Disusun Oleh:
Ami Dwi Fitriani 170710150010
Ahmad Syaefulloh 170710150030
Kristangia Arum 170710150037
Rahmat Roni 170710150041
Mahasti Dita A 170710150050
Annadi Muhammad A 170710150051
Abdurrahman Ma’ruf S 170710150056
B. PEMBAHASAN
Kritik-Kritik Terhadap Teori Sosial Postmofern
Perdebatan tentang teori sosial poststruktural dan postmodern biasanya
menghasilkan ketegangan yang sangat panas. Para pendukung sebuah aliran seingkali
menyatakan sanjungan mereka, sedangkan mereka yang megkritik aliran pemikiran
tersebut tidak jarang terbawa ke dalam apa yang hanya bisa digambarkan sebagai “gelap
mata”. Berikut ini akan diuraikan mengenai kritik-kritik terhadap teori sosial postmodern
yang dikutip dari buku Teori Sosial Postmodern, George Ritzer
1. Kebanyakan kritisme atas teori sosial postmodern menentang kegagalannya untuk
bertindak sesuai dengan standar saintifik postmodern, standar-standar yang dijauhi
postmodernis.
Hal yang telah diorientasikan para modernis secara keilmuan, mustahbiil untuk
mengetahui apakah ya atau tidak pernyataan-pernyataan postmodernis benar. Untuk
memahaminya dalam istilah formal, sebenarnya segala sesuatu yang dipahami
postmodernis dipandang oleh postmodernis sesuatu yang tidak falsifiable; artinya, ide-ide
mereka tidak bisa disanggah, terutama dengan penelitian empirik (Frow, 1991; Kumar,
1995). Tentu saja, kritisisme ini mengansumsikan keberadaan model keilmuan, realitas,
dan penyelidikan terhadap realitas, dan keberadaan kebenaran. Semua asumsi tersebut,
tentu saja, akan di tolak oleh postmodernis.
Dijelaskan bahwa karakter ideologis postmodernisme menggiring kebanyakan
pengikutnya menjadi fanatic dan menutup persaingan perspektif. Pemikir postmodern
dengan jelas cenderung menolak perspektif saintifik dan penemuan-penemuan saintifik.
Lebih jauh, ada kecenderungan untuk mengikuti satu sudut pandang postmodern dan
menolak yang lain. Baudrillard, misalnya, dengan nyata meyakini perspektifnya dan, pada
saat yang sama, sedikit simpati pada perspektif Foucault, yang menurutnya, lebih baik
dilupakan.
Karena mereka tidak dibatasi oleh norma sains, postmodernis bebas melakukan apa
yang mereka inginkan, “bermain”dengan ide-ide yang meliputi banyak hal, kadang-kadang
bermain dengan cara-cara yang sangat aneh. Generalisasi luas yang di tawarkan sering kali
tanpa kualifikasi. Lebih jauh dalam mengekspresikan posisinya, teoritisi sosial postmodern
tidak dibatasi retorika saintis modern yang adil. Sifat yang sangat berlebihan dari diskursus
postmodern mempersulit perspektif di luar untuk menerima prinsip- prinsip dasarnya.
Bisa dijelaskan bahwa postmodernis tidak hanya berhenti pada sains bahkan juga
ilmu pengetahuan, setidak-tidaknya ilmu pengetahuan yang sitematis. Ini bisa dilacak,
sekurang-kurangnya satu sisi, dengan kecenderungan, terutama pada kajian Foucault,
untuk memadukan kekuasaan dan ilmu pengetahuan. Bersebrangan dengan mereka yang
menggunakan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kepuasan sendiri, bisa dijelaskan
bahwa setidak-tidaknya beberapa postmodernis telah menghindari apa yang biasa kita
pahami sebagai pengetahuan secara keseluruhan.
Ide-ide postmodern seringkali sangat samar-samar dan abstrak yang sulit, jika tidak
mustahil, menghubungkan dengan dunia sosial (Coulhoun, 1993). Berkaitan dengan hal
itu, maka konsep cenderung berubah atas arah kajian postmodern, bahkan pembaca, tidak
menyadari makna aslinya, tidak mengetahui begitu jelas beberapa perubahan.
