Anda di halaman 1dari 30

POSTMODERNISME DAN PENDIDIKAN

Makalah Filsafat Pendidikan

Disusun Oleh :
Zahra Fitria Rosyadah
111111022
Kelas A

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
MARET 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karuniaNya kami masih diberi kesempatan untuk bekerja bersama
untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada
dosen mata kuliah filsafat pendidikan dan teman-teman yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin.

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada awalnya, terdapat sebuah ketidakpuasan terhadap modern yang
terkemuka

dan

postindustrial,

kata-kata

yang

postliberal,

sesuai

dengan

poststructural,

post

berkisar
dan

di

bahkan

postphilosophy- tetapi secara luas yaitu postmodern.


Beberapa observer mengatakan bahwa apa yang disebut dengan
postmodern itu secara sederhana merupakan bagian dari kata modern itu
sendiri, ketika beberapa yang lain diantaranya mengatakan sesuatu yang baru
dan berbeda.
Selain itu, proklamasi mengenai postmodern telah mengudara, dan
menimbulkan kebingungan : apakah kita memasuki sejarah baru mengenai
modern? Ataukah ini berarti bahwa sebuah perubahan dalam srtistik dan gaya
literal kedalam era modern itu sendiri? Apapun permasalahannya, kehebohan
para intelektual itu terjadi, dan butuh untuk dipelajari bagaimana hal tersebut
diramalkan.
Dalam makalah yang berjudul Postmodernisme dan Pendidikan ini
berusaha menghubungkan antara postmodernisme dengan sistem filsafat
manusia pada masa lalu dan bagaimana sistem tersebut diaplikasikan pada
dunia pendidikan.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
Apakah dasar filosofis yang mendasari pendekatan postmodernisme?
Apakah aspek filosofis dari pendekatan postmodernisme?
Bagaimana postmodernisme menjadi filsafat pendidikan?
Apa saja kritik terkait postmodernisme sebagai pendidikan?

1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
Mengetahui dasar filosofis yang mendasari pendekatan postmodernisme.
Mengetahui aspek filosofis dari pendekatan postmodernisme.
Mengetahui postmodernisme menjadi filsafat pendidikan.
Mengetahui kritik terkait postmodernisme sebagai pendidikan.

1.4. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah memberikan informasi mengenai
pendekatan postmodernisme, pendidikan, filsafat dan hubungan diantara
ketiganya.

Serta

memberikan

pengetahuan

postmodernisme dalam dunia pendidikan.

mengenai

aplikasi

BAB II
ISI

2.1. Postmodern Variety


Dalam The Ideologis of Theory (1988), Frederic Jameson mengatakan
bahwa postmodernism merupakan pertentangan konsep dan kebohongan
terhadap hubungannya dengan modern. Namun Jameson berargumentasi
bahwa faktor penting pada kedatangan postmodernism adalah kejadian awal
tahun 1960an, dimana kebenaran asumsi pada saat itu terbawa ke dalam
pertanyaan dan ekperimen yang bervariasi dalam gaya hidup offensive dan
menjadi terkemuka.
Frederic

Jameson

mengatakan

bahwa

karakteristik

dari

postmodernisme tersebut dapat dengan mudah diatributkan kepada era


modern tetapi beliau berargumen bahwa komponen terpenting di dalam era
postmodernisme adalah disaat timbulnya gejolak atau pergolakan dalam era
1960 dimana asumsi mengenai sebuah kebenaran disaat itu dipertanyakan.
Todd Gitlin pada tahun 1989 berpendapat bahwa istilah mengenai
postmodernisme biasanya diaplikasikan pada bermacam jenis atau variasi
yang berkaitan dengan ironi, kontingensi atau kemungkinan dan popularitas
akan sebuah budaya. Beberapa tokoh Eropa seperti Michel Focault, Jacques
Derrida, Jean Baudrillard, Jacques Lacan, dan Jean-Francois Lyotard
berpendapat bahwa postmodernisme berfokus pada perkembangan mengenai
nuklir, ketidakpastian terkait perekonomian, dan ketidakstabilan keadaan

politik dunia. Gitlin juga membedakan pandangan premodern, pandangan


modern, dan pandangan postmodern tersebut. Dimana pandangan premodern
merupakan sebuah kesatuan suara, sebagaimana pada jaman Renaissance atau
jaman kebangkitan berorientasi pada budaya yang tinggi. Sementara jaman
modern merupakan sebuah jaman yang masih diinspirasi oleh kesatuan suara,
tetapi munculnya perlawanan terhadap disintegrasi pada kesatuan yang lama
seperti kekuasaan terhadap agama. Pada era Postmodernisme merupakan
jaman pencarian kesatuan yang telah ditinggalkan. Gitlin berpendapat bahwa
sepertinya pada jaman postmodernisme merupakan sebuah jaman yang
tertarik pada serpihan-serpihan sisa atau residu.
Penampilan postmodernisme telah ditorehkan oleh para intelek Eropa,
seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, Jacques Lacan,
dan Jean-Francois Lyotard, dan diantaranya lebih fokus pada bagaimana cara
untuk hidup, merasakan, dan berpikir ditengah ekonomi dan politik yang
tidak stabil. Menurut Gitlin, Premodernism tercurahkan kedalam satu suara,
seperti dalam masa Renaissance ketika orientasi budaya secara klasik menjadi
pujaan terhadap budaya keseluruhan. Dalam postmodernism, bagaimanapun,
pencarian tentang kesatuan rupanya telah dibuang atau ditinggalkan.
Secara luas atau general, kesadaran postmodernism itu mempercayai
bahwa tidak ada satupun tradisi budaya atau cara berpikir yang dapat
menyediakan seperti metanarrative, merupakan suara yang universal untuk
semua pengalaman manusia. Tulisan-tulisan Lyotard lebih jauh berpendapat
bahwa dalam kondisi postmodern kita, salah satu pandangannya adalah

