Anda di halaman 1dari 5

Tauhid Sosial: Cita Praktek Sosial Islam

Oleh: Adie Usman Musa

Memasuki abad ke 21 ini, umat Islam belum beranjak dari tidur panjangnya. Ia masih
menjadi obyek tak berdaya dari kekuatan global, kapitalisme. Umat yang banyak tapi tak
begitu bermakna dalam dinamika perubahan dunia karena peran sejarah mereka yang
tidak lagi diperhitungkan. Sebuah ironi memilukan yang terjadi sejak empat abad silam.
Setelah kekuasaan Turki Usmani runtuh pada abad ke 17, Islam dan umatnya benar-benar
terpuruk secara sosial, politik dan militer. Kelumpuhan secara intelektual, telah
menyebabkan mereka selama waktu yang panjang menjadi tawanan sejarah. Mereka
terjajah, hanya satu dua negara muslim saja yang bebas dari penjajahan, itu pun
kondisinya sangat terbelakang.

Kini, umat Islam identik dengan kebodohan, kemunduran, keterbelakangan, dan


kemiskinan. Kondisi obyektif tidak memungkiri pendapat ini. Mayoritas negara-negara
berkembang yang berpenduduk Islam adalah negara-negara miskin dan terbelakang
dengan tingkat kesejahteraan dan income per kapita yang di bawah standar. Belum lagi
sebagian besar mereka masih dikuasai oleh penguasa-penguasa otoriter setelah
terbentuknya negara-negara bangsa (nation state). Lembaga-lembaga internasional yang
diharapkan menjadi wadah kekuatan negara-negara Islam seperti Organisasi Konferensi
Islam (OKI) masih terlalu lemah untuk menunjukkan taringnya di hadapan dunia Barat.
Persaudaraan intern umat menjadi hancur oleh berbagai kepentingan sempit dan
permusuhan. Ketergantungan dunia Islam terhadap Barat telah menyebabkan umat Islam
secara langsung maupun tidak menjadi masyarakat yang tidak mandiri. Umat Islam
kemudian menjadi umat yang inferior, yang secara massif menjadi konsumen
modernisasi Barat.

Selain itu, Islam bahkan menjadi ikon dari kekerasan dan terorisme. Fenomena runtuhnya
gedung kembar WTC dan penyerangan Amerika ke Afganistan dan Irak menggambarkan
stigma ini. Sayangnya, stigma ini terlanjur diamini oleh banyak kalangan, termasuk dunia
Islam sendiri. Dengan demikian, lengkaplah penderitaan sebuah umat yang dilahirkan
Muhammad berabad-abad silam.

Dalam kondisi inilah, kemudian banyak kalangan gerakan dan intelektual Islam yang
mencoba membangun kembali semangat yang pernah hilang. Semangat dan cita-cita
yang secara kaffah untuk menjadi rahmad bagi seluruh alam. Semangat ini coba digali
lagi dari kekuatan tauhid yang selama ini tidak banyak menyentuk dimensi praksis sosial
keummatan.

Tauhid Sosial
Doktrin tauhid yang menjadi ruh kekuatan Islam tidak pernah hilang dari perjalanan
sejarah, walaupun aktualisasinya dalam dimensi kehidupan tidak selalu menjadi
kenyataan. Dengan kata lain, kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah belum tentu terkait
dengan prilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Padahal, sejarah membuktikan bahwa
tauhid menjadi senjata yang hebat dalam menancapkan pilar-pilar kesejarahan Islam.
Dalam konteks ini, orang kemudian mempertanyakan praktek sosial Islam yang dianggap
tidak komprehensif. Praktek sosial Islam ini banyak dibahasakan dengan berbagai istilah,
antara lain Tauhid Sosial. Syafi’i Ma’arif menyebutkan Tauhid Sosial sebagai dimensi
praksis dari resiko keimanan kepada Allah SWT. Doktrin ini sudah sangat dini
dideklarasikan Al-Qur’an, yaitu pada masa Mekkah tahun-tahun awal. Secara substasial,
gagasan Tauhid Sosial Syafi’i Ma’arif menggambarkan dua hal: pertama, iman adalah
kekuatan yang menjadi pilar utama perjalanan sejarah umat Islam. Memilih Islam adalah
menjalani suatu pola kehidupan yang utuh dan terpadu (integrated), di bawah prinsip-
prinsip tauhid. Setiap aspek kehidupan yang dijalani merupakan refleksi dari prinsip-
prinsip tauhid itu. Islam menolak pola kehidupan yang fragmentatif, dikotomik, dan juga
sinkretik. Praktek kehidupan seperti ini telah ditunjukkan dalam perjalanan kerasulan
Muhammad yang diteruskan oleh sebagian generasi setelahnya. Islam berprinsip pada
tauhid, lebih dari segalanya. Sehingga kekuatan tauhid inilah yang menjadi pengawal dan
pusat dari semua orientasi nilai.

