Anda di halaman 1dari 12

EDISI 1 | MEI

KEMBALI KE TRADISI

www.pondoktradisi.net

PEMBINA Muhammad Baqir, Rahmat Hidayat PIMPINAN UMUM Syukron Mamun SEKRETARIS Muhammad Hasan BENDAHARA Fathimah Albatul Abidatunillah PIMPINAN REDAKSI Ali Muqi TIM REDAKSI Muhammad Hasan, Arif Al-Bonie, Surandy Ikhsan RANCANG GRAFIS lolet.net

UNTUK PARTISIPASI & KONTRIBUSI

pondoktradisi@gmail.com | 0896 5211 3741 (Hasan)

UNTUK TULISAN LAINNYA

www.pondoktradisi.net

Upaya M engenalkan Tradisi


Salam tradisi Berawal dari bincang-bincang dan diskusi, kemudian lahirlah zine ini. Diskusi itu dilakukan dengan beragam tema: mulai dari lsafat, tradisi, seni, permasalahan dunia modern, dan sebagainya; tetapi tema apapun yang sedang kami bahas, pisau analisis yang kami gunakan untuk membedah pembahasan itu adalah pisau tradisional. Setiap minggu malam selama lebih dari setengah tahun, kami mendiskusikan karya Rene Guenon, The Crisis of The Modern World. Di dalam buku itu, Guenon begitu tajam membedah berbagai problem dan krisis kehidupan dunia modern. Setelah mengkhatamkannya, kami memasuki karya Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred yang memaparkan secara detail epistemologi tradisional dari khazanah alam-pandang tradisional. Selain kedua tokoh itu, kami juga mengkaji beberapa tulisan dan artikel dari beberapa tokoh tradisionalis lain yang tentunya sangat concern terhadap tema-tema tradisional. Hasil kajian dan diskusi selain memperdalam dan memperkaya khazanah wawasan intelektual, belakangan juga kami tuangkan dalam wadah media online www.pondoktradisi.net. Seiring proses perjalanannya, kami pun berinisiatif untuk menuangkan gagasan-gagasan tradisional

itu ke dalam media cetak. Maka lahirlah beberapa halaman sederhana yang kami namakan zine Pondok Tradisi; dan selamat! pembaca sedang membaca edisi perdananya. Bentuk cetak dari zine ini memang sederhana. Walau begitu, setidaknya ikhtiar ini kami anggap sebagai embrio yang diharapkan nantinya berkembang. Syukursyukur jika upaya yang tak seberapa ini bisa sedikit berkontribusi pada khazanah keilmuan. Sebagai langkah awal, tim redaksi menurunkan ulasan hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Baqir, tokoh yang memiliki perhatian mendalam terhadap tema-tema spiritual dalam kerangka tradisional. Hal ini dilakukan karena beliau, yang akrab disapa Bang Baqir ini, kami anggap sebagai representatif dan sangat fasih berbicara tentang tema yang kami usung. Ini juga dimaksudkan sebagai spirit bagi kami untuk mengeksplorasi tema-tema tradisional yang lebih spesik pada edisi-edisi selanjutnya. Akhirnya, semoga upaya kecil ini mendapat dukungan dari Allah dan para kekasih-Nya, dan mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wassalam.

