Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS SOSIAL (ANSOS)

A. Definisi dan Ruang Lingkup Ansos

Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau

masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran

lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, structural

dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial,

mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya

dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana

institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial

yang muncul akibat masalah social.

Proses analisa sosial adalah usaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih

lengkap tentangan situasi sosial, hubungan-hubungan struktural, kultural dan historis.

Sehingga memungkinkan menangkap dan memahami realitas yang sedang dihadapi.

Suatu analisis pada dasarnya “mirip” dengan sebuah “penelitian akademis” yang

berusaha menyingkap suatu hal atau aspek tertentu. Analisis sosial bukan hanya

sekedar melakukan riset dengan upaya mengumpulkan data sebagai bagian dari

menjawab apa yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat, dan mengapa hal
tersebut terjadi dan bagaimana proses terjadinya. Analisis sosial seyogyanya mampu

menjawab apa yang akan terjadi kedepan di lingkungan masyarakat.

Analisa sosial merupakan upaya untuk mengurai logika, nalar, struktur, atau

kepentingan dibalik sebuah fenomena sosial. Analisa sosial hendak menangkap logika

struktural atau nalar dibalik sebuah gejala sosial. Analisa sosial dengan demikian

material, empiris, dan bukan sebaliknya, mistis, atau spiritualistik. Analisa sosial

menafsirkan gejala sosial sebagai gejala material.

Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya

sebagai conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan struktur yang

menindas, yakni suatu sistem dan struktur, Proses dehumanisasi yang membunuh

kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya counter hegemony. Proses

dehumaniasi tersebut terselenggara melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan

dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat

struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas

dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya adalah suatu

bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan

sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir,

ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan yang mendominasi telah

dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didominasi. Dengan begitu,

pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral

tentang estetika belaka. Kesenian dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang dan

masa yang steril, melainkan dalam sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.

Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang

didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat. Tema pokok

gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah
proses memanusiakan manusia kembali. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis

bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan

masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem

masyarakat, justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih

rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang

kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire

menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical

consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees) dan kesadaran kritis (critical

consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem

pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut.

Wilayah Analisa Sosial

1. Sistem-sistem yang beroperasi dalam suatu masyarakat.

2. Dimensi-dimensi obyektif masyarakat (organisasi sosial, lembaga-lembaga sosial,

pola perilaku, kekuatan-kekuatan sosial masyarakat)

3. Dimensi-dimensi subyektif masyarakat (ideologi, nalar, kesadaran, logika berpikir,

nilai, norma, yang hidup di masyarakat).

B. Ruang Lingkup Ansos

Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks

transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target

perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan visi atau misi organisasi.

Secara umum objek sosial yang dapat di analisis antara lain:

1) Masalah-masalah sosial, seperti; kemiskinan, pelacuran, pengangguran,

2) kriminilitas Sistemsosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem

pemerintahan, sitem pertanian Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan

rumah sakit, lembaga pedesaan.


3) Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah

UU.

C. Paradigma Analisis Sosial

Analisis sosial secara sederhana dapat kita sebut sebagai sebuah alat, yang

selanjutnya bisa disebut sebagai metode untuk memahami realitas sosial-lingkungan

sekitar, global maupun lokal. Dalam studi ilmu-ilmu sosial, untuk menganilisis

kondisi sosial maka kita harus berpijak dalam empat paradigma (baca: cara pandang)

yang didasarkan pada perbedaan anggapan metateori tentang sifat dasar ilmu sosial

dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma tersebut yang dibangun atas

pandangan-pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial satu dengan yang lain

adalah humanis, strukturalis, fenomenologis dan fungsionalis. Untuk menuju

kepilihan metode seperti apa yang layak dimbil, maka kita harus berangkat dari

asumsi dasar yaitu ontologis, epistemologis, kecenderungan dasar manusia (human

nature)dan metodologi.

Asumsi tentang ontologis dalah berawal dari pertanyaan “apa”. Jadi asumsi

ontologis ini adalah apakah kenyataan diteliti sebagai sesuatu di luar yang

mempengaruhi/merusak di dalam seseorang ataukah kenyataan itu justru hasil dari

kesadaran seseorang. Sedangkan asumsi epistimoogis berawal dari pertanyaan

“bagaimana”. Jadi bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan

mengkomunikasikanya sebagai pengetahuan kepada orang lain.

Adapun asumsi Human natur membawa kita kepada satu upaya penyadaran diri.

Asumsi terakhir sebenarnya merupkan satu muara ketika orang yang memperdebatkan

di atas akhirnya semua akan mengarah kepada perbedaan metodelogis. Masing-

masing asumsi di atas dalam perkembangan selanjutnya menghasilkan cabang-cabang

yang cukup banyak. Tapi yang akhirnya tercatat adalah perdebatan masing masing
asumsi yang membawa pada aliran aliran tertentu. Perdebatan mengenai ontologis

menghasilkan aliran nominalis (yang beranggapan bahwa realitas sosial adalah

sesuatu diluar diri yang merupakan suatu pengandaian konsep dan label. Artinya

benda ini diberi nama hanya sekedar ”rekaan” manusia agar menjadi pemahaman

bersama, dalam hal ini bahasa juga termasuk di dalamnya dan aliran realisme (realitas

yang di luar “diri” itu adalah suatu kenyataan yang “hidup”dan merupakan tatanan

nisbi yang tepat. Artinya kenyataan itu lebih merupakan entitas empiris.

