard yaitu fungsi naratif dalam wacana dan pengetahuan ilmiah. la
tidak tertarik membicarakan pengetahuan ilmiah dan prosedurnya untuk memperoleh klaim
legitimatifnya. Di era modern, yang namanya pengetahuan menjadi operasional hanya jika
ilmu pengetahuan diterjemahkan ke dalam kuantitas informasi sesuai konteks perkembangan
masyarakat post-industrial yang bertumpu pada sibernetika (Lyotard, 2009: 42-43). Dalam
pandangan Lyotard, pengetahuan ilmiah memainkan peran sentral dalam emansipasi gradual
kemanusiaan. Dengan cara Íni, ilmu pengetahuan mengasumsikan status metanaratif,
mengorganisasi dan memvalidasi narasi-narasi lain tentang cara terbaik mencapai
pembebasan manusia. Akan tetapi sejak Perang Dunia II, klaim Lyotard, kekuatan legitimatif
status ilmu pengetahuan sebagai metanaratif perlu diragukan. Ilmu pengetahuan tidak lagi
merintis kemajuan hakikat kemanusiaan menuju pengetahuan absolut dan kebebasan mutlak,
bahkan kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi bagian dari proyek modernitas justru
menghancurkan manusia itu sendiri. Meminjam istilah Foucault, Lyotard di sini jelas
menggugat ilmu pengeta- huan yang telah mengalami penundukan oleh dan untuk manusia,
serta terhadap manusia itu sendiri dalam bingkai kekuasaan. Foucault, dalam gagasannya
tentang genealogi kekuasaan, menyatakan tidak ada yang namanya ilmu pengetahuan yang
netral, karena ilmu pengetahuan sesungguhnya selalu bias pada kepentingan kekuasaan.
Sebagai seorangpemikir postmodern, Foucault digambarkan.memiliki sikap anti-kemapanan,
antí-kemutlakan, anti-keseragaman, dan anti-finalis-suatu sikap yang sesungguhnya sama
seperti diperlihatkan Lyotard (lihat Rabi- now, 2005).
Masyarakat komputerisasi-yakni masyarakat di era post-industrial - merupakan
sebutan yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala perkembangan masyarakat Barat di
era revolusi informasi yang dikuasai teknologi informasi dan sibernetika menuju ke tahap the
information technology era. Masyarakat Quebec, Kanada yang diteliti Lyotard yaitu
masyarakat yang telah berkembang jauh melewati tahap modernisme, dan merupakan refleksi
dari realitas sosial-budaya masyarakat postmodern yang ditopang oleh sarana teknologi
informasi, terutama komputer dan internet, termasuk berbagai gadget yang dari hari ke hari
terus berkembang pesat. Masyarakat postmodernitas bukanlah sekadar masyarakat yang
rasional dan selalu mengandalkan rasio untuk memahami kebenaran, melainkan ia
merupakan gambaran dari perkembangan masyarakat yang telah mencapai tahap lebih lanjut
yang sekarang ini sering disebut sebagai era digital.
Dengan hadirnya teknologi informasi yang makin canggih,menurut Lyotard (2009)
prinsip-prinsip produksi, konsumsi, dan transformasi yang berkembang di masyarakat post-
industrial telah mengalami revolu- si yang sangat radikal. Penggunaan tenaga manusia yang
makin terbatas pada sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi yang makin
meniadakan hambatan ruang dan waktu, percepatan peng- olahan data dan informasi yang
mampu mengubah bahkan memanipulasi realitas sosial yang nyata dan tidak nyata menjadi
makin baur, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara pervasive merupakan beberapa
konsekuensi dari perkembangan teknologi nformasi yang tidak terhindarkan di era
masyarakat postmodernitas, yang pada akhirnya melahirkan berbagai perubahan baru yang
luar biasa.
Dengan melihat realitas dan sifat transformatif masyarakat komputerisasi yang lebih
terbuka, majemuk, plural, dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan bahwa kebenaran
yang dibawa oleh narasi-narasi besar (grand narratives) modernisme sebagai metanarasi kini
telah kehilangan legitimasinya. Hal ini terjadi, menurut Lyotard, karena dalam masyarakat
postmodernisme, sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan tidak lagi didominasi oleh
logika sains yang tunggal, homolog dengan mengacu pada nalar positivisme, tetapi kebenaran
penge- tahuan kini telah menyebar dan plural--suatu paralogy yang beragam.