PRAKATA

ke

Senin malam 20 M ei 2013, b eb erapa santri Pondok Tradisi b ertandang ke rumah Bang Baqirb egitu kami menyebut guru lsafat dan tasawuf iniuntuk sekadar ngobrol santai sambil mewawancarainya seputar Tradisi. Berikut p etikan wawancara tersebut.
Santri: Untuk edisi perdana ini, Pondok Tradisi menjadikan tradisi sebagai tema utama. Sebenarnya, seberapa penting pembahasan tentang tradisi ini? Apa itu tradisi? Abang: Sebelum kita membahas tradisi, kita harus melihat esensi tradisi itu sendiri. Esensi tradisi itu kembali kepada marifat. Marifat yang dimaksud adalah marifat kepada Tuhan, karena tidak akan ada tradisi jika tidak ada Tuhan. Tradisi adalah upaya menghubungkan manusia kepada Tuhan; dan pada masa yang sama, bagaimana Tuhan menghubungkan Diri-Nya kepada manusia melalui tradisi. Seyyed Hossein Nasr dan para tradisionalis melihat denisi tradisi, pertama, dari segi bahasa: transmisi. Mengatakan transimisi, pasti ada pertanyaan lanjutan, Apa yang ditransmisikan? Dari mana? Dan kepada siapa? Prof. Nasr mendenisikan tradisi dari dua sisi: [1] Tradisi dalam pengertian umum, yaitu tradisi sebagai prinsip, dan [2] tradisi dalam pengertian khusus, yaitu tradisi dalam konteks aplikatif. Tradisi sebagai prinsip berarti prinsip-prinsip yang tercetak di dalam Tuhan; dalam bahasa tasawuf disebut ayan al-tsabitah (realitas Ilahiyah). Sedangkan tradisi secara aplikatif adalah aplikasi prinsipprinsip itu dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, tradisi itu terkait dengan Tuhan. Tradisi dalam pengertian aplikatif berarti bagaimana kita mengaplikasikan prinsip ilahiyah dalam kehidupan kita.

kembali tradisi

RIUNGAN

Kembali Ke Tradisi Dan itu berarti di dalam tradisi, manusia tidak terputus dari Tuhan. tubuh, jiwa dan spirit; dan ia butuh pada fondasi yang jelas, kokoh dan terpusat. Sains hanya bisa meneliti realitas yang Tentunya prinsip-prinsip itu menjadi empiris atau sik, sedangkan lsafat sentral dalam metasika, sebab sebenarnya dalam dunia modernhanya bisa tradisi itu berbasiskan pada metasika, mengelaborasi komponen rasional yang yaitu marifat kepada Tuhan. Marifat ada dalam jiwa manusia. Lalu bagaimana (ilmu) tersebut kemudian memunculkan dengan keberadaan ruh? Perspektif cabang-cabang ilmu lain, baik itu lsafat, modern tidak bisa menjangkaunya sains natural, matematika, psikologi, karena perspektif tersebut tidak memiliki dan sebagainya. Sebuah cabang ilmu itu perangkat [intelek] yang digunakan tersebar dari pengetahuan pusat. Yang untuk meneliti ruh; bahkan perspektif penting adalah bagaimana prinsip ilahiyah modern menakan perangkat itu. itu bisa kita terapkan atau aplikasikan Dampak dari kehidupan yang hanya dalam kehidupan ini. didasarkan pada sains dan lsafat Sebaliknya, kita lihat kehidupan adalah kehidupan yang individualis dan modern justru memutuskan antroposentris. manusia dari prinsip-prinsip Tradisi itu teosentris; karena tanpa ilahiyah itu, yang berarti Tuhan, kehidupan manusia menjadi memutuskan manusia dari tidak ada basisnya. Mungkin ada orang Tuhan. Sehingga manusia yang akan bertanya, kenapa Tuhan menjalani kehidupan di harus menjadi basis? atau kenapa dunia ini tidak berdasarkan realitas mutlak itu harus menjadi basis? prinsip Ilahi, melainkan Pertanyaan ini mudah dijawab. Sains berdasarkan prinsip-prinsip hanya melihat keberadaan yang selalu humanis: prinsip-prinsip berubah (mutable). Jika sesuatu yang yang didasarkan hanya selalu berubah (mutable) tidak memiliki kepada indera dan akal, yang basis yang tetap (immutable), maka ia terwujud dalam sains dan tidak akan memberikan kita keyakinan, lsafat (dalam pengertian apalagi ketenangan. Jika kita hanya positivisme dan rasionalisme). menggunakan akal yang rasional saja Dari epistemologi yang yang terputus dari inspirasi Ilahi atau seperti inilah perspektif modern Sang Intelekkehidupan akan menjadi dibangun. sangat individualis. Akal tanpa inspirasi Pembahasan tradisi menjadi penting Ilahi hanya melihat dan memahami karena jika manusia hidup tanpa prinsip realitas secara terbatas dan sempit, yang ilahi, kehidupan menjadi tidak jelas dan pada akhirnya hanya akan mengalami sempit; karena sains dan rasionalisme dan menimbulkan krisis-krisis lainnya. tidak bisa memberikan gambaran struktur Jadi, harus ada sudut pandang yang luas realitas yang luas dan utuh. Sedangkan yang mencakup semua aspek eksistensi keberadaan manusia itu mencakupi manusia.