metanarrative eurosentris modern struktur rasional yang universal yang


berfungsi sebagai tolok ukur terhadap pemahaman terkait dengan apa yang
baik, apa yang benar dan apa yang cantik.
Di Amerika, yang paling terkenal pragmatis dan memproklamirkan
diri postmodernis adalah Richard Rorty. Seorang filsuf analitik, Rorty
berpendapat bahwa menggabungkan Willard Van Orman Quine 's kritik
analitik-sintetik perbedaan dengan Wilfrid Sellars' s kritik tentang "Mitos
tentang adanya" diperbolehkan untuk ditinggalkannya pandangan pikiran atau
bahasa sebagai cermin sebuah realitas atau dunia luar. Serangan Rorty dalam
Philosophy and the Mirror of Nature (1979), ketika dia mendeklarasikan
bahwa filosofi secara sederhana tidak dapat melayani, seperti pada objektif
mirror of

Nature melanggar dimana sekuruh pengetahuan menyatakan

bahwa semua terukur.


Jika pendidikan telah berpengalaman dalam penelitian postmodernism
secara cermat, mungkin

sumber kekuatan yang paling kuat berasal dari

pengikut teori kritik, meskipun

hal ini semata-mata tidak terbatas pada

sumber tersebut. Satu keistimewaa yang ditawarkan oleh Aronowitz dan


Giroux adalah pendekatan radikal mengenai pendidikan dan demokrasi untuk
menggantikan gaya lama yang ditemukan di moderal science, dan positivisme
filosofi. Sebagai perbaikan, Aronowitz dan Giroux mempromosikan sebuah
kurikulum dimana termasuk pengetahuan marginal dan ceramah tentang
perbedaan, terutama sekali seputar gender, RAS, etnik, dan identitas kelas.

2.2. Postmodernisme dan Filosofi


Kebanyakan

orang-orang

postmodernis

lebih

memilih

untuk

menggunakan kata word daripada philosophy karena mereka ingin


menjauhkan metanarrative yang bersifat tradisional dan kesalahan pemilahan
antara ranah pengetahuan, garis batas antara memajukan disiplin akademik.
Kesadaran postmodernism yang menolak respond negative dari
Behaviorism terhadap pandangan objektivitas dan pengurangan terhadap
intensitas manusia dan aksi teknologi terhadap perilaku. Postmodernism juga
merespon secara negative pendekatan filosofi analitik karena daya tariknya
antara positivisme dan objektivisme. Namun, postmodernisme menanggapi
secara positif sensitivitas filosofi analitik tentang bahasa, terutama dalam
Ludwig Wittgenstein, dimana ia melihat bahasa mempunyai kegunaan yang
banyak dan banyak makna yang terkait.
Bagian yang paling penting, filosofi modern memberikan ide dari
begitu

banyak

tokoh-tokoh

postmodernisme,

meskipun

terdapat

ketidaksetujuan dan kemunduran untuk diyakini. Dengan latar belakang


dalam pikiran, hal ini mungkin lebih baik mengerti mengenai konteks dari
filosofis modern, karena mereka sama-sama mengadopsi dan mengkritisi
elemen-elemen dari pendahulu-pendahulunya.

2.3. Postmodernisme dan Latar Belakang Eropa


Meskipun postmodernism tersebut awalnya dipakai oleh orang-orang
Amerika, namun kebanyakan ide daripostmodernisme itu sendiri berasal dari

filosofis Eropa, terutama dari orang Prancis. Banyak filosofis yang


berkontribusi dalam elemen postmodernism. Seperti contoh Michel Faucoult
dan Jacques Derrida.
Michel Faucoult (1926-1984)
Postmodernisme lebih dikenal sebagai gerakan pemikiran dan
bukan merupakan suatu teori perubahan sosial, namun, analisis dan kritik
Postmodernisme terhadap proyek modernisme termasuk kritik. Michel
Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam
gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori
kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang
sangat berbeda dengan teori-teori kritik lainnya.
Pada

tahun

1980,

Foucault

diidentikkan

dengan

gerakan

Postmodernisme, yaitu ketika ia menuangkan pemikirannya dalam


beberapa tulisan, yaitu diantaranya The Order of Things, The Archeology
of Knowledge, Dicipline and Punish, Language, Counter Memory,
Practise, The History of Sexuality dan Power Knowledge. Analisisnya
yang terkait dengan discourse, power dan knowledge merupakan
sumbangan yang besar terhadap kritik pembangunan. Menurutnya
diskursus pembangunan merupakan alat untuk mendominasi yang
dilakukan oleh Dunia Pertama kepada Dunia Ketiga. Selama empat dekade
terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi yang dominan dan
digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah keterbelakangan
yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi, dalam kenyataannya

keterbelakangan masyarakat tersebut adalah diakibatkan oleh kolonialisme


yang berkepanjangan. Dengan dilontarkannya diskursus pembangunan
tersebut maka tidak saja melanggengkan dominasi dan eksploitasi di
negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut justru juga
menjadi media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di
negara Dunia Ketiga terhadap ideologi kapitalis.
Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis
diskursus untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik
pengetahuan.