Misalnya, ada sejumlah persoalan konseptual pada kajian Foucault. Meski
kekuasaan adalah hal yang paling utama bagi Foucault tetapi dia gagal dalam
mendefinisikannya dengan hati-hati pada awal kajiannya dan bahkan ketika dia
mendefinisikan pada kajiannya yang belakangan, definisi tersebut memiliki kualitas samar-
samar dan sulit dipahami. Satu hal, dia membedakan dengan hati-hati antara tipe
kekuasaan yang berbeda (Fraser, 1981). Hal sama yang dapat disebutkan adalah tentang
definisi dan konseptulisasi semacam itu menyebabkan seluruh usahanya untuk
mengaikatkan dengan ilmu pengetahuan diragukan. Lebih umumnya, kecenderungan
antimodernisme Foucault untuk tidak mendefinisikan istilah-istilahnya secara hati-hati
membuat kajianyasulit untuk dipahami,dievaluasi dan dikembangkan.
Contoh lain, adalah sangat sulit sekali untuk mendapatkan pemahaman yang jelas
atas apa yang di sampaikan Derrida ketika dia cenderung menggunakan istilah-istilah yang
berbeda, walaupun dengan perbedaan yang tipis antara istilah-istilah itu, untuk
menguraikan lebih jauh fenomena yang sama. Contoh yang baik menguraikan lebih jauh
fenomena yang sama. Contoh yang baik dijumpai pada makna istilah yang tumpang tindih
seperti writing, arche- writing, trance dan difference pada kajian Derrida.
Foucault adalah salah satu teoretisi sosial postmodern yang menawarkan totalisasi
dan narasi besar. Walaupun kritisisme semacam itu, para pembaca seringkali merasakan
bahwa Foucault menawarkan keduanya ( Dean, 1986). Sebagai contoh, pernyataan bahwa
kita telah bergerak dari masyarakat yang menyiksa satu disiplin atau bahwa kita telah
menyaksikan ledakan dikursus tentang seksualitas kedengaranya jelas seperti narasi besar .
seseorang tentu mengakui argument Foucault bahwa perubahan-perubahan seperti itutidak
terjadi dalam linear, para pembaca masih tetap pada pendirian bahwa Foucault
menawarkan serangkaian narasi besar tentang sesuatu seperti kegilaan, ilmu kedokteran,
penjara, seksualitas, dan kebangkitan ilmu-ilmu manusia.
Contoh lainnya adalah penerimaan jameson atas teori totalisasi dunia yang
ditawarkan oleh perspektif marxian. Seperti halnya marxis lain, jameson menerima sebuah
pandangan totalisasi yang sesuai dengan kepentingan yang meliputi alat produksi
(walaupun dengan kekuatan balik (counterforces) jameson (1991:400), sendiri, menerima
sudut pandang ini, “tidaklah menampik perhatian setiap orang bahwa pendekatan saya
pada postmodernisme adalah hanya totalisasi.”
Jameson juga digugat atas penggunaan narasi besar, subjek emansipatoris, dan telos
pemikiran marxis modern. Contoh, pernyataan tegas jameson:
postmoedern itu mungkin lebih baik dipahami sebagai periode transional antara dua
tahap kapitalisme, ketika bentuk ekonomi paling awal berada pada proses yang
dibentuk di atas skala global....proletarianonternasional baru itu (menggunakan
bentuk-bentuk yang kita mungkin tidak bisa bayangkan) akan muncul kembali dari
perubahan yang mengguncangkan, ia tidak membutuhkan nabi untuk meramal; kita
sendiri masih berada dalam palung. Bagaimanapun, dan tidak seorangpun bisa
mengatakan berapa lama kita akan tetap di sana. (Jameson, 1991:147)
Bagaimanapun, harus ditunjukkan bahwa di samping jameson mungkin salah atas
penerapan totalisasi (dan narasi besar), dia pada dasarnya mengkritisi sebagian besar
totalisasi karena bagi dia mereka sama sekali tidak bermaksud unifikasi, tetapi unifikasi
dalam penyelidikan kekuasaan. Jameson melihat totalisasi sebagai refleksi hubungan
kekuasaan yang tersembunyi di belakang sistem yang humanis dan positif. Namun ,
argumen ini bisa dipulangkan pada jameson, dan totalisasinya bisa dipandang sebagai
pemberdayaan atas beberapa dan bukan pemberdayaan beberapa yang lainnya.
