Anda di halaman 1dari 8

Nama : I Gede Noviana Putra

NIM : 1781011003
Prodi : S2 Pariwisata Udayana ( Sosiologi Pariwisata )

UTS Sosiologi Pariwisata

1. Hubungan dan kontribusi sosiologi terhadap ilmu pariwisata


Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan manusia ataupun masyarakat, pariwisata
merupakan ilmu yang bersifat multi disiplin yang banyak membahas mengenai bagaimana
menjadi host dari tourist itu sendiri yang mana secara tidak langsung kita harus banyak
mengetahui apa yang diinginkan oleh wisatawan. Jadi hubungan yang dinamis dari sosiologi dan
pariwisata sudah dapat dilihat dimana kedua ilmu ini sama dalam mempelajari kehidupan
manusia ataupun pola pikir masyarakat.

Dapat digambarkan dimana interaksi dalam pariwisata yaitu masyarakat sebagai host
dengan tourist dan dalam sosiologi interaksi yang terjadi antar institusi yang terjadi diberbagai
ranah. Hubungan yang konkrit keduanya dapat dilihat bagaimana pariwisata sebagai objek dalam
mengembangkan teori yang terjadi dilapangan agar kedepannya teori tersebut lebih bermakna.
Dalam sosiologi yang mengkaji masalah masalah kepariwisataan dalam berbagai aspeknya atau
kajian tentang kepariwisataan dengan menggunakan perspektif sosiologi, yaitu penerapan
prinsip, konsep, hukum, paradigma, dan metode sosiologis di dalam mengkaji masyarakat dan
fenomena pariwisata.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari lebih jauh mengenai manusia, yang mana
berkontribusi besar terhadap ilmu pariwisata, pendekatan yang dilakukan banyak menggunakan
pendekatan sosial karena pariwisata akan bersinggungan langsung dengan manusia sebagai objek
ataupun sebagai subjek itu sendiri.

2. Jelaskan Dimensi ontologis, epistimologi dan aksiologi ilmu pariwisata


Berbicara mengenai ketiga aspek tersebut dalam pariwisata merupakan sebuah kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Pariwisata sering dikaitkan dengan ilmu sosial karena dalam pariwisata
banyak membahas mengenai tingkah laku dari wisatawan serta gejala yang muncul dari
pengembangan pariwisata untuk masyarakat serta kelanjutan dari pengembangan pariwisata itu
sendiri.
Aspek ontologis merupakan subjek meter atau objek kajian apa yang akan kita buat, kaji, atau
lakukan yang mencermati akan apa yang sepatutnya kita lakukan dalam mengembangkan ilmu
pariwisata. Dalam aspek ini dapat diartikan kemampuan ilmu pariwisata dalam memberikan data
mengenai perjalanan, daya tarik maupun karakteristik wisatawan. fokus yang dicermati dalam
aspek ini dapat berupa pergerakan wisatawan, interaksi wisatawan dengan masyarakat dan akibat
yang diberikan oleh pergerakan wisatawan.
Aspek epistimologi yaitu berhubungan dengan cara kerja dan bagaimana ilmu itu dapat
diapresiasikan atau digunakan. Fokus utama dalam aspek ini dimana pembuktian terkait cara
dalam memperoleh kebenaran ilmiah melalui berbagai pendekatan ataupun cara kerja yang
digunakan baik melalui sistem, kelembagaan ataupun produk.
Aspek aksiologi bagaimana ilmu tersebut dapat dipertanggung jawabkan, untuk apa serta tujuan
dari ilmu tersebut kearah mana apakah sudah jelas serta berkelanjutan kedepannya. Selanjutnya
bagaimana aspek ilmu pariwisata dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. pariwisata dapat
membantu mengembangkan pengetahuan masyarakat mengenai apa itu perjalanan ataupun
penjelasan pariwisata secara mendalam bagi masyarakat luas.

