Anda di halaman 1dari 43

Bab 6

Teori Sosial Postmodern

Postmodernisme sesungguhnya merupakan teori sosial baru yang akar kelahirannya


bisa dilacak jauh ke belakang hingga 1930-an atau minimal. dari kemunculan gerakan seni
yang bermula di New York pada 1960-an. Kemudian menyebar ke Perancis yang dipelopori
oleh Jean-Francois Lyotard dan Julia Kristeva, dan kembali ke Amerika Serikat sebagai suatu
tori sekaligus mencirikan perkembangan suatu zaman baru: era postmodern (Ritzer & Smart,
2011: 616). Kekecewaan terhadap Marxisme dan krisis yang terjadi pada negara-negara
sosialisme -teruta-ma runtuhnya blok Soviet pada tahun 1989-serta persoalan kemiskinan dan
pengangguran yang tak kunjung menghilang (Ritzer, 2010: 61) bukan saja memicu
kemunculan kritik terhadap kegagalan proyek modernitas, melainkan juga melahirkan
berbagai teori sosial postmodern sebagai suatu konfigurasi teori yang baru. Tahun 1990-an
boleh dikatakan me-rupakan tahun kebangkitan tori postmodern, dan terus berkembang
hingga kini dengan segala kontroversi yang menyertainya.
Perry Anderson (2008) menyatakan, kalau dirunut ke belakang gerakan intelektual
postmodern sesungguhnya yaitu berasal dari ranah sejarah, filsafat dan estetika, tetapi
kemudian langsung meluas ke dalam ilmu pengetahuan sosial, khususnya sosiologi dan
kajian-kajian budaya. Dalam perkembangan tori sosial, postmodern merupakan perspektif
tersendiri yang menawarkan banyak hal baru, yang berbeda dengan teo-I-teori sosial yang
lain, terutama teori sosial klasik dan modern. Teori Sosial postmodern dibutuhkan dan
muncul karena teori sosiologi klasik dan modern dinilai tidak lagi mampu menjelaskan
realitas kontemporer, dan teori postmodern dibutuhkan untuk membantu menjelaskan
konfigurasi sosial yang berubah dengan cepat dan luas, sehingga melahirkan kebingungan
dan kesemrawutan teoretis dan kegelisahan publik yang terus bermunculan. Seperti dikatakan
Bauman (1988), sebagai suatu era atau kondisi kontemporer masyarakat, postmodernisme
merupakan salah satu aspek dalam sistem sosial yang mampu hidup dan siap terbang, yang
sudah mulai menggantikan masyarakat kapitalis modern "klasik," sehingga perlu
diteorisasikan dengan bahasanya sendiri yang khas; yang tidak terjebak pada grand narrative
tori yang sudah ada, tetapi justru mask pada teori-teori spesifik yang kontekstual.
Sebagai suatu pemikiran, postmodernisme merepresentasikan reaksi para teoretikus
ilmu sosial terhadap berbagai keburukan moderni-tas dan kelemahan teori sosial klasik dan
modern. Postmodernisme pada hakikatnya yaitu bentuk postliberalisme atau hiperliberalisme
(Turner, 2000: 19). Sebagai suatu pandangan alternatif, postmodernisme lebih menekankan
hakikat superfisial dan keberlakuan bermasa pendek (ephimeral); merupakan gaya, tren dan
citra yang terwujud me-lebihi substansi dan makna (Jones, 2009: 224). Seperti diakui Kellner
(1983), postmodernisme sering dikaitkan dengan suatu masyarakat di mana gaya hidup
konsumen dan konsumsi massa mendominasi cita rasa dan gaya. Postmodernisme merupakan
suatu era baru perkembangan kapitalisme akhir dan masyarakat kontemporer yang
membutuhkan penjelasan baru pula, yaitu teori-teori sosial postmodern.
Para pendukung postmodernisme secara terbuka menerang modernisme sebagai
wacana hegemonik, struktur kontrol, dan dominasi di mana disiplin ilmu dirumuskan melalui
rasionalitas belaka. Apa yang ditawarkan postmodernisme antara lain keragaman, radikalisme
dan eklektisisme, yaitu bentuk keterbukaan dan kesediaan postmodern untuk senantiasa
menyapa berbagai perspektif dan disiplin ilmu, sehingga menjanjikan penjelasan yang lebih
kontekstual dan komprehensif. Meskipun postmodern sebagai suatu gerakan intelektual lebih
banyak disatukan oleh apa yang ditentangnya daripada oleh apa yang diper-juangkannya
(Turner, 2012: 425), tetapi semangat kebebasan, resistensi untuk melawan berbagai bentuk
kepongahan status quo, dan fokus per-hatiannya pada keberagaman yang kuat, bagaimanapun
merupakan sesuatu yang menjanjikan dan menawarkan hal-hal baru yang sebelumnya tidak
terpikirkan teoretisi sosial modern.