Bagi Lyotard, postmodern yaitu upaya intensifikasi dinamis -suatu upaya yang tak
henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-
menerus. Postmodernisme yaitu wadah pertemuan berbagai perspektif teoretis dan pandangan
yang berbeda- beda. Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata menjadi alat
penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan
yang berbeda, dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tidak
mau .dibandingkan (Maksum, 2008:321).Sebagai filsufyang banyak menulis refleksi filosofis
estetik dan politik tentang diskursus, Lyotard disebut Bill Readings (lihat Sumakul, 2012: 39)
sebagai filsuf yang mampu bergerak melampaui batasan-batasan metafisika--terorisme
kebenaran-tanpa harus dirinya sendiri jatuh ke dalam kepuasan suatu metabahasa, tanpa
mengklaim suatu teori modular yang mencari jaminan diri sendiri dengan membuat tertarik
pada realitas supradiskursus.
Menurut para filsuf postmodern seperti Lyotard, Foucault, Derrida, dan Baudrillard,
proyek modernitas masyarakat yang menempatkan kemajuan sebagai arah dan tujuan gerakan
dinilai hanyalah bentuk grand narrative yang tidak berbeda dengan mitos karena terlalu
menekankan universalitas dan kebenarannya yang tunggal. Jika di kalangan flsuf modern
sering kali dikedepankan terminologi seperti universalitas, emansipasi, dan kebebasan, maka
di kalangan filsuf postmodern terminologi yang populer umumnya yaitu pluralisme,
fragmentasi, heterogenitas, skeptisisme, dekonstruksi, ambiguitas, ketidakpastian, dan
perbedaan.
Universalitas dikritik filsuf postmodern seperti Lyotard sebagai suatu kemustahilan,
karena setiap pengetahuan telah memiliki language game-nya sendiri-sendiri. Pemikiran
filsuf modern yang menempatkan subjek sebagai sentral dikritik bahkan ditolak filsuf
postmodern, karena meletakkan emansipasi subjek yang rasional sebagai alat pencapaian
kebenaran, yang pada akhirnya berusaha menotalkan dirinya. sebagai metawacana (Santoso
et al., 2012: 336).
Semula Lyotard sebetulnya bergabung dan banyak berdiskusi dengan kelompok
Marxist yang menerbitkan majalah Socialism or Barbie. Tetapi Lyotard sering kali bersikap
kritis terhadap pandangan Karl Marx, Karena itu menolak semua interpretasi dogmatis,
seperti Stalinisme, Trotskyisme, atau Maoisme. Lyotard, dalam membangun filsafat
postmodern melontarkan kritik tajam kepada filsafat pencerahan (enlightenment) yang dinilai
terlalu terpaku pada grand narrative yang mengandalkan akal dan kebebasan naluriah,
teologi spirit (geist) pada idealisme, dan hermeneutika arti (dalam historisme). Cerita besar
cenderung menjadi metanarasi yang melegitimasikan dirinya. Setiap teori berusaha
menotalkan dirinya menjadi metawacana (meta-discourse). Padahal, di era postmodernisme,
legitimasi menjadi majemuk dan lokal (Mudhofir, 2001:329).
Postmodern, dengan demikian bisa dikatakan yaitu suatu aliran filsafat yang didasari
ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat
sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi. Di mata filsuf postmodern,
dominasi paradigma sains, terutama positivistik dari ilmu-ilmu (alam) telah memberangus
kemungkinan munculnya pijakan pemahaman masyarakat atas realitas. Sebagai suatu aliran
filsafat, postmodern melakukan dekonstruksi terhadap basis dasar pengetahuan modern.
Pengetahuan, menurut filsafat postmodern ditandai oleh runtuhnya kebenaran, rasionalitas,
dan objektivitas. Kebenaran pengetahuan tidak lagi bersifat homology (kesatuan) tetapi
paralogy (keragaman), sehingga dalam filsafat postmodern yang muncul yaitu relativitas
kebenaran (Santoso et al., 2012: 321).