Analisisnya

terhadap

kekuasaan

dan

pengetahuan

memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah


mampu

melanggengkan

dominasi

terhadap

kaum

marjinal.

Ia

mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan


tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting
tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam
karyanya tentang A Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi,
2006), Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern
pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu,
menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu
adalah serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan
dominasi. Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara
bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan
bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada
satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection

(bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti


pasien pada psikiater).
Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk
membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola
transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan
akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan.
Menurut pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai
bentuk

power

tersebut

maka

akan

terjadi

kegagalan.

Untuk

melipakgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan


jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence
tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan
totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan
strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan,
kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan
perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok,
kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge
strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan
kelompok tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat.
Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan diskursus dan
bekerjanya kekuasaan (power) pada pengetahuan sangat membantu para
teoritisi dan praktisi perubahan sosial untuk melakukan pembongkaran
terhadap teori dan praktek pembangunan. Hal ini perlu diperhatikan karena
tanpa menganalisis pembangunan sebagai suatu diskursus, maka akan sulit

untuk memahami bagaimana Negara Barat mampu melanggengkan kontrol


secara sistematik dan bahkan menciptakan ketergantungan negara Dunia
Ketiga secara politik, budaya dan sosilogi kepada Negara Barat tersebut.
Meskipun underdevelopment adalah formasi sejarah yang riil, tetapi hal
tersebut telah melahirkan praktek dominasi terhadap Dunia Ketiga. Sejarah
dominasi tersebut telah terjadi sejak abad penaklukan dunia baru hingga
saat ini. Sebelum tahun 1945, strategi dominasi dilakukan dengan
menggunakan diskursus dunia terbelakang, dan pada era pasca
kolonialisme dengan mendirikan IBRD, tahun 1940an dan 1950an
dominan dilakukan dengan diskursus pembangunan. Negara kaya, dengan
kekayaan dan teknologinya, merasa mampu untuk menyelamatkan
kemajuan dunia dengan menciptakan Marshall Plan, yang ditujukan untuk
menjadikan negara miskin menjadi kaya, keterbelakangan berubah
menjadi pembangunan.
Organisasi internasional diciptakan untuk tujuan tersebut, yang
diperkuat dengan pengetahuan ekonomi baru dan diperkaya dengan desain
sistem manajemen yang canggih, sehingga membuat mereka menjadi
yakin akan keberhasilannya. Dalam aplikasi dan kenyataan yang ada di
negara Dunia Ketiga, telah terjadi intervensi yang mendalam atau
terbentuk kekuasaan dan kontrol baru yang sangat halus baik dalam bidang
ekonomi, politik, sosial dan bidang lainnya. Dengan kata lain, Dunia
Ketiga menjadi target dari kekuasaan dalam berbagai bentuk dari lembaga
kekuasaan baru Amerika dan Eropa, lembaga internasional, pemodal besar

(perusahaan transnasional) sehingga dalam beberapa tahun telah mencapai


ke semua lapisan masyarakat. Dan ketika pembangunan mengalami krisis,
diskursus baru telah dilontarkan, yaitu globalisasi, untuk melanggengkan
subjection, dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Negara Barat
terhadap Dunia Ketiga.
Sumbangan terbesar Foucault terhadap teori dan praktek perubahan
sosial adalah membuat teori ini lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan
dominasi dan menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power)
teranyam disetiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi, dan ini
bertentangan dengan umumnya kenyataan ilmu sosial yang cenderung
mengabaikan kekuasaan dalam dunia ilmu pengetahuan, dan asumsi
bahwa pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa. Kecenderungan
memandang bahwa kekuasaan hanya terpusat di negara ataupun kelas, bagi
Foucault merupakan pengingkaran kenyataan, karena relasi kekuasaan
terdapat pada setiap aspek kehidupan. Konsep tentang kekuasaan (power)
ini memberikan pengaruh besar tentang bagaimana aspek dan pusat lokasi
dari kekuasaan serta bentuk perjuangan untuk membatasi dan bagaiana
berbagai kekuasaan. Jika umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara
dan kelas elit, pemikiran Foucault membuka kemungkinan untuk
membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan, seperti kekuasaan
dalam pengetahuan antara para pencipta diskursus, birokrat, akademisi,
dan rakyat miskin jelata yang tidak beradab yang harus disiplinkan,
diregulasi dan dibina (Mansour Fakih, 2002).