Kedua, iman harus mampu menjawab dimensi praksis persoalan keummatan. Artinya,
kekuatan tauhid ini harus diaktualisasikan, bukan hanya tersimpan dalam teks-teks suci.
Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip ‘amrun bi al-ma’ruf wa nahyun ‘ani
al-munkar’. Dalam Al-Qur’an, doktrin ‘amrun bi al-ma’ruf wa nahyun ‘ani al-munkar’
dijumpai dalam delapan ayat, tersebar dalam lima surat, dua makkiyah dan tiga
madaniyyah. Tugas ini dibebankan pada rasul, pemerintah dan umat yang beriman secara
keseluruhan, yang kemudian terwujud dalam dimensi sosial, politik, ekonomi dan
budaya.

Karena itulah, demikian Ma’arif, kalau kita tidak mampu mencari penyelesaian secara
Islam bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kemanusiaan, maka pilihan yang
menunggu di hadapan kita adalah sekulerisme. Ini artinya secara tidak langsung kita
membenarkan pendapat sementara orang bahwa Islam telah kehilangan relevansinya
dengan nuansa zaman. Ungkapan Islam yang serba kaffah yang sering kita dengar di
kalangan anak muda, sebenarnya mengandung kebenaran, tetapi masih terlalu jauh dari
substansi permasalahannya. Ini tidak begitu mengherankan karena sumber informasi yang
mereka kunyah umumnya berasal dari literatur yang secara ilmiah sulit
dipertanggungjawabkan. Literatur itu bisa saja secara emosional sangat memikat, tapi bila
dibawa turun ke bumi tidak banyak yang dapat digunakan bagi penyelesaian masalah-
masalah sosial umat. Karena itu, konsep Islam yang serba kaffah itu yang dilihat terutama
adalah wilayah-wilayah pinggir, yang bila perlu mau mati syahid untuk mempertahankan
wilayah marjinal itu.

Dalam perspektif yang berbeda, cendekiawan muslim, Kuntowojoyo, menyatakan bahwa


nilai-nilai Islam sebenarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sebenarnya adalah
melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai tersebut. Di dalam Al-
Qur’an kita sering sekali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian
beramal. Dalam surah Al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia
itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, ‘percaya kepada
yang gaib’, kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut
kita melihat adanya trilogi iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, kita juga
mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan ini, kita dapat menyimpulkan
bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat
keimanan Islam adalah Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia.

Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai.
Sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai.
Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan li al’alamin, rahmat untuk alam
semesta, termasuk untuk kemanusiaan. Dengan melihat penjelasan ini, tauhid sosial
sebenarnya merupakan perwujudan aksi sosial Islam dalam konteks menjadikannya
sebagai rahmatan li al’alamin. Proses menuju ke arah itu harus dimulai dari penguatan
dimensi tauhid, kemudian dimensi epistemik, lalu masuk dalam dimensi amal berupa
praktek sosial kepada sesama manusia.

Islam dan Ketidaksamaan Sosial


Ketidaksamaan sosial (social inequality) terjadi di hampir semua komunitas masyarakat
dunia. Adanya ketidaksamaan sosial ini pada umumnya melahirkan polarisasi sosial yang
dalam banyak hal melahirkan kasus-kasus kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan,
penindasan bahkan perbudakan. Ketidaksamaan sosial ini kemudian dirumuskan dengan
membaginya dalam istilah ‘kelas sosial’. Masyarakat Arab pada zaman nabi juga terbagi
dalam dua kelas sosial, yakni kelas bangsawan dan kelas budak. Tapi, Al-Qur’an juga
merefleksikan adanya kenyataan sosial lain mengenai pembagian kelas sosial ini, seperti
konsep golongan dhu’afa, mustadh’afin, kaum fakir, dan masakin. Demikian juga dalam
masyarakat Eropa abad ke 17, dimana terdapat tiga kelas sosial di sana, yaitu kelas
pendeta, kelas bangsawan dan kelas borjuasi. Kemudian juga dikenal kelas proletar.

Dalam terminologi Marx, ia tidak pernah menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah
‘kelas’, sehingga pada umumnya terminologi kelas dalam konsep Marxis didefinisikan
secara mashur oleh Lenin. Lenin mendefinisikan kelas sosial sebagai golongan sosial
dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses
produksi. Dengan demikian, masyarakat industri menurut terminologi ini hanya
mengenal dua kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Dengan doktrinnya yang
terkenal, ‘materialisme dialektis’ dan ‘determinisme ekonomi’, Marx yakin bahwa dalam
masyarakat industrial-kapitalis, golongan proletar adalah yang paling miskin.

Sementara dalam Islam, Kuntowijoyo mencatat bahwa Islam mengakui adanya


deferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Al-Qur’an melihat fenomena ketidaksamaan
sosial ini sebagai sunnatullah, sebagai hukum alam, sebagai realitas empiris yang
ditakdirkan kepada dunia manusia. Banyak ayat Al-Qur’an yang memaklumkan
dilebihkannya derajat sosial, ekonomi, atau kapasitas-kapasitas lainnya dari sebagian
orang atas sebagian yang lainnya.