Dalam pandangan Lyotard, prinsip dasar yang berlaku dalam filsafat postmodern
bukanlah universalitas akal atau kebutuhan akan kesepakatan, melainkan justru kebutuhan
untuk menggerogoti kesepakatan yang telah mapan dalam rangka tiap kali memberikan
kembali peluang bagi karakter-karakter lokal tiap wacana, argumentasi, dan legitimasi untuk
dihargai (Sugiharto, 1996:59). Apa yang dipentingkan dalam filsafat postmodern, dengan
demikian bukanlah metawacana atau narasi besar yang cenderung menekankan universalitas
dan totalitas, melainkan keragaman narasi kecil dan meta -argumen yang saling mencari
peluang untuk tampil dalam kehidupan masyarakat post-industrial. Ringkas kata, filsafat
postmodern mengkritik pengetahuan universal, tradisi metafisik, fondasionalisme, dan
modernisme pada umumnya.
Di era postmodern modus penetapan dan legitimasi ilmu pengetahuan atas dasar sains
yang mentotalisasi sebagaimana dikembangkan filsafat modern sudah tidak dapat
dipertahankan lagi. Bagi Lyotard, sains terbukti hanyalah salah satu permainan bahasa
(language game) di antara banyak permainan, hanyalah satu jenis pengetahuan di antara
aneka jenis pengetahuan lainnya. Oleh karena itu modus legitimasi pengetahuan dengan
narasi besar di bawah satu ide untuk menciptakan satu kebenaran tunggal (totalisasi sistem
pemikiran atau homology) harus diganti dengan paralogy, yaitu pengakuan akan aneka
macam narasi kecil (little narrative) dan sistem pemikiran plural (Lyotard, 1989: xxv).
Akibat perkembangan teknologi informasi, prinsip kesatuan ontologis yang selama ini
mendasari ide dasar filsafat modern--menurut Lyotard--sudah tidak lagi relevan dengan
realitas kontemporer. Prinsip homology yang mengemuka di era masyarakat modern, menurut
filsuf postmodern harus dideligitimasi oleh paralogy atau ide pluralitas. Tujuannya agar
kekuasaan oleh ilmu pengetahuan tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang totaliter dan pro
status quo. Para filsuf postmodern umumnya alergi terhadap sistem yang totaliter dan
mendominasi, karena tidak membuka ruang bagi munculnya argumentasi dan kebenaran yang
sifatnya berbeda-beda.
Paralogy lebih memungkinkan untuk menganalisis kondisi masyarakat postmodern
yang telah kehilangan narasi besarnya seperti rasionalisme, empirisme, materialisme,
idealisme, kapitalisme, dan sosialisme. Realitas tidak bisa disatukan di dalam suatu kerangka
besar, karena setiap unsur yang ada bekerja dengan logikanya sendiri, dan setiap unsur
bermain satu sama lain dengan bahasa masing-masing. Inilah permainan bahasa atau
language game yang ujung-ujungnya menyebabkan pluralisme menjadi logika postmodern.
Di era masyarakat post-industrial, Lyotard mengakui adanya dominasi yang luar biasa
dari technoscience--ilmu pengetahuan dan teknologi--dalam kebudayaan masyarakat. Namun
demikian, dominasi teknologi yang luar biasa itu, menurut Lyotard sering kali justru malah
memperburuk keadaan, menciptakan krisis - bukan malah menguranginya. Iptek, terutama
dalam bentuk informatika dan sibernetika tidak berkembang sesuai dengan kebutuhan
manusia, tetapi hanya sesuai dengan performativitas. Di mata Lyotard, kemajuan teknologi
justru meng-akibatkan perang total, totalitarisme dalam pelbagai bentuk, kesenjangan yang
semakin melebar, pengangguran dan krisis pendidikan tinggi (Bertens, 2006: 388).