Jameson mempertahankan penggunaan totalias (marxian)nya pada konteks
pembicaraan postmodern tentang perbedaan. Dia menolak sebagian besar pembelaan
postmodern tentang perbedaan dan dia menganggap perbedaan itu tidak lebih dari toleransi
liberal. Dalam bebrapa hal, dia merasa bahwa perbedaan dan totalitas bukan pertentangan;
perbedaan menyisakan sebuah sistem, “dan adalah mungkin mengaitkannya dengan
“subjek yang tidak terpusat (non-centered) yang merupakan bagian dari suatu kelompok
organik atau kolektif “ (Jameson, 1991 : 343,345). Atau lebih umumnya, “peristiwa besar
dari perbedaan yang jelas, baik di rumah atau dalam skala global, kenyataannya
menyembunyikan dan mengisyaratkan hal baru dan identitas yang lebih fundamental”
(jameson, 1991:357). Kita tidak sanggup memahami identitas fundamenta; ini, totalitas
baru ini, justru karena kita berada di dunia kapital multinasional; karena segala sesuatu
tersistematisasi, kita mulai kehilangan makna sistem kita.
Terhadap pembelaan jameson dan totalisasinya, Best (1989) membedakan antara
dua tipe totalitas. Pertama, adalah “analisis reduktif yang mendorong semua partikular ke
dalam perspektif teoritis tunggal atas ongkos perbedaan ‘tekstual’ dan kerunitannya,
“meskipun yang kedua adalah, aksi kontekstualisasi yang nampaknya meletakkan
fenomena yang terisolasi ke dalam konteks relasinya yang lebih luas dan menggambarkan
hubungan (atau mediasi) antara aspek-aspek yang berbeda secara keseluruhan dan
memahami hubungan yang sistemis di samping perbedaan yang saling mematuhi,
diskontinuitas, otonomi relatif, dan pertumbuhan yang tidak sama”(best, 1989: 344). Pada
awalnya best menolak namun akhirnya dia menerima perspektif totalisasi yang
dihubungkan dengan jameson (bahkan ia mengakui kadang-kadang jameson jatuh ke
dalam perangkap totalisasi yang berlebihan).
Di samping seringkali digugat atas totalisasi mereka, pada titik ekstrem lain, para
postmodernis kadang-kadang digugat atas pembatasan secara berlebihan, yang hanya
menawarkan narasi lokal (munz, 1992) O’Neill (1995:194) memahami para postmodernis
menawarkan “logos mini” yang agresif dan, menurut pandangan saya, itu membingunkan
kita dari pembicaraan serius yang kenyataannya, disesuaikan secara bik dengan bahasa
celotehan postmodern. “di samping dia mungkin menawarkan secara implisit narasi besar,
foucault dapat dipahami mengembangkan serangkaian “logos mini” tentang kegilaan, ilmu
kedokteran, kriminal, seksualitas, dan sebagainya. Ada banyak yang masih meyakini
pentingnya generalisasi yang luas.
Salah satu karakter yang tegas dari pendekatan Foucault adalah ketertarikannya
menulis sejarah hari ini. Artinya, dalam menulis tentang masa lalu, dia dibimbing menurut
topik yang ia pilih dan mode analisisnya dengan persoalan saat sekarang. Tidak ada
keraguan bahwa ini menyebabkan analisis sejarahnya lebih sangat relevan dan menarik
bagi pembaca kontemporer dibandingkan dengan apakah tertarik pada sejarah untuk
kepentingan sejarah. Tetapi, seseorang seringkali merasakan bahwa presentismenya (ada
juga sebuah presentisme pada pemikiran Derrida mengenai tulisan) sangat mempengaruhi
kemampuannya untuk menganalisis masa lalu (Habermas, 1986). Sebagai contoh misalnya,
seseorang meragukan apakah kebengisannya yang nyata atas luasnya pengawasan yang ada
pada masyarakat kontemporer mempengaruhi analisis Panopticonnya dan menyebabkan
dia memperlihatkan presentisme, dan fenomena yang terkait, perhatian yang tak
semestinya? Suatu bias yang presentis bisa membantu menjelaskan realitas masa lalu,
tetapi ia juga bisa mendistorsi masa lalu dan mengaburkan sebanyak yang ia jelaskan.