Kembali Ke Tradisi Karena itu, sering kita lihat para tradisionalis ketika membahas tradisi pasti akan bicara tentang krisis. Misalnya, Rene Guenonyang nama Islamnya adalah Syeikh Abdul Wahid Yahyadalam bukunya The Crisis of The Modern World menjelaskan tradisi dengan penjelasan seputar krisis sebagai pintu masuknya, dan dalam buku The Reign of Quantity yang menjelaskan dominasi kuantitas dalam kehidupan kita. Berbagai krisis itu terjadi karena manusia memutuskan dirinya dari Tuhan dan tidak menjadikan Tuhan sebagai pusat keberadaannya. Dalam buku The Crisis of The Modern World, Guenon menjelaskan bahwa salah satu keniscayaan terputusnya manusia dari Tuhan adalah terjadinya individualisme; individualisme inilah yang memunculkan masalah-masalah lain yang merambah ranah pemikiran seperti lsafat eksistensialismeseni, kehidupan sosial dan lain-lain. Dalam ekspresi lain, ketika manusia itu kembali kepada Tuhan, berarti ia kembali pada sintesis, bukan dalam bentuk terpencar lagi (analisis), seperti yang dijelaskan Prof. Nasr dalam bukunya Knowledge and The Sacred. Dalam buku itu, Prof. Nasr menjelaskan bahwa realitas itu dimulai dari sintesis (sat, chit dan ananda). Sat: keberadaan, chit: kesadaran/ilmu, ananda: kebahagiaan. Ketika realitas yang sintesis itu turun, ia menjadi terpencar. Ketika keberadaan (sat) dengan kesadaran (chit) itu terpisah, maka kebahagiaan (ananda) tidak akan bisa tercapai. Karena itu, sat dan chit harus menyatu, agar ananda bisa tercapai. Saat ini, dunia modern memisahkan keberadaan dari kesadaran; artinya, keberadaan bukanlah kesadaran dan kesadaran bukanlah keberadaan. Terkait dengan ilmu dalam lsafat islam, keberadaan yang terpisah dari kesadaran disebut sebagai ilmu husuli. Dalam ilmu husuli, objek (keberadaan) dengan pengetahuan kita (kesadaran) itu terpisah dan berjarak sehingga kita tidak mungkin mengenal objek secara total dan apa adanya. Berbeda dengan ilmu hudhuri yang menjadi basis dari pengetahuan tradisional, yakni objek (keberadaan) dengan pengetahuan kita (kesadaran) itu menyatu dan identik, sehingga kebahagiaan (ananda) itu bisa tercapai. Ini yang hendak dikembalikan. Fondasi epistemologi tradisional itu berbasis pada kehadiran Tuhan atau keberadaan Maha Realitas, bahwa keberadaan adalah kesadaran yang meniscayakan kebahagiaan. Tentunya kebahagiaan yang dimaksud bukanlah kebahagiaan yang sifatnya psikologis dan temporer, melainkan kebahagiaan yang sejati (ananda). Santri: Bisa lebih dielaborasi penjelasan tradisi dalam pengertian aplikatifnya? Masalahnya adalah bagaimana kita mengaplikasikan tradisi dalam kehidupan ini. Sebenarnya Tuhan telah mengajarkan