3. Jelaskan kritik terhadap eksistensi sosiologi dalam pengembangan keilmuan dan


terapan
Sosiologi muncul saat Auguste Comte (Bapak Sosiologi) mencetuskan sosiologi pertama kali
dalam bukunya yang berjudul “positive philosophy” yang menjelaskan bahwa sosiologi
merupakan pembahasan mengenai masyarakat atau berbicara mengenai masyarakat, yang mana
sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi sistematis dan bukan pada kekuasaan.
Selanjutnya Herbert Spencer ilmuan dari inggris yang menulis buku berjudul Princeples of
Sociology (1876). Spencer menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan
mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas.
Jauh sebelum Augus Comte memproklamirkan kehadiran sosiologi, orang-orang telah memiliki
pengetahuan akan kehidupannya yang diperoleh dari pengalaman. Tetapi kerena belum terumus
menurut metode-metode yang mantap, pengetahuan orang-orang itu disebut pengetahuan sosial
bukan pengetahuan ilmiah atau ilmu, dan sebelum Auguste Comte, Plato, Thomas More,
“Campanelia” merupakan pemuka dalam perkembangan sosiologi. Ada pun hambatan yang
terjadi dalam perkembangan sosiologi yaitu adanya perlawanan dari mereka yang meragukan
adanya kemungkinan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan karena di awal perkembangan
sosiologi belum ada ahli-ahlinya. Selanjutnya Comte membedakan ruang lingkup dan isi
sosiologi dari ruang lingkup dan ilmu-ilmu lain, yaitu dalam 3 tahap yaitu Teologis atau fiktif,
Metafisika, dan Perkembangan Manusia. Timbulnya sosiologi modern diawali proses perubahan
bentuk dari cabang filsafat sosial kesatuan cabang ilmu. Pada abad ke 19 dan 20 sosiologi
menunjukkan adanya perubahan. Orang yang berpengaruh terhadap hal ini adalah ​Emile
Durkheim (1858-1917) d​ an ​W.I. Thomas (1863-1947).
Kritik yang dapat ditujukan kepada sosiologi diantaranya adalah bagaimana realitas sosial yang
terjadi saat ini adalah pengujuan terhadap pengujian teori-teori sosial, yang tidak pernah berhasil
mengoptimalkan kondisi realitas sosial yang dicita-citakan. Pengetahuan kita tentang realitas
sosial hanya sekedar, dalam hal ini kita mengikuti dan melakoni ritme kehidupan sosial tanpa
pernah mau merenung apa makna dibalik realitas tersebut. teori sosial seringkali sulit dipahami,
dangkal, atau bahkan tak memiliki tujuan yang jelas. Terkadang pembaca teori-teori sosial tak
mengerti apa sebenarnya yang mereka baca. Namun bagaimanapun teori sangat berguna dalam
memahami sistem yang hendak didekati. Teori sosial sepantasnya berguna untuk mendekati
sistem sosial. Konstruksi teori adalah sebuah tahapan dari seluruh pekerjaan dan metodologi
ilmiah.
Fakta sosial menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan
bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (​thing)​ yang berbeda dengan ide. Fakta
sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (​social structure)​ dan pranata sosial (​social
instistution​). Selanjutnya ada definisi sosial dan prilaku sosial.
“Fungsionalisme Struktural” (Talcott Parsons), Parsons memulai teorinya dari apa yang disebut
dengan masalah ​“Hobbesian” tentang tatanan ​(Problem of order). Pandangan hobbesian
menyatakan bahwa kondisi asali kita adalah konflik yang tak berkesudahan antar individu. Fakta
bahwa saat ini ada tatanan masyarakat itu hanya karena ada lompatan. Proses lompatan inilah
yang mengakibatkan dua masalah, dan masalah itu adalah masalah hobbesian. Kritik yang
dilontarkan untuk fungsionalisme yaitu kita merupakan anggota masyarakat, kita tahu apa yang
terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasar “naskah” (peran) yang sudah
ditentukan. Selanjutnya merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya
kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi “Anthony Giddens” sistem sosial tidak punya kebutuhan
apapun, yang punya kebutuhan adalah kita para pelaku, dan fungsionalisme membuang dimensi
waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial. Akibatnya terjadi pertentangan
antara “statis” dan “dinamis” atau “stabilitas” dan “perubahan”, yang merupakan bentuk
dualisme lain. fungsionalisme struktur lebih mengedepankan pada kondisi statis untuk
mempertahankan kondisi sosial agar terus stabil, dengan demikian perubahan dalam masyarakat
cenderung lambat dan bahkan tak ada transformasi sekalipun, yang ada adalah mempertahankan
kestabilan masyarakat lewat fungsi-fungsi yang diperankan.
“Teori Konflik” pandang teori konflik berbicara tentang banyak hal soal struktur sosial dan
perubahannya. ​Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi
inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan
konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Yang membedakan dengan
fungsionalisme adalah bahwa teori ini tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang
tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat, dalam
menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas. Selanjutnya teori ini dikritik karena
mengabaikan “ketertiban” dan “stabilitas”, sedangkan fungsionlisme struktural diserang karena
mengabaikan “konflik” dan “perubahan”. Teori konflik juga dikritik karena berideologi
“radikal”, sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi konservatifnya. Bila dibandingkan
dengan funsionalisme struktural, teori konflik tergolong perkembanganya. Teori ini hampir tak
secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan teori turunan.
“Teori Marxsisme” yang mana teori ini berakar pada 3 hal yaitu pertama politik Prancis,
khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya
selama awal abad ke-19, kedua ekonomi Inggris, yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis
seperti yang berkembang di Inggris dan ketiga Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi
adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan bukan sebaliknya.
selanjutnya kritik terhadap Marxsisme lebih lanjut dapat dilihat dari persfektif Neo Marxsisme,
persfektif ini mencoba mengkaji dan menafsir ulang konsep marxsisme yang menurut mereka
sudah “ketinggalan jaman”. Puncak dari Neo Marxsisme ini adalah lahirnya teori kritis (​Critical
Theory) y​ ang dimotori oleh Jurgen Haberma.