A. AWAL MULA POSTMODERN


Walaupun dalam perkembangannya postmodern cenderung lebih populer di Amerika
dan Eropa, tetapi istilah postmodern dan postmo-dernisme sebetulnya berasal dan pertama
kali muncul justru di Ameri-ka Latin. Istilah postmodern pertama kali digunakan oleh
Federico de Onis pada 1930-an, dan kemudian istilah in menjadi populer digunakan dalam
berbagai aspek kajian dan bidang ilmu, mulai dari sejarah, litera-tur, seni, arsitektur, teater,
lukisan, hingga filsafat. Federico de Onis, menggunakan istilah postmodern untuk
menggambarkan pengaliran kembali konservatif dalam modernisme itu sendiri- suatu
pelarian dari tantangan lirik yang berat dan perfeksionisme yang kaku (Anderson, 2008: 3).
Federico de Onis, seorang kritikus seni, dalam tulisannya Anto-logia de la Poesia Espanola a
Hispanoamericana (1930) menyebut istilah postmodernisme untuk menunjuk kepada reaksi
minor terhadap mo-dernisme yang muncul pada saat itu.
Sementara itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa istilah postmodernisme
sebetulnya bukan muncul di Amerika Latin, melainkan di Jerman. Istilah ini sudah digunakan
sejak 1917 oleh Rudoplh Panwitz. Panwitz adalah seorang filsuf Jerman yang secara kritis
menangkap ada-nya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern, dan menanggapi
modernisme dengan penuh kecurigaan seperti yang dilakukan Nietzsche, Rousseau, dan
Schopenhauer. Modernitas di dalam pandangan Panwitz cenderung hanya melahirkan
kekosongan, kehampaan, dan bahkan nihilisme (lihat Best and Kellner, 1991: 5-6).
Selama dua dekade, yakni antara 1930- 1940-an, istilah postmodern-isme sepertinya
menghilang dari peredaran, dan karenanya tidak terlalu memasyarakat, baik dalam
perbincangan akademik maupun diskusi di media massa. Baru pada 1950-an, istilah
postmodernisme kembali muncul di Inggris, tetapi dalam konteks yang berbeda, yakni lebih
sebagai epoch daripada sekadar kategori estetis. Arnold Toynbee, dalam bukunya A Study of
History jilid 8 yang diterbitkan tahun 1954 menyatakan bahwa zaman baru yang lair setelah
Perang Prancis-Prussia (Franco-Prussia War) sebagai era postmodern (postmodern age). Di
era postmodern, dua ciri utama yang menandai masyarakat post-industrial antara lain: (1)
bangkitnya kelas pekerja industri di Barat; dan (2) adanya kaum generasi penerus intelektual
dari luar Barat yang menguasai rahasia moderni-tas dan kemudian mereka berubah
menentang Barat. Menurut Toynbee (1954: 757), pengertian postmodernisme dipandang lebih
berkonotasi negatif.
Selain di Inggris, pada akhir 1950-an, istilah postmodernisme juga mulai muncul dan
populer di Amerika, tetapi istilah ini lebih dipahami sebagai semacam pertanda buruk
(negative marker) terhadap apa yang dinilai kurang modern. Pada 1954, C. Wright Mills dan
Irving Howe, sosiolog yang berasal dari kaum Kiri New York, memakai istilah
postmodernisme untuk menunjuk suatu zaman di mana ide-ide modern me-ngenai liberalisme
dan sosialisme telah ambruk, karena akal dan berbagai kebebasan dalam satu masyarakat
postmodern yang terombang-ambing dan konformitas yang kosong (Anderson, 2008: 18-19).
Pada 1959, istilah postmodern juga digunakan di bidang ekonomi, yakni lewat buku Peter F.
Drucker The Landmarks of Tomorrow yang menyebutkan postmodern sama artinya dengan
pasca-industri, pascakapitalis dan revolusi gelombang ketiga.
Istilah postmodernisme makin populer pada 1960-an, ketika para seniman muda,
penulis, dan kritikus seni seperti Susan Sontag, Lieslie Fiedler, John Cage, Robert
Rauschenberg, Alain Robbe-Grillet, John Bart, dan Thomas Pynchon menggunakannya
sebagai nama untuk me-nanda gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut (lihat
Ritzer, 2010: 35-37). Para artis muda ini memakai istilah postmodern untuk menunjuk pada
sesuatu yang melebihi (beyond) modernitas tinggi (hight modernity) yang
dinstitusionalisasikan di museum dan akademi.
Sepanjang 1960-an, pengunaan istilah postmodernisme selanjut-nya perlahan-lahan
mulai menyentuh bidang yang lain. Dalam bidang arsitektur, istilah postmodernisme
mengacu kepada perlawanan bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan,
rasionalitas, objektif, praktis, ruang isotropis, dan estetika mesin, di mana prinsip bentuk
mengikuti fungi menjadi dewa. Arsitektur postmodernisme sebaliknya menawarkan konsep
bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolis, ter-piuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal,
penuh ornamen, metafora, serta akrab dengan alam. Doktrin bentuk mengikuti fungi dibalik
men-jadi fungsi mengikuti bentuk.
Pada kurun waktu tahun 1960-an, muncul tulisan tentang post-modernisme dengan
artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam dunia sastra, Ihab Hassan (1971) dan Susan
Sontag (1964/1967) menya-takan mulai bangkitnya dunia sastra yang selama ini terdiam.
Sontag (1964/1967) menyatakan telah lahir sensibilitas baru, yaitu suatu sika yang lebih
terbuka menerima keberagaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan
terhadap seniman dan karya seni. Hassan (1971) dalam esainya yang terkenal
Postmodernism: A Paracritical Bibliography memperlihatkan karakter anarki postmodern.
Selama rentang waktu 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang postmodernisme
mulai masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya ba-ngunan perumahan Pruitt Igoe, St.
Louis, Missouri, yang memiliki karak-ter arsitektur modern (arus arsitektur international style
yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur postmodern-
isme. Arsitektur postmodern membawa tiga prinsip dasar, yakni konteks-tualisme,
alusionisme, dan ornamental. Prinsip kontekstualisme berarti adanya pengakuan bahwa gaya
arsitektur suatu bangunan selalu merupa-kan bagian fragmental dari suatu gaya arsitektur
yang lebih luas. Prinsip alusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu
merupakan tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip ornamental
berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengung-kapan makna-makna
arsitektural (lihat Bertens, 1995: 57-61).
Charles Jencks, yang diakui sebagai mahaguru arsitektur postmodern, dalam bukunya
The Language of Postmodern Architecture (1977), juga menyebut beberapa atribut konsep
arsitektur postmodern. Beberapa atribut tersebut antara lain metafora, historisitas,
eklektisisme, regionalisme, ad hocism, semantik, perbedaan gaya, pluralisme, sensitivisme,
ironisme, parodi, dan tradisionalisme. Lebih lanjut arsitektur postmodern, menurut Jencks
juga memiliki sifat-sifat hibrida, kompleks, terbuka, kolase, ornamental, simbolis, dan
humoris. Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur postmodern ditandai oleh suatu
ciri yang disebutnya double coding. Double coding adalah prinsip arsitektur postmodern
yang. memuat tanda, kode, dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi ba-ngunan.
Arsitektur postmodern yang menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran
eklektis antara tradisional/modern, popu-let/tinggi, barat/timur, atau sederhana/complicated
(Ritzer, 2010: 38).
Robert Venturi, arsitek sekaligus teoretisi awal konsep arsitektur postmodern, dalam
bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966) menyatakan bahwa arsitektur
postmodern adalah konsepsi teoretis arsitektur yang memiliki beberapa karakter. Menurutnya,
arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni),
komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu
(ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal
(ketimbang yang monovokal) (lihat Ritzer, 2010: 37). Sementara itu, Daniel Bell-seorang ahli
komunikasi yang disebut-sebut dalam banyak literatur tentang postmodern sebagai perintis
teori postmodern-melihat bahwa postmodernisme sesungguhnya yaitu sebagai puncak
tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan hasrat, insting dan kegairahan untuk
membawa logika modernisme hingga ke titik terjauh yang mungkin bisa dicapai (Lihat
Featherstone, 1988: 203-204).
Postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang dengan watak era
pendahulunya, yakni menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda
ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang
kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal
ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika, dan narasi
ketimbang teori. Karakter yang sering disuarakan postmodernisme antara lain pluralisme,
heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi,
dekonstruksi, pemen-caran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi, de-
mistifikasi, delegitimasi, serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
Sebagai suatu aliran filsafat maupun gerakan intelektual, postmodern pada intinya
prihatin terhadap eksistensi wacana nonlinier, ekspresif, dan suprarasional, yang
terpinggirkan dan meniadi kering karena pengaruh Pencerahan (O'Donnell, 2009: 6). Berbeda
dengan teori sosial modern yang mengedepankan rasionalitas, teori postmodern justru
muncul dengan segala bentuk kritik terhadap impian-impian yang ditawarkan proyek
modernitas. Filsafat modern yang dipelopori René Descartes (1596-1650), umumnya
menempatkan analisis logis dan me-tode ilmiah sebagai kunci untuk mencari kebenaran ilmu
pengetahuan. Immanuel Kant bahkan mengklaim bahwa modernitas membebaskan manusia
dari kenaifan. Tetapi filsafat dan teori sosial postmodern justru mengkritik metode ilmiah
sains yang dinilai positivistik dan menyatakan bahwa di era masyarakat post-industrial yang
terpenting yaitu pastiche, yakni suatu pandangan yang menyatakan bahwa berbagai
pandangan dilihat sebagai sumber kekayaan dari kenyataan menyeluruh (Lyotard, 1984:
xviii).
Hasan (2003) menyatakan postmodernisme memiliki ciri cenderung
mengesampingkan sejarah dalam arti tunggal dan mengedepankan sejarah polikronik.
Postmodernisme bukanlah suatu periode-sebagai konstruk temporal, kronologis, atau
diakronik-melainkan berfungsi sebagai kategori teoretis, fenomenologis, atau sinkronik.
Postmodernisme adalah kategori interpretif, sebuah alat hermeneutis. Filsafat dan teori sosial
postmodern merupakan cara kita memandang dunia, sejarah, realitas, dan diri kita sendiri.
Sejarah perkembangan postmodern, baik sebagai aliran filsafat maupun sebagai
bagian dari teori sosial kontemporer, sesungguhnya merepresentasikan gerakan pertemuan
dari tiga kecenderungan kultural yang berbeda. Pertama, melibatkan perubahan-perubahan
tertentu dalam dunia seni terutama reaksi menentang gaya internasional (international style)
dalam dunia arsitektur. Kedua, berkaitan dengan perubahan dunia sosial dan transformasi
masyarakat sebagaimana dibahas teori masyarakat post-industrial, seperti Daniel Bell dan
Alain Touraine. Ketiga, berkaitan dengan perkembangan arus dalam dunia filsafat yang
diasosiasikan dengan kelompok post-strukturalis, seperti lacques Derrida, Foucault, dan Giles
Deleuze. Ketiga teoretikus ini sama-sama menekankan watak terfragmentasi, heterogen, dan
plural dari realitas, menyangkal kemampuan pemikiran manusia untuk sampai pada
pengetahuan objektif atas realitas (Callinicos, 2008: 6).
Jean-Francois Lyotard adalah salah seorang filsuf yang dikenal sebagai filsuf pionir
postmodern, karena buku yang ditulisnya The Postmodern Condition (diterbitkan pertama
kali tahun 1979 dan kemudian di. terjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1984)
merangkai secara bersama seni postmodern, filsafat postmodern, dan teori tentang
masyarakat post-industrial menjadi satu rangkaian kajian filsafat postmodern. Bagi Lyotard,
filsafat postmodern intinya yaitu ketidakpercayaan terhadap metanarasi (Lyotard, 1984:
xxiv). Dalam aliran filsafat postmodern, Lyotard disebut-sebut termasuk filsuf dalam kubu
dekonstruktif bersama dengan tokoh-tokoh lain, seperti Derrida, Faucault, dan Rorty. Berbeda
dengan kubu konstruktif atau revisioner, seperti Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur,
(Sugiharto, 1996: 16), yang melihat postmodern hanyalah kritik imanen yang hendak
mengoreksi berbagai aspek kemodernan, kubu dekonstruktif seperti Lyotard justru
menyatakan gagasan dasar seperti filsafat, rasionalitas, dan epistemologi harus dipertanyakan
kembali secara radikal.
B. AKAR-AKAR PEMIKIRAN TEORI SOSIAL POSTMODERN
Sebagai suatu teori sosial, postmodern menempuh perjalanan yang sangat panjang. Di
tengah kehadiran teori sosial postmodern yang makin populer, akar pemikiran teori sosial
postmodern sebenarya bisa dilacak dari sejumlah teoretisi dan filsuf yang menaruh perhatian
khusus pada perkembangan masyarakat yang dinilai makin terfragmentasi, pluralistik, dan
senantiasa mencari bentuk yang tak kunjung berakhir. Sejumlah tokoh, seperti Friedrich
Nietzche, Martin Heidegger, Ludwig Wittgenstein, Ferdinand de Saussere, Jacques Derrida,
Michel Foucault, dan Richard Rorty adalah nama-nama yang kerap kali disebut ketika.
hendak melacak akar pemikiran teori sosial postmodern.
Friedrich Nietzche sering kali diakui para ahli ilmu sosial sebagai figur utama dalam
membicarakan akar teori sosial postmodern. Nietzsche, diakui sebagai orangtua tori
postmodern (Ritzer & Smart, 2011: 624). Sebagai seorang filsuf, pemikiran Nietzche
sebetulnya tidak hanya memengaruhi perkembangan postmodernisme, tetapi juga
perkembang-an teori poststrukturalisme. Nietzche sendiri disebut Ritzer (2010: 41)
antisosiologi karena melihat kemajuan dan pencerahan dalam masyara-kat modern sebagai
dekadensi, kepayahan, dan relimitasi cara hidup teratur, serta memahami hal itu sebagai
bentuk kesemrawutan, aforistik daripada narasi besar yang diciptakan modernitas.
Dalam pandangan Nietzche, dialektika dan nihilisme merupakan penyebab
kehancuran modernitas. Nietzche menyatakan sumber kehancuran rasionalisme Pencerahan
yaitu pada proses dielektikanya, yang justru melahirkan ketidakpastian. Tidak ada kebenaran
mutlak, karena yang ada yaitu interpretasi. Bahasa semata-mata merupakan interpretasi,
sehingga hubungan antara bahasa dan kebenaran meniadi relatif. Bahasa bersifat plural,
sehingga konsekuensinya kebenaran dan interpretasi juga menjadi plural (lihat Robinson,
1999: 39-53). Pemikiran Nietzche yang mengedepankan pluralitas dan relativisme inilah
yang kemudian menjadi salah satu landasan pemikiran postmodernisme yang mengambil
sikap oposan terhadap universalisme.
Sementara itu, Martin Heideger adalah seorang pemikir eksistensialis abad ke-20
yang menyatakan bahwa dunia yaitu sesuatu yang kontekstual dan relatif, di mana hakikat
realitas bukan hanya ditentukan objektivitas penafsiran, melainkan subjektivitas penafsir
juga. Pengertian yaitu suatu proses, suatu peristiwa yang berkesinambungan (eksis-tensialis).
Sama seperti Nietzche, pemikiran Heidegger cenderung menekankan relativisme. Hanya saja
Heidegger melihat relativisme terjadi dalam kaitanna dengan ciri khas temporal-verbal dari
bahasa dalam memberikan pemahaman tentang dunia yang kontekstual dan relasional. Bagi
Heidegger, pengertian bukanlah suatu tindakan identifi-kasi objektif, melainkan merupakan
suatu proses menjadi yang ber-kesinambungan (lihat Heidegger, 1976).
Ludwig Wittgenstein adalah seorang filsuf dari Austria yang memopulerkan analisis
tentang permainan bahasa (language games). Sama seperti Heidegger, Wittgenstein menaruh
perhatian pada bahasa. Menurut Wittgenstein, bahasa menggambarkan dunia, dan in
berhubungan dengan pemikiran, pengetahuan, dan bahasa itu sendiri. Tidak ada kebenaran
dan pemahaman yang universal tentang makna, karena yang ada yaitu keanekaragaman
(pluralisme) arti dan konteks. Setiap penggunaan bahasa terjadi dalam sistem terpisah yang
masing-masing memiliki peraturan sendiri-sendiri yang berbeda layaknya suatu permainan
yang memiliki aturan tersendiri (lihat Curry, 1991).
Meski menggunakan kata-kata yang berbeda, tetapi Wittgenstein sama seperti
Nietzche dan Heidegger, bahwa tidak ada kebenaran dan pemahaman yang universal tentang
mana. Pluralisme mana dalam bahasa yaitu sumbangan pemikiran Wittgenstein dalam
perkembangan teori sosial postmodern.
Menekankan pluralitas dan relativitas dalam bahasa merupakan salah satu fokus
perhatian kalangan pemikir yang menjadi acuan dan landasan bagi perkembangan teori sosial
postmodern. Bila Wittgenstein menyatakan perbedaan mana bahasa terjadi karena perbedaan
sistem yang memiliki aturan yang berbeda, Ferninand de Saussere menyatakan bahasa atau
tepatnva kata-kata tidak netral, tetapi relasional. Makna suatu sistem tanda dihasilkan oleh
hubungan perbedaan (relation of dif-ference), sehingga arti kata menjadi relatif bagi intensi
pengguna dan konteks di mana kata-kata digunakan. Dalam pandangan Saussere, kata-kata
dapat dan tidak harus memiliki arti yang tetap, konstan, sebab kata-kata yang sama bukan
tidak mungkin memiliki makna yang berbeda jika penggunanya berbeda dan konteksnya juga
berbeda.
Bila para filsuf eksistensialis seperti Heidegger meyakini kehadiran merupakan suatu
tanda, maka Jacques Derrida justru membongkar (mendekonstruksi) cara berpikir kaum
eksistensialis dengan menyatakan bahwa tandalah - atau bekas-bekas yang merupakan
tandalah yang mendahului kehadiran. Sebagai filsuf dan teoretisi awal post-strukturalisme,
Derrida mengembangkan pemikiran yang berbeda dengan kaum strukturalis yang terlibat
dalam lingkaran bahasa dan memfokuskan pada pembicaraan. Derrida lebih menaruh
perhatian pada tulisan dan menciptakan grammatology. Derrida mengkritik strukturalisme
yang mengatakan bahwa arti berada dalam teks. Arti teks dalam pandangan Derrida
tergantung siapa yang menjadi pembaca, di mana makin banyak pembaca berarti makin
banyak pula arti teks.
Jacques Derrida membongkar logosentrisme, dan dikenal sebagai filsuf yang
memperkenalkan arti penting dekonstruksionisme. Cara berpikir kaum modernitas yang
mengedepankan oposisi biner yang bersifat hierarkis, dalam pandangan Derrida
menyebabkan filsafat Barat cenderung bersifat totaliter karena memaksa yang bukan pusat,
atau liyan, marginal, tersisih harus disubordinasikan di dalamnya. Dengan melakukan
dekonstruksi, Derrida berupaya memunculkan kembali dimensi metaforis dan figuratif dari
bahasa yang menjadi pembentuk realitas.
Menurut Derrida, yang namanya tanda sesungguhnya selalu mendahului kehadiran.
Teks senantiasa mengandung diferance (penundaan) dan difference (perbedaan). Teks
bukanlah sesuatu yang otonom, absolut dan hanya berlaku dalam sistem yang tertutup dan
dalam definisi yang tetap, melainkan dalam jaringan yang luas, dan selalu luwes, terbuka dan
berubah terus-menerus. Dalam berbagai cara, Derrida tertarik pada proses decentering.
Derrida di sini ingin meninggalkan fokus strukturalisme pada tanda (sign) dan
menitikberatkan pada proses menjadi tanda (becoming sign)--meninggalkan struktur objektif
beralih pada hubunganantara struktur subjektif dan objektif (Ritzer, 2010: 205). Derrida
menolak liniaritas dan menolak menyelidiki yang asli (origin)-suatu cara berpikir yang
menjadi inti pemikiran post-strukturalis dan postmodernisme.
Michel Foucault adalah salah seorang pemikir awal postmodernisme yang
mengundang kontroversi dan banyak dipengaruhi Nietzche. Pemikiran Foucault tentang
genealogi ilmu pengetahuan dan analisisnya terhadap humaniora, humanisme liberal, dan
etika banyak dipengaruhi pemikiran Nietzche, meski Foucault sendiri kemudian
mengembangkan pemikirannya yang terkesan lebih ekstrem. Foucault menyatakan kekuasaan
dan pengetahuan modern telah menciptakan dominasi terhadap kemanusiaan yang akibatnya
dapat diidentifikasi dalam masalah kejiwaan, pengobatan, serta kesehatan, hukuman, dan
kejahatan. Kemunculan kontra ilmu (modern) seperti psikoanalisis, linguistik dan etnologi,
menyebabkan manusia diturunkan takhtanya dan ditafsir sebagai akibat dari bahasa,
kesintingan, dan ketidaksadaran. Pemikiran Foucault yang mengedepankan pluralisme,
diskursivitas, sikap decentred, dan non-evolusioner dalam ilmu pengetahuan, seksualitas, dan
politik, dalam banyak hal menjadi landasan perkembangan pemikiran teori sosial postmodern
(lihat Best dan Kellner, 1991:41-70).
Dalam pandangan Foucault, narasi besar dalam modernisme sesungguhnya hanyalah
mistifkasi yang bersifat ideologis dan semu. Berbeda dengan teoretisi modern yang
memahami manusia sebagai subjek yang mandiri dan otonom, Foucault memahami manusia
modern
Tabel 9. Tokoh-tokoh Akar Pemikiran Teori Sosial Postmodern.

Tokoh Kata Kunci Tesis Pokok


Friedrich Nietzche Dialektika dan Tīdak ada kebenaran mutlak. Yang ada
Nihilisme yaitu interpretasi, sehingga moral pun
tidaklah universal. Bahasa semata-mata
interpretasi.
Martin Heidegger Hermeneutik, Hakikat realitas bukan hanya ditentukan
verstehen, onto- objektivitas penafsiran, melainkan
teologi subjektivitas penafsir juga. Pengertian yaitu
sualu proses, sualu peristiwa yang
berkesinambungan (eksistensialis).
Ludwig Wittgenstein Permainan bahasa Bahasa menggambarkan dunia, dan ini
(languange games), berhubungan dengan pemikiran,
makna pengetahuan dan bahasa itu sendiri. Tidak
ada kebenaran dan pemahaman yang
universal tentang makna, karena yang ada
yaitu keanekaragaman (pluralisme) arti dan
konteks.
Ferdinand de Saussere Bahasa, relation of Bahasa tidak netral, tetapi relasional. Makna
difference, konteks suatu sistem tanda dihasilkan oleh
hubungan perbedaan, sehingga arti kata
menjadi relatif bagi intensi pengguna dan
konteks di mana kata-kata digunakan.
Jacques Derrida Teks, difference, Tanda sesungguhnya mendahului
difference, mental kehadiran. Teks
signified senantiasa mengandung differance
(penundaan) dan diference (perbedaan).
Teks bukanlah sesuatu yang otonom,
absolut, dan hanya berlaku dalam sistem
yang tertutup dan dalam definisi yang tetap,
melainkan dalam jaringan yang luas, dan
selalu luwes, terbuka, dan berubah terus-
menerus.
Michel Foucault Genealogi Kekuasaan dan pengetahuan modern telah
kekuasaan, menciptakan dominasi terhadap
sensualitas, kemanusiaan yang akibatnya dapat
archeology of diidentifikasi dalam masalah kejiwaan,
knowledge, kegilaan pengobatan, serta kesehatan, hukuman dan
dan peradaban kejahatan. Kemunculan kontra-ilmu
(modern) seperti psikoanalisis, linguistik,
dan etnologi, manusia diturunkan takhtanya
dan ditafsir sebagai akibat dari bahasa,
kesintingan, dan ketidaksadaran.
Richard Rorty Represantionis, Bahasa bukanlah suatu representasionis.
nonrepresentasionis, melainkan nonrepresentasionis.
bahasa, kosakata Kepercayaan dan bahasa hanyalah alat
untuk menuntun orang bertindak.
Kebenaran bukan apa yang secara teoretis
benar, melainkan apakah bertungsi dalam
koherensinya dengan sistem kepercayaan
yang menyeluruh. Tidak ada kosakata yang
sifatnya final. Akibat kelidaksamaan
pandangan dan ketidakpastian kebenaran
pandangan titik pandang itu bersifat relatif.
tidak lebih dari individu yang lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui
disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Sahal, 1994: 16-17). Dua
sumbangan Foucault bagi perkembangan teori postmodern antara lain: Pertama,
keberhasilannya menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya sebagai
kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua, keberpihakannya
terhadap persoalan yang selama ini ditindas oleh rasonalitas modern, yakni berbagai tema
yang selama ini tersisih dan tertindas, seperti rumah sakit, penjara, barak-barak tentara,
sekolah, pabrik, pasien, seks, orang gila dan para kriminal, agar lebih didengar dan
diperhatikan (lihat juga O'Farrell, 2006).

Pemikiran Richard Rorty sedikit banyak sama dengan pemikiran Wittgenstein, yakni
memahami makna kata-kata dalam konteks relasional. Hanya bedanya, Rorty sebagai seorang
filsuf neopragmatis juga memahami bahasa bukanlah suatu representasionis, melainkan
nonrepresentasionis. Kepercayaan dan bahasa hanyalah alat untuk menuntun orang bertindak.
Kebenaran bukan apa yang secara teoretis benar, melainkan apakah itu berfungsi dalam
koherensinya dengan sistem kepercayaan yang menyeluruh. Tidak ada kosakata yang sifatnya
final. Akibat ketidaksamaan pandangan dan ketidakpastian kebenaran pandangan, titik
pandang itu bersifat relatif (lihat Best dan Kellner, 2001). Pengaruh Rorty pada
perkembangan teori postmodern dapat dilacak sebagian besar pada penolakannya pada
filsafat sistematik dan penerimaannya pada filsafat yang mendatangkan kemajuan (ediflying
philosophy), di mana tujuannya bukan untuk menemukan suatu jawaban, melainkan hanya
menjaga percakapan keilmuan terus berlangsung (Ritzer, 2010: 62-63).