Kembali Ke Tradisi kita melalui nabi-nabi-Nya. Tuhan menginspirasi jiwa para nabi, kemudian jiwa itu menampilkandalam agama Islamsunnah. Sunnah itu kan aplikasi prinsip-prinsip Ilahi dalam kehidupan: cara para nabi menyikapi kejadian, cara berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain; kemudian semua itu muncul dalam bentuk aturan, kultur, adab, moralitas, dan lain-lain. Itu sebenarnya adalah prinsip-prinsip yang telah diaplikasikan dalam kehidupan ini. Karena itu, pasti dalam setiap agama ada ajaran untuk mengikuti tokoh atau gur agama itudalam istilah sunnah atau apapun. Santri: Untuk menjernihkan pemahaman, di Indonesia nampaknya pengertian tradisi dan adat istiadat (custom) agak rancu, apa sebenarnya perbedaan paling esensial antara kedua istilah tersebut? Abang: Tradisi itu pasti berbasis pada prinsip Ilahiyah. Sekarang kita lihat kultur, adat istiadat, seni, dll. Semua itu sebenarnya adalah ramikasi (percabangan) tradisi itu sendiri dalam bentuk kultural, adat, seni, dll. Dengan kata lain, tradisi mencakup banyak hal; dan itu semua adalah bagian dari tradisi. Sekali lagi, adat istiadat dan kultur, termasuk juga etnik, adalah bagian dari tradisi. Karena itu, tradisi dan adat istiadat tidak bisa disejajarkan untuk dibedakan. Santri: Berarti biasanya tradisi itu lahir dari agama. Bagaimana dengan tradisi yang tidak lahir dari agama, seperti kearifan lokal, petuah-petuah dari leluhur, dan lainnya? Abang: Siapa bilang itu tidak dalam forma agama? Masalahnya, kita hanya terbiasa dengan beberapa forma agama saja. Dan ketika kita hanya terbiasa dengan beberapa agama, kita merasa agama itu ya hanya itu-itu saja, tidak ada yang lain. Padahal kan tidak begitu. Di dalam Al-Quran atau dalam tradisi Islam sendiri dinyatakan, nabi itu ada 124.000. Kita tidak tahu di mana dan siapa nabi-nabi yang banyak itu. Banyaknya nabi itu tentu akan membuat ajaran-ajaran agama tampil dalam berbagai bentuk. Di sini ia akan diaplikasikan melalui agama; sebenarnya bukan melalui agama, tetapi melalui wahyu. Wahyu itu bisa muncul dalam tiga bentuk: [1] kitab, [2] manusia, dan [3] alam. Ada orientasi agama yang melihat wahyu dalam forma kitab, seperti agama Islam dan Yahudi. Agama Kristen melihat wahyu dalam forma manusia: Isa. Agama-agama primordial melihat wahyu dalam bentuk alam ini sendiri. Ketika Al-Quran menjelaskan adanya Yahudi, Kristen dan sebagainya, dan tidak menyebut Hindu dan Buddha, itu tidak berarti Hindu dan Buddha bukan agama. Kenapa? Karena konteks agama Islam itu kan di negeri Arab. Ini bukan masalah agama samawi atau bukan. Ketika Tuhan menyampaikan sesuatu, di sana ada relevansi dan