Menurut Lyotard pada era informasi di mana kerumitan dianggap semakin meningkat,
maka semakin jauhlah kemungkinan adanya penjelasan tunggal atau ganda tentang
pengetahuan atau ilmu. Adanya penafikan, baik itu bentuk unifikasi naratif sebagai yang
bersifat spekulatif maupun yang berbentuk emansipatoris, legitimasi terhadap pengetahuan
tidak bisa bersandar pada satu narasi besar, sehingga ilmu itu sekarang paling baik dipahami
dalam pengertian "permainan bahasa". Seperti yang dikemukakan oleh Lyotard: "Ilmu
pengetahuan tidak memiliki metabahasa mum di mana semua keberagaman bahasa lain dapat
diterjemahkan dan dievaluasi. Tidak terdapat alasan untuk memikirkan adanya suatu
kemungkinan menentukan metapreskripsi yang berlaku bagi semua permainan bahasa itu atau
bahwa suatu konsensus yang dapat direvisi seperti metapreskripsi yang berlaku pada waktu
itu dalam masyarakat ilmiah yang dapat mencakup keseluruhan metapreskripsi yang
mengatur pernyataan-pernyataan yang beredar dalam kolektivitas sosial" (Lyotard, 1989: 64-
5).
Sebagai seorang profesor dan filsuf postmodern, Lyotard menaruh perhatian khusus
pada bidang seni dan bahasa, terutama tentang retorika, yaitu pengungkapan ide-ide dan
perasaan yang melampaui pemikiran rasional. Eksperimen seni dengan kemungkinan
representasi kadang kala menciptakan mode representasi baru (modernisme), dan kadang-
kadang mewakili yang tak terwakili, mengungkapkan yang tidak dapat dikatakan. Bahasa,
dalam pandangan Lyotard tidak hanya mewakili dunia objek, tetapi dalam bahasa kita
melakukan banyak tindakan, yang disebut Wittgenstein sebagai "permainan bahasa". Lyotard
telah memberi penekanan pada dimensi antagonis dari permainan ini, dan mengakui sifat
yang tidak dapat dirukunkan dari apa yang ia sebut sebagai frase-frase dalam bahasa
(Steuerman, dalam Kuper & Kuper, 2000: 590).
Filsafat postmodern, singkat kata bisa dikatakan sebagai semacam gerakan gerakan
renaissans atas renaissans atau pencerahan atas pencerahan yang mendominasi era
masyarakat modern. Dua hal yang dikritik secara tajam oleh filsafat postmodern vaitu
fondalisme dan representasionalisme yang merupakan inti pemikiran filsafat modernitas.
masyarakat post-industrial yang ditandai oleh membanjirnya informasi media dan pemikiran
Mazhab Frankfurt tentang kebudayaan kapitalisme akhir. Perkembangan budaya konsumen
pop yang makin memasyarakat di era postmodernisme, dan terjadinya revolusi informasi
media, penyebaran ide dan perkembangan hubungan pasar yang makin mengglobal yaitu
hal-hal yang menjadi fokus kajian Crook untuk menjelaskan karakteristik masyarakat
postmodernisme yang nihilistik. Menurut Crook, ketergantungan postmodernisme pada
monisme reduksionis atau monisme formalis telah mengubahnya menjadi nihilistik (Ritzer
& Smart, 2012: 626
Menurut Crook, kehadiran era posmodernisme cenderung melahirkan ketidakpastian
yang luas dan masalah tentang keteraturan sosial. Muncul hiperkomodifikasi,
hiperdiferensiasi, dan hiperrasionalisasi, menyebabkan masyarakat mau tidak mau
dihadapkan pada itensitas dan kemampatan dunia kehidupan yang berbeda dengan era
masyarakat modern. Alih-alih menawarkan kepastian dan kenyamanan, kehadiran dan
perkembangan era postmodernitas menurut Crook justru melahirkan ketidakpastian di
kalangan masyarakat. Pemikiran Crook ini, dalam beberapa hal sama dengan pemikiran
Ulrich Beck tentang risiko yang dihadapi masyarakat tatkala mereka harus mengalami
proses individualisasi di tengah kehidupan yang makin mengglobal-yang sesungguhnya
makin tidak pasti.
Berbeda dengan Jameson dan Stephen Crook yang melihat postmodern sebagai
kesinambungan dari perkembangan modernisme, Jean Baudrillard adalah teoretisi
postmodern yang memiliki pandangan yang tegas tentang keterpisahan antara modernitas
dan postmodernitas. Berbeda pula dengan para filsuf postmodernitas lain yang memusatkan
perhatian pada metafisika dan epistemologi, Baudrillard lebih memilih mengkaji
kebudayaan dan menyatakan bahwa kebudayaan Barat dewasa ini yaitu suatu representasi
dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan dari berbagai tanda dan kode
secara acak, tanpa referensi realisional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda riil (fakta)
yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (Citra) yang tercipta melalui proses
reproduksi (Hidayat, 2012: 55). Dalam pandangan Baudrillard, realitas di era
postmodernisme tidak lagi memiliki referensi, karena di sana yang hadir yaitu dunia
simulacra-suatu simulasi kehidupan yang sulit dibedakan mana yang asli dan mana yang
palsu, yang melahirkan masyarakat hiperrealitas.