Dalam artikelnya tentang relevansi karya Foucault bagi kajian


Dunia Ketiga, Escobar (dalam Muhadi Sugiono, 1999) mencatat bahwa
sekurang-kurangnya ada tiga strategi utama lewat mana doktrin dan teori
pembangunan dianggap berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan disiplin,
yaitu normalisasi mekanisme. Strategi pertama disebut inkorporasi
progresif problem, yaitu teori-teori dan doktrin-doktrin pembangunan
memuat berbagai problem yang harus mereka sembuhkan, artinya
munculnya teori dan doktrin tersebut didahului dengan penciptaan problem
pembangunan, yaitu abnormalisasi, dan mereka selipkan dalam domain
pembangunan, sehingga memberikan justifikasi bagi para penentu
kebijakan dan ilmuwan Negara Barat untuk melibatkan dan mencampuri
urusan domestik negara Dunia Ketiga.
Strategi kedua disebut profesionalisasi pembangunan, yaitu
problem pembangunan atau abnormalisasi setelah dimasukkan ke dalam
domain pembangunan, maka menjadi masalah teknis dan terlepas dari
persoalan politis, sehingga dianggap lebih bebas nilai dan merupakan
bahan penelitian ilmiah. Dengan demikian problem pembangunan telah
diprofesionalisasi melalui kontrol pengetahuan. Strategi ketiga disebut
institusionalisasi pembangunan, yaitu doktrin-doktrin dan teori-teori
pembangunan diberlakukan untuk berbagai level organisasi atau institusi,
baik lokal, nasional maupun internasional, dan kesemua itu merupakan
jaringan dimana hubungan baru kekuasaan pegetahuan telah terjalin
dengan rapi dan sangat kuat. Ketiga strategi tersebut menunjukkan

bagaimana pemberlakuan doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan


sebenarnya hanya untuk melayani kepentingan Negara Barat (Amerika
Serikat) sebagai kekuasaan hegemoni dalam tatanan internasional pasca
Perang Dunia Kedua dan bukan untuk kepentingan negara-negara Dunia
Ketiga yang menjadi sasaran doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan
tersebut.
Jacques Derrida (b. 1930)
Jacques Derrida (1930-2004) adalah pendiri "dekonstruksi," cara
mengkritik tidak hanya baik sastra dan teks-teks filosofis, tetapi juga
lembaga-lembaga politik. Walaupun kadang-kadang Derrida menyatakan
penyesalannya mengenai nasib kata "dekonstruksi," popularitasnya
menunjukkan yang luas pengaruh pikirannya, dalam filsafat, dalam kritik
sastra dan teori, dalam seni dan, khususnya, teori arsitektur, dan dalam
teori politik. Bahkan, ketenaran Derrida hampir mencapai status bintang
media, dengan ratusan orang memenuhi auditorium untuk mendengarnya
bicara, dengan film dan program televisi mengabdi kepadanya, dengan
berbagai buku dan artikel yang ditujukan untuk pemikirannya. Di samping
kritik, Derridean dekonstruksi terdiri dalam upaya untuk kembali
memahami perbedaan yang membagi refleksi diri (atau diri-kesadaran).
Tapi bahkan lebih dari re-konsepsi tentang perbedaan, dan mungkin lebih
penting lagi, karya-karya dekonstruksi terhadap mencegah kekerasan
terburuk. Memang, dekonstruksi yang tanpa henti dalam pengejaran ini
karena keadilan adalah mustahil untuk dicapai.

Argumentasi dasar Derrida selalu berusaha untuk menunjukkan


bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memisahkan singularitas tak
tergantikan dan mesin-seperti pengulangan (atau "iterability," seperti
Derrida sering mengatakan) menjadi dua zat yang berdiri di luar satu sama
lain dan juga tidak ada yang mampu mengurangi satu untuk yang lain
sehingga kita akan memiliki satu substansi murni (dengan atribut atau
modifikasi). Mesin-seperti pengulangan dan tak tergantikan singularitas,
bagi Derrida, adalah seperti dua kekuatan yang menarik satu sama lain
melintasi batas yang tak jelas dan dibagi. Kant tentu saja membuka
kemungkinan cara ini berfilsafat: berdebat kembali, Derrida kemudian
selalu tertarik pada kondisi dasar yang diperlukan dan pengalaman.

2.4. Tantangan Neo Pragmatisme


Telah baru-baru ini menyatakan bahwa telah terjadi kebangkitan
filsafat pragmatisme di masyarakat. Tidak hanya memiliki banyak buku dan
artikel tentang pragmatisme telah diterbitkan dalam beberapa dekade, tetapi
para pemikir terkenal di seluruh tradisi filsafat telah memeluk atau setidaknya
mendukung aspek-aspek itu, pemikir mulai dari Quine, Putnam dan Rorty
untuk Habermas, Eco dan Apel. Namun demikian, sementara di satu sisi
renaisans

klaim

ini

benar,

itu

menyesatkan,

menyesatkan,

karena

pragmatisme telah bersama kami terus-menerus sejak Peirce dikatakan telah


menciptakan istilah di tahun 1870-an. Dewey Russell dan meriah terlibat
dalam perdebatan mengenai epistemologi, logika dan kebenaran sepanjang