Debat epistimologis melahirkan perpecahan tajam antara orang eksakta dengan

orang sosial. perdebatan ini membawa kita pada aliran positivis (satu aliran yang

memahami bahwa hipotesa tentang kondisi alam sosial dapat dibuktikan secara

empirik melalui eksperimen, dan aliran anti positivistik (yaitu satu aliran yang tidak

mau menerapkan satu tatanan sosial terhadap peristiwa sosial yang lain, jadi manusia

bukanlah pengamat tetapi satu entitas yang terlibat dalam struktur tatanan sosial.

Selanjutnya debat mengenai human natur termasuk debat yang cukup tua dan

abadi di lingkungan umat islam. Kaum determinis (Qodariah) menganggap bahwa

manusia ditentukan oleh lingkungan, sedangkan kaum volunteris (Jabariyah)

beranggapan bahwa lingkungan ditentukan oleh kreatifitas manusia itu sendiri. Kedua

anggapan inilah yang merupakan unsur paling utama dan hakiki dalam teori ilmu

sosial.

Adapun debat metodelogis, melahirkan dua aliran besar pula, yaitu ideografis

yang menyatakan bahwa seseorang akan memahami kondisi sosial suatu masyarakat

jika dia terlibat langsung dengan masyarakat itu. Aliran yang kedua adalah aliran

nomotetis, yaitu aliran yang mementingkan pada seperangkat tehnik dan alat

sistematik dalam penelitian (ini sering digunakan oleh orang eksakta).


Dari semua asumsi dan perdebatan diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa teori

sosial terbagi menjadi dua aliran besar yaitu;

1. Positivistik yang menggunakan ontologis realis, epistemologinya positivis,

pandangan sifat manusianya deterministik dan metodeloginya nomotetik.

2. Idialisme jerman, sebaliknya ontologinya nominalis, epistimologinya anti

positivis, pandangan sifat manusianya volunteristik dan metodeloginya idiografis.

D. EMPAT PARADIGMA

Setelah melalui perdebatan yang panjang, para ahli sosiologi akhirnya sepakat untuk

menentukan cara baru dalam menganalisa empat paradigma (dengan tetap memasukkan unsur –

unsur penting dari asumsi di atas). Empat paradigma itu adalah:

1. Humanis Radikal, yaitu suatu paradigma yang dianut oleh orang-orang yang berminat

mengembangkan ilmu sosial perubahan radikal dari pandangan subjektivis pendekatan

yang kemudian dipakai adalah nominalis, anti positivistik, volunteris dan idiolografis.

Pandangan dasarnya bahwa ada satu suprastruktur idiologis diluar diri yang

membelenggu dan berhasil memisahkan dirinya dengan kesadarannya (alienasi) dan

melahirkan kesadaran palsu.

2. Struktural Radikal, penganut paham ini berupaya memperjuangkan sosilogi perubahan

radikal juga yaitu perubahan yang mendasar dengan mengabaikan semua tatanan sosial

yang membelenggu perkembanga diri manusia oleh karena pandangan ini bersifat utopis

dan hanya memandang lurus ke depan. Analisisnya cenderung menekankan

pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat manusia.

pendekatan yang dipakai adalah realis, positivis, determinis dan nomotetis.


3. Paradigma Interpretatif, penganut paradigma ini cenderung manganut sosiologi

keteraturan yaitu ilmu sosial yang mengutamakan kesatuan dan kerapatan.

Pendekatannya cenderung nominalis, anti positivis dan ideografis. Pada perkembangan

selanjutnya paradigma ini sering disebut sebagai aliran fenomenologis.

4. Paradigma Fungsionalis. Paradigma inilah yang paling banyak di anut di dunia mereka

condong kepada pendekatan realis, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas

merupakan “tuhan “ bagi mereka dia berpijak pada sosiologi keteraturan juga.

Fungsi utama mengenal empat paradigma di atas adalah kita dapat memahami kerangka

berfikir seseorang dalam teori sosial dan merupakan alat untuk memetakan perjalanan pemikiran

teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Dengan pemahaman ini, tiap diri bisa memetakan

teori-teori yang ada untuk kemudian dengan kesadaran masing-masing melalui pengalaman dan

pemahamannya sendiri, memilih mana yang menurut anda paling tepat.

E. Langkah-langkah ANSOS

Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain:

1. Memilih dan menentukan objek analisis

Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam

arti realitas yang dianalsis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial

dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.

2. Pengumpulan data atau informasi penunjang

Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data

dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media

massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung dilapangan. Re-cek data

atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.

3. Identifikasi dan analisis masalah


Merupakan tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan.

Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya

dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif

diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan

antara aspek.

4. Mengembangkan presepsi

Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam

masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang

yang objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi

konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternative sebagai

kerangka tindak lanjut.

5. Menarik kesimpulan

Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah, pihak mana saja

yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan

secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan

untuk proses perubahan social.

F. Peran Ansos Dalam Strategi Gerakan PMII

Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut

peka dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis), sekaligus terlibat aktif

dalam aksi perubahan sosial (transformatif). Transformasi sosial yang dilakukan PMII

akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki kesadaran kritis dalam melihat

realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan

luas terhadap realitas sosial.

Untuk dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan

kemampuan analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan
paradigma kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang

dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).

Anda mungkin juga menyukai