Kendatipun demikian, ini tidak dapat diartikan bahwa Al-Qur’an mentoleransi social-
inequality. Mengakui jelas tidak sama dengan mentoleransi. Sebaliknya, Islam justru
memiliki cita-cita sosial untuk secara terus-menerus menegakkan egalitarianisme.
Realitas sosial empiris yang dipenuhi oleh fenomena diferensiasi dan polarisasi sosial,
oleh Al-Qur’an dipandang sebagai ajang riel duniawi tempat setiap muslim akan
memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya. Keterlibatannya dalam perjuangan inilah
yang akan menentukan kualitasnya sebagai khalifatullah fil ‘ardh. Dengan demikian,
Islam menghendaki adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan secara adil bagi segenap
lapisan sosial masyarakat. Dalam banyak perspektif, Islam juga mengedepankan peran
untuk mengutamakan dan membela gologan masyarakat yang tertindas dan lemah seperti
kaum dhu’afa dan mustadh’afin.

Cita Praktek Sosial Islam


Persoalannya adalah tidak mudah mewujudkan cita-cita sosial Islam ini. Terlebih lagi
dalam kondisi masyarakat yang dimanjakan oleh arus materialisme sekarang ini. Proses
ini memang harus dimulai dari transformasi nilai-nilai Islam, baru kemudian dilakukan
lompatan-lompatan dalam dataran praksis. Kuntowijoyo punya pandangan menarik
dalam merumuskan proses transformasi ini. “Pada dasarnya seluruh kandungan nilai
Islam bersifat normatif”, demikian Kuntowijoyo. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai
normatif ini menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai normatif ini
diaktualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya
adalah seruan praktis Al-Qur’an, misalnya untuk menghormati orang tua. Seruan ini
langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam prilaku. Pendekatan seperti ini
telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung menunjukkan secara langsung,
bagaimana secara legal prilaku harus sesuai dengan sistem normatif.

Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif ini menjadi teori ilmu
sebelum diaktualisasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan
pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam
dalam konteks masyarakat industri, suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang
lebih menyeluruh dari pada sekedar pendekatan legal. Metode transformasi nilai melalui
teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam dimensi praksis, memang
membutuhkan beberapa fase formulasi: teologi-filsafat sosial-teori sosial-perubahan
sosial. Sampai sekarang ini, kita belum melakukan usaha semacam itu. Bagaimana
mungkin kita dapat mengatur perubahan masyarakat jika kita tak punya teori sosial?

Sementara Syafi’i Ma’arif berpendapat bahwa transformasi ini harus dilakukan dengan
membongkar teologi klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan masalah-masalah
pemberdayaan masyarakat karena terlalu intelektual spekulatif. Pemberdayaan
masyarakat hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang berdaya secara politik, ekonomi,
sosial, iptek, dan budaya. Orang yang tidak berdaya tapi ingin memberdayakan
masyarakat tidak pernah akan berhasil. Tingkatnya hanya tingkat angan-angan. Umat
yang terlalu banyak berangan-angan tapi tidak berdaya adalah beban Islam dan beban
sejarah. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menyuruh kita bercermin kepada yang kongkret,
kepada yang empirik, sebab di sana juga terdapat ayat-ayat Allah, yakni ayat-ayat
kauniyah. Karenanya, suatu sistem teologi yang terlalu sibuk mengurus yang serba ghaib
dan lupa terhadap yang kongkret tidak akan pernah menang dalam kompetisi duniawi.
Padahal, kejayaan di dunia dibutuhkan untuk menggapai kejayaan di akhirat.
¨¨¨
Dengan menyadari kekurangan ini, kita memang sudah didesak untuk segera memikirkan
metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya ilmu-ilmu
sosial Islam. Tapi di sisi lain, kita perlu melakukan pembongkaran terhadap prinsip-
prinsip teologi klasik yang terlalu sibuk mengurus masalah ghaib. Cita-cita sosial Islam
untuk melahirkan keadilan sosial bagi seluruh alam memang masih jauh dari cita-cita.
Tapi, juga tidak bijak kalau kita hanya menyimpannya dalam teks-teks suci.

Perjuangan ke arah itu memang tidak ringan. Tapi itulah tugas kita kalau kita mau
menyumbangkan sesuatu yang anggun untuk kemanusiaan. Perjuangan umat Islam yang
masih bergulat untuk bangun dari kemiskinan dan keterbelakangan, tentu akan sia-sia jika
tak didukung oleh kerja-kerja intelektual yang menopang terbentuknya suatu tatanan
sosial masyarakat seperti yang kita cita-citakan. Ini tugas kita semua. ***
(Yogyakarta, November 2002. Artikel ini merupakan salah satu dari sekian banyak artikel lama yang saya
temukan kembali dan pernah dimuat di sebuah jurnal ilmiah HMI MPO Komisariat Teknologi Pertanian
UGM)

Rujukan
Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi, Penerbit Mizan, Bandung
Ma’arif Syafi’I, 1997, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Mutahhari Murtadha, 1984, Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Penerbit Mizan, Bandung
Suharsono, 1997, HMI: Pemikiran dan Masa Depan, CIIS Press, Yogyakarta
Suseno Franz Magnis, 2000, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Posted by Adie Usman Musa at 10:39 AM

Anda mungkin juga menyukai