Baudrillard menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menganalisis dan
mengkritik dunia kontemporer, tapi dia berani masuk ke masa lalu termasuk
kecenderungan untuk meromantiskan masyarakat-masyarakat primitif sebagai pusat
pertukaran simbolis. Sebagaimana Baudrillard mengkritik masyarakat itu, observasinya
tentang kekinian jauh lebih berkembang dan kredibel ketimbang gagasan-gagasan masa
lalu.
Di samping Foucault tidak menawarkan pada kita sebuah kerangka kerja normatif,
dia juga tidak memiliki teori agensi (Best, 1994). Pembaca yang teliti bisa saja memahami
pengertian agensi pada kajian Foucault, namun ia tidak sama secara eksplisit dengan teori
agensi yang ditawarkan para modernis seperti Marx dan Giddens. Barangkali karena dia
tidak memiliki sebuah teori agensi, Foucault juga gagal menawarkan beberapa ide tentang
bagaimana masyarakat menangani persoalan-persoalan yang dia jelaskan dan
membebaskan diri mereka dari masyarakat operasif yang dia menghabiskan banyak waktu
untuk menjelaskan dan menganalisisnya. Sebaliknya Marx tidak hanya menjelaskan
kejahatan kapitalisme tetapi juga menawarkan suatu pemikiran tentang bagaimana
kejahatan kapitalisme itu bisa dirobohkan. Ketiadaan ide-ide semacam itu, Foucault
seringkali dianggap orang yang menawarkan sebuah persperktif “kerangka besi” pada
dunia modern, tak ubahnya seperti yang ditawarkan oleh Weber (yang juga menempatkan
dirinya pada keadaan yang sulit karena, setidak-tidaknya satu sisi, dia juga tidak memiliki
teori agensi).
Ketidakpunyaan teori agensi ini lebih serius dalam contoh kajian Fredic Jameson.
Bagaimanapun, Jameson tidak bisa dipisahkan dengan orientasi Marxian, dan orientasi
semacam itu nampaknya akan memerlukan sebuah teori seperti itu. Kenyataannya, di
samping tidak memiliki teori agensi, Jameson tidak pernah mengidentifikasi subjek praksis
revolusioner.
Postmodernis secara umum tidak memiliki sama sekali visi masa depan, versi yang
lunak dari kritik ini adalah bahwa teori sosial postmodern tidak memiliki visi seperti itu,
tetapi argument yang lebih penting adalah karena ketiadaan visi semacam itu teori sosial
postmodern meronggong program dan tujuan-tujuan politik yang ada (Gitlin, 1998).
Sebagai contoh akibat, setidak-tidaknya satu sisi, ketiadaan kerangka kerja
normative dan teori agensinya, Foucault sering dituduh menjadi nihilistic dan juga gagal
menawarkan etika afirmatif atau visi posisi masyarakat yang akan datang (Coles, 1991).
Tentu saja, jika Foucault menawarkan semua itu kerangka kerja normative, teoti agensi,
etika afirmatif, visi positif masa depan-dia akan dianggap teoritisi modern; dia tidak
dianggap salah satu figur kunci yang merusak praktik teoritis modern. Umumnya, Foucault
dikritik bukan agar ia menjadi modernis, tetapi kritikan sebagai pujian.
Seperti yang kita lihat, Baudrillard, setidak-tidaknya secara implisit, memiliki
sebuah visi masyarakat alternatif (masyarakat yang dikarakterisasikan dengan pertukaran
simbolis), dan walaupun dia biasanya menawarkan pandangan yang sangat menyedihkan,
dia juga menawarkan beberapa harapan yang samar-samar. Meskipun demikian, banyak
kritisisme bisa disejajarkan menurut kemungkinan-kemungkinan yang penuh harapan
tersebut di antara kajian Baudrillard. Contohnya, Baudrillard kadang-kadang memiliki
kecenderungan romantisasi kelompok tetrtentu-contoh memasukan pemuda atau seniman
graffiti. Pemikiran tentang kelompok ini dan potensi revolusioner mereka adalah diantara
keyakinan yang paling kecil dalam kajiannya. Dapat diambil contoh, mudah sekali
mempercayai bahwa seniman graffiti dan pertarungan tanda-tanda mereka benar-benar
merupakan sebuah ancaman bagi kontrol yang diberlakukan oleh kode.
