Profil
Bahrain adalah sebuah negara kepulauan kecil yang terletak di pesisir barat Teluk Persia,
kawasan Timur Tengah Benua Asia bagian Barat. Pulau terbesar di negara ini adalah Pulau
Bahrain yang berjarak sekitar 23km dari sebelah timur Arab Saudi. Antara Pulau Bahrain dengan
Arab Saudi, terdapat sebuah Jembatan yang menghubungkannya yaitu Jembatan Raja Fahd.
Pada awal kekuasaan Al-Khalifa, Bahrain pernah membuat serangkaian perjanjian dengan
Britania Raya (Inggris) dan menjadikannya sebagai negara protektorat Inggris pada abad ke-19.
Bahrain berhasil memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 15 Agustus 1971. Tanggal
tersebut kemudian diperingati sebagai hari Kemerdekaannya.
Bahrain merupakan negara terkecil ketiga di benua Asia setelah Maladewa dan Singapura.
Luas wilayahnya hanya sebesar 760km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 1.410.942 jiwa.
Mayoritas penduduk Bahrain adalah pemeluk agama Islam yaitu sebanyak 70,3%. Bahasa Resmi
Bahrain adalah Bahasa Arab.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Bahrain adalah Monarki Konstitusional yaitu sistem
pemerintahan yang kepala negaranya adalah seorang Raja yang tahtanya diwariskan secara turun
temurun, sedangkan kepala pemerintahannya adalah Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Raja.
Raja Bahrain saat ini adalah Raja Hamad bin Isa Al-Khalifa yang menjabat sejak 6 Maret 1999.
Ibukota Bahrain adalah kota Manama.
Di hubungan luar negeri, Bahrain merupakan negara anggota PBB dan negara anggota
lembaga-lembaga internasional yang berada dibawah PBB. Bahran juga merupakan negara
anggota Liga Arab dan OKI (Organisasi Kerjasama Islam).
Sejarah
Bahrain (= mempunyai arti Dua Lautan) sebagai bagian dari peradaban kuno “Dilmun”.
Karena letaknya yang strategis, sejak 3000 tahun SM sudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain
seperti Yunani, Mesopotamia, Mesir, Assyria dan India. Dalam perkembangan selanjutnya
Bahrain menjadi tempat persinggahan dan penghubung utama perdagangan antara Sumeria dan
Lembah Indus.
Sejak akhir abad 18, Bahrain telah diperintah oleh keluarga Al Khalifa yang masih satu
keturunan dengan suku bani Utbah yang menguasai Bahrain sejak abad ke-18. Tahun 1820,
Bahrain di bawah pimpinan Shaikh Sulman dan Abdullah menandatangani perjanjian dengan
Inggris yang dikenal dengan “The General Treaty of Peace”. Perjanjian menyebutkan bahwa
penguasa Bahrain tidak dibenarkan mengatur teritorial kecuali dengan Inggris dan tidak
diperbolehkan memiliki hubungan dengan pemerintahan asing manapun tanpa ijin dari Inggris.
Sementara itu Inggris berjanji akan melindungi Bahrain dari segala agresor.
Pada tahun 1968 Bahrain bergabung dengan delapan negara lain (Qatar dan tujuh Trucial
Shaikhdoms, yang sekarang dikenal PEA) di bawah perlindungan Inggris dalam usaha untuk
membentuk Uni Arab Emirates. Karena pertentangan yang tidak terselesaikan khususnya
menyangkut kekuasaan diantara kesembilan Shaikhdoms, Bahrain melepaskan diri mencari
kemerdekaan dan baru pada tanggal 15 Agustus 1971, Bahrain menjadi sebuah negara yang
merdeka penuh dan sekaligus secara resmi mengakhiri hubungan khusus dengan Inggris mengenai
tanggung jawab atas pertahanan dan urusan luar negeri Bahrain.
Pemerintahan
Dalam perjalanan waktu yang panjang, dinamika sistem pemerintahan Bahrain selalu
mengalami perubahan. Perang Dunia I telah mengubah Bahrain menjadi negara terbuka dalam
menerima sistem Barat. Setelah Perang Dunia II, sentimen anti-Inggris menguat di wilayah-
wilayah Arab dan mengakibatkan terjadinya kerusuhan di Bahrain. Sistem pemerintahan yang
dijalankan di Bahrain yaitu sistem monarki konstitusional yakni dikepalai oleh raja dan Perdana
Menteri sebagai kepala pemerintahan. Bahrain menggunakan sistem dwi-perundangan yaitu
Dewan Perwakilan dan Majelis Syura yang dipilih oleh raja.