Secara konseptual, sumbangan dari para filsuf dan teoretisi di atas terhadap
perkembangan teori sosial postmodern mungkin saja berbeda-beda. Namun demikian, benang
merahnya yaitu pada substansi pemikiran para tokoh di atas yang menekankan pada
pluralisme, relativitas, dan ketiadaaan kebenaran tunggal yang dominan, di mana itu semua
kemudian dikembangkan dan menjadi fondasi bagi perkembangan teori sosial postmodern
dalam menentang modernitas dan mengkritik kegagalan proyek modernitas.

C. KARAKTERISTIK TEORI SOSIAL POSTMODERN

Menurut Ritzer (2012: 1072), postmodern adalah suatu masa sejarah baru, produk
budaya baru, dan suatu jenis penteorian baru tentang dunia sosial yakni suatu cara berpikir
yang berbeda dengan teori sosial teoretisi postmodern, ada kepercayan modern. Pertama, di
kalangan teoritisi postmodern, da kepercayaan luas bahwa era modernitas sudah berakhir, dan
dan kita kita masuk masuk pada suatu epos baru, yaitu postmodernisme. Kedua, dalam
berbagai produk budaya, produk postmodern cenderung menggantikan produk modern
Ketiga, teori sosial modern dinilai cenderung menjadi absolut, rasional dan menerima
posibilitas penemuan kebenaran, sebaliknya teori post-modern cenderung menjadi relatifistik
dan terbuka kemungkinan irasionalitas.
Karena menyerang klaim-klaim teori sosial modern tentang pemetaan totalitas sosial,
mendeteksi kemajuan sosial, dan memfasilitasi perubahan sosial yang dipandang
menguntungkan, yang sebenarnya merupakan bentuk penindasan sosial, maka posmodernis
membangun kritik-kritik serta mempertegas posisinya. Pertama, menolak legitimasi
kekuasaan sistem terpusat yang menghancurkan individualitas dan memblokir kekuatan
kreativitas bahasa dan hasrat. Kedua, postmodernis menekankan fragmentasi budaya yang
pervasive, disintegrasi, menolak konsep yang dilahirkan oleh tatanan sosial yang koheren.
Ketiga, postmodernis menolak subjek yang rasional dan otonomi karena memiliki daya
merepresi spontanitas manusia, perbedaan, dan keinginan (lihat Antonio & Kellner, dalam
Dickens & Fontana, 1994: 127-152). Berbeda dengan teori sosial modern yang berusaha
mencari landasan rasional, ahistoris, dan universal untuk analisis dan kritiknya terhadap
masyarakat, para teoretisi sosial postmodern justru menolak fondasionalisme, dan cenderung
bersikap relativistik, tidak rasional dan nihilistikam mlnlistik (Ritzer,2012: 1073).
Secara garis besar, ada lima pergeseran fokus analisis dalam teori modern ke teori
postmodern, yaitu: Pertama, pergeseran fokus perhatian dari struktural ke kultural, yakni
kebudayaan, khususnya budaya pop yang biasanya dikaitkan dengan konsumsi dan reformasi
identitas. Kedua, dari Produksi massal ke konsumsi dan gaya hidup massal, komunikasi, dan
media massa. Ketiga, dari interaksi ke wacana, suatu pergeseran linguistik/simbolik yang
tercermin dalam lebih banyak perhatian yang dicurahkan kepada representasi, khususnya
dalam media dan wacana-wacana populer. Keempat, dari institusi ke aktor dan jaringan yang
fleksibel berdasarkan konsensus yang sifatnya temporer. Kelima, dari yang tipikal ke yang
beragam dan marginal, seperti kelompok minoritas jenis kelamin, etnis, religius, gaya hidup,
dan budaya mereka (Turner, 2012: 430).
Pauline Rosenau (1992; 6) menyebutkan beberapa karakteristik dari teorì postmodern,
antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan
kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Kedua, teoretisi postmodern cenderung menolak apa
yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, dan totalitas.
Ketiga, teoretisi postmodern cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern,
seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan,
kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan
pengalaman mistik. Keempat, teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang
meletakkan batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan,
fiksi dan teori, image, dan realitas. Kelima, teoretisi postmodern cenderung menolak gaya
diskursus akademik modern yang teliti dan bernalar, Keenam, teoretisi postmodern tidak
memfokuskan kajian pada inti (core) masyarakat modern, melainkan pada bagian tepi
(periphery).
Secara epistemologi, teori postmodern dikategorikan sebagai relativis karena menurut
penganut teori ini yang berperan sesungguhnya yaitu narasi kecil atau subjek (individual).
Tidak ada kebenaran tunggal, apalagi mutlak dalam paradigma ini. Kalau menurut paham
positivistik ada masalah objektivitas, pada masa postmodern objektivitas itu sendiri justru
dipertanyakan karena bisa saja itu berunsur subjektif narasi besar atau struktur besar yang
membentuk suatu wacana sehingga seakan-akan objektif. Postmodernisme adalah yaitu suatu
wacana yang dibangun oleh pluralitas ideologi, yang di dalamnya berbagai keyakinan dan
kepercayaan, hidup bersama-sama di dalam ruang dan waktu yang sama. Secara etika, teori
postmodern dikategorikan sebagai nihilis, sebab dalam teori ini tidak dikenal adanya
penilaian absolut, manusia hidup tanpa nilai dan makna. Adapun secara estetika, teori
postmodern dikategorikan sebagai trivial, artinya segala sesuatunya selalu diwarnai
dekonstruksi dan dianggap tidak mengandung pengertian/makna. Postmodernisme
merupakan suatu kondisi masyarakat yang tidak mempu-nyai format dan bentuk yang statis
dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang selama ini dipakai.

Postmodern yaitu metode analisis kritis yang mencoba membongkar mitos dan
anomali paradigma modernitas, membuka ironi, intertekstualitas, dan paradoks; mencoba
menemukan suatu teori masyarakat postmodern dan menggambarkannya dalam realitas sosial
yang ada dalam masyarakat kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, 1988). Secara
singkat dapat dikatakan bahwa teoretisi postmodern menawarkan intermediasi dan
determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis,
dan kompleksitas daripada simplifikasi (Rosenau, 1992: 8). Karakter yang sering disuarakan
postmodern antara lain pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan,
deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas,
dekomposisi, dedefinisi, demistifikasi, delegitimasi, serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
Di era postmodernisme, berbagai hal yang menandai masyarakat modern--seperti
rasionalisasi, komodifikasi, diferensiasi, dan individualisasi--mengalami akselerasi
peningkatan yang luar biasa, sehingga terjadilah hiperrasionalisasi, hiperkomodifikasi,
hiperdiferensiasi dan hiper-individualisasi. Hiperrasionalisasi terlihat ketika keputusan-
keputusan politik dan usaha yang serius dibuat dengan bantuan-bantuan penasihat personal
dan spiritual, yang semuanya didukung oleh informasi dan data yang akurat untuk melakukan
prediksi dan antisipasi. Hiperkomodifikasi ditandai oleh proses perluasan dari hubungan-
hubungan komoditas hingga jauh melampaui apa-apa yang secara tradisional membentuk
transaksi-transaksi pasar, sehingga membawa ranah-ranah yang sebelumnya tidak
terkomodifikasi--misalnya pengetahuan, citra, gaya, hubungan keluarga, pemujaan--ke orbit
hubungan-hubungan pasar. Sementara itu, hiperdiferensiasi muncul sebagai perkembangan
dari berbagai spesialisasi, gaya hidup dan pandangan-pandangan ke dalam fragmen-fragmen
yang kemudian terkombinasi lagi ke dalam satu mode yang tidak dapat diprediksi dan
pencangkokan, misal munculnya bidang

Tabel 10. Perbedaan Modernisme dan Postmodernisme


Modernisme Postmodernisme

Rasionalisasi yaitu perubahan dalam Hiperrasionalisasi, di mana keputusan-


teknologi intelektual, cara berpikir yang keputusan politik dan usaha yang serius
dominan, dari yang bersifat meniru dibuat dengan bantuan-bantuan penasihat
(tradisional) ke yang reflektif dan kalkulatif personal dan spiritual.
(rasional). Muncul dorongan yang kuat
untuk menggunakan perhitung an yang
reflektif dan sistematis dalam pengertian
efektivitas/ efisiensi dan mengikuti standar
yang telah ditetapkan.

Komodifikasi progresif, melibatkan benda, Hiperkomodifikasi, mengakibatkan


ide, kualitas, dan tenaga manusia dalam perluasan dari hubungan komoditas hingga
proses pertukaran (jual beli) pasar sehingga jauh melampaui apa yang secara tradisional
meningkalkan alienasi atau keterasingan. membentuk transaksi pasar, sehingga
Terjadi komodifikasi tenaga bruh dan membawa ranah yang sebelumnya tidak
komodifikasi budaya. terkomodifikasi (misalnya pengetahuan,
citra, gaya, hubungan keluarga, pemujaan)
ke orbit hubungan pasar.

Diferensiasi sosial dan integrasi sebagai Hiperdiferensiasi muncul sebagai


pembentuk pembagian kerja modern. perkembangan dari berbagai spesialisasi,
Modernisasi identik dengan meningkatya gaya hidup, dan pandangan ke dalam
kompleksitas sosial, integrasi organik, dan fragmen yang kemudian terkombinasi lagi
marakya kultus individu. ke dalam satu mode yang tidak dapat
diprediksi dan pencangkokan (misal
munculnya bidang yang multidisipliner,
gaya hidup sinkretik, dan multimedia).

Individualisasi, di mana setiap kelompok Hiper-individualisasi yang mengakibatkan


dan asosiasi dalam jaringan sosial yang terjadinya pergeseran budaya (nilai
kompleks melahirkan identifikasi yang normatif), di mana setiap orang diharapkan
spesitik, tetapi parsial: identitas yang menunjukkan kemampuan untuk menilai
sifatnya individual. dan memilih, membentuk kehidupan mereka
secara sadar dan bertujuan.

Sumber: Bryan Turner, Teori Sosial, dari Klasik Sampai Postmodern (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2012).

yang multidisipliner, gaya hidup sinkretik, multimedia, dan lain-lain. Sedangkan munculnya
hiper-individualisasi, mengakibatkan terjadinya pergeseran budaya (nilai normatif) di mana
setiap orang diharapkan menunjukkan kemampuan untuk menilai dan memili, membentuk
kehidupan mereka secara sadar dan bertujuan.
Di era postmodern, perubahan yang terjadi di masyarakat, khususnya di bidang
informasi dan pengetahuan, bukan hanya menyebabkan rang dan waktu menjadi nisbi,
melainkan juga menyebabkan batas-batas realitas sosial menjadi kabur, relatif, dan bahkan
terjadi nihilistik. Berbagai proses yang menyusun modernitas: commodification, diferensiasi,
organisasi dan rasionalisasi mengalami intensifikasi dan makin masuk ke dalam pusaran
modernitas, sehingga efeknya menghasilkan akibat yang sangat mengacaukan, yang pada
akhirnya mendekomposisi modernitas itu sendiri (Ritzer & Smart, 2011: 637). Era
postmodernitas, yang dimulai di pertengahan abad ke- 20, khususnia setelah Perang Dunia Il,
terutama ketika budaya konsumen pop dan revolusi informasi media menyebabkan makin
mengslobalnya penyebaran ide dan hubungan pasar (Turner, 2012: 440), menyebabkan relasi
sosial yang berkembang di masyarakat mengalami perubahan yang dahsyat, menjadi lebih
pluralistik, dan sekaligus kehilangan maknanya.
Memudarnya batas ruang dan waktu, serta kehadiran realitas sosial yang makin sulit
dibedakan mana yang asli dan mana yang hanya rekaan, disadari tidak lagi mungkin
dijelaskan dengan teori-teori sosial modern. Para teoretisi postmodern seperti Jean-Francois
Lyotard, Fredrich Jameson, Jean Baudrillard, dan Stephen Crook yaitu jawaban yang dinilai
lebih menjanjikan untuk menjelaskan perkembangan baru di era postmodernitas dan post-
industrial. Meski banyak berutang budi pada konsep dan pemikiran Daniel Bell, tetapi dalam
perdebatan dan perkembangan teori postmodern, Bell sering kali diabaikan dan tidak disebut-
sebut sebagai teoretisi postmodern. Padahal, seperti diakui Turner, pandangan Bell tentang
sentralitas pengetahuan dan informasi bagi pasca-industrialisme sebetulnya merupakan unsur
penting bagi landasan filsafat dan teori sosial postmodern (Turner, 2000: 5).