Harapan rill di kajian Baudrillard, dan beberapa di antara sebagian besar teoritisasi
kreatifnya, menggunakan kekuatan yang lemah dan strategi fatal massa. Meskipun pada
persoalan ini Baudrillard menampakan ketertarikan yang besar dan bentuk pemikiran
kreatif tentang masa depan, bukan berarti tidak ada persoalan. Suatu contoh adalah sangat
sulit meyakini bahwa sistem akan remuk hanya karena masyarakat melibatkan pertukaran
simbolis degan sistem. Tepatnya, memberikan dorongan-dorongan pada sistem yang
sistem itu sendiri tidak mampu menerima dorongan-dorongan seperti itu, sepertinya sangat
mustahil. Ide-ide tersebut mengikuti logika pemikiran Baudrilliard tentang pertukaran
simbolis dan ketidakmunculannya dalam dunia postmodern, namun itu bukan berarti
bahwa mereka membuat semacam pemahaman praktis.
Secara umum teori sosial postmodern cenderung menjadi pesimistik menatap masa
depan, meskipun ada tanda-tanda yang penuh harapan disini. Pesimisme ini, dengan
sukarela menerima omongan-omongan atas persaingan posisi, menyebabkan para
postmodernis tidak memiliki keyakinan yang kuat sedikitpun. Oleh karena itu, O’Neil
(1995:18) menguraikan bahwa postmodern itu memiliki “kehendak untuk sukarela.”
Di balik itu, ada satu pemahaman bahwa semua orang bisa saja menghancurkan.
Mengingat fatwa Deleuze dan Guattari (1972:1983: 331), “Hancurkan, hancurkan. Tugas
Skizoanalisis berjalan dengan cara menghancurkan.” Pemahaman seperti ini tidak mungkin
berhasil mengoptimiskan seseorang.
11. Di samping teori sosial postmodern bergulat dengan hal-hal yang mereka anggap
persoalan-persoalan sosial utama, namun mereka akhirnya cenderung melupakan
persoalan kunci saat ini.
Teori sosial postmodern seringkali dituduh menutup mata dengan persoalan sosial,
politik dan ekonomi (Best dan Kellner, 1991). Walaupun perhatian kekiniannya pada
penindasan, Foucault gagal mengaitkan pentingnya bentuk penaklukan kontemporer
seperti penindasan kelas dan gender (Porter dan Poster, 1991). Jadi, Foucault hampir
menutup mata untuk menekankan persoalan kita saat ini. Lebih jauh, bahkan dia sama
seklai tidak menjelaskan dengan rinci tentang penindasan yang dihadapi oleh kaum gay
dan lesbian. Meskipun pada kajiannya yang belakangan mengindikasikan perhatian atas
pemisahan yang meningkat dan penindasan atas “mencintai anak laki-laki.” Jelasnya
Foucault tidak terlalu mengupas analisisnya atas bentuk penindasan zaman sekarang ini.
Barangkali kritik terakhir mengenai pokok pikiran Baudrillard adalah ia cenderung
mereduksi kehidupan pada citra-citraan, simulasi-simulasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu,
dia gagal mengaitkan aspek-aspek kehidupan materi. Bauman merupakan salah seorang
yang melontarkan argument ini:
Bagi banyak orang, kehidupan mereka hanyalah simulasi. Realitas-realitas tetap
seperti apa adanya: keras, padat, bertentangan dan kasar. Mayarakat butuh
menancapkan gigi mereka ke dalam roti yang benar-benar nyata sebelum mereka
memutudkan diri mereka mengunyah citra-citraan (di depan TV). (Bauman,
1992:155)
Tidak dapat dipungkiri, kritik ini tidak sekedar hanya pada Baudrillard tetapi
tuduhan yang lebih umum dialamatkan pada teori sosial postmodern atas kegagalannya
untuk memfokuskan pada persoalan material sehingga benar-benar menciptakan sebuah
perbedaan dalam kehidupan masyarakat (Wenger, 1993-1994).
Jameson adalah salah satu teoretisi sosial postmodern yang tidak mudah diserang
dengan kritikan yang terakhir ini karena sebagai seorang Marxian ia telah memberikan
orientasi pada fenomena ekonomi. Tidak dapat dibantah,sekalipun ekonomi merupakan
pokok analisisnya, namun Jameson hanya sedikit menguraikan tentang ekonomi. Dia
meremehkan peran kelas sosial dan pergerakan sosial. Sebaliknya dia sangat mengupas
keterkaitan antara ekonomi dan budaya. Bagaimanapun, Jameson telah mencurahkan
perhatian yang besar pada analisis budaya dan pada batas tertentu membuka kritisme.
