Anda di halaman 1dari 4

Mengkaji Geopolitik Amerika Serikat

Di era globalisasi ini, banyak orang telah mengasumsikan bahwa dunia telah
borderless. Namun, sekalipun mobilitas manusia semakin mudah dilakukan,
nyatanya hal tersebut tidak mereduksi peran negara. Bahkan, saat ini dunia masih
dibayang-bayangi oleh hegemoni Amerika Serikat, sebagai negara yang dianggap
berperan penting sejak Perang Dunia II. Tidak dipungkiri bahwa Amerika Serikat
sendiri pun masih memperhatikan geopolitiknya. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh J.J Grygiel (2006: 164) bahwa relevansi geografi bagi negara-negara saat ini
adalah untuk distribusi sumber daya secara spesifik dan menyusun kontinuitas dan
arah dari kebijakan luar negeri. Penulis melihat, pentingnya peranan geopolitik
Amerika Serikat ini adalah untuk menciptakan strategi-strategi yang mambuatnya
mampu mempertahankan posisi sebagai hegemoni dunia.

Amerika Serikat secara jelas, fokus terhadap outward looking, terutama ketika
terjadinya Perang Dingin dengan USSR, dimana ini menyebabkan meletusnya The
Korean War. USSR dan RRC melalui Korea Utara berusaha menginvasi Korea
Selatan, dan US kemudian menjadi penopang kebutuhan militer Korea Selatan.
Hubungan baik US dengan Korea Selatan yang telah dimulai sejak bantuan US
dalam Korean War ini akhirnya terus berkembang dalam Mutual Defense Treaty di
tahun 1953 yang menjelaskan bahwa US akan membantu Korsel dalam menghadapi
segala agresi asing (Frank, Kim, & Larry, 1975:12). Kenyataan ini menunjukkan
geopolitik Amerika Serikat di bidang pertahanan keamanan di wilayah Asia Timur,
terutama Korea. Dalam hal ini penulis berpandangan bahwa selama masa Perang
Dingin hingga setelahnya, Amerika Serikat menempatkan geopolitiknya pada Korea
sebagai basis pertahanan untuk membendung penyebaran Komunis di Asia Pasifik,
terutama Jepang dan kawasan lainnya. Oleh karena itu, menyadari betapa
pentingnya kawasan Asia Timur bagi geopolitiknya, penulis juga melihat, Amerika
Serikat kemudian memanfaatkan kekuatan ekonominya yang kuat untuk merangkul
negara-negara di dunia melalui berbagai bantuan, seperti Truman Doctrine dan
Marshall Plan, demi mencegah ditimbulkannya domino effects. Mengingat China
sendiri kini berkembang pesat sekalipun USSR telah runtuh. Strategi ini identik
dengan sebutan Aid Strategy.

