NIM : 1781011003
Prodi : S2 Pariwisata Udayana ( Sosiologi Pariwisata )
Dapat digambarkan dimana interaksi dalam pariwisata yaitu masyarakat sebagai host
dengan tourist dan dalam sosiologi interaksi yang terjadi antar institusi yang terjadi diberbagai
ranah. Hubungan yang konkrit keduanya dapat dilihat bagaimana pariwisata sebagai objek dalam
mengembangkan teori yang terjadi dilapangan agar kedepannya teori tersebut lebih bermakna.
Dalam sosiologi yang mengkaji masalah masalah kepariwisataan dalam berbagai aspeknya atau
kajian tentang kepariwisataan dengan menggunakan perspektif sosiologi, yaitu penerapan
prinsip, konsep, hukum, paradigma, dan metode sosiologis di dalam mengkaji masyarakat dan
fenomena pariwisata.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari lebih jauh mengenai manusia, yang mana
berkontribusi besar terhadap ilmu pariwisata, pendekatan yang dilakukan banyak menggunakan
pendekatan sosial karena pariwisata akan bersinggungan langsung dengan manusia sebagai objek
ataupun sebagai subjek itu sendiri.
4. Eksistensi Bali sebagai pariwisata dunia, yang paradoks dan jelaskan contoh kasus
paradoks di Bali
Secara garis besar paradoks adalah sesuatu yang dianggap benar dan dapat dijadikan sebuah
kesimpulan, atau suatu yang muncul dari berbagai premis yang diakui kebenarannya tetapi
premisnya tidak sepenuhnya benar. Eksistensi bali sudah dikenal sejak lama dengan gambaran
bali penuh gairah, dan pesona dimana itu merupakan aset dari pariwisata bali. Kebudayaan Bali
yang diwarnai pernik-pernik yadnya menawarkan keramahan orang Bali. Keterpaduan antara
upacara, kesenian, dan pemandangan yang hijau menggambarkan ciri dari kebudayaan bali. Dari
sebuah buku yang terkenal berjudul “Bali Yang Hilang” oleh Yudhis (2008) menjelaskan
fenomena paradoks yang terjadi oleh datangnya pendatang dan berbagai etnis di bali yang mana
kita sebagai masyarakat lokal bali secara tidak sengaja mengamini paradoks budaya induk dan
budaya jalanan. Budaya induk digambarkan merupakan tradisi yang telah mapan dalam kultur
dan struktur yang hidup dan berkembang melalui sekaa-sekaa fungsional, banjar, dan desa
pakraman. Lembaga-lembaga adat ini dipandang citra kemapanan, seperti antara lain keamanan
dan kedamaian termasuk ketenteraman merupakan kondisi-strategi-upaya, situasi dan keadaan
mana pariwisata Bali bersandar.
Sebaliknya, budaya jalanan merupakan anak turunan dari budaya induk berupa “anak yang tidak
diharapkan” (unwanted children) karena memiliki sifat-sifat yang tidak sama, bahkan secara
normatif dianggap menyimpang dari budaya induknya yang dianggap baku, formal, dan mapan.
Pariwisata Bali dipertaruhkan karena pariwisata lebih ditempatkan pada posisi ideologis, yakni
seni bertahan hidup dan pengumpulan kekayaan, baik bagi penduduk asli maupun pendatang.
Pada dasarnya ini merupakan dampak dari proses modernisasi dan globalisasi yang memang
tidak dapat terhindari. Ini juga yang mendorong terjadinya estetisasi dan komodifikasi kehidupan
secara meluas, karena itu “perang” antara idealisme dan materialisme tidak dapat dihindari.
Perubahan karakter orang bali yang seakan mengakui perubahan dan sangat terbuka akan
perubahan merupakan dampak modernisasi serta globalisasi, yang mana masyarakat asli Bali
mulai terpinggirkan oleh pendatang karna perilaku menyimpang secara psiko-sosial yang
mengindikasikan terjadinya penurunan pada dimensi moralitas dan humanitas. Dinamika dan
dialektika antara penduduk asli dan pendatang dalam berbagai kancah kehidupan memang bukan
fenomena sosial yang dengan mudah dapat diderivikasi begitu saja. Masyarakat Bali seakan
menjadi tamu dirumahnya sendiri, karena terpinggirkan dan tercabut dari akar tradisinya.
Identitas yang semula dipandang absolut dan kemudian mencair sebagai akibat dari tingginya
tingkat mobilitas orang dan barang, juga dipertanyakan kembali dalam semangat kolektivisme.