Bahkan Jameson tidak mengaitkannya dengan persoalan-persoalan material yang amat
penting bagi kebanyakan masyarakat.
Tentu saja, para feminis dan multikulturalis yang menerapkan perspektif
postmodern telah meralat persoalan ini, sekuang-kurangnya beberapa kadar. Jelasnya,
mereka lebih memfokuskan pada persoalan-persoalan hari ini, sekalipun biasanya hanya
dari “sudut pandang” tertentu.
12. Ketika teoretisi sosial postmodern berusaha menyatukan perspektif modern dengan
perspektif lain, perspektif yang lebih tradisional, mereka seringkali gagal
memuaskan pendukungnya dalam beberapa kemampuan teoritis
Kekuatan besar kajian Jameson adalah upayanya untuk mensintesiskan teori
Marxian dan postmodernisme. Kenyataannya, Zuidervaart (1989:203) menjelaskan:
“Seandainya itu bukan karena tarian Jameson, Marxisme dan postmodernisme mungkin
kelihatan tidak dapat didamaikan,” walaupun dia dipuji dengan usaha pemersatuan ini,
namun tidak dapat dibantah bahwa kajiannya seringkali mengganggu baik Marxis maupun
postmodernis:
Biasanya, poststrukturalis dan yang lain mengklaim bahwa Jameson bersalah
karena totalisasi yang berlebihan, subjektivikasi, historisasi, dan karena utilisasi
humanis dan mode pemikiran yang reduktif… di samping Marxis dan yang lain
mengklaim bahwa Jameosn melenceng atas subjektivitas yang lenyap dan terbagi-
bagi dan dalam penerimaan postmodrnisme… atau mereka mengkritisi Jameson
aras proses materialisasi masyarakat secara pesimis ke dalam totalitas sistematis
yang massif, tak dapat dikalahkan pada perjuangan politik.(Kellner, 1989b:39)
13. Disamping Beberapa kasus kajian mereka tidak dapat dibedakan dengan kasus
modernis, dalam kasus yang lain bentuk kajian mereka menimbulkan permasalahan
bagi teoretisi soal postmodern
14. Disamping seseorang bisa menjumpai para pengikut diantara mereka, para feminis
secara khusus sering mengkritisi teori sosial postmodern.
Feminis telah mengkritisi penolakan postmodern akan subjek, akan oposisi
postmodernisme terhadap yang universal, kategori-kategori lintas budaya, terhadap
perbedaan berlebihan, penolakannya terhadap kebenaran dan terhadap
ketidakmampuannya mengembangkan agenda politik yang kritis.
Tak perlu lagi kita secara umum merunut satu demi satu kritisisme
postmodernistme lain, tanpa mengesampingkan kritisisme yang sangat spesifik dari setiap
teoretisi dari setiap postmodern. Bagaimanapun, hal diatas memberikan pembaca
pemahaman yang baik akan kritisisme tersebut. Disamping keabsahan setiap teori, para
pembaca didorong untuk lebih memahami istilah teoretisi tertentu dan ide mereka dari
pada generalitas secara keseluruhan. Lebih jauh apabila kritikan-kritikan seperti ini, hal
yang penting adalah postmodernisme bagaimanapun telah menghasilkan serangkaian ide
ide teoretis yang menarik penuh pengetahuan dan penting yang cocok untuk
mempengaruhi teori-teori sosial dimasa yang akan datang.
C. KESIMPULAN
Tidak banyak kritikus teori sosial postmodern yang mengkritik secara khusus
terhadap setiap teoritisi postmodern. Bagaimanapun pembahasan di atas telah memberikan
gambaran tentang jangkauan semua kritik terhadap teori sosial postmodern. Apapun
kebaikan semua kritik tersebut, persoalan utama disini adalah apakah teori sosial
postmodern telah menghasilkan serangkaian gagasan penting, mendalam dan menarik yang
akan memberikan pengaruh pada teori sosial di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Syania, Abdul. 2012. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi Aksara