Anda di halaman 1dari 3

Modernitas Anthony Giddens (1938-sekarang)

Anthony Giddens merupakan seorang teoritikus sosial kontemporer yang berasal dari Britania
Raya, lahir pada 18 Januari 1938. Beliau menjalani studi di University of Hull, London School of
Economics, London University. Ia pernah menjadi dosen di Univesity of Leicester pada tahun 1961, di
tahun 1969 ia pindah menjadi dosen sosiologi di salah satu universitas bergengsi di Cambridge. Disana ia
terlibat dalam penelitian lintas-budaya yang menghantar pada buku pertamanya yang mencapai
reputasi internasional yaitu The Class Structure of Advanced Societies (1975). pada dekade berikutnya ia
mulai proses tahap demi tahap untuk membangun perspektif teoritisnya sendiri yang kemudian dikenal
sebagai teori strukturasi. Karya Giddens mengalami puncak kejayaan pada 1984 dengan munculnya
buku yang berjudul The Constitution of Society, Outline of the Theory of Structuration yang memuat
pernyataan paling penting tentang perspektif teoritis dari Giddens. Tahun 1985 ia diangkat menjadi
professor sosiologi di Cambridge University. Perjalanan karier Giddens mengalami dinamika yang
menarik pada tahun 90-an, beberapa tahun menjalani terapi membuat timbulnya ketertarikan beliau
pada kehidupan personal yang kemudian menghasilkan karya seperti Modernity and Self-Identity (1991)
dan The Transformation of Intimacy (1992). Di tahun 1997 beliau menjadi direktur dari London School of
Economics (LSE) dan disana ia berhasil membuat reputasi ilmiahnya semakin kuat dan meningkatkan
suaranya dalam diskursus public di Britania Raya bahkan ke seluruh dunia. (Ritzer, 2019: 545-546)

Teori modernitas mengacu pada perkembangan sejarah secara linear, dari tradisional menuju
modern, dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan kemajuan selalu dianggap lebih baik. Modernitas
muncul terdorong oleh perubahan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan, perubahan di bidang
ekonomi (revolusi industry Inggris), dan kehidupan sosial (revolusi Prancis). Giddens mendefinisikan
modernitas dalam batasan empat lembaga dasar, pertama adalah kapitalisme yang ditandai dengan
produksi komoditas, kepemilikan pribadi atas modal, dan system kelas. Kedua adalah industrialisme
yang ditandai dengan digantikannya tenaga manusia menjadi tenaga mesin untuk menghasilkan barang,
industrialism tidak hanya terbatas pada tempat kerja, bahkan mempengaruhi lingkup kehidupan
manusia yang lainnya seperti transportasi, komunikasi, dan kehidupan domestic. Ketiga adalah
kemampuan pengawasan, Giddens mendefinisikan sebagai pengawasan pada aktivitas dari orang-orang,
terutama yang aktif di bidang politik. Keempat adalah kekuatan militer yang didalamnya mengontrol
alat-alat kekerasan, persenjataan dan industrialisasi perang. (Ritzer, 2019: 546). Modernitas menjadi
dinamis karena tiga aspek esensial dari teori strukturasi Giddens yaitu pemisahan ruang dan waktu,
pencabutan, dan refleksivitas. Pemisahan ruang dan waktu berkaitan dengan mudahnya berhubungan
dengan orang yang secara fisik tidak hadir dan jauh dari yang semakin kesini semakin mudah dilakukan
dengan bantuan teknologi. Pencabutan adalah pengeluaran hubungan sosial dari konteks interaksi sosial
dan restrukturasi antara ruang dan waktu, ada dua mekanisme pengeluaran yang berperan penting
dalam masyarakat modern yaitu token simbolis (uang) dan system pakar (para ahli yang mengelola
bidang material dan lingkungan sosial secara luas di tempat kita tinggal), dalam hal ini kepercayaan
menjadi hal yang sangat penting. Refleksivitas adalah proses mengevaluasi dan mereformasi praktik-
praktik sosial berdasarkan informasi yang masuk tentang praktik tersebut sehingga merubah karakter
masyarakat secara mendasar. (Ritzer, 2019: 546-548).