Bagi Baudrillard, pergeseran dari modernitas ke postmodernitas terletak pada apa yang
disebutnya sebagai perekonomian tanda (sign economy) di mana yang penting yaitu simbol
dan duplikasi atas duplikasi; suatu ruang realitas yang disarati oleh duplikasi dan daur ulang
berbagai fragmen kehidupan yang berbeda-suatu realitas yang hiperriil. Era modern ditandai
oleh produksi material, sedangkan era postmodern ditandai oleh simulasi.
Masyarakat kontemporer, menurut Baudrillard tidak lagi didominasi oleh produksi,
tetapi dalam banyak hal didominasi oleh media, model sibernetik dan sistem pengendalian,
komputer, pemrosesan informasi, dunia hiburan, dan industri pengetahuan yang ujung-
ujungnya melahirkan ledakan tanda. Masyarakat postmodern adalah masyarakat yang tidak
lagi didominasi oleh mode produksi, tetapi telah tergantikan oleh kode produksi, yakni
dominasi tanda dan sistem yang menghasilkan eksploitasi dan keuntungan sebagai efek
akhirnya. Dengan mengacu pemikiran semiologi Saussurean, Baudrillard menyadari bahwa
tanda senantiasa memiliki dua unsur, yaitu penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra
adalah segala sesuatu yang tampak oleh indra, namun sebetulnya tidak memiliki eksistensi
substansial. Sementara itu, kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara
sosial untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang lain
(Piliang, 1998: 13).
Dunia postmodern, dalam pandangan Baudrillard yaitu dunia yang dicirikan sedang
mengalami proses dediferensiasi dan simulasi, yakni penciptaan simulakra atau reproduksi
objek atau peristiwa yang melahirkan peleburan antara tanda dan kenyataan. Dunia di era
postmodern, menurut Baudrillard yaitu hiperrealitas. Ketidakacuhan, sikap apatis dan inersia
yakni istilah yang tepat untuk menggambarkan keadaan masyarakat di era postmodern yang
senantiasa dikelilingi oleh media, simulakra, dan hiperrealitas. Lebih dari sekadar
pertukaran sombolis, dalam masyarakat postmodern, menurut Baudrillard yang
memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat yaitu godaan. Godaan melibatkan daya tarik
berbagai hal yang tidak lebih dari permainan dan bermacam ritual yang superfisial; tidak
bermakna, remeh, dan tanpa kedalaman, namun justru itulah yang membelenggu konstruksi
cara berpikir masyarakat konsumen.
Dalam masyarakat postmodernitas, masyarakat mengonsumsi produk fisik maupun
berbagai simbol, makna dan gambaran kebudayaan yang mendefinisikan konsumsi tersebut
(Scott, 2012: 322). Sistem periklanan menjadikan produk sebagai objek keinginan, dan
masyarakat berhasrat mengonsumsi suatu produk lebih dikarenakan merek atau gengsi
daripada fungsi riil produk tersebut. Masyarakat lebih mementingkan apa yang disimbolkan
oleh suatu objek tentang diri dan kehidupan mereka. Jadi, berbeda dengan Marx yang
menyatakan nilai dari suatu komoditas bagi seorang konsumen terbangun dari kegunaan
material dan nilai moneternya, Baudrillard lebih melihat nilai guna produk pada pengakuan
dan reputasi yang diperoleh konsumen ketika mengonsumsinya. Sistem kebutuhan dan sistem
produk dipadukan menjadi suatu sistem penandaaan yang mendefinisikan produk dalam cara-
cara tertentu, yang menarik minat konsumen untuk senantiasa mengonsumsinya (lihat
Baudrillard, 2002:41-58).