4. Eksistensi Bali sebagai pariwisata dunia, yang paradoks dan jelaskan contoh kasus
paradoks di Bali
Secara garis besar paradoks adalah sesuatu yang dianggap benar dan dapat dijadikan sebuah
kesimpulan, atau suatu yang muncul dari berbagai premis yang diakui kebenarannya tetapi
premisnya tidak sepenuhnya benar. Eksistensi bali sudah dikenal sejak lama dengan gambaran
bali penuh gairah, dan pesona dimana itu merupakan aset dari pariwisata bali. Kebudayaan Bali
yang diwarnai pernik-pernik yadnya menawarkan keramahan orang Bali. Keterpaduan antara
upacara, kesenian, dan pemandangan yang hijau menggambarkan ciri dari kebudayaan bali. Dari
sebuah buku yang terkenal berjudul “Bali Yang Hilang” oleh Yudhis (2008) menjelaskan
fenomena paradoks yang terjadi oleh datangnya pendatang dan berbagai etnis di bali yang mana
kita sebagai masyarakat lokal bali secara tidak sengaja mengamini paradoks budaya induk dan
budaya jalanan. Budaya induk digambarkan merupakan tradisi yang telah mapan dalam kultur
dan struktur yang hidup dan berkembang melalui sekaa-sekaa fungsional, banjar, dan desa
pakraman. Lembaga-lembaga adat ini dipandang citra kemapanan, seperti antara lain keamanan
dan kedamaian termasuk ketenteraman merupakan kondisi-strategi-upaya, situasi dan keadaan
mana pariwisata Bali bersandar.
Sebaliknya, budaya jalanan merupakan anak turunan dari budaya induk berupa “anak yang tidak
diharapkan” (unwanted children) karena memiliki sifat-sifat yang tidak sama, bahkan secara
normatif dianggap menyimpang dari budaya induknya yang dianggap baku, formal, dan mapan.
Pariwisata Bali dipertaruhkan karena pariwisata lebih ditempatkan pada posisi ideologis, yakni
seni bertahan hidup dan pengumpulan kekayaan, baik bagi penduduk asli maupun pendatang.
Pada dasarnya ini merupakan dampak dari proses modernisasi dan globalisasi yang memang
tidak dapat terhindari. Ini juga yang mendorong terjadinya estetisasi dan komodifikasi kehidupan
secara meluas, karena itu “perang” antara idealisme dan materialisme tidak dapat dihindari.
Perubahan karakter orang bali yang seakan mengakui perubahan dan sangat terbuka akan
perubahan merupakan dampak modernisasi serta globalisasi, yang mana masyarakat asli Bali
mulai terpinggirkan oleh pendatang karna perilaku menyimpang secara psiko-sosial yang
mengindikasikan terjadinya penurunan pada dimensi moralitas dan humanitas. Dinamika dan
dialektika antara penduduk asli dan pendatang dalam berbagai kancah kehidupan memang bukan
fenomena sosial yang dengan mudah dapat diderivikasi begitu saja. Masyarakat Bali seakan
menjadi tamu dirumahnya sendiri, karena terpinggirkan dan tercabut dari akar tradisinya.
Identitas yang semula dipandang absolut dan kemudian mencair sebagai akibat dari tingginya
tingkat mobilitas orang dan barang, juga dipertanyakan kembali dalam semangat kolektivisme.
Kasus kependudukan di Kota Denpasar misalnya, yang menonjolkan peran pacalang (penjaga
dan pengawal tradisi) yang mungkin lebih baik diletakkan sebagai mekanisme kontrol sosial,
ternyata lebih dipandang sebagai mekanisme kontrol keamanan dan ketertiban masyarakat,
bahkan bergeser menjadi mekanisme kontrol “tindakan kriminal” sosio-budaya. Warna-warni
pandangan terhadap peran pacalang dalam kaitannya dengan identitas-diri para pendatang
disajikan dalam berbagai varian dan variasi untuk menunjukkan betapa pentingnya identitas
dalam masyarakat multikultur.
Akhirnya paradoks terjadi antara nilai-nilai tradisi Bali dan nilai-nilai modern. Orang Bali
dengan tatanan nilai-nilai tradisinya tidak dapat menghindarkan diri dan harus berhadapan
dengan nilai-nilai baru dalam tatanan ekonomi global terutama dalam konteks pariwisata.
Walaupun mempertentangkan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modernisme dan
globalisme dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Melainkan
keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan menyempurnakan,
sebagaimana seharusnya antara penduduk lokal dan pendatang. Modernisasi dan globalisasi
dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dan pada waktu
yang bersamaan melakukan reinterpretasi terhadap nilai-nilai tradisi yang kurang relevan dan
fungsional
Dari isi buku tersebut kita dapat melihat bahwa paradoks yang terjadi di bali saat ini berada pada
pola pikir masyarakat dan bagaimana kebudayaan tersebut mulai terkikis dan kita sebagai
masyarakat Bali sendiri hanya mengamini serta menganggap hal tersebut memang sesuatu yang
biasa karena menganggap sebuah perubahan lumrah terjadi. Terpinggirkannya orang bali juga
menjadi sebuah hal yang biasa karena ketidak siapan masyarakat dalam bersaing dengan
pendatang menjadi sebuah keterbukaan dan sesuatu yang biasa padahal hal tersebut dapat
menjadi sebuah hal yang penting bagi kehidupan masyarakat kedepannya. Kebudayaan yang
seharusnya kita jaga mulai terkikis oleh globalisasai dan kita hanya dapat melihat tanpa adanya
keseriusan dalam mempertahankan kebudayaan yang kita anggap sebagai ideologi.