sepertiga pertama abad ke-20; Quine pragmatisme diperjuangkan melalui


merek nya naturalisme selama lima puluh tahun. Habermas, dan Apel telah
menganjurkan prinsip pragmatisme dalam beberapa bentuk atau lainnya sejak
tahun 1960-an. Jadi, sementara pragmatisme sebagai tradisi filsafat, atau
mungkin sekolah, telah banyak dibayangi sepanjang abad ke-20 oleh tradisi
dan sekolah-sekolah lain (misalnya, empirisme logis, analisis bahasa biasa,
fenomenologi, strukturalisme, teori kritis), belum absen dan belum
uninfluential. Lebih jauh lagi, sementara pragmatis sering berfokus pada isuisu seperti epistemologi kebenaran dan pengetahuan, mereka juga - yang
paling terutama Kwek - ditujukan keprihatinan sosial dan filsafat politik.
Dalam beberapa alasan, kunci tema postmodernism itu menggaungkan
apa pragmatisme yang sedang dikatakan sebagai pertempuran dalam abad 19
terakhir dan awal abad 20an. Ketika para neopragmatism berbagi tentang
persetujuannya dengan outlook postmodernism, mereka juga tidak setuju
dengan beberapa tema. Mungkin hanya semua varietas dari postmodernism,
tapi juga mengindikasikan bahwa pragmatism

mempunyai featuresnya

sendiri yang memberikan keunikan pada filosofikal.


Bernstein (1992) menguji variasi pada perspektif filosofi modernismpostmodern dan kesulitan-ksulitan dalam mencari titik temu untuk
menghubungkan apa yang dilihat sebagai kebutuhan kontemporer etnis
politik. Postmodern lebih terkesan menabrak filsafat yang telah diajarkan dan
memotong humanism tradisional seperti yang telah dilakukan Foucault dan
Derrida. Bernstein tidak menginginkan adanya substantive consensus filosofi

dimana sekolah mengajarkan tangan yang terangkat, daripada konfrontasi dan


pengembangan dialeg diri.
Richard Rorty yang merupakan pengembang postmodern menyatakan
keraguan, dalam two cheers for cultural left, dia menyatakan bahwa
masyarakat di Amerika tidak masuk akal daripada menunjukkan bagaimana
pengkhianatan tradisi demokrasi. Dalam keinginan mereka untuk merevolusi
masyarakat daripada membentuk ulang, kaum radikal kiri sangat takut dengan
keterlibatan borjuis liberal yang telah melupakan impotensi politik.
Seperti yang dapat terlihat, filsafat postmodern bukanlah sebuah nama
untuk perkembangan yang mandiri atau bagian dari penyatuan perspektif
filsafat, seperti mencerminkan pernyataan dari William James yang
menyatakan bahwa kesadaran manusia dapat meledak atau kebingungan.
Namun metafora yang membawa pemikiran yang cerah dan pembayangan
akan bunga dan lebah, menjadi sulit untuk membayangkan postmodern dalam
pemikiran manusia. Seperti, kesadaran akan ketidak bahagiaan, mood atau
pemetaan pikiran tanpa mendefinisikan arah atau tujuan.

2.5. Filosofi Postmodern dan Pendidikan


Keberagaman

adalah

karakteristik

dari

filosofi

postmodern

pendidikan., meskipun elemen yang terkuat berasal dari teori kritikal Marxist.
Peter

McLaren

telah

mengembangkan

pendekatan

etnografis

yang

menyerupai tokoh bernama giroux. McLaren menyebuat pendekatan ini


dengan critical pedagogy. Tokoh Lain dalam postmodern adalah Cleo

Cherry-holmes, yang mengembangkan pragmatisme kritik poststructuralis.


Kemudian C.A Bowers, yang menjauhkan dirinya dari teori kritik dan
menjunjung postliberalisme. Bermacam-macam kontributor pendidikan
postmodern, seperti William Staenly, yang bergabung dalam pedagogy kritik
postmodern untuk melakukan tradisi rekonstruksi sosial dalam dunia
pendidikan, tapi kerja para tokoh di atas merepresentasikan keberagaman
postmodern dalam filosofi pendidikan.
Bagian terpenting dari literatur pendidikan postmodernisme telah
dihasilkan dari perspektif teori kritik. Terdapat elemen-elemen kuat dari
Marxism dalam teori kritik. Akan tetapi kecurigaan postmodern pada
metanaratif juga mengarah pada pemikiran Marxist, oleh karena itu teori
kritik postmodern telah membuat beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Perhitungan Henry Giroux terhadap perubahan disajikan sebagai sebuah
ilustrasi. Dalam Border Crossings (1992), Giroux memuji Samuel Bowles
dan Herbert Gintis menguatkan pendidikan radikal di akhir tahun 1970 an
dengan interpretasi pendidikan Marxist sebagai sebuah bentuk reproduksi
sosial. Akan tetapi Giroux berpendapat, penting untuk mengerti tradisi
marxist untuk mengembangkan kritik yang efektif dari modernisme,
meskipun bahkan tetap penting untuk menghindari pemahaman tentang
Marxist secara keseluruhan.
Dari perspektif Giroux, tugas filosofikal adalah untuk memikirkan
kembali tujuan dan arti dari pendidikan sebagai pusat dari pandangan
modernisme dan postmoderisme. Di sisi lain, Giroux menginginkan untuk