Ada empat teoretisi sosial, yakni Zygmunt Bauman, Scott Lash, UIrich Beck, dan
Anthony Giddens yang semula dikelompokkan ke dalam teoretisi postmodern, tetapi
kemudian menakar kembali penetapan dan identifikasi diri mereka dengan cara menawarkan
konsep yang berbeda, seperti modernisasi yang mudah berubah (Bauman), vitalisme (Lash),
modern akhir, modernitas yang teradikalkan dan modernitas tinggi (Giddens), dan modernitas
reflektif (Beck).
Giddens adalah salah satu teoretisi yang dengan gigih membela eksistensi teori sosial
modern, tanpa harus meninggalkannya untuk kemudian menyerahkan pada teori postmodern
guna menjelaskan perkembangan realitas sosial yang makin mengglobal. Giddens melihat
modernitas sebagai suatu proses yang bergerak sangat cepat melewati ruang dan waktu,
semacam juggernaut modernitas yang bisa saia tiba-tiba bergerak tapa dapat dikontrol.
Menurut Giddens, tiga proses esensia] dalam modernitas antara lain pemisahan,
pembongkaran, dan refleksi-vitas (Giddens, 2005: 183-205).
Giddens, secara perinci mengemukakan beberapa faktor penyebab mengapa terjadi
ketidaknyamanan akibat juggernaut modernitas. Pertama, kesalahan rancangan di dalam
dunia modern. Kedua, kegagalan operator atau siapa yang melaksanakan dunia modern.
Ketiga, konsekuensi tidak disengaja atau yang tidak dapat diramalkan. Keempat, refleksivitas
pengetahuan sosial (Giddens, 2005:22-72). Giddens dan Beck melihat modernitas radikal
sebagai suatu struktur sosial modern yang komprehensif, namun di saat yang sama telah
membawa pada terjadinya fragmentasi kebudayaan dan suatu pertumbuhan individualisasi.
Menurut Beck, ketika masyarakat terlepas dari norma yang stabil dan ikatan sosial
yang kuat, maka yang terjadi kemudian mereka mengalami individualisasi yang
menyebabkan mereka harus menghadapi banyak risiko kehidupan tapa adanya panduan dari
otoritas yang mapan, dan dalam isolasi sosial mereka mengalami kecemasan dan
ketidakamanan yang terus bertambah. Beck menyebut masyarakat berisiko sebagai bentuk
tertinggi modernitas (lihat Beck, 1992: 127-138; Smith et al., 1999). Beck melihat
kemunculan dan penyebaran risiko atau bahaya di masyarakat terjadi karena hasil dari
struktur ekonomi dari modernitas yang radikal dan distribusi kemakmuran yang belum
merata. Proses perubahan yang terjadi di masyarakat modern, menurut Beck yaitu munculnya
individualisasi di satu sis, dan di sisi lain munculnya risiko dalam kehidupan yang makin
berat. Akibat individulisme, masyarakat menghadapi banyak risiko tapa adanya panduan dari
otoritas yang mapan, dan dalam isolasi sosial masyarakat biasanya akan menghadapi risiko
yang makin besar; ketidakamanan dan kecemasan yang bertambah.
Di era modernitas, masyarakat atau penduduk tidak lagi disosialisasikan ke dalam
sebuah komitmen atau penerimaan terhadap struktur sosial nasional yang stabil dan kuasi-
permanen, tetapi-sebagaimana dikatakan Bauman-terjadi individualisasi eksistensi manusia
ketika ikatan kemasyarakatan melemah dan individu dibebaskan untuk mengatasi atau
menghadapi konsekuensi dari era global yang terdisorganisasi (lihat Urry, 2000: 21-142;
Urry, 2003: 68-72).
Menurut Bauman, masyarakat modern kontemporer umumnya akan selalu dihadapkan
dengan pengharapan yang divergen dan saling bertentangan, di mana masing-masing orang
dibebaskan dari suatu kekuasaan yang bersifat memaksa. Mereka harus aktif membuat
kehidupannya sendiri, memilih dari dalam suatu "supermarket identitas”. Tidak lagi menjadi
suatu persoalan bagaimana mencapai identitas, tetapi yang menjadi soal yaitu identitas mana
yang akan dicapai. Di era masyarakat modern likuid, individualisasi telah
mentransformasikan identitas manusia dari identitas yang ditentukan menjadi identitas yang
dinginkan (lihat Bauman, 2000; Tester, 2004: 107- 182). Artinya, tidak lagi menjadi persoalan
bagaimana mencapai suatu identitas yang dinginkan, tetapi identitas mana yang hendak
dicapai. Bauman cenderung mendeskripsikan modernitas likuid sebagai suatu masyarakat
yang diindividualisasi dan diprivatisasi.