D. LYOTARD: FILSUF DAN PELOPOR TEORITISI POSTMODERN

Jean-Francois Lyotard adalah seorang filsuf asal Perancis yang disebut-sebut sebagai
pelopor pemikiran filsafati postmodern. Lyotard dilahirkan tahun 1924 di Versailles, suatu
kota kecil di sebelah selatan Paris. Lyotard belajar filsafat dan sastra di Universitas Sorbonne.
Lyotard merupakan salah satu tokoh terpenting dalam perkembangan filsafat postmodern
yang pemikirannya banyak dipengaruhi Edmund Husserl, Frued, Friedrich Nietzsche,
Wittgenstein, Hegel, dan Karl Marx-meski dengan kadar yang berbeda-beda, dan bahkan
pada satu titik tertentu Lyotard meninggalkan cara berpikir para pendahulunya itu, terutama
Marx. la disebut Lechte (2001) sebagai filsuf postmodernitas non-Marxist, yang melepaskan
diri dari Marxisme dan kemudian lebih tertarik mengembangkan pemikiran ekonomi energi
libido dari Sigmund Freud, terutama di tahap awal perkembangan pemikirannya. Dalam salah
satu bukunya Economie Libidinale (1974), Lyotard menyatakan bahwa yang menjadi
landasan politik di era masyarakat postmodern bukanlah ekonomi-politik, melainkan
ekonomi libidinal (Lechte, 2001: 372).
Secara garis besar perkembangan pemikiran Lyotard dapat dibagi ke dalam empat
tahapan (lihat Best & Kellner, 1991: 146-180). Tahap pertama, ketika Lyotard mash terlibat
intens dalam gerakan politik kiri di Perancis, dan muncul sebagai filsuf yang berpikiran
Marxis. Tahap kedua, ketika Lyotard mulai meninggalkan Marx dan Frued, dan lebih banyak
mengembangkan pemikiran Nietzsche yang mementingkan keinginan dan nafsu. Seperti
Nietzsche, pada tahap ini Lyotard mengritik filsafat Kristen yang terlalu menekankan kasih,
yang justru melahirkan perbudakan dan kelembekan yang mengakibatkan hilangnya potensi
kemanusiaan. Dalam pandangan Lyotard, keinginan manusia (human desire) merupakan
salah satu kata kunci untuk memahami manusia. Tahap ketiga, masa ketika Lyotard banyak
memperoleh pengaruh dari Wittgenstein, terutama teori tentang permainan bahasa. Pada
tahap ini terjadi pergeseran pemikiran Lyotard, karena a justru mengritik Marxisme, dan
menyatakan bahwa Marxisme merupakan produk historis yang notabene yaitu produk
pemikiran Pencerahan. Tahap keempat, masa ketika Lyotard mulai meninggalkan Nietzsche.
Lyotard di tahap in tidak lagi berbicara tentang tubuh, keinginan, dan intensitas bahasa, tetapi
ia mulai menggeser fokus perhatiannya ke pokok bahasa dan filsafat. Dalam bukunya
Differend (1988), Lyotard mengembangkan filsafat frasa yang menekankan arti penting
metafisika subjek. Pemain atau subjek, menurut Lyotard disituasikan ole frasa. Dalam tahap
ini, Lyotard banyak dipengaruhi pemikiran Wittgenstein dan menekankan art penting
perbedaan (difference), memberi kesempatan kepada diskursus minoritas, dan menonjolkan
pluralitas penalaran- bukan kesatuan penalaran.
Lyotard, dalam filsafat postmodern yang digagas menyerang mitos yang melegitimasi
zaman modern (narasi besar), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan
bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan
pengetahuan yang secara universal valid untuk seluruh umat manusia (Sarup, 2008: 205).
Pertanyaan kunci yang hendak dijawab Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition
yaitu: Apakah pengandaian yang mendasari politik pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam
masyarakat informatika atau masyarakat postmodernitas dewasa ini mash dapat dianggap
adekuat?
Dalam filsafat postmodern, sebagaimana ditulis Lyotard dalam buku hasil pesanan
dewan universitas dari pemerintah Kanada itu, ia meyakini bahwa tidak ada yang namanya
penalaran yang mentotalisasi, karena yang ada sesungguhnya yaitu berbagai ragam penalaran
yang sifatnya tidak universal. Postmodernisme, dalam ranah pengetahuan (knowledge),
dimengerti ole Lyotard sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi (metanarrative) atau
narasi besar (grand narrative). Pengetahuan yang dilahirkan oleh filsafat postmodern ditandai
dengan runtuhnya kebenaran yang dilahirkan oleh sains, gugurnya rasionalitas dan
objektivitas yang diperoleh manusia melalui metodologi yang tertata dan metodis. Menurut
Lyotard, sebagai filsuf yang di Amerika sempat menjadi profesor bahasa dan sastra Perancis
serta filsafat ini, mengatakan bahwa beberapa ciri utama kebudayaan yang menandai
postmodern yaitu lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnva narasi-narasi besar
modernisme, munculnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi. Bagi Lyotard (1984),
dengan demikian postmodern yaitu pembebasan dari kekangan kemurnian rasionalitas dari
wacana induk modernitas yang bersifat totaliter. Pengetahuan merupakan narasi teror Barat,
sejauh yang dituju yaitu membungkam cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai satu-
satunya penjelasan yang benar dan absah. Pengetahuan yang dominan dan menawarkan diri
sebagai janji kebenaran yang sifatnya mutlak, dalam pandangan Lyotard malah justru harus
digugat, karena memiliki kecenderungan menenggelamkan atau menyembunyikan kebenaran
yang sifatnya beraneka ragam atau plural.
Dalam pandangan filsafat postmodern, pengertian masyarakat sebagai sebentuk
kesatuan (unicity)--seperti dalam identitas nasional-dianggap sudah mulai kehilangan
kredibilitasnya. Masyarakat sebagai satu kesatuan--baik yang ditafsirkan sebagai satu
keseluruhan organik (Durkheim), atau sebagai satu sistem fungsional (Parsons), atau yang
secara mendasar merupakan satu kesatuan yang tersusun dari dua kekuatan yang saling
bertentangan (Marx) tidak lagi bisa dipercaya dan hanya merupakan metanarasi yang tidak
lagi meyakinkan. Secara lebih perinci, ciri dari pemikiran filsafat postmodern Lyotard antara
lain punahnya metanaratif, pembubaran bahasa naratif, mengedepankan valensi pragmatisme,
mengesampingkan antropologi Newtonlan (strukturalisme atau teori sistem), dan mengganti
serta mendasarkan pada pragmatisme partikel bahasa sekaligus mempromosikan
heterogenitas unsur, institusi yang berada dalam kolase atau dalam determinisme lokal (lihat
Lyotard, 1984; Best dan Kellner, 1991, Bertens, 1995: 3-33).
Selama ini (dalam abad modern) ilmu pengetahuan ilmiah atau sains, sebagai salah
satu wacana (discourse), memang telah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jenis
pengetahuan yang valid. Namun sains tak dapat melegitimasi klaim tersebut, oleh karena
ternyata aturan main sains bersifat inheren serta ditentukan oleh konsensus para ahli
(lmuwan) dalam lingkungan sains itu sendiri. Sains kemudian melegitimasi dirinya dengan
merujuk pada suatu metawacana (meta-discourse); secara konkret sains melegitimasi dirinya
dengan bantuan beberapa narasi besar seperti dialektika roh, hermeneutika makna,
emansipasi subjek yang rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat manusia (Lyotard,
1984:xxiii). Dalam pandangan Lyotard, postmodern menolak dasar pencerahan dan
konsekuensi yang melegitimasi dasar modernisme. Postmodern yaitu ketidakpercayaan
terhadap metanaratif, suatu ketidakpercayaan terhadap produk kemajuan (progresivisme)
dalam ilmu pengetahuan. Lyotard menggunakan istilah modern untuk menunjukkan sains apa
pun yang melegitimasi dirinya sendiri dengan referensi pada suatu metawacana yang
membuat suatu keputusan eksplisit pada beberapa narasi agung.
Menurut Lyotard, metanaratif beroperasi melalui inklusi dan eksklusi, sebagai
kekuatan yang menghomogenisasi wacana dan suara liyan (the other) atas nama prinsip dan
tujuan universal. Bagi Lyotard, postmodernisme merupakan sinyal kolapsnya seluruh
metanaratif universalis dengan privilese mereka untuk menyampaikan 'kebenaran'. Di sisi
lain, postmodernisme juga merupakan kesaksian atas meningkatnya suara pluralitas dari
pinggiran dan penegasan tentang perbedaan, keragaman kultural, serta klaim heterogenitas
atas homogenitas. Berbeda dengan modernisme yang secara epistemologis mengedepankan
pada objektivitas pengalaman dan bukti-bukti yang teramati serta terukur, flsafat postmodern
lebih mengedepankan subjektivitas dan cenderung antirealisme (Haryanto, 2012: 319).
Dalam konteks ini, pemikiran filsafat yang dikembangkan Lyotard sedikit banyak sama
dengan Jacques Derrida yang pada 1968 pernah mengusulkan istilah difference dan
menyatakan bahwa perbedaan merupakan prototipe dari hal-hal yang tetap berada di luar
lingkup pemikiran metafisis Barat (Lechte, 2001: 171). Melalui gagasannya yang terkenal,
dekonstruksi, Derrida juga menggugat narasi besar sebagaimana dilakukan Lyotard, karena
dengan melakukan dekonstruksi akan dapat dilakukan refleksi terhadap wacana maupun teks-
teks yang dianggap sebagai narasi besar (grand narration). Seperti Lyotard, Derrida juga
mengkritik filsafat Barat yang dinilainya terlalu logosentris, atau lebih mengutamakan bahasa
lisan atas tulisan.
Fokus utama Lyotard yaitu fungsi naratif dalam wacana dan pengetahuan ilmiah. la
tidak tertarik membicarakan pengetahuan ilmiah dan prosedurnya untuk memperoleh klaim
legitimatifnya. Di era modern, yang namanya pengetahuan menjadi operasional hanya jika
ilmu pengetahuan diterjemahkan ke dalam kuantitas informasi sesuai konteks perkembangan
masyarakat post-industrial yang bertumpu pada sibernetika (Lyotard, 2009: 42-43). Dalam
pandangan Lyotard, pengetahuan ilmiah memainkan peran sentral dalam emansipasi gradual
kemanusiaan. Dengan cara Íni, ilmu pengetahuan mengasumsikan status metanaratif,
mengorganisasi dan memvalidasi narasi-narasi lain tentang cara terbaik mencapai
pembebasan manusia. Akan tetapi sejak Perang Dunia II, klaim Lyotard, kekuatan legitimatif
status ilmu pengetahuan sebagai metanaratif perlu diragukan. Ilmu pengetahuan tidak lagi
merintis kemajuan hakikat kemanusiaan menuju pengetahuan absolut dan kebebasan mutlak,
bahkan kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi bagian dari proyek modernitas justru
menghancurkan manusia itu sendiri. Meminjam istilah Foucault, Lyotard di sini jelas
menggugat ilmu pengeta- huan yang telah mengalami penundukan oleh dan untuk manusia,
serta terhadap manusia itu sendiri dalam bingkai kekuasaan. Foucault, dalam gagasannya
tentang genealogi kekuasaan, menyatakan tidak ada yang namanya ilmu pengetahuan yang
netral, karena ilmu pengetahuan sesungguhnya selalu bias pada kepentingan kekuasaan.
Sebagai seorangpemikir postmodern, Foucault digambarkan.memiliki sikap anti-kemapanan,
antí-kemutlakan, anti-keseragaman, dan anti-finalis-suatu sikap yang sesungguhnya sama
seperti diperlihatkan Lyotard (lihat Rabi- now, 2005).
Masyarakat komputerisasi-yakni masyarakat di era post-industrial - merupakan
sebutan yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala perkembangan masyarakat Barat di
era revolusi informasi yang dikuasai teknologi informasi dan sibernetika menuju ke tahap the
information technology era. Masyarakat Quebec, Kanada yang diteliti Lyotard yaitu
masyarakat yang telah berkembang jauh melewati tahap modernisme, dan merupakan refleksi
dari realitas sosial-budaya masyarakat postmodern yang ditopang oleh sarana teknologi
informasi, terutama komputer dan internet, termasuk berbagai gadget yang dari hari ke hari
terus berkembang pesat. Masyarakat postmodernitas bukanlah sekadar masyarakat yang
rasional dan selalu mengandalkan rasio untuk memahami kebenaran, melainkan ia
merupakan gambaran dari perkembangan masyarakat yang telah mencapai tahap lebih lanjut
yang sekarang ini sering disebut sebagai era digital.
Dengan hadirnya teknologi informasi yang makin canggih,menurut Lyotard (2009)
prinsip-prinsip produksi, konsumsi, dan transformasi yang berkembang di masyarakat post-
industrial telah mengalami revolu- si yang sangat radikal. Penggunaan tenaga manusia yang
makin terbatas pada sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi yang makin
meniadakan hambatan ruang dan waktu, percepatan peng- olahan data dan informasi yang
mampu mengubah bahkan memanipulasi realitas sosial yang nyata dan tidak nyata menjadi
makin baur, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara pervasive merupakan beberapa
konsekuensi dari perkembangan teknologi nformasi yang tidak terhindarkan di era
masyarakat postmodernitas, yang pada akhirnya melahirkan berbagai perubahan baru yang
luar biasa.
Dengan melihat realitas dan sifat transformatif masyarakat komputerisasi yang lebih
terbuka, majemuk, plural, dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan bahwa kebenaran
yang dibawa oleh narasi-narasi besar (grand narratives) modernisme sebagai metanarasi kini
telah kehilangan legitimasinya. Hal ini terjadi, menurut Lyotard, karena dalam masyarakat
postmodernisme, sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan tidak lagi didominasi oleh
logika sains yang tunggal, homolog dengan mengacu pada nalar positivisme, tetapi kebenaran
penge- tahuan kini telah menyebar dan plural--suatu paralogy yang beragam.
Bagi Lyotard, postmodern yaitu upaya intensifikasi dinamis -suatu upaya yang tak
henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-
menerus. Postmodernisme yaitu wadah pertemuan berbagai perspektif teoretis dan pandangan
yang berbeda- beda. Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata menjadi alat
penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan
yang berbeda, dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tidak
mau .dibandingkan (Maksum, 2008:321).Sebagai filsufyang banyak menulis refleksi filosofis
estetik dan politik tentang diskursus, Lyotard disebut Bill Readings (lihat Sumakul, 2012: 39)
sebagai filsuf yang mampu bergerak melampaui batasan-batasan metafisika--terorisme
kebenaran-tanpa harus dirinya sendiri jatuh ke dalam kepuasan suatu metabahasa, tanpa
mengklaim suatu teori modular yang mencari jaminan diri sendiri dengan membuat tertarik
pada realitas supradiskursus.
Menurut para filsuf postmodern seperti Lyotard, Foucault, Derrida, dan Baudrillard,
proyek modernitas masyarakat yang menempatkan kemajuan sebagai arah dan tujuan gerakan
dinilai hanyalah bentuk grand narrative yang tidak berbeda dengan mitos karena terlalu
menekankan universalitas dan kebenarannya yang tunggal. Jika di kalangan flsuf modern
sering kali dikedepankan terminologi seperti universalitas, emansipasi, dan kebebasan, maka
di kalangan filsuf postmodern terminologi yang populer umumnya yaitu pluralisme,
fragmentasi, heterogenitas, skeptisisme, dekonstruksi, ambiguitas, ketidakpastian, dan
perbedaan.
Universalitas dikritik filsuf postmodern seperti Lyotard sebagai suatu kemustahilan,
karena setiap pengetahuan telah memiliki language game-nya sendiri-sendiri. Pemikiran
filsuf modern yang menempatkan subjek sebagai sentral dikritik bahkan ditolak filsuf
postmodern, karena meletakkan emansipasi subjek yang rasional sebagai alat pencapaian
kebenaran, yang pada akhirnya berusaha menotalkan dirinya. sebagai metawacana (Santoso
et al., 2012: 336).
Semula Lyotard sebetulnya bergabung dan banyak berdiskusi dengan kelompok
Marxist yang menerbitkan majalah Socialism or Barbie. Tetapi Lyotard sering kali bersikap
kritis terhadap pandangan Karl Marx, Karena itu menolak semua interpretasi dogmatis,
seperti Stalinisme, Trotskyisme, atau Maoisme. Lyotard, dalam membangun filsafat
postmodern melontarkan kritik tajam kepada filsafat pencerahan (enlightenment) yang dinilai
terlalu terpaku pada grand narrative yang mengandalkan akal dan kebebasan naluriah,
teologi spirit (geist) pada idealisme, dan hermeneutika arti (dalam historisme). Cerita besar
cenderung menjadi metanarasi yang melegitimasikan dirinya. Setiap teori berusaha
menotalkan dirinya menjadi metawacana (meta-discourse). Padahal, di era postmodernisme,
legitimasi menjadi majemuk dan lokal (Mudhofir, 2001:329).
Postmodern, dengan demikian bisa dikatakan yaitu suatu aliran filsafat yang didasari
ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat
sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi. Di mata filsuf postmodern,
dominasi paradigma sains, terutama positivistik dari ilmu-ilmu (alam) telah memberangus
kemungkinan munculnya pijakan pemahaman masyarakat atas realitas. Sebagai suatu aliran
filsafat, postmodern melakukan dekonstruksi terhadap basis dasar pengetahuan modern.
Pengetahuan, menurut filsafat postmodern ditandai oleh runtuhnya kebenaran, rasionalitas,
dan objektivitas. Kebenaran pengetahuan tidak lagi bersifat homology (kesatuan) tetapi
paralogy (keragaman), sehingga dalam filsafat postmodern yang muncul yaitu relativitas
kebenaran (Santoso et al., 2012: 321).
Dalam pandangan Lyotard, prinsip dasar yang berlaku dalam filsafat postmodern
bukanlah universalitas akal atau kebutuhan akan kesepakatan, melainkan justru kebutuhan
untuk menggerogoti kesepakatan yang telah mapan dalam rangka tiap kali memberikan
kembali peluang bagi karakter-karakter lokal tiap wacana, argumentasi, dan legitimasi untuk
dihargai (Sugiharto, 1996:59). Apa yang dipentingkan dalam filsafat postmodern, dengan
demikian bukanlah metawacana atau narasi besar yang cenderung menekankan universalitas
dan totalitas, melainkan keragaman narasi kecil dan meta -argumen yang saling mencari
peluang untuk tampil dalam kehidupan masyarakat post-industrial. Ringkas kata, filsafat
postmodern mengkritik pengetahuan universal, tradisi metafisik, fondasionalisme, dan
modernisme pada umumnya.
Di era postmodern modus penetapan dan legitimasi ilmu pengetahuan atas dasar sains
yang mentotalisasi sebagaimana dikembangkan filsafat modern sudah tidak dapat
dipertahankan lagi. Bagi Lyotard, sains terbukti hanyalah salah satu permainan bahasa
(language game) di antara banyak permainan, hanyalah satu jenis pengetahuan di antara
aneka jenis pengetahuan lainnya. Oleh karena itu modus legitimasi pengetahuan dengan
narasi besar di bawah satu ide untuk menciptakan satu kebenaran tunggal (totalisasi sistem
pemikiran atau homology) harus diganti dengan paralogy, yaitu pengakuan akan aneka
macam narasi kecil (little narrative) dan sistem pemikiran plural (Lyotard, 1989: xxv).
Akibat perkembangan teknologi informasi, prinsip kesatuan ontologis yang selama ini
mendasari ide dasar filsafat modern--menurut Lyotard--sudah tidak lagi relevan dengan
realitas kontemporer. Prinsip homology yang mengemuka di era masyarakat modern, menurut
filsuf postmodern harus dideligitimasi oleh paralogy atau ide pluralitas. Tujuannya agar
kekuasaan oleh ilmu pengetahuan tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang totaliter dan pro
status quo. Para filsuf postmodern umumnya alergi terhadap sistem yang totaliter dan
mendominasi, karena tidak membuka ruang bagi munculnya argumentasi dan kebenaran yang
sifatnya berbeda-beda.
Paralogy lebih memungkinkan untuk menganalisis kondisi masyarakat postmodern
yang telah kehilangan narasi besarnya seperti rasionalisme, empirisme, materialisme,
idealisme, kapitalisme, dan sosialisme. Realitas tidak bisa disatukan di dalam suatu kerangka
besar, karena setiap unsur yang ada bekerja dengan logikanya sendiri, dan setiap unsur
bermain satu sama lain dengan bahasa masing-masing. Inilah permainan bahasa atau
language game yang ujung-ujungnya menyebabkan pluralisme menjadi logika postmodern.