mempertahankan kepercayaan pandangan modernisme dalam pemikiran


manusia untuk melenyapkan penderitaan (tanpa pretensinya untuk kesatuan)
dan titik beratnya secara etika, histori dan diskursus politik.
Michael Apple ingin mengambil pengecualian dari

kesimpulan

Giroux tentang neo-Marxism. Apple menyatakan jika kelas lebih signifikan


ketimbang pengetahuan postmoderisme. Selain itu gender dan persaingan
tidak dapat dipisahkan dari kelas. Sebagai contoh, dalam Pengetahuan resmi
Apple menuliskan jika faktor signifikan dari beberapa masyarakat AS yang
terpinggirkan adalah karena persentase pendapatan yang rendah dan
pengangguran yang besar, yang umumnya wanita dan orang-orang berwarna
kulit hitam. Ini menunjukkan jika persaingan dan gender tidak terpisah dari
kelas, dan postmodernis gagal mengenali hal ini.
Peter McLaren menuliskan, teori-teori kritik sudah umum. Seperti
latar belakang Marxist, ada pula sebaran yang nampak antara perbedaan
pendekatan teori Aronowitz dan Giroux dan pendekatan etnografi McLaren.
Cleo Cherryholmes lebih condong pada pola poststructuralisme daripada
postmoderisme, hal ini dikarenakan dia melihat srukturalisme sebagi mayor
untuk melenyapkan pendidikan modern. Sebuah argumen yang ia
kembangkan dalam Power and Critism: Poststructural Investigation in
Education (1998), strukturalisme merupakan bentuk dari positivisme dengan
akarnya dalam tradisi pencerahan kontrol rasional untuk masalah-masalah
manusia.

Pemikiran poststrukturalis versi Cherrylholmes, berkebalikan dengan


Foucault dan Derrida untuk menganalisis asumsi strukturalisme. Ada
kebutuhan untuk mengarah melebihi negasi, akan tetapi

Cherryholmes

menggunakan elemen Dewey dan Rorty untuk mengembangkan apa yang dia
sebut critical pragmatisme sebagai respon yang mungkin untuk asumsi
strukturalisme dalam pendidikan. Dia membedakan kritik pragmatis dari
vulgar

pragmatisme

yang

tidak

kritis

menerima

wacana-wacana

konvensional dan menggunakan pendidikan tujuan yang fungsional.

2.6. Tujuan Pendidikan


Henry Giroux menekankan jika etika seharusnya menjadi pusat
perhatian untuk mengkritik pendidikan, secara nyata perbedaan antara wacana
etika yang menawarkan para murid pengertian yang lebih mendalam dan
yang membantu mereka menghubungkan perbedaan ke dalam lingkungan
yang lebih luas. Ini juga membantu murid-murid memahami bagaimana
pengalaman individu dipengaruhi perbedaan wacana etika dan hubungan
etika terbentuk antara diri sendiri dan orang lain, termasuk orang lain yang
memiliki perbedaan suku, latar belakang dan perspektif.
Wacana sosial adalah pemikiran yang krusial. Dalam Border Crossing,
Giroux menyatakan bahwa teori kritik postmoder melihat pada makna sebagai
hal yang penting dari menghasilkan buruh dalam membentuk batasan-batasan
eksistensi manusia.

2.7. Kurikulum
Umum dibicarakan, postmodernisme memegang teguh bahwa
kurikulum tidak seharusnya dipaparkan sebagai subjek yang berlainan dan
disiplin. Kurikulum seharusnya melibatkan isu-isu kekuatan sejarah, identitas
personal dan grup, budaya politik dan membawa kritik sosial untuk tindakan
kolektif.
Aronowitz dan Giroux telah memperlakukan secara luas debat antara
pendidikan dengan konservatif, liberal dan radikal dalam Education Under
Siege (1985) dan dalam Postmodern Education (1991). Mereka menuliskan
sebuah agresif konservatisme di era tahun 1980an yang mengambil inisiatif
dalam pendidikan, satu dari definisi ulang kurikulum dengan membayar
perang budaya di sekolah-sekolah untuk melawan liberal ide-ide yang
tertinggal. Konservatif dimengerti oleh sekolah-sekolah sebagai sebuah sisi
politis yang dapat digunakan untuk membantu membuat ide-ide mereka
dominan lintas budaya. Sebagai contoh, Allan Bloom dalam The Closing of
the American Mind (1987) mempromosikan murid-murid kedalam kurikulum
pendidikan yang lebih tinggi, dalam bahasanya sendiri, untuk menjadi
universal dan imperialistik.
Sebuah aspek penting kurikulum dari perspektif kritik pedagogy
adalah inklusi pengalaman sederhana para murid sebagai bagian legitimasi
kurikulum. Pandangan kurikulum termasuk kompetensi identitas, tradisi

budaya dan pandangan politik para murid. Hal tersebut menolak untuk
mengurangi isu-isu kekuatan, keadilan dan kesetaraan.
Dari perspektif kritik postmodernisme kemudian isu dalam kurikulum
tidak sesederhana argumen atau melawan pembangunan pengetahuan tapi
membentuk

kembali

makna

dari

penggunaan

pengetahuan.