Kembali Ke Tradisi ada kepentingan tertentu. Tidak perlu menyebutkan Hindu, Buddha ataupun agama lain seperti Tao dan Zoroaster. Yang penting itu kan bagaimana cara manusia hidup, cara bersikap, ajarannya, iman itu bagaimana, dan seterusnya. Orang Arab kan tidak berinteraksi dengan orang-orang Hindu dan Buddha (dan juga agama lainnya). Jadi tidak perlu menyebut mereka. Kalau disebutkan, nanti akan muncul pembahasan baru lagi. Umat Islam kan hanya berkomunikasi langsung dengan Yahudi dan Nasrani, tidak dengan Hindu dan Buddha. Maka itu lsafat perennial melihat agama dengan pengertian yang luas. Bahkan ketika Huston Smith menulis buku Religions of the World, dia mengkhususkan satu bab tentang agama primitif seperti Indian Merah dan sebagainya, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia buku tersebut, bab tersebut dihilangkan entah karena alasan apa. Mungkin penerbit tidak menganggapnya sebagai agama. Santri: Berarti bab Primitive Religion itu membuka kemungkinan besar pada agama apapun? Abang: iya, seperti kejawen itu kan juga termasuk. Kita kan selalu berdebat pada wilayah itu, apakah ia disebut sebagai agama atau hanya moralitas atau kearifan lokal. Padahal itu juga agama yang datang dari Tuhan dalam bentuk pewahyuan yang ditransmisikan kepada manusia. Santri: Bisakah kami dapatkan referensi atau sumber mengenai keyakinan bahwa Tuhan itu hadir dalam bentuk wahyu yang berupa kitab, manusia dan alam? Abang: Kita bisa lihat dari Al-Quran aja, seperti [1] inna anzalna al-kitab; [2] Ketika Allah menyebut Nabi Isa itu sebagai Kalimat, maka keberadaan manusia itu (Isa) adalah the word of God (kalimatullah), sebagaimana al-Quran adalah Kalamullah; [3] Terkait dengan alam, banyak sekali ayat yang menyebutkan alam sebagai ayatnya Tuhan seperti: sanurihim ayatina al afaqi (makro kosmik) wa anfusihim (mikrokosmik). Semua itu adalah wahyu. Tentu penjelasan lebih spesik yang seperti ini bisa kita temukan dalam tasawuf. Tasawuf menjelaskan wahyu dalam pengertiannya yang luas. Santri: Bagaimana menjelaskan fenomena manusia modern yang memutuskan hubungannya dengan Tuhan, dan kemudian memunculkan Tuhan atau agama baru? Abang: Manusia modern tetaplah manusia. Secara primordial (ontologis) sebenarnya manusia modern tidak bisa terpisah (memutuskan hubungan) dari Tuhan. Para tradisionalis sering menjelaskan bahwa kebebasan untuk

Kembali Ke Tradisi memilih adalah karunia sekaligus kutukan. Jika manusia memilih untuk bersama dengan Tuhan, kebebasan itu akan menjadi karunia; tetapi jika manusia memilih untuk tidak bersama dengan Tuhan, itu akan jadi kutukan. Tuhan memberikan pilihan itu kepada manusia. Dalam konteks manusia modern kan jelas, mereka memilih untuk tidak bersama dengan Tuhan dan membangun realitas kehidupan hanya berdasarkan indera dan akalnyayang individualis. Jadi mereka hidup dalam realitas yang mereka bentuk sendiri. Pada masa yang sama, karena mereka adalah manusia, aspek primordial itu tidak akan bisa dilepaskan: kebutuhan kepada Tuhan itu pasti ada. Kebutuhan ini mendorong mereka sehingga mereka menggantikan kebutuhan yang riil tadi menjadi sesuatu yang dia ciptakan sendiri. Dia menjadikan sesuatu sebagai Tuhan atau agamanya, agama yang mereka ciptakan sendiri untuk menghilangkan rasa kekosongan tadi. Ada beberapa cara yang dilakukan manusia ketika menggantikan Tuhan atau agama dalam kehidupannya: [1] Mereka membangun suatu agama seperti yang kita lihat dalam sainstologi dll, atau [2] Mereka mengambil ajaran dari agama-agama, kemudian dicampur menjadi satu, semacam sinkretisme; atau juga [3] mereka menurunkan tingkatan agama hanya dalam level humanisnya saja. Jadi, ada kebutuhan ontologis yang mendorong manusia modern untuk melakukan itu semua, tetapi karena sudah terlanjur memilih tidak bersama dengan Tuhan, sehingga mereka terpaksa harus membuat agama atau Tuhan baru. Santri: Bagaimana kita bisa membedakan antara agama yang origin dan klaim-klaim psudo-relius dari orang-orang yang sebenarnya hanya sedang menciptakan agama baru? Abang: Patokan kita kan sudah jelas. Ketika Tuhan menyatakan bahwa Islam adalah agama terakhir, maka apapun setelah islam yang muncul dalam bentuk agamaatau diklaim sebagai agama akan ditolak. Sebelum Islam itu oke, tetapi yang muncul setelah Islam akan dipersoalkan. Karena yang muncul setelah Islam seharusnya hanya menjadi keberlanjutan dari agama-agama yang sudah ada, bukan malah melahirkan agama baru. Santri: Kembali tentang tradisi. Di nusantara ada banyak ekspresi baru dalam ajaran Islam, bagaimana dengan hal itu? Abang: Ekspresi itu kan muncul dari manusia tradisional yang sadar, bukan dari manusia modern yang terputus dari inspirasi Ilahi. Manusia tradisional terkadang dihadapkan pada kondisi yang mendesak merekakarena mereka masih terhubung dengan Tuhanuntuk