Di era masyarakat post-industrial, Lyotard mengakui adanya dominasi yang luar biasa
dari technoscience--ilmu pengetahuan dan teknologi--dalam kebudayaan masyarakat. Namun
demikian, dominasi teknologi yang luar biasa itu, menurut Lyotard sering kali justru malah
memperburuk keadaan, menciptakan krisis - bukan malah menguranginya. Iptek, terutama
dalam bentuk informatika dan sibernetika tidak berkembang sesuai dengan kebutuhan
manusia, tetapi hanya sesuai dengan performativitas. Di mata Lyotard, kemajuan teknologi
justru meng-akibatkan perang total, totalitarisme dalam pelbagai bentuk, kesenjangan yang
semakin melebar, pengangguran dan krisis pendidikan tinggi (Bertens, 2006: 388).
Menurut Lyotard pada era informasi di mana kerumitan dianggap semakin meningkat,
maka semakin jauhlah kemungkinan adanya penjelasan tunggal atau ganda tentang
pengetahuan atau ilmu. Adanya penafikan, baik itu bentuk unifikasi naratif sebagai yang
bersifat spekulatif maupun yang berbentuk emansipatoris, legitimasi terhadap pengetahuan
tidak bisa bersandar pada satu narasi besar, sehingga ilmu itu sekarang paling baik dipahami
dalam pengertian "permainan bahasa". Seperti yang dikemukakan oleh Lyotard: "Ilmu
pengetahuan tidak memiliki metabahasa mum di mana semua keberagaman bahasa lain dapat
diterjemahkan dan dievaluasi. Tidak terdapat alasan untuk memikirkan adanya suatu
kemungkinan menentukan metapreskripsi yang berlaku bagi semua permainan bahasa itu atau
bahwa suatu konsensus yang dapat direvisi seperti metapreskripsi yang berlaku pada waktu
itu dalam masyarakat ilmiah yang dapat mencakup keseluruhan metapreskripsi yang
mengatur pernyataan-pernyataan yang beredar dalam kolektivitas sosial" (Lyotard, 1989: 64-
5).
Sebagai seorang profesor dan filsuf postmodern, Lyotard menaruh perhatian khusus
pada bidang seni dan bahasa, terutama tentang retorika, yaitu pengungkapan ide-ide dan
perasaan yang melampaui pemikiran rasional. Eksperimen seni dengan kemungkinan
representasi kadang kala menciptakan mode representasi baru (modernisme), dan kadang-
kadang mewakili yang tak terwakili, mengungkapkan yang tidak dapat dikatakan. Bahasa,
dalam pandangan Lyotard tidak hanya mewakili dunia objek, tetapi dalam bahasa kita
melakukan banyak tindakan, yang disebut Wittgenstein sebagai "permainan bahasa". Lyotard
telah memberi penekanan pada dimensi antagonis dari permainan ini, dan mengakui sifat
yang tidak dapat dirukunkan dari apa yang ia sebut sebagai frase-frase dalam bahasa
(Steuerman, dalam Kuper & Kuper, 2000: 590).
Filsafat postmodern, singkat kata bisa dikatakan sebagai semacam gerakan gerakan
renaissans atas renaissans atau pencerahan atas pencerahan yang mendominasi era
masyarakat modern. Dua hal yang dikritik secara tajam oleh filsafat postmodern vaitu
fondalisme dan representasionalisme yang merupakan inti pemikiran filsafat modernitas.

Seperti diketahui, modernisme di bidang filsafat yaitu gerakan pemikiran dan


gambaran dunia tertentu yang awalnya terinspirasi oleh filsafat Descartes, dikukuhkan oleh
gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga abad ke-
20 melalui dominasi sains dan kapitalisme (Sugiharto, 1996: 29). Dalam pandangan filsuf
modern, filsafat berpusat pada epistemologi, yang bersandar pada gagasan tentang
subjektivitas dan objektivitas murni, yang satu sama lain terpisah tak saling berkaitan. Tugas
pokok filsafat, menurut kaum modernis yaitu mencari fondasi segala pengetahuan, dan tugas
pokok subjek yaitu merepresentasikan kenyataan objektif.
Para filsuf postmodern, seperti Lyotard, menolak cara berpikir filsuf modern karena
dinilai merupakan bentuk dari imperialisme kultural-epistemologis, di mana rasionalitas-
positivisme diklaim sebagai satu-satunya cara untuk melahirkan kebenaran dalam ilmu
pengetahuan. Proyek modernitas yang mengedepankan kemajuan, emansipasi-membebaskan
manusia dari kemiskinan dan kebodohan--, diarahkan oleh narasi-narasi besar, serta mengejar
ide yang harus diwujudkan, sering kali menjadi objek kritikan para filsuf postmodern karena
ujung-ujungnya justru dinilai hanya melahirkan pengekangan, kekakuan, bahkan hal-hal yang
destruktif bagi masyarakat, seperti perang, pembantaian, dan lain sebagainya.
Apa yang terjadi di era masyarakat modern yang dikendalikan oleh rasionalitas,
menurut Lyotard justru menghancurkan rasionalitas itu sendiri. Lyotard yang mengkritik
filsafat Hegel--yang menyatakan segala sesuatu yang riil yaitu rasional, dan segala yang
rasional yaitu ril--, membuktikan bahwa di era masyarakat modern banyak kejadian justru
tidak dapat dimengerti dan karena itu melawan proyek totalisasi gaya Hegel. Era masyarakat
post-industrial justru ditandai oleh terjadinya fragmentasi dan hilangnya kesatuan--di mana
kisah besar telah tergantikan oleh kisah kecil atau mikrologi yang tidak mungkin
digabungkan dalam satu kesatuan yang menyeluruh.
Lyotard menyatakan bahwa filsafat senantiasa berurusan dengan sengketa. Berbeda
dengan litige (perkara), yang disebut differend (sengketa), menurut Lyotard yaitu konflik di
mana tidak ada aturan yang memungkinkan untuk menilai argumentasi dari kedua pihak yang
terkait. Kedua-duanya memiliki diskursus sendiri-sendiri. Satu diskurus tidak bisa
ditundukkan oleh diskursus yang lain, dan tidak ada metadiskursus yang mengatasi keduanya
untuk kesatuan yang memuaskan kedua belah pihak. Di era masyarakat postmodernitas,
subjek dan rasio pecah, dan menurut Lyotard filsafat tidak bertugas meniadakan keadaan
yang terpecah-pecah itu, tetapi justru mengakuinya dan membiarkan semua diskursus itu
sebagai tak terhindarkan (Bertens, 2006: 394).

E. TEORI SOSIAL POSTMODERN

Para Para teoretisi postmodern, mereka semua umumnya sepakat berseberangan


dengan teoretisi modern, dan melontarkan kritik terhadap kegagalan proyek modernitas yang
dinilai hanya melahirkan kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Berbagai kemajuan di
bidang ekonomi yang berhasil dicapai negara-negara maju yang menerapkan kebijakan
modernisasi, ternyata tidak diikuti dengan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat;
kemiskinan tetap tak kunjung tertangani, dan pengangguran justru makin bertambah ketika
sektor perekonomian melakukan penghematan dan restrukturisasi industri (lihat Ritzer, 2010:
61).
Meski semua teoretisi postmodern pemikirannya bertitik tolak dari keprihatinan
terhadap kegagalan proyek modernisasi. Namun demikian, di kalangan teoretisi postmodern
sendiri sesungguhnya tidak semua memiliki pola pemikiran yang sama dalam memahami
perkembangan masyarakat postmodernisme. Secara garis besar, di kalangan teoretisi
postmodern dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok. Pertama, posisi postmodernis yang
ekstrem yaitu mereka yang meyakini telah teriadi suatu pemisahan yang radikal di mana
masyarakat modern telah digantikan kehadirannya oleh masyarakat postmodern. Teoretisi
post-modern kategori ini antara lain Jean Baudrillard, Gilles Deleuze, dan Felix Guattari.
Kedua, teoretisi postmodern yang melihat adanya kesinambungan dari era modernitas ke era
postmodernitas. Tokoh seperti Fredric Jameson dan Stephen Crook adalah teoretisi
postmodern yang meyakini bahwa era postmodernitas bukanlah suatu proses yang
diskontinuitas dari modernisme. Postmodernisme dalam pandangan Jameson yaitu kelanjutan
atau kesinambungan dari era modernitas. Ketiga, kelompok teoretisi postmodern yang
memandang modernisme dan postmodernisme sebagai suatu zaman, yang memiliki rangkaian
hubungan yang berlangsung sangat panjang dan masih berlangsung, dengan postmodern
terus-menerus menunjukkan batasan-batasan modernisme (Ritzer, 2012: 1071).
Sebagai tokoh postmodern yang moderat, Fredric Jameson berpendapat meski
postmodernisme memiliki sejumlah perbedaan dengan modernitas, namun demikian dua era
ini bukanlah era yang masing-masing saling terpisah. Postmodenisme, dalam pandangan
Jameson yaitu kelanjutan dari tahap akhir kapitalisme. Di era postmodern meski logika
budaya telah mengalami perubahan, tetapi struktur ekonomi yang mendasari masyarakat
kapitalisme akhir tetap merupakan kelanjutan dari bentuk awal kapitalisme, sehingga yang
terjadi bukanlah keterpisahan melainkan kesinambungan; bukan proses sejarah
perkembangan ma-syarakat yang terputus.
Jameson menyatakan kerangka kerja Marx mash diperlukan untuk memahami
kandungan historis baru era postmodern, di mana yang diperlukan bukan modifikasi atas
kerangka kerja Marx melainkan suatu perluasan atasnya (lihat Stephanson, 1989). Seperti
Marx, Jameson memandang kapitalisme akhir sebagai hasil dari kebebasan dan kemajuan
yang sangat berharga, namun pada saat yang bersamaan kapitalisme juga dinilai merupakan
puncak eksploitasi dan alienasi yang menyebabkan munculnya berbagai penderitaan di
masyarakat yang tersubordinasi oleh cara kerja kapitalisme.
Menurut Jameson, ada tiga tahapan dalam sejarah perkembangan kapitalisme yang
perlu dicermati. Pertama, tahap kapitalisme pasar atau munculnya pasar nasional yang
tersatukan sebagaimana telah dianalisis Marx. Kedua, tahap kapitalisme imperialis yang
ditandai dengan kemunculan suatu jaringan kapitalisme global. Ketiga, tahap akhir
kapitalisme yang ditandai dengan adanya ekspansi kapital yang luar biasa besarnya ke
wilayah-wilayah yang hingga kini tidak terkomodifikasi, dan di era ini lahirlah yang
disebut Jameson kapitalisme multinasional. Di era akhir kapitalisme yang terjadi budaya
tidak lagi otonom, tetapi telah beranjak ke suatu ledakan kebudayaan yang ditandai oleh
ekspansi budaya yang luar biasa ke seluruh ranah sosial-suatu cultural dominant (Jameson,
1984: 59-92). Dalam pandangan Jameson, kunci kapitalisme modern adalah karakter
multinasionalnya dan meningkatnya cakupan proses komodifikasi hingga ke ranah yang
sebelumnya belum terjamah di era masyarakat modern.
Secara garis besar, unsur-unsur yang mendasari karakter kapitalisme akhir (late
capitalism), sebagaimana dikatakan Jameson antara lain: Pertama, masyarakat postmodern
yaitu suatu simulacrum, yaitu dicirikan oleh superfisialitas dan tidak adanya kedalaman.
Kedua, melemahnya emosi atau afeksi. Di era postmodern, alienasi telah terfragmentasi,
dan afeksi yang tersisa bersifat mengambang bebas dan impersonal. Ketiga, hilangnya
historisitas dan muncullah pastiche atau racikan dari berbagai macam gagasan, yang
kadang-kadang membingungkan dan saling bertentangan tentang masa lalu. Keempat,
dominasi teknologi reproduksi yang menggantikan teknologi produksi. Kehadiran media
elektronik, seperti televisi dan komputer cenderung implosif dan datar telah melahirkan
produk budaya yang berbeda dengan teknologi di era modern yang eksplosif dan
mengembang. Kelima, munculnya budaya dominan di mana bermacam-macam dorongan
kultural tetap hidup dan masingmasing harus menentukan jalan mereka sendiri (Jameson,
1984: 66-67).
Teoretisi postmodern yang memiliki ppmikiran yang kurang lebih sama dengan
Jameson mengenai relasi antara modernitas dan postmodernitas yaitu Stephen Crook. Dalam
pandangan Crook, postmodernisme yaitu bentuk dan dampak dari akselerasi perubahan dari
proses inti modernisasi. Jadi, sama seperti Jameson, Crook memandang era postmodern
adalah proses kesinambungan dari modernisasi, di mana yang terjadi semata-mata yaitu
peningkatan akselerasi perubahan dan bukan terobosan sosio-historis yang radikal. Bila di
masyarakat modern yang terjadi yaitu proses komodifikasi, diferensiasi, dan mengemukanya
rasionalisasi, maka di era masyarakat postmodernisme, yang muncul yaitu
hiperkomodifikasi, hiperdiferensiasi, dan hiperrasionalisasi.
Dalam mengembangkan pemikirannya, Crook banyak menyapa dan menggunakan
terminologi dari Daniel Bell tentang perkembangan

Tabel 11. Tokoh dan Teori Postmodernisme.