Umum

dibicarakan, kritik pedagogy memperluas kebutuhan untuk memutus batasan


disiplin tradisional dalam maksud pendekatan interdisipliner.
Mungkin jalan yang terbaik dalam menyatakan itu semua adalah
kebutuhan untuk menciptakan sebuah konsepsi pengetahuan yang tidak
tergantung pada batasan disiplin. Ini hampir sama seperti apa yang
direkomendasikan para tokoh pragmatis, khususnya pada beberapa tindakan
progresif dalam pendekatan masalah di kurikulum, dimana pengetahuan
diambil dari berbagai macam disiplin dan terintegrasi kedalam masalahmasalah dan isu yang khusus.

2.8. Intelektual Transformatif


Giroux (2008) berpendapat bahwa cara kita mendefinisikan peranan
guru dalam masyarakat menentukan cara di mana kita mengonstruksi tatanan
masyarakat. Kita mesti memahami kembali peranan para guru sebagai
intelektual

transformatif

dan

terlibat

(engaged

and

transformative

intellectuals). Ini berarti kita mencoba memandang guru sebagai profesional


yang mampu dan mau merefleksikan prinsip-prinsip ideologis yang menjadi
pandu bagi praksis mereka, yang menghubungkan teori pedagogi dengan

persoalan sosial yang lebih luas, melatih kekuatan yang mereka miliki untuk
menguasai kondisi pekerjaan mereka. Dengan cara ini, guru mengembangkan
visi pembangunan tata masyarakat baru, yaitu, sebuah visi tentang kehidupan
yang lebih baik dan manusiawi melalui pendidikan dan pengajaran yang
mereka berikan. Pandangan ini lebih memosisikan peranan guru sebagai
pelaku perubahan dalam masyarakat. Pandangan guru tentang masyarakat
inilah yang menentukan bagaimana guru melaksanakan tugasnya sebagai
pelaku perubahan.
Agar menjadi pelaku perubahan, guru tidak dapat melestarikan
pandangan dan paradigma pendidikan yang sifatnya daur ulang dan atau
sekedar meneruskan pandangan yang dibawa oleh pasar. Demikian juga, guru
tidak bisa sekedar memberikan ketrampilan bagi siswa agar memiliki sikap
kritis terhadap situasi sosial di mana mereka tinggal. Di sini, pandangan guru
tentang siapa individu siswa menjadi penting, sebab akan memengaruhi
bagaimana ia bekerja sebagai pelaku perubahan. Individu adalah mahluk yang
bebas dan memiliki kemampuan untuk terlibat dalam menentukan dirinya,
sehingga dengan demikian mereka dapat menjadi pelaku sejarah.
Guru mesti berani mulai mengembangkan paradigma baru yang
inspirasi dasarnya adalah nilai-nilai demokratis yang prinsip dasarnya adalah
partisipasi tiap individu dalam pengaturan tata kehidupan masyarakat. Hanya
melalui inspirasi demokratis inilah terdapat jaminan bahwa setiap warga
dalam masyarakat memiliki hak dan persamaan dalam menata hubungan
sosial, politik, dan ekonomi antar mereka. Keterlibatan dan partisipasi aktif

tiap individu dalam berdemokrasi memungkinkan terwujudnya keadilan,


dilindunginya hak-hak kelompok minoritas dan jaminan bagi mereka yang
kurang beruntung agar mereka dapat tetap terlibat aktif dalam kehidupan
masyarakat.
Tanpa ada keadilan dan persamaan dalam mengenyam pendidikan,
lembaga

pendidikan

hanya

akan

melestarikan

ketimpangan

dan

mengelompokkan orang-orang miskin menjadi bagian pasif dan beban bagi


masyarakat. Sekali lagi, gagasan guru tentang individu sangatlah penting,
sebab pandangan yang tidak adekuat terhadap individu justru bisa
memandulkan kinerja tranformatif guru itu sendiri. Contoh, kalau guru
menganggap bahwa orang miskin itu hanya pantas mengenyam pendidikan
SMK, dia akan mengarahkan anak-anak orang miskin itu ke SMK, agar
segera dapat memperoleh pekerjaan, tanpa memperdulikan apakah pekerjaan
itu merupakan pekerjaan bermakna, atau tanpa peduli bahwa setiap individu
berhak menggantungkan cita-citanya setinggi langit tanpa dibatasi oleh
keinginan terbatas sang guru.
Gagasan dasar inspirasi demokrasi dalam pendidikan adalah
kepercayaan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk terlibat
dalam pembangunan masyarakat. Individu bersama komunitas membangun
diskursus dan praksis dalam kehidupan bersama yang saling menumbuhkan,
bukan saling menindas atau mendominasi satu sama lain. Ada keseimbangan
dan keadilan dalam memaknai peranan masing-masing dalam kebersamaan
yang sifatnya konstruktif dan penuh rasa hormat. Dalam konteks inilah guru

memiliki peranan sangat sentral dalam menanamkan inspirasi demokratis ini


pada setiap siswa agar kelak ketika mereka terjun dalam masyarakat, mereka
dapat terlibat secara aktif dan produktif. Dengan demikian mereka dapat
menyumbangkan potensi pembentukan masyarakat baru yang lebih
manusiawi, adil dan memberikan rasa aman dan damai bagi anggota
masyarakat tersebut.
Tugas utama guru sebagai pelaku perubahan bukanlah sekedar
mengubah

perilaku

siswa

di

sekolah

menjadi

lebih

baik

dan

bertanggungjawab, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, melainkan


lebih dari itu, dari perubahan perilaku individu menuju visi rekonstruksi
sosial perbaikan masyarakat melalui pengajaran dan pembelajaran.