5. Strategi dan langkah yang dapat dikembangkan untuk meminimalisasi dampak negatif
pariwisata
Pariwisata dikatakan mirip seperti angsa oleh Hawkins (1982) karena pariwisata tidak hanya
menghasilkan telur emas tetapi dapat merusak dirinya sendiri, yang mana dapat diartikan
pariwisata tidak hanya memberikan manfaat positif yang berlimpah tetapi juga pariwisata sendiri
dapat memberikan dampak negatif yang tidak akan bisa dipisahkan satu sama lain. Dampak
negatif yang muncul merupakan dampak ikutan yang terjadi karena pengembangan pariwisata
yang berlebih, serta pengembangan pariwisata akan memberikan dampak kepada sektor
ekonomi, sosial dan budaya.
Pada awalnya pariwisata dikatakan dapat membantu mensejahterakan masyarakat dan
mengangkat perekonomian masyarakat secara keseluruhan tetapi belakangan ini kesejahteraan
yang kita nikmati secara ekonomi ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kehidupan sosial,
budaya, dan pelestarian lingkungan. Pengembangan pariwisata masal semakin memperparah
dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat, karena hasil yang diterima akan langsung
dirasakan oleh masyarakat sebagai host.
Secara garis besar langkah yang diambil pemerintah dalam menanggulangi dampak negatif yang
muncul oleh perkembangan pariwisata sudah cukup baik, dengan membagi fokus pariwisata
tidak hanya di satu tempat, seperti pemerataan daerah tujuan destinasi pariwisata yang memiliki
potensi sejenis. Secara tidak langsung langkah ini akan membantu pemerataan daya tarik dan
pengembangan ekonomi yang ada pada setiap daerah, tetapi dapat diingat langkah tersebut dapat
diimbangi dengan pencegahan dan pengawasan yang intensif langsung dari pemerintah.
Pencegahan yang dimaksud adalah dengan membuat beberapa langkah kongkrit yang mengatur
sistem tata ruang, peraturan kepariwisataan, pelibatan masyarakat lokal dan pemantauan
lingkungan yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi untuk mengembangkan dan menekan
dampak negatif yang akan dirasakan. Selanjutnya pengawasan juga harus dilakukan melalui
pemberian informasi, meninjau langsung sumber dampak negatif dan secara berkala
mengevaluasi berbagai sektor pariwisata yang berpotensi memberikan dampak negatif yang ada.
Mengubah pola pikir yang berorientasi kepada jumlah akan sangat membantu menanggulangi
dampak negatif, dimana kualitas merupakan hal penting yang harus dimiliki bukan jumlah yang
diterima. Pariwisata masal yang lebih berorintasi jumlah akan lebih banyak memberikan dampak
negatif terhadap pengembangan pariwisata, dan alternatif pariwisata dapat menjadi sebuah solusi
yang baik untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan yang memberikan banyak manfaat
positif.

Anda mungkin juga menyukai