Kasus kependudukan di Kota Denpasar misalnya, yang menonjolkan peran pacalang (penjaga
dan pengawal tradisi) yang mungkin lebih baik diletakkan sebagai mekanisme kontrol sosial,
ternyata lebih dipandang sebagai mekanisme kontrol keamanan dan ketertiban masyarakat,
bahkan bergeser menjadi mekanisme kontrol “tindakan kriminal” sosio-budaya. Warna-warni
pandangan terhadap peran pacalang dalam kaitannya dengan identitas-diri para pendatang
disajikan dalam berbagai varian dan variasi untuk menunjukkan betapa pentingnya identitas
dalam masyarakat multikultur.
Akhirnya paradoks terjadi antara nilai-nilai tradisi Bali dan nilai-nilai modern. Orang Bali
dengan tatanan nilai-nilai tradisinya tidak dapat menghindarkan diri dan harus berhadapan
dengan nilai-nilai baru dalam tatanan ekonomi global terutama dalam konteks pariwisata.
Walaupun mempertentangkan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modernisme dan
globalisme dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Melainkan
keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan menyempurnakan,
sebagaimana seharusnya antara penduduk lokal dan pendatang. Modernisasi dan globalisasi
dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dan pada waktu
yang bersamaan melakukan reinterpretasi terhadap nilai-nilai tradisi yang kurang relevan dan
fungsional
Dari isi buku tersebut kita dapat melihat bahwa paradoks yang terjadi di bali saat ini berada pada
pola pikir masyarakat dan bagaimana kebudayaan tersebut mulai terkikis dan kita sebagai
masyarakat Bali sendiri hanya mengamini serta menganggap hal tersebut memang sesuatu yang
biasa karena menganggap sebuah perubahan lumrah terjadi. Terpinggirkannya orang bali juga
menjadi sebuah hal yang biasa karena ketidak siapan masyarakat dalam bersaing dengan
pendatang menjadi sebuah keterbukaan dan sesuatu yang biasa padahal hal tersebut dapat
menjadi sebuah hal yang penting bagi kehidupan masyarakat kedepannya. Kebudayaan yang
seharusnya kita jaga mulai terkikis oleh globalisasai dan kita hanya dapat melihat tanpa adanya
keseriusan dalam mempertahankan kebudayaan yang kita anggap sebagai ideologi.
5. Strategi dan langkah yang dapat dikembangkan untuk meminimalisasi dampak negatif
pariwisata
Pariwisata dikatakan mirip seperti angsa oleh Hawkins (1982) karena pariwisata tidak hanya
menghasilkan telur emas tetapi dapat merusak dirinya sendiri, yang mana dapat diartikan
pariwisata tidak hanya memberikan manfaat positif yang berlimpah tetapi juga pariwisata sendiri
dapat memberikan dampak negatif yang tidak akan bisa dipisahkan satu sama lain. Dampak
negatif yang muncul merupakan dampak ikutan yang terjadi karena pengembangan pariwisata
yang berlebih, serta pengembangan pariwisata akan memberikan dampak kepada sektor
ekonomi, sosial dan budaya.
Pada awalnya pariwisata dikatakan dapat membantu mensejahterakan masyarakat dan
mengangkat perekonomian masyarakat secara keseluruhan tetapi belakangan ini kesejahteraan
yang kita nikmati secara ekonomi ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kehidupan sosial,
budaya, dan pelestarian lingkungan. Pengembangan pariwisata masal semakin memperparah
dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat, karena hasil yang diterima akan langsung
dirasakan oleh masyarakat sebagai host.
Secara garis besar langkah yang diambil pemerintah dalam menanggulangi dampak negatif yang
muncul oleh perkembangan pariwisata sudah cukup baik, dengan membagi fokus pariwisata
tidak hanya di satu tempat, seperti pemerataan daerah tujuan destinasi pariwisata yang memiliki
potensi sejenis. Secara tidak langsung langkah ini akan membantu pemerataan daya tarik dan
pengembangan ekonomi yang ada pada setiap daerah, tetapi dapat diingat langkah tersebut dapat
diimbangi dengan pencegahan dan pengawasan yang intensif langsung dari pemerintah.
Pencegahan yang dimaksud adalah dengan membuat beberapa langkah kongkrit yang mengatur
sistem tata ruang, peraturan kepariwisataan, pelibatan masyarakat lokal dan pemantauan
lingkungan yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi untuk mengembangkan dan menekan
dampak negatif yang akan dirasakan. Selanjutnya pengawasan juga harus dilakukan melalui
pemberian informasi, meninjau langsung sumber dampak negatif dan secara berkala
mengevaluasi berbagai sektor pariwisata yang berpotensi memberikan dampak negatif yang ada.
Mengubah pola pikir yang berorientasi kepada jumlah akan sangat membantu menanggulangi
dampak negatif, dimana kualitas merupakan hal penting yang harus dimiliki bukan jumlah yang
diterima. Pariwisata masal yang lebih berorintasi jumlah akan lebih banyak memberikan dampak
negatif terhadap pengembangan pariwisata, dan alternatif pariwisata dapat menjadi sebuah solusi
yang baik untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan yang memberikan banyak manfaat
positif.