Keterangan Jean.Francois Jean Baudrillard Fredric Jameson Stephen Crook
Lyotard
Fokus Pengetahuan dalam Budaya pop, media Budaya Akselerasi
masyarakat massa, dan postmodem dengan perubahan dari
kontemporer konsumsi simbolik kapitalisme proses inti
multinasional modernisasi
Kata Kunci Metanarasi, Simulasi, Logika budaya, Budaya konsumen
delegitimasi, hiperrealitas, cultural dominant, pop. revolusi
disensus, paralogy pertukaran kapitalisme akhir, informasi media,
simbolis, dan dan hyperspace penyebaran ide,
godaan dan hubungan
pasar
Pandangan tentang Pengetahuan Masyarakat Postmodern adalah Postmodem adalah
Masyarakat mengalami postmodernitas kontinuitas dari proses
Postnodernitas komodifikasi di makin termediasi modernitas di mana kesinambungan
bawah pengaruh dan tersimulasi. sirkulasi kapital dari modernisasiv
kuat teknologi lebih cepat dan semata peningkatan
informasi dan lebih mengglobal, akselerasi
komunikasi komodifikasi perubahan dan
kebudayaan, bukan terobosan
runtuhnya gaya dan sosio-historis yang
selera radikal
tinggi/rendah.
Dampak dan Muncul sikap Realitas dan Muncul pembagian Posmodemisme
Perubahan yang masyarakat yang representasi kerja global, melahirkan
Terjadi di Era tidak percaya dan menjadi baur, dan konsumsi yang ketidakpasüan yang
Postmodem skeptis terhadap muncul citra serta sangat intens, luas dan masalah
pengetahuan ilmiah hiperrealitas. media massa makin tentang keteraturan
atau metanaratif. marak, dan makin sosial.
Metanaratif meningkatnya
hanyalah semacam peran teknologi
permainan bahasa. informasi.
Konsumsi Produksi dan Konsumsi simbolik Integrasi produksi Muncul
kontrol terhadap lahir dari sifat estetika ke dalam hiperkomodifikasi
pengetahuan referensialitas diri produksi komoditas hiperdiferensiasi,
menjadi bagian pada tanda umum, sehingga dan
dari fenomena lahir konsumsi hiperrasionalisasi
ekonomi. yang makin
intensif akan
barang yang selalu
lebih dan baru.
Sumber : Bryan Turner, Teori Sosial, dari Klasik Sampai Postmodern (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2012); Jhon Scott, Teori Sosial, Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2012); dan George Ritzer, Teori Sosiologi, dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).

masyarakat post-industrial yang ditandai oleh membanjirnya informasi media dan pemikiran
Mazhab Frankfurt tentang kebudayaan kapitalisme akhir. Perkembangan budaya konsumen
pop yang makin memasyarakat di era postmodernisme, dan terjadinya revolusi informasi
media, penyebaran ide dan perkembangan hubungan pasar yang makin mengglobal yaitu
hal-hal yang menjadi fokus kajian Crook untuk menjelaskan karakteristik masyarakat
postmodernisme yang nihilistik. Menurut Crook, ketergantungan postmodernisme pada
monisme reduksionis atau monisme formalis telah mengubahnya menjadi nihilistik (Ritzer
& Smart, 2012: 626
Menurut Crook, kehadiran era posmodernisme cenderung melahirkan ketidakpastian
yang luas dan masalah tentang keteraturan sosial. Muncul hiperkomodifikasi,
hiperdiferensiasi, dan hiperrasionalisasi, menyebabkan masyarakat mau tidak mau
dihadapkan pada itensitas dan kemampatan dunia kehidupan yang berbeda dengan era
masyarakat modern. Alih-alih menawarkan kepastian dan kenyamanan, kehadiran dan
perkembangan era postmodernitas menurut Crook justru melahirkan ketidakpastian di
kalangan masyarakat. Pemikiran Crook ini, dalam beberapa hal sama dengan pemikiran
Ulrich Beck tentang risiko yang dihadapi masyarakat tatkala mereka harus mengalami
proses individualisasi di tengah kehidupan yang makin mengglobal-yang sesungguhnya
makin tidak pasti.
Berbeda dengan Jameson dan Stephen Crook yang melihat postmodern sebagai
kesinambungan dari perkembangan modernisme, Jean Baudrillard adalah teoretisi
postmodern yang memiliki pandangan yang tegas tentang keterpisahan antara modernitas
dan postmodernitas. Berbeda pula dengan para filsuf postmodernitas lain yang memusatkan
perhatian pada metafisika dan epistemologi, Baudrillard lebih memilih mengkaji
kebudayaan dan menyatakan bahwa kebudayaan Barat dewasa ini yaitu suatu representasi
dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan dari berbagai tanda dan kode
secara acak, tanpa referensi realisional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda riil (fakta)
yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (Citra) yang tercipta melalui proses
reproduksi (Hidayat, 2012: 55). Dalam pandangan Baudrillard, realitas di era
postmodernisme tidak lagi memiliki referensi, karena di sana yang hadir yaitu dunia
simulacra-suatu simulasi kehidupan yang sulit dibedakan mana yang asli dan mana yang
palsu, yang melahirkan masyarakat hiperrealitas.
Bagi Baudrillard, pergeseran dari modernitas ke postmodernitas terletak pada apa yang
disebutnya sebagai perekonomian tanda (sign economy) di mana yang penting yaitu simbol
dan duplikasi atas duplikasi; suatu ruang realitas yang disarati oleh duplikasi dan daur ulang
berbagai fragmen kehidupan yang berbeda-suatu realitas yang hiperriil. Era modern ditandai
oleh produksi material, sedangkan era postmodern ditandai oleh simulasi.
Masyarakat kontemporer, menurut Baudrillard tidak lagi didominasi oleh produksi,
tetapi dalam banyak hal didominasi oleh media, model sibernetik dan sistem pengendalian,
komputer, pemrosesan informasi, dunia hiburan, dan industri pengetahuan yang ujung-
ujungnya melahirkan ledakan tanda. Masyarakat postmodern adalah masyarakat yang tidak
lagi didominasi oleh mode produksi, tetapi telah tergantikan oleh kode produksi, yakni
dominasi tanda dan sistem yang menghasilkan eksploitasi dan keuntungan sebagai efek
akhirnya. Dengan mengacu pemikiran semiologi Saussurean, Baudrillard menyadari bahwa
tanda senantiasa memiliki dua unsur, yaitu penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra
adalah segala sesuatu yang tampak oleh indra, namun sebetulnya tidak memiliki eksistensi
substansial. Sementara itu, kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara
sosial untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang lain
(Piliang, 1998: 13).
Dunia postmodern, dalam pandangan Baudrillard yaitu dunia yang dicirikan sedang
mengalami proses dediferensiasi dan simulasi, yakni penciptaan simulakra atau reproduksi
objek atau peristiwa yang melahirkan peleburan antara tanda dan kenyataan. Dunia di era
postmodern, menurut Baudrillard yaitu hiperrealitas. Ketidakacuhan, sikap apatis dan inersia
yakni istilah yang tepat untuk menggambarkan keadaan masyarakat di era postmodern yang
senantiasa dikelilingi oleh media, simulakra, dan hiperrealitas. Lebih dari sekadar
pertukaran sombolis, dalam masyarakat postmodern, menurut Baudrillard yang
memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat yaitu godaan. Godaan melibatkan daya tarik
berbagai hal yang tidak lebih dari permainan dan bermacam ritual yang superfisial; tidak
bermakna, remeh, dan tanpa kedalaman, namun justru itulah yang membelenggu konstruksi
cara berpikir masyarakat konsumen.
Dalam masyarakat postmodernitas, masyarakat mengonsumsi produk fisik maupun
berbagai simbol, makna dan gambaran kebudayaan yang mendefinisikan konsumsi tersebut
(Scott, 2012: 322). Sistem periklanan menjadikan produk sebagai objek keinginan, dan
masyarakat berhasrat mengonsumsi suatu produk lebih dikarenakan merek atau gengsi
daripada fungsi riil produk tersebut. Masyarakat lebih mementingkan apa yang disimbolkan
oleh suatu objek tentang diri dan kehidupan mereka. Jadi, berbeda dengan Marx yang
menyatakan nilai dari suatu komoditas bagi seorang konsumen terbangun dari kegunaan
material dan nilai moneternya, Baudrillard lebih melihat nilai guna produk pada pengakuan
dan reputasi yang diperoleh konsumen ketika mengonsumsinya. Sistem kebutuhan dan sistem
produk dipadukan menjadi suatu sistem penandaaan yang mendefinisikan produk dalam cara-
cara tertentu, yang menarik minat konsumen untuk senantiasa mengonsumsinya (lihat
Baudrillard, 2002:41-58).

F. TEORITIS “POSTMODERN” YANG MENOLAK LABEL POSTMODERN

Ada empat teoretisi sosial, yakni Zygmunt Bauman, Scott Lash, UIrich Beck, dan
Anthony Giddens yang semula dikelompokkan ke dalam teoretisi postmodern, tetapi
kemudian menakar kembali penetapan dan identifikasi diri mereka dengan cara menawarkan
konsep yang berbeda, seperti modernisasi yang mudah berubah (Bauman), vitalisme (Lash),
modern akhir, modernitas yang teradikalkan dan modernitas tinggi (Giddens), dan modernitas
reflektif (Beck).
Giddens adalah salah satu teoretisi yang dengan gigih membela eksistensi teori sosial
modern, tanpa harus meninggalkannya untuk kemudian menyerahkan pada teori postmodern
guna menjelaskan perkembangan realitas sosial yang makin mengglobal. Giddens melihat
modernitas sebagai suatu proses yang bergerak sangat cepat melewati ruang dan waktu,
semacam juggernaut modernitas yang bisa saia tiba-tiba bergerak tapa dapat dikontrol.
Menurut Giddens, tiga proses esensia] dalam modernitas antara lain pemisahan,
pembongkaran, dan refleksi-vitas (Giddens, 2005: 183-205).
Giddens, secara perinci mengemukakan beberapa faktor penyebab mengapa terjadi
ketidaknyamanan akibat juggernaut modernitas. Pertama, kesalahan rancangan di dalam
dunia modern. Kedua, kegagalan operator atau siapa yang melaksanakan dunia modern.
Ketiga, konsekuensi tidak disengaja atau yang tidak dapat diramalkan. Keempat, refleksivitas
pengetahuan sosial (Giddens, 2005:22-72). Giddens dan Beck melihat modernitas radikal
sebagai suatu struktur sosial modern yang komprehensif, namun di saat yang sama telah
membawa pada terjadinya fragmentasi kebudayaan dan suatu pertumbuhan individualisasi.
Menurut Beck, ketika masyarakat terlepas dari norma yang stabil dan ikatan sosial
yang kuat, maka yang terjadi kemudian mereka mengalami individualisasi yang
menyebabkan mereka harus menghadapi banyak risiko kehidupan tapa adanya panduan dari
otoritas yang mapan, dan dalam isolasi sosial mereka mengalami kecemasan dan
ketidakamanan yang terus bertambah. Beck menyebut masyarakat berisiko sebagai bentuk
tertinggi modernitas (lihat Beck, 1992: 127-138; Smith et al., 1999). Beck melihat
kemunculan dan penyebaran risiko atau bahaya di masyarakat terjadi karena hasil dari
struktur ekonomi dari modernitas yang radikal dan distribusi kemakmuran yang belum
merata. Proses perubahan yang terjadi di masyarakat modern, menurut Beck yaitu munculnya
individualisasi di satu sis, dan di sisi lain munculnya risiko dalam kehidupan yang makin
berat. Akibat individulisme, masyarakat menghadapi banyak risiko tapa adanya panduan dari
otoritas yang mapan, dan dalam isolasi sosial masyarakat biasanya akan menghadapi risiko
yang makin besar; ketidakamanan dan kecemasan yang bertambah.
Di era modernitas, masyarakat atau penduduk tidak lagi disosialisasikan ke dalam
sebuah komitmen atau penerimaan terhadap struktur sosial nasional yang stabil dan kuasi-
permanen, tetapi-sebagaimana dikatakan Bauman-terjadi individualisasi eksistensi manusia
ketika ikatan kemasyarakatan melemah dan individu dibebaskan untuk mengatasi atau
menghadapi konsekuensi dari era global yang terdisorganisasi (lihat Urry, 2000: 21-142;
Urry, 2003: 68-72).
Menurut Bauman, masyarakat modern kontemporer umumnya akan selalu dihadapkan
dengan pengharapan yang divergen dan saling bertentangan, di mana masing-masing orang
dibebaskan dari suatu kekuasaan yang bersifat memaksa. Mereka harus aktif membuat
kehidupannya sendiri, memilih dari dalam suatu "supermarket identitas”. Tidak lagi menjadi
suatu persoalan bagaimana mencapai identitas, tetapi yang menjadi soal yaitu identitas mana
yang akan dicapai. Di era masyarakat modern likuid, individualisasi telah
mentransformasikan identitas manusia dari identitas yang ditentukan menjadi identitas yang
dinginkan (lihat Bauman, 2000; Tester, 2004: 107- 182). Artinya, tidak lagi menjadi persoalan
bagaimana mencapai suatu identitas yang dinginkan, tetapi identitas mana yang hendak
dicapai. Bauman cenderung mendeskripsikan modernitas likuid sebagai suatu masyarakat
yang diindividualisasi dan diprivatisasi.
Masyarakat kontemporer umumnya menghadapi ketidaktentuan politik dan ekonomi
yang bear dan harus mengatasi rasa ambivalensi dan ketidakterjaminan eksistensi yang
semakin besar, serta rasa ketidakpastian. Bauman juga menyatakan bahwa kehidupan yang
cair yaitu kehidupan yang mengonsumsi. Bauman sama seperti Daniel Bell, menyatakan
bahwa di era masyarakat post-industrial, konsumerisme telah menggantikan etika kerja
sebagai landasan bagi identitas dan integrasi sosial (Scott, 2012: 348). Hanya saja bedanya,
kalau Bell melihat perkembangan konsumerisme sebagai konsekuensi dari pertumbuhan
kelas pengetahuan yang distimewakan, Bauman memahami hal itu sebagai cermin dari
masyarakat berisiko. Konsumerisme, menurut Bauman memungkinkan masyarakat untuk
melupakan dan meredakan kecemasan mereka tentang ketidaktentuan dalam hidup mereka.

Scott Lash sebagai salah seorang teoretisi sosial memandang post modernisme
sebagai suatu paradigma kultural atau yang ia sebut sebagai lingkup penandaan yang terdiri
dari dua komponen utama, yaitu ekonomi kultural serta cara penandaannya yang khas, yaitu
bahwa objek kulturalnya bergantung pada hubungan khas yang dimiliki oleh penanda, yang
ditandakan dan acuannya (Lash, 2004: 15).
Modernisme, dalam pandangan Lash adalah suatu proses diferensiasi kultural yang
berkaitan dengan dua hal. Pertama, proses di mana yang kultural memisahkan dari yang
sosial. Kedua, bentuk-bentuk kultural

Tabel 12. Teoretisi Modern Kontemporer yang Keluar dari Label Postmodernitas.