Giddens juga mengatakan bahwa modernitas adalah suatu kebudayaan risiko, dalam arti bahwa
modernitas di satu sisi ia datang sebagai solusi atas risiko pada bidang-bidang tertentu, namun di sisi lain
ia turut menghadirkan risiko baru yang tidak ada di era sebelumnya. Ulrich Beck dalam karyanya yang
berjudul Risk Society : Toward a New Modernity beranggapan bahwa saat ini kita berada di era modern
meskipun dalam bentuk modernitas yang baru, modernitas klasik ditandai dengan keberadaan
masyarakat industry, sedangkan modernitas baru dan teknologi-teknologinya di tandai dengan
kemunculan masyarakat risiko. Beck menamai modernitas baru ini dengan sebutan modernitas refleksif.
Masalah utama dalam modernitas klasik adalah kelas sosial, kemakmuran dan bagaimana
mendistribusikannya secara merata, sedangkan masalah utama dalam modernitas refleksif adalah risiko
dan bagaimana mencegah, meminimalisir, atau menyalurkannya. Cita-cita masyarakat modern klasik
adalah kesetaraan dan mereka membangun solidaritas sebagai usaha guna mencapai tujuan aktif
berupa kesetaraan, sementara dan cita-cita masyarakat modern refleksif adalah keamanan.dan mereka
membangun solidaritas guna mencapai tujuan pasif berupa keamanan. Kelas sosial dan risiko saling
berkaitan. Seperti halnya kemakmuran, risiko-risiko mengikuti pola kelas. Kemakmuran terkumpul pada
orang kelas atas, sedangkan risiko terkumpul di kelas sosial bawah. Kemiskinan memicu datangnya
risiko, sebaliknya kemakmuran dapat membeli keamanan dan kebebasan dari risiko sehingga
masyarakat kelas atas aman. Apa yang terjadi dengan kelas sosial juga berlaku bagi bangsa-bangsa di
dunia, yaitu bagaimana negara kaya mampu menyingkirkan banyak risiko sehingga risiko tersebut
terpusat di negara-negara miskin. Negara kaya mampu memanfaatkan hal ini dengan memproduksi dan
menjual teknologi yang berguna untuk mengatasi risiko tersebut pada negara-negara miskin sehingga
negara kaya mendapat keuntungan dari hal itu. (Ritzer, 2019: 552-555)

Modernitas menurut saya adalah suatu kondisi dimana masyarakat tradisional mengalami
perubahan menuju masyarakat modern yang industrial, kapitalis, sangat mengedepankan rasionalitas,
sangat bergantung pada uang, efisien, dinamis dan didukung dengan teknologi-teknologi canggih
sehingga membuat mereka tergilas oleh kereta raksasa modernitas dan kehilangan sisi humanism dalam
diri mereka dan digantikan dengan “humandroid”, istilah yang saya dengar dari seorang kawan saya
untuk menggambarkan seseorang yang terlalu fokus dengan gadget ketika sedang kumpul-kumpul.
Dalam ruang lingkup mikro, contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat pada anak-anak
muda zaman sekarang yang lebih asyik bermain game di PS, komputer, laptop atau handphone nya
dirumah daripada bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya secara nyata, kalaupun sedang
kumpul-kumpul tetap ada yang fokus pada handphone nya sehingga tidak terjadi interaksi walaupun
dekat secara fisik. Sehingga muncul sebuah ungkapan dalam pergaulan masyarakat modern yaitu
“teknologi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Sedangkan dalam ruang lingkup makro
dapat kita lihat pada negara-negara termiskin di dunia seperti Nigeria, Republik Afrika Tengah, Kongo
dan lain-lain yang semuanya berada di benua afrika. Sebagian besar risiko dari modernitas seperti
perubahan iklim akibat pemanasan global, kesenjangan sosial, rendahnya sumber daya manusia,
pembangunan, pendidikan, kerusakan lingkungan, wabah penyakit dan masalah-masalah yang lain
terkumpul pada negara miskin. Dan risiko modernitas yang paling terasa saat ini adalah pemanasan
global, meski semua negara mengalaminya namun tidak semua merasakan dampak yang sama. Negara
kaya dengan segala keunggulan teknologinya mampu meminimalisir risiko pemanasan global, sedangkan
negara miskin yang paling merasakan dampaknya.

SUMBER

RItzer, George dan Jeffrey Stapnisky. (2019). Teori Sosiologi Modern Edisi 8. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

BBC News Indonesia. Pemanasan Global: Negara kaya makin kaya, negara miskin makin miskin:
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-48133301. Di akses pada 21 November 2020

Anda mungkin juga menyukai