Masyarakat kontemporer umumnya menghadapi ketidaktentuan politik dan ekonomi
yang bear dan harus mengatasi rasa ambivalensi dan ketidakterjaminan eksistensi yang
semakin besar, serta rasa ketidakpastian. Bauman juga menyatakan bahwa kehidupan yang
cair yaitu kehidupan yang mengonsumsi. Bauman sama seperti Daniel Bell, menyatakan
bahwa di era masyarakat post-industrial, konsumerisme telah menggantikan etika kerja
sebagai landasan bagi identitas dan integrasi sosial (Scott, 2012: 348). Hanya saja bedanya,
kalau Bell melihat perkembangan konsumerisme sebagai konsekuensi dari pertumbuhan
kelas pengetahuan yang distimewakan, Bauman memahami hal itu sebagai cermin dari
masyarakat berisiko. Konsumerisme, menurut Bauman memungkinkan masyarakat untuk
melupakan dan meredakan kecemasan mereka tentang ketidaktentuan dalam hidup mereka.
Scott Lash sebagai salah seorang teoretisi sosial memandang post modernisme
sebagai suatu paradigma kultural atau yang ia sebut sebagai lingkup penandaan yang terdiri
dari dua komponen utama, yaitu ekonomi kultural serta cara penandaannya yang khas, yaitu
bahwa objek kulturalnya bergantung pada hubungan khas yang dimiliki oleh penanda, yang
ditandakan dan acuannya (Lash, 2004: 15).
Modernisme, dalam pandangan Lash adalah suatu proses diferensiasi kultural yang
berkaitan dengan dua hal. Pertama, proses di mana yang kultural memisahkan dari yang
sosial. Kedua, bentuk-bentuk kultural
Tabel 12. Teoretisi Modern Kontemporer yang Keluar dari Label Postmodernitas.
yang tadinya tidak terdistingsikan dengan jelas mulai terbedakan satu dengan yang lain.
Contoh bentuk diferensiasi ini yaitu: pemisahan seni religius dan sekuler, atau pembedaan
antra seni dan sains. Sementara itu, postmodernisme, menurut Lash berkaitan dengan adanya
dua bentuk gerakan postmodernisme. Pertama, spektral, suatu bentuk proyek main-main,
tidak serius, simulacrum, konsumerisme individualis, dan berkaitan dengan kedangkalan.
Kedua, organis, yaitu berkaitan dengan timbulnya gerakan sosial baru, seperti gerakan
perempuan, gerakan hijau, gay, dan lesbian.
Di satu sisi, Lash menyatakan postmodernisme sebagai paradigma kultural yang
meresapi hampir segala sisi kehidupan mutakhir yang ditandai oleh tedensi didiferensiasi,
problematisasi dan instabilitas makna. Tetapi di sisi lain, Lash menyatakan bahwa
postmodernisme sesungguhnya kurang memberi peluang ke arah pergumulan budaya yang
cukup kritis-substansial dibandingkan modernism yang cenderung telah melahirkan kritik-
kritik kebudayaan yang mendalam.
Para teoretikus modernitas kontemporer, dalam banyak hal memang bersikap
pesimistis dan sepakat melihat perkembangan modernitas yang dihela perkembangan
pengetahuan dan informasi sebagai sesuatu yang makin dominan, dan bahkan Giddens
menyatakan makin tak terkendali seperti juggernaut. Sementara itu, Ulrich Beck melihat
adanya suatu keretakan dalam modernitas dan suatu transisi dari masvarakat industri klasik
menuju masyarakat risiko (Ritzer, 2010: 251). Pada masyarakat modernitas lanjut, isu
sentralnya yaitu risiko dan bagaimana risiko tersebut dapat dicegah, diminimalkan, dipantau
atau diatur. Beck menyatakan sesungguhnya kita telah berpindah dari modernitas klasik yang
dicirikan dengan kesejahteraan dan bagaimana membagikannya dengan rata ke dalam
modernitas yang lebih maju di mana isu yang menentukan yaitu risiko, dan bagaimana
menghindari atau menanggulanginya (Ritzer, 2010: 285-286).