Aspek Anthony Giddens Ulrich Beck Zygmunt Bauman Scott Lash


Konsep Utama Jugemaut Masyarakat Modernitas solid Vitalisme, lingkup
modernitas berisiko, dan modernitas penandaan, ekonomi
modernitas reflektif likuid kultural, diferensiasi,
dediferensiasi
Karakteristik Pemisah ruang dan Masyarakat Masyarakat tidak Terjadi perubahan
modernitas waktu, mengalami lagi menghadapi kultural.
pencerabutan individualisasi, persoalan
(sistem tanda menghadapi bagaimana
simbolis dan sistem banyak risiko mencapai
ahli), dan kehidupan, tanpa identitas, tetapi
reflektivitas. adanya panduan identitas mana
dari otoritas yang yang hendak
mapan, dan dalam dicapai
isolasi sosial
mereka mengalami
ketidakamanan dan
kecemasan
Sumber utama Kesalahan Penerapan utama Konsumerisme De-deferensiasi
perubahan merancang dunia ilmu pengetahuan dan sosial dan ekonomi
modernitas modern, kegagalan dan teknologi pada individualisme kultural
operator, sistem produksi
konsekuensi tidak industri telah
sengaja, dan memunculkan
refleksivitas risiko.
pengetahuan sosial
Kebudayaan Risiko dan Terjadi fragmentasi Fragmentasi Timbulnya
yang timbul kepercayaan kebudayaan dan kebudayaan, konsumerisme
pertumbuhan masyarakat sebagai gaya hidup
individualisasi diinduvidualisasi
dan diprivatisasi
Dampak yamg Terjadi modernitas Globalisasi Masyarakat De-diferensiasi akan
timbul radikal, tinggi atau ekonomi terikat bersama mengakibatkan
mutakhir di mana melahirkan sebatas sebagai kekacauan,
perubahan dunia globalisasi risiko konsumen, yang kerapuhan, dan
menjadi yang tak diorientasikan ketidakstabilan
terkendali godaan dan hasrat dalam cara
masyarakat
mengalami realitas.
Kapitalisme Produksi Periode pekerjaan Perusahaan besar Muncul kapitalisme
komoditas, kasual, parsial, dan dibentuk menjadi terorganisasi
kepemilikan temporer, dan jaringan
pribadi atas modal, banyak pekerjaan komunikasi yang
buruh, upahan,dan dilakukan di rumah memungkinkan
industrialisasi yang atau di perjalanan- fleksibilitas tinggi
menggunakan bukan di lokasi dalam
mesin tunggal yang pengorganisasian
menetap aktivitas
ekonomi.
Kelas Sistem kelas yang Pembagian gender Masyarakat kaya Kelas borjuis dan
terbentuk berasal patriarkal makin global mencakup pekerja, serta
dari karakteristik terkikis. Keluarga para eksekutif masyarakat yang
kapitalisme. yang dapat transnasional dan menjadi incaran
dinegosiasikan. jetset kapitalistik.
Muncul kapitalisme metropolitan yang
tanpa kelas, tetapi mengontrol
dengan ekonomi
ketidaksetaraan konsumen dan
individual mengambil
keuntungan dari
konsumerisme
massa.

yang tadinya tidak terdistingsikan dengan jelas mulai terbedakan satu dengan yang lain.
Contoh bentuk diferensiasi ini yaitu: pemisahan seni religius dan sekuler, atau pembedaan
antra seni dan sains. Sementara itu, postmodernisme, menurut Lash berkaitan dengan adanya
dua bentuk gerakan postmodernisme. Pertama, spektral, suatu bentuk proyek main-main,
tidak serius, simulacrum, konsumerisme individualis, dan berkaitan dengan kedangkalan.
Kedua, organis, yaitu berkaitan dengan timbulnya gerakan sosial baru, seperti gerakan
perempuan, gerakan hijau, gay, dan lesbian.
Di satu sisi, Lash menyatakan postmodernisme sebagai paradigma kultural yang
meresapi hampir segala sisi kehidupan mutakhir yang ditandai oleh tedensi didiferensiasi,
problematisasi dan instabilitas makna. Tetapi di sisi lain, Lash menyatakan bahwa
postmodernisme sesungguhnya kurang memberi peluang ke arah pergumulan budaya yang
cukup kritis-substansial dibandingkan modernism yang cenderung telah melahirkan kritik-
kritik kebudayaan yang mendalam.
Para teoretikus modernitas kontemporer, dalam banyak hal memang bersikap
pesimistis dan sepakat melihat perkembangan modernitas yang dihela perkembangan
pengetahuan dan informasi sebagai sesuatu yang makin dominan, dan bahkan Giddens
menyatakan makin tak terkendali seperti juggernaut. Sementara itu, Ulrich Beck melihat
adanya suatu keretakan dalam modernitas dan suatu transisi dari masvarakat industri klasik
menuju masyarakat risiko (Ritzer, 2010: 251). Pada masyarakat modernitas lanjut, isu
sentralnya yaitu risiko dan bagaimana risiko tersebut dapat dicegah, diminimalkan, dipantau
atau diatur. Beck menyatakan sesungguhnya kita telah berpindah dari modernitas klasik yang
dicirikan dengan kesejahteraan dan bagaimana membagikannya dengan rata ke dalam
modernitas yang lebih maju di mana isu yang menentukan yaitu risiko, dan bagaimana
menghindari atau menanggulanginya (Ritzer, 2010: 285-286).
Di luar empat teoretisi di atas-Giddens, Beck, Bauman, dan Lash di antara tokoh dan
teoretisi sosial lain sebetulnya cukup banyak yang memiliki semangat dan dasar pemikiran
yang kurang lebih sama dengan teori sosial postmodern, yakni menaruh perhatian pada
kelompok yang tertindas, gerakan rakyat bawah tanah, dan mengembangkan pemikiran
alternatif yang berbeda dengan arus bear atau grand narrative yang selama ini mendominasi.
Filsuf dan teoretisi pendidikan kritis, seperti Paulo Freire (1921-1997) dan Ivan illich (1926-
2002), dikenal sebagai
teoretisi vang menawarkan kerangka pemikiran yang menyempal dan merupakan
jalan lain yang berbeda dengan mainstream yang berlaku di masanya. Meski pemikiran
mereka merefleksikan pola pemikiran teoretisi postmodern, tetapi keduanya nyaris tidak
pernah disebut-sebut sebagai teoretisi postmodern, dan mereka sendiri juga tidak pernah
mengklaim diri sebagai teoretisi maupun filsuf postmodern.
Paulo Freire adalah seorang teoretisi sekaligus aktivis gereja yang terlibat langsung
dalam kegiatan pendidikan kritis yang berorientasi pada proses penyadaran (conscientization)
bagi kaum tertindas di wilayah Brasil. Freire menghabiskan seluruh hidupnya untuk suatu
praksis pedagogis-tanpa definisi muatan a priori, buku teks dan teknik-teknik pendidikan.
Tujuannya mengembangkan suatu proses pendidikan dan penyadaran yang dibangun dalam
realitas sosial dan kultural guru dan murid (Palmer, 2010: 217). Dalam pandangan Freire,
pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang dibentuk oleh proses
coding/decoding-mengubah sesuatu menjadi kode dan mengubah kode menjadi sesuatu yang
dapat dipahami-yang kemudian akan memungkinkan anak didik dari kelompok yang tertindas
menggunakan pengetahuannya yang baru diperoleh untuk merekonstruksi kehidupannya;
melakukan refleksi sehingga lahirlah pembebasan (liberation). Freire banyak menulis buku
tentang pendidikan kritis sebelum Lyotard menerbitkan bukunya tentang postmodern yang
terkenal pada 1984. Salah satu buku Freire yang terkenal adalah Pedagogy of the Oppressed
yang telah diterbitkan tahun 1972-satu dekade lebih sebelum Lyotard menerbitkan The
Postmodern Condition pada 1984.
Sementara itu, Ivan Illich adalah seorang pastur, sejarawan ikonoklastik dan kritikus
sosial yang agak berbeda titik awal kiprahnya dengan Freire. Berbeda dengan Freire yang
pernah menjadi anggota Partai Buruh dan sempat menjadi Menteri Pendidikan Brasil, Illich
adalah seorang dosen sekaligus pastur yang mengembangkan pemikiran yang menentang
kesombongan serta kekerasan pelaksanaan budaya yang secara historis telah dilakukan
gereja di masa itu.
Sebagai seorang teoretikus antisekolah, anti-institusi, dan antitek-nologi, Illich
menaruh perhatian pada ciptaan-ciptaan yang memba-tasi kemungkinan perluasan
persahabatan dengan "yang lain" dapat melintasi berbagai batasan (Palmer, 2010: 302-303).
Lebih dari sekadar menawarkan gagasan yang melawan arus, dalam praktiknya Illich bahkan
memilih meninggalkan gereja, tidak lagi menjadi pastur, dan memutuskan menjadi Direktur
CIDOC (Center of Intercultural Documentation) yang merupakan salah satu lembaga kajian
untuk menandingi dominasi Alliance for Progress yang dibentuk Presiden Kennedy karena
dinilai hanya menyebarluaskan cita rasa borjuis yang mengorbankan budaya dan kehidupan
Amerika Selatan. Seperti juga Paulo Freire, buku Illich yang berjudul Deschooling Society
telah diterbitkan pada 1970 cukup jauh sebelum istilah postmodern yang ditawarkan Lyotard
menjadi bahan diskusi di kalangan filsuf dan teoretisi sosial.