Pada tahun 1960-an, pihak Inggris menyerahkan masa depan Bahrain pada Arbitrase
internasional dan meminta agar PBB mengambil alih tanggung jawab. Tahun 1970 Iran
menghentikan tuntutannya atas Teluk Persia. Inggris pun mundur dan memerdekakan Bahrain di
tahun 1971. Pasca terjadinya Revolusi Islam Iran 1979, kelompok Syiah di Bahrain melancarkan
perebutan kekuasaan tepatnya tahun 1981 dengan melakukan kerusuhan sampai tahun 1994,
namun gagal. Saat pergantian raja tahun 2002, sistem pemerintahan Bahrain pun kembali
mengalami perubahan dan lebih demokratis. Tahanan politik dibebaskan dan untuk kali pertama
kaum perempuan memiliki hak pilih dan berperan dalam pemilu.
Meski begitu, rakyat Bahrain menyayangkan sistem pemerintahan yang berubah tersebut
terkesan separuh hati mengingat masih banyaknya warga yang mendekam di penjara akibat sikap
otoriter sang raja sehingga pasca berlangsungnya The Arab Spring, Raja kini mencari formula
untuk menjaga stabilitas negaranya.
Politik
Selain warga sunni Bahrain, militer atau polisi Barhain biasanya adalah warga-warga
Syiria, Mesir, Pakistan atau bahkan India yang sudah berpindah kewarga negaraan menjadi
Bahraini dan umumnya mereka yang bisa berbahasa arab, tenyu saja hal ini yang sering memicu
kecemburuan sosial dari penduduk syiah di Bahrain. Sebab jika tidak begitu pemerintah Bahrain
tentu sudah digulingkan sejak dahulu oleh lawan politiknya, yaitu penduduk syiah. pada tahun
1994 kerusuhan demi kerusuhan sering terjadi karena ketidak adilan ini. bahkan sebelumnya pada
tahun 1981 tokoh syiah Bahrain juga pernah melakukan percobaan perebutan kekuasaan meskipun
gagal.
Rezim Al Khalifa telah mengubah Bahrain menjadi penjara raksasa dengan pelanggaran
luas hak asasi manusia dan tindakan represif terhadap hak-hak rakyat. Rezim telah menangkap
sejumlah besar aktivis politik oposisi dan menjatuhkan hukuman mati atau kurungan jangka
panjang untuk menghentikan demonstrasi rakyat di Bahrain.
Di Bahrain, segala bentuk aktivitas politik dilarang, dan rezim dengan mengadopsi undang-
undang tertentu, berusaha untuk merampas hak-hak politik rakyatnya secara penuh. Dengan
berbagai dalih, rezim Al Khalifa berupaya untuk meningkatkan aksi penumpasan para aktivis
politik di Bahrain. Rezim sengaja menciptakan suasana mencekam dan mengintensifkan kebijakan
represif di bawah undang-undang apa yang disebut "perang kontra-terorisme." Rezim Manama
mengeluarkan hukuman berat, termasuk eksekusi mati untuk menumpas para aktivis politik,
berdasarkan apa yang diklaim sebagai Undang-Undang Anti Terorisme.
Menurut sumber lembaga-lembaga HAM, Bahrain – sebagai negara terkecil di Asia Barat
– memiliki tahanan politik tertinggi, dimana jumlah mereka mencapai lebih dari 4.000 orang
sebagai dampak dari tindakan keras Al Khalifa. Penangkapan intens aktivis politik di Bahrain dan
penjatuhan hukuman berat, termasuk vonis mati, bertentangan dengan Pasal 10 Deklarasi
Universal HAM dan Pasal 6 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik. Pencabutan status
kewarganegaraan juga dikecam dan ditentang oleh berbagai konvensi internasional. Misalnya,
Pasal 15 dari Deklarasi Universal HAM menyatakan bahwa setiap orang berhak atas hak
kewarganegaraan dan tidak ada orang yang dapat secara sewenang-wenang mencabut
kewarganegaraannya.