10

Kembali Ke Tradisi mengekspresikan kembali berbagai ajaran agama yang sudah ditentukan, tetapi itu tidak berarti mereka membawa substansi agama yang baru. Tradisi itu kan mengembalikan kita kepada Tuhan sebagai sumber ilmu, sumber kehidupan, sumber keberadaan, sumber kesadaran dan sumber kebahagiaan seperti yang disebutkan tadi (sat, chit, ananda). Santri: Terkait dengan penggunaan kata modern, sering kita jumpai istilah muslim modern atau istilah tasawuf modern dan sebagainya; jika modern dimaknai sebagai sesuatu yang memutuskan hubungan dengan Tuhan, maka ini akan menjadi paradoks, bagaimana menjelaskan hal itu? Santri: Bukankah dengan teknologi, hidup manusia menjadi lebih mudah? Kita harus bedakan antara lebih mudah dalam hidup dan bahagia dalam kehidupan. Oke, saya punya mobil yang mempermudah saya untuk berpindah-pindah, dan saya punya handphone canggih yang mempermudah saya berkomunikasi, tetapi apa itu berarti saya lebih bahagia? Kan tidak. Kita harus bedakan antara kemudahan fasilitas dan kebahagiaan . Fasilitas banyak, tetapi apa kita bahagia? Kan belum tentu.

Suku-suku di hutan hidup tidak memiliki fasilitas seperti yang kita miliki, tetapi mereka bisa bahagia. Manusia modern lupa, mereka pikir dengan mempunyai fasilitas, teknologi, Abang: Modern itu muncul pada itu menjamin kebahagiaan. Tidak. Fasilitas itu zaman Renaissance dengan semangat hanya memudahkan, memfasilitasi aktivitas humanisme yang memisahkan kehidupan, tetapi tidak menjamin kebahagiaan. manusia dari Tuhan. Banyak orang Kebahagiaan itu berkaitan dengan psikologi tidak mengerti kata modern, manusiameskipun tentang psikologi ini tetapi cuma menggunakan kata itu harus dibahas lebih lanjut. Maka itu sedari seenaknya saja. Dalam benaknya dulu, para losof atau para tradisionalis sudah mungkin berpikir kita muslim menguraikan apa itu kebahagiaan, bagaimana modern; muslim yang berteknologi cara mendapatkannya, derajat-derajatnya, dan gitu. Ini juga satu kekeliruan, salah lain sebagainya. Fasilitas-fasilitas canggih itu kaprah, dan ini jelas bagian dari krisis; kan cuma semacam pengganti (substitution) seolah menjadi modern itu begitu yang sebenarnya bersifat ilusif. Kita terlambat penting, padahal sama sekali tidak. mengenali dunia modern. Kita sudah terobsesi, Teknologi dan tidak punya teknologi oh, kalau punya teknologi, kita akan bahagia. itu tidak menjamin kebahagiaan Nyatanya setelah punya teknologi, dan dalam kehidupan. Kebanyakan teknologi terus berganti-berganti dengan yang orang kan mengakrabkan diri dengan baru dan lebih canggih, kita tidak juga bahagia; teknologi supaya tidak dianggap malah semakin tidak bahagia. ***[mh, si, sm,al] ketinggalan zaman. Padahal itu tidak Bersambung ke edisi belanjutnya.. penting. Kenapa kita harus begitu?