G. KRITIK TERHADAP TEORI SOSIAL POSTMODERN


Sebagai teori sosial, postmodern harus diakui telah menawarkan perspektif baru yang
tersendiri, khas, dan menjanjikan penjelasan yang lebih kontekstual. Lyotard (1984)
misalnya, menyatakan postmodern-isme adalah pembebasan dari kekangan kemurnian
rasionalitas dari wa-cana induk modernitas yang totaliter (Jonathan Friedman, dalam Kuper
& Kuper, 2000: 814). Namun karena sifat teori ini yang senantiasa melontarkan kritik keras
kepada teori sosial modern dan kegagalan proyek modernitas, maka sering kali pemikiran dan
teori sosial postmodern dikiritik karena cenderung mengarah pada pluralisme radial dan
liberal.
Menurut Best dan Kellner (1991: 165), pemikiran dan teori postmodern dinilai gagal
mengkaji modernitas sebagai fenomena sosio-eko-nomik, dan hanya melihat modernitas yang
diasosiasikan dengan Pencerahan sebagai perspektif yang hanya mengedepankan
universalisasi metanaratif tunggal. Dalam teori sosial postmodern, salah satu asumsi dasar
yang penting yaitu penolakan postmodern terhadap grand narratives seperti kebebasan,
emansipasi, dan kemajuan, tetapi ironisnya adalah ia sendiri justru membangun kembali suatu
narasi besar bagi postmodern, yakni keabsolutan narasi kecil yang universal. Dalam buku ya
Postmodernism and Environmental Crisis, Arran E. Gare (1995, dalam Wora, 2006: 108-112)
menguraikan beberapa signifikansi kondisi kultur postmodern. Signifikansi it selain
ketidakpercayaan pada grand naratives, yang lainnya yaitu berkurangnya rasa akan sejarah
personal dalam diri masyarakat manusia, serta terpenggalnya waktu ke dalam interval yang
tidak punya kaitan satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, ada persoalan-persoalan tentang
pelemahan (disempowerment) terhadap masyarakat serta hilangnya praksis-praksis yang asli.
Akibat keterpu-tusan budaya postmodernisme dari usaha pencarian suatu orientasi aksi
karena hidup dalam orientasi konsumer, maka yang muncul kemudian yaitu karakter
kedangkalan dari sensibilitas postmodernisme, perayaan permukaan (the celebration of
surfaces) serta penolakan terhadap distingsi antara esensi dan penampakan (antara kesadaran
benar dan salah, keaslian dan kepalsuan dan antara penanda, dan yang ditandakan).
Dalam konteks ini, Habermas mengkritik pemikiran aliran postmodern, karena teori
postmodern dinilai gagal mengatasi dilema atau problem kesadaran (rasionalitas) pencerahan
yang mendasari modernitas. Bagi Habermas (1987), postmodern adalah penolakan
konservatif yang berbahaya atas proyek modern yang belum sempurna, suatu penyerahan
kepada kegagalan kadar pembebas dari proyek (Friedman, dalam Kuper & Kuper, 2000:
816).
Sikap para teoretisi postmodern yang mengkritik modernitas secara berlebihan
terkadang dinilai terlalu larut dalam sika putus asa, kecewa dan serba nyinyir pada kenyataan
masyarakat modern. Frow (1997) dengan nada agak sarkastis karena itu menyatakan bahwa
postmodern sebetulnya hanyalah genre tentang penulisan teori, bukan deskripsi tentang dunia
(Hartley, 2010: 243). Sementara itu, John O'Neill (1995) menyatakan bahwa postmodern
yaitu omong kosong seluas langit yang gelap, dan merupakan momentum pemikiran yang
telah mati (Ritzer, 2012: 1091). Pendek kata, di balik semua tawaran penjelasan baru yang
melawan arus, teori postmodern dinilai sebagian pihak sebagai hal yang bukan ilmiah, tidak
mudah dipahami, terlalu abstrak, dan dianggap hanya sebagai ba-gian dari perkembangan
mode intelektual yang akan lewat dengan sendi-rinya ketika muncul mode baru lain yang
menawarkan hal yang berbeda; semacam kegenitan intelektual yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Postmodern dinilai cenderung merelativisasi kebenaran, dan bahkan merelativisasi
semua nilai, sehingga postmodern dikritik sebagai bentuk nihilisme. Pertama, nihilisme in
dihasilkan dari ketidakmampuan post-modernisme dekonstruksionis dan postmodernisme
poststrukturalis untuk menetapkan batas-batas pada lingkup kritik radikal mereka atas
pengetahuan dan nilai. Kedua, ketergantungan postmodernisme pada monisme reduksionis
atau monisme formalis telah mengubahnya meniadi nihilistik. Dalam penjelasan Crook
(1990), nihilisme postmodern-isme terhubung dengan ketidakmampuan untuk menjelaskan
terjadinya perubahan dan ketidakmampuan untuk menjelaskan mengapa perubahan dinginkan
atau tidak dinginkan (Ritzer & Smart, 2011: 626).
Menurut Giddens, postmodern yaitu teori sosial yang salah dalam tiga hal. Pertama,
postmodern mengabaikan realitas institusional kehidupan abad ke-21. Kedua, Postmodern
keliru memandang individu manusia tidak berdaya (tidak memiliki kekuasaan) ketika
berhadapan dengan pengaruh-pengaruh wacana, karena manusia sesungguhnya bukanlah
subjek yang mati (dualitas struktur atau strukturasi). Ketiga, postmodern tidak bisa
memberikan kontribusi yang berguna bagi mem-bangun dunia kita yang lebih aman dan lebih
baik, karena ia menolak bahwa kita (manusia) memiliki kapasitas untuk mengetahui
bagaimana segala sesuatu itu sesungguhnya ada (Jones, 2009: 254).
Secara lebih perinci, beberapa kritik yang dilontarkan berbagai pihak kepada teori
postmodern sebagai berikut (Ravo, 2007: 210-211): Pertama, teori postmodern dikritik
karena ia gagal berbuat sesuatu sesuai standar ilmiah modern yang dihindari oleh
postmodern. Menurut pendukung teori modern yang berorientasi ilmiah, mustahil untuk
mengetahui apakah pandangan postmodern itu benar atau tidak karena tidak didukung oleh
penelitian empiris. Kedua, teori postmodern lebih mudah dilihat sebagai ideologi karena tidak
ada bukti-bukti saintifik. Oleh sebab itu, persoalannya bukan lagi apakah ide itu benar son
tidlak. melainkan apakah ide itu bisa dipercayai atau tidak. Orang yang percaya kepada
seperangkat ide tidak mempunyai dasar untuk mengatakan bahwa ide mereka lebih baik
daripada ide-ide lainnya. Ketiga, dalam analisisnya teori sosial postmodern sering kali
melancarkan kritik terhadap masyarakat modern. Namun kritik-kritik itu dapat dipertanyakan
validitasnya karena karena pada umumnya tidak mempunyai dasar normatif untuk membuat
penilaian yang adil. Keempat, sementara teori sosial postmodern bergulat dengan apa yang
mereka anggap sebagai isu utama, mereka sering kali mengabaikan hal-hal yang dianggap
sebagai persoalan penting pada masa ini. Kelima, kaum feminis cenderung kritis terhadap
penolakan postmodern terhadap subjek, penolakan terhadap kategori lintas kultural yang
universal (seperti bias gender dan penindasan gen-der), perhatiannya yang berlebihan
terhadap perbedaan, ketidakmam-puannya untuk mengembangkan agenda politik kritis.
Dari sisi aksiologisnya, postmodern dikritik karena dinilai tidak jelas dalam
memberikan arahan ke arah mana masyarakat harus berubah. Kebanyakan pemikiran filsafat
dan teori postmodern terlalu asik melakukan dekonstruksi terhadap realitas sosial yang
selama ini dibakukan, menggugat persoalan yang dianggap telah mapan, baku dan kaku, serta
berusaha membongkar kepalsuan ideologis dan kepentingan-kepentingan yang ada di balik
wacana dan pengetahuan. Namun masalahnya kemudian apakah ada upaya rekonstruksi
setelah kebenaran didekonstruksi? Berbeda dengan Jürgen Habermas yang menawarkan
solusi berupa tindakan menyadarkan subjek dengan berbekal pengetahuan kritisnya untuk
dapat melakukan kontrol atas kehidupannya dengan kekuatannya sendiri serta mampu
berperan sebagai subjek perubahan sosial dan perubahan sejarahnya, teori sosial postmodern
memang tidak menawarkan jalan keluar yang jelas tentang apa yang harus dilakukan setelah
pengetahuan dan kebenaran dipertanyakan dasar filosofisnya. Seperti dikatakan Ritzer (2012:
1092), para teoretisi postmodern sangat mumpuni ketika mereka mengkritisi masyarakat,
tetapi postmodern tidak memiliki pandangan tentang bagaimana masyarakat seharusya.
H. PERKEMBANGAN TERBARU TEORI SOSIAL POSTMODERN
Terlepas dari berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya, sebagai suatu teori sosial,
postmodern bukanlah perspektif teoretis yang stagnan, dan kemudian mati seperti diharapkan
seiumlah pihak. Kritik yang menyatakan postmodern terlalu abstrak, tidak jelas, dan hanya
membongkar metanarasi, namun tidak mampu menawarkan solusi seperti apa yang
seharusya, bagaimanapun menjadi tantangan tersendiri para teoritis postmodern untuk terus
mengembangkan diri. Griselda Pollock (2007) menyatakan bahwa salah satu peluang yang
dikembangkan teori sosial postmodern untuk tetap eksis yaitu bagaimana mengembangkan
analisis atau penjelasan yang sifatnya transdisiplin, terutama dalam rangka menyikapi
perkembangan masyarakat yang makin cair diera postmodernitas. Sosiologi, informatika,
estetika, dan analisis budaya adalah berbagai bidang ilmu yang seharusya saling menyapa dan
menjadi kerangka analisis yang sifatnya transdisiplin agar dapat memberikan analisis yang
benar-benar kontekstual.
Sebagai suatu pemikiran filsafati dan teori sosial, postmodern diakui atau tidak
berhasil menawarkan fokus kajian dan perspektif yang berbeda untuk memahami
perkembangan terbaru masyarakat kontemporer. Dalam pandangan teoretisi postmodern, era
postmodernisme adalah era kontemporer yang ditandai dengan terjadinya delegitimasi
terhadap narasi besar peradaban Barat, hilangnya keyakinan pada kekuatan rasio, dan
hancurnya ortodoksi keagamaan tradisional. Sasaran kritik teori sosial postmodern diarahkan
untuk mendekonstruksi metanarasi Barat tentang kebenaran dan etnosentrisme yang tersirat
dalam pandangan orang-orang Eropa tentang sejarah sebagai gerak maju unilinier universal
(Denzin & Lincoln, 2009: 178).
Dalam usahanya memahami realitas masyarakat postmodernitas, teoretisi postmodern
sejak awal tidak ingin terjebak pada perspektif monolitik yang tunggal yang mengacu pada
grand narrative yang populer. Sejak awal kelahirannya, teori postmodern telah menyadari
bahwa salah satu bahaya yang dihadapi ilmu sosial normalisasi dan dominasi, karena
cenderung menyingkirkan aspek sosial yang berada di luar wilayah rasionalitasnya.
Pendekatan positivistik yang mencari fakta positif (Comte), eidos (fenomenologi), mana
(hermeneutik), dan tindakan sosial (teori tindakan), dalam pandangan teoretisi sosial
postmodern cenderung menyingkirkan atau meminggirkan yang lain sebagai nonrealitas atau
bukan kebenaran (Hardiman, 2003: 189), sehingga yang dipercayai umumnya yaitu
kebenaran tunggal yang monolitik. Hal seperti inilah yang ditolak teori sosial postmodern.
Bagi teoretisi sosial postmodern, yang penting bukanlah pendekatan dan metode
tunggal apa yang seharusya dipakai untuk menemukan kebenaran, melainkan yang lebih
penting yaitu bagaimana memahami kebenaran sebagai sesuatu yang plural. Untuk dapat
memahami realitas sosial secara utuh, karena itu dalam perkembangan yang terakhir, teoretisi
postmodern cenderung mengembangkan teori dan metodologi yang sifatnya eklektif sebagai
konsekuensi dari sifatnya yang transdisipliner. Sebagai suatu teori sosial, mungkin benar
bahwa postmodern banyak mengkritik dan menolak perspektif teori yang positivistik (dan
juga teori yang interpretif sekalipun kalau teori itu menjadi logosentrisme), namun teoretisi
postmodern tidak pernah menutup diri untuk menerima keberagaman dan alternatif cara
pandangan tori sosial lain yang konstruktivistik dan interpretative sepanjang realitas sosial
yang dibangun telah mempertimbangkan suara liyan (the others).
Dalam satu-dua dekade terakhir muncul terminologi, seperti postmodernisme
oposisional, postmodernisme resistensi tau postmodernisme kritis, indikasi yang
memperlihatkan bahwa teori sosial postmodern sendiri sat ini telah mengalami metamorfose
atau perkembangan yang makin beragam dan eklektif. Terlepas dari berbagai kritik yang
dialamatkan kepada teori postmodern dan metode yang digunakan, hingga kini teori ini tetap
populer dan makin kukuh diakui mampu menawarkan kelebihan dalam memahami realitas
masyarakat kontemporer yang diwarnai hiperrealitas, representasi tanda, dan meningkatnya
perilaku konsumsi.
Perkembangan teori kritis yang dipelopori Mazhab Frankfurt, misalnya diakui telah
memberikan landasan normatif bagi perkembangan lebih lanjut dari teori sosial postmodern,
yakni suatu dasar untuk membedakan relasi sosial yang menindas dengan relasi sosial yang
membebaskan. Tanpa dasar ini, maka paparan teori sosial postmodern sangat mudah
mengarah ke nihilisme dan kemandegan (Denzin & Lincoln, 2009: 179). Sementara itu, bagi
studi-studi etnografi, perkembangan teori sosial postmodern diakui juga telah mendorong
lahirnya antropologi postmodern yang lebih didorong untuk memadukan teknik dan kognisi
ketajaman pemahaman modernis yang berciri membebaskan dengan gairah terus-menerus
untuk melaporkan realitas-selain realitasnya antropolog secara objektif. Artinya, para
antropolog dan etnografer mau tidak mau dituntut untuk bertanggung jawab memahami
teknik estetisisme radikal tertentu, seperti montase, dialektika negatif, dan lain-lain (lihat
Denzin & Lincoln, 2009: 740), sebagai suatu keterpaduan yang dibutuhkan untuk memahami
realitas sosial yang plural. Dalam perkembangan teori postmodern yang lebih mutakhir,
indikasi Mazhab Birmingham juga mulai banyak menyapa teori postmodern. Buku yang
ditulis Angela McRobbie (1994) berjudul Postmodernism and Populer Culture (London:
Routledge), yaitu salah satu contoh kajian yang berusaha memadukan postmodernisme
dengan budaya pop. Penekanan studi budaya pada audiensi aktif, bacaan-bacaan perlawanan,
teks oposisional, momen-momen utopian, dan sebagainya melukiskan suatu era di mana
individu di dalamnya dilatih untuk menjadi konsumen media yang lebih aktif, tempat mereka
menerima pilihan materi budaya yang lebih luas, sesuai dengan kapitalisme global dan lintas
bangsa baru dengan pilihan, produk, dan layanan konsumen yang lebih beragam. Dalam
perkembangan pemikiran studi budaya yang menyapa teori postmodern, perbedaan diterima,
dan ketidaksamaan, keberagaman, dan heterogenitas yang divalorisasikan dalam teori
postmodern yang menggambarkan proliferasi ke-liyan-an (otherness) dan marginalitas dalam
suatu tatanan sosial baru yang berpijak pad a proliferasi keinginan dan kebutuhan konsumen
(Ritzer & Smart, 2011: 803).
Secara garis besar, perkembangan postmodern dewasa ini paling tidak bisa dibagi ke
dalam dua fase. Pertama, fase atas cabaran kalangan postmodernis pada epistemologi ilmu
pengetahuan. Kemudian fase kedua, perkembangan teori postmodernisme secara empiris
(Mirchandani, 2005). Pada fase pertama, postmodernis sebagai sebuah gerakan epistemologi
ditandai dengan pemikiran para teoretisi yang mengangkat persoalan, atau mengkritik ilmu
pengetahuan modern yang dibangun atas dasar asumsi ilmu pengetahuan alam, dan asumsi
adanya kebenaran universal. Adapun fase kedua, perkembangan teori postmodernisme secara
empiris, yaitu tahapan ketika beberapa teoretisi postmodernis berusaha melakukan perubahan
pemikiran, yaitu mencoba menakar kembali keberadaan dan dominasi konsep-konsep teori
sosiologi yang klasik. Jadi, untuk fase yang kedua ini teori postmodern sudah masuk ke ranah
pembongkaran konsep-konsep sosiologi, dan berkait dengan persoalan-persoalan pada tataran
empiris. Pada fase ini, muncul gerakan yang kuat untuk menyatukan pemahaman
postmodernis ke dalam teori dan riset. Pada fase kedua ini, upaya untuk lebih membumikan
teori dan kajian postmodern menjadi lebih mengemuka, terutama ketika disadari masyarakat
telah berkembang makin jauh ke dalam era post- -industrial, era global, era kapitalisme
multinasional yang melahirkan hiperrasionalisasi, hiperkomodifkasi, hiperdiferensiasi dan
hiper-individualisasi
Berbeda dengan pemikir dan teoretisi postmodern seperti Lyotard Derrida, Foucault,
Jameson, dan Baudrillard yang lebih banyak mengetengahkan wacana dan termasuk aliran
postmodern epistemologi, sejumlah ahli teori postmodern yang muncul sesudahnya lebih
banyak masuk pada ranah penteorisasian dan kerja empiris, serta masuk pada tema-tema
kajian yang lebih membumi dengan subjek kajian yang lebih spesifik dan kontekstual. Agger
(2003), misalnya, menyatakan bahwa salah satu penerapan nyata teori postmodern (empiris)
yaitu pada analisis budaya dan kajian media yang dalam era masyarakat post-industrial
menentukan perilaku ekonomi dan gaya hidup masyarakat. Dalam perkembangan
perdebatannya, Jones (2009: 216-218) menyatakan bahwa teori dan metodologi postmodern
bagaimanapun harus diakui telah membuat kemajuan berarti dalam antropologi, sejarah,
sosiologi, dan ilmu politik. Pendekatan postmodern dalam penelitian lapangan secara khusus
melibatkan penceritaan (narrativity) dan interpretasi, menantang positivis dan pendekatan lain
terhadap teori dan metode yang telah sekian lama mendominasi, sehingga menyegarkan
kembali perbincangan tentang positivistik dan metodologi postmodern yang makin empiris.
Grossberg (1997) menegaskan bahwa baik studi budaya maupun teori postmodern
yaitu anti-esensialis dan sangat kontekstual, bahwa keduanya menolak penolakan
dekonstruksionalis ekstrem terhadap semua makna dan sikap tetap. Kedua teori ini lebih
memedulikan persoalan-persoalan efektivitas, kondisi-kondisi kemungkinan dan
overdeterminasi daripada persoalan asal-usul dan originalitas. Kedua perspektif teoretis yang
saling menyapa ini lebih berpusat pada kekuasaan, penguasaan, dan penolakan , dan bisa
diartikulasikan dengan politik radikal dan gerakan sosial baru (lihat Ritzer & Smart, 2011:
802). Stuart Hall (1980)-salah seorang teoretisi Cultural Studies yang terkenal -menyatakan
bahwa di era postmodernisme global, studi budaya cenderung memfokuskan kajian pada
fragmentasi kebudayaan, pengenalan dengan suara-suara yang terpinggirkan dari narasi
kebudayaan Barat, penekanan pada posisi audiensi aktif, teks-teks oposisional, dan bacaan-
bacaan perlawanan. Dalam kajian studi budaya di era postmodernisme global, perbedaan
diterima, dan ketidaksamaan, keberagaman, dan heterogenitas yang divalorisasikan dalam
teori postmodern menggambarkan proliferasi ke-liyan-an (otherness) dan marginalitas dalam
suatu tatanan sosial baru yang berpijak pada proliferasi keinginan dan kebutuhan konsumen.
Sementara itu, Hal Foster (1983) menyatakan bahwa dalam perkembangan
perkawinan antara studi budaya dan postmodern perlawanan yang terjadi yaitu teori ini
cenderung memperjuangkan karya-karya seni yang terlibat dalam subversi dan kritik sosial.
Bahkan banyak feminis, bangsa kulit berwarna, gay dan lesbian, multikulturalis, post-
kolonial dan Iain-lain sudah pernah memanfaatkan perkawinan studi budaya dan postmodern
untuk menekankan perbedaan dan marginalitas, memvalorisasi kebudayaan, dan praktik
individu dan kelompok yang pernah disingkirkan dari kebudayaan arus kuat, memfokuskan
kajian pada kaum yang terpinggirkan dan suara-suara yang oposional.
Sebagai suatu teori sosial, perkembangan postmodern dalam satudua dekade terakhir
harus diakui memang tidak lagi eksklusif - apalagi soliter. Teori sosial postmodern menjadi
lebih membumi ketika membuka diri dan berkolaborasi dengan teori sosial Iain - Mazhab
Frankfurt, studi budaya Inggris atau Mazhab Birmingham, geografi, studi perkembangan,
perspektif ekonomi - politik, dan Iain-lain - yang memungkinkan teori sosial postmodern
mengeksplorasi tema-tema kajian yang memungkinkan teori sosial postmodern
mengeksplorasi tema-tema kajian yang makin luas dan beragam. Muller (2006) misalnya,
menyatakan bahwa daripada terlibat dalam persaingan antara sesama perspektif teori sosial,
kolaborasi antara teori sosial postmodern dan teori sosial Iain akan Iebih bermanfaat untuk
makin memperkaya teori dan praktik penelitian sosial.

Anda mungkin juga menyukai