2.9. Kritik Terhadap Pandangan Postmodernisme


Postmodernisme sebuah gagasan tentunya tidak lepas dari pedebatan
ada yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah kelanjutan dari
modernisme itu sendiri dan yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah
krtitik terhadap modernisme. Bagi penulis memilih untuk berpihak pada kubu
kedua bahwa kehadiran postmodernisme adalah kritis terhadap arus
modernisme yang telah membawa manusia pada rimba yang di mana manusia
tidak dapat menemukan tepi rimba tersebut.
Penekanan pada wacana sosial menambah kuat dimensi moral oleh
keterlibatan pelajar dari sistem terpusat kearah marginal yang tujuannya tidak
untuk mendoktrin dalam satu budaya tetapi untuk mengembangkan identitas

pribadi dan sosial berdasarkan pemahaman yang mendalam tentang


perbedaan budaya.
Pandangan postmodernisme diterapkan tidak hanya pada budaya
tetapi juga untuk lingkungan, dan kepekaan terhadap ekologi merupakan
dimensi tambahan untuk mengembangkan tanggung jawab sosial. Pandangan
postmodern terhadap pendidikan memberikan janji untuk mendorong rasa
tanggung jawab pribadi, sosial, dan ekologi yang hilang dari perspektif
pendidikan lainnya.
Perhatian yang diberikan pada pendidikan politik yang alamiah
merupakan kekuatan lain, tapi hubungan antara pendidikan dan politik telah
diketahui sejak lama. Republic plato merupakan contoh awal dari penggunaan
pendidikan sebagai akhir dari politik, dan teori marxis dipromosikan sebagai
pandangan politik pendidikan. Akan tetapi penekanan postmodern dalam
politik perbedaan merupakan gabungan untuk mengamati kurikulum sebagai
budaya politik. Perhatian yang diberikan pada sifat politik sekolah dan
hubungan kekuasaan dalam proses pendidikan memberikan beberapa
wawasan baru yang penting. Mereka menjelaskan bagaimana identitas pribadi
dan sosial yang terbentuk tidak hanya dalam mengerahkan dominasi dari
mereka, tetapi dengan kekuatan narasi yang halus dalam kurikulum dan
struktur sekolah. Pemahaman yang baru diperoleh dari pemahaman ini dapat
membantu membebaskan pelajar untuk lebih memadai dalam bidang
pendidikan, seperti halnya membantu pendidik untuk lebih peka terhadap
dimensi yang lebih luas.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Aliran postmodernisme menurut Frederic Jameson merupakan
pertentangan konsep dan kebohongan terhadap hubungannya dengan modern.
karakteristik dari postmodernisme tersebut dapat dengan mudah diatributkan
kepada era modern dimana asumsi mengenai sebuah kebenaran disaat itu
dipertanyakan. Postmodernisme berfokus pada perkembangan mengenai
nuklir, ketidakpastian terkait perekonomian, dan ketidakstabilan keadaan
politik dunia. Secara luas atau general, kesadaran postmodernism itu
mempercayai bahwa tidak ada satupun tradisi budaya atau cara berpikir yang
dapat menyediakan seperti metanarrative, merupakan suara yang universal
untuk semua pengalaman manusia.
Keberagaman

adalah

karakteristik

dari

filosofi

postmodern

pendidikan, meskipun elemen yang terkuat berasal dari teori kritikal Marxist.
Pendidikan menurut postmodernisme menekankan jika etika seharusnya
menjadi pusat perhatian untuk mengkritik pendidikan, secara nyata perbedaan
antara wacana etika yang menawarkan para murid pengertian yang lebih
mendalam dan yang membantu mereka menghubungkan perbedaan ke dalam
lingkungan yang lebih luas.

Salah satu kritik yang dilotarkan terhadap postmodernisme yaitu


terdapat perdebatan yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah
kelanjutan dari modernisme itu sendiri dan ada pula yang mengatakan bahwa
postmodernisme adalah krtitik terhadap modernisme. Namun, kelebihan atas
kehadiran postmodernisme adalah kritis terhadap arus modernisme yang telah
membawa manusia pada rimba yang di mana manusia tidak dapat
menemukan tepi rimba tersebut. Pandangan postmodernisme diterapkan tidak
hanya pada budaya tetapi juga untuk lingkungan, dan kepekaan terhadap
ekologi merupakan dimensi tambahan untuk mengembangkan tanggung
jawab sosial. Pandangan postmodern terhadap pendidikan memberikan janji
untuk mendorong rasa tanggung jawab pribadi, sosial, dan ekologi yang
hilang dari perspektif pendidikan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ozmon, H&Craver, S.M. 1995. Philosophical Foundations of Education. New


Jersey: Prentice Hall, Inc.

Anda mungkin juga menyukai