11

Doa Salah Paham

ada suatu minggu di salah satu Gereja di Jakarta, seperti biasa para jamaah berdatangan dari berbagai daerah untuk melakukan Misa. Mereka beribadah dengan berbagai macam pujian dan doa dalam bahasa Latin. Ketika momen pujian untuk Bunda Maria, ada orang Jawa yang tiba-tiba tertegun ketika pujian sampai pada bagian, Ora, Ora, Ora Pro Nobis (Doakan, Doakan, Doakanlah kami) Mendengar kalimat itu, ia terlihat semakin khusuk dan menghayati pujian itu. Kemudian ia melantunkan pujian Mboten, Mboten, Mboten Pro Nobis (tidak, tidak, tidak pro nobis) Orang-orang di sekitarnya termasuk sang Pastur merasa heran sambil tetap melanjutkan puji-pujian itu. Ketika sudah selesai, sang Pastur mendekati orang Jawa itu dan bertanya kepadanya, Pastur: kenapa kamu mboten, mbotenan segala? Wong Jowo: lho, saya kan orang Jawa. Saya tahu kapan harus bersikap santun dan hormat, apalagi kepada Bunda Maria. Pastur: Maksud Bapak? Apa hubungannya dengan mboten, mbotenan itu? Wong Jowo: Ora dalam bahasa Jawa itu kata yang kasar. Saya tidak mau menggunakan kata ora di pujian Bunda Maria yang suci. Makanya untuk menghormatinya, saya ganti dengan kata ora dengan kata mboten yang lebih sopan. boleh tho? Sambil mengelus-elus dada sang Pastur berkata: tapi itu kan bahasa Latin, bukan bahasa Jawaaa... piye tho..

*Salah menggunakan bahasa akan menghilangkan makna yang sebenarnya.

JENAKA

12

Kidung Tanpa Nama


Kumpulan Pertama, Sajak VIII

Song With out Nam es

Maha-Kemungkinan: darinya berpangkal banyak realitas yang kita lihat di dunia dan dalam kehidupan; Segala warna takdir, kebahagiaan dan penderitaan, pada lakon Maya yang tak terduga. Lihatlah aneka warna keindahan burung-burung Di sini merah, di sana biru dan kuning. Tuhan tak mencipta kita dari luar setiap makhluk hidup menghendaki dirinya. Tuhan berrman: Aku adalah Khazanah, tapi tak seorangpun tahu tentang-Nya; lalu datanglah dunia, yang mesti mengetahuiku.
~Syeikh Isa Nuruddin (Frithjof Schuon) *Dialih bahasa oleh Ali Muqi dari versi bahasa Inggris terjemahan William Stoddart

~Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred

Tradisional: Sesuatu disebut tradisional ketika sesuatu itu ditransmisikan dari Sumber Ilahi
~Frithjof Schuon, The Divine to The Human, Chapter Palm of Mask

GLOSARIUM

Tradisi: Tradisi... adalah kebenaran atau prinsip Ilahi yang disingkapkan kepada manusia dankenyataannyakepada seluruh semesta raya. Penyingkapan itu bisa melalui berbagai gur: rasul, nabi, avataras, the Logos atau perantara lainnya; dan penyingkapan itu berbarengan dengan ramikasi (percabangan) dan aplikasi (terapan) prinsip-prinsip Ilahi dalam ranah yang berbeda-beda: hukum & strukstur sosial, seni, simbolisme, sains, dan tentunya juga mencakup Pengetahuan Tertinggi yang dibarengi dengan cara-cara untuk mencapainya.

Anda mungkin juga menyukai