Di luar empat teoretisi di atas-Giddens, Beck, Bauman, dan Lash di antara tokoh dan
teoretisi sosial lain sebetulnya cukup banyak yang memiliki semangat dan dasar pemikiran
yang kurang lebih sama dengan teori sosial postmodern, yakni menaruh perhatian pada
kelompok yang tertindas, gerakan rakyat bawah tanah, dan mengembangkan pemikiran
alternatif yang berbeda dengan arus bear atau grand narrative yang selama ini mendominasi.
Filsuf dan teoretisi pendidikan kritis, seperti Paulo Freire (1921-1997) dan Ivan illich (1926-
2002), dikenal sebagai
teoretisi vang menawarkan kerangka pemikiran yang menyempal dan merupakan
jalan lain yang berbeda dengan mainstream yang berlaku di masanya. Meski pemikiran
mereka merefleksikan pola pemikiran teoretisi postmodern, tetapi keduanya nyaris tidak
pernah disebut-sebut sebagai teoretisi postmodern, dan mereka sendiri juga tidak pernah
mengklaim diri sebagai teoretisi maupun filsuf postmodern.
Paulo Freire adalah seorang teoretisi sekaligus aktivis gereja yang terlibat langsung
dalam kegiatan pendidikan kritis yang berorientasi pada proses penyadaran (conscientization)
bagi kaum tertindas di wilayah Brasil. Freire menghabiskan seluruh hidupnya untuk suatu
praksis pedagogis-tanpa definisi muatan a priori, buku teks dan teknik-teknik pendidikan.
Tujuannya mengembangkan suatu proses pendidikan dan penyadaran yang dibangun dalam
realitas sosial dan kultural guru dan murid (Palmer, 2010: 217). Dalam pandangan Freire,
pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang dibentuk oleh proses
coding/decoding-mengubah sesuatu menjadi kode dan mengubah kode menjadi sesuatu yang
dapat dipahami-yang kemudian akan memungkinkan anak didik dari kelompok yang tertindas
menggunakan pengetahuannya yang baru diperoleh untuk merekonstruksi kehidupannya;
melakukan refleksi sehingga lahirlah pembebasan (liberation). Freire banyak menulis buku
tentang pendidikan kritis sebelum Lyotard menerbitkan bukunya tentang postmodern yang
terkenal pada 1984. Salah satu buku Freire yang terkenal adalah Pedagogy of the Oppressed
yang telah diterbitkan tahun 1972-satu dekade lebih sebelum Lyotard menerbitkan The
Postmodern Condition pada 1984.
Sementara itu, Ivan Illich adalah seorang pastur, sejarawan ikonoklastik dan kritikus
sosial yang agak berbeda titik awal kiprahnya dengan Freire. Berbeda dengan Freire yang
pernah menjadi anggota Partai Buruh dan sempat menjadi Menteri Pendidikan Brasil, Illich
adalah seorang dosen sekaligus pastur yang mengembangkan pemikiran yang menentang
kesombongan serta kekerasan pelaksanaan budaya yang secara historis telah dilakukan
gereja di masa itu.
Sebagai seorang teoretikus antisekolah, anti-institusi, dan antitek-nologi, Illich
menaruh perhatian pada ciptaan-ciptaan yang memba-tasi kemungkinan perluasan
persahabatan dengan "yang lain" dapat melintasi berbagai batasan (Palmer, 2010: 302-303).
Lebih dari sekadar menawarkan gagasan yang melawan arus, dalam praktiknya Illich bahkan
memilih meninggalkan gereja, tidak lagi menjadi pastur, dan memutuskan menjadi Direktur
CIDOC (Center of Intercultural Documentation) yang merupakan salah satu lembaga kajian
untuk menandingi dominasi Alliance for Progress yang dibentuk Presiden Kennedy karena
dinilai hanya menyebarluaskan cita rasa borjuis yang mengorbankan budaya dan kehidupan
Amerika Selatan. Seperti juga Paulo Freire, buku Illich yang berjudul Deschooling Society
telah diterbitkan pada 1970 cukup jauh sebelum istilah postmodern yang ditawarkan Lyotard
menjadi bahan diskusi di kalangan filsuf dan teoretisi sosial.