Selain di sisi keamanan, geopolitik di Asia Timur juga penting bagi sektor
perekonomian Amerika Serikat. Sebagaimana yang kita tahu, negara-negara Asia
Timur merupakan The New Industrialization Countries, yang memiliki perkembangan
ekonomi pesat. Dengan tetap menjalin mitra kerjasama bersama negara-negara Asia
Timur, Amerika Serikat berharap tidak kehilangan pengaruhnya di Asia Pasifik
(Alexandra, 2003 dalam csis.or.id, diakses pada 10 April 2013). Penulis yakin bahwa
hal ini selaras dengan keingingan Amerika Serikat untuk membentuk suatu tatanan
dunia yang terintegrasi dalam suatu liberalisasi ekonomi. Selain itu juga, terindikasi
adanya unsur-unsur perluasan sphere of influence dari paham Liberalisme Amerika
Serikat.
Lebih detail lagi, salah satu bentuk concern AS di bidang perekonomian dan
perdamaian yang sekaligus menjadi strategi geopolitiknya di kawasan Asia Timur
adalah kasus Taiwan Strait, atau kasus perseteruan wilayah antara China dan
Taiwan. Ketika di satu sisi China menaggang Taiwan adalah bagian dari negaranya,
di sisi lain Taiwan mengkalim dirinya sebagai wilayah yang berdaulat. Dalam hal ini
Amerika secara tidak langsung mendukung terpisahnya Taiwan dari China,
mengingat Taiwan memiliki prospek keterbukaan dan kemajuan ekonomi yang
positif. Mewarisi kapitalisme USA, Taiwan menerapkan land reform untuk
memenuhi kebutuhan agrikultur Taiwan, meliberalisasikan perdagangan dan
ekspansi industri untuk mengembangkan investasi teknologi tinggi dan diversifikasi
ekspor, memprivatisasi perusahaan untuk mempermudah pemeritah dalam
mengatur dan memonopoli industri serta menyediakan lapangan kerja yang luas,
dan memperkuat kualitas edukasi (Wang, 1994: 147-150). Penulis melihat inilah
sektor ekonomi yang penting bagi pasar Amerika. Namun, tidak serta merta
Amerika menunjukkan dukungannya terhadap Taiwan, sehingga Amerika
menerapkan kebijakan yag berbeda terhadap keduanya (Overholt, 2008: 190).

Namun, untuk menerapkan semua strategi terhadap geopolitik ini bukannya tanpa
tantangan. Seperti yang telah penulis sebutkan di atas bahwa Perkembangan China,
sehingga mempengaruhi hubungannya dengan Taiwan dan menjadi pesaing
hegemoni Amerika (Amin, 2003: 11) dan adanya uji nuklir Korea Utara menjadi
kekhawatiran tersendiri bagi Amerika (Overholt, 2008: 164). Selain itu, isu
reunifikasi Korea juga ternyata tidak sejalan dengan kebijakan antiterorisme yang
telah digaungkan oleh Amerika, dimana Amerika menyebut Korea Utara sebagai
axis of evil, sementara Korea Selatan menghendaki adaya perdamaian melalui
kerjasama ekonomi dengan saudaranya (Alexandra, 2003 dalam csis.or.id, diakses
pada 10 April 2013). Sikap Amerika yang mengaggap Korea Utara sebagai teroris ini
dinilai berlebihan oleh Korea Selatan. Sehingga, penulis khawatir akan kemunculan
sikap anti-Amerika dalam diri Korea Selatan, yang tentu akan berimbas pada segala
sektor apabila Korea Selatan mulai mengambil tindakan. Menaggapi hal ini, penulis
berharap adanya diplomasi yang bertujuan untuk meninjau ulang segala
kesepakatan antara Korea dengan Amerika untuk menghindari adanya
kesalahpahaman yang justru berujung krisis di Semenanjung Korea dan akhirnya
merebak luas.

Fokus geopolitik keamanan dan ekonomi di Asia Timur bukan hanya hal yang
paling utama bagi Amerika. Bila kita mengamati pemberitaan di media saat ini,
tentu kita akan mendapati berita mengenai invasi Amerika terhadap Irak. Tidak
hanya Irak, perilaku Amerika Serikat juga menggambarkan pentingnya geopolitik di
Timur Tengah dan hal ini dikaitkan dengan kepentingan Amerika Serikat atas
minyak. Banyak pihak yang menilai bahwa urgensi kebutuhan akan minyak di
seluruh dunia yang menjadikan minyak sebagai komoditi yang bersifat krusial,
dianggap sebagai faktor pendorong dari adanya geopolitics of oil, di mana terbentuk
semacam keyakinan bahwa if you want to control the world, control the oils then (Anon,
1980: 1324). Pernyataan tersebut tidak jauh berbeda dengan pemikiran Mahan atau
McKinder tentang Seapower or heartland theory-nya. Penulis melihat bahwa geopolitics
of oil ini menjadi penting bagi geoekonomi Amerika. Perang terhadap Irak
dimaksudkan untuk memberikan AS posisi dominan di kawasan Teluk Persia dan
menjadi landasan untuk menjamin kekuasaannya di wilayah ini dalam menghadapi
China, Rusia, Uni Eropa, Suriah, dan Iran (Hutabarat, 2007 dalam kompas.com,
diakses pada 09April 2013).

Bagi Amerika, geopolitik di Timur Tengah dinilai sebagai respon dari adanya
tragedi 9/11, sehingga perlu adanya tindakan peredaman bagi teroris Islam.
Pendapat ini tentu dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, mengingat Timur
Tengah begitu kaya akan sumber daya minyak dan Amerika membutuhkan pasokan
tersebut untuk industrinya. Hal ini terlihat jelas ketika Amerika Serikat mulai
berusaha menjatuhkan Iran dengan menyebarkan isu dugaan pengembagan nuklir
dan perlindungan teroris. Geopolitics of oils Amerika pada akhirnya juga
menitikberatkan posisi Pakistan dan Afghanistan setelah pemerintah negara-negara
Timur Tengah ini menyepakati pembangunan pipa gas yang melewati Iran-
Afghanistan-Pakistan-India (Anon, 2005 dalam artio.net diakses pada 10 April 2013).

Dalam mengahadapi geopolitiknya yang cukup rumit ini, penulis memperhatikan


bahwa Amerika Serikat nampak memberlakukan strategi intervensi sebagai bentuk
Stick and Carrot, dimana akhirnya memberikan pilihan makanan atau hukuman,
untuk memperkuat posisi Amerika sebagai hegemon sekaligus polisi dunia. Selain
itu juga, Amerika terus meningkatkan kewaspadaannya dengan membentuk
perjanjian seperti Proliferation Security Initiative (PSI) dan terus menggaungkan War
on Terrorism demi mendapatkan dukungan internasional. Dalam melancarkan
strateginya, penulis berpendapat bahwa tantangan yang dihadapi oleh Amerika
adalah rivalnya sendiri, yakni Iran, dimana bukti proliferasi nuklir tidak
diketemukan, sehingga rezim pemerintahan Iran yang tidak bersahabat dengan
Amerika ini tidak dapat dilengserkan sebagaimana Irak. Oleh karenanya, hingga
saat ini masih dapat kita lihat usaha Amerika untuk mengganti pemerintahan Iran
agar tunduk pada Amerika.

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa geopolitik dan geostrategi yang
dikembangkan oleh Amerika Serikat tidak jauh bergeser dari sektor ekonomi, politik
dan keamanan. Baik di Timur Tengah maupun di Asia Timur, Amerika menerapkan
strategi politik dan ekonomi untuk mengamankan geopolitiknya. Namun,
penerapan strategi tersebut tentu tidak semulus yang dibayangkan. Di kedua
kawasan ini, Amerika menghadapi banyak tantangan yang akan mempertaruhkan
posisinya sebagai hegemon dan hubungannya dengan mitra kerjasamanya, seperti
keberpihakan ekonomi politik dan keberadaan negara yang belum sejalan dengan
Amerika itu sendiri.

Penulis berpendapat bahwa selama ini, Amerika Serikat terkesan selalu memiliki
ambisi yang berlebihan. Kasus intervensi dan invasi di Timur Tengah adalah bukti
nyata bahwa Amerika Serikat justru menyimpang dari prinsip Liberal yang
senatiasa disanjungnya, yakni kebebasan individu dan perdamaian tanpa kekerasan.
Pemaksaan paham Liberal untuk mengamankan geopolitiknya terhadap suatu
kawasan mengingkari paham Liberal itu sendiri. Seharusnya, Amerika Serikat
dalam kepentingan geopolitiknya di Timur Tengah dapat lebih halus, dengan cara
diplomasi atau peningkatan kerjasama ekonomi politik misalnya. Sehingga, tidak
perlu ada kontak militer yang justru akan menimbulkan sikap Anti-Amerika.

Anda